Batalkan PERPPU CIPTAKER NO.2/2022, Proses Pemakzulan Presiden Jokowi Segera!
Oleh Marwan Batubara - FKN-UI Watch
PENOLAKAN berbagai kalangan masyarakat terhadap Perppu No.2/2022 tentang Ciptaker semakin meluas. Mereka terus melakukan advokasi, termasuk menuntut pemakzulan Presiden Jokowi. Sebab, penerbitan Perppu No.2/2022 dianggap sebagai kebijakan otoriter, mengkhianati Pancasila, melanggar kosntitusi dan merampas hak demokrasi rakyat, namun sekaligus hanya menguntungkan oligarki: berburu rente dan melanggengkan kekuasaan.
Pada tulisan kedua ini diuraikan beberapa alasan legal mengapa Perppu No.2/2022 dinyatakan inkonstitusional, sehingga harus segera dicabut atau dibatalkan. Pembatalan bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah atau melalui DPR yang menyatakan Perppu No.2/2022 batal demi hukum. Karena dianggap telah betindak menerbitkan peraturan yang melawan kosntitusi, DPR pun bisa segera memulai proses pemakzulan Presiden Jokowi, sesuai Pasal 7 dan 7A UUD 1945.
Berikut diuraikan alasan utama mengapa penerbitan Perppu No.2/2022 harus dinyatakan inkonstitusional. Pertama, melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Seperti diketahui, Negara Hukum adalah negara yang diselenggarakan berdasar konstitusi dan hukum yang berlaku. Penyelanggara negara harus terikat dan tunduk pada konstitusi. Dalam hal ini pemerintah telah merusak dan melanggar prinsip konstitusionalisme suatu Negara Hukum, sehingga layak disebut otoriter.
Kedua, melanggar Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan: Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Ketiga, melanggar Pasal 22A UUD 1945, menyatakan: _Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan Undang-Undang._ Ternyata yang dijadikan dasar penerbrbitan Perppu hanyalah UU No.13/2022, bukan amanat konstitusi. Selain itu, tidak terjadi pula kekosongan hukum, sehingga penerbitan Perppu akibat kondisi memaksa menjadi tidak relevan.
Keempat, tidak memenuhi asas keterbukaan sebagaimana diatur Pasal 5 huruf g, dan asas meaningful participation sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (1) UU No.13/2022. UU No.13/2022 merupakan Perubahan Kedua atas UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3). UU ini merupakan pendelegasian dan peraturan turunan Pasal 22A UUD 1945.
Kelima, melanggar Amar Putusan MK No.91/2020 yang antara lain berbunyi: a) _Menyatakan Pembentukan UU 11/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan selama waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini ditetapkan; b) Memerintahkan kepada pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU 11/2020 menjadi inkonstitusional secara permanen.
Keenam, melanggar Putusan MK No.138/2009 yang antara lain menyatakan pembuatan Perppu tergantung kepada penilaian subjektif Presiden atas kondisi kegentingan memaksa. Penilaian subjektif Presiden harus didasarkan keadaan objektif yang memenuhi tiga syarat, yaitu: 1) adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; 2) UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai; 3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Ternyata amanat MK dalam Amar Putusan No.138/2009 ini atas telah dilanggar. Sebab yang terjadi adalah penilaian subjektif atas kondisi memaksa oleh Presiden, yang dalam hal ini telah digunakan secara absolut. Faktanya, di depan mata toh tidak didapati atau sedang tidak terjadi kondisi genting yang mengancam perekonomian dan minat investasi.
Presiden Jokowi dinilai telah bertindak otoriter, mengangkangi dan menihilkan wewenang dan fungsi lembaga tinggi negara lain yang dibentuk sesuai amanat konstitusi, yakni MK (pada Putusan No.138/2009 dan Putusan No.91/2020). Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan, saat konferensi pers penerbitan Perppu (30/12/2022) bahwa tujuan penerbitan Perppu 2/2022 adalah untuk menggugurkan status inkonstitusional bersyarat atas Putusan MK No.91/ PUU-XVIII/ 2020. Presiden Jokowi secara terang benderang telah membangkang Putusan MK.
Ketidakpatuhan atas putusan MK ini selain bertentangan dengan doktrin Negara Hukum, juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi, sebagaimana dinyatakan oleh Ketua MK, Yang Mulia (YM) Dr. Anwar Usman (28/1/2020). YM Anwar Usman juga menyatakan kepatuhan terhadap putusan MK mencerminkan kedewasaan dan kematangan sebagai negara hukum demokratis sekaligus negara demokrasi berdasarkan hukum.
Enam butir alasan di atas telah menunjukkan terjadi pelanggaran hukum dan konstitusi dalam penerbitan Perppu No.2/2022. Untuk melegitimasi kebijakannya pemerintah menyatakan Perppu dibentuk berdasar hukum. Namun, karena berangkat dari sikap subjektifitas absolut, otoriter, anti demokrasi dan pro oligarki, penggunaan dan perujukan atas hukum tersebut telah dilakukan secara parsial, sebagian disembunyikan dan bahkan sebagian melanggar hukum. Sehingga lahirlah Perppu No.2/2022 yang melanggar prinsip negara hukum, amanat konstitusi dan prisnsip demokrasi.
Otoritarianisme yang melegitimasi kebijakan inskonstitusional dengan berlindung di balik “akrobat” hukum dan arogansi kekuasaan harus segera dihentikan. Jika tidak, maka dapat saja terbit perppu-perppu lain yang mengangkangi amanat konstitusi, serta merugikan negara dan rakyat. Ke depan, pemerintah dapat saja menerbitkan Perppu untuk “melegalkan” jabatan Presiden Jokowi menjadi tiga periode. Oleh sebab itu, rakyat menuntut agar Perppu No.2/2022 segera dibatalkan. Selain itu karena tindakan menerbitkan Perppu telah melanggar konstitusi dan UU yang berlaku, maka Presiden Jokowi seharusnya segera menjalani proses pemakzulan.[]
Jakarta, 11 Januari 2023.