OPINI
Ketika Parpol Merampok Hak Demokrasi
Tentu akan lebih jahat lagi ketika partai politik itu dikuasai oleh kekuatan uang atau oligarki. Terjadilah kongkalikong kepentingan para elit politik dan keuangan yang maha kuasa. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, Putra Kajang Asli DALAM dunia demokrasi warga negara (citizen/people) menjadi rujukan kekuasaan. Tentu dalam spirit Islam, Tuhanlah sebagai penguasa masyarakat (people) yang menjadi rujukan tertinggi. Sehingga harapannya “the people” (masyarakat atau warga) dalam visi Islam harus sadar Tuhan. Hanya dengan demikan masyarakat dapat dikategorikan sebagai “Wakil Tuhan” di bumi. Tapi terlepas dari idealisme demokrasi yang berketuhanan (dengan spirit Islam) itu memang dalam konsep demokrasi masyarakatlah yang sesungguhnya menjadi rujukan kekuasaan. Istilah klasiknya: by the people and for the people (dari/oleh dan untuk masyarakat). Yang menjadi masalah memang, sebagaimana sistem perpolitikan yang lain, termasuk yang berbasis agama sekalipun, kerapkali sistem dipermaikan oleh ragam tendensi kepentingan oleh mereka yang punya kepentingan tertentu. Sehingga, idealisme demokrasi kerap dirampok dan terdegradasi ke titik terendah. Berbagai upaya dilakukan atau dimanipulasi untuk melemahkan nilai demokrasi. Dan lebih jahat lagi bahwa semua dilakukan juga atas nama demokrasi. Sehingga berbagai kejahatan dan manipulasi itu seolah “justified” (dibenarkan) secara konstitusional. Pada akhirnya melahirkan apa yang pernah saya sebut “constitutionalized crime” (kejahatan yang bisa dibenarkan secara hukum). Fakta ini mengingatkan saya tentang suatu hal yang Dr. Anies Baswedan sampaikan di acara KAHMI 3 hari lalu. Beliau menyampaikan bahwa kebijakan publik itu perlu etika dan inovasi. Karena tanpa etika akan ada kebijakan-kebijakan publik yang mungkin saja secara hukum benar. Tapi secara etika dan moral menginjak-nginjak kebenaran dan hati nurani. Partai Politik dan Demokrasi Partai-partai politik dalam tatanan demokrasi sesungguhnya sekedar menjadi jembatan bagi ekspresi kedaulatan pemangku kekuasaan tertinggi (rakyat). Karenanya di negara-negara maju, Amerika misalnya, petinggi-petinggi partai politik tidak memiliki peranan yang menentukan. Hampir Chairperson (ketua) dari dua partai besar Amerika (Demokrat dan Republican) tidak dikenal. Hal ini sangat berbeda dengan banyak negara, termasuk Indonesia. Di mana partai-partai politik, bahkan petinggi-petinggi partailah yang lebih dominan dalam menentukan arah perjalanan demokrasi dan kebijakan publik. Akibatnya petinggi negara yang terpilih harus rela menjadi “pekerja politik” yang tidak jarang terkungkung oleh arah kemauan “bos” partai pengusung. Salah satu dilemma terbesar perpolitikan dan demokrasi di Indonesia adalah persyaratan seorang calon posisi publik, baik di eksekutif maupun di legislatif, yang secara dominan ditentukan oleh partai politik. Terlebih lagi posisi publik eksekutif, dari Kepala daerah hingga ke Kepala negara, juga ditentukan oleh partai politik. Bahkan lebih masalah lagi ketika pencalonan itu dengan persyaratan yang berat, minimal 20% dukungan suara dari partai politik. Di Amerika Serikat penyaringan calon dari masing-masing partai, waktu secara internal partai ada persyaratan-persyaratan untuk maju, tapi pada akhirnya ketentuan itu ada di tangan pemilih (rakyat). Sehingga proses pemilihan calon dari partai melibatkan pilihan rakyat. Bahkan jika calon tidak lolos dalam pemilihan (seleksi) pencalonan, yang bersangkutan sah saja maju sebagai calon independen jika memiliki dukungan (dalam bentuk petisi) dari masyarakat. Saya hanya ingin mengatakan bahwa idealisme demokrasi seringkali terculik oleh berbagai kepentingan. Salah satunya adalah kepentingan partai-partai politik. Seolah hak setiap warga negara terbatasi bahkan teramputasi oleh kepentingan partai politik. Hak untuk maju sebagai calon. Dan juga hak untuk menentukan siapa calon yang diinginkan oleh rakyat. Tentu akan lebih jahat lagi ketika partai politik itu dikuasai oleh kekuatan uang atau oligarki. Terjadilah kongkalikong kepentingan para elit politik dan keuangan yang maha kuasa. Penentuan calon, baik itu di legislatif maupun di eksekutif, bahkan yudikatif, ditentukan oleh kolaborasi kepentingan partai dan kepentingan uang (oligarki). Jika ini terjadi maka negara dan rakyat pada akhirnya hanya akan menjadi “slaves” (budak) kekuasaan yang tidak pernah berujung kepada harapan panjang mereka. Yaitu terujudnya “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafur”. Atau seperti yang dijanjikan oleh negara melalui pesan Pancasilanya, yaitu: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kapankah perubahan itu akan terjadi? Entah! Ci-Makassar, 28 Nopember 2022. (*)
La Nyalla Menjebak Jokowi Atau Ikut Menjegal Anies Baswedan?
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN SUDAH lima hari berlalu. La Nyalla Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), mendukung penambahan masa kekuasaan Jokowi dua atau tiga tahun. Tentu saja melalui penundaan pemilu 2024. Termasuk penundaan pilpres. Pernyataan La Nyalla di depan Munas HIPMI pada 21 November 2022 itu masih menjadi pembicaraan luas. Mengapa? Mungkin disebabkan rasa heran publik, mengapa La Nyalla tiba-tiba berbalik arah. Sulit dipercaya. Bagaimana mungkin La Nyalla putar haluan begitu saja. Tak ada angin, tak ada petir. Padahal, dalam setahun ini La Nyalla menunjukkan tentangan kerasnya terhadap penambahan masa kekuasaan Jokowi. Kenapa La Nyalla mendadak berubah total? Apa yang salah? Dan bagaimana dengan perlawanan terhadap penambahan masa kekuasaan Jokowi? Tidak mudah menjawan pertanyaan-pertanyaan ini. Tapi, kalau dilihat catatan masa lalu La Nyalla, perubahan mendadak itu tidak mengherakan. Sebab, La Nyalla pada dasarnya adalah pendukung Jokowi. Di pilpres 2019, sebagai contoh, Pak Nyalla ikut aktif mengkampanyekan kemenangan Jokowi. Emosi dan loyalitas La Nyalla untuk Jokowi sampai memunculkan kasus “potong leher”. Di pilpres 2019, La Nyalla berucap “Potong leher saya kalau Prabowo menang di Madura.” Sumpah ini ditagih setelah Prabowo menang. La Nyalla berkilah. Lehernya tak jadi digorok. Dulu, pada pilpres 2014, La Nyalla memojokkan Jokowi. Dia menyebut petugas partai PDIP itu terlibat PKI, Kristen dan keturunan Tionghoa. Tetapi pada 28 Oktober 2018, La Nyalla bertemu langsung dengan Jokowi. Dia meminta maaf atas ucapannya. Jokowi mengatakan dia memaafkan La Nyalla. Dalam pertemuan dengan para ulama di masjid Baitussalam, Bogor, pada 21 November 2018, Jokowi menunjukkan kemarahannya terhadap tudingan bahwa dia PKI. Di depan para ulama, Jokowi menjawab apa yang ia sebut fitnah itu. “Saya sudah empat tahun ini banyak isu, ada isu tapi saya tidak pernah menjawabnya, tapi kali ini mumpung bertemu para ulama saya ingin sampaikan,\" kata Jokowi. Ungkapan kemarahan dilanjutkan Jokowi ketika membagi-bagikan sertifikat tanah di Lampung Tengah pada 23 November 2018. Dia berkata, dia akan mencari orang yang memfitnahnya. Jokowi mengatakan dia akan menabok orang itu. Menyusul peringatan keras Jokowi itu, La Nyalla pun kelihatan tersindir. Walaupun dia sudah meminta maaf dan Jokowi menerimanya. Memang tidak jelas siapa yang dimaksud Jokowi “mau saya tabok, orangnya di mana, saya cari betul” (Tempo, 11 Desember 2018). Pada 11 Desember 2018, La Nyalla mendatangi Kiyai Ma’ruf Amin di Jakarta. Kiyai Ma’ruf waktu itu berstatus sebagai cawapres Jokowi untuk pilpres 2019. La Nyalla menyatakan dia akan memenangkan Jokowi-Ma’ruf. Mantan Ketua MPW Pancasila Jawa Timur ini memang habis-habisan mengkampanyekan Jokowi. Sekaligus, La Nyalla meninggalkan Prabowo yang semula didukungnya. Setelah Jokowi duduk sebagai presiden 20 Oktober 2019, pelan-pelan La Nyalla menjauh. Di bulan Juni 2021, mantan ketua umum PSSI (2012-2016) ini mulai mengkritik Jokowi. La Nyalla mengatakan dia telah mengunjungi 32 provinsi. Dia melakukan diskusi dengan berbagai simpul masyarakat, terutama kalangan perguruan tinggi. Dia simpulkan bahwa keadaan amburadul yang melanda Indonesia akhir-akhir ini bukan karena masalah yang terjadi di hilir melainkan karena masalah di hulu. Pernyataan Ketua DPD ini menurujuk pada kebijakan Jokowi yang berada di hulu masalah. Indikator utamanya adalah pengurasan sumber daya alam daerah dan kemiskinan akut di daerah. Sinyalemen La Nyalla ini sebetulnya juga kesimpulan yang dirumuskan oleh para ekonom senior. Artinya, Jokowi bukan presiden yang prorakyat. Dia adalah presiden untuk para konglomerat hitam yang tergabung dalam oligarki bisnis. La Nyalla semakin tajam. Dalam banyak kesempatan dia menunjukkan sikap yang berseberangan dengan Jokowi. Dia pun bersumpah akan menghadang upaya Jokowi untuk berkuasa tiga periode maupun mendapatkan perpanjangan masa jabatan 2-3 tahun lewat penundaan pemilu/pilpres 2024. Sepanjang 2022, La Nyalla menjadi salah satu bintang oposisi. Di bulan Maret, La Nyalla mengajak para ulama untuk menolak perpanjangan masa jabatan Jokowi. Dia juga mencela Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) yang bermaksud mendeklarasikan Jokowi tiga periode. Bulan berikutnya (April) dia mengkritik tindakan Jokowi melarang ekspor CPO (minyak sawit) di tengah krisis minyak goreng. Seminggu sebelumnya, La Nyalla memperingatkan agar Luhut Panjaitan menghentikan polemik penundaan pemilu 2024. Seiring dengan itu, ketua DPD meremehkan Big Data yang sempat dimunculkan oleh Menko Marinves tersebut. Kritik La Nyalla keluar bertubi-tubi. Dia dinilai berani menghadapi Luhut yang kekuasaannya sangat besar. Seterunya pada bulan Mei 2022, La Nyalla membuka pintu bagi pihak-pihak yang ingin memakzulkan (meng-impeach) Presiden Jokowi. “Saya tak bisa menghalanginya,” kata La Nyalla. Karena keberaniannya mengkritik penguasa, sejumlah elemen masyarakat di Jawa Timur mendeklarasikan La Nyalla sebagai capres 2024. Dia dihormati kaum buruh karena berani menentang Omnibus Law (UU Cipta Kerja). Ia tampak serius melawan undang-undang yang disebut tak berpihak kepada rakyat itu. Di DPD, La Nyalla membentuk pansus (panitia khusus) Omnibus Law. Nama La Nyalla semakin harum. Dia dikatakan sebagai pimpinan lembaga tinggi negara yang membawa aspirasi daerah. La Nyalla menjadi salah satu harapan rakyat untuk menghentikan kesewenangan. Publik berharap La Nyalla, sebagai penjaga konstitusi, akan menutup rapat upaya untuk memperpanjang masa jabatan Jokowi beberapa tahun atau bahkan mendapatkan tiga periode. Dia konsisten menentang. Tetapi, entah karena apa, La Nyalla mendadak mempersilakan Jokowi melanjutkan kekuasaan dua tahun atau tiga tahun seperti diuraikan di bagian awal tulisan ini. Pemilu/pilpres 2024 ditiadakan. Hanya dengan syarat diterbitkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945 asli. Kata La Nyalla, Jokowi perlu tambahan 2-3 tahun karena selama dua tahun belakangan Presiden habis waktunya karena Covid-19. Jadi perlu semacam “injury time” untuk Jokowi. Nah, itukah satu-satunya motif La Nyalla? Tak masuk akal. Meskipun dia bersumpah tidak punya tujuan lain. Di tengah upaya gencar untuk menjegal Anies Baswedan ikut pilpres, dan berpeluang besar untuk menang, usul penundaan pemilu/pilpres 2024 dari La Nyalla hanya cocok untuk dikaitkan dengan skenario ini. Publik sulit menerima penjelasan La Nyalla bahwa dia semata-mata ingin mengembalikan UUD 1945 dengan naskah asli. Mantan politisi Gerindra ini pastilah akan dituding ikut menjegal Anies. Kemungkinan lain ialah La Nyalla mau menjebak Jokowi agar melanggar konstitusi. Dugaan ini sangat lemah. Sebab, langkah-langkah yang menyerempet pelanggaran UUD sudah sering dilakukan Jokowi. Dia tidak peduli. Ada satu hal yang pasti. Bahwa La Nyalla terkenal zig-zag. Watak seperti bertentangan dengan keinginan rakyat akan perubahan dan perbaikan Indonesia. Usul perpanjangan masa jabatan Jokowi sama dengan perpanjangan kekuasaan Oligarki.[]
Anwar Ibrahim, The Lion of Malays
DSAI adalah panutan politik untuk Islam Rahmatan Lil Alamin, yakni membangun peradaban berbasis anti korupsi, kemanusiaan, dan keadilan sosial bagi rakyat miskin. Oleh: DR. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle HILMY Bakar Almascaty, keturunan pendiri Al-Irsyad, seorang yang pernah menjadi penghubung antara Datok Sri Anwar Ibrahim (DSAI) dan Adi Sasono, meminta saya untuk menulis tentang fenomena DSAI ini, serta sepak terjang perjuangannya dan harapan ke depan. Sebab, DSAI, yang baru saja menjadi Perdana Menteri Malaysia, kemungkinan besar akan mempunyai pengaruh pada kebangkitan Islam dunia. Di samping itu, Hilmy juga menyertakan tulisannya terkait DSAI, yakni “Ada Apa Dengan Taliban Nusantara”, Republika (7/8/2019). Tulisan itu menceritakan peranan DSAI menghimpun para Mujahidin dari Indonesia untuk berperang di Afganistan, tahun 1980-an. Ketika itu DSAI adalah menteri yang sangat dipercaya Perdana Menteri Malaysia. Menulis tentang DSAI ini tidaklah mudah. Karena kita akan berbicara tentang perjuangan panjang seorang manusia yang gagah berani, hidup dari penjara ke penjara, dan penuh dengan gagasan yang bersifat ideologis. Manusia satu ini adalah barang langka, ketika kita membandingkan dengan manusia-manusia elite di negeri ini, ada yang bangga jadi boneka, ada yang bangga memukul-mukul meja sambil berteriak perjuangan sampai titik darah penghabisan; Ada yang bangga menghimpun semua oposisi di kantornya, tapi kemudian dengan entengnya mendukung perpanjangan masa jabatan presiden secara inskontitutional, dan banyaknya manusia-manusia pelacur politik, yang hidupnya terjebak antara “stick and carrot”. Tentunya tidak hanya di sini, tapi di Malaysia juga. Beberapa orang telah mengulas DSAI, tapi kelihatannya tanpa makna. Karena sejarah manusia bukanlah soal deskripsi fungsi fakta terhadap waktu. Ada juga yang membuat meme “Dari Penjara Ke Istana; Dari Istana Ke Penjara”, membandingkan DSAI vs Dato\' Najib, di Malaysia. Tapi tulisan yang beredar sejauh ini tidak mengulas apa yang dipikirkan dan diperjuangkan DSAI. Bagaimana efeknya pada kebangkitan Islam di dunia? Bagaimana kebangkitan Bangsa Melayu di Asia Tenggara? Kita harus dapat membahas hal itu. Ideologi Anwar Ibrahim DSAI adalah Islam Fundamentalis pada masa mudanya. Pada awal 70 an dia mendirikan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), lalu menjadi presiden ABIM selama 9 tahun sejak 1974. Organisasi ini mempunyai visi menjadikan Malaysia sebagai bangsa yang merujuk pada Islamic World of View. Perempuan-perempuan ABIM adalah generasi pertama pemakai Jilbab di Malaysia sebagai bentuk kesadaran baru tafsir Islam atas pakaian wanita. Resikonya mereka di-bully sekian lama dan bertahun-tahun. Gerakan tersebut juga melakukan internasionalisasi gerakan Islam, seperti mengimpor pikiran-pikiran pendiri Ikhawanul Muslimin, Jamaat Al Islami, Dewan Dakwah Islam Indonesia, dlsb. (Lihat buku panduan 50 tahun ABIM, https://online.anyflip.com/obtem/jcih/mobile/index.html). Untuk gerakan ini, DSAI pernah ditahan oleh intelijen Malaysia, merujuk pada UU “ISA” (Internal Security Act). Pada saat pidato di Menara Telkom, Jakarta, 2004, atas undangan almarhum Adi Sasono, sepekan setelah keluar penjara yang dijalani selama 5 tahun itu, DSAI menyampaikan bahwa ketika muda dia dirayu untuk masuk Ikhwanul Muslimun, organisasi yang di Indonesia mungkin tercermin pada PKS, namun DSAI menjelaskan bahwa cukup baginya mempunyai panutan dari Bangsa Melayu, yakni Muhammad Natsir. Menurutnya Natsir sebanding dengan para pendiri Ikhwanul Muslimin, seperti Hasan Albana dan Sayid Qutub. Pernyataan DSAI tentang Natsir dan kedekatannya dengan pejuang Islam militan di Indonesia, seperti Muhammad Imaduddin Abdurahim dan Adi Sasono, menunjukkan DSAI yang telah menjadi oposisi di Malaysia tidak berubah garis ideologisnya. Namun, Islam bagi Anwar bukanlah ideologi eksklusif, yang hanya relevan untuk kepentingan kaumnya. Tapi, Islam menurutnya menjadi rahmat bagi semesta alam. Kembali ke awal masa pergerakan DSAI, sejarah mencatat DSAI terlibat dalam gerakan kampus dan mahasiswa yang anti pada pemerintahan. Dalam aksi solidaritas atas nasib petani yang semakin miskin saat itu, pada Desember 1974, DSAI melancarkan protes, yang mengakibatkan dia ditahan selama dua tahun oleh pihak keamanan Malaysia. Isu anti pemerintah dalam konteks model dan strategi pembangunan memang lagi trending pada masa itu, di berbagai negara berkembang. Di Indonesia era pembangunanisme yang dijalankan pemerintah Suharto dikecam oleh aktifis kampus pada Januari 1974. Kritiknya sama dengan yang terjadi di Malaysia, pembangunan dilakukan lebih untuk menguntungkan investor ketimbang rakyat. Yang mengalami kekejaman akibat kritik itu, di Indonesia adalah Hariman Siregar dan kawan-kawannya. Sama seperti Anwar Ibrahim, mereka dipenjarakan. Munro Kua, dalam “Athoritarian Populism in Malaysia”, mengatakan bahwa spektrum gerakan yang melibatkan DSAI pada era 70-an itu menunjukan perjuangan DSAI tidak terjebak pada ideologi tertentu. Sebab, bersama DSAI, banyak tokoh-tokoh nasionalis yang ditangkap. Bahkan, Mahathir Mohamad sebagai Menteri Pendidikan saat itu cenderung menuduh gerakan mahasiswa dan kampus itu ditunggangi Komunis. Tafsir lainnya atas gerakan DSAI yang sejak muda terbiasa dengan berbagai elemen perjuangan, menunjukkan bahwa pandangan keislaman DSAI beradaptasi pada kepentingan perjuangan bersama. Ketokohan DSAI sebagai mahasiswa dan pemuda tahun 70-80 an membuat Mahathir Mohamad, pada tahun 1982, Ketua UMNO dan saat itu Perdana Menteri Malaysia merekrut DSAI untuk bergabung ke partai UMNO. UMNO jika di Indonesia kala itu mirip dengan Golkar era Suharto, partai penguasa. Sejak tahun 1983, setahun setelah bergabung, DSAI menjadi menteri dengan berbagai portofolio dalam kabinet Mahathir Mohamad sampai tahun 1998, menjadi Wakil Perdana Menteri. Era saat DSAI bergabung ke UMNO, partai yang mengusung tema kebangsaan atau Melayu, pandangan keislaman Anwar tidak berubah. Namun, Anwar bermetamorfosis dalam dua isu, yakni persatuan Melayu Raya, yang mencakup bangsa-bangsa Melayu di Asean serta jaringan internasional Islam. Pada isu Melayu Raya, misalnya DSAI terlibat dalam kerjasama memajukan Melayu dengan BJ Habibie, sejak pertengahan tahun 90-an. Dalam konteks Islam, DSAI terlibat dalam penggalangan kekuatan milisi Islam untuk bantu bertempur melawan Rusia di Afganistan era 80 an (Hilmy Bakar Almascaty dalam “Ada Apa Dengan Taliban Nusantara”), aktif dalam forum-forum Islam dunia dan juga mendirikan Universitas Islam Antar Bangsa di Malaysia. Dia juga men-support kehidupan tokoh-tokoh Islam garis keras Indonesia yang mengalami tekanan di era Presiden Suharto, seperti Muhammad Imaduddin Abdurrahim, untuk berkiprah di Malaysia maupun di dunia. Pada tahun 1998, bulan September, Mahathir Mohamad memecat DSAI dari jabatan Deputi Perdana Menteri, Menteri Keuangan dan sekaligus dari UMNO. Masa itu adalah masa kritis di negara-negara Asean akibat krisis moneter, khususnya di Indonesia telah membangkrutkan ekonomi kita dan sekaligus menjatuhkan Suharto dari kekuasaan. Di Malaysia DSAI mempunyai pandangan yang berbeda dengan Mahathir Mohamad dalam menyelesaikan persoalan krisis ekonomi tersebut, disamping itu DSAI secara konsisten terus menerus mengkritik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang melibatkan keluarga Mahathir dan para menteri. Akhirnya Mahathir marah kepada DSAI. “Human Right Watch”, dalam “Malaysia: Former Deputy Prime Minister Ibrahim Arrested” (23/10/1998) mengungkapkan kelompok loyalis Mahathir melakukan propaganda “50 sebab kenapa Anwar Ibrahim tidak pantas jadi Perdana Menteri”, memuat point DSAI seorang koruptor dan homoseks. Setelah propaganda ini, DSAI ditangkap dan dipenjara selama 5 tahun untuk tuduhan korupsi dan tahun berikutnya dituduh kasus sodomi, dijatuhkan hukuman 9 tahun. Namun, kasus terakhir ini dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, karena tidak ada buktinya. Perlawanan DSAI, keluarganya dan loyalisnya terhadap pemerintah telah menjadikan DSAI menjadi tokoh oposisi di Malaysia. Apa yang berubah ketika dia menjadi oposisi? Apa refleksinya? Selama menjadi oposisi dan