OPINI
Lula Da Silva, Pelajaran Buat Anies Baswedan
Oleh DR. Syahganda Nainggolan - Sabang Merauke Circle DUNIA hari ini digemparkan oleh kemenangan Lula Da Silva, tokoh buruh, menjadi Presiden ke 39 Brazilia, kemarin. Lula memang sudah pernah menjadi presiden sebelumnya, selama dua periode (1 periode 4 tahun) yakni tahun 2003-2010. Pada tahun 2019 Da Silva gagal mencalonkan diri, karena konspirasi politik orang-orang kaya memenjarakan dia 580 hari, atas tuduhan korupsi dari Petrogas, lalu distempel tidak pantas jadi calon presiden, yang kemudian dianulir oleh Mahkamah Agung atas desakan komisi HAM PBB, tahun 2019 lalu. Lula dibenci orang-orang kaya karena ketika dulu presiden berhasil membuat orang-orang miskin mempunyai mobil dan memacetkan kota-kota di Brazil. \"Orang-orang kaya ingin hanya mereka yang punya mobil sehingga mereka nyaman berkendara\", kata Lula. Begitu juga ketika Lula membuat UU pembantu rumah tangga, sehingga membuat orang kaya membayar pembantu lebih mahal lagi. Sejak kecil Lula memang bermimpi bagaimana membuat orang-orang miskin menjadi kaya. Hal ini terpatri di alam bawah sadarnya sejak kecil. Lula ada tukang semir sepatu di kota Sao Paulo, Brazil, setelah beberapa tahun pindah dengan perjalanan dua minggu dari kampung asalnya. Berbagai sumber menyebutkan perjalanan itu, Lula dan Keluarga, ditempuh dengan menumpang di bak belakang truk. Hidup miskin membuat Lula tidak tamat sekolah SD. Kehidupannya yang kita kenal saat ini, dimulai ketika ia diterima bekerja di pergudangan dan lalu pabrik metal dia Sao Bernardo Da Compo, Sao Paulo dalam usia belasan tahun. Pekerjaan itu mengantarkannya pada organisasi buruh otomotif dan kemudian menjadi ketua organisasi dengan anggota 100.000 pada usia dia 30 tahun, yakni tahun 1975. Ideologi Menolong Orang Miskin Ideologi Lula adalah menolong orang miskin. Para pendukung Lula melakukan pembelaan ketika kelompok Pro Presiden Bolsonaro mengolok-olok Lula koruptor. Pembelaannya adalah \"Lula korupsi untuk memperkaya orang miskin, tapi Bolsonaro korupsi untuk memperkaya orang kaya\". Marc Morgan, Paris School of Economics melaporkan bahwa penghasilan orang paling miskin di Brazil naik sebesar 35% selama partai Buruh (Lula dan penerusnya Dilma Roussef) berkuasa 2004-2010 (Bloomberg, 26/10/22). Reuters, dalam \"Factbox: Brazil under Lula, the working-class president\", 10/6/2009, menyebutkan 19 juta orang keluar dari kemiskinan akibat pertumbuhan ekonomi yang baik dan kebijakan transfer kepada orang miskin (program Bosma Familia atau seperti Bansos yang dimulai era SBY disini). Lula sendiri dalam wawancara dengan Brasil De Fato, dalam judul \"Lula: It Is The Worker Who Drive The Real Economy\", 29/4/22, mengklaim selama 2002-2014, ketika Partai Buruh berkuasa, mereka telah menciptakan 22 juta lapangan kerja baru, tingkat pengangguran 4,3%, dan menaikkan upah buruh, khususnya diawal pmerintahan dia, sebesar 74%. Merujuk pada pikiran Jeffrey Sach dalam \"The End of Poverty\", yang menyarankan kebijakan pengentasan kemiskinan dual track, yakni melalui kebijakan upah atau \"generating income\" dan juga subsidi langsung, atau menurut Sach, \"berilah ikan kepada orang miskin, lalu berikan pancing setelah mereka kenyang\", telah diadopsi oleh lula. Lula juga sejalan dengan landasan teoritis dari Professor Kreuger, penasehat ekonomi Obama, yang mengatakan bahwa kenaikan upah mendahului produktifitas, bukan sebaliknya, di mana Lula yakin ekonomi akan tumbuh jika stabilitas kerja formal dan upah tinggi tercapai. Karena, belanja buruh yang besar akan turut meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Lula juga mengatakan bahwa kesuksesan dia adalah membuat relasi yang kuat antara kebijakannya dengan buruh dan bekerja berdasarkan hati, bukan kepentingan Dalam Time, 4/5/22, \"Brazil’s Most Popular President Returns From Political Exile With a Promise to Save the Nation\", dia mengatakan: \"I feel proud to have proven that a metal-worker without a university diploma is more competent to govern this country than the elite of Brazil,” he says. “Because the art of government is to use your heart, not only your head.”