OPINI
Catatan dari Forum Perdamaian Dunia ke-8 di Solo
Pada kesempatan khutbah Jumat bersama peserta Forum yang beragama Islam saya menguatkan lagi bahwa konsep persaudaraan kemanusiaan bukan hal baru bagi Umat ini. Konsep ini bukan juga pertama kali dicetuskan oleh Sheikh Azhar dan Paus Franciss. Oleh: Imam Shamsi Ali, Imam di New York/US Participant DALAM tiga hari ini saya berada di Surakarta atau Kota Solo untuk dua hajatan besar. Yakni pelaksanaan Forum Perdamaian Dunia ke-8 sekaligus menghadiri pembukaan Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiah yang ke-48. Bagi saya kedua acara ini merupakan kebanggaan. Muktamar Muhammadiyah membanggakan saya sebagai tamatan pesantren Muhammadiyah. Tapi Forum Perdamaian Dunia juga membanggakan karena perhelatan internasional ini diinisiasi oleh Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dunia. Pada catatan ini saya akan fokus pada acara Forum Perdamaian Dunia yang diinisiasi oleh Pusat Dialog antar agama dan peradaban di bawah komando Prof. Din Syamsuddin, yang juga mantan Ketua Umum Muhammadiyah dua periode. Perhelatan dua tahunan itu menghadirkan tokoh-tokoh agama, aktifis dan akademisi dunia, khususnya mereka yang bergelut di dunia sosial keagamaan, pendidikan dan kebudayaan. Saya sendiri hadir dalam status sebagai seorang Imam/tokoh agama Islam di Amerika. Walaupun sering dicantumkan sebagai peserta Indonesia karena wajah dan lisan saya yang tentunya tetap tidak berubah sebagai orang Indonesia. Hal ini juga sering disikapi oleh sebagian peserta yang belum mengenal saya, seolah saya hanyalah peserta lokal, yang biasanya disikapi biasa-biasa saja. Yang menarik adalah seorang peserta lain dari US, seorang professor wanita keturunan Korea. Beliau justeru lebih identik sebagai peserta dari Amerika. Padahal dari segi residensi di Amerika saya lebih senior (tinggal lebih lama). Beliau hanya Kebetulan orang asing (non Indonesian) sehingga lebih diidentikkan sebagai orang Amerika. Bagi saya hal ini justeru membanggakan, bahkan membahagiakan. Karena walau saya telah meninggalkan Indonesia sejak tamat pesantren (SMU) dan tidak pernah lagi tinggal di Indonesia, Saya masih tetap diterima sebagai warga Indonesia asli. Ini sekaligus menguatkan kebanggaan saya sebagai orang yang terlahir di negeri tercinta ini. World Peace Forum ke-8 Perhelatan forum dunia untuk perdamaian ini bertemakan “Human Fraternity and the Middle Path as the pillar to Peaceful, Just and Prosperous World”. Tema ini kira-kira ingin menyampaikan bahwa persaudaraan kemanusiaan (Al-ukhuwah insaniyah) dan jalan tengah (wasatiyah) adalah pilar untuk mewujudkan perdamaian, keadilan dan kemakmuran dunia. Para pembicara dengan latar belakang yang berbeda, hadir antara lain perwakilan Vatican (Katolik), Wakil Sheikh Al-Azhar (Muslim), maupun dari kalangan Hindu dan agama-agama lainnya. Bahkan pada sesi khusus membahas tentang nilai-nilai ketimuran ditampilkan pembicara dari Konghucu dan Budha. Semua pembicaraan mengarah kepada bagaimana menguatkan relasi atau persaudaraan kemanusiaan universal dan memasyarakan (mainstreaming) nilai-nilai jalan tengah (wasatiyah) demi terwujudnya perdamaian, keadilan dan kemakmuran dunia. Pada sesi pembukaan acara ini hadir juga beberapa tokoh nasional Indonesia untuk menyampaikan pandangan-pandangan tentang tema Forum. Hadir antara lain Bambang Soesatyo (Ketua MPR RI), Bapak Jusuf Kalla (mantan Wakil Presiden dua periode) dan lain-lain. Walau pada semua sesi ada pembicara-pembicara yang telah ditentukan, namun semua peserta punya kesempatan untuk menyampaikan pandangan/ide berkaitan dengan tema-tema pembahasan. Sehingga relatif hampir semua peserta punya kesempatan untuk berbicara pada forum ini. Saya pribadi pada kesempatan tersebut secara singkat menyampaikan beberapa pandangan berkenaan dengan tema bahasan. Ada tiga poin penting yang saya sampaikan pada kesempatan yang sangat singkat itu. Pertama, saya menekankan bahwa pembicaraan mengenai perdamaian, keadilan dan kemakmuran menjadi hambar bahkan hampa (sia-sia) ketika kebebasan hilang dari kehidupan. Saya mengingatkan peserta Muslim khususnya bahwa esensi “Laa ilaaha illallah” adalah kebebasan hakiki. Saya secara khusus merujuk kepada konteks Palestina (yang dubesnya juga hadir sebagai peserta) yang tak kunjung mendapatkan kebebasan (kemerdekaannya). Kedua, pembahasan persaudaraan kemanusiaan (human fraternity) menjadi tidak relevan ketika dunia dengan ragam imajinasi terfragmansi secara tidak adil. Dikotomi dunia kepada Barat dan Timur, yang kemudian melahirkan peradaban Barat dan peradaban Timur bahkan agama Barat dan agama Timur merupakan bahagian dari “paradoxical behavior” (prilaku paradoks) dalam menyikapi Persaudaraan kemanusiaan itu. Masalahnya pembagian dunia itu bukan berdasarkan geografis. Tetapi, lebih kepada cara pandang yang membagi manusia kepada Barat dan Timur. Barat sebagai penggambaran kemajuan, kekuatan, peradaban, dan seterusnya. Sementara bangsa Timur (Eastern nations) adalah sebaliknya. Ketiga, berbagai terminologi yang berkembang atau dikembangkan secara sistimatis, termasuk toleransi vs extremisme, bahkan “war on terror” yang dikembangkan oleh Bush Jr pasca 9/11 di US memiliki konotasi dan pemaknaan yang disesuaikan dengan kepentingan masing-masing. Dan, karenanya terminologi-terminologi yang dikembangkan harus terdefenisikan secara jelas. Termasuk kata “middle path” itu sendiri yang diterjemahkan dari kata “wasatiyah” yang diambil dari Al-Quran. Pada kesempatan khutbah Jumat bersama peserta Forum yang beragama Islam saya menguatkan lagi bahwa konsep persaudaraan kemanusiaan bukan hal baru bagi Umat ini. Konsep ini bukan juga pertama kali dicetuskan oleh Sheikh Azhar dan Paus Franciss. Tapi justeru merupakan “Godly Declaration” atau Deklarasi Allah dalam Al-Quran (An-Nisa ayat 1 dan Al-Hujurat ayat 13). Juga deklarasi kemanusiaan universal Rasulullah SAW ketika menyampaikan khutbah wada’ di Padang Arafah berabad-abad yang lalu. Hal penting lainnya yang diperoleh dari Forum Dunia untuk Perdamaian ini adalah diluncurkan apa yang disebut “Global Fulcrum on Islamic Middle Path”. Sebuah gerakan global untuk menjadikan wasatiyah Islam sebagai mainstream beragama. Tentu sekali lagi hal ini bukan baru bagi Umat ini memang dikenal dengan “ummatan wasathan”. Tapi ini merupakan bahagian dari keseriusan Umat untuk menyelesaikan berbagai kecenderungan radikal dalam kehidupan. Tentu tidak saja dalam kehidupan beragama. Tapi hampir dalam semua aspeknya, termasuk ekonomi dan politik. Melalui Forum Dunia untuk Perdamaian ini kita harapkan dunia akan semakin membuka mata tentang realita Islam dan umatnya. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya bahwa salah satu ancaman terhadap human fraternity adalah adanya “imaginary view of one another”. Yaitu kecenderungan menilai orang lain tidak berdasarkan fakta. Tapi lebih kepada imajinasi-imajinasi yang dikembangkan, khususnya oleh media dunia. Umat harus mengambil kendali! Udara Solo-Jakarta, 20 Nopember 2022. (*)
Debat Kusir Plus-Minus Amandemen UUD 1945
