OPINI

Anies, Berbahayakah Bagi Oligarki?

Seiring menguatnya dukungan rakyat yang menghendaki menjadi presiden, Anies dihadapkan pada realitas ada partai politik dan korporasi tertentu yang bersikukuh mengusung capresnya masing-masing. Anies pun ditantang untuk merasionalisasi demokrasi dan kontestasi pilpres yang bertendensi menghadirkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan terjebak pada dikotomi  capres oligarki dan  capres non-oligarki, demokrasi harus bisa melahirkan pemimipin yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI KONSTELASI pileg dan pilpres 2024 semakin dinamis. Bursa capres semakin memanas. Tak hanya pejabat dan politisi yang menggeliat, korporasi juga disebut-sebut memainkan peranan penting dan dianggap piawai memenangkan seorang capres. Seperti keniscayaan, ada keyakinan publik tak ada capres yang tak didukung pengusaha. Tak ada urusan politik tanpa di dalamnya terlibat soal-soal ekonomi. Ekonomi dan politik bagaikan setali tiga uang, tak dapat berdiri sendiri, tak dapat berjalan masing-masing. Keduanya seperti matahari kembar, satu sumber atau sistem, meski pencahayaannya tersebar. Seperti itulah keberadaan capres dan korelasinya dengan eksistensi  pengusaha.  Mengapa tidak?, karena   para pengusaha bermodal besar itu ingin mengamankan investasi, melanjutkan dan menyelesaikan proyek-proyek strategis. Melalui pemerintah,  penanaman modal mega proyek dan utang dari pengusaha yang melibatkan swasta, BUMN dan negara tertentu, tidak hanya terkait bisnis melainkan kontrak perjanjian internasional. Perjanjian dan kerjasama tersebut erat kaitannya dengan keberadaan negara dan  potensi kekayaan di dalamnya. Dengan demikian, bukan hanya pada aspek bisnis semata, investasi dan proyek pembangunan itu memiliki konsekuensi hukum juga. Hal demikian itu tidak sebatas personal, tapi juga antar pemerintah dan negara. Ada negara dengan sumber daya alam berlimpah tentunya mengundang minat dan kehadiran pengusaha atau investor. Hampir bisa dipastikan, terpilihnya seorang presiden di negara-negara belahan dunia, peran pengusaha yang menyokongnya menjadi sagat signifikan. Pemilu langsung yang membuka ruang lebar bagi praktek-praktek kapitalisasi, mendorong proses demokrasi menjadi sangat komersil. Hampir setiap tahapannya mesti melewati kegiatan transaksional. Penyelenggaraan pemilu yang berbiaya besar, membuat kontestasi figur dalam pemilu baik pileg dan pilkada maupun pilpres juga membutuhkan biaya tinggi. Ada uang ada suara. Jangan harap bisa menjadi anggota legislatif, kepala daerah dan terlebih presiden jika tak punya uang fantastis. Begitu besar pengelolaan anggaran negara oleh kepemimpinan dan birokrasi  dari hasil pemilu dan pilpres. Menjadi tak terhindarkan bagi seorang kandidat  khususnya capres membutuhkan kontribusi dunia usaha atau korporasi. Capres dan pengusaha  seperti sedang menjalin  hubungan simbiosis mutual. Capres butuh uang untuk terpilih menjadi presiden, pengusaha membutuhkan presiden untuk menghasilkan uang. Lalu bagaimana dengan demokrasi yang hakiki, bagaimana proses kedaultan rakyat yang sesungguhnya dalam memilih pemimpinnya? Pemikiran itu seperti mustahil atau mimpi yang sulit diwujudkan. Sebagai negara yang menganut sistem kapitalisme liberal, Indonesia akan sulit mendapatkan pemimpin yang murni terbebas dari pseudo demokrasi. Hanya akan ada pemimpin boneka yang bekerja untuk kepentingan asing baik berupa state ataupun multi trans nasional. Presiden yang terpilih hanya jadi petugas yang bekerja menghisap kekayaan alam dan sumber-sumber daya ekonomi lain dari negaranya. Anies hadir tak ubahnya seorang pemimpin yang mampu melakukan \"breaking ice\" terhadap kebekuan dan distorsi implementasi demokrasi. Konon sejak berlakunya pemilu baik pileg dan pilpres langsung yang dimulai pada tahun 2004, maka kekuatan uang yang menjadi inti dan menentukan kelangsungan proses demokrasi.  Terutama pada pilpres dua periode terdahulu, menjadi pilpres yang paling buruk baik dari segi proses maupun hasilnya. Saat itu tak perlu pemimpin yang cakap dan memiliki integritas.  Tak penting pemimpin yang jujur dan adil serta memiliki sifat amanah. Hanya butuh uang berlimpah sebagai mesin politik dan alat pencitraan yang ampuh memenangkan pilres. Belajar dari itu dan seiring kehendak rakyat.  Menghadapi pilpres 2024, Anies berusaha tampil mengubur pengalaman buruk dan performa usang seorang pemimpin. Anies tertantang mengikuti, melaksanakan dan berproses membangun demokrasi yang sehat dan berkeadaban. Anies hendaknya mampu menjawab kerinduan masyarakat bahwa demokrasi formal dan konstitusional masih bisa diselamatkan dan kedaulatan rakyat yang berlandaskan kemurnian Pancasila dan UUD 1945 yang asli,  secara perlahan namun pasti bisa diimplementasikan. Sejalan dengan itu, bagaimana Anies menjawab keberadaan oligarki yang  berupa partai politik dan korporasi?. Sebagai pemimpin yang  in syaa Allah terpilih sebagai presiden pada pilpres 2024. Anies harus menjalankan sistem dan perform yang kapabel, kredibel dan akuntabel.  Partai politik dan korporasi menjadi bagian tak terpisahkan dari realitas demokrasi saat ini. Keduanya menjadi keniscayaan yang tak dapat dipisahkan dari mekanisme dan proses demokrasi yang sudah berlangsung lama. Penting dan mendesak untuk melakukan sinergi dan elaborasi yang strategis dengan kedua instrumen menentukan bagi hajat hidup orang banyak. Hanya saja, sesuai visi kepemimpinan yang fokus dan tegas pada upaya mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Anies diyakini mampu menjadi supervisi dan peran penyeimbang bagi partai politik dan korporasi untuk bisa sama-sama berkontribusi mengupayakan secara maksimal  keberadaan negara kesejahteraan.  Peran partai politik dan dunia usaha harus terus digiring ke arah pembangunan negara dan manusia seutuhnya. Sejahtera lahirnya dan sejahtera batinnya, untuk itulah peran partai politik dan korporasi mutlak dibutuhkan. Tanpa menegasikan aspek ekonomi yang vital,  fungsi sosial politik yang sehat dari partai politik menjadi begitu dibutuhkan rakyat negara dan bangsa. Pun sebaliknya, pembangunan basis ekonomi yang dilakukan korporasi tetap menjalin hubungan yang harmonis dan selaras serta ikut menopang pemerintah melakukan kerja-kerja pemenuhan kebutuhan publik. Antara presiden atau pemerintah dengan partai politik dan khususnya korporasi tetap bisa berjalan equivalen hubungannya, terlepas dari job deskripsinya masing-masing. Ada kesetaraan dan saling menunjang di antara ketiga komponen penting dan strategis dalam tata kelola pemerintahan dan ketatanegaraan itu. Oleh karena itu, seiring nilai-nilai universal dalam kepemimpinan Anies terhadap aspek khebinnekaan dan kemajemukan, semangat pluralitas dalam mayarakat yang heterogen, serta prinsip-prinsip dasar memobilisasi kesejahteraan umum.  Menghadirkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi sesutu yang bukan mustahi atau sulit diwujudkan, jika ada rasa kebangsaan yang sama pada seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Harus ada kesadaran makna dan kesadaran krisis pada semua entitas sosial politik yang ada. Termasuk berharap pada nasionalisme dan patriotisme dari partai politik dan korporasi. Jika ada pemikiran dan kesadaran spiritual yang seperti itu, rasanya sulit menempatkan Anies sebagai calon presiden yang dianggap mengganggu dan menjadi ancaman terhadap partai politik dan korporasi tertentu. In syaa Allah dan pastinya jika Anies presiden, Anies tidaklah sedikitpun dan sekalipun berbahaya bagi oligarki. *) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 12 Desember 2022/18 Jumadil Awal 1444 H.