\" Tantangan Lula Ke Depan Lula menghadapi situasi ekonomi yang parah, akibat krisis dunia, utang yang besar dan geopolitik \"perang dingin\". Lula berjanji untuk \" Re-build Brazil\"- that is restore public services battered by years of underinvestment, use Brazil\'s fossil fuel resources to lower domestic energy prices and battle inflation, and help million of the Brazilians struggling with food insecurity \" (Time, 31/10), begitu juga janjinya menstop deforestasi Amazon yang ugal-ugalan oleh rezim Bolsonaro. Sementara, kemenangan Lula sendiri sangatlah tipis 50,9% vs. 49,1 % atau hanya menang tipis, 1,8% dari Bolsorano. Dari kelompok far-left (sangat kiri) sendiri, meskipun mereka mendukung Lula, tapi mereka was-was dengan wakil presiden Lula, Geraldo Alckmin, yang merupakan kelompok kanan (Center-rigth) dan juga saingan Lula pada pilpres 2006. Beberapa tokoh Sosialis mengungkapkan bahwa mendukung Lula adalah sebuah kondisi yang diperlukan untuk kemenangan buruh berikutnya. (Lihat: https://www.leftvoice.org/an-electoral-alternative-for-the-working-class-in-brazil/). Dalam situasi kemenangan tipis ini, untung saja Amerika, Spanyol, Prancis dan Kanada langsung memberikan selamat kepada Lula. Pengakuan internasional ini setidaknya mengurangi kemungkinan kecurangan militer ataupun rezim Bolsonaro. Relevansinya Bagi Indonesia Brazil adalah negara terbesar di Amerika Latin, dengan 200 juta penduduk. GDP mereka $1, 9 T di atas Indonesia yang $ 1,29 T, tahun 2022. Pendapatan yang besar ini membuat Brazil masuk dalam kelompok BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan South Africa) dan G-20. Indonesia dan Brazil seringkali dianggap mewakili negara berkembang dengan ekonomi yang besar. Namun, pengelolaan ekonomi yang bergantung utang dan berbagai indikator ekonomi yang buruk selama ini, membuat Brazil dan Indonesia masuk dalam kelompok \"fragile five\", setidaknya jika tidak oleh Morgan Stanley, seperti diawal pengkatagorian, maka oleh lembaga rating lainnya (lihat: What are the Fragile Five, thebalancemoney.com). Secara struktur perekonomian, Brazil dan Indonesia mengalami ketimpangan yang sama, segelintir orang menguasai porsi perekonomian yang besar. Lula, sebagaimana juga Anies, menjadi oposisi terhadap kaum kapitalis oligark. Massa pendukungnya pun mengharapkan demikian. Kemiskinan yang dialami mayoritas penduduknya, dengan identitas politik \"working class\" di Brazil dan Islam di Indonesia, terus bertarung untuk mengubah struktur sosial yang bersifat historis (melawan penjajah) dan jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi dan demokrasi yang diharapkan untuk menaungi semua rakyat seringkali dibajak oleh pemilik modal untuk terus menerus memperkaya diri, dengan penguasaan sektor ekstraktif dan perusakan lingkungan (hutan). Hal ini menjadi menarik untuk mencari pelajaran dari apa yang terjadi di Brazil saat ini. Pelajaran Buat Anies Baswedan Kecintaan kaum buruh di Brazil terhadap Lula dan kecintaan umat Islam terhadap Anies Baswedan bersifat sebanding. Lula telah mentransfer dukungan kaum buruh untuk melawan kaum kapitalis oligark yang menguasai pemerintahan Brazil 6 tahun belakangan ini. Tentu saja kemenangan Lula ini dibantu oleh fakta kegagalan Bolsonaro mengelola masa pandemi COVID-19, di mana terlalu banyak korban meninggal di sana. Namun, perjuangan Lula dan kaum buruh di sana tidaklah mudah. Pemenjaraan selama 18 bulan (dari vonis 10 tahun) yang dialami Lula, akibat konspirasi rezim Bolsonaro, di masa usia tua Lula, membuat jalan terjal harus dipikul kaum buruh. Namun, pengalaman kaum buruh Brazil dalam berkonflik dengan rezim Militer mereka beberapa dekade lalu, membuat mereka menjadi berani. Bahkan, ketika Lula di penjara, berbagai demonstrasi buruh dilakukan di depan penjaranya