OPINI

Terompet Harapan

Tragedi harus digunakan sebagai sumber kekuatan. Tak peduli jenis kesulitan apa pun dan pengalaman sepedih apa pun, jika kita kehilangan harapan maka itulah malapetaka sesungguhnya. Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia SAUDARAKU, jelang tahun baru momen tepat untuk bersiaga membunyikan trompet harapan. “Harapan itu,” tulis Emily Dickinson, “adalah sesuatu bersayap yang hinggap di jiwa, menyanyikan nada tanpa kata dan tak pernah henti sama sekali.” Dan harapan itu melantunkan nyanyian kehidupan dalam dua jenis nada. Nada mayor membangkitkan “harapan positif”, yang merangsang gairah orang untuk berbuat kebajikan. Nada minor membangkitkan “harapan negatif”, yang menyentuh lara keinsyafan orang agar terhindar dari keburukan. Harapan positif tersebut bergema dari jiwa-jiwa altruis, bak “semut-semut” komunitas yang bergotong-royong meringankan derita sesama dalam alunan nada mayor yang sepi ing pamrih, rame ing gawe. Meski nada mayor masih terdengar, arus deras pengharapan bangsa masih menggemakan nada minor. “Harapan negatif” menjadi koor sehari-sehari,  mengharapkan oligarki tak terlalu rakus, penyelenggara negara tak salah urus dan salah tingkah dengan tendensi cuma ramai dalam klaim-pamrih, tetapi sepi dalam kerja-kinerja (gawe). Betapapun, pada setiap gumpalan awan hitam selalu ada pendar cahaya. Segala tragedi dan krisis yang merundung kita harus jadi tumpuan harapan kebangkitan. Tragedi harus digunakan sebagai sumber kekuatan. Tak peduli jenis kesulitan apa pun dan pengalaman sepedih apa pun, jika kita kehilangan harapan maka itulah malapetaka sesungguhnya. Tragedi itu ibarat larutan asam kuat. Ia akan meluluhkan semua hal, kecuali (menyisakan) emas kebenaran sejati. Dengan tragedi kita bisa mengenali borok dan kualitas kita sesungguhnya. Tragedi adalah mahkamah yang membuat kita tak bisa mengelak dari tanggung jawab; karena pengelakan bisa membuat banyak orang terperosok ke lubang yang sama berulang-ulang. Kendati menyakitkan, tragedi dan kegagalan bisa jadi sarana untuk mengukur daya lenting kita. Seperti diingatkan Nelson Mandela, “Jangan menakarku dengan keberhasilanku, takarlah aku dengan melihat berapa kali aku terjatuh dan sanggup bangkit kembali.” Sungguh pedih atas kehilangan. Namun, lebih pedih lagi jika hidup dalam kematian harapan. Daun-daun yang gugur semoga jadi pupuk kehidupan. Kelalaian dan kebodohan harus diberi pelajaran untuk perbaikan. Nasib adalah ketetapan yang terpahat lewat ikhtiar. (*)

Kasus 1 Triliun Tidak Boleh Mengendap

Oleh M Rizal Fadillah -  Pemerhati Politik dan Kebangsaan UNGKAPAN Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tentang dana APBD 1 Trilyun yang digelontorkan kepada Nahdhatul Ulama Jawa Barat harus terklarifikasi. Inipun adalah tuntutan dari PWNU sendiri yang tidak ingin pernyataan Ridwan Kamil menjadi fitnah dan gonjang-ganjing di internal maupun eksternal.  Gubernur yang jago bermedia tidak terdengar ada respon resmi maupun cuitan dari medianya. Masyarakat Jawa Barat menunggu informasi lanjutan. Apakah pernyataan Gubernur akurat berdasarkan data dan fakta atau ada kekeliruan sehingga perlu diluruskan dalam pemberitaan.  Angka 1 Trilyun tentu mengejutkan karena banyak Ormas baik keagamaan, budaya, maupun lainnya jikapun mendapatkan alokasi dana hibah jauh dari angka tersebut. Kelipatan puluh milyar sudah wah. Apalagi ratusan bahkan trilyun. Jika kaitan dengan alokasi kepada NU dengan bahasa prosentase apakah 70 % atau 80 % haruslah terjelaskan baik nominal maupun peruntukannya. Bahasa anggaran haruslah  pasti termasuk parameter dan proporsi untuk masing-masing lembaga. Tidak boleh didasarkan pada pertimbangan prioritas atas dukungan politik atau lainnya. Termasuk like and dislike. Tanpa parameter yang jelas maka nuansanya menjadi kolusi dan korupsi. Apalagi menggunakan pola penyelundupan (smuggling) atas besaran anggaran.  PWNU melalui Wakil Ketua H Asep Syaripudin menyatakan bahwa Ridwan Kamil telah merusak nama baik NU dan mempermalukan Keluarga  Besar NU Jabar.  Dua jalan yang dapat ditempuh khususnya oleh PWNU agar terklarifikasi dengan baik, yaitu  : Pertama, sebagaimana usulan Wakil Ketua PWNU agar DPRD melalui agenda dewan mempertanyakan masalah ini kepada Ridwan Kamil. Tentu baik diminta maupun berdasar tangkapan aspirasi DPRD dapat \"memeriksa\" kasus ini.  Kedua, PWNU Jabar baik sendiri maupun bersama-sama dengan Ormas lain mempertanyakan resmi kepada Gubernur dengan bersandar pada UU No.  14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Gubernur wajib menjawab itu, jika tidak, maka Ridwan Kamil dapat terkena sanksi pidana.  Jabar Juara tentu bukan hanya slogan tetapi perlu dibuktikan. Persoalan 1 Trilyun menyangkut \"juara lahir dan bathin\".  Ridwan Kamil harus memimpin gerakan menegakkan kebenaran, keadilan dan kejujuran di Jawa Barat.  Semoga Gubernur Jawa Barat tidak mendapat predikat sebagai \"Manusia 1 Trilyun\". Cukup Steve Austin saja yang bergelar \" The Six Million Dollar Man\". Ayo kita tegakan \"Kebenaran, Keadilan dan Kejujuran\". Bandung, 26 Desember 2022