Letkol “Tertular” Deddy Corbuzier

Kita tidak akan menggali soal jasa Corbuzier kepada TNI. Kita lebih fokus membicarakan bahwa Youtuber berpengikut belasan juta ini merasa senang. Itu dulu. Oleh: Asyari Usman, Jurnalis FNN DEDDY Corbuzier bilang dia bangga diberi pangkat Letkol Tituler. Menhan Prabowo Subianto meresmikan pangkat mantan pesulap itu pada Jumat, 9/12/2022. Corbuzier mengatakan, ini merupakan penghormatan besar dari pemerintah kepada dirinya. Dia merasa sangat senang. Bisa dipahami. Sebab, anugerah pangkat perwira menengah TNI itu tidak main-main. Menurut penjelasan tentang pemberian pangkat tituler, Corbuzier dianggap sebagai orang penting bagi TNI. Orang yang berjasa. Meskipun para pakar kemiliteran mempertanyakan jasa apa dari Corbuzier untuk TNI? Kita tidak akan menggali soal jasa Corbuzier kepada TNI. Kita lebih fokus membicarakan bahwa Youtuber berpengikut belasan juta ini merasa senang. Itu dulu. Rasa senang Corbuzier penting dibicarakan. Karena rasa senang itu turut dirasakan oleh banyak orang lain. Kelihatannya, yang juga senang dengan pemberian pangkat Letkol Tituler itu adalah salah satu komunitas yang dipromosikan oleh Corbuzier di podcast-nya. Yaitu, komunitas LGBT. Yang dikatakan banyak orang sebagai kelompok dengan orientasi seksual yang menyimpang. Sebelum pemberian pangkat tituler itu, komunitas LGBT sebenarnya sudah merasa senang pada Corbuzier. Senang karena sekitar awal Mei tahun ini, Corbuzier menghadirkan pasangan LGBT, Ragil Mahardika dan Frederik Vollert, di podcast Deddy Corbuzier. Sekarang mungkin makin senang karena ada \"simpatisan\" yang berpangkat perwira menengah (Pamen). Meskipun hanya tituler. Ragil dan Frederik bagaikan sudah mendapatkan panggung besar untuk mengkampanyekan LGBT. Namun, podcast berkonten hubungan sesama pria itu diprotes masyarakat yang tak menyimpang. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga ikut menyampaikan protes. Sampai-sampai Corbuzier akhirnya menghapus (take down) obrolan dengan pasangan sejenis itu. Untung saja obrolan pasangan gay itu direkam dan disiarkan awal Mei. Andaikata disiarkan beberapa hari setelah pemberian hadiah pangkat TNI itu, mungkin saja ada yang membuat plesetan “tituler” menjadi Letkol “Tertular” Deddy Corbuzier. Medan, 11 Desember 2022. (*)