Perdebatan bermula dari unggahan penulis, “Kelemahan pokok sistem Demokrasi Liberal one man one vote ialah setiap kepala mempunyai satu suara, tanpa mempertimbangkan isi kepalanya.” Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta DEBAT ialah diskusi, pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Berdebat artinya bertukar pikiran, bersoal jawab, bersilat lidah, berbantahan tentang suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat. Mendebat berarti membantah pendapat orang lain dengan mengajukan alasan-alasannya. Debat kusir adalah perbantahan yang tidak disertai alasan yang masuk akal. Konon istilah debat kusir berasal dari pengalaman Haji Agus Salim berdebat dengan Sais Delman. Ketika Haji Agus Salim sedang naik delman tiba-tiba si kuda kentut, “preeet...” Haji Agus Salim pun menyapa Pak Kusir, “Pak, kudanya masuk angin.” Pak Kusir tanpa ekspresi mengendalikan kuda tanpa merespons kata-kata Haji Agus Salim. Terpaksa Haji Agus Salim mengingatkan, “Pak, kuda Bapak masuk angin...” Dengan kalem Pak Sais menimpali, \"Kuda saya tidak masuk angin Pak, tapi keluar angin.” Haji Agus Salim pun mengangguk-angguk dan berkata dalam hati, “Hmmmm.. debat kusir.” Berikut perbantahan seputar amandemen UUD 1945, mana yang memakai dan/atau masuk akal dan mana yang tidak, terserah kepada pembaca yang bijaksana. Perdebatan bermula dari unggahan penulis, “Kelemahan pokok sistem Demokrasi Liberal one man one vote ialah setiap kepala mempunyai satu suara, tanpa mempertimbangkan isi kepalanya.” (Sir Dr. Mohammad Iqbal, salah seorang penggagas berdirinya Negara Pakistan). Unggahan itu disusul kutipan pernyataan Pak Try Sutrisno, “Kita Harus Kembali ke UUD 1945.” https://www.indonesiamandiri.web.id/2022/11/try-sutrisno-kita-harus-kembali-ke-uud.html Salah seorang anggota grup WA menanggapinya demikian. Tidak kembali ke UUD45 saja sudah dikuras oligarki, apa lagi kembali? Kita harus kembali ke sistem parlementer. Agar check and balance jalan. UUD 1945 asli itu menganut sistem parlementer... jadi? UUD 1945 asli itu gado-gado. Cocok untuk masa transisi. Wajarlah, kreasi anak-anak didik Eropa yang besar Amerika Serikat. Tapi Amandemen 4x itu kebablasan. Sila keempat Pancasila itu musyawarah dan hikmah, bukan jumlah! Itu kan ikhtiar sesuai zamannya menurut saya. Orang lelah diperas rezim ORBA dan marah. Sementara intelektual yang dominan kebanyakan didikan US dan terpesona dengan model demokrasi di sana. Mirip dulu waktu akan merdeka. Intelektual kebanyakan didikan Eropa. US dan beberapa negara sudah amandemen berkali-kali konstitusi mereka tak pernah bilang kebabalasan. Kita ini hobi sekali menyesali sejarah sendiri. Dialektika akhirnya dibunuh. Sudah saatnya amandemen UUD 1945 ke-5. Istilah “amandemen kebablasan” itu untuk menunjukkan bahwa hasil amandemen 20 tahun yang lalu sekarang tidak baik-baik saja. Di zaman medsos begini hakim saja terpengaruh opini publik. Jika ingin maju bangsa ini harus mau beradaptasi dan berpikir sesuai zaman. Apa iya anggota parlemen harus dipilih dengan hikmah dan musyawarah? Bagaimana caranya? Jumlah dan konsensus itu adalah kombinasi sesuai konteks. Karena MPR mandul dan dimandulkan. Kok dimandulkan? Amandemen itu produk sejarah. Tidak beda dengan UUD 1945 awal. Itu kan hasil konsensus para wakil rakyat saat itu. Bangsa ini tidak akan pernah maju dan besar jika intelektualnya gemar menyalahkan masa lalu. Ya, bangsa ini akan makin besar bila mau selalu mengevaluasi dan mengkritisi hasil kerja masa lalu. Nah, makanya jangan menyalahkan sejarah. Agar tak mengulangi kesalahan yang sama. Apakah hasil konsensus para wakil rakyat itu imun dari kekurangan? Anggota grup WA lainnya menimpali. Kami Forum Pemred pernah mengadakan Kongres Kebangsaan pada tahun 2012. Dalam kongres itu hadir berbagai pemangku kepentingan, seperti Ketua Lembaga Tinggi Negara dan Para Ketua Partai. Kongres dibuka oleh Presiden SBY. Di antara poin penting dari deklarasi itu: 1. Kita perlu merumuskan kembali tatanan berbangsa kita dalam keadaan normal, tidak seperti orla ke orba dan orba ke reformasi. Ada unsur dendam ke tatanan sebelumnya. 2. Apakah MPR dan DPD yang mandul seperti sekarang akan kita biarkan. 3. Apakah kita memerlukan GBHN lagi, sehingga arah pembangunan bangsa kerkesinambungan dan menjadi komitmen bersama yangg disahkan MPR. Dst. Kepastian sejarah itu tidak bisa diubah, tetapi, kalau bangsa ini benar-benar ingin menjadi lebih baik ya harus mau dikritik dan siap untuk berubah. Mana ada yang imun dari kekurangan. Tapi kata-kata kebabalasan itu out of context. Ada kelemahan dan kekurangan iya. Apa lagi jika dibaca dalam konteks saat ini. Kita harus menghargai ikhtiar kita sebagai bangsa yang terus bergerak maju. Iya, sistem bernegara kita harus semakin esensial. Dalam suatu pertemuan yang melibatkan para senior citizen keluar kata bahwa reformasi sudah kebabablasan. Saya bilang: bagaimana kita ingin berdialog tentang reformasi sebagai bagian dari sejarah bangsa jika sebagian kita sudah mengambil posisi sebagai hakim garis. Saya ditanya, mengapa berkesimpulan begitu. Saya jelaskan, kata \'bablas\' itu menghendaki salah satu pihak sebagai hakim garis. Ujung-ujungnya saya diyakinkan bahwa kita harus kembali ke UUD 1945 yg murni. Lagi-lagi mereka mengambil posisi sebagai hakim. Ada yang murni ada yang tak murni alias KW. Akhirnya saya memilih untuk mengalah dan mendengarkan saja. Mungkin itu yang terbaik. Sekedar menyampaikan pandangan, manusia biasa seperti saya tempatnya khilaf. Kebablasan = kelewatan, keterusan. Ini menurut Tesaurus Bahasa Indonesia, boleh setuju dan boleh tidak. Melampaui batas: garis. Garisnya mana? Apakah sila ke-4 Pancasila perlu diamandemen juga? Ya kita tanya kepada yang bilang bablas. Bablas itu malampaui batas/garis. Makanya disebut kelewatan, keterusan. Bagi saya amandemen itu konsensus. Kalau terasa di waktu kemudian tak sesuai keinginan dan tak efektif ya diamandemen lagi. Tapi dengan semangat untuk semakain maju dan esensial. Itulah sejarah. Tentunya tidak setiap hari amandemen. Tentu akan ada konteks politik kekuasan yang ikut mewarnai. Memang, amandemen UUD 1945 telah kebablasan, jadi kapan mau diamandemen lagi, supaya tidak melampaui batas? Menurut hemat saya, amandemen UUD NRI 1945 tersebut telah melampaui batas Pancasila. Apakah carut marut RI kini tidak ada sangkut pautnya dengan hasil amandemen 1999-2002? Nilai-nilai Pancasila: ketuhanan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Harusnya, UUD 1945 dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Bagaimana fakta dan realitanya pasca amandemen 1999-2002? 1) melampaui batas yang mana? 2) carut marut yang mana? Kalau cuma presiden dipilih langsung, 49 tahun sejak berdiri negara ini tanpa pemilihan presiden secara langsung. Apakah lebih baik dari hari ini? Apakah sila ke-4 itu sebuah proses pengambilan keputusan dalam bernegara atau suatu proses pemilihan presiden dan wakil rakyat? Saya tidak tahu. Yang jelas 49 tahun kita hanya memilih partai. Tapi, sekali lagi, apakah lebih baik dari hari ini? Indonesia tidak sedang baik-baik saja... Apakah keadilan sosial benar-benar telah diperjuang bagi seluruh rakyat Indonesia? Negeri ini dimerdekakan oleh rakyat semesta, mengapa kini dikuasai oleh oligarki ekonomi dan politik? Oh... kalau soal keadilan sosial sejak puluhan tahun memang tetap jadi masalah, ada yang membaik ada yang tidak. Maka harus dijelaskan mana yang membaik dan mana yang tidak membaik. Apakah keputusan pindah ibu kota negara melalui musyawarah, atau demokrasi one man one vote, ataukah melalui otoritas Presiden RI? Oligarki ekonomi dan politik terbentuk puluhan tahun. Bukan hanya di era reformasi. Tetapi, di era reformasi makin menjadi-jadi... Kalau ini semua presiden yang berencana ingin