dipenjara, DSAI mengalami sebuah refleksi bahwa istilah pribumi versus non-pribumi di Malaysia, yang selama ini menjadi dasar pijakan UMNO, adalah sebuah kelicikan. Atas nama pribumi para elit-elit UMNO dan menterinya melakukan korupsi yang tidak bisa dikontrol. DSAI yang sebelumnya menempatkan isu pro pribumi, sebagai tokoh UMNO, selama 15 tahun, mengalami perubahan pandangan dan sikap, yakni lebih mementingkan isu anti korupsi, kesamaan manusia (humanity) dan keadilan sosial. Ini yang membuat DSAI membuat Partai Keadilan Rakyat (PKR) dan aliansinya dengan berbagai partai sekuler dan multi etnik. Jalan lurus yang dipilih DSAI pada 2018 secara mengejutkan didukung oleh mantan orang yang memenjarakan dia yakni Mahathir Mohamad. Mahathir yang kecewa dengan kegagalan demi kegagalan UMNO, pada tahun 2018 itu membuat Partai Pribumi dan bersekutu dengan Anwar Ibrahim dalam aliansi Pakatan Rakyat. Anwar yang dizalimi rezim dengan tuduhan Sodomi kedua, diputuskan pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung untuk dipenjara 5 tahun. Padahal pengadilan negeri telah menganulir tuduhan itu, tidak berdasar. Mahathir berjanji jika dia menjadi Perdana Menteri akan meminta Raja Malaysia mengeluarkan DSAI dari penjara, memulihkan nama baik dan terakhir memberikan posisi Perdana Menteri itu kepada DSAI pada tahun 2020. Ternyata Mahathir berhasil menjadi Perdana Menteri dan hal-hak politik DSAI dipulihkan. Meskipun Mahathir tidak menepati janjinya untuk membagi jabatan Perdana Menteri pada tahun 2020 itu, namun Datok Sri Anwar Ibrahim sudah menjadi “Singa” yang tidak terkalahkan sebagai tokoh utama oposisi Malaysia. Auman Singa menakutkan seluruh negeri. Akhirnya, seluruh raja Malaysia berunding dan menyerahkan tongkat kepemimpinan nasional di tangan DSAI beberapa hari lalu. Dampak Kepemimpinan DSAI Terhadap Dunia Islam dan Indonesia DSAI, dalam usianya yang 75 tahun, menjadi sangatlah matang dalam berpolitik. Pada skala global, DSAI menunjukkan sikap netralitas atas persaingan kekuatan besar di Asia Pasifik. Dalam Anadolu Agency, kantor berita Turki, “Anwar Ibrahim Dorong Malaysia yang Netral di Tengah Persaingan Kekuatan Besar di Asia Pasifik” (25/ 7/22), Anwar menyebutkan akan berhubungan baik dengan barat dan sekaligus China. Menurutnya, Erdogan adalah contoh baik yang akan dia tiru, yakni meski anggota NATO, tapi menjalin hubungan baik dengan Rusia. Setelah DSAI menjadi Perdana Menteri, SCMP (25/11/22) menulis “Malaysia’s China policy to stay on even keel under Anwar Ibrahim with economy main focus, analysts say”, yang menunjukkan bahwa DSAI akan mengambil jalan netral dari pertarungan geopolitik di Asia Pasifik itu. Pikiran DSAI ini adalah pikiran “Tidak Timur dan Tidak Barat”. Di sini ajaran Islam, baik value maupun praxis, bisa menjadi peluang untuk ditawarkan. Ini merupakan kematangannya sebagai tokoh senior dalam politik Islam dan politik Asia Tenggara. Dalam era krisis global, tentu saja peranan DSAI untuk bisa mempengaruhi tatanan dunia baru multipolar mendapatkan peluang juga. Apalagi Malaysia sebagai negara \"Commonwealth\" mempunyai “club” barat yang berpengaruh. Disamping kemungkinan DSAI menggerakkan jejaring Islamnya. Bagaimana dampak kepemimpinan DSAI terhadap Indonesia? Sebagaimana diketahui elit-elit Indonesia banyak yang menjalin hubungan baik dengan DSAI, sebagiannya mengagumi ketokohan politiknya. Dalam spektrum politik, masyarakat Melayu dan “Islam modernis”, yang jumlahnya secara kasar mencapai 50% penduduk Indonesia, membuka diri atas representasi ketokohan dan pikiran-pikiran DSAI. Disamping itu Malaysia selama ini menjadi destinasi jutaan pekerja migran kita dan juga tempat menimba ilmu bagi mahasiswa kita. Keterhubungan ini membuat cepat atau lambat pengaruh DSAI dan pikirannya akan berproses di sini. Bahkan, bisa jadi dengan hilangnya figur kepemimpinan nasional Indonesia yang berkelas internasional, akan membuat DSAI menjadi idola di sini. Pertumbuhan ekonomi Malaysia yang double digit Q3 kemarin dan teknologi serta keunggulan jejaring keuangan, termasuk ekonomi syariah, akan semakin solid ditangan DSAI. Kematangan DSAI di dunia keuangan, sebagai menteri keuangan hampir 10 tahun, akan memperkuat kembali Malaysia sebagai hub internasional financial market. Pada posisi ini tinggal Indonesia apakah akan memanfaatkan Malaysia untuk tumbuh bersama atau merasa tersaingi dalam kepemimpinan DSAI tersebut. Apabila Indonesia seperti selama ini, tidak menyukai Islam sebagai sebuah pedoman kehidupan, khususnya di era Jokowi, maka kemungkinan besar “energi\" umat Islam Indonesia nantinya akan terafiliasi dengan kepemimpinan DSAI. Tentu formatnya masih perlu diprediksi. Setidaknya, di era digital ini, semua hal lebih gampang terjadi lintas batas negara. Penutup Datuk Sri Anwar Ibrahim (DSAI) merupakan tokoh besar Bangsa Melayu. Juga tokoh besar Islam. Kerasnya kehidupan yang dialaminya dan bermetamorfosanya pikiran politik yang melandasi perjuangannya membuatnya menjadi sosok yang teramat tangguh. DSAI adalah panutan politik untuk Islam Rahmatan Lil Alamin, yakni membangun peradaban berbasis anti korupsi, kemanusiaan, dan keadilan sosial bagi rakyat miskin. Sebagai pemimpin, bagi DSAI hidup berkuasa adalah pengabdian, sebuah amanah, bukan mengumpulkan harta benda. Dalam situasi defisit tokoh sekelas Datok Anwar, di Asia Tenggara, besar kemungkinan DSAI akan dijadikan figur oleh Bangsa Melayu yang tersebar di berbagai wilayah Asia Tenggara, ummat Islam di berbagai negara dan rakyat miskin dunia. Semua orang membicarakan fenomena Datok Anwar Ibrahim ini. Dia adalah Singa Bangsa Melayu (The Lion of Malays), tapi bisa pula dia menjadi Lion of Islam, yang membangkitkan Islam seluruh dunia, sebagaimana diperkirakan bahwa Islam akan bangkit abad ini dari Timur. (Demikian tulisan ini di tulis di Kebon Raya, Lake View Bedugul dan Pantai Sanur, Bali, 27/11/22, @57 years My Age). (*)
Negara Butuh Dwi Tunggal Latar Belakang Intelijen (Bag-2)
Oleh Kisman Latumakulita – Wartawan Senior KEPALA Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Polisi (Purn.) Prof. Dr. Budi Gunawan, yang biasa disapa dengan sebutan “Bang BG atau Mas BG” bisa menjadi kandidat calon Presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Untuk mengakhiri kebuntuan di internal DPI-P antara Puan Maharani dan Ganjar Pranowo, Ketua Umum Megawati Soekarnoputri mungkin bisa mendorong Bang BG sebagai calon Presiden. Bang BG bisa menjadi calon alternatif dari PDIP. Toh, publik sudah sangat paham dan mengerti kalau Bang BG memliki kedekatan tidak langsung (moral) dengan PDIP. Kedekatan Bang BG kepada PDIP tersebut hanya bisa dirasakan. Namun tidak bisa untuk dibuktikan seperti apa bentuk kedekatan itu? Ya, seperti umumnya angin yang keluar dari bagian belakang (bau kentut). Hanya bisa untuk dirasakan (dicium) baunya. Namun tidak bisa dibuktikan seperti apa wujud dari angin yang keluar dari belakang itu. Kedekatan moral kepada PDIP selama ini, sama-sekali tak mengganggu tugas-tugas kenegaraan yang diamanahkan kepada Bang BG. Tidak terjadi conflick of interest dengan tugas-tugas yang diemban bang BG Kepala BIN. Begitu juga ketika menjabat sebagai salah satu unsur pimpinan Polri. Semua tugas dan tanggung jawab bang BG dilaksanakan sesuai kewajibannya. Walaupun ada tugas-tugas yang sukses diemban bang BG, namun ada juga yang belum sukses dilaksanakan. Semuanya itu masih dalam batas-batas yang normal dan wajar. Publik bisa memahami dan menerima kenyataan kedekatan emosional bang BG dengan PDIP, karena bang BG pernah menjabat sebagai Ajudan (ADC) Presiden saat Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden Indonesia ke-5. Sebelumnya ketika Megawati menjadi Wakil Presiden untuk Presiden KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), bang BG juga yang menjadi ajudan Wakil Presiden Megawati. Wajar dan normal-normal saja kalau para ajudan memiliki kedekatan dengan pejabat negara yang pernah dijalani. Hanya Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri adalah satu-satunya yang memiliki hak mutlak (prerogatif) untuk menentukan siapa Calon Presiden (Capres) untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 nanti. Tidak bisa dipungkiri bahwa hingga ini Megawati belum membuat keputusan tentang siapa kandidat Capres dari PDIP. Kader PDIP yang paling menonjol untuk menjadi kandidat Capres 2024 dari PDIP sekarang adalah Ketua DPR Puan Maharani dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Dukungan di kalangan akar rumput dan elit politik PDIP terkesan terbelah. Sebagian besar elit terlihat PDIP mendukung Puan Maharani. Namun sebagian akar rumput PDIP sepertinya mendukung Ganjar Pranowo. Teguran dan peringatan DPP PDIP dikeluarkan kepada kader PDIP yang nyata-nyata melanggar disiplin partai soal kandidat Capres ini. Misalnya, Ganjar Pranowo dan mantan Walikota Solo FX. Hadi Rudyatmo ditegur DPP PDIP agar tidak membuat gerakan-gerakan politik tentang kandidat Capres 2024 dari PDIP yang mendahului keputusan Ketua Umum Megawati. Menghadapi kemungkinan kebuntuan antara Puan Maharani dan Ganjar Pranowo, tidak ada salahnya bila bang BG ikut dipertimbangkan sebagai salah satu kandidat Capres 2024 dari PDIP. Situasi global yang tak menentu sekarang, membuat bangsa Indonesia membutuhkan kandidat Capres atau Cawapres (Dwi Tunggal) yang berlatar belakang intelijen. Apalagi menghadapi krisis ekonomi global yang sudah masuk di ruang tamu rumah bangsa Indonesia. Setelah krisis ekonomi dan politik tahun 1965, Indonesia bisa cepat bangkit dan pulih karena dipimpin oleh Dwi Tunggal yang berlatar belakang intelijen. Mayjen Soeharto yang ketika itu menjabat Panglima Komando Operasi Pemilihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) merangkap sebagai Kepala Badan Kordinasi Intelijen Negara (BAKIN). Selain itu, Wakil Presiden kedua setelah Muhammad Hatta, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX dikenal sebagai mbahnya intelijen Indonesia. Dwi Tunggal negara, Presiden-Wakil Presiden yang sangat menguasai dunia intelijen. Satu di antara Dwi Tunggal atau