Lembaga Survei Sepertinya Makin Sulit untuk Dipercaya
Oleh Ady Amar - Kolumnis
HAL biasa jika beberapa lembaga survei dengan waktu yang hampir bersamaan merilis hasil surveinya. Hasil rilis satu dengan lainnya tidak sama, bahkan hasilnya berkebalikan. Terutama yang disurvei itu kandidat presiden yang digadang-gadang akan maju di Pilpres 2024, acap hasilnya tidak sama. Hasil rilis prosentasenya jomplang, atau bahkan berkebalikan. Kok bisa, ya bisa saja.
Ada pula yang mengganggu nalar, sejak awal tahun 2021 tercatat ada empat lembaga survei yang rutin merilis hasil surveinya. Charta Politika, Indikator Politik Indonesia, SMRC dan Poltracking. Lembaga ini dua atau tiga bulan sekali mengumumkan hasil surveinya. Makin ke sini frekuensinya makin tinggi kadang sebulan sekali. Bahkan saat Covid-19 varian Delta mengamuk, sekitar April-Agustus 2021 publik disuguhi hasil survei elektabilitas Capres. Kalau disimak dengan baik, ingatan kita soal survei saat ini didominasi oleh lembaga di atas, setidaknya yang paling aktif. Apa iya pilihan politik bisa berubah-ubah dalam waktu singkat, kok harus ditelusuri sebulan sekali?
Tidak cukup itu, yang mengaduk nalar, hasil survei lembaga-lembaga ini bunyinya hampir sama. Ada capres dipuji terus meningkat peluangnya, capres lain seolah tidak punya harapan menang. Pikiran publik seolah digiring ya sudah pilih yang paling berpeluang menang saja. Ikuti pilihan mayoritas saja, toh yang lain tidak mungkin menang.
Fenomena giring-menggiring opini publik ini mengingatkan pada peristiwa di tahun 2014, dimana Megawati diguyur 9 lembaga survei yang dibayar oleh 3 konglomerat. Seperti yang disampaikan Refly Harun mengutip omongan Adi Prayitno bulan lalu, untuk meyakinkan Ketua Umum PDI Perjuangan agar mencalonkan sosok tertentu menjadi capres. Lembaga survei secara teratur dan terstruktur membuat analisis jika PDI Perjuangan mencalonkan figur ini menjadi presiden, maka partai ikut mendapatkan jauh suara lebih banyak karena efek ekor jas. Alhasil, Megawati menuruti pendapat itu dan janji ekor jas tidak terjadi.
Menjelang pemilu tahun depan rasanya peristiwa penggiringan opini oleh lembaga survei ini semakin nyata. Publik dipaksa percaya bahwa realitas elektoral yang sebenarnya sebagaimana diungkap oleh empat lembaga disebut di atas. Jika saja ada lembaga lain yang kurang populer mengumumkan hasil yang berbeda, meskipun mungkin yang disampaikan lembaga ini benar tetapi pasti banyak yang meragukan, atau bahkan tidak percaya. Publik cenderung lebih mempercayai kepada lembaga survei yang lebih populer, yang didukung nama besar. Mereka seolah menjadi pemilik kebenaran.
Dominasi lembaga survei untuk mewarnai pendapat publik bukan hal kebetulan. Diyakini ada kekuatan besar di baliknya. Tidak murah biaya harus dikeluarkan untuk sekali pelaksanaan survei. Informasi dari teman seorang pollster, ongkos tiap kali survei dengan metode tatap muka 1.200 responden paling murah Rp 400 juta rupiah. Ini biaya riil lapangannya. Kalau dibayari oleh pihak ketiga bandrolnya berbeda, bisa Rp 500 juta-600 juta. Bayangkan saja ada lembaga survei yang setahun merilis hasil survei 6 sampai 8 kali. Satu lembaga ini saja pihak pembeli survei mengeluarkan uang paling sedikit Rp 3-4 milyar. Kalau ada empat lembaga yang diminta jasa surveinya, dana yang keluar bisa sampai Rp 16 milyar per tahun. Uang senilai itu tidak mungkin membuat lembaga survei benar-benar bersih dari upaya penggiringan opini.
Coba perhatikan, pimpinan lembaga survei yang rajin merilis temuannya, tidak benar-benar netral saat berbicara di depan publik, atau menyampaikan pendapat di media sosial. Mereka ini ikut sebagai pengamat politik yang partisan, dan itu terang-terangan. Membesar-besarkan satu pihak dan menjatuhkan pihak lainnya. Maka tidak keliru apabila banyak pihak meragukan kredibilitas lembaga survei dan seolah bertekuk lutut pada pemesannya. Ada easy money di dalam lembaga survei, kredibilitas tampak tidak penting dan diabaikan.
Suatu kali ada kawan berseloroh setelah menonton analisis pimpinan lembaga survei tertentu. “Orang ini kelihatannya sedang jobless. Soalnya ia memuj-muji Anies Baswedan, mungkin ia berharap direkrut bohir lawan Anies. Ini nih teknik pemasaran.” Ungkapan kawan ini cermin betapa lembaga survei telah menjadi industri komersial, tidak lagi menjadi sumber pengetahuan.
Indikator Politik Indonesia
Salah satu lembaga survei yang populer adalah Indikator Politik Indonesia (IPI), yang belum lama ini merilis hasil surveinya, yang seperti berkebalikan dengan akal sehat. Atau memang kita mesti membiasakan membaca hasil surveinya dengan serba berkebalikan. Misal, stagnan itu bisa dibaca/diserupakan dengan menanjak. Sedang menanjak, itu bisa dibaca stagnan.