memindahkan ibukota negara di republik ini tak akan mungkin tanpa melalui DPR. Meski Sukarno, Suharto dan SBY belum berhasil menuntaskan keinginannya. Pertanyaannya, mengapa di DPR para anggota mayoritas bisa bersepakat? Saya kira era reformasi hanya melanjutkan bibit yang sudah tertanam sejak orba. Jadi, reformasi gagal membuat bibit-bibit oligarki menjadi terkendali. Alih-alih bablas... Karena DPR tunduk kepada Presiden. Kalau ini hampir sejak dulu begitu. DPR tidak tunduk ke presiden hanya di era akhir kekuasaan Sukarno, dan selama 5 tahun setelah reformasi dan pada era SBY, posisi relatif setara. Jadi apa masalahnya? DPR diisi oleh anggota yang berasal dari parpol. Mengapa kontrol kepada eksekutif lemah? Mengapa kader partai yang populer tak bisa dipromosi menjadi capres? Mengapa banyak juga capres dari luar parpol? Bukankah parpol adalah institusi yang diatur dalam konstitusi? Apa peran konstitusionalnya? Apakah ada masalah dalam konstitusi terkait parpol? Menunggu jawaban-jawabannya... Anggota grup WA yang lain menulis, “Sebenarnya saya sudah bosan dengan kosakata amandemen, konstitusi, undang-undang dasar, kuorum, dan sejenisnya.” Pernah beberapa tahun mengurusinya hari demi hari. Ujungnya bukan soal debat substansi namun politik praktis yang memutuskannya lewat serangan kilat. Bersusah-payah mengumpulkan dan merumuskan materinya keliling kampus dan jumpa banyak ahli di tanah air, eh, ditelikung oleh kepala negara cum kepala eksekutif lewat perintah lisan dan ketua majelis permusyawaratan rakyat melalui memo internal; masing-masing ke fraksinya agar menarik dan/atau tidak mendukung. Padahal niatnya, amandemen itu tidak tergesa-gesa dan/atau di bawah tekanan ketidakstabilan politik, tekanan demonstrasi, atau sejenisnya. Jadi, perlu amandemen UUD 1945 lagi atau tidak, kita serahkan kepada Rakyat Indonesia melalui referendum! (*)
Esensi Demokrasi Tak Mungkin Hidup Serumah dan Seatap Dengan Skema Kapitalisme Global Berbasis Korporasi
Konsensus Pragmatik yang menjadi output sistem politik demokrasi, harus dipatuhi para pemain hasil rekrutan dan kaderisasi yang diorganisir oleh konfigurasi kekuatan neoliberal global. Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (Presentasi di Depan Seminar Nasional yang Diselenggarakan BEM FEB UI, di Balai Sidang UI, 19 November 2022) ESENSI demokrasi itu dua. Tegaknya kedaulatan rakyat dan kesetaraan. Indonesia pasca Suharto bangsa kita mengalami disorientasi dalam arti tidak kenal diri, tidak tahu diri, dan tidak tahu harga diri. Lantaran dalam mengembangkan esensi demokrasi atas dasar kedaulatan rakyat dan kesetaraan yang khas Indonesia, tidak merujuk pada geopolitik sebagai input atau masukan. Sehingga berbagai komponen bangsa tidak mengenali dulu apa konstelasi geografis dunia internasional yang berkembang pada dekade 1980-an dan 1990-an, sehingga berbagai komponen bangsa tidak mengenali tren global maupun potensi ancaman global yang akan atau sedang berproses di Indonesia. Selain itu, seturut dengan lengsernya Suharto, berbagai komponen bangsa tidak menyelami karakteristik geografis berbagai daerah di bumi nusantara sebagai masukan geopolitik dalam merekonstruksi tatanan baru Indonesia pasca Orde Baru. Termasuk dalam mengaktualisasikan esensi demokrasi khas Indonesia untuk menegakkan kedaulatan rakyat dan kesetaraan sosial. Alhasil, dari sebab tidak mengenali tren global dan potensi ancaman global yang sedang atau akan berproses di negeri kita, serta mengabaikan karakteristik dan aspirasi geografis masing-masing daerah di bumi nusantara, maka kita sebagai justru mengalami dis-orientasi sejak awal merekonstruksi tatanan nasional baru pasca Suharto. Termasuk dalam membangun sistem demokrasi pasca Orde Baru yang berbasis sistem multi-partai. Dari sebab tidak baca diri dengan merujuk pada karakteristik dan aspirasi geografis masing-masing daerah sebagai kodrat geopolitik Indonesia, dan juga tidak baca lingkungan dengan merujuk pada apa konstelasi geografis dunia internasional sebagai tren global kala itu, maka esensi demokrasi Indonesia justru dibangun atas dssar skema kepentingan kapitalisme global berbasis korporasi yang mana semakin menguat pada era 1980-an dan 1990-an. Skema kapitalisme global berbasis korporasi yang kian menguat sejak dekade 1980 dan 1990 tersebut, kemudian membangun Formasi Neoliberalisme dengan menunggangi arus globalisasi yang merupakan tren global pasca Perang Dingin pada akhir 1980 memasuki awal 1990-an. Nah, formasi Neoliberalisme Global inilah kemudian menjadi fondasi membangun konfigurasi kekuatan politik untuk menguasai kondisi sosial geografis Indonesia di ranah ideologi, politik-ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan. Yang mana tujuan strategisnya adalah menguasai kondisi alamiah geografis negeri kita yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan lokasi geografis. Menyadari tujuan dan niatan skema kapitalisme global berbasis korporasi melalui Formasi Neoliberalisme berikut konfigurasi kekuatan neoliberal sebagai perangkat dukungan strategisnya, maka ketika desain besar demokrasi Indonesia yang dibangun seturut lengsernya Suharto tersebut harus diselaraskan dengan Formasi dan Konfigurasi Neoliberalisme Global, maka esensi demokrasi sebagai kedaulatan rakyat dan kesetaraan sosial harus dihilangkan. Dengan begitu, demokrasi tidak memberi ruang partisipasi yang luas daru berbagai elemen masyarakat baik berbasis budaya maupun klas. Dan tidak mengembangkan kesetaraan sosial dalam arti sistem demokrasi kita tidak peka dengan adanya aspirasi baru dan kelompok baru yang terpinggirkan akibat dominasi dan hegemoni Formasi dan Konfigurasi Neoliberalisme Global dalam menguasai ranah politik, ekonomi, hukum dan sosial-budaya kita. Konsensus Pragmatik yang menjadi output sistem politik demokrasi, harus dipatuhi para pemain hasil rekrutan dan kaderisasi yang diorganisir oleh konfigurasi kekuatan neoliberal global. Lantas, apa strategi alternatif yang harus digagas kaum muda termasuk para mahasiswa? Hidupkan kembali geopolitik sebagai Ilmunya Ketahanan Nasional. Buat dan kembangkablb gerakan dan perjuangan sosial yang kreatif, inovatif dan kritis. (*)
Dahlanian Learning Cybernetics
Keluarga diperkuat menjadi simpul institusi belajar pertama dan utama, di mana kesadaran kelamin (gender consciousness) dan literasi finansial diteladankan oleh orangtua pada anak-anaknya untuk mencegah penularan LGBT dan pinjol akhir-akhir ini. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, LSBO PWM Jawa Timur SISDIKNAS yang didominasi oleh subsistem persekolahan saat ini terus kehilangan relevansinya, juga merosot daya serapnya. Persekolahan menjadikan educatedness menjadi barang langka sehingga makin mahal dan tidak terjangkau oleh banyak warga belajar. Situasi ini membahayakan bonus demografi kita lalu menjegal bangsa dan negara ini sebagai a new economic powerhouse yang mampu mengimbangi kebangkitan China, sekaligus mengisi kemunduran Barat dan AS. Obsesi pada standard mutu telah menelantarkan relevansi pendidikan secara personal, spasial dan temporal, sehingga tidak banyak warga belajar yang memperoleh manfaat persekolahan massal ini kecuali mengantarkan mereka menjadi buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan investor asing demi upah yang tidak seberapa. Formalisme persekolahan telah menjadikan Sisdiknas ini kaku, kurang lentur dan tidak adaptif terhadap perubahan cepat yang dihadirkan oleh internet dan teknologi digital. Potensi-potensi agromaritim, seni dan budaya nasional juga ikut terbengkalai. Muhammadiyah perlu mempelopori rekonstruksi Sisdiknas menjadi sebuah Dahlanian Learning Cybernetics (DLC) dengan memanfaatkan ketersediaan internet untuk memperluas kesempatan belajar sebagai public goods bagi warga muda. DLC ini sekaligus merupakan platform untuk belajar merdeka dalam rangka menyiapkan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka. DLC sebagai sebuah platform komunikasi lintas – dan multi – disiplin dengan berbagai umpan balik akan menjadi jejaring belajar yang adaptif yang menyediakan kesempatan belajar yang customised dan on demand sesuai dengan minat, bakat, dan aspirasi warga belajar. Pola belajar multi-cerdas multi-ranah dengan berguru pada pakar dan praktisi akan menjadi norma baru pembelajaran. Luaran utama DLC adalah warga muda yang mandiri, bertanggung jawab, sehat dan produktif pada usia 18 tahun. Dalam DLC itu, keluarga dan masjid serta unit-unit kegiatan sosial seperti yasinan, karang taruna, unit budaya seperti sanggar seni, klub olahraga, perpustakaan kelurahan, dan unit ekonomi masyarakat seperti bengkel, toko, dan pasar, bersama sekolah, pesantren, dan kampus membentuk sebuah self organized learning environments atau SOLEs (Mitra, 1999). Keluarga diperkuat menjadi simpul institusi belajar pertama dan utama, di mana kesadaran kelamin (gender consciousness) dan literasi finansial diteladankan oleh orangtua pada anak-anaknya untuk mencegah penularan LGBT dan pinjol akhir-akhir ini. Masjid menjadi simpul institusi pendidikan bermasyarakat dan berbangsa. Persekolahan menjadi pusat sumberdaya belajar yang menyediakan studio, perpustakaan, bengkel, laboratorium, akses internet, sarana olahraga, dan guru dan pakar. Guru mengambil peran sosiopreneur dan community organiser. Tujuh filosofi pendidikan Kyai Dahlan menjiwai DLC tersebut: mewujudkan muslim yang hidup bermakna, rendah hati, mengembangkan potensi akal dan ijtihad, berani memperjuangkan kebenaran, dan sanggup berkorban bagi kepentingan publik, serta konsisten antara kata dan tindakan, antara teori dan praktek. Melalui DLC itu pendidikan menjadi instrumen perluasan kemerdekaan (Sen 1999) sekaligus pencerdas kehidupan bangsa sebagaimana amanat UUD 1945, bukan sekedar alat penyiapan buruh murah sebagaimana temuan Banerjee, Duflo dan Kremer (2000) yang memberikan Nobel Ekonomi 2019 bagi ketiganya. Demikianlah DLC menjadi learning enabler oleh semua untuk semua. Malang, 19 Nopember 2022. (*)
Peringatkan Penyeleweng Proklamasi: Penguasa Saat Ini Harus Kembali Pada UUD 1945
Kembali menegakkan Marwah Pancasila dan UUD 1945 original adalah jalan keselamatan bagi bangsa dan negara ini. Marilah kita bangun kesadaran kita sebagai anak bangsa. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila KEGALAUAN kita sebagai bangsa hari-hari ini semakin membuncah, semakin gemas dengan tingkah pola para pemimpin yang tidak pantas lagi diteladani, korupsi, intrik-intrik politik yang tidak memberi energi positif. Justru malah sebaliknya, menjadikan bangsa ini karut-marut dan puncaknya hilangnya rasa kepercayaan sesama anak bangsa, hilangnya jati diri berbangsa dan bernegara. Marilah kita merenungkan kembali apa yang pernah dipidatokan oleh Bung Karno pada peringatan 17 Agustus 1963. Sebagai berikut. ….“Dan sinar suryanya! Pada waktu kita berjalan, Proklamasi menunjukkan arahnya jalan. Pada waktu kita lelah, Proklamasi memberikan tenaga baru kepada kita. Pada waktu kita berputus asa, Proklamasi membangunkan lagi semangat kita. Pada waktu di antara kita ada yang nyeleweng, Proklamasi memberikan alat kepada kita untuk memperingatkan si penyeleweng itu bahwa mereka telah nyeleweng. Pada waktu kita menang, Proklamasi mengajak kita untuk tegap berjalan terus, oleh karena tujuan terakhir memang belum tercapai. Bahagialah rakyat Indonesia yang mempunyai Proklamasi itu; bahagialah ia, karena ia mempunyai pengayoman, dan di atas kepalanya ada sinar surya yang cemerlang! Bahagialah ia, karena ia dengan adanya Proklamasi yang perkataan-perkataannya sederhana itu, tetapi yang pada hakikatnya ialah pencetusan segala perasaan-perasaan yang dalam sedalam-dalamnya terbenam di dalam ia punya kalbu, sebenarnya telah membukakan keluar ia punya pandangan hidup, ia punya tujuan hidup, ia punya falsafah hidup, ia punya rahasia hidup, sehingga selanjutnya dengan adanya Proklamasi beserta anak kandungnya yang berupa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu, ia mempunyai pegangan hidup yang boleh dibaca dan direnungkan setiap jam dan setiap menit. Tidak ada satu bangsa di dunia ini yang mempunyai pegangan hidup begitu jelas dan indah, seperti bangsa kita ini. Malah banyak bangsa di muka bumi ini, yang tak mempunyai pegangan hidup sama sekali! Dengarkan sekali lagi bunyi naskah Proklamasi itu: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.” Dan dengarkan sekali lagi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan sela-mat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu peme-rintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melak-sanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Demikianlah bunyi Proklamasi beserta anak kandungnya yang berupa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Alangkah jelasnya! Alangkah sempurnanya ia melukiskan kita punya pandangan hidup sebagai bangsa, – kita punya tujuan hidup, kita punya falsafah hidup, kita punya rahasia hidup, kita punya pegangan hidup! Karena itu maka Proklamasi dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah satu “pengejawantahan” kita punya isi jiwa yang sedalam-dalamnya, satu Darstellung kita punya deepest inner self. Pada 17 Agustus 1945 mencetuskan keluar satu proklamasi kemerdekaan beserta satu dasar kemerdekaan. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah sebenarnya satu proclamation of independence dan satu declaration of independence. Bagi kita, maka naskah Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah satu. Bagi kita, maka naskah Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Bagi kita, maka naskah Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah loro loroning atunggal. Bagi kita, maka proclamation of independence berisikan pula declaration of independence. Lain bangsa, hanya mempunyai proclamation of independence saja. Lain bangsa lagi, hanya mempunyai declaration of independence saja. Kita mempunyai proclamation of independence dan declaration of independence sekaligus. Proklamasi kita memberitahu kepada kita sendiri dan seluruh dunia, bahwa rakyat Indonesia telah menjadi satu bangsa yang merdeka. Declaration of independence kita, yaitu terlukis dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta Pembukaannya, mengikat bangsa Indonesia kepada beberapa prinsip sendiri, dan memberi tahu kepada seluruh dunia apa prinsip-prinsip kita itu. Proklamasi kita adalah sumber kekuatan dan sumber tekad perjuangan kita, oleh karena seperti tadi saya katakan, Proklamasi kita itu adalah ledakan pada saat memuncaknya kracht total semua tenaga-tenaga nasional, badaniah dan batiniah – fisik dan moril, materiil dan spirituil. Declaration of independence kita, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, memberikan pedoman-pedoman tertentu untuk mengisi kemerdekaan nasional kita, untuk melaksanakan kenegaraan kita, untuk mengetahui