dua-duanya berlatar belakang intelijen, cenderung lebih memudahkan kita cepat keluar dari krisis global. Baik itu krisis politik maupun ekonomi. Bahkan bisa mendorong Indonesia bangkit dan maju setara dengan bangsa-bangsa lain. Terbukti Rusia bisa bangkit dan keterpurukan, dan tetap bertahan sebagai negara besar karena dipimpin oleh Vladimir Putin, mantan Kepala Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB), badan intelijen pusat dari Uni Sovyet. Begitu juga dengan Jerman, yang sekarang menjadi motor utama Uni Eropa, karena dipimpin oleh Angela Markel. Kanselir Jerman ini mantan intel Jerman Timur, dan menjadi sahabat Putin ketika sama-sama-sama masih tergabung dalam fakta militer Uni Sovyet bersama negara-negara Eropa Timur, yaitu “Fakta Warsawa”. Rusia kini masih jago perang dan hebat secara ekonomi. Jerman menjadi raksasa ekonomi di Eropa. Begitu juga dengan tetangga kita Malaysia, yang menjadi salah satu macan Asia di era tahun 1990-an. Malaysia hebat dan menjadi macan Asia karena dipimpin oleh dokter Mahatir Mohammad yang berlatar belakang intelijen. Bapaknya intelijen Malaysia ketika itu adalah Tun Razak Hussien yang menjadi Pedana Menteri Malaysia ke-2. Sementara dokter Mahatir Mohammad adalah murid kesayangan dari Tun Razak Husien. Enam kali Mahatir Mohammad menjadi Perdana Menteri Malaysia. Selama 22 tahun, dari tahun1981-2003. Saat itu Mahatir adalah tokoh sentral dari Barisan Nasional (BN), gabungan beberapa partai yang dipimpin oleh United Malay National Organization (UMNO). Setelah itu, pada tahun 2018 lalu, Mahatir kembali menjadi Perdana Menteri Malaysia. Kali ini Mahatir bergabung dengan Anwar Ibrahim, mantan anak emas dan sekaligus musuh bebuyutan politik Mahatir. Gaung kebesaran dari gagasan “Glasnost dan Perestroika” yang menjadi kebanggaan narasi Presiden Uni Sovyet Mikhail Gorbachev ketika itu membuat Uni Sovyet tinggal kenangan. Akibatnya kubu militer negara-negara Eropa Timur yang tergabung dalam “Fakta Warsawa” pimpinan Uni Sovyet juga ikut berantakan. Fakta Warsawa ikut bubar dengan sendirinya. Padahal Fakta Warsawa telah menjadi penyeimbang terkuat terhadap koalisi militer “NATO” yang dipimpinan oleh Amerika Serikat. Orang yang paling berjasa dalam meluluh-lantakan gagasan besar Mikhail Gorbachev “Glasnost dan Perestroika” itu adalah George Bush senior. Kenyataannya Bush senior itu Wakil Presiden Amerika untuk Presiden Ronald Reagen. Sebelumnya Bush senior adalah mantan Kepala Central Intelligence Agency (CIA), organ intelijen Amerika Serikat untuk hal-ihwal luar negeri. Selain George Bush senior, Dick Cheney yang pernah menjadi Wakil Presiden, juga mantan Kepala CIA. Soeharto, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mahatir Mohammad. Vladimir Putin, Angela Markel, George Bush senior, Dick Cheney adalah satu diantara Dwi Tunggal (Presiden-Wakil Presiden) yang punya latar belakang intelijen. Terbukti mereka telah berhasil membawa negaranya keluar dari krisis multi dimensi. Bahkan bisa bangkit dan tampil menjadi negara-negara maju di berbagai belahan dunia. Barangkali tidak ada salahnya bila pada Pilpres 2024 nanti, Indonesia mencoba salah satu diantara Dwi Tunggal nasional adalah orang yang berlatar belakang intelijen. Misalnya, dengan mencalonkan bang BG sebagai kandidat calon Presiden dari PDIP atau calon Wakil Presiden untuk Anies Baswedan, bakal calon Presiden dari Partai Nasdem yang sudah diumumkan Nasdem. Namun keputusan penting dan strategis itu tetap berada di Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. (bersambung).Sumber Artikel : Negara Butuh Dwi Tunggal Latar Belakang Intelijen (Bag-2).
Merajut Bangsa Yang Terkoyak
Meski demikian, dengan alasan tertentu ada pihak-pihak yang menyerukan amandemen UUD NRI 1945 kembali, terbatas pada masa jabatan presiden tersebut, agar Jokowi bisa menjadi Presiden RI tiga periode. Oleh: Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, MAg, Guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta INDONESIA tidak sedang baik-baik saja. Isu-isu kebangsaan krusial antara lain, korupsi di segala lini (menurut Mahfud MD), krisis kepercayaan Polisi (kasus Polisi menembak Polisi), penegakan keadilan secara tebang pilih, dan Amandemen UUD 1945 pada 1999-2002 yang kebablasan. Setelah 77 Tahun Indonesia merdeka, apakah rakyat sudah berdaulat di bumi Nusantara? Negara yang dikuasai oligarki politik-ekonomi, harga kebutuhan-kebutuhan pokok tak terkendali, dan pembangunan IKN menambah beban lagi. Kondisi riil bangsa Indonesia sekarang ini termasuk dalam kategori negara setengah gagal, karena Negara salah urus (menurut A. Syafii Maarif), dan terjadi perselingkuhan kuasa lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif (menurut Rocky Gerung). Marak jargon Pancasila dan NKRI harga mati, tetapi apa saja impor. Persoalan kebangsaan yang akut dewasa ini antara lain lemahnya wibawa pemerintah, KKN meraja lela, minimnya keteladanan, hukum tidak adil, aparat represif, komunikasi pemerintah-rakyat tidak nyambung, utang Luar Negeri massif, dan sumber dana yang terbatas. Negara maju jika penyelenggaraan negara dan pemerintahan berjalan dengan baik, aman sejahtera, dan makmur untuk rakyat Indonesia. Ini merupakan amanat konstitusi. Jika negara dibangun dari kebohongan, penipuan, dan rekayasa, akibatnya korupsi, manipulasi. Pemimpin adalah perisai dalam memerangi musuh rakyatnya dan melindungi mereka. Jika pemimpin mengajak rakyat pada ketakwaan kepada Tuhan, dan bersikap adil, maka ia bermanfaat buat rakyat, tapi jika ia memerintahkan yang selain itu, maka ia musibah bagi rakyat. (Nabi Muhammad SAW). True leader will be seen when there is a crisis. Orang-orang terbaik memiliki kapasitas untuk berkorban, perasaan tentang keindahan, keberanian untuk mengambil risiko, dan disiplin untuk (tetap) mengatakan yang sebenarnya. Ironisnya, kebajikan mereka membuatnya rentan; mereka sering terluka, dan terkadang merasa hancur. Demikian, menurut Ernest Hemingway. Anda tidak akan pernah tahu bahwa yang Anda perbuat itu akan menghasilkan apa, tapi kalau Anda tidak melakukan apa pun, pasti tidak akan menghasilkan apa-apa, kata Mahatma Gandhi. “Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapa pun juga. Jagalah persatuan di dalam tentara, sehingga tentara kita dapat menjadi utuh, satu, dan merupakan benteng yang kokoh kuat dalam menghadapi siapa pun.” (Panglima Besar Jenderal Soedirman). Pada tanggal 15 November 2022 Forum 2045 menyelenggarakan Focus Group Discussion bertajuk Common Project Rekonsiliasi dan Reintegrasi Nasional di University Club Universitas Gajahmada Yogyakarta. Sebagai lembaga independen, dan imparsial, Forum 2045 melibatkan berbagai pihak untuk mempertautkan ide dan inovasi guna menggemakan perubahan, dan bekerja sama menyongsong Indonesia emas – Satu Abad Indonesia 2045. Dua tahun ke depan bangsa Indonesia akan menyelenggarakan perhelatan pemilu serentak, dengan partai politik dan calon legislatif yang demikian banyak. Sistem pemilu yang proporsional terbuka membelah masyarakat berkeping-keping. Polarisasi ekstrem tidak terkendali, baik menjelang maupun pasca pemilu. Polarisasi muncul karena faktor identitas dan persepsi atas pengelolaan kekuasaan. Kedua kutub atau berapa polar yang terbentuk akan mengerucut pada pencarian legitimasi untuk mengkonversinya menjadi kekuatan yang terkonsolidasi. Aktor yang secara intens melakukan komunikasi politik untuk memengaruhi keberpihakan politik, dan sensitivitas komunikasi politik membuat fanatisme politik menjadi lebih kokoh. Populisme muncul sebagai sub tipe politik identitas, karena populisme selalu berhubungan dengan polarisasi, dramatisasi, dan moralisasi politik. Populisme dengan politik identitas menjadi (sangat) berbahaya manakala mengabaikan heterogenitas masyarakat di mana pemilu dilaksanakan dan membuat jurang pemisah antar masyarakat, hingga menimbulkan kebencian yang secara serius mengancam bangunan negara bangsa. Berdasarkan pengalaman masa jabatan Presiden RI pertama dan kedua yang tidak terbatas, salah satu tuntutan reformasi ialah Amandemen UUD 1945 berupa pembatasan masa jabatan presiden secara eksplisit, yakni presiden yang telah habis masa jabatannya bisa dipilih kembali satu kali lagi, menjadi dua periode saja. Meski demikian, dengan alasan tertentu ada pihak-pihak yang menyerukan amandemen UUD NRI 1945 kembali, terbatas pada masa jabatan presiden tersebut, agar Jokowi bisa menjadi Presiden RI tiga periode. Ikutan perubahan UUD 1945 tersebut ialah tatacara pemilihan presiden, yang semula dilakukan wakil-wakil rakyat diubah menjadi semua rakyat berhak memilih presiden, di mana setiap kepala mempunyai satu suatu suara. Unsur perubahan yang kedua ini telah melenceng dari sila keempat Pancasila, yakni: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawartan/ perwakilan. Akar persoalan bangsa Indonesia ini adalah penyimpangan Reformasi melalui amandemen UUD 1945 empat kali (1999, 2000, 200, 2002), terutama tentang perubahan kedudukan Presiden yang bukan lagi menjadi mandataris MPR, dan Pemilihan Presiden langsung oleh rakyat one man one vote yang telah membuahkan UU Pemilu Nomlor 7 Tahun 2017 Pasal 222 tentang presidential threshold. Mengutip pendapat Dr. Mohammad Iqbal, salah seorang penggagas berdirinya Negara Pakistan, “Kelemahan pokok sistem Demokrasi Liberal one man one vote ialah setiap kepala mempunyai satu suara, tanpa mempertimbangkan isi kepalanya.” Nilai-nilai Pancasila adalah ketuhanan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UUD 1945 dan Undang-Undang serta Peraturan-peraturan turunannya hendaknya dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Keadilan sosial tidak benar-benar diperjuang bagi seluruh rakyat Indonesia. Negeri ini dimerdekakan oleh rakyat semesta, mengapa kini dikuasai oleh oligarki ekonomi dan politik? Keputusan pindah ibu kota negara bisa dikatakan tidak melalui musyawarah, atau demokrasi one man one vote, melainkan melalui otoritas Presiden RI sebatas “minta izin” kepada DPR dalam forum resmi Sidang Paripurna DPR RI 2019. Tiba-tiba DPR sudah menyusun RUU IKN dan dibawa ke sidang untuk disahkan menjadi UU IKN. Tercatat hanya Fraksi PKS saja yang menolak RUU IKN untuk disahkan menjadi UU IKN. Kini Presiden RI Jokowi mengajukan usulan untuk revisi UU IKN yang baru seumur jagung. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar. Apakah dengan revisi ini hal-hal yang belum legal hendak dilegalkan, misalnya tentang penggalian dana untuk pembiayaan pembangunan IKN dengan pemberian hak guna tanah/bangunan di wilayah IKN dalam jangka 80 tahun, dan dapat diperpanjang menjadi 160 tahun (?), termasuk pembagian kapling pembangunan dan penyediaan sarana dan prasarana penyelenggaraan pemerintahan di daerah otonomi khusus Ibu Kota Negara Nusantara. Banyak pakar dari berbagai bidang keahlian yang telah memberikan saran penundaan pindah Ibu Kota Negara dari Jakarta ke kawasan Sepaku Penajam Paser Utara Kalimantan Timur. Di samping aspek geologi, politik, dan ekonomi, terutama adalah karena kondisi keuangan negara yang sedang krisis dengan utang yang menggunung. Bahkan untuk membayar bunga utangnya pun harus berhutang. Negara niscaya mengejawantahkan kebenaran, keadilan, kejujuran, perikemanusiaan, dan persatuan, serta kemaslahatan bagi semua. Indonesia Merana Indonesia tanah airku, tanah airmu Indonesia tanah tumpah darahku, tanah tumpah darahmu. Kau bilang di sana tegak jadi pandu Kau bilang Indonesia kebangsaanmu Kau bilang Indonesia tanah airmu. Kau serukan Indonesia bersatu Kau serukan hiduplah tanahku Kau serukan hiduplah negeriku Bangsaku rakyatku semua. Kau seru bangunlah jiwanya Kau seru bangunlah badannya Untuk Indonesia. Mengapa kau diam seribu bahasa Atas segala carut marut Indonesia? Mengapa kau obral sumber daya alamnya? Mengapa kau jual murah marwah bangsa? Mengapa kau biarkan para pengeruk batubaranya? Mengapa kau diamkan para koruptornya? Mengapa kau sudutkan putra-putra terbaiknya? Mengapa kau fitnah keji calon-calon pemimpinnya? Mengapa kau kadrun-kadrunkan mereka yang tidak seirama dengan Anda? Masihkah akan berteriak “Saya Indonesia”? Masihkan akan berkata “Saya Pancasila”? Masihkah akan mengaku menjunjung tinggi “Bhinneka Tunggal Ika”? Di mana hatimu? Di mana nuranimu? Di mana pikiranmu? Di mana perasaanmu? Di mana keindonesiaanmu? Cukup sudah segala olok-olokmu Cukup sudah segala kepura-puraanmu Cukup sudah segala kelicikanmu Cukup cukup cukup. Yogyakarta, 27-11-2022. (*)
Anies Urung Hadiri Muktamar Al-Isryad di Purwokerto, Kenapa?
Oleh Sammy Hillaby, Pimpinan Wilayah Pemuda Al-Irsyad DKI Jakarta MENYAMBUNG tulisan sebelumnya dari Ayu Nitimiharjo soal instruksi pen-delete-an nama Anies Baswedan dalam daftar undangan Pembukaan Munas KAHMI XI di Palu, 25 November 2022, hal yang sama ternyata juga terjadi pada Pembukaan Muktamar Al-Irsyad Al-Islamiyah di Puwokerto. Kejadian tersebut persis dua hari sebelumnya, tepatnya 23 November 2022. Anies Baswedan sebenarnya telah lama diundang sebagai keynote speaker pada pembukaan Muktamar, tapi Anies ternyata batal menghadiri muktamar ini. Mengapa? Ternyata ada intervensi dari aparatus pemerintah terhadap Al-Irsyad untuk membatalkan undangan terhadap Anies. Lain KAHMI, lain pula Al-Irsyad. Jika KAHMI tetap kekeuh pada pendirian, pengurus Al-Irsyad memilih untuk tunduk pada intervensi. Al-Irsyad takut dan memutuskan membatalkan undangan pada Anies Baswedan lalu menggantikannya dengan mengundang Ganjar Pranowo. Alasan pun dibuat: karena acara Muktamar berada Purwokerto, maka Gubernur Jawa Tengah yang lebih pas diundang menghadiri acara. Terlihat bukan? Mana organisasi yang teguh pada pendirian dan mana organisasi yang loyo pada pendirian. Catatan diskusi di group-group whatsapp pengurus dan anggota Al-Irsyad kebanyakan menyatakan penyesalan atas pilihan kompromistis tersebut. Tapi apa lacur, nasi telah menjadi bubur, Anies resmi ‘dilarang’ hadir pada acara Muktamar sebuah organisasi. Ke depan, aparatus penguasa akan terus berusaha dengan segala cara menghentikan segala langkah Anies. Akankah organisasi-organisasi lain yang kelak ditekan bisa teguh pendirian seperti KAHMI atau malah gentar seperti Al-Irsyad? Silahkan bersikap, sejarah akan mencatat! (*)
Endorse Jokowi Pada Si Rambut Putih, Etiskah?
Oleh Ady Amar - Kolumnis PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) memang penebar janji yang jitu. Terkadang menebar janji terang-terangan, tapi terkadang perlu dengan samar-samar, meski yang dimaksudkan itu semua orang mampu menangkap siapa yang disasarnya. Terkadang sambil perlu juga ia menyentil dengan mengecilkan pihak lain dengan istilah yang dibuatnya. Sentilannya pun semua orang bisa menerka diarahkan ke mana, dan atau ditujukan pada siapa. Tebar janji bagi seorang Jokowi, itu seperti sudah jadi kebiasaan yang sulit bisa dihindari, sudah jadi kebiasaan. Tebar janji bahkan pada hal yang tidak etis, perihal kepemimpinan nasional sekalipun, Jokowi seolah penentu siapa yang nantinya jadi penggantinya. Soal yang semestinya bukan ranah untuk diungkap, berkenaan dengan suksesi kepemimpinan nasional, dikomentari Jokowi dengan begitu nafsunya. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan presiden sebelumnya, tapi jadi kebiasaan Jokowi memunculkan. Dalam berkomunikasi pun Jokowi memilih gaya tidak biasa. Gaya komunikasi aneh buat manusia sewajarnya, di mana antara yang ada di pikiran dengan apa yang dimunculkan dari mulutnya tidak sama. Tidak sinkron. Sehingga sulit bisa menebak apakah yang diomongkan itu hal sebenarnya, atau hanya sekadar gimmick, karena bisa berubah secepat membalik telapak tangan. Ada kebiasaan Jokowi, mungkin dimaksudkan agar bisa menyenangkan seseorang yang ditemuinya sesaat, dan lalu yang muncul dari mulutnya semacam janji-janji yang diberikan. Orang biasa menyebut itu dengan angin surga. Adalah Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan RI, yang juga Ketua Umum Gerindra belum lama yang lalu juga merasakan angin surga Jokowi itu. Jokowi saat menghadiri undangan ultah Partai Perindo, yang juga dihadiri Prabowo Subianto--kandidat Capres Partai Gerindra--Jokowi mengatakan secara eksplisit, bahwa penggantinya yang akan datang adalah Prabowo Subianto. Mendengar itu Prabowo dengan sikap sigap memberi hormat pada Jokowi. Angin surga itu perlu diulang Jokowi hingga dua kali, dan dua kali pula Prabowo berdiri sigap memberi hormat. Jauh sebelum itu, dalam acara Pro Jokowi (Projo), jelas-jelas Jokowi menyebut penggantinya selanjutnya, tidak perlu kesusu disebut namanya. Tapi kode keras dimunculkan, meski yang bersangkutan \"mungkin hadir di sini\". Saat itu, yang hadir dalam acara Projo, di antaranya Ganjar Pranowo, yang memang digadang-gadang sebagai capres. Meski namanya tidak disebut, pastilah Ganjar Pronowo yang dituju Jokowi. Kedekatan Jokowi dengan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, itu bukan rahasia umum. Sepertinya Jokowi amat berharap benar agar penggantinya itu Ganjar. Sehingga segala cara tak wajar dilakukan. Konon, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB)--terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP--itu tiket yang disediakan Jokowi sebagai persiapan jika saja Ganjar tak dapat tiket dari PDIP. Memangnya Jokowi punya kekuatan sampai bisa \"mengondisikan\" 3 partai yang berkoalisi untuk memilih Ganjar? Kita lihat saja nanti. Semua sepertinya bisa dilakukan Jokowi, power full. Bahkan akhir-akhir ini, Jokowi pede bicara tidak saja ngelantur seperti khasnya, tapi menyentil seseorang yang tidak disukainya. Pastilah itu hal yang tidak selayaknya dilakukan, keluar dari kepatutan (etika). Tapi itulah Jokowi, dan semua seolah dibuat jadi memakluminya. Pagi kemarin, Sabtu, (26 November 2022), pada gelaran Nusantara Bersatu di GBK, Jokowi terang-terangan meng-endorse agar memilih si rambut putih, dan wanti-wanti pada relawan yang hadir di sana agar tidak memilih yang wajahnya cling, bersih tidak ada kerutan dalam Pilpres 2024 nanti. \"Perlu saya sampaikan, perlu saya sampaikan pemimpin, pemimpin yang mikirin rakyat itu kelihatan dari penampilannya itu keliatan. Banyak kerutan di wajahnya karena mikirin rakyat. Ada juga yang mikirin rakyat sampai rambutnya putih semua, ada. Ada.\" Tidak cukup sekali, tapi perlu sampai dua kali Jokowi mengulang, mungkin biar para relawan yang hadir di situ hafal betul kata per kata arahannya. \"Saya ulang. Jadi pemimpin yang mikirin rakyat itu kelihatan dari penampilannya dari kerutan di wajahnya. Kalau wajahnya cling bersih tidak ada kerutan di wajahnya, hati-hati. Lihat juga, lihat rambutnya putih semuanya, ini mikir rakyat ini,\" ucap Jokowi sambil sumringah wajahnya tanda bahagia. Pemimpin yang di-endorse nya berambut putih, itu pastilah menunjuk pada Ganjar Pranowo. Sedang yang berwajah cling bersih, itu pastilah menunjuk pada Anies Baswedan. Inilah politik pembelahan khas Jokowi, dan ia seperti orang yang bicara demikian tanpa beban. Tanpa memikirkan dampak polarisasi yang muncul lebih keras lagi dalam masyarakat, utamanya masyarakat lapis bawah. Mengumpulkan relawan di GBK, itu banyak yang menyebut kekhawatiran Jokowi akan elektabilitas Anies yang makin tak terkejar. Maka, perlu digeber pertemuan relawan nasional, ingin menunjukkan kekuatan yang masih dipunya Jokowi. Tentu tidak sedikit uang dihamburkan untuk menghelat acara itu, entah berapa ratus bis dikerahkan dari berbagai daerah. Rasanya acara itu lebih penting sehingga mampu mengubur rasa empati pada bencana gempa Cianjur. Kehadiran Anies Baswedan, calon presiden dari Partai NasDem di beberapa daerah memang mendapat sambutan luar biasa. Sambutan yang tanpa perlu dimobilisasi. Relawan Anies itu real, datang dengan kesadaran yang terbangun dengan sendirinya, tanpa perlu gula-gula manis meski selembar rupiah. Endorse Jokowi pada si rambut putih, atau siapa pun yang di-endorse nya, menurut lembaga survei Kompas, jika didapatkan cuma akan menolong 15% saja suara. Sedang Anies si wajah cling bersih--ganteng, dong--elektabilitasnya makin naik dan rasanya sulit dibendung. Bisa jadi itu sebab yang sampai Jokowi perlu endorse si rambut putih, meski menubruk etika kepatutan. (*)