Harga Saham GoTo Sulit Kembali Ke Harga Perdana: Jokowi Wajib Panggil OJK

Jokowi sebaiknya panggil OJK untuk minta klarifikasi terkait perizinan go public GoTo, sebagai tanda peduli atas menguapnya investasi publik dan Telkomsel di GoTo. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) GoTo (Gojek Tokopedia) menawarkan saham perdana kepada publik (IPO), atau go public, awal April 2022 dengan harga Rp338 per saham. Jumlah saham yang ditawarkan kepada publik sebanyak 40.615.056.000 saham. GoTo meraup dana publik sebanyak Rp 13,73 triliun. GoTo seharusnya tidak layak go public karena kinerja perusahaan sangat buruk. Sejak operasional 12 tahun yang lalu, kinerja Gojek maupun Tokopedia selalu rugi, dengan akumulasi rugi mencapai Rp 99,3 triliun per akhir September 2022. Rugi tahun 2021 mencapai Rp 22,5 triliun, dan rugi 9 bulan pertama 2022 mencapai Rp 20,7 triliun. Meski dengan kinerja keuangan yang sangat buruk ini, GoTo malah berhasil mengantongi izin go public dari OJK, dan meraup dana publik Rp 13,73 triliun. Harga saham GoTo kemudian terus anjlok, bahkan menyentuh batas bawah (ARB) 10 kali berturut-turut hingga Jumat lalu (9/12/2022), ditutup Rp93 per saham, atau turun 72,5 persen dibandingkan harga go public Rp 338 per saham. Masyarakat rugi Rp 9,95 triliun, dari Rp 13,73 triliun menjadi tinggal Rp 3,78 triliun (harga pasar). Investasi Telkomsel di GoTo rugi Rp 4,2 triliun, dari jumlah investasi Rp 6,4 triliun. Tekanan jual saham GoTo masih kuat, dengan penawaran harga berapapun. Daripada nilai saham tambah tidak ada harganya. Jumat lalu (9/12/2022) antrian jual mencapai 9,16 miliar saham, atau 91,6 juta lot. Jumlah antrian jual ini sangat besar, mencapai 36 kali dari jumlah saham yang berhasil ditransaksikan pada hari itu, sebanyak 254,4 juta saham. Dengan jumlah antrian jual yang begitu besar, (hampir) mustahil harga saham GoTo bisa ‘didongkrak’ naik. Karena harus menghabiskan antrian jual dulu, senilai sekitar Rp900 miliar. Siapa yang mau mengorbankan uang sebesar itu, yang mungkin tidak akan dapat kembali lagi. Selain itu, jumlah antrian jual bisa bertambah lagi, mengingat ada 40,6 miliar saham di tangan masyarakat dari go public. Kemudian, investor pendiri juga tidak mau menambah jumlah saham yang dimilikinya. Sebaliknya, mereka malah mau menjualnya: mau exit. Ini tujuan utama go public GoTo: Exit. Selain itu, kalau jumlah saham masyarakat sudah habis dibeli kembali oleh GoTo atau proxy-nya, maka saham GoTo tidak akan likuid lagi. Harga naik juga percuma. Karena transaksi dari kantong kiri ke kantong kanan. Atau cross selling. Maka itu, OJK harus bertanggung jawab atas pemberian izin go public GoTo yang sebetulnya tidak layak masuk bursa. Jokowi sebaiknya panggil OJK untuk minta klarifikasi terkait perizinan go public GoTo, sebagai tanda peduli atas menguapnya investasi publik dan Telkomsel di GoTo. Kalau Jokowi diam saja, dikhawatirkan masyarakat bisa mempunyai persepsi liar, misalnya menganggap Jokowi mengetahui dan ikut merestui go public GoTo, serta investasi Telkomsel di GoTo. (*)

Lord Acton: The Power Tends to Corrupt, Penikmat Kekuasaan Minta Penundaan Pemilu