tujuan dalam memperkembangkan kebangsaan kita, untuk setia kepada suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita. Maka dari itulah saya tadi tandaskan, bahwa Proklamasi kita tak dapat dipisahkan dari declaration of independence kita yang berupa Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pembukaannya itu. “Proklamasi” tanpa “declaration” berarti bahwa kemerdekaan kita tidak mempunyai falsafah. Tidak mempunyai dasar penghidupan nasional, tidak mempunyai pedoman, tidak mempunyai arah, tidak mempunyai “raison d’etre”, tidak mempunyai tujuan selain daripada mengusir kekuasaan asing dari bumi Ibu Pertiwi. Sebaliknya, “declaration” tanpa “proklamasi”, tidak mempunyai arti. Sebab, tanpa kemerdekaan, maka segala falsafah, segala dasar dan tujuan, segala prinsip, segala “isme”, akan merupakan khayalan belaka, – angan-angan kosong-melompong yang terapung-apung di angkasa raya. Tidak, Saudara-saudara! Proklamasi Kemerdekaan kita bukan hanya mempunyai segi negatif atau destruktif saja, dalam arti membinasakan segala kekuatan dan kekuasaan asing yang bertentangan dengan kedaulatan bangsa kita, menjebol sampai ke akar-akarnya segala penjajahan di bumi kita, menyapu-bersih segala kolonialisme dan imperialisme dari tanah air Indonesia, – tidak, proklamasi kita itu, selain melahirkan kemerdekaan, juga melahirkan dan menghidupkan kembali kepribadian bangsa Indonesia dalam arti seluas-luasnya: . kepribadian politik, . kepribadian ekonomi, . kepribadian sosial, . kepribadian . kebudayaan, Pendek kata kepribadian nasional. Kemerdekaan dan kepribadian nasional adalah laksana dua anak kembar yang melengket satu sama lain, yang tak dapat dipisahkan tanpa membawa bencana kepada masing-masing”.… Sekali lagi, semua kita, terutama sekali semua pemimpin-pemimpin, harus menyadari sangkut-paut antara Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: . kemerdekaan untuk bersatu, . kemerdekaan untuk berdaulat, . kemerdekaan untuk adil dan makmur, . kemerdekaan untuk memajukan kesejahteraan umum, . kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, . kemerdekaan untuk ketertiban dunia, . kemerdekaan perdamaian abadi, . kemerdekaan untuk keadilan sosial, . kemerdekaan yang berkedaulatan rakyat, . kemerdekaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, . kemerdekaan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, . kemerdekaan yang berdasarkan persatuan Indonesia; . kemerdekaan yang berdasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, . kemerdekaan yang mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Semua ini tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, anak kandung atau saudara kembar dari Proklamasi 17 Agustus 1945. Bagi orang yang benar-benar sadar kita punya proclamation dan sadar kita punya declaration, maka Amanat Penderitaan Rakyat tidaklah khayalan atau abstrak. Bagi dia, Amanat Penderitaan Rakyat terlukis cetha wela-wela (sangat nyata dan jelas) dalam Proklamasi dan Undang-Undang Dasar 1945. Bagi dia, Amanat Penderitaan Rakyat adalah konkrit-mbahnya-konkrit. Bagi dia, – dus bukan bagi orang-orang gadungan –, melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat adalah berarti setia dan taat kepada Proklamasi. Bagi dia, mengerti Amanat Penderitaan Rakyat berarti mempunyai orientasi yang tepat terhadap rakyat. Bukan rakyat sebagai kuda tunggangan, tetapi rakyat sebagai satu-satunya yang berdaulat di Republik Proklamasi, sebagai tertulis di dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. (Cuplikan Pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1963 di Istana Negara). Pidato ini sungguh masih sangat relevan untuk direnungkan keadaan bangsa yang karut-marut sejak reformasi dan mengamandemen UUD 1945, tatanan kenegaraan telah diubah tanpa mau memperdalam apa yang menjadi kesepakatan bersama yaitu Pembukaan (Preambul) UUD 1945, di sanalah tercantum Pandangan hidup, falsafah hidup, Tujuan hidup, cita-cita hidup. Para pengamandemen UUD 1945 telah lupa dan sengaja melupakan apa yang menjadi jatidiri bangsanya, menenggelamkan sistem berbangsa dan bernegara, dengan mengganti Demokrasi Liberal Kapitalisme, demokrasi yang tidak berdasar pada Preambul UUD 1945, demokrasi yang menjadikan rakyat hanya sebagai kuda tunggangan, Rakyat hanya sebagai “tambal butuh“ yang hanya diberi sekedarnya, diberi sembako, setelah itu semua janji-janji manis di lupakan, akibatnya Amanat penderitaan rakyat terus akan berlanjut tanpa cita-cita. Sementara penguasa bergelimang kemewahan, membangun dinasti politik. Anggota DPR dan DPD hanya sebuah pekerjaan untuk mencari kenikmatan kehidupan pribadi dan golongannya. Partai politik hanya sebagai gerombolan manusia tanpa ideologi kebangsaan, ini semua bisa kita ukur dari jati diri bangsa, bisa kita ukur kala “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikma kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan“ diganti dengan demokrasi kalah-menang, demokrasi banyak-banyakan, demokrasi kuat-kuatan. Dampaknya tidak bisa dibantah dengan semakin merajalelanya Korupsi, sebab Partai Politik memang dibiyayai dengan hasil korupsi, begitu juga petinggi partai bergelimpangan kemewahan hasil korupsi. Sekali lagi Penderitaan rakyat akan terus berlanjut karena korupsi menjadi ideologi partai politik. Politik yang dipertontonkan bukan politik yang mempunyai tujuan mensejahterakan rakyat. Politik tanpa moral, politik dibangun tanpa jati diri yang hanya bertujuan untuk kekuasaan pribadi dan golongannya, saling intrik, saling hujat, bahkan menggunakan kekuasaan hanya untuk kekuasaan yang tanpa risih. Sekali lagi rakyat hanya sebagai kuda tunganggang, rakyat disewa untuk demontrasi, dan rakyat hanya sebagi golongan sudra yang dikasta dengan kasta Gakin. Tidak ada jalan selamat rakyat kecuali rakyat melakukan perubahan sendiri, memperbaiki nasibnya sendiri. Amanat penderitaan rakyat harus kita tanggulangi sendiri. Jalan keselamatan harus dibangun dengan Gotongroyong, dengan kebersamaan, dengan persatuan, dengan senasib seperjuangan, menegakkan kembali Negara Preambul UUD 1945. Membangun kesadaran baru bahwa negeri ini didirikan dengan falsafah hidup, tujuan hidup, pegangan hidup, cita-cita hidup, hanya kembali pada cita-cita Negara Proklamasi yang berdasarkan pada Pembukaan UUD 1945 kita bangsa ini akan selamat. Kembali menegakkan Marwah Pancasila dan UUD 1945 original adalah jalan keselamatan bagi bangsa dan negara ini. Marilah kita bangun kesadaran kita sebagai anak bangsa. Bangunlah Jiwamu, Bangunlah Badanmu, Untuk Indonesia Raya. Kita bisa membangun negeri ini jika kita punya jati diri bangsa oleh sebab itu kembali pada Preambul UUD 1945 dan berjuanglah untuk mengembalikan Pancasila dan UUD 1945 ori .... Merdeka,,,.! (*)
Otoritas Fiskal Memperkirakan Arah Kebijakan Moneter: Salah Kaprah, Salah Fatal