Mengapa boleh disebut berkebalikan dengan akal sehat--setidaknya saya menyebutnya demikian--itu karena apa yang ditanyakan pada responden, sangat jauh dari realita yang ada. Survei dilakukan dengan tatap muka. Dan pertanyaan bisa disesuaikan dengan keinginan penggiringan opini. Mari kita cermati rilis survei terakhirnya itu.
Menurut rilis survei yang dilakukan 1-6 Desember 2022, disampaikan Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi, di mana Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kembali menempati posisi teratas. Naiknya elektabilitas Ganjar, itu berkorelasi dengan kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ganjar memiliki elektabilitas sebesar 35,8 persen dalam simulasi tiga nama bakal Capres. Ganjar unggul atas eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (28,3 persen), dan Menteri Pertahanan yang sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (26,7 persen).
Rilis survei IPI itu, menyebutkan adanya tren positif terhadap Ganjar, pada periode November-Desember 2022. Bisa terlihat dari peningkatan elektabilitas dari 33,9 persen pada November, menjadi 35,8 persen pada Desember. Tren positif juga dialami Prabowo. Kenaikan dari 23,9 persen pada November, menjadi 26,7 persen. Sementara Capres Anies Baswedan mengalami tren negatif. Dari 32,2 persen pada bulan November, menjadi 28,3 persen bulan Desember.
Hasil survei yang muncul seolah menyederhanakan persoalan dengan dicarikan faktor pembenar terhadap kenaikan elektabilitas Ganjar, meski menjadi sulit dinalar. Dikatakan kenaikan dukungan Ganjar karena meningkatnya kepuasan publik pada kinerja Jokowi. Namun Tidak diberi penjelasan tren negatif terhadap Anies itu disebabkan oleh faktor apa. Memang akan sulit bisa memberi penjelasan rasionalitasnya. Mengingat realita sambutan massa mengelu-elukan Anies pada setiap kunjungan ke beberapa daerah, itu seperti tidak dilihat sebagai sesuatu. Malah yang didapat tren menurun (negatif).
Kesimpulan IPI menyisakan satu pertanyaan metodologis. Apakah naiknya suara Ganjar mencerminkan keadaan sebenarnya ataukah hanya karena bias sampling yang condong jatuh pada orang-orang yang menyatakan puas pada kinerja Jokowi?
Jangan lupa, negeri ini untuk soal politik elektoral hanya ada dua kutub, pro dan non Jokowi. Kalau sampel yang ditarik banyak jatuh ke populasi pro Jokowi pastilah puas pada kinerjanya, dan juga niscaya cenderung positif kepada elemen yang lekat dengan Jokowi, termasuk Ganjar yang identik sebagai Jokowi kecil. Sebaliknya hasil survei menegasi pada unsur yang antitesa Jokowi termasuk elektabilitas Anies.
Begitu pula kalau sampel banyak jatuh pada populasi yang non Jokowi, dipastkan suara Ganjar ambrol sedangkan suara Anies naik. Jadi tren kenaikan dukungan Ganjar dan penurunan pada Anies bisa jadi bukan cermin fenomena sebenarnya, tetapi karena bias sampling. Siapa pun yang pernah belajar statistik tahu ada istilah kurva normal dalam penarikan sampel. Sampel ideal adalah sampel yang kurva normalnya melengkung mulus dengan sisi yang proporsional. Kalau condong pada satu sisi sampel akan menjadi cermin pada karakteristik populasi sisi tersebut.
Condong atau tidaknya sampel pada satu sisi bukan hanya terjadi pada proses pengambilan sampel yang disengaja. Pada pengambilan sampel secara acak pun hal ini bisa terjadi. Kalau mau fair, IPI harus menunjukkan analisis normalitas kurva sampelnya. Tidak cukup hanya menunjukkan tren data dan sekadar memperlihatkan karakter sampelnya sebangun dengan populasi BPS. Tidak perlu pakai analisis korelasi pun semua orang tahu kalau banyak yang puas kepada Jokowi pasti baik pada elektabilitas Ganjar dan buruk bagi Anies. Ya itu tadi, karena opini politik bangsa ini terbelah hampir sama banyak antara pro dan non Jokowi.
Kalau pun IPI tidak mampu membuat analisis uji normalitas sampelnya, coba lakukan dua unit survei yang dilakukan dalam rentang waktu dan metode yang sama. Kalau keduanya menunjukkan tren yang sama maka sah membuat kesimpulan di atas.
Secara metodologis pernyataan bahwa dukungan Ganjar naik karena meningkatnya kepuasan pada kinerja Jokowi ini sumir. Tidak heran kalau ada kesan lembaga survei mencari pembenaran untuk menggiring opini suara Ganjar naik dan Anies turun.
Akhir Desember 2022 dan Januari 2023, banjir merendam Jawa Tengah. Banyak kota atau kabupaten yang lumpuh oleh banjir, menjadi seperti tidak tertangani. Jika survei dibuat saat ini, belum tentu tren negatif didapat Ganjar. Argumen tren positif bisa dibuat, dan sepertinya nalar publik dianggap bisa dikecoh.
Silahkan saja merilis survei untuk menaikkan atau menurunkan elektabilitas siapa saja yang dikehendaki, itu pastilah sesuai kemauan pihak yang memesannya. Publik punya penilaiannya sendiri. Sulit bisa termakan penggiringan opini tentang elektabilitas yang dimunculkan lembaga survei. Menjadi wajar jika muncul kesan, bahwa lembaga survei sulit bisa dipercaya, jika masih bekerja dengan memakai metodologi siapa yang membayarnya.
Tapi dari sedikit lembaga survei yang masih istiqomah memegang idealismenya, rilis hasil surveinya terus dinanti. Rakyat sudah belajar dari pengalaman masa lalu, mengingat dengan baik mana hasil survei yang sesuai dengan suara rakyat, dan mana yang abal-abal. (*)