Lihat saja manuver Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang tiba-tiba mengusulkan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi. Disusul oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang mengajak rakyat “berpikir”. Oleh: Andrianto, Salah Seorang Pelaku Reformasi 98 SEMUA daya diupayakan agar Rezim Joko Widodo ini tetap lanjut... tanduk dengan perpanjangan masa jabatan Presiden atau Presiden Tiga Periode. Para Oligarkhys yang berpesta pora selama 8 tahun ini nampaknya belum cukup Wareg... alias kenyang. Mengelabui Rakyat dengan beking hukum melalui UU Minerba, UU IKN, UU Omnibuslaw, dan lain-lain semua dalam rangka kepentingan merampok resource semata. Sepertinya besar modal yang Oligarkhys keluarkan untuk menjadikan rezim ini kuasa, nampaknya belum cukup memuaskan mereka. Setelah tanda-tanda the next Boneka makin jauh harapan dari tiket Pilpres. Maka politik chaostik akan dilakukan. Apapun taruhannya kalo sang the new boneka gagal mentas mending tidak ada pemilu. Apakah Rakyat akan berdiam diri? Tampaknya jarum sejarah akan berputar. Semua elemen Pro Reformasi mesti siap siaga kembali. Taruhan Reformasi akan menjadi Demarkasi kita terhadap Anasir-anasir rezim Pengkhianat. Semua mesti kita konsolidasikan lagi. Haqul yakin Rakyat para Pendukung Konstitusi masih lebih besar. Kejadian di Peru bisa saja terjadi di Indonesia, meski parlemen di sini sudah “terkontaminasi” ngikuti kemauan Rezim. Lihat saja manuver Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang tiba-tiba mengusulkan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi. Disusul oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang mengajak rakyat “berpikir”. Apakah LaNyalla dan Bamsoet sudah “terbeli”? Hanya mereka dan Allah SWT yang tahu. Juga Malaikat karena setiap langkah manusia itu diikuti Malaikat. Tinggal kita lihat saja nanti, dapat dipastikan akan terungkap, transaksinya berupa apa. Rakyat Indonesia selalu bangkit berjuang dan melawan para Pengkhianat. Ini yang bisa memicu kemarahan rakyat. Karena merasa dikhianati. Di mana itu nurani mereka? Untuk soal penundaan atau penambahan tiga periode tersebut, ditentang oleh PDIP sebagai partai yang menjadikan Jokowi sebagai Petugas Partai. Kita tetap berharap, PDIP masih bersikap sama: menentang perpanjangan atau presiden tiga periode. (*)

Anies dan Antagonisme Penguasa

Tadi pagi dalam acara jalan sehat di Pangkep, Sulawesi Selatan tercatat dengan jumlah peserta yang mencapai ratusan ribu. Dan dipastikan dengan peserta gerak jalan  tanpa amplop, tanpa tipu-tipu kemasan acara, mereka datang dengan sukarela.  Oleh: Tamsil Linrung , anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI MEMANG  hanya satu hari. Namun, pertemuan Presiden Joko Widodo dengan relawannya di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) menyisakan residu politik berkepanjangan. Kontroversinya menggiring energi bangsa pada cekcok politik yang tidak perlu.  Di acara itu, Jokowi menyinggung rambut putih dan kerutan wajah sebagai ciri pemimpin yang memikirkan nasib rakyat. Publik menduga narasi itu ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Rambut putih memang salah satu ciri khas Ganjar. Di waktu lain, Jokowi menetralisir opini publik. Jokowi menyebut Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga memiliki ciri-ciri yang identik dengan kriteria pemimpin yang memikirkan rakyat, sudah mulai ada rambut putih dan  kerutan di wajah.  Dukungan terhadap dua bakal calon presiden (bacapres) itu mengundang banyak dugaan. Ada yang mengira Jokowi mendukung hanya salah satunya, ada pula yang menyangka Jokowi hendak memasangkan mereka berdua. Juga membuka penafsiran lain. Bahwa Jokowi sengaja mengendors keduanya sebagai plan B, kalau-kalau wacana tiga periode atau perpanjangan masa jabatan melalui penundaan Pemilu tidak berhasil. Kita tahu, penundaan Pemilu terus digaungkan beberapa tokoh politik. Belakangan bahkan semakin garang dan lantang.   Kesibukan Jokowi dalam urusan dukung-mendukung capres ini mengundang tanda tanya. Sebagai presiden dua periode, seharusnya Jokowi kalem saja, sebagaimana akhir jabatan periode kedua Presiden RI keenam, Soesilo Bambang Yudhoyono.  Saking sibuknya, sampai-sampai Jokowi dinilai gelisah dan bahkan menyimpan ketakutan di ujung jabatan. Kesan ini ditangkap pula oleh Ketua Relawan Jokowi Mania (Joman), Immanuel Ebenezer. Juga oleh Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi, jauh sebelumnya.  Apa yang ditakuti Jokowi? Immanuel mengaku tidak tahu pasti. Namun, Arbi punya pendapat. Arbi bilang Jokowi memperlihatkan rasa takut kalau tidak (lagi) menjadi presiden akan ditangkap atas sejumlah kasusnya.  Pendapat lain, Jokowi terobsesi mengamankan proyek infrastruktur yang digagasnya, seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Dalam situasi ekonomi bangsa yang memprihatinkan, segala hal tentu  bisa berubah. Termasuk realisasi IKN Nusantara, siapa pun presidennya kelak.  Kegelisahan itu berpotensi memecah konsentrasi Jokowi sebagai presiden. Selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, Jokowi diharapkan fokus menjaga dan memastikan Pemilihan Umum berlangsung jujur, adil dan tepat waktu, bukan malah sibuk mengendors Ganjar atau Prabowo dan bersikap antipati terhadap calon lainnya, Anies Rasyid Baswedan. Bila sikap itu ditampilkan terus-menerus, prasangka buruk publik tentang kecurangan Pemilu 2024 dipastikan semakin membesar. Apalagi, sejumlah peristiwa politik telah melekat di memori kolektif rakyat. Sebutlah kekhawatiran Soesilo Bambang Yudhoyono terkait potensi Pemilu tidak jujur dan tidak adil atau isu kriminalisasi Anies Baswedan.  Indikator  Adalah hak Jokowi mendukung Ganjar dan Prabowo. Namun, sebagai pemimpin bangsa, Jokowi harusnya tetap mengedepankan pendidikan politik kepada rakyat, bukan mempertontonkan politik gimik demi mengatrol calon yang didukung. Bagaimana mungkin uban dan kerutan wajah dikaitkan dengan pemimpin yang memikirkan nasib rakyat? Kata netizen, Mak Lampir juga punya! Indikator terbaik menilai calon pemimpin adalah prestasi atau rekam jejak. Namun, berbicara soal ini, kita tahu, Anies-lah juaranya. Maka debat ke arah itu terpaksa dihindari. Kalau perlu, rekam jejak dihilangkan saja. Penghilangan jejak Anies dicurigai muncul dari sepak terjang Penjabat Gubernur DKI Jakarta yang ditunjuk Jokowi, Heru Budi Hartono. Orang-orang Anies disingkirkan, sistem yang ia bentuk diganti dan bahkan sekadar tulisan nama Anies di dinding lapangan Ingub Klender saja, juga dihapus.  Di Aceh dan Riau, izin safari politik Anies dicabut. Pemerintah daerah punya alasan sendiri. Namun, publik tetap saja menaruh curiga, jangan-jangan peristiwa itu terkait dengan sentimen dan rasa takut penguasa terhadap Anies yang semakin popular. Di mana-mana, rakyat gegap gempita menyambut Anies.  Tadi pagi dalam acara jalan sehat di Pangkep, Sulawesi Selatan tercatat dengan jumlah peserta yang mencapai ratusan ribu. Dan dipastikan dengan peserta gerak jalan  tanpa amplop, tanpa tipu-tipu kemasan acara, mereka datang dengan sukarela.  Getar antagonisme penguasa juga merambat di level elite. Relasi Jokowi dan Surya Paloh dinilai menuju titik terendah pascadeklarasi Anies oleh Partai Nasdem. Tak peduli sahabat, sindiran acapkali dilantunkan, sebagaimana penilaian pengamat saat acara ulang tahun Partai Golkar. Sementara ulang tahun Partai Nasdem sendiri tidak dihadiri Jokowi. Sentimen kepada mereka yang mendukung Anies bukan terjadi jelang Pemilu saja. Jauh sebelumnya, di musim Pilkada DKI Jakarta silam, Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Sutrisno Bachir disebut dimusuhi Istana karena mendukung Anies Baswedan dan membantu aksi 212.  Kini, nama Sutrisno Bachir jarang terdengar. Padahal, ia salah satu kader unggulan dan mantan Ketua Umum PAN yang layak diberi jalan, selain Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan tentunya. Keduanya pemimpin bertalenta. Maka ketika sejumlah kader PAN di daerah menginginkan Anies, bukan tidak mungkin salah satu di antaranya dapat menjadi pendamping Anies. Demokrasi yang sehat seharusnya membuka ruang kesempatan yang sama kepada putra bangsa yang berpotensi. Seluruh tokoh politik nasional semestinya menjadi panutan dalam konteks itu, terlebih presiden sebagai pemimpin tertinggi. Jangan hanya karena berseberangan misi politik, mereka yang punya potensi lalu dianiaya secara tidak langsung.  Ayo Pak Presiden, bersama kita tinggalkan politik gimik dan gimik politik.  Ayo Pak Presiden, kita hidupkan persaingan gagasan, prestasi, dan rekam jejak sebagai indikator memilih pemimpin, agar rakyat dapat menjatuhkan pilihan secara rasional.*