Terbukti, perkiraan Menteri Keuangan meleset jauh. Suku bunga acuan BI sejauh ini sudah naik 1,75 persen, dan kemungkinan besar akan naik lagi sekitar 0,5 persen. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) AKHIR Juli 2022 yang lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mencoba membuat perkiraan arah kebijakan moneter Bank Indonesia (BI). Menteri Keuangan memperkirakan suku bunga acuan BI akan naik sekitar 100 basis poin l atau satu persen hingga akhir tahun 2022. Hal ini tentu saja tidak lazim. Karena, berdasarkan profesionalisme dan undang-undang, ada garis pemisah yang jelas antara tugas dari otoritas fiskal dan otoritas moneter yang independen. Perkiraan Menteri Keuangan mengenai kenaikan suku bunga acuan ini dapat diartikan sebagai intervensi atas wewenang BI, dan akan menyudutkan BI dalam menentukan arah kebijakan moneter dan suku bunga acuan. Perkiraan Menteri Keuangan tersebut lebih didominasi pada faktor kondisi fiskal dan neraca perdagangan yang membaik pada tahun ini, akibat kenaikan tajam harga komoditas. Tetapi, kebijakan moneter dan suku bunga acuan jauh lebih kompleks dari hanya sekedar kondisi fiskal. Pertama, kebijakan suku bunga acuan BI sangat tergantung dari tingkat inflasi. Selain itu, kedua, dan ini yang sangat penting, kebijakan suku bunga acuan BI sangat tergantung dari kebijakan Bank Sentral negara lainnya, khususnya Amerika Serikat, The Fed. Dalam hal ini, BI harus dapat memberi respons yang tepat atas kebijakan moneter The Fed. Kalau The Fed menaikkan suku bunga acuannya, maka BI juga wajib menpertimbangkan untuk menaikkan suku bunga acuannya. Kalau tidak, BI menghadapi risiko dolar kabur dan kurs rupiah anjlok, karena selisih suku bunga antara Amerika Serikat dan Indonesia menjadi kecil dan tidak menarik bagi investor asing. Dan, itu yang terjadi saat ini. Selisih suku bunga The Fed dengan suku bunga BI awalnya sekitar 3,5 persen, dan sekarang menjadi hanya 1,25 persen. Tidak heran dolar kabur dan kurs rupiah turun. Karena kebijakan suku bunga BI juga ditentukan oleh kebijakan suku bunga The Fed, maka BI tidak bisa memperkirakan berapa kenaikan suku bunga acuan dalam 6 bulan ke depan. Karena BI tidak bisa memperkirakan arah kebijakan the Fed, apalagi Menteri Keuangan. Maka itu, tidak lazim Bank Sentral mengumumkan perkiraan kenaikan suku bunga acuan. Selain tidak mungkin untuk alasan teknis maupun profesionalisme tersebut, pengumuman seperti ini akan dijadikan arah kebijakan strategis bagi banyak perusahaan, yang kalau tidak tepat maka bisa membawa malapetaka. Terbukti, perkiraan Menteri Keuangan meleset jauh. Suku bunga acuan BI sejauh ini sudah naik 1,75 persen, dan kemungkinan besar akan naik lagi sekitar 0,5 persen. Kalau ini terjadi, maka kenaikan suku bunga acuan BI menjadi dua kali lipat dari perkiraan Menteri Keuangan. Sangat bahaya. Sebelumnya, seperti dilansir Liputan6.com, Menkeu Sri Mulyani memprediksi Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga acuan hingga 100 basis poin atau 1 persen di 2022. Kenaikan bunga acuan dilakukan secara bertahap. “BI rate kita masih 3,5 persen, kemungkinan akan mengalami kenaikan sekitar 100 basis poin tahun ini sampai akhir tahun,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Jakarta, Rabu (27/7/2022). Berbagai negara di dunia memperkirakan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed tahun ini akan kembali menaikkan suku bunga dari yang saat ini sebesar 1,75 persen. Sampai akhir 2022, tingkat suku bunga di AS bisa mencapai 2,75 persen-4,5 persen. Proyeksi suku bunga seluruh dunia untuk fed fund akan naik dari 1,75 persen mencapai 2,75 persen-4,5 persen. Selain itu, kondisi US Treasurry tahun ini juga akan mengalami kenaikan 2 kali lipat dari yang saat ini sebesar 2,99 persen. Kenaikannya diperkirakan mencapai 200 bps. Begitu juga dengan Surat Utang Negara (SUN) di Indonesia diperkirakan juga akan mengalami kenaikan. “SUN 10 tahun juga akan mengalami kenaikan tapi kenaikannya hanya 0,300 bps,” kata Sri Mulyani. Untuk itu, Sri Mulyani menilai sulit jika BI tetap mempertahankan suku bunga acuan 3,5 persen sampai akhir tahun. Sebab meski kondisi Indonesia relatif stabil, namun kondisi global justru sebaliknya. “Jadi kalau kita lihat Indonesia bisa mempertahankan level dari interest rate meskipun tentu saja dalam situasi sunia yang sedang berguncang,” kata Sri Mulyani. (*)
Muktamar Bermarwah
Oleh M Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan MUKTAMAR dengan agenda pokok pemilihan pemimpin puncak dari suatu organisasi biasanya rentan akan gesekan bahkan mungkin perpecahan. Polarisasi kerap terjadi sebagai efek dukung mendukung antara peserta muktamar. Tidak jarang kericuhan terjadi baik berkelahi maupun lempar lemparan kursi. Satu kursi diperebutkan, sepuluh kursi dilempar. Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo usai dengan penutupan ahad malam. Terpilih 13 anggota Pimpinan Pusat yang dipimpin oleh Prof Dr Haedar Nashir, M.Si sebagai Ketum dan Sekum Prof Dr Abdul Mu\'thi, M.Ed. Pemilihan bertingkat dari 92 calon menjadi 39 dan terakhir 13. Lalu 13 bermusyawarah menentukan Ketum dan Sekum yang ditetapkan atau diumumkan di Pleno Muktamar. Sistem pemilihan kolektif mampu mencegah dampak buruk polarisasi. Demikian juga Aisyiyah telah menyelesaikan Muktamarnya dan berhasil menetapkan 13 Pimpinan Pusat Aisyiyah dengan Ketua Umum DR Apt Salmah Orbayinah. Mekanisme pemilihan relatif sama dengan Muhammadiyah sehingga aman, tertib, cepat dan berkualitas. Muktamar dinilai sukses, meriah dan bermarwah. Tentu dengan antusias tinggi. Sebanyak 3 Juta penggembira menghadiri silaturahmi akbar Muhammadiyah Surakarta ini. Di arena sidang peserta Muktamar duduk tertib dan berjalan ke bilik suara untuk melakukan pemilihan dengan sistem e-voting yang aman, rahasia dan cepat. Tidak ada teriakan, interupsi, atau sejenisnya. Pola pemilihan seperti ini selayaknya menjadi teladan. Demokrasi berbasis \"Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan\". Penutupan bertema \"Muhammadiyah & Aisyiyah Kolaborasi Kultur dan Inovasi Berkemajuan Mencerahkan Semesta\". Spiritnya adalah kultur bangsa bersinergi dengan inovasi berkemajuan dalam rangka mencerahkan semesta. Kesemestaan adalah ruang luas dari misi Muhammadiyah sedangkan kultur harus dinamis dan fungsional untuk kemajuan umat bangsa dan negara. Sambutan Penutupan Wapres KH Ma\'ruf Amin menarik saat memberikan apresiasi terhadap konsepsi Islam berkemajuan Muhammadiyah dalam kaitan dengan semangat membangun negara Indonesia yang berkemajuan. Ia menegaskan pentingnya tajdid berbasis ijtihad untuk mengatasi berbagai persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan. Muhammadiyah memiliki segala instrumen dan kelengkapan untuk membangun umat dan bangsa, ujarnya. Muktamar telah usai. inovasi berkemajuan untuk mencerahkan semesta menghasilkan Risalah Islam Berkemajuan dengan manhaj tauhid, Qur\'an Sunnah, ijtihad dan tajdid, washatiyah dan rahmah lil alamiin. Bermakna untuk menjawab isu-isu strategis keumatan, kebangsaan dan kemanusian universal. Islam sebagai fondasi dan harus menjadi solusi. Muktamar Muhammadiyah ke 48 yang diadakan pasca pandemi covid 19 memang dirasakan bermarwah dan dapat menjadi tauladan. Dilaksanakan di tengah iklim kehidupan sosial yang sarwa materi atau transaksional. Kemurnian agama yang tetap terjaga tanpa melepas aspek kolaborasi kultur dengan inovasi berkemajuan. Peserta penutupan Muktamar tersenyum saat KH Ma\'ruf Amin mengakhiri sambutan dengan kalimat \"nashrun minallahi wa fathun qarib\" kalam akhir khas Muhammadiyah. Lalu melanjutkan dengan \"wallahul muwafiq ilaa aqwamith thoriq\" khas NU. He he kolaborasi dalam rangka ukhuwah. Senafas dengan penggalan lirik theme song Muktamar : Di Solo jalin ukhuwah Muktamar satukan langkah Bersama majukan Indonesia Sampai jumpa pada Muktamar ke-49 Insya Allah. Solo, 21 Nopember 2022
Suara Kidung dari Langit: Kembalilah ke UUD 1945 Asli