Babe Ridwan Kocak, Ceplas Ceplos, bukan Kaleng Kaleng

Oleh Edy Mulyadi - wartawan senior FNN  RIDWAN Saidi wafat. Ahad, 25 Desember 2022 jadi hari terakhir budayawan Betawi ini di dunia yang fana. Kita menyayangi Babe Ridwan. Tapi Allah lebih menyayanginya. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun... Allahumaghfirlahu warhamhu wa\'afihi wafu\'anhu... Aamiin ya robbal alamiin... Sebagai wartawan, saya beruntung Allah beri kesempatan mewawancarai Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) periode 1974-1976 ini. Wawancara berlangsung sekitar setahun silam. Sebelum saya dipaksa mendekam di penjara selama 7,5 bulan karena mengkritik pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Penajam Paser Utara, Kaltim. Wawancara itu bisa disimak di Bang Edy Channel.  Silakan klik https://youtu.be/0N1xLlvU-gg. Atau, versi daur ulangnya bisa ditonton di https://youtu.be/LGlalyiRRYU. Ceplas-ceplos, Betawi Tulen Kocak. Ceplas-ceplos. Tipikal Betawi tulen. Wawasannya luas dan ilmunya dalam. Waktu itu kami (saya dan babe Ridwan) ngobrol seputar penghilangan patung tiga tokoh utama penumpas PKI dari markas Kostrad. Gempar? Mungkin kurang tepat. Kita sebut saja heboh. Gaduh. Saat peristiwa terjadi, Panglima Kostrad adalah Letjen Dudung Abdurrachman. Jenderal yang satu ini memang beberapa kali menyita perhatian publik. Sebagai Pangdam Jaya, misalnya, Dudung dengan \"gagah berani\" menurunkan puluhan baliho bergambar Habib Rizieq Shihab (HRS) di seantero Jakarta.  \"Saya yang perintahkan. Kalau FPI mau macam-macam, ayo hadapi TNI!,\" ujarnya, tegas. Sangat tegas! \"Ke depan kita tetap sampaikan imbauan-imbauan kepada mereka biar paham hukum. Bukan hukumnya dia, tetapi hukum yang berada di Indonesia. Ada pemasangan baliho diam-diam, kita tangkap,\" kata Dudung lagi kepada wartawan di Markas Kodam Jaya, Jakarta Timur, Senin (23/11/2021). Kesibukan Dudung \"berperang melawan\" baliho ini pula yang membuat publik menghadiahinya sebutan \"jenderal baliho.\" Please, jangan tertawa. Tapi kalau anda tak percaya, silakan Googling saja. Banyak, kok, berita seputar ini. Sebelumnya Dudung juga menyita perhatian publik dengan aksi membangun patung Soekarno. Paling tidak, itulah yang dilakukannya ketika menjadi Gubernur Akademi Militer. Tak tanggung-tanggung, atas perintahnyalah berdiri patung Bung Karno setinggi 18 meter di hall utama Akmil, di Magelang, Jawa Tengah. Kamus Sejarah Berjalan Ridwan Saidi lahir 2 Juli 1942. Dia memang bukan pria kaleng-kaleng. Berlatar belakang etnis Betawi, Babe termasuk orang yang sangat luar biasa. Pengetahuannya di atas rata-rata. Pemahaman sejarahnya amat luas. Sebagai sejarawan, saat bercerita tentang sejarah, khususnya Betawi, tentang Jakarta, dia sangat mumpuni. Begitu juga pengetahuan sejarah dunia, Babe Ridwan sungguh luar biasa. Itu barangkali yang membuat sebagian orang menjulukinya dengan \"kamus sejarah berjalan\". Saat ngobrol santai atau sebagai pembicara diskusi dan seminar, bungsu dari lima bersaudara ini juga sering menyelipkan bahasa Belanda dan atau Inggris. Fakta ini juga menunjukkan penguasaannya terhadap dua bahasa tadi tak bisa dipandang sebelah mata. Ridwan Saidi bukan sejarawan biasa. Dia juga dikenal kritis terhadap penguasa. Darah Betawinya membuat lelaki yang menikah pada 1977 ini egaliter. Bagi banyak kalangan, termasuk saya, Ridwan seperti sudah \"putus urat takutnya\". Kritikannya sering tajam dan tanpa tedheng aling-aling. To the point. Dia tak suka ber-eufisme, menghalus-haluskan frasa. Baginya, jika memang hitam ya dikatakan hitam. Tak perlu juga mencari penghalusan kata atau kalimat menjadi tidak atau kurang putih, misalnya. Meski begitu, Babe Ridwan juga bukan orang yang \"main seruduk\" tanpa peduli pada yang menghadang di depan. Saat diperlukan berbelok atau sedikit mingser, dia pun tak segan melakukannya. Saat wawancara tersebut, misalnya. Babe Ridwan sempat memilih sikap ngeles. Ini terjadi ketika saya desak adakah hubungan penghilangan patung tiga jenderal di Kostrad dengan PKI. \"Ya pegimana jawabnya kalau Edy Mulyadi sudah tanya kayak gini? Gimana harus jawabnya...? Secara ilmu fiqih, saya ijma\' sukuti, ijma\' dengan diam saja. Hahahaha...\" tukas Ridwan dengan tertawa terbahak-bahak. Namun secara umum, Ridwan Saidi sangat menyayangkan penghilangan patung tiga jenderal tersebut dari diorama di markas Kostrad. Dia bahkan berpendapat, Pangkostrad harus bertanggungjawab. \"Secara fisik, patung ketiga jenderal penumpas PKI itu memang milik Kostrad. Tapi secara ideal (mungkin maksudnya ideologis), patung tersebut milik bangsa dan rakyat Indonesia.  Pangkostrad sekarang harus mempertanggungjawabkannya. Patung itu harus dikembalikan ke tempat semula,\" ujar Babe. Ridwan Saidi sudah berpulang. Sungguh, kontribusinya bagi republik ini tidak tidak bisa dipandang enteng. Sangat berarti. Selamat jalan Babe Ridwan Saidi. Kita berdoa, semoga Allah menempatkannya di tempat terbaik di kehidupan abadi. Sebagai muslim, saya yakin, Insya Allah, beliau husnul khotimah. Amin ya robbal alamin. (*)