Investor IKN, Antara Nyata dan Ilusi?

Pemerintah sekarang klaim lagi, minat investor di IKN membludak. Jokowi sampai terkaget-kaget, terjadi oversubscribed hingga 25 kali lipat. Bombastis sekali? Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) HIRUK-pikuk investor asing untuk IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara terus bergulir, tapi tanpa hasil. Investor terus dikejar, tapi sejauh ini hasilnya nihil. Apakah karena memang IKN tidak menarik? Hampir tidak ada sebuah negara yang begitu gigih ‘mengejar’ investor asing seperti Indonesia. Pengejaran langsung ditangani oleh pejabat tinggi negara, bahkan ada yang dikejar sampai ke negara asalnya. Pada awal IKN, beberapa pejabat mengatakan ada sejumlah nama besar calon investor asing yang berminat investasi di IKN. Antara lain, ada nama Softbank, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab. Untuk menarik investor asing, ada juga nama mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, dipasang sebagai Dewan Pengarah, bersama Putra Mahkota Saudi Arabia Mohamed bin Zayed dan CEO SoftBank Masayoshi Son. Sejak 2020, Softbank, perusahaan modal ventura asal Jepang, sudah mulai digembar-gemborkan akan menanamkan modalnya di IKN sekitar 40 miliar dolar AS, bahkan ada yang menyebut hingga 100 miliar dolar AS, atau lebih dari 1.500 triliun rupiah, dengan kurs hari ini. Setelah sekian lama tidak ada realisasi, pada sekitar Maret lalu dikabarkan SoftBank menyatakan tidak berinvestasi di IKN. Kemudian, investor lain juga tidak ada kabar lagi. Sepertinya tidak ada minat investasi di IKN. SoftBank mengatakan: “Kami tidak berinvestasi dalam proyek ini, tetapi kami terus berinvestasi di Indonesia melalui perusahaan portofolio SoftBank Vision Fund.” SoftBank tidak mengatakan “mundur”, tapi “tidak berinvestasi”. Apakah ini artinya SoftBank memang tidak pernah mengatakan berniat investasi di IKN? Karena, setiap klaim investasi di IKN hanya sepihak saja, hanya dari pihak Indonesia. Investor asing yang katanya berminat tersebut tidak pernah menyatakan minatnya secara langsung, termasuk komitmen berapa besar jumlah investasinya. Setelah SoftBank menyatakan tidak berinvestasi di IKN, perburuan investor mulai ramai lagi, dikejar sampai ke timur tengah, Saudi Arabia, Qatar, Uni Emirat Arab (UEA). Luhut mengatakan Saudi Arabia akan berinvestasi sangat besar. Selain itu, Uni Emirat Arab juga menyiapkan investasi 20 miliar dolar AS. Belum termasuk China dan Abu Dhabi. Begitu klaim Luhut. Tapi sampai sejauh ini tidak ada realisasi atas semua klaim itu. Untuk menambah daya tarik IKN, pemerintah kemudian menawarkan insentif yang luar biasa menakjubkan, dan di luar normal. Investor IKN dapat memperoleh izin hak guna bangunan (HGB) untuk jangka waktu 80 tahun hingga 160 tahun. Pemerintah sekarang klaim lagi, minat investor di IKN membludak. Jokowi sampai terkaget-kaget, terjadi oversubscribed hingga 25 kali lipat. Bombastis sekali? Tetapi, Jokowi harus waspada dengan kabar bombastis seperti ini. Bisa saja hanya sebatas klaim, seperti sebelumnya terjadi pada SoftBank, Saudi Arabia, Qatar, atau Uni Emirat Arab. Apalagi ekonomi dunia sedang lesu, dan banyak yang sudah masuk resesi. Seperti digambarkan media asing, yang secara kompak telah menggambarkan proyek di IKN berpotensi akan gagal. Bahkan mungkin berpotensi mangkrak? (*)