Suara kidung makin jelas terdengar dari para leluhur berupa bait-bait bahwa akan ada bencana yang mengerikan. Akibat ulah anak bangsa yang merasa jumawa, tak lebih hanya iblis yang akan membawa bencana. Oleh: Yudhie Haryono dan Sutoyo Abadi, Tim Kajian Politik Merah Putih SAMBIL bersedekap, mulut komat-kamit berucap mantera panjang seperti sabda dewa langit: satu buntelan lontar memancar terang-benderang beraura memberi energi positif, ternyata sebuah kitab: manuskrip enigmatis. Setelah diinskripsi ternyata berisi kaidah dan wawasan yang berjumlah lima: berisi manuskrip metoda tentang pengetahuan rahasia untuk mewujudkan transformasi sebuah negara. Bagaimana bangsa harus menyesuaikan diri di arus alam semesta yang terus berubah. Agar selamat negara ini menempuh dan mengayuh selamat ini, dari gangguan kekuatan kapitalis, liberalis, individualis berwatak iblis. Ternyata inti manuskrip tersebut menjejer lima wawasan mondial dan semesta, berisikan pemahaman tentang alam raya dan peningkatan spiritual, kapital-sosial dan intelektual suatu masyarakat agar mencapai puncak-puncak kesadaran eko-antro-theocentris. Tersambung hubungan resiprokal antara alam raya, manusia dan Sang Pencipta. Keadilan Dalam daun lontar manuskrip ini dikenal dengan lima dasar statis, Ia inspirasi. Dan, wawasan pertamanya adalah wawasan keadilan. Inilah wawasan utama yang menjadi ultima. Ke dalam dan ke luar. Adil yang sosial. Keadilan secara bahasa adalah seimbang, lurus, konsisten. Antonimnya adalah zalim (berbuat jahat). Secara hukum, keadilan adalah ungkapan akan konsistensi atas dasar kebenaran dengan menjauhi setiap tindakan yang dilarang oleh undang-undang. Adil artinya sama berat-sama ringan; tidak berat sebelah; netral atau; keputusan yang berpihak kepada kebenaran; berpegang pada kebenaran; tidak sewenang-wenang; efesien, cepat, tepat, benar dan pener. Adil dalam agama merupakan ungkapan dalam perkara pertengahan antara dua sisi (pelit dan boros). Siapa yang adil akan menjauhi segala bentuk dosa besar, tidak melakukan dosa kecil secara terus menerus dan selalu berfikir positif serta cenderung kepada kebaikan plus keselarasan dengan kemutlakan realisasi bagi seluruh tumpah darah, manusia dan alam Indonesia. Keadilanlah yang akan memastikan bertahan atau runtuhnya sebuah peradaban dan negara. Sebab, dalam keadilan dipastikan tak ada kemiskinan dan ketimpangan. Wawasan keadilan dengan demikian mengubur keculasan bin oligarki, pencurian bin konglomerasi, kejahiliyahan bin begundalisme. Kalian lupa , melupakan , dungu atau mendungukan diri, hatinya sekeras batu karena pengaruh iblis, matamu buta dan yelingamub tuli. Sampai tidak tahu dimana letak keadilan itu. Keadilan itu ada didalam buntelan daun lontar masih terbaca dengan jelas. Bak tulisan kidung sakral yang harus dijaga dan di amalkan sebagai amalan keselamatan bangsa dan negara. Kerakyatan Di daun lontar terbaca jelas bertuliskan wawasan yaitu wawasan kerakyatan. Ini tentu merupakan asas kebangkitan intelektual baru yang sedang berlangsung dalam budaya umat manusia sebagai alternatif dari feodalisme, wahyuisme, koncoisme, sukuisme, ras dan darah biru (klan). Artinya, kekuasaan publik harus disemai, dibuat, digerakkan dan ditradisikan oleh, dari dan untuk kita semua. Tidak pandang bulu. Tentu ini merupakan kesadaran profan yang dibawa oleh gerakan massa yang kritis dan terdiri dari individu-individu yang menjejaki kelangsungan intelektual, kesehatan spiritual dan menaburkan sosial-kapital, yakni sebuah praktik perjalanan yang di dalamnya mereka telah dituntun oleh peristiwa-peristiwa jenius dan ikhlas. Merekalah rakyat yang tertranformasi menjadi warga-bangsa dan berujung menjadi warga negara; bercitarasa warga dunia. Proses integral ini dipilih karena persatuan menjadi ontologi, hikmah menjadi epistemologi, kebijaksanaan menjadi aksiologi. Kerakyatan dalam keluasan yang selalu diperbaharui demi rakyat yang merdeka, mandiri, berdaulat, modern dan martabatif menjadi kinerja resiprokal yang hangat, menyenangkan dan berdimensi bahagia bersama. Kebersatuan Membuka gulungan ketiga dari daun lontar itu terbaca wawasan kebersatuan, bagi masyarakat plural, ini kunci. Sebuah negara tidak akan berwibawa jika tidak berisi warga jenius penemu solusi masa depan. Dan, sebuah kejeniusan tidak akan menggebrak dunia jika tidak melakukan revolusi. Revolusi hanya akan berhasil jika telah menemukan kata manteranya: bersatu kita teguh; bercerai runtuh. Inilah playmaker mantra suci dan sakral dalam tiga ranah: mental, nalar, konstitisional. Dalam kebersatuan, hal-hal ketololan tidak dibicarakan. Sebab ketololan identik dengan kejelekan. Dalam kebersatuan, perihal kepandaian selalu menjadi agenda pembicaraan. Sebab kepandaian identik dengan perbaikan. Ultima kebersatuan itu ada pada manusia-manusia jenius. Sebab kejeniusan identik dengan pencarian terobosan. Kejeniusan melewati peristiwa pendek dan ecek-ecek dengan menghadirkan gagasan-gagasan bernas. Dalam wawasan kebersatuan berlakulah hukum keberhasilan, “berbahagialah mereka yang menjadi merdeka dengan pikiran bersama, bersuka-ria dengan sekolah bersama, dan bermartabatif dengan negara keadilan serta berkurikulum dalam bangsa berkesejahteraan bersama.” Ini wawasan holupis kuntul baris. Sesuatu yang urgen tapi tercecer di antara sumur, dapur, kasur dan pupur. Keberadaban Terlihat jelas pada lembar berikutnya dalam daun lontar yaitu wawasan keberadaban. Tentu saja ini satu sinergitas atas sember-sumber purba, kini dan masa depan serta olah rasa, raga, cipta, karsa dan karya. Wawasan ini merupakan kemajuan kebersatuan dan gotong-royong lahir batin berdimensi pada sikap sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan kita semua. Kebangkitan wawasan ini mewakili penciptaan sebuah pandangan dunia baru dan lebih lengkap karena meruang mewaktu dalam semesta Indonesia yang raya. Peristiwa-peristiwa keburukan dan kerakusan akan berhenti karena kehadiran wawasan keberadaban yang multidimensi ini. Generasi baru akan lahir untuk mengatasi pemain lama berbaju baru dan pemain baru bermental lama. Wawasan keberadaban membukakan indra kita kepada tujuan hidup manusia yang sesungguhnya di atas muka bumi ini serta sifat nyata dari alam semesta plus kondisi riil negara yang kita pijak bersama. Keberadaban membentuk peradaban luhur yang berisi identitas terluas dari seluruh hasil budidaya manusia serta mencakup seluruh aspek kehidupan jeniusnya yang berdentum. Dengan beradab, kita melaksanakan peradaban. Dengan peradaban, kita ukir kemanusiaan yang waras dan welas asih. Ketuhanan Sampailah pada lembar kelima pada daun lontar yaitu wawasan yang khas bangsa timur: spiritualitas. Inilah wawasan ketuhanan. Inilah ontologi. Sebab agama itu epistemologi dan moral itu aksiologi. Satu wawasan yang sering disempitkan, dijual belikan dan disalahgunakan padahal maha luas. Saking luasnya bahkan air laut yang dijadikan tinta tak akan cukup untuk menuliskannya. Ketuhanan yang inklusif, yang membebaskan, memajukan, memuliakan keadilan dan persaudaraan adalah wawasan purba yang harus dikurikulumkan kembali saat kita lupa dan berkubang dosa. Inilah wawasan ketuhanan yang lapang dan toleran serta memberi semangat kegotong-royongan dalam seluruh ultima berwarga, bernegara, berbangsa, dan bersemesta. Warga dan bangsa ini sudah lama melepaskan diri dari sumber energi yang lebih besar: dengan mengkhianati ketuhanannya, membunuh nuraninya. Seringkali kita cenderung menjual murah, memanipulasi dan memaksa sesama untuk tunduk dan patuh. Ketika berhasil menguasai orang lain dengan cara tersebut, kita merasa lebih kuat, hebat, bangga dan serakah. Lahirlah perang berenergi fundamentalis yang sangat serakah. Padahal, keserakahan adalah penyebab dari semua konflik antarmanusia; antar negara; antar bangsa dan antar peradaban. Dan, wawasan kelima akan mengobati serta mencerahkannya jika diseduh dengan madu pikiran, ucapan dan tindakan kesahajaan. Kidung: Bencana Mengubah UUD 1945 Asli Ketika 5 (lima) sabda sakral itu sekarang diingkari, pasti akan datang bencana semua datang dari polah manusia berwajah iblis. Yang tugasnya menyerat manusia ke alam kegelapan. Suara kidung setiap malam terdengar suara senandung bersamaan semua makhluk kayangan menunduk tak berdaya, semua meneteskan air mata. Setelah mengetahui bahwa UUD 1945 di ganti dengan UUD 2002. Suara kidung setiap malam turun dari langit terus menerus memberi peringatan dari para leluhur yang kembali merintih berupa bait bait, bahwa akan ada bencana yang mengerikan. Akibat ulah anak bangsa yang merasa jumawa, tak lebih hanya iblis yang akan membawa bencana. Makin larut suara makin jelas terdengar sayup sayup sayup tangis memilukan, semua makhluk kayangan menunduk tak berdaya, semua meneteskan air mata. Setelah mengetahui bahwa UUD 1945 diganti dengan UUD 2002. Suara kidung makin jelas terdengar dari para leluhur berupa bait-bait bahwa akan ada bencana yang mengerikan. Akibat ulah anak bangsa yang merasa jumawa, tak lebih hanya iblis yang akan membawa bencana. Tanpa hidayah, perunjuk-Nya dan kebeningan hati tidak akan bisa mendengar suara kidung dari langit telah memberi tahu Kembalilah ke UUD 1945 Asli Itu Jalan Keselamatan Bangsa dan Negara Ini. (*)
Terbukti Ada Kerugian Keuangan Negara Dalam Proyek Kereta Cepat
Meskipun kerugian negara ini nampaknya sudah jelas dan nyata, tetapi semua pihak yang berwenang mengawasi pemerintah dan keuangan negara, seperti DPR, KPK, Kepolisian dan Kejaksaan ternyata diam saja. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) BIAYA proyek kereta cepat Jakarta Bandung membengkak. Awalnya sekitar 6 miliar dolar AS. Kemudian dilaporkan ada pembengkakan biaya sebesar 1,9 miliar dolar AS, atau sekitar Rp 28,5 triliun, membuat biaya proyek kereta cepat menjadi 7,9 miliar dolar AS. Kemudian, melalui audit BPKP, ditetapkan biaya proyek membengkak ‘hanya’ 1,176 miliar dolar AS atau sekitar Rp 16,8 triliun. Kemudian, pembengkakan biaya ini dikoreksi menjadi 1,4 miliar AS atau sekitar Rp 21,6 triliun. Masalahnya, nilai pembengkakan biaya kereta cepat ini sudah dalam tahap yang tidak normal. Sangat besar sekali. Mencapai lebih dari 20 persen dari nilai proyek. Menurut pengakuan pemerintah, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo, salah satu alasan terjadi pembengkakan biaya karena perhitungan dari pihak China meleset. Pengakuan ini bisa menjadi bukti sudah terjadi kerugian keuangan negara. Karena ada beberapa komponen biaya yang tidak dimasukkan di dalam perhitungan awal tender. Kalau komponen biaya tersebut masuk ke dalam perhitungan, maka biaya proyek akan lebih besar. Bukan lagi 6 miliar dolar AS, tetapi jauh lebih besar dari itu. Dan bisa jauh lebih besar dari biaya proyek yang ditawarkan oleh Jepang yang sebesar 6,2 miliar dolar AS. Sehingga merugikan keuangan negara. Karena itu, biaya yang awalnya seharusnya ada, tetapi ditiadakan untuk memenangi proyek, dan kemudian sekarang baru muncul lagi sebagai pembengkakan biaya, patut diduga sebagai manipulasi tender yang merugikan keuangan negara. Kemudian, kedua adalah komponen bunga pinjaman. Biaya proyek kereta cepat menggunakan 75 persen pinjaman komersial dengan suku bunga 2 persen per tahun, dengan grace period 10 tahun. Artinya, biaya bunga pinjaman kereta cepat per tahun mencapai 90 juta dolar AS (6 miliar dolar AS x 75 persen x 2 persen), atau 900 juta dolar AS selama 10 tahun grace period. Sedangkan Jepang menawarkan bunga pinjaman hanya 0,1 persen saja per tahun, atau hanya 1/20 dari bunga pinjaman China. Artinya, dengan nilai pinjaman yang sama, bunga pinjaman ke Jepang hanya 45 juta dolar AS selama 10 tahun grace period (6 miliar dolar AS x 75 persen x 0,1 persen x 10 tahun). Dengan demikian, selisih pembayaran bunga kepada China versus kepada Jepang lebih mahal 855 juta dolar AS selama 10 tahun. Jumlah ini jauh lebih besar dari selisih nilai proyek yang hanya sekitar 200 juta dolar AS saja. Maka itu, komponen biaya bunga juga merupakan kerugian keuangan negara yang jelas dan nyata, yang seharusnya masuk dalam komponen biaya proyek ketika mengevaluasi penawaran tender. Meskipun kerugian negara ini nampaknya sudah jelas dan nyata, tetapi semua pihak yang berwenang mengawasi pemerintah dan keuangan negara, seperti DPR, KPK, Kepolisian dan Kejaksaan ternyata diam saja. Diamnya DPR dapat dianggap sebagai indikasi bekerja sama turut menciptakan kerugian keuangan negara. Maka itu, harus bertanggung jawab, tidak boleh lepas tangan begitu saja. (*)
Anies Baswedan Ini Bukan Untuk Kita, Tapi Untuk Masa Depan Indonesia
Meski ini adalah acara FKM, namun banyak juga dihadiri oleh elemen Parpol seperti PKS, Nasdem, Partai Demokrat, bahkan ada yang dari Golkar, Gerindra dan lain-lain. Oleh: Andrianto, Aktivis Pergerakan 98 SAAT acara Forum Kabah Membangun/FKM yang diinisiasi dan dipimpin Tokoh PPP Drs. H. Habil Marati mengadakan Deklarasi Dukungan Anies Baswedan Capres 2024 di Jogjakarta, bagi saya, ini langkah cerdas dan genuine dari FKM. Jogja adalah Sumbu dari Pulau Jawa. Di kota inilah kerajaan besar terakhir di Jawa yang masih eksis. Jogjakarta adalah Kota Perjuangan seperti yang dinyatakan Ketum FKM Habil Marati, tidak terbayangkan bila Jogja tidak bersama Republik Indonesia. Anies Baswedan pun punya history yang melekat di sanubarinya. Sejak SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi di UGM semua di Jogjakarta. Ini bukan demi Anies, tapi demi masa depan Indonesia. Demikian orasi Anies di panggung FKM. Yang menggetarkan acara ini, bukan dari Parpol melainkan dari Relawan. Inilah acara relawan terbesar yang diikuti lebih dari 5.000 orang dan mendapatkan liputan media yang luar biasa. Ada yang berseloroh, ini acara FKM sudah selevel acara Parpol, bahkan parpol sekoalisinya. Tidak salah juga, karena saya juga hadir pada saat acara kampanye Pilpres sekitar bulan Januari 2019 Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno di tempat yang sama. Namun, saya lebih mengapresiasi acara FKM, lebih berisi, lebih teringginas dan format acara yang simpel tapi berkarakter. Anies pun berpidato dengan cakap dan langsung ke tujuan acara. Kata Anies: “Relawan kita mesti menjadi Pemersatu, keberadaan relawan bukan pemecah-belah, Tunjukan ke publik relawan kita ingin berkontribusi terhadap persatuan dan kesatuan bangsa ini”. Meski ini adalah acara FKM, namun banyak juga dihadiri oleh elemen Parpol seperti PKS, Nasdem, Partai Demokrat, bahkan ada yang dari Golkar, Gerindra dan lain-lain. Acara tengah hari pun berakhir setelah Ashar tiba. Anies pun tampak terkesan akan mlitansi para relawan yang hadir dari berbagai kota di luar Jogjakarta. Pesan terakhir Anies, mesti jaga stamina karena puncak acara masih 16 bulan lagi. Selamat bergerak, semoga tetap istiqomah sampai hantarkan Anies Baswedan Presiden, sehingga seperti dinyatakan Ketum Forum Kabah Membangun/FKM, Bang Habil Marati bahwa Anies adalah “Jembatan Emas Indonesia”. (*)