dengan tuntutan pembebasan. Lula menggandeng wapres yang relatif liberal. Anies dengan identitas Islam menggandeng Partai Nasdem yang sekuler dan liberal. Hal ini bisa menjadi model yang sama jika keduanya berkuasa. Pilihan Lula yang berkompromi dengan berbagai kebijakan liberal, termasuk nantinya privatisasi dan kebijakan perburuhan yang pro market, akan berbenturan dengan idiologinya yang cinta orang miskin. Jika Anies berkuasa dan melakukan yang sama, maka rakyat pendukung Anies akan mengawasi pilihan-pilihan kebijakan, agar dipastikan tidak mengorbankan rakyat miskin. Ini sebuah pertarungan berlanjut. Sebuah kompromi seringkali dituntut oleh kondisi yang tidak ideal, seperti ekonomi yang sedang krisis. Namun, suatu hal yang pasti bahwa rakyat akan siap menderita jika derita yang sama dipikul oleh pemimpinnya. Rezim Indonesia saat ini terus menerus memperkaya orang kaya, sama dengan Bolsonaro. Disinilah mungkin Anies dan Lula bisa mempunyai kesamaan, menghentikan ketimpangan. Saat ini Lula sudah menang, tinggal menunggu Anies Baswedan. Anies harus belajar dari Lula, tidak berhutang budi pada oligarki dan hanya berhutang budi pada rakyat miskin yang mendukungnya saja. (*)
Bersama Anies Tanpa Indonesia Menangis
Telah menjadi milik seluruh anak bangsa, Anies memenuhi dahaga melepas kerinduan rakyat akan pemimpin sejati. Pemimpin yang respek, menghormati dan menghargai rakyatnya. Mampu merangkul perbedaan dari kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa. Terbukti telah bekerja nyata, bukan citra apalagi sekedar retorika. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI BAGAI lilin kecil di gelap malam-malam gulita. Redup lemah hampir-hampir tiada daya. Sesungguhnya walaupun sedikit kau berarti, bagi mata hati dalam buta meraba. Seperti itulah perumpamaan kehadiran Anies Baswedan, berjibaku melawan kejahatan bersama dan kehancuran sistem. Bersama rakyat, Anies tertantang dan akan membuktikan, bagaimana layaknya dan sebenarnya bernegara. Anies hanya sebagai Gubernur DKI Jakarta, akan tetapi manfaatnya terasa ke seluruh Indonesia. Bukan hanya kebijakan pembangunannya yang memang tak mampu mencapai ke pelosok nusantara. Bukan juga kewenangannya yang memang terbatas ruang dan waktu, tidak mengalir hingga ke daerah-daerah terpencil. Namun, kerja nyata dan prestasinya membuat decak kagum setiap mata yang melihat dan setiap telinga yang mendengarnya. Kabar-kabar keberhasilannya tersebar dari mulut ke mulut, menelusuri negeri dari Sabang hingga Merauke. Ruang media sosial tak pernah sepi membicarakan pesonanya, seluruh jemari bergerak mengutip dan menyebarkan asa kebaikan negeri dalam personalnya. Bagai hujan sehari menghapus kemarau panjang setahun, begitulah wujud kehadiran Anies usai mengemban amanat sebagai Gubernur Jakarta yang eksistensinya semakin didamba. Warga Jakarta terasa puas dan semangat menyampaikan ucapan terimakasih dan apresiasinya. Kemajuan kotanya dan kebahagiaan warganya, seakan ingin ditularkannya ke seantero negeri, tak cukup berhenti hanya sampai di Jakarta. Rakyat antusias mengabarkannya, menyebarkan kebaikan figur pemimpin yang sederhana dan bersahaja, namun gilang-gemilang karyanya. Letih berurai keringat, darah, dan nyawa, rakyat begitu peluh merindukan figur pemimpin yang melindungi dan melayani. Terlalu lama makan janji dan kenyang dengan mimpi-mimpi. Rakyat begitu menderita karena didera hidup dalam tekanan dan rutin dieksploitasi. Bukan kejujuran yang memandu, namun kebohongan yang beraksi saban hari. Bukan pemimpin yang mengayomi, negeri semakun ironi karena kiprah pejabat dan politisi tanpa nurani. Krisis kepemimpinan, seperti tanpa pemerintahan dan cenderung menjadi negara gagal. Fakta dan realitas itulah yang telah lama dirasakan rakyat. Tahun-tahun panjang penuh nestapa, rakyat banyak menanggung beban dari dosa-dosa kalangan durjana pengelola negara. Harapan terbesit dari suasana Jakarta. Meninggalkan jejak pemimpin yang bijak dan berwibawa. Cerdas, bersih, dan