Dendam dan Ketakutan Jokowi
Menurutnya, tak-tik itu dilakukan Jokowi sebagai trik Jokowi untuk bisa membalas dendam. “Bener lima bulan sebelum waktunya, dicopot lah dia Gatot. Itu style daripada Jokowi,” kata dia. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network-FNN JIKA mau jujur, “Gerakan Nusantara Bersatu” di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) pada Sabtu (26/11/2022) lalu itu adalah bentuk ketakutan Joko Widodo ketika pada akhirnya ia harus meninggalkan Istana setelah, sesuai konstitusi, masa jabatan sebagai Presiden RI berakhir pada 2024. Karena merasa ketakutan itulah pada akhirnya, perpanjangan masa jabatan dan presiden tiga periode dimunculkan kembali. Lewat pernyataan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, soal perpanjangan masa jabatan Presiden muncul lagi dengan menunggangi Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 asli. Reaksi keras datang dari Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang menolak wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi melalui Dekrit tersebut. Menurut Hidayat, wacana itu selain tidak sesuai dengan ketentuan Konstitusi yang berlaku, juga bisa mengarahkan Indonesia menjadi negara kekuasaan, bukan lagi negara hukum. “Melalui amandemen UUD 1945 sudah diputuskan, Indonesia ditetapkan sebagai negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Itulah ketentuan baru yang ada dalam Bab I Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945,” ujarnya pada Kamis (23/11/2022). Ia menekankan, apabila ada yang mewacanakan mengubah UUD NRI 1945 termasuk perpanjangan masa jabatan Presiden atau pengunduran Pilpres 2024 nanti dengan mekanisme, maka tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditindaklanjuti. Pria yang akrab dengan sapaan HNW ini menyayangkan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden dengan mendorong Presiden Jokowi membuat Dekrit. Karena dekrit itu secara legal adalah jenis keputusan Presiden, dan itu bukan ketentuan UUD. “Bila mengacu kepada konsep negara hukum yang berlaku sekarang ini di Indonesia, keputusan Presiden tidak bisa mengubah ketentuan-ketentuan atau ayat-ayat yang ada dalam UUD NRI 1945. Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945 menyebut bahwa perubahan UUD NRI 1945 kewenangan MPR, bukan Presiden,” tegasnya. HNW mengingatkan agar wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi melalui Dekrit ini tidak bisa disamakan dengan Dekrit mengembalikan UUD NRI 1945 oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Sehab, kondisi politik dan aturan hukum yang berlaku sangatlah berbeda. “Dahulu, ada kondisi deadlock politik konstitusional, sekarang tidak ada. Dulu tidak ada aturan Konstitusi yang menyebut dengan tegas, negara Indonesia adalah negara hukum, sekarang ketentuan sebagai negara hukum itu dinyatakan dengan tegas di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945,” tukasnya. HNW juga menuturkan bahwa wacana perpanjangan masa jabatan apalagi dengan dekrit tersebut juga tidak sesuai dengan sikap Presiden Jokowi yang sudah menegaskan di depan para Relawannya agar tidak ada lagi yang membahas perpanjangan masa jabatan Presiden. “Bahkan, Presiden Jokowi pernah menyebutkan bahwa yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan Presiden (tersebut) ada kemungkinan untuk menjerumuskannya, selain mencari muka atau bahkan menampar wajah Presiden,” pungkasnya. Jika menyimak pernyataan HNW di atas, berarti LaNyalla sudah “kurang ajar” ketika memberikan sambutan di depan HIPMI yang saat itu juga dihadiri oleh Presiden Jokowi. Tapi, tampaknya, Jokowi enjoy-enjoy saja dengan pernyataan Ketua DPD asal Jawa Timur itu. Pernyataan LaNyalla tersebut langsung mendapat reaksi dan kritikan netizen. Sampai mantan Ketua Umum PSSI dan Ketua Umum KADIN Jawa Timur itu, harus mengklarifikasi dengan menyebut, “tidak ada barter politik” segala. Apa benar, hanya LaNyalla dan Allah SWT yang tahu. “Kita semua orang Jatim sudah khatam dengan siapa Nyalla. Jadi, gak kaget,” ucap seorang warga Jatim. Bagaimanapun juga, dari catatan digital diketahui, LaNyalla saat Pilpres 2019 lalu memang berada di kubu Jokowi. Jadi, tidaklah salah jika kemudian ia kembali mendukung penundaan Pilpres 2024. Fakta bahwa Jokowi takut kehilangan tampuk kekuasaannya bisa juga dilihat dari pernyataannya saat memberikan sambutan di acara Gerakan Nusantara Bersatu di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Sabtu (26/11/2022).Presiden Jokowi mengatakan, pada Pilpres 2024 nanti masyarakat sebaiknya tidak salah memilih pemimpin. Jokowi mengingatkan masyarakat agar jangan memilih pemimpin yang senang duduk di Istana.Menurutnya, pemimpin Indonesia ke depan adalah yang memahami perasaan masyarakat.“Konsekuensi ke depan pemimpin seperi apa yang kita cari? Hati-hati, saya titip hati-hati. Pilih pemimpin yang mengerti apa yang dirasakan rakyat, pilih nanti di 2024 pilih yang ngerti apa yang dirasakan oleh rakyat, setuju?” ujar Jokowi.“Pilih pemimpin yang tahu apa yang diinginkam rakyat, yang dibutuhkan rakyat, setuju? Jangan sampai, jangan sampai kita pilih pemimpin yang hanya senang duduk di Istana yang AC-nya dingin, saya ulang, jangan sampai kita pilih pemimpin yang duduk di Istana AC dingin,” ujar dia.Ia menegaskan, Indonesia merupakan negara besar, sehingga pemimpinnya tidak boleh hanya sekedar duduk manis. Jokowi pun mengingatkan, apa yang sudah dibangun pada pemerintahan saat ini harus dijamin keberlanjutannya.Keberlanjutan itu, menurutnya, jangan terhenti sampai 2024. “Yang sudah kita bangun harus kita jamin keberlanjutannya, inilah yang harus kita jaga sama-sama. Bukan hanya 2024, tapi juga 2029, tapi untuk Indonesia emas 2045 dan seterusnya,” tutur Jokowi.“Oleh karena itu, jangan karena kepentingan jangka pendek, politik, kemudian lupa tidak ada keberlanjutan yang telah kita mulai. Jangan lupa untuk (tetap) menjaga agar yang sudah di jalur tepat ini harus dilanjut,” kata dia. Ke mana arah ucapan Jokowi itu, kita sudah tahu. Jika benar Jokowi lengser, penggantinya nanti harus melanjutkan semua program yang sudah dimulai oleh Jokowi, seperti proyek mercusuar Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. Jokowi ketakutan jika yang terpilih pada Pilpres 2024 nanti Anies Baswedan, proyek-proyek mercusuar yang jelas-jelas sudah menyedot keuangan negara, dibatalkan oleh Anies. Makanya, apapu yang “berbau” Anies bakal dijegal oleh Presiden Jokowi. Seperti Jokowi yang membatalkan kehadirannya dalam pembukaan Munas KAHMI XI di Palu H-2 hanya gara-gara Panitia bersikeras mengundang Anies Baswedan. Alasannya, Anies bukanlah pengurus KAHMI. Di sini jelas sekali bahwa Jokowi punya watak pendendam akut. Itu semua gara-gara Anies Baswedan telah dideklarasikan sebagai Bakal Calon Presiden oleh Partai NasDem pimpinan Surya Paloh ini. Tak hanya itu. Korban dendam tampaknya juga menimpa Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Ini juga lantaran Surya Paloh sempat keceplosan jika Andika bakal dijadikan sebagai Bakal Calon Wakil Presiden untuk Anies Baswedan. Makanya, rencana untuk memperpanjang masa jabatan Panglima TNI, akhirnya ditolak Presiden Jokowi. Padahal, sebelumnya, jabatan Panglima TNI untuk Andika rencananya akan diperpanjang hingga 2 tahun mendatang. Ini diperkuat dengan Presiden sudah mengirim Surat Presiden (Supres) penggantian Panglima TNI kepada DPR oleh Mensesneg Pratikno. KSAL Laksamana Yudo Margono calon pengganti Andika. Soal watak pendendam Jokowi sebelumnya diungkap oleh politisi senior PDIP Panda Nababan. Korbannya antara lain mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Panda Nababan akhirnya mengungkapkan awal mula kisah hubungan tak harmonis antara Presiden Jokowi dengan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Cerita ini bermula saat HUT TNI yang digelar di Cilegon pada 2017 silam. Saat itu Jokowi kedapatan terjebak macet panjang menuju lokasi hingga akhirnya dia jalan kaki dan naik ojek demi sampai di lokasi tepat waktu. “Pak Jokowi kemudian jalan kaki, naik ojek, jalan kaki, naik ojek. Gatot yang menyambut bersama Tito Karnavia saat itu, menyambut kedatangan Presiden, mohon maaf Bapak Presiden, rakyat begitu mencintai TNI, membludak semua tidak bisa terbendung. Iya-iya katanya (Jokowi),” ujar Panda yang dikutip VIVA dari YouTube Indonesia Lawyers Club. Namun jelas Panda, Jokowi diam-diam menugaskan Pratikno yang saat ini menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara dan Pramono Anung mengecek ke Polda Banten dan Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Polda Banten yang kala itu dipimpin oleh Listyo Sigit Prabowo mengaku tidak dilibatkan dalam mengatur lalu-lintas. “Ditelpon Korlantas sama Pramono Anung, kami tidak dilibatkan, oh begitu cara kau mengapakan saya,” jelasnya. Panda mengungkapkan, dari kejadian tersebut dendam itu lalu dibahasakan Jokowi pada acara anak Jokowi Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution. Saat itu Gatot diperlakukan dengan tidak spesial. “Dua bulan kemudian di pestanya anaknya Jokowi si Bobby itu Rizal Ramli di samping saya, Ban, sudah tahu Soeharto raja Jawa yang sadis, ini lebih sadis lagi katanya,” ujar Panda. “Kau ngomong apa Rizal, kau lihat dulu Gatot Panglima. Panglima Gatot itu duduk biasa-biasa (saja) di dekat anggota-anggota DPR, staf-staf kedutaan,” lanjutnya. Sementara, kolega lainnya seperti Tito, Luhut Binsar Panjaitan, hingga Pratikno menggunakan mawar merah yang menunjukkan mereka adalah panitia. “Mau menyalam karpet merah itu tidak bisa dilewati Gatot, dia berbaur nyalam. Waktu pulang mobilnya tidak bisa masuk, istrinya duduk di kursi plastik. Itu istri Panglima loh, nunggu mobil kami sama-sama naik bus,” ucapnya. Menurutnya, tak-tik itu dilakukan Jokowi sebagai trik Jokowi untuk bisa membalas dendam. “Bener lima bulan sebelum waktunya, dicopot lah dia Gatot. Itu style daripada Jokowi,” kata dia. Dan, tampaknya, dendam seperti itu kini dialami Jenderal Andika Perkasa dengan menolak perpanjangan masa jabatannya hingga berusia 60 tahun. (*)
Akankah Jokowi Menjadi Musuh NKRI?
Kapankah akan terjadi transisi kekuasaan pada rezim tirani ini? Atau rakyat hanya bisa pasrah menerima keadaan, kehilangan kemerdekaannya dan hidup dalam penindasan. Perih dan teraniaya dijajah oleh bangsanya sendiri, rakyat kini berhadapan langsung dengan rezim kekuasaan yang dzolim. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI SUNGGUH amoral jika belum pantas disebut biadab. Belum hilang ingatan publik dari kasus Ferdy Sambo di tubuh Polri. Belum selesai luka dan rasa sakit akibat tragedi Kanjuruhan. Kini kekuasaan bertingkah lagi dengan pengerahan massa relawan dengan biaya besar dan tak bermanfaat di GBK. Tujuan hanya sekedar menyampaikan capres berambut putih dan syahwat perpanjangan kekuasaan tiga periode, saat tanah pemakaman korban gempa belum kering dan warga Cianjur diselimuti penderitaan. Ini rezim, sepatutnya disebut manusia atau apa ya? Dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo bukan hanya jauh dari harapan rakyat Indonesia. Perilaku kekuasaan atas nama demokrasi dan konstitusi itu telah menampilkan tabiat otoriter dan diktator secara terang-benderang. Kehancuran sistem dan rezim hipokrit secara perlahan dan pasti berhasil membawa republik ini menuju negara gagal. Pembangunan fisik yang mengabaikan studi kelayakan dan skala prioritas, hanya menjadi kedok dari proyek rente, syahwat korup dan jebakan utang. Selain mangkrak, pembangunan pelbagai infrastruktur seperti jalan tol, kereta api cepat dan IKN menyebabkan terkurasnya uang negara secara sia-sia hingga menyebabkan krisis ekonomi dan krisis multidimensi. Kebutuhan pokok rakyat seperti sembako, gas, listrik dan pelayanan publik lainnya, kalah keutamaannya oleh ambisi proyek mercusuar dan legacy yang muluk-muluk. Jokowi, sosok pemimpin yang lemah dari segi kapasitas yang ditandai dengan ketiadaan visi kenegaraan, mengandalkan tindakan represi dan bahkan telah merusak tatanan nilai-nilai secara struktural dan kultural. Itu menyebabkan rezim yang berafiliasi atau menjadi sub koordinat ideologi kapitalis dan komunis tersebut perlahan tapi pasti telah menggerus sendiri keberadaan dan eksistensi Pancasila, UUD I945 dan NKRI. Tak cukup membungkam demokrasi dan membelenggu konstitusi, kekuasaan dengan tipikal Machiavellis tersebut seakan telah memiliki keharusan untuk meminggirkan peran agama, khususnya Islam. Sebuah entitas sosial politik yang telah menjadi peradaban dunia, pemilik saham terbesar atas kelahiran Indonesia sekaligus rakyat mayoritas, harus terisolasi oleh sistem sekuler dan liberal yang dianut rezim. Bengis pada oposisi, memenjarakan aktifis pergerakan dan ulama, menista agama hingga terkesan tak segan-segan untuk menganiaya dan membunuh rakyatnya sendiri, sepertinya telah menjadi dan satu-satunya prestasi dari pemerintahan di bawah komando Jokowi. Kebohongan demi kebohongan seiring perilaku merampok uang negara dengan membabi-buta dan perilaku amoral ingin memperpanjang kekuasaan hingga tiga periode. Tak mampu membuat para buzzer dan influencer yang dibiayai APBN, meyakinkan rakyat hanya dengan memoles citra dan kondite rezim. Pemerintah justru semakin menimbulkan pembelahan sosial dan ancaman disintegrasi bangsa. Isu SARA berseliweran di tengah kemerosotan ekonomi, pertentangan kelas dan ketimpangan sosial semakin melebar membuka peluang musim kriminalitas dan kecenderungan chaos akibat ulah penguasa. Potensi desktruktif benar-benar menganga di dalam negeri, bukan tidak mungkin tak butuh waktu lama NKRI diselimuti tragedi yang perkepanjangan. Jika saja tak ada upaya yang mendesak untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi pada NKRI dengan pergantian rezim dan agenda perubahan, maka beberapa hal yang bisa dipastikan akan terjadi destabilitas antara lain sebagai berikut: Pertama, kondisi sosial ekonomi antara kelompok orang kaya (the have) dan kelompok orang miskin (the have nots) yang mengundang kecemburuan sosial dan ketimpangan sosial, akan merangsang terjadinya amuk massa (collective behavior). Kedua, konflik politik yang bermuatan konflik horizontal dalam satu sistem politik yang berlaku seperti sekarang ini, akan berdampak dan menimbulkan kepentingan yang berbeda sehingga memicu “internal power struggle” di antara parpol menjelang pemilu serentak tahun 2024. Terlebih lagi, jika perpanjangan jabatan presiden tiga periode dipaksakan berlangsung. Ketiga, gagalnya penegakkan hukum (law inforceman) dengan ketiadaan rasa keadilan hukum yang dirasakan rakyat selama ini, maka tidak menutup kemungkinan hukum rimba yang terjadi di negeri Pancasila ini. Hanya melalui kerusuhan, mungkin akan terjadi perubahan dan rasa keadilan sosial di negeri ini. Beberapa kecenderungan tersebut yang sudah menjadi sinyalemen dan terlihat indikatornya, begitu berbahaya meski hanya dari faktor domestik. Lebih mengerikan lagi muncul dari faktor “conflict of interest” dari luar negeri. Seperti apa yang telah dialami oleh Indonesia sebagai negara merdeka namun dikuasai oleh bangsa asing dan aseng sejak silam hingga saat ini. Seperti api dalam sekam, NKRI sepertinya hanya akan menunggu waktu menjadi wilayah konflik secara nasional maupun internasional. Seakan mengulang era perang dingin, posisi Indonesia yang potensial dari aspek geografis, geostrategis dan geopolitis, pastinya akan menjadi seksi dan menarik bagi kepentingan global. Oleh karena itu, kondisi obyektif dan subyektif akibat kegagalan mengurus negara yang disebabkan oleh ketidakmampuan seorang presiden. Menjadikan Indonesia semakin terpuruk dan terbelakang. Di bawah pemerintahan Presiden Jokowi ini, rakyat lebih banyak mengalami kemudharatan ketimbang kemaslahatan. Di dalam negeri, Jokowi tak mampu menghadirkan kemakmuran dan rasa keadilan sosial buat seluruh rakyat Indonesia. Di lain sisi lewat kebijakannya yang gegabah, Jokowi tersandera oleh kepentingan luar negeri, terjebak utang yang berakibat kehilangan kehormatan, harga diri dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia. Sungguh, tidak bisa dibiarkan terus berlangsung lebih lama lagi. Meminjam istilah Bung Karno, rakyat Indonesia itu butuh keberanian, butuh semangat dan butuh tekat untuk menjebol dan membangun sistem kolonialisme dan imperialisme modern baik oleh bangsa asing maupun dari bangsanya sendiri. Ketika trias politika dikuasai oligarki, tak ada pilihan bagi bangsa Indonesia harus membangun demokrasi yang kedaulatan rakyat sebenar-benarnya bisa diwujudkan. Entah dengan jalan konstitusional, entah dengan jalan ekstra parlementer jika itu memang dibutuhkan dan terasa urghens. Dengan “people power” yang bisa mengusung revolusi atau berharap perubahan konstitusional mengandalkan demokrasi yang sakit, pseudo demokrasi. Apapun itu, rezim kekuasaan tak akan pernah legowo melepaskan jabatannya. Perpanjangan jabatan tiga periode, menjadi bukti hasrat rezim begitu tinggi melanjutkan dinasti kekuasaannya. Untuk menjajah, menguasai dan memiliki Indonesia demi kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya semata. Tidak peduli republik diambang kehancuran, tak peduli NKRI akan terhapus dalam sejarah yang pernah ada dan tercatat di dunia. Dengan penderitaan rakyat yang begitu hebat. Tak berdaya oleh wabah dan konspirasi pandemi yang berlarut-larut. Di tengah negeri yang diliputi korupsi dan kejahatan kemanusiaan, mampukah rakyat Indonesia keluar dari krisis dan berhasil melakukan restorasi. Kapankah akan terjadi transisi kekuasaan pada rezim tirani ini? Atau rakyat hanya bisa pasrah menerima keadaan, kehilangan kemerdekaannya dan hidup dalam penindasan. Perih dan teraniaya dijajah oleh bangsanya sendiri, rakyat kini berhadapan langsung dengan rezim kekuasaan yang dzolim. Rezim kekuasaan, ada di mana cita-cita proklmasi kemerdekaan dan amanat pendiri bangsa serta para pahlawan dikhianati. Rezim kekuasaan yang oleh publik dinilai dinahkodai seorang pemimpin boneka. Akankah Jokowi menjadi musuh NKRI? Wallahu a\'lam bishawab. Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 27 November 2022/3 Jumadil Awal. (*)
Presiden Minus Karakter Negarawan: Hipokrit Terhadap Wacana Penundaan Pemilu, Perpanjangan Masa Jabatan dan Presiden Tiga Periode
Kembali ke UUD 1945, Yang Berdaulat Adalah Rakyat, maka ambil kembali mandat yang telah diberikan oleh rakyat kepada para Pelaku Makar Konstitusi tersebut. Jalan melalui Pengadilan Rakyat atau Revolusi mungkin menjadi satu-satunya jalan untuk menghentikan langkah konspirasi penguasa yang hendak makar terhadap konstitusi. Oleh: Pierre Suteki, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo BANYAK pihak merasa terkejut ketika Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), LaNyalla Mahmud Mattalitti mengusulkan Pemilu 2024 ditunda. Tidak hanya itu, LaNyalla juga mengusulkan agar masa jabatan Presiden Joko Widodo alias Jokowi ditambah dua atau tiga tahun lagi. Hal tersebut disampaikan di acara Musyawarah Nasional (Munas) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ke XVII. Ada misi apa di balik pernyataan Ketua DPD tersebut. Memang akhirnya Ketua DPD memberikan klarifikasi bahwa tidak ada Barter Politik atas pernyataan yang mengejutkan tersebut, namun hal itu tidak menyurutkan persepsi miring terhadap usulan “nyleneh” LaNyalla Mattalitti. Gayung pun bersambut. Tampaknya, Presiden Jokowi tidak lagi menolak wacana penundaan pemilu yang berarti ada perpanjangan masa jabatan presiden, DPR, DPD dan yang terkait dengan kepemimpinan 5 tahunan, demikian juga wacana 3 periode. Terkait dengan wacana ini, ada momentum politik ketika Presiden Jokowi hadir di GBK dalam acara Gerakan Nusantara Bersatu, Sabtu, 26 Nopember 2022 sekitar pukul 08.20 WIB. Dia hadir menyapa seluruh relawan sampai mengundang sapaan dari para relawan dan pendukungnya yang berlangsung meriah. Di tengah kemeriahan itu, terdengar teriakan-teriakan “tiga periode” dan “satu periode lagi” menyambut Pilpres 2024. Selain itu poster-poster bernada serupa pun seperti “Jokowi 3 Periode” dan semacamnya turut dibentangkan beberapa relawan. Pertanyaannya, mengapa yel-yel dan poster itu ada, dan terkesan dibiarkan untuk dibentangkan? Isu perpanjangan masa jabatan presiden, presiden 3 periode yang mulai lagi dihembuskan sebenarnya kontroversial dengan pernyataan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi dulu pernah bilang bahwa isu perpanjangan masa jabatan Presiden tampar mukanya. Namun, pernyataan itu juga terkesan hipokrit, karena Jokowi juga pernah menyatakan bahwa wacana itu merupakan bagian demokrasi. Presiden Jokowi akhirnya angkat bicara soal isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Wacana itu menjadi polemik setelah disuarakan sejumlah elit partai politik. Meski demikian, sikap Jokowi kali ini tak sekeras pernyataannya sebelumnya. Kali ini, dia menyatakan bahwa wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang. Sebab, hal itu bagian dari demokrasi. Namun, sekali lagi, Jokowi menegaskan bakal tunduk dan patuh pada konstitusi. Dalam tinjauan hukum, tindakan Jokowi yang katanya taat konstitusi tapi terkesan membiarkan atas nama demokrasi itu dapat dikatakan hipokrit, antara das sollen (antara idea) dengan das sein (realita). Saya kira pernyataan itu tidak konsisten ketika dihadapkan pada peristiwa persekusi terhadap dosen dan mahasiswa, bahkan ancaman pembubaran diskusi tentang Pemakzulan Presiden yang bahkan dijamin, diatur oleh UUD Pasal 7A. Sementara soal wacana penundaan pemilu itu tidak diatur bahkan bertentangan dengan konstitusi Pasal 7 dan Pasal 22 E ayat (1). Jika mau fair, mestinya semua hak bicara dihormati, dipenuhi dan dilindungi oleh Pemerintah, Presiden. Tapi kita lihat, wong TNI Polri dan istri cuma bicara di GWA saja akan dikenakan sanksi oleh institusinya, ini konstulitusionalkah? Ini demokratiskah? Orang nggak setuju dengan kebijakan pemerintah, dikatakan (telah) terpapar radikalisme, tidak boleh mengundang ustadz radikal! Inikah yang disebut demokrasi itu? Democracy for who? Ada juga kasus lain yang terjadi pada 29 Mei 2020 di Yogyakarta. Sebuah diskusi yang awalnya diberi judul \'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan\' ramai disorot, terdapat berbagai jenis Teror kepada Panitia dan Pembicara (Prof. Ni\'matul Huda). Judul diskusi akhirnya diubah menjadi: \'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan\'. Teror susulan menyasar panitia diskusi daring tentang pemakzulan presiden yang sebelumnya pada Jum’at lalu Batal digelar kelompok studi mahasiswa Constitutional Law Society, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, panitia kemudian membatalkan diskusi itu. Alasannya, nara sumber, panitia, dan keluarga panitia mendapatkan ancaman pembunuhan melalui pesan pendek di telepon seluler. Panitia menerima pesan berisi ancaman pembunuhan serempak dari nomor yang berbeda pada Jumat, pukul 13.00. Teror juga menimpa calon pembicara diskusi Prof. Ni’matul Huda. Imbasnya, Prof. Ni’matul takut keluar dari rumah. Teror terhadap Prof. Ni’matul diduga terjadi pada Kamis tanggal 28 Mei 2020, sekitar pukul 23.00. Pada jam itu, lima orang memencet bel dan menggedor-gedor pintu dan garasi rumah Ni’matul. Dalam ketakutan, ia tidak membuka pintu dan menghubungi Jamil. Teror kembali muncul pada Jum’at siang sebelum acara diskusi mulai. Ni’matul menerima pesan WhatsApp bernada ancaman pembunuhan sama seperti yang diterima panitia diskusi. Kalau konsisten terhadap hak warga negara dalam alam demokrasi, mengapa perlakuan diskriminatif justru dipertontonkan oleh rezim Jokowi? Pada intinya, kalau dicermati, respons yang ditunjukkan oleh presiden saat ini terhadap wacana penundaan pemilu dan penambahan 3 periode masa jabatan presiden memang “tampak jelas ada penurunan ketegasan” jika dibandingkan respons ditunjukkan pada akhir tahun 2019 lalu dan terkesan inkonsisten. Terkait dengan inkonsistensi sikap Jokowi dalam isu presiden tiga periode ini, julukan King of Lips Service kembali dibicarakan netizen. Pernyataan netizen saya kira juga bukan tanpa alasan mengingat track record Jokowi yang banyak dinilai oleh beberapa pihak tidak konsisten antara yang diucapkan dengan yang diperbuat (BEM UI, Azumardy Azra). Ya seperti yang pernah disebutkan, Jokowi menyatakan bahwa “jika ada orang yg mendorong perpanjangan masa jabatan, hingga 3 periode itu, orang itu (1) menampar mukanya; (2) mencari muka dan (3) menjerumuskannya.” Lalu kenapa selama beberapa mingguan ini dia membiarkan perbincangan yang jelas memenuhi 3 hal itu hingga akhirnya menyatakan itu bagian dari demokrasi? Mestinya presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan di awal wacana langsung memberikan pernyataan resmi: “Setop Wacana Penundaan Pemilu Dan Perpanjangan Masa Jabatan”, sehingga tidak menjadi bola liar yang menguras energi bangsa. Pernyataan Presiden juga bisa dinilai anti klimaks terhadap Gonjang Ganjing wacana itu karena Terkesan Abu-Abu, Inkonsisten, ambigu dan Hipokrit! Artinya, dugaan bahwa beliau itu The King of Lips Service oleh netizen cukup beralasan. Terkait dulu bilang tampar mukanya, dan sekarang bagian demokrasi, oleh netizen disimpulkan bahwa menampar muka bagian dari demokrasi, hal itu merupakan kekacauan logika akibat dari sikap penguasa. Namun, itu logika yang Lurus dengan menggunakan prinsip Silogismus sebagai berikut: Premis 1: Wacana penundaan pemilu itu menampar muka presiden; Premis 2: Wacana penundaan pemilu itu bagian demokrasi. Kesimpulan: 1. Wacana penundaan pemilu itu Menampar muka, namun termasuk bagian dari demokrasi. 2. Menampar muka presiden itu termasuk bagian dari demokrasi. Ini termasuk penalaran yang benar ataukah Logical Falacy? Ya, kadang-kadang kita perlu ngomong: “Wes, Pokoke Awuren...!” Perpanjangan jabatan itu sebagai konsekuensi adanya penundaan pemilu. Sampai sekarang belum jelas siapa sebenarnya yang punya kemauan untuk melakukan penundaan pemilu. Semula saya malah baca berita yang menyatakan, justru yang mempunyai kemauan untuk penundaan pemilu itu Presiden Jokowi (Andi Arief Demokrat). Lalu meminta menteri dan ketua-ketua parpol untuk melempar wacana sekaligus menyetujui rencana tersebut. Kalau ini benar, maka ini adalah persekongkolan (konspirasi). Persekongkolan mereka dapat disebut sebagai persekongkolan jahat untuk Makar Terhadap Konstitusi. Jika hal ini benar, maka Presiden dapat diduga telah melakukan upaya Pelanggaran Terhadap Konstitusi dan Dapat Di-Impeachment. Pertanyaannya: siapa yang akan melakukan impeachment jika Para Wakil Rakyat saja telah tersandera dalam Persekongkolan tersebut? Kembali ke UUD 1945, Yang Berdaulat Adalah Rakyat, maka ambil kembali mandat yang telah diberikan oleh rakyat kepada para Pelaku Makar Konstitusi tersebut. Jalan melalui Pengadilan Rakyat atau Revolusi mungkin menjadi satu-satunya jalan untuk menghentikan langkah konspirasi penguasa yang hendak makar terhadap konstitusi. Jika merasa menjadi negarawan, beranikah menghentikan wacana penundaan pemili, perpanjangan masa jabatan dan presiden tiga periode? Jika hipokrit dapat dipastikan, Presiden tidak akan berniat dan mau menghentikan wacana tersebut. Tabik...!!! Semarang, Ahad: 27 Nopember 2022. (*)