Tarik bin Ziyad bin Soccer Lahir dari Sepakbola

Pemain Maroko itu cerdas-cerdas dan mempunyai vitalitas yang tinggi-tinggi. Kalau sudah lemah dungu lagi maka mati saja dikau. Gak ada tempat di Islam orang-orang seperti kau-kau itu. Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ustadz Kampung JANGAN anggap enteng dan remeh dalam dunia Islam. Mereka yang kita anggap lemah, underdog dan sebutan lain semisal itu yang menunjukkan mereka tak akan berdaya dalam menghadapi yang lebih besar atau raksasa, ternyata bisa membunuh para raksasa itu dengan waktu yang ditentukan. Ini yang terjadi pada Panglima Islam Tarik bin Ziyad bin Soccer Singa Afrika dari Maroko. Panglima perang yang berkulit hitam dan berperawakan kurus krempeng bisa menaklukan Andalusia atau Spanyol saat itu. Itu terulang kembali saat ini. Tarik bin Ziyad versi milenial juga bisa menalkukan tim-tim besar sebagai penjajah dalam dunia yang lain, yakni dunia sepakbola. Spanyol dan Portugal sudah merasakan ampuhnya kekuatan Tarik bin Ziyad bin Soccer itu. Insya’ Allah selanjutnya akan dirasakan negeri penjajah lainnya yakni Perancis. Maka dari itu jangan main-main dengan Islam. Kalian bisa dikalahkan atas campur tangan Tuhan langsung atau melalui usaha umat Islam dalam waktu yang sudah ditetapkan. Jangan salahkan aturan yang sudah disepakati bersama. Kalau menyalahkan aturan yang sudah dibuat bersama maka jangan nonton sepakbola. Nonton aja ondel². Atau bikin aturan sendiri dan lapangan bolakaki sendiri dan main sendiri supaya gak jantungan karena tim dari orang-orang kafirnya kalah. Sebagaimana kata Mezut Ojil, kemenangan Maroko adalah kemenangan Dunia Islam. Maka dari itu kalian sebagai Perokok Berat maka Berhentilah Merokok. Kemenangan Maroko ini sebagai peringatan kepada kalian perokok berat karena itu hukumnya Makruh bahkan bisa Haraaam. Larangan itu muncul dari kata Maroko (MA artinya tidak, dalam bahasa Arab dan roko artinya merokok dalam bahasa Indonesia, jadi Maroko artinya Tidak Merokok). Kalau ada Umat Islam yang masih mendukung Maroko dan masih hobby merokok maka pindah saja kalian dukung ke negeri lain yang membolehkan merokok. Tidak ada yang secara tiba-tiba dan instant muncul untuk mengingatkan kita. Semua berproses demi kemashlahatan dan kelangsungan hidup kita di dunia ini agar lebih bernilai dan bermakna. Bukti nyata di piala dunia ini. Jangan ini hanya dilihat bahwa ini hanya sebuah tontonan olah raga belaka tapi tidak mengandung apa-apa. Ini penuh makna yang hanya bisa dipikir dan dicerna serta dibaca oleh orang-orang yang berotak cerdas alias tidak dungu. Mau jadi orang Islam harus jadi orang Pintar. Kalau mau jadi orang bodoh maka keluar saja dari Islam. Pemain Maroko itu cerdas-cerdas dan mempunyai vitalitas yang tinggi-tinggi. Kalau sudah lemah dungu lagi maka mati saja dikau. Gak ada tempat di Islam orang-orang seperti kau-kau itu. Nanti kita akan menyaksikan pengangkatan tropi piala dunia oleh Tarik bin Ziyad bin Soccer sebagai kemenangan Afrika dan Dunia Islam pertama. Insya’ Allah. Aaaamiiiin. Kalau negeri penjajah lain yang sudah tumbang masa\' yang tersisa gak bisa ditumbangkan? Maju terus Maroko. Wallahu A\'lam ..... (*)

Keteladan Pemimpin

Kepemimpinan negara itu pusat teladan, ibarat mata air yang dari sumbernya mengalir sungai-sungai kehidupan yang memasok air ke hilir. Mutu air di hulu akan memengaruhi mutu kehidupan di hilir. Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia SAUDARAKU, pada momen genting yang menguji keberlangsungan bangsa, para pemimpin politik dihadapkan pada gugatan Mencius. “Adakah perbedaan antara membunuh manusia dengan belati dan membunuhnya dengan salah urus?” Tidak, jawab sang raja. Jika demikian, ujar Mencius, pastikan rumah tangga kerajaan tak menggelar pesta mewah dan mengoleksi kuda gemuk-gemuk, sementara rakyat sekarat kelaparan. Manakala pemimpin negara lebih memperhatikan rakyatnya ketimbang diri mereka sendiri, rakyat akan mengetahuinya dan membuat mereka setia pada pemimpinnya yang menjadikan negara kuat. Dengan meluasnya tendensi “timokrasi” (kekuasaan gila popularitas), tata kelola negara dan perilaku pemimpin, bahkan dlm suasana negeri yg masih dirundung kerawanan dan bencana, cenderung mengedepankan kepentingan oligarkis, kehebatan permukaan dan unjuk kemewahan di depan masyarakat, ketimbang meringankan derita rakyat. Begitu kuat daya pukau kekuasaan dalam mengubah watak seseorang dengan mengikis kemampuan mawas diri. Padahal, dengan mawas diri akan tersadar, kesusahan warga meraih kebahagiaan hidup disebabkan tabiat elit negeri yang tertawan ambisi kekuasaan, keserakahan dan gila hormat yang tak mengenal cukup. Sa’di berkisah, ”Seorang raja yang rakus bertanya kepada seseorang yang taat tentang jenis ibadah apa yang paling baik. Dia menjawab, “Untuk Anda, yang paling baik adalah tidur setengah hari sehingga tak merugikan atau melukai rakyat meski untuk sesaat.” Politik bisa membawa banyak perbedaan untuk kebaikan maupun keburukan. Politik bisa menjadi sumber kebahagiaan manakala para pemimpin bisa jadi simpul tali kasih, rasa solidaritas dan saling menghormati. Pemimpin harus menyadari bahwa jabatan dan kehormatan itu menuntut tanggung jawab melayani rakyat untuk membuatnya hidup berkembang. “Apa yang kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan teladan baginya. Apa yang kuharap dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan mereka,” ujar Confusius. Kepemimpinan negara itu pusat teladan, ibarat mata air yang dari sumbernya mengalir sungai-sungai kehidupan yang memasok air ke hilir. Mutu air di hulu akan memengaruhi mutu kehidupan di hilir. Jernihkan mata air keteladanan dengan meluruskan niat integritas. Niscaya Tuhan akan menunjuki jalan lurus. (*)

Letnan Kolonel TNI Deddy Corbuzier, Hua Ha Ha...

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  SEBAGAI rakyat ikut garuk-garuk kepala dan terpaksa harus tertawa setelah mengetahui YouTuber Deddy Corbuzier mendapat gelar Letkol TNI tituler dari Menhan Prabowo. Tentu hal itu atas persetujuan Panglima TNI. Garuk kepala tidak gatal dan ketawa tidak lucu. Sambil berulang bertanya, Deddy Corbuzier?  Bukan merendahkan tetapi hanya mempertanyakan proporsionalitas dan kapasitas berdasarkan rekam jejak pengalaman khususnya di bidang kemiliteran. Mengapa begitu mudahnya pangkat TNI setingkat perwira menengah diberikan kepada selebriti atau YouTuber Deddy Corbuzier? Harus ada klarifikasi dari Menhan Prabowo atau Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.  Sejumlah pejabat pernah diundang Podcast YouTube Deddy seperti Nadiem Makarim, Luhut Binsar Panjaitan, Ma\'ruf Amin, Edhy Prabowo, Juliari Batubara dan lainnya. Dua nama terakhir akhirnya ditangkap KPK. Kontroversi pun pernah dilakukan karena Deddy Corbuzier mengundang pasangan gay Ragil Mahardika bersama suami Jermannya. Deddy dianggap memberi panggung pada perilaku LGBT.  Mantan pesulap yang kagum pada pesulap Amerika Mark Wilson ini sepulang dari Israel berganti profesi menjadi seorang mentalist. Penampilan unik pada botak, garis rambut dan eye shadownya menjadi \"trade mark\" Deddy. Mualaf keturunan Tionghoa atas bimbingan Gus Miftah ini pensiun  sebagai mentalist dan kemudian menjadi YouTuber. Viewers Deddy cukup banyak.  Penganugerahan pangkat Letnan Kolonel Tituler adalah kejutan bagi Deddy, bagi TNI dan bagi rakyat Indonesia. Bagaimana kualifikasi itu demikian mudah didapat? Diberikan oleh Menhan Prabowo yang sekaligus Ketum Partai Gerindra. Adakah nuansa politik dengan pemberian gelar atau pangkat ini? Teringat akan pemberian gelar Profesor Kehormatan Megawati dari Universitas Pertahanan (Unhan) yang saat itu didampingi oleh Menhan Prabowo pula.  Aturan disiplin militer akan membatasi ruang gerak anggotanya meskipun berpangkat tituler. Rakyat bertanya mampukah aturan itu mengubah dan mendisiplinkan Deddy Corbuzier yang gaya dan tampilan hariannya jauh dari karakter militer?  Lalu peran apa yang akan dimainkan ke depan dengan berbasis rekam jejak pengalaman sebagai pesulap, mentalist, dan youtuber?  Jika ruang media sosial menjadi medan perangnya, maka tampilan sebebas inikah yang akan dilakukan Deddy dalam memanfaatkan medsos untuk kepentingan TNI ? Atau TNI akan membentuk corps baru dipimpin Letkol Deddy Corbuzier yang mungkin bernama Corps Medsos? Ah ada ada saja.  Semakin banyak keanehan dan pertanyaan di era pemerintahan Jokowi dengan Menhan Prabowo ini. Sudah ribut soal jabatan Jokowi tiga periode dan Prabowo sebagai Capres, kini muncul lagi pemberian pangkat Letkol TNI kepada Deddy Corbuzier.  Garuk-garuk kepala tidak gatal dan tertawa tidak lucu.  Letkol TNI Deddy Corbuzier? Hua ha ha. (*)