santun, menyalip maraknya isu, intrik, dan fitnah. Kesalehan sosialnya mampu menepis badai sikap kebencian dan permusuhan. Ia tak punya waktu untuk meladeni suara nyinyir dan julid. Ia dituntun oleh semangat menunaikan amanah, dan totalitas pengabdian diri untuk negeri. Dikenal, dibela, dan dicintai, begitulah pemilik nama lengkap Anies Rasyid Baswedan mendapat perlakuan rakyat. Telah menjadi milik seluruh anak bangsa, Anies memenuhi dahaga melepas kerinduan rakyat akan pemimpin sejati. Pemimpin yang respek, menghormati dan menghargai rakyatnya. Mampu merangkul perbedaan dari kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa. Terbukti telah bekerja nyata, bukan citra apalagi sekedar retorika. Memang tak terbantahkan dan sudah menjadi rahasia umum. Bahwa Negara sejahtera, di mana kemakmuran dan keadilan bukan hal mudah, tetapi juga bukan mimpi. Kehadiran Anies dan karyanya, secara perlahan namun pasti menuntun rakyat mewujudkan keinginan para “the founding fathers” dan cita-cita proklamasi kemerdekaan itu. Anies yang rendah hati, juga Anies yang berbudi pekerti dan dengan segudang prestasi. Berangkat dari Jakarta menjejaki seluruh negeri, siap menghapuskan derita setiap anak bangsa. Terimakasih Jakarta dan kini Indonesia memanggil, terasa tepat ditujukan ke Anies. Sepertinya rakyat boleh bangga dan berbesar hati karena boleh jadi pada waktunya, bersama Anies tanpa Indonesia menangis. Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 31 Oktober 2022/5 Rabi\'ul Akhir. (*)
Darah Segar Muhammadiyah Itu Proporsional
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, gerakan da\'wah dan gerakan tajdid adalah organisasi yang dilahirkan untuk siap menghadapi hal-hal tersebut di atas. Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Keagamaan MANTAN Ketum PP Muhammadiyah Prof DR Dien Syamsuddin menyampaikan pandangan segar tentang darah segar di Muhammadiyah. Agenda Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta tanggal 18-20 Nopember 2022 di samping penyampaian jawaban atas tanggapan peserta Muktamar yang dikemukakan secara daring pada 5 Nopember 2022 juga fokus terhadap pemilihan anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2022-2027. Melalui Sidang Tanwir pada 18 Nopember 2022, 94 calon yang dinyatakan telah memenuhi syarat akan dipilih dan ditetapkan menjadi 39 calon tetap. Selanjutnya, 39 calon ini yang akan dipilih oleh seluruh peserta Muktamar menjadi 13 anggota PP Muhammadiyah. Ketua Umum dan Sekretaris Umum dimusyawarahkan oleh 13 Pimpinan terpilih. Inilah Demokrasi berbasis musyawarah yang berlaku di lingkungan Muhammadiyah. Kolektif kolegial menjadi prinsip kepemimpinan yang dijalankannya. Buya Anwar Abbas, salah seorang Ketua PP Muhammadiyah menyambut konstruktif ungkapan Prof Dien tentang darah segar tersebut. Tekanannya pada kriteria komitmen dan pemahaman nilai Al Qur\'an dan As Sunnah. Di samping segar menurutnya harus memiliki idealisme dan integritas. Mampu menghadapi tantangan perubahan di tingkat lokal, nasional maupun global. Muhammadiyah tentu memiliki sumber daya insani yang cukup untuk itu. Darah segar yang ideal adalah proporsional. Jika 13 anggota PP yang akan dipilih dan terpilih komposisi 7 personal lama dan 6 yang baru maka hal itu sudah cukup bagus. Apalagi kalau terbalik. Ada nuansa keberlanjutan dan perubahan. Inilah makna dari penyegaran tersebut. Bukankah tiga anggota PP Muhammadiyah yang ada telah meninggal dunia dan itu harus tergantikan? Tiga ledakan besar (three explotions) yang harus diantisipasi Muhammadiyah ke depan. Pertama, jumlah penduduk yang semakin meningkat (population). Hal ini menuntut kualitas sumber daya insani yang siap untuk berkompetisi. Apalagi dalam peluang “bonus demografi”. Kedua, ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology). Kemampuan untuk melakukan healing dengan sarana iptek yang berkembang cepat science tell us how to heal and how to kill. Ketiga, pergeseran nilai dan relasi (changing ethics and norms, relationship between man and man, man and nature). Pemahaman Qur\'an dan Sunnah secara bayani, burhani dan irfani akan mampu mengantisipasi perubahan nilai tersebut. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, gerakan da\'wah dan gerakan tajdid adalah organisasi yang dilahirkan untuk siap menghadapi hal-hal tersebut di atas. Pandemi Covid 19 telah berhasil di antisipasi dan warga Muhammadiyah nampak bersemangat untuk mensukseskan dan menggembirakan Muktamar ke-48. Berjuta anggota akan hadir di Solo dengan bahagia. Untuk melanjutkan dan melakukan perubahan. Dalam rangka \"memajukan Indonesia dan mencerahkan semesta\". Bandung, 31 Oktober 2022. (*)
Predator Politik Saling Menjegal
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Apakah Megawati akan diam saja? Kekuatan Megawati semakin melemah? PDIP sudah terpecah: semakin banyak yang mendukung Ganjar, bahkan mendukung Jokowi? PDIP memang “seksi”, bisa mengusulkan capres sendiri tanpa tergantung partai lainnya. PDIP bisa mengusung sendiri paslon Capres-Cawapres. Tapi, ketika tidak lagi sejalan dengan penguasa, maka keseksiannya bisa menjadi bumerang: target “dikudeta”. Tidak tanggung-tanggung, target penghancuran langsung diarahkan ke Puan Maharani dan Megawati Soekarnoputri, putri dan ibunya yang menjabat Ketua DPP dan Ketua Umum DPP PDIP. Sepertinya sikap politik PDIP dan Megawati bertentangan dengan keinginan para oligarki penguasa yang mau meneruskan status quo, akan mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres 2024. Di lain pihak, Megawati tidak berkenan, alasannya belum menentukan capres: atau mau mendorong Puan? Perselisihan semakin keras dan terbuka. Pertama, Puan langsung jadi sasaran tembak. Sekelompok orang mengaku Sahabat GP 2024 meminta KPK periksa Puan dalam skandal E-KTP: ini permintaan wajar atau politis? Puan dianggap penghalang untuk bisa capreskan Ganjar? Sahabat GP 2024 meminta KPK harus segera memeriksa Puan Maharani, yang juga Ketua DPR dalam skandal E-KTP. Semua nama yang disebut terpidana Setya Novanto termasuk Ganjar Pranowo sudah diperiksa KPK, namun sampai saat ini Puan belum diperiksa lembaga antirasuah itu. “Kami dari Sahabat GP 2024 menyerahkan secara tertulis dalam bentuk surat meminta KPK agar segera memeriksa Puan dalam skandal E-KTP,” kata Yonpie anggota Sahabat GP 2024, dalam video yang beredar. Yonpie mengatakan, KPK tidak boleh tebang pilih dalam kasus korupsi E-KTP. “Jangan ada tebang pilih dan Puan belum pernah diperiksa KPK padahal dalam dakwaan Mantan Ketum Partai Golkar Setya Novanto nama Puan mencuat di Persidangan Tindak Pidana Korupsi E-KTP. Kasus korupsi E-KTP ini harus dibuka terang benderang hukum tidak boleh tumpul ke atas tajam ke bawah,” ungkapnya. Hampir semua nama yang disebut Setya Novanto dalam Sidang Tipikor sudah dipanggil KPK termasuk Ganjar Pranowo yang juga dinyatakan tidak cukup bukti dan clear dalam kasus korupsi E-KTP tersebut. “Dikuatkan oleh kesaksian Novel Baswedan kala itu sebagai penyidik KPK menyebutkan Ganjar tidak termasuk dari orang yang mengembalikan hasil Korupsi E-KTP artinya Ganjar tidak terlibat dalam kasus tersebut,” paparnya. Sebelumnya, Setya Novanto menyebut ada uang hasil korupsi yang mengalir kepada dua politisi PDIP, yakni Puan Maharani dan Pramono Anung. Menurut Novanto, keduanya masing-masing mendapatkan US$ 500.000. Hal itu dikatakan Novanto saat sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (22/3/2018). “Bu Puan Maharani, Ketua Fraksi PDI-P dan Pramono adalah 500.000. Itu keterangan Made Oka,” kata Setya Novanto kepada majelis hakim. Menurut Novanto, pada suatu waktu pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Made Oka Masagung datang ke rumahnya. Ia menyebut, saat itu Oka menyampaikan bahwa ia sudah menyerahkan uang kepada anggota DPR. “Saya tanya pada waktu itu ‘Wah untuk siapa?’ Disebutlah, tidak mengurangi rasa hormat saya dan saya minta maaf, karena ada juga saudara Andi di situ, adalah untuk Puan Maharani 500.000 (dollar AS) dan untuk Pak Pramono 500.000 (dollar AS),” kata Novanto. Saat majelis hakim mengonfirmasi ulang keterangan itu, Novanto menegaskan bahwa ia hanya mendengar soal penyerahan uang kepada anggota DPR itu dari Oka Masagung dan Andi Narogong. Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto juga membantah pernyataan Novanto tersebut. Ia mengatakan, saat proyek e-KTP dijalankan, PDIP sebagai oposisi tidak memiliki menteri di pemerintahan sehingga tidak ikut mendesain. Sasaran kedua langsung mengarah ke jantung lawan, mematikan. Relawan Ganjar lainnya doakan Jokowi terpilih jadi Ketum PDIP. Artinya, Megawati akan dikudeta? Apakah akan ada “PDIP tandingan” dan Megawati tersingkir? Apakah tanda Trah Soekarno akan berakhir? Koalisi Aktivis dan Millennial Indonesia untuk Ganjar Pranowo (KAMI-Ganjar) bakal menggelar doa, zikir dan istigasah agar Gubernur Jawa Tengah itu bisa menjadi Capres dan terpilih menjadi Presiden RI. Selain itu, mereka juga bakal mendoakan agar Presiden Jokowi menjadi Ketua Umum PDIP pada 2024. “Sebagai bangsa yang percaya terhadap Tuhan dan Pancasilais, segala usaha dan upaya yang akan kami lakukan harus diawali dengan doa dan harapan agar mendapat Ridho dan rahmat Allah SWT. Apalagi menetapkan calon pemimpin bangsa ini ke depan,\" ungkap Koordinator KAMI-Ganjar, Joko Priyoski dalam keterangan tertulis pada Rabu, 26 Oktober 2022 lalu. Ia menambahkan, KAMI-Ganjar bukan sekadar organisasi relawan biasa. Organisasi itu telah terstruktur dan diklaim tersebar di seluruh Indonesia. “Kami akan adakan acara sakral ini di seluruh Indonesia menurut ajaran Islam. Agar nanti kerja-kerja politik, bisa dimenangkan oleh Ganjar Pranowo sebagai Presiden RI. Lalu, agar Pak Jokowi paska tidak menjadi presiden lagi di 2024 bisa menjadi Ketum PDIP periode 2024-2029,” kata pria yang akrab disapa Jojo itu. Mengapa KAMI-Ganjar yakin Jokowi dapat dipilih menjadi Ketum PDIP pada kongres mendatang? KAMI-Ganjar yakin Jokowi bisa terpilih menjadi ketum karena PDIP bukan partai kerajaan Presiden Jokowi dan Megawati tiba di Rakernas PDIP, Sekolah Partai DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. (dok. PDIP) Menurut Jojo, Jokowi berpeluang untuk memimpin PDIP pada 2024. Sebab, partai berlambang banteng hitam dan moncong putih itu adalah partai demokrasi. Fatsunnya PDIP, kata dia, bukan partai kerajaan. “Maka, kami berharap Pak Jokowi mau dan bisa terpilih kelak menjadi ketum ketika Kongres PDIP tahun 2024 nanti,” kata pria yang mengaku juga adalah aktivis 98 itu, seperti dilansir IDN Times. Ia mengaku yakin bila PDIP dipimpin oleh Jokowi dan Ganjar terpilih menjadi Presiden periode 2024-2029 maka itu akan berimbas semua program Nawacita Jokowi yang sudah dirintis dan telah direalisasikan bisa tetap dipertahankan. Apakah Megawati akan diam saja? Kekuatan Megawati semakin melemah? PDIP sudah terpecah: semakin banyak yang mendukung Ganjar, bahkan mendukung Jokowi? Atau Megawati akan melawan, dan balik “kudeta” Jokowi melalui parlemen, seperti kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang berhasil dijatuhkan? Apakah Megawati masih mampu? (*)
Haedar Nasir Versus LD-PBNU Dalam Merespon Program Deradikalisasi Rezim Joko Widodo
Betapa tolerannya umat Islam Indonesia, dengan adanya fakta telanjang, bahwa ada segelintir etnis lain dan beragama lain, atau minoritas etnik dan minoritas agama tapi bisa menguasai 50% (mayoritas) aset nasional negeri ini. Oleh: Budi Nurastowo Bintriman, Pengamat Sosial Politik BARU-baru ini, Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (LD-PBNU) mengadakan Rakernas. Tentu ada beberapa tema yang dibahas di dalamnya. Namun ada satu hal yang menarik perhatian publik, yaitu respon NU terhadap fenomena intoleransi, ektremisme, radikalisme, dan terorisme. Isu-isu tersebut juga menjadi perhatian bagi Haedar Nasir. Perhatiannya tersebut berwujud dalam pidato pengukuhan profesornya dalam bidang sosiologi. Ia memberi