Mengenang Bang Ridwan Saidi

“Baca Qur’an, Jit. Dah gitu, kerja apapun, termasuk yang jadi andalan buat nyari nafkah, harus yang bikin senang di hati.” Secara diam-diam petuah itu saya jadikan ilmu dan teladan. Oleh: Hendrajit, Wartawan Senior dan Pengkaji Geopolitik PRIA asli Betawi ini lahir pada 2 Juli 1942, di Gang Arab Nomor 20, Sawah Besar, Jakarta. Kalau saya bilang Bang Ridwan asli Betawi, bukan karena melulu lantaran tinggal di Sawah Besar. Babe kita yang wafat di usia 80 tahun ini, memang dibentuk oleh karakteristik geografis dan kearifan lokal Betawi. Betapa tidak. Umur 5 tahun, sama neneknya diantar ke Masjid An Nur, Sawah Besar, yang didirikan M. Husnie Thamrin, untuk belajar ngaji pada Engkong Musa. Umur 6 tahun, masuk Sekolah Rakyat Taman Sari II pada 1948. Waktu melanjutkan SMP, belajar di SMP II Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Nah, di SMP inilah Ridwan bersahabat dengan Ali Shahab anak asli Kwitang, yang kelak menaruh perhatian dalam pelestarian budaya Betawi. Belakangan, minat dan gelora hasrat Shahab nular ke Ridwan. Malah Ridwan Saidi yang belakangan punya ragam minat yang lebih beragam daripada Shahab, mengembangkan kajian sejarah Betawi dalam lingkup yang lebih menasional. Rupanya minat Ridwan kepada budaya Betawi memang sudah takdir yang membentang. Selain sohiban sama Ali Shahab, Ridwan berteman sama SM Ardan. Juga pegiat seni budaya Betawi. Ardan ini kebetulan juga anak Kwitang. Maka ketiga insan ini terjalin persahabatan akrab sampai akhir hayat. Hanya bedanya Ridwan dibanding kedua sohibnya ini, belakangan punya minat lain di luar seni-budaya, yaitu politik. Untuk bidang satu ini, babe-nya Ridwan, bapak Abdurrahim, tanpa disadari Ridwan Saidi, jadi pupuk yang menyuburkan minat Ridwan kelak masuk dunia politik. Abdurrahim babenya Ridwan ini, selain mubaligh, juga aktivis Partai Islam Masyumi. Ibunda bang Ridwan, Ibu Muhaya binti Tajeri, seperti umumnya mayoritas warga Betawi, mengamalkan tradisi ahlus-sunnah wal jamma\'ah. Setamat SMP, Ridwan masuk SMA yang termasuk favorit di Jakarta, SMA 1 Budi Utomo, Jakarta. Nah waktu di SMA ini, andaikan Ridwan Saidi tidak nyemplung ke politik, boleh jadi Ridwan akan dikenang sebagai seniman dan budayawan ketimbang politisi. Sewaktu di SMA 1 Budi Utomo inilah, Ridwan ternyata berbakat menulis puisi, cerita pendek, dan esai sastra. Lulus SMA 1962 kemudian memasuki perguruan tinggi, Ridwan juga masuk perguruan tinggi negeri papan atas. Mulanya Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran. Entah kenapa cuma setahun pindah ke Universitas Indonesia, ambil FISIP yang dulu namanya Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan. Sewaktu kuliah di UI inilah, gelora hasrat politiknya makin mekar, sewaktu bergabung jadi Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Menariknya lagi, sebagai aktivis HMI Ridwan mulai debutannya sebagai Sekretaris Rayon Pasar Baru, Kota, dan uniknya lagi, kantor sekretariatnya di rumahnya sendiri. Alhasil, HMI merupakan starting point Ridwan sebagai aktivis dan politisi dalam orbit perjuangan Islam. Kelak Ridwan merupakan politisi jajaran atas Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang ditakuti pemerintahan Suharto dan Golkar. Ridwan lumayan lama juga ngendon di kampus, 14 tahun. Ia baru lulus kuliah pada 1976, dengan skripsi berjudul “Beberapa Segi Pengambilan Keputusan Pada Organisasi ASEAN”. Sedemikian rupa minat besarnya pada politik, tak heran ketika terpilih sebagai anggota DPR dari PPP, beberapa kali didapuk duduk pada komisi bidang APBN dan Komisi X. Di PPP, dua unsur kunci adalah NU dan Muslimin Indonesia. Ridwan yang berasal dari geneologi keluarga besar Masyumi, rupanya lebih nyaman gabung di Muslimin Indonesia. Meski amalan ibadah keislamannya yang ahlush-sunnah wal jama\'ah seperti umumnya Betawi, sebenarnya bernafaskan NU. Ridwan pernah menjabat Sekjen PP Muslimin Indonesia pada 1985-1987. Namun legenda Ridwan justru semasa kemahasiswaan. Pada 1973-1975, pas lagi aktif-aktifnya sebagai aktivis HMI, pernah menjabat Sekretaris Jenderal Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara. Pada 1972, salah satu pemrakarsa berdirinya forum 5 organisasi mahasiswa “Kelompok Cipayung”. Bukan itu saja. Pembaca tahu yang namanya Komite Nasional Pemuda Indonesia atau KNPI? Nah, Ridwan salah satu pendirinya pada 1973. Dari sebab reputasinya yang produktif dan inovatif di dunia politik pemuda dan kemahasiswaan, Ridwan terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI pada 1976. Dari sini, karir politik Ridwan moncer dan meroket, jadi anggota. DPR RI Partai PPP. Sebagai politisi Ridwan adalah gambaran profil insan politik yang kreatif, inovatif dan kritis.(KIK) Boleh jadi watak kreatif dan inovatifnya justru terpupuk semasa bergelut di seni budaya dan bergaul dengan seniman budayawan seperti Shahab dan Ardan. Sayangnya sistem politik Orde Baru era Pak Harto tidak memberi ruang buat sosok KIK ala Ridwan. Ridwan hanya dua periode jadi anggota DPRI RI Fraksi PPP. Periode 1977-1982, dan periode 1982-1987. Setelah pensiun dari DPR dan terlempar dari konstelasi PPP semasa kepemimpinan John Naro, Ridwan memang kalah di politik, tapi tidak tamat. Minatnya yang luas dan beragam dalam politik, ekonomi, budaya dan sejarah, Ridwan mulai merintis reputasi sebagai intelektual dan budayawan sampai akhir hayatnya. Minatnya dalam bidang intelektual malah sudah terpupuk sejak masih politisi DPR. Pada 1983 buku karyanya berjudul “Islam, Pembangunan Politik dan Politik Pembangunan”. Minatnya pada kajian sejarah ternyata cukup serius juga. Ia secara khusus menulis sebuah buku bertajuk “Cendekiawan Zaman Belanda, Studi Pergerakan Intelektual JIB dan SIS”, terbit pada 1990. Sebagai novelis, Ridwan sempat memamerkan kebolehannya ketika pada 1996 secara mengejutkan menerbitkan sebuah novel bertajuk “Diburu Mossad” yang menggunakan setting budaya Betawi. Tak berlebihan kalau Ridwan merupakan manusia multi-dimensi. Saya mulai kenal bang Ridwan tatap muka pada 2004-2005. Waktu itu usia Ridwan 57 tahun saya masih 36 tahun. Namun dalam penglihatan saya kala itu, Ridwan terlihat jauh lebih muda dari usianya. Dan energinya bukan energi orang tua yang mulai lelah jiwa, melainkan energi yang masih usia 30 tahunan. Kontan saya bertanya, “Bang, apa resep biar awet muda.” “Baca Qur’an, Jit. Dah gitu, kerja apapun, termasuk yang jadi andalan buat nyari nafkah, harus yang bikin senang di hati.” Secara diam-diam petuah itu saya jadikan ilmu dan teladan. Tapi ada yang waktu itu tidak dia sampaikan ke saya, namun dalam kali kesempatan bertemu beliau, tanpa disadari pria penggemar sepakbola itu menambahkan lagi satu resep awet muda, meski itu dari kesimpulan saya sendiri. “Males ane Jit, kalau pas ngumpul temen-temen ane yang seumuran. Yang dibicarain kalau nggak asam urat, mulai sering sesak napas, ya rupa-rupa penyakit lainnya. Kayak nggak ade obrolan lainnya.” Meski ini sekadar cerita curhat, saya nangkap ada ilmu hikmahnya juga. Seakan ngasih saya petuah: “Jit, kalau mau awet muda, banyak banyaklah ngumpul sama yang jauh lebih tua atau malah yang jauh lebih muda.” Kalau saya renungkan, bener juga petuah Babe kita ini. (*)

Jagalah Kesakralan Keraton!

 Jangan diulangi meremehkan adat istiadat keraton dengan kesakralannya, sekalipun saat ini tinggal sebagai simbol sejarah dan pusat budaya yang harus tetap dijaga saling menghormati. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KITA masih ingat Presiden Joko Widodo telah ngunduh mantu lengkap dengan simbol pakaian keraton, dan bahkan, anaknya Kaesang Pangarep memakai Kuluk Raja. Padahal, dalam adat keraton mereka tidak lebih hanya sebagai sebagai Kawulo (rakyat). Situasinya menjadi risi karena terkesan kurang menghargai dan menghormati adat keraton yang harus dijaga dan saling menghormati. Dalam adat-istiadat Jawa bahwa keraton bukan hanya sebagai satu warisan sejarah dan simbol serta sumber budaya. Masyarakat Jawa itu tentu masih dipercayai memiliki misteri spiritual, karena keraton di Jawa memang sangat dekat dan lekat dengan alam misteri. Beberapa hari yang lalu juga terjadi penganiayaan menimpa Kerabat Keraton Kasunanan Solo, KRA Christophorus Aditiyas Suryo Admojonegoro, Sabtu (17/12/2022). Beruntun ada kejadian pencuri masuk keraton berawal saat Abdi Dalem Keraton Solo Sri Atun (50), mengaku bertemu dengan sosok diduga pencuri pada Senin (19/12/2022). Saya (penjaga kraton Mangkunegaran – tidak berkenan disebut namanya) juga mengalami kejadian aneh dan nyata.… para leluhur sudah marah dan membuktikan kemarahanya dan itu nyata.... Dalam sebuah acara di gedung DPRD Bumi Sokawati Sragen ada hiburan peragaan busana... awalnya acara berjalan lancar tetapi ketika peragaan busana yang dipakai Jokowi mantu dan anaknya memakai kuluk itu akan ditampilkan oleh seorang peragawati, tiba-tiba yang bersangkutan kesurupan maka acara peragaan busana Jokowi saat mantu dibatalkan... Dari jam 2 siang sampai jam 8 malam sudah diupayakan dan disembuhkan oleh dukun kiai paranormal dan sampai diruqyah si peragawati tersebut tidak bisa dipulihkan kondisinya... akhirnya dibawa pulang ke Solo dan kebetulan anak itu putri teman istri saya... akhirnya saya dari keraton meluncur ke rumah anak tersebut. Kami berdialog dan saya tanyakan kronologi kejadiannya... ternyata beliau adalah pangeran Sokawati atau HB. I. Beliau tanya kowe sopo kemudian saya jawab, dalem wayah eyang dengan mengeluarkan samir dan saya sampirkan di tubuh anak itu. Saya berdialog cukup lama... dengan ekspresi kemarahan anak itu mendesis dengan penuh kemarahan. Setelah berdialog, akhirnya saya mohon Eyang berkenan melepaskan anak meniko (ini) kasihan. Akhirnya beliau jengkar tapi tetap dalam kondisi masih marah dan anak itu normal kembali. Kemudian saya kembali ke keraton ternyata situasi di keraton sudah banyak polisi dan massa. Karena selesai bentrok pintu ditutup, akhirnya saya suruh buka kembali. Saya masuk keraton dengan perasaan sedih, berdoa memohon kepada Allah semoga ke depan tidak terjadi apa-apa, paska ada pejabat yang coba-coba berbuat sembrono di keraton. Jagalah unggah-ungguh di petilasan para raja, jangan bersikap seenaknya, itu busana kerajaan bukan untuk mainan, dan kuluk raja dipakai bukan pada tempatnya dengan sembrono. Para Raja atau keraton memiliki wewaler sakral yang harus dihormati, bukan lelaku syirik karena beliau-beliau juga telah melewati lelaku mendekatkan diri dan berjuang melawan Belanda, untuk menjaga, membela, dan menaungi rakyatnya semata karena Allah SWT. Jangan diulangi meremehkan adat istiadat keraton dengan kesakralannya, sekalipun saat ini tinggal sebagai simbol sejarah dan pusat budaya yang harus tetap dijaga saling menghormati.  Kita semua sebagai pejuang bangsa dan negara tercinta senantiasa terus tetap memohon kepada Allah SWT, supaya Nusantara bangkit kembali yang saat ini sedang menerima cobaan besar dari kerusakan dan munculnya pemimpin yang kurang peduli dengan rakyatnya. Kebangkitan insya’ Allah akan datang atas Ridho Allah SWT. (*)

Republik Begundal Neoliberal

Maka, sungguh waktu tinggal sampahnya. Berlakulah takdir orang benar di tempat salah dan orang salah di tempat benar. Sempurna sudah kita hidup di zaman penjajah modern. Oleh: Yudhie Haryono, Guru Besar Universitas Nusantara JIKA di belahan dunia lain, para perampok itu diternakkan oleh MNC (Multi National Corporate), di republik ini dikerjakan oleh negara. Ini memang aneh. Bagi Negara Indonesia, walau bersepakat dalam arsitektur republik, bekerja secara sistematis menjadi perampok bagi warganya sendiri. Karenanya, aspek-aspek terpenting dari hadirnya republik postkolonial (ada dalam pembukaan UUD 1945) diabsenkan dengan seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya. Apa buktinya? Pemalsuan ada di mana-mana. Pemerkosaan juga di mana saja. Pemerasan menjadi menunya sehari-hari. Sogok-menyogok jadi sunnah-nya. Dan, penguasaan asing via investasi asing, utang, dan obral SDA-SDM berlangsung sistematis, masif, dan terstruktur di siang bolong. Republik ini secara cepat bertransformasi dari milik publik menjadi milik pemodal. Investasi menjadi invasi. Elitnya bekerja untuk pemodal, membela yang bayar, index-nya untuk diri dan keluarganya. Karena niatnya mengkhianati konstitusi, tugas nasionalisasi dan revolusi tanah dibiarkan. Lalu, republik sibuk urus olahraga. Yang hebatnya hanya juara lima dengan anggaran super mewah dan upacara megah. Nasionalismenya berubah secara drastis dari subtansi ke prosedur. Blusukan, pesta nikahan, berbaju militer dan selfi buat media dikerjakan dengan bangga dan dibayari pakai uang warga negara. Inilah epistema pemimpin survei dan dibesarkan hantu media. Republik neoliberal menemukan penyempurnaannya setelah dicat oleh SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), dibuat rumahnya oleh Megawati, dicanangkan pondasinya oleh Gusdur (Abdurrahman Wahid), diseminarkan BJ Habibi dan diimpikan Pak Harto (Soeharto). Lalu, apa peran dik Kowi (Joko Widodo)? Doi memastikan kesenjangan menjadi realitas yang tak terbantahkan. Dalam republik neoliberal ciri utamanya adalah para warga di zaman merdeka. Kita sadar bahwa derita orang merdeka adalah tidak diakui kemerdekaannya. Dan, derita penguasa adalah tidak diakui kekuasaannya. Dalam republik neoliberal, kiamat hanya mitos para keparat; agama hanya ilusi para durja dan jualan elitnya; hukum hanya igauan para alim; Pancasila tinggal di diktat-diktat berdebu; moral dan etik terselip di saku-saku. Dalam negara neoliberal yang culas, terdapat elit begundal yang ganas. Dalam begundal yang ganas, terselip keserakahan yang melampaui batas. Dalam keserakahan ini, puja-puji pada angka pertumbuhan diwiridkan dari Istana secara serempak via media. Maka, tiap waktu adalah sinetron bisnis peng-peng (pengusaha-penguasa). Maka, sungguh waktu tinggal sampahnya. Berlakulah takdir orang benar di tempat salah dan orang salah di tempat benar. Sempurna sudah kita hidup di zaman penjajah modern. Dalam penjajahan modern, kita datangkan semiliar serdadu untuk membunuh mereka/Bidikkan sejuta senapan tepat ke uluh hati mereka/Alam semesta kan menjadi saksi bahwa mereka di sini untuk merampok kita semua/Dan, biarkan kita mati dalam perlawanan pada mereka. Tuan Jokowi, terima kasih Anda telah berjasa memastikan republik neoliberal menjadi nyata. Dan, kenyataan ultimanya adalah negara menjadi swasta. (*)

Safari Anies Menuju Hati Rakyat

Oleh Ady Amar - Kolumnis  KEHADIRAN Anies dalam balutan safari menemui rakyat di berbagai daerah, yang memang menanti kedatangannya, pecah parah. Tidak ada yang bisa memastikan jumlah yang hadir, karena tidak ada piranti untuk menghitungnya. Tidak ada ticket dijual di sana, tidak pula amplop disiapkan sebagai pengganti transportasi mereka yang hadir. Mereka datang suka-suka, tidak ada penggalangan massa bayaran seperti biasa dilakukan mereka yang sebenarnya tidak punya massa riil, tapi memaksa sampai mesti menipu diri sendiri. Boleh juga jika itu disebut halu fatamorgana. Ditambah bisik-bisik sekeliling yang memang bekerja untuk itu, meyakinkan sosok yang digosoknya seolah ia salah satu kandidat capres yang memang disuka rakyat. Safari Anies pastilah memantik kecemburuan pihak-pihak yang sebenarnya tak siap berkontestasi secara fair, dan dengan segala cara ingin menghentikannya. Maka peraturan dibuat guna menghentikan langkah Anies. Peraturan yang dibuat, meski absurd tak masuk akal sekalipun tak jadi masalah. Terpenting tak ada lagi safari, tak boleh lagi massa berkumpul mengelu-elukan Anies presiden... Anies presiden... Agar peraturan tampak sebagai sesuatu yang seharusnya, perlu ada awalan yang melatarbelakangi munculnya peraturan itu dibuat. Agar tidak terkesan ujuk-ujuk. Skenario perlu dibuat, dimunculkanlah seseorang, atau lembaga yang diada-adakan melakukan protes keberatan atas safari Anies itu. Anies nyolong start kampanye, laporan yang dibuat. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu memberi sanksi. Protes keberatan itu jadi jalan masuk perlunya peraturan dibuat. Senin (19/12), Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyepakati perlunya dibuat peraturan, dan itu buntut safari Anies, memang mengada-ada: upaya membatasi gerak Anies. Tidak dicukupkan sampai di situ, jika perlu akan dimunculkan peraturan susul-menyusul dibuat, yang bisa memasung Anies hingga jika mungkin tak bisa bergerak. Mengganjal Anies, itu sebenarnya sudah dimulai dengan tidak diperpanjangnya jabatan selaku Gubernur DKI Jakarta, karena pemilu dibuat serentak 2024. Anies tetap mesti disudahi di 2022. Perlu diangkat Pejabat Gubernur menggantikannya. Publik mampu membacanya, karena Anies seorang menyebabkan seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota yang habis masa jabatannya di 2022 dan 2023 tidak diperpanjang. Sakti benar Anies itu. Panggung Anies di Jakarta seolah dicukupkan sampai di situ saja. Dengan tidak lagi menjabat sebagai gubernur, maka Anies tak lagi jadi sumber berita yang terus  dibicarakan. Tamatlah Anies, itu pikirnya. Tapi yang terjadi  tidak demikian. Anies justru menemukan geraknya tak lagi dibatasi panggung seteritorial Jakarta, tapi panggung-panggung lebih luas di seluruh pelosok negeri disiapkan para relawan yang bertumbuh dari Sabang sampai Merauke. Anies makin lincah bergerak, tak terbebani jabatan selaku kepala daerah, yang mustahil bisa bersafari dengan leluasa, jika ia masih sebagai pejabat. Maka itu tadi, perlu dibuat peraturan untuk membatasi gerak Anies. Peraturan dibuat terkesan memang pesanan, tidak menjadi masalah. Skenario dipaksakan sekenanya, bahkan terasa kasar sekalipun tidak merasa risih. Wajar jika  muncul ketidakpercayaan publik akan adanya pemilu jurdil, jika lembaga penyelenggaranya seperti diseret-seret oleh kepentingan pemesannya. Kekhawatiran yang sama sekali tidak berlebihan Menuju 2024 di negeri ini--semua kekuatan rezim seperti difokuskan, dan bekerja setidaknya untuk menjegal Anies--berpikir bagaimana Anies tidak makin populer, dan bahkan menghentikan langkahnya menuju pilpres. Tentu dengan segala cara dilakukan. Safari Anies yang ingin dihentikan dengan berbagai peraturan sekalipun, itu dipastikan tak akan bisa menghentikannya. Anies sudah terlanjur nampol di hati rakyat, bersemayam di hati mereka yang membersamainya, yang berharap adanya perubahan di negeri ini. Karenanya, menghentikan langkah Anies, pastilah tidak efektif. Safari Anies sudah sampai dan bersemayam di hati rakyat, dan itu rasanya sulit untuk bisa coba dihapus dengan peraturan apapun. Menjelek-jelekkan secara ekstrem pun, yang dilakukan mereka yang memang dibayar bekerja untuk itu, tak akan mampu menggoyahkan kecintaan padanya... Anies terlanjur dicinta. (*)

Terima Kasih Pak Heru, Christmas Carol Tetap Diadakan

Oleh Billy David  -  Cahaya dari Timur Foundation Di akhir Desember ini, publik bisa melihat kembali kesemarakan perayaan Natal di ruang publik Jakarta. Suasana yang meriah dengan hadirnya Christmas Carol di ruang publik. Ada tiga ruang publik yang akan dijadikan lokasi untuk menggelar Christmas Carol yaitu Terowongan Kendal, Bundaran Hotel Indonesia, dan Kota Tua Jakarta.  Kebijakan Heru Budi dengan menggelar Christmas Carol di ruang publik ini tentu saja mengikuti jejak Anies Baswedan. Di masa kepemimpinan Anies Baswedan, kegiatan Christmas Carol baru dimulai, tepatnya pada Desember 2019. Lalu dilanjutkan secara daring di pandemi tahun 2020 dengan penampilan spesial dari Ibu Veronica Tan. Dan kembali meriah kembali di tahun 2021. Berkaca di pelaksanaan Christmas Carol sebelumnya, titik-titik lokasi menggelar Christmas Carol bahkan lebih banyak. Selain di Terowongan Kendal dan Bundaran HI, ada beberapa lokasi lain yang digunakan seperti Karet Sudirman, FX Senayan, Stasiun MRT Blok M, dan Stasiun MRT Cipete, Taman Ismail Marzuki, Stasiun Tebet, Apartemen Epicentrum, Lapangan Banteng, Taman Ismail Marzuki dan banyak lainnya. Jumlah penampil pun berjumlah belasan. Mulai dari solois hingga grup dari beragam denominasi gereja ataupun kelompok umum. Dan bukan hanya mereka yang Kristen dan Katolik tapi juga agama lainnya yang ikut tampil menyemarakkan. Di media sosial, hubungan Pj. Gubernur DKI Jakarta Heru Budi dan Anies Baswedan sering dianalogikan seperti air dan minyak. Tidak pernah klop. Heru Budi dianggap selalu membuat kebijakan yang berbeda dengan Anies Baswedan. Harus berseberangan. Benarkah itu?  Sebenarnya, faktanya tidak seperti itu. Netizen di media sosial sering terburu-buru dalam membuat kesimpulan. Padahal, sebuah kebijakan harus dinilai dengan kepala dingin. Harus ditelaah secara perlahan dan mendalam. Tidak bisa main sikat dalam membuat kesimpulan.  Kebijakan menggelar Christmas Carol di ruang publik adalah bukti bahwa Anies Baswedan menegakkan toleransi di Jakarta. Semua orang paham hal tersebut, termasuk Heru Budi. Sebagai orang yang berpendidikan, Pj. Gubernur paham, bahwa kebijakan yang baik harus diteruskan.  Pak Heru Budi sebagai seorang nasionalis sejati, pasti paham bahwa kebijakan Christmas Carol di Jakarta adalah upaya pintar dalam merajut tenun kebangsaan dan merekatkan kebersamaan antar-umat beragama di Jakarta.  Hasilnya pun sudah terbukti. Di masa kepemimpinan Anies Baswedan, Jakarta adalah kota dengan pertumbuhan nilai toleransi terbaik di Indonesia. Hal tersebut berdasar riset dari Setara Institute.  Pak Heru Budi, tentu ingin melanjutkan kebijakan tersebut, karena sudah terbukti mampu memupuk toleransi di Jakarta. Memang seorang pemimpin seharusnya seperti itu. Bila kebijakan pemimpin di masa sebelumnya sudah baik, seharusnya yang diteruskan. Tak perlu diutak-atik.  Lantas, bagaimana dengan jumlah venue yang berkurang? Dulu lokasinya banyak, sekarang hanya tiga. Tenang, jangan berburuk sangka dulu. Pak Heru ingin Christmas Carol digelar di tempat-tempat yang benar-benar terpilih dan memberikan kesan mewah dan meriah.  Bundaran HI, kita tahu sekarang semakin cantik. Hadirnya Halte Transjakarta baru di Bundaran HI membuat titik ini terasa pas untuk menggelar Christmas Carol. Begitu pun dengan Kota Tua Jakarta. Sejak direvitalisasi di masa Anies Baswedan, Kawasan Kota Tua juga semakin cantik dan jadi lokasi favorit kunjungan publik. Tepat sekali untuk menggelar acara seperti Christmas Carol.  Melihat fakta-fakta di atas, sudah jelas bahwa apa yang dilakukan Heru Budi mengikuti dan meneruskan kebijakan-kebijakan Anies Baswedan. Dan pilihan itu sudah tentu sangat tepat. Bila sebuah kebijakan sudah bagus, mengapa harus diutak-atik? Tinggal lanjutkan dan nikmati hasilnya. Heru Budi paham baik hal itu.

Istana Terancan Tsunami

Bisa terjadi ending-nya alam akan berpihak kepada kebenaran ketika datang kebenaran atas kuasa Yang Maha Kuasa – tsunami Anies Baswedan akan menggulung mereka semua. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih RAJA yang bersemayam di Istana merasa: Apa yang diinginkan dan dikatakan harus terjadi. Perpaduan I am the law: Saya adalah tiran dan l’etat, c’est moi: negara adalah saya. Telah bermetamorfosa menjadi otoritarian dan berwajah Tirani. Demokrasi saat ini hanya ada di atas kertas, karena sudah dimanipulasi oleh Istana dan partai politik, yang sudah di luar batas. Istana dan partai politik  sudah menjelma menjadi hukum dan konstitusi. Sikap angkuh dan jumawa Istana bukan karena murni dari kapasitas dan eksistensi dirinya yang memiliki kesaktian, kekuatan, dan kedigdayaan tetapi persis boneka karena di belakangnya ada kekuatan oligarki yang bisa mengatur dan menguasai semuanya. Bahwa Negara Pancasila saat ini tidak ada atau tidak hadir, karena  presiden saat ini hanya boneka kapitalis. Negara ini penuh sesak dengan oligarkis, kleptokratis, kartelis, fundamentalis, fasis dan predatoris. Kondisi hukum, ekonomi dan politik negeri ini sudah rusak parah, menjadi lahan jarahan para bandar, bandit, badut begundal dan penghianat negara. Kerusakan sudah begitu akut, maka harus dilakukan perubahan yang radikal, extraordinary bukan perubahan yang biasa baik inkremental maupun cut dan glue. Momentum dan sangat mungkin ini kehendak alam dari kekuatan yang Maha Kuasa sudah tiba saatnya munculnya tokoh restorasi kepemimpinan nasional yang kembali kepada the truth dan justice: muncullah tokoh Anies Baswedan (AB). Rakyat dengan kekuatan believe-nya menyatu dengan tokoh satu ini terasa dalam satu tujuan tekad dan niat selamatkan Indonesia. Bukan larut dengan slogan spiritual minimalis yang malas berpikir dengan tipuan Satrio Piningit. Hanya di tokohkan sebagai harapan kekuatan munculnya kejujuran dan keadilan. Fenomena ini tiba-tiba Istana gagap, bingung dan menjadi pandir. Para jagoan dari Senayan (DPR – MPR dan DPD RI), mondar-mandir gentayangan sontak merasa eksistensinya terancam. Pimpinan partai politik sebagian menjadi lingkung dan kesurupan karena lapak jualan mereka berantakan. Oligarki dan tuan besarnya dari Utara raja besar Xi Jinping pemilik OBOR terguncang terancam padam. Mereka beramai-ramai kalau perlu kerjasama dengan para iblis dan setan dari alam ghaib satu kata Anies Baswedan harus dihambat, cegat dan musnahkan. Mereka merasa ini tsunami yang membahayakan mereka. Al insanu bitadbir wallahu bitakdir: manusia hanyalah merencanakan dan Allah SWT yang memutuskan hasilnya. Apakah mereka para begundal dan penghianat negara akan berhasil, bisa jadi usaha mereka akan sia-sia. Bisa terjadi ending-nya alam akan berpihak kepada kebenaran ketika datang kebenaran atas kuasa Yang Maha Kuasa – tsunami Anies Baswedan akan menggulung mereka semua. Pilihannya tinggal secepatnya lari mencari suaka negara lain atau harus jadi penghuni pulau nyamuk di Pulau Nusakambangan untuk kerja paksa tanam singkong sebagai pertahanan hidupnya dan akhirnya harus mati berkalang tanah dengan hina dan nista. (*)

Tujuh Tantangan Besar Indonesia 2023: Kepemimpinan Ideal (Catatan Akhir Tahun - 3) l

Kemudian, siapa pemimpin ideal ke depan? Pemimpin ideal ke depan, dari pembahasan kita di atas, adalah pemimpin yang tidak didukung kekuasaan dan kekuatan Jokowi. Oleh: DR. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle SETELAH membahas persoalan demokrasi dan ketimpangan sosial, dalam tulisan sebelumnyua, serial pertama dan kedua, sekarang saya membahas serial ke-3, kepemimpinan ideal. Tahun depan persoalan menemukan pemimpin ideal bagi Bangsa Indonesia memasuki babak krusial. Semua elit negara, baik oligarki, pimpinan parpol, presiden, ormas dan lain sebagainya, dan bahkan mungkin kekuatan global yang berkepentingan di Indonesia, akan sibuk berkolaborasi, berkonspirasi, berkompetisi dan lainnya untuk menentukan siapa calon pemipin Indonesia berikutnya, khususnya presiden 2024. Tantangan ini adalah tantangan besar, karena kita mencari pemimpin untuk 280 juta rakyat Indonesia, di mana rakyat harus menjadi subjek bukan objek dari “permainan” ini. Rakyat Indonesia telah terlalu lelah dengan situasi ketidakpastian masa depan bangsa dan masa depan dirinya sendiri akibat berbagai situasi yang “unpredictable” dan berbagai kekerasan sosial dan kekerasan mencari nafkah saat ini. Dengan menemukan pemimpin yang adil, maka perjalanan hidup bersama sebagai sebuah bangsa, setidaknya akan mengikuti pepatah “Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh” dan “Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing”. Indonesia telah menggoreskan nama salah seorang pemimpinnya, Sukarno, dalam ensiklopedia tertua dunia, Britannica (britannica.com/browse/World-Leaders). Meskipun ensiklopedia ini memuat Sukarno dalam sub-katagori “Dictators”, bersama Adolf Hitler, Mussolini, Josep Stalin dan para diktator lainnya, setidaknya sejarah mencatat keberhasilan kita mempunyai pemimpin kelas dunia. Soal diktator adalah bagian sejarah yang perlu dipelajari, mengapa terjadi? Namun, di luar fase dictatorship, Sukarno telah menunjukkan kepemimpinan yang teruji sepanjang hidupnya mengurus Indonesia dan rakyatnya untuk maju. Sukarno tidak pernah membuat kepentingan nasional (national interest) menjadi kepentingan pribadi, apalagi memperkaya keluarga atau membuat anak-anaknya seperti “prince/princess”. Kepemimpinan adalah tentang pemimpin, tentang seni memimpin, tentang orang yang dipimpinnya serta situasi dimana kepemimpinan itu berlangsung. Namun, kita di sini membicarakan soal kepemimpinan bangsa, bukan perusahaan. Tentang bangsa berarti membicarakan rakyat, yang tidak bisa dikuantifikasi dengan angka-angka keuntungan, seperti dalam perusahaan. Olehkarenanya seorang pemimpin itu harus mempunyai “world view” kebangsaan. Sukarno mempunyai itu. Sukarno telah merumuskan Indonesia itu apa. Tentu rumusan ini merupakan pekerjaan kolektif para pendiri bangsa. Saya hanya menyederhanakan saja. Menurut Soekarno Indonesia adalah bangsa kulit “Sawo Matang”; dalam kesempatan lainnya dia menyebut Indonesia anti-Riba (lihat Pledoi “Indonesia Menggugat”) bagian dari pendirian PNI, di mana Sukarno menyebutkan cita-citanya anti riba); Indonesia adalah nosionalisme plus Islamisme (agama) dan Komunisme; Indonesia adalah semua wilayah eks jajahan Belanda; Indonesia adalah anti imperialism dan kapitalisme; dan mungkin ada beberapa lainnya. Berbeda dengan Sukarno, Adolf Hitler focus pada “folk” (Volk) yaitu tentang ras Jerman. Pada masa itu ahli-ahli Biologi banyak yang mengeluarkan teori tentang keunggulan ras. Hitler meyakini bahwa Bangsa Jerman adalah ras unggul dan ras mulia yaitu Ras Arya. Ras ini tidak boleh bercampur dengan ras lainnya, khususnya Jahudi di sana pada era itu. Sukarno dan Hitler adalah contoh dua pemimpin yang memahami siapa yang dia akan pimpin. Mungkin tidak semua pemimpin dunia, kalau kita tidak ingin menyebutkan hanya segelintir, yang memikirkan bangsanya ketika menjadi kepala negara atau raja. Tapi, jika kita membahas tentang pemimpin yang adil, di mana kepentingan nasional menjadi fokus seorang pemimpin, maka kunci utamanya adalah pemahaman atas bangsanya menjadi nomer satu. Apakah pemimpin itu “dilahirkan” atau “dikader”? Para Nabi tersebut memang “dilahirkan”, bukan merupakan proses kaderisasi. Pemahaman agama atas kenabian menunjukkan bahwa kehadiran para nabi adalah langsung ditunjuk Allah SWT untuk memimpin sebuah bangsa yang rusak. Bukan hanya ahli agama saja yang percaya pada teori itu. Bahkan, bukan hanya para nabi, menurut teori “pemimpin itu dilahirkan”, semua pemimpin besar sudah ditakdirkan keberadaannya. Tentang Sukarno, Ensiklopedia misalnya menulis “endowed with commanding presence, radiant personality, mellifluous voice, vivid style, a photographic memory, and supreme self-confidence, Sukarno was obviously destined for greatness”. Pandangan ini mengatakan adanya bawaan natural dalam diri Sukarno yang menakdirkannya menjadi orang besar. Namun, pandangan bahwa pemimpin itu harus melalui kaderisasi maupun kerja keras, tidak percaya pemimpin itu “dilahirkan”. Menurutnya, seorang pemimpin harus mengalami berbagai proses kehidupan beresiko dan kesadaran mengambil resiko yang panjang. Tidak bisa mempercayakan kepemimpinan pada sesorang yang kurang pengalaman. Semakin besar pengalaman seseorang, semakin tinggi tingkat kepemimpinannya. Sebagai orang beragama, saya meyakini kedua teori itu bersifat resultante, alias sinergis. Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang diinginakan Allah SWT dan hasil kerja keras penuh resiko. Menariknya dalam Islam, pemimpin yang adil itu baru diberikan Tuhan YME setelah rakyatnya ingin merubah diri. Jadi, dalam Islam perubahan itu merupakan peristiwa kolektif (Qur’an: “Allah Tidak Akan Merubah Nasib Sebuah Kaum Sebelum Mereka Merubah Keadaanya Sendiri”), bukan soal superioritas dan hegemoni pemimpin. Namun, tentu saja pemimpin itu secara dominan merupakan penunjuk jalan, baik secara kolektif (musyawarah) maupun tunggal. Pentingnya kaderisasi, disamping “endowment” (sifat natural), bagi sebuah kepemimpinan bangsa adalah untuk melihat rekam jejak pemimpin itu sendiri. Apalagi dalam kompetisi pilpres saat ini, yang sarat dengan manipulasi pencitraan. Karakter seorang pemimpin yang dipelajari oleh ahli-ahli psikologi menyangkut 5 hal dasar yang sering dibahas, yakni Openness to Experrience (pribadi yang terbuka untuk pengalaman baru), Conscientiousness (konsistensi), Extroversion (suka berinteraksi sosial), Agreeableness (mampu membangun kepercayaan kolektif) da Neurotism (stabilitas emosi) atau dikenal dengan OCEAN (sumber: floridatechonline.com). Dalam Islam, sifat pemimpin itu disebutkan ada 4 yang dasar, yakni 1) Kejujuran (Siddiq), 2. Melakukan sesuatu yang diamanatkan (Amanah atau Trust), 3. Menyampaikan kebenaran (Tabligh atau Show the way), 4. Cerdas (Fatonah). Baik ciri-ciri karakter atau sifat yang dikenalkan para psikolog maupun menurut agama Islam di atas, dapat melihat atau mengukur sosok pemimpin dari sisi internal, atau sosok kepribadiannya. Pemimpin tidak amanah misalnya, berbahaya karena dapat membelokkan amanat penderitaan rakyat menjadi bisnis keluarga atau kroni. Ini umumnya terjadi di era Suharto dan sesudahnya. Pada era Sukarno, ambisi-ambisinya untuk menjadi pemimpin besar, seperti istilah Fuhrer untuk Adolf Hitler, yang tidak terkontrol, juga merupakan pelanggaran amanah. Margareth MacMillan, Oxford University, dalam World Economics Forum, 2017 memberikan catatan tentang perangkap yang selalu ada dalam kekuasaan. Perangkap tersebut antara lain ketika sang pemimpin terperangkap oleh propaganda yang dia buat sendiri dan ketika sang pemimpin tidak sensitif kapan waktunya turun tahta. MacMillan juga mencatat bahayanya seorang pemimpin jika “kurang mau mendengar” masukan. Kejatuhan seorang pemimpin maupun melenceng dari arah yang benar, awalnya terjadi karena menutup diri dari saran atau nasihat lingkungan politiknya. Tantangan terbesar Bangsa Indonesia sampai saat ini adalah korupsi dan perangkap feodalisme. Kepentingan publik, ruang publik, asset publik dan segala yang bersifat publik dibajak untuk memenuhi interest pribadi dan atau keluarga. Bahkan, kekuasaan dan power saat terkahir ini, secara kasat mata, digunakan juga untuk mendelegitimasi upaya penangan korupsi oleh KPK. Feodalisme sendiri terkait upaya-upaya mewariskan kekuasaan berdasarkan keturunan, bukan ukuran kepantasan. Penggunaan 11.000 aparat negara menjaga perkawinan anak presiden, seperti baru-baru ini terjadi, juga ada contoh kekonyolan sifat feodalistik pemimpin. Korupsi dan feodalisme merupakan tantangan internal. Namun, tantangan eksternal berasal dari perubahan geopolitik, recovery paska pandemi Covid-19 dan perubahan teknologi. Lima tahun lalu, World Economics Forum, 2017, misalnya melihat tantangan geopolitik, berupa perang dagang US vs. RRC serta industri 4.0, sebagai “driving factors” arah dunia, namun saat ini kita sadari yang terjadi bukan lagi perang dagang, tapi telah terjadi perang fisik di Ukraina, antara Russia yang didukung RRC, Korea Utara dan Iran versus Amerika dan barat, serta adanya potensi perang di Laut China Selatan antara blok Amerika vs. RRC. Perang dagang dan perang fisik ini merupakan katastropik alias malapetaka besar bagi dunia, termasuk Indonesia. Pemimpin Indonesia ke depan harus menghitung secara teliti dan sungguh-sungguh posisi dan keterlibatan Indonesia dalam geopolitik itu. Kita tidak hidup di ruang hampa, seolah-olah bisa mengisolasi diri atau memberikan propaganda nasionalisme semu kepada rakyat. Sejarah memperlihatkan ketika Belgia menyatakan netral dalam perang dunia kedua, Hitler langsung menyerbu Belgia. Seberapa kuat kita sebagai sebuah bangsa saat ini? Apakah perpecahan yang direkayasa selama sepuluh tahun terakhir, yang saya yakin dimotori kaum oligarki, mampu membuat benteng kebangsaan kita dalam dunia yang bergolak? Tantangan teknologi juga persoalan besar yang harus kita hadapi. Saat ini di luar isu industri 4.0 dan society 5.0, digitalisasi telah sempurna paska pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, meskipun sarana teknologi informasi telah optimal, namun manusia masih enggan untuk sepenuhnya dalam dunia digital tersebut. Dengan pengakuan atas dunia digital ini, berbagai ahli hukum di negara maju, misalnya mulai mempelajari kontraktual baru antara manusia. Misalnya, apakah pemerkosaan di Metaverse yang dilakukan seseorang mempunyai dampak hukum di dunia nyata? Banyak sekali turunan persoalan dari dunia digital ini. Pemimpin yang tidak melihat kerumitan baru akibat digitalisasi dunia, pasti akan membawa Indonesia terjebak dalam keterpurukan yang lebih dahsyat. Kebiasaan Indonesia dari jaman VOC yang bangga dengan berdagang rempah-rempah dan hasil tambang adalah kebanggaan yang seharusnya dihapus dari kehidupan kita. Bangsa ini harus siap menyongsong dunia dengan teknologi tercanggih ke depan. Ada ungkapan populer sebagai berikut: “dalam setiap krisis, pemimpin besar akan datang”. Memang sejarah seringkali menunjukkan hal demikian. Tapi sejarah juga menunjukkan bahwa Sukarno dan para pendiri bangsa datang setelah orang-orang Indonesia badannya tinggal tulang dihisap Belanda. Percaya pada Allah SWT tentu saja, tapi takdir tersebut harus rakyat yang menjemputnya. Rakyat Indonesia saat ini dalam krisis yang dalam dan dunia sedang begitu kejam. Satu-satunya jalan adalah bangkit dan menjemput pemimpin ideal itu, bukan diam dan pasrah. Pada tahun depan semua kekuatan berebut kekuasaan. Kaum oligarki telah membuat “road map” yang indikasinya adalah UU Omnibuslaw Cipta Kerja, di mana kontrol kaum kapitalis maksimal dalam mengekploitasi kekayaan alam. Indikasi kedua adalah pemindahan ibukota. Jika ibukota dipindahkan maka Jakarta akan sepenuhnya dikontrol kaum kapitalis. Jakarta adalah kota kaya raya. Menurut sebuah riset, hanya 5 pengembang atau kelompok bisnis properti yang menguasai tanah-tanah strategis di Jabodetabek. Selama ini Jakarta bergolak karena para oligarki tidak bisa seenaknya, karena di Jakarta berimpit antara urusan politik dan bisnis. Pemimpin yang bertarung ke depan adalah penerus kepentingan oligarki atau sebaliknya kembali pada pemimpin besar yang cinta rakyat? Sampai saat ini kita melihat kekuatan oligarki versus kekuatan rakyat cukup berimbang. Hancurnya kelompok Sambo, yang terindikasi sebagai sebuah kekuatan pemukul kaum oligarki, menyulitkan operasi politik mereka ke depan. Operasi politik dengan PT 20% juga terlihat penuh hambatan, karena gerakan Surya Paloh yang memisahkan diri dari barisan Joko Widodo cukup fatal bagi kontrol atas penjaringan capres mereka. Rencana penggagalan pemilu ke depan nanti, melalui isu perpanjangan masa jabatan, mempunyai potensi kerusuhan sosial yang mungkin tidak terkendali. Kekuatan oligarki kelihatannya juga mulai terpecah belah, ada yang mulai beradaptasi pada konsesi politik yang saling menguntungkan semua kekuatan bangsa. Bangsa Indonesia harus terus optimis melihat perubahan ke depan. Kita harus bersandar pada cita-cita proklamasi sebagai acuan. Indonesia harus untuk Bangsa Indonesia. Kekayaan alam kita harus dibagi rata, semua mendapatkannya, semua senang bersama-sama. Ideologi Pancasila yang sosialitik harus kembali jaya. Kemudian, siapa pemimpin ideal ke depan? Pemimpin ideal ke depan, dari pembahasan kita di atas, adalah pemimpin yang tidak didukung kekuasaan dan kekuatan Jokowi. Jika kita bekerja keras menemukannya serta berdoa pada Allah SWT, maka akan segera terlihat banyak pemimpin pilihan ke depan. Pemimpin yang penuh amanah, terpercaya, cinta rakyat miskin, dan tidak tunduk pada kepentingan asing maupun segelintir oligarki. Jika tahun depan muncul banyak atau beberapa pemimpin ideal di ruang publik, maka tugas selanjutnya adalah membangun komunikasi dan koalisi antara parpol yang cukup mengusung capres/cawapres. Kita harus optimis itu akan terjadi juga. Perlu dihindari egoisme elit kaum perubahan. Musyawarah dan mufakat bisa dipraktikkan dalam menyusun rencana pencapresan yang saling menguntungkan, namun terutama untuk menguntungkan bangsa. Itulah tantangan terbesar kita. Pantai Anyar, 25/12/22. (*)