Sunyi Sepi Politik Tahu Diri

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Bagaimana mungkin  pemimpin yang tak tahu diri, bisa peduli dan memikirkan rakyatnya?. Ditambah lagi banyak pejabat dan politisi, perlahan tapi pasti bertransformasi menjadi penjahat. Kerusakan pada sistem dan orang, telah menjadi duet maut yang menakutkan bagi upaya menghadirkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh yang lemah, yang mendiami NKRI. Ada pergeseran yang begitu  tajam terhadap pemahaman tentang jabatan publik di republik ini. Para pemangku kepentingan lebih senang melakoni tugasnya sebagai sebuah karir, bukan pengabdian. Kehormatan, kewibawaan dan kebanggaan dari tanggungjawab yang diembannya lebih dominan untuk mengejar materi ketimbang pelayanan masyarakat. Ada ketidakseimbangan yang begitu kentara antara kesadaran ideal spiritualnya dengan kesadaran rasional materilnya. Koleksi harta dan jabatan dalam upaya memenuhi kesenangan dunia, mengalahkan keinginan memberi manfaat kepada khalayak dari  kedudukan yang dimilikinya. Entah sistemnya yang sudah rusak yang begitu memengaruhi moral dan mentalitas sumber dayanya. Atau memang manusianya yang memang kering dari karakter dan integritas yang terpuji. Sepertinya faktor sistem dan orang begitu kental menyatu, berkelindan dalam tata kelola penyelenggaraan negara yang terus distortif. Saling memanfaatkan, saling menguasai dan saling melindungi, menjadi potret paling nyata dari sebuah tradisi perilaku kekuasaan yang \"semau gue\", \"yang penting gue\" dan \"demi gue.\" Masa bodoh dengan orang lain, ngga peduli dengan urusan rakyat dan ngga mau tahu nasib negara bangsa ini. Perangai penuh kebohongan, mengambil yang bukan haknya dan tega membuat orang lain  menderita karena ulahnya, menjadi unsur dominan dari pengambil kebijakan yang dibesarkan oleh citra dan kemasan yang molek. Tak peduli sebusuk apapun isinya yang penting bungkusnya cantik, indah dan enak dipandang. Soal rasa, sudah bisa dipastikan seperti apa dari aroma busuknya yang mengular meski ditutup-tutupi serapi mungkin. Kenikmatan hidup yang bergelimang fasilitas dan kemewahan, mungkin menjadi motif utama setiap orang berebut jabatan dan berupaya keras mempertahankannya. Tak peduli cara apapun yang harus ditempuh, yang penting jabatan dan kekuasaan tetap digenggamnya. Dengan cara halal atau haram tak masalah, asal yang  menjadi tujuan tercapai. Persetan dengan kinerja bobrok atau berprestasi, yang utama tebal muka dan tebal kantong untuk sekedar memimpin lebih lama, betapapun banyak yang muak untuk sekedar melihatnya. Takut kehilangan kenyamanan hidup yang mengandalkan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Membuat banyak orang terlebih para pejabat dan politisi, semakin takut memiliki prinsip-prinsip sebagai manusia yang penuh kesederhanaan dan menjunjung kemuliaan. Takut miskin karena kejujuran, dan takut tak dianggap orang karena tak punya apa-apa, membuat banyak petinggi negara lebih suka menjadi penjahat tapi terhormat, menganggap berjaya meski berbuat aniaya. Susahnya kalau buruk tapi ingin dianggap baik. Betapa ngeyelnya mengaku benar meskipun sesungguhnya salah. Ketidakmampuan menghadirkan kemakmuran dan keadilan bagi rakyat, diganti dengan gaya hidup borjuasi diri, keluarga dan kelompoknya. Aji mumpung, mumpung punya jabatan, mumpung sadar dalam kekhilafan. Meskipun mengetahui hitam putihnya, jalan  sesat atau jalan lurus, persetan dengan semua itu, yang penting asyik mudharatnya. Tak berdaya karena kelemahannya, berusaha selamat dengan menjual harga diri sembari ingin tetap berkuasa. Menjegal bila ada yang mengganggu,  kalau perlu membunuh jika ada yang mengancam kepentingan dan keselamatannya. Sebuah kepalsuan yang ingin tampil seolah-olah nyata, sebuah kebohongan yang ingin diakui dan dipaksakan kebenarannya. Seperti sulitnya menemukan pemimpin yang mengenal hakikat dirinya, seperti sulitnya mencari pejabat dan politisi yang tahu diri. Negeri yang begitu sunyi sepi politik tahu diri. (*)