judul “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Perspektif Sosiologi”. Antara LD-PBNU dengan Haedar Nasir ternyata banyak perbedaan, bahkan pertentangan. Maka perbedaan dan pertentangan tersebut menjadi sangat menarik pula untuk diangkat ke publik. Semoga tulisan ini mendewasakan, mencerdaskan, dan mencerahkan bangsa ini, dan umat Islam ini. Atas rumusan-rumusan yang terpublikasi (yaitu: ekstremisme, radikalisme, dan terorisme) yang hendak diberantas, tampak nyata terasa, bahwa LD-PBNU lebih fokus menyasar ke Islam. Ini bisa dirunut dengan istilah-istilah yang dimunculkan, seperti: wahabi, takfiri, tuduhan bid\'ah, hijrah fest ataupun hijab fest. Ditambah lagi, LD-PBNU merujuk pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD, bahwa ajaran wahabi sama sekali tidak cocok dengan corak, kultur, dan karakter umat Islam Indonesia. Dan ,Said Aqil Siraj menyatakan bahwa ajaran wahabi adalah pintu masuk terorisme di Indonesia. Sementara bagi Haedar, fenomena intoleran, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme mempunyai spektrum universal. Artinya, semua ajaran entah itu agama, kepercayaan, filsafat dan lain sebagainya mempunyai peluang yang sama untuk terhinggapi penyimpangan-penyimpangan tersebut. Itu bukan melulu ada dalam Islam saja. Di sini tampak jelas, bahwa LD-PBNU terlalu menyederhanakan persoalan. Akibatnya bisa terjadi distorsi yang justeru menyesatkan masyarakat. Haedar mengistilahkannya justeru terjadi “bias islamophobia”. Kemudian LD-PBNU mengusulkan pada pemerintah agar lebih menggencarkan lagi program deradikalisasi dengan istilah Da\'i Kamtibmas dan Satgas Da\'i Maritim. Dan, ke sini-sininya, LD-PBNU menawarkan kerjasama NU-Polri untuk program deradikalisasi pemerintah. Istilah “Da\'i Kamtibmas” dan “Satgas Da\'i Maritim” sangat berbau pendekatan keamanan-militeristik. Maka itu seolah mengkonfirmasi apa yang ditengarai oleh Haedar Nasir. Cara-cara rezim Joko Widodo dalam menghadapi isu intoleran, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme masih sama dengan cara-cara rezim Orla dan Orba, yaitu dengan pendekatan keamanan-militeristik. Haedar mengkhawatirkan bahwa kekerasan yang dihadapi dengan kekerasan justeru akan melahirkan kekerasan baru tanpa berkesudahan. Ini terbukti dengan sangat terang-benderang, bahwa fenomena intoleransi, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme tak pernah tuntas, tak pernah ada kejelasan, dan justeru semakin samar serta misterius. Makanya Haedar malah menengara bahwa sebenarnya persoalan intoleransi, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme itu sangat erat kaitannya dengan konspirasi global. Menurutnya semua itu pasti ada backing-nya, ada sponsor dan dana besar di belakangnya. Kekuatan global itu bermain dan berkelindan dengan kekuatan domestik. Tujuannya tentu untuk menangguk keuntungan besar-besaran material dari bumi Indonesia. Parahnya, Haedar menengarai, bahwa program deradikalisasi yang bias Islamophobia itu memang justru untuk terus diproduksi meskipun sejatinya obyeknya itu sendiri tak ada. Sebab program ini beraroma proyek. Maka pihak-pihak yang mudah goyah terhadap godaan rupiah pasti menjadi pendukung program tersebut. Menurut Haedar, rezim Joko Widodo yang menerapkan program deradikalisasi (beraroma islamophobia) sejatinya sedang merugikan bangsa sendiri, wabil khusus merugikan umat Islam. Maka Haedar mengajukan konsep “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan dalam Perspektif Sosiologi”. Konsep yang nir kekerasan. Ini sejalan dengan nilai kasih-sayang yang ada pada semua agama yang ada di Indonesia. Karena bangsa Indonesia sudah teruji sebagai bangsa yang memiliki sifat adaptif dan akukturatif. Contoh ekstremnya adalah penerimaan bangsa ini terhadap agama Katholik atau Protestan yang menjadi agama kaum penjajah. Satu fakta lagi yang bisa diungkap untuk mengkonfirmasi analisis Haedar betapa baiknya dan betapa tolerannya bangsa Indonesia yang notabene mayoritas beragama Islam. Betapa tolerannya umat Islam Indonesia, dengan adanya fakta telanjang, bahwa ada segelintir etnis lain dan beragama lain, atau minoritas etnik dan minoritas agama tapi bisa menguasai 50% (mayoritas) aset nasional negeri ini. Untuk itu, kita tidak boleh lelah mendorong moderasi atau sikap tawasuth! Kita musti terus menyadarkan pihak-pihak yang menggelorakan program deradikalisasi yang beraroma islamophobia! Konsep deradikalisasi yang dilahirkan dari Barat. Yaitu bangsa Barat yang daam sejarah panjangnya (ratusan tahun) kotor oleh lumuran darah kekejian dan kedzaliman (sejak era merkantilisme hingga detik ini). Wallahu a\'lam bishshawwab... (*)
Anies itu Fakta, Bukan Citra
Menjual sesuatu yang menarik dan menggoda tapi sejatinya penuh kepalsuan. Berbeda dengan figur Anies yang asli dan genuin, figurnya merupakan fakta bukan citra. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI TOPENG itu tidak hanya untuk menutupi wajah. Topeng juga bisa dipakai menggelapkan jiwa dan raga. Etika dan moralitas menguap, terbang terusir oleh kepalsuan diri. Seluruh tubuh dan ruhnya, tenggelam oleh pesona dan kemolekan citra. Semu memang, meski terlihat indah sesaat. Tidak sekedar tanpa integritas, hadirnya juga tanpa kemanusiaan yang hakiki. Angin kebencian dan permusuhan terus menggelayuti kiprah Anies Baswedan sebagai pemimpin yang terus “flowering”. Seakan tidak pernah surut dari gelombang dendam sosial dan politik. Anies tetap bersahaja dan bergeming melewati badai isu, intrik dan fitnah yang ingin membunuh karakter kepemimpinannya. Prestasinya diabaikan, penghargaannya tak dinilai, begitulah upaya menjegal Anies dibawa sampai ke kedengkian hati oleh lawan-lawan politiknya. Amarah dan dengan disertai perilaku jahat yang kuat korelasinya dengan kekuasaan, tak pernah sepi dari perjalanan karir Anies. Asal bukan Anies dan kalau perlu Anies harus disingkirkan dari dinamika politik, terutama dalam menghadapi pesta demokrasi pada Pilpres 2024. Namun sayang sungguh sayang, upaya setengah mati dari konspirasi untuk menyingkirkan Anies tak pernah berbuah manis. Selalu kegagalan dan jalan buntu menjungkalkan Anies yang dijumpai lawan politik, para pelaku tabiat buruk manusia yang berkolaborasi dengan setan. Menjadi budak kapitalis dan kacung komunis, gerombolan lingkaran dan sub koordinat rezim tersebut dengan segala cara ingin menjatuhkan Anies. Sebuah hawa nafsu jahat berbentuk sistem dengan sekumpulan orang, yang tidak ingin Anies tampil sebagai pemimpin yang mencerahkan bagi rakyat, negara dan bangsa serta agama. Kenapa upaya membegal Anies dengan pelbagai cara keji dan berbiaya mahal itu tak kunjung berhasil? Jawabannya sederhana, selain didukung rakyat, Anies selalu tampil apa adanya. Dengan kesederhanaan, ketulusan dan kejujuran dalam bertugas mengemban amanat rakyat. Tentu saja dengan kerja keras dan kerja cerdas, yang dibekali qua intelektual dan qua ideologi. Sikap rendah hati, terbuka dan egaliter juga menjadi penguat behavior cerdas dan santun yang dimiliki Anies. Kenyataan-kenyataan itu yang tak terbantahkan dan tak bisa dimanipulasi, oleh anasir kekuatan apapun yang tak ingin perubahan Indonesia yang lebih baik di bawah kepemimpinan Anies. Dengan tidak mengecilkan dan “under estimate”, kebanyakan sosok pemimpin lain yang ikut memeriahkan kontestasi capres ini, memang tak bisa ditutup-tutupi dan tidak bisa disembunyikan oleh para politisi dan pejabat kompetitor Anies. Karena, kebanyakan sudah tersandera, bahkan hampir semuanya terbelenggu dalam dosa politik dan catatan hitam sejarah. Ada yang terlibat skandal korupsi E-KTP, kasus Semen Mendem, tragedi Wadas hingga kejahatan terhadap perusakan lingkungan dan komunitas. Mirisnya lagi, bakal capres-capres mentereng dan penuh gaya itu, ternyata juga sering terlibat dalam pembajakan kostitusi, hingga berhubungan gelap dengan korporasi hitam dan mafia, serta pelbagai kejahatan kemanusiaan lainnya. Betapapun populer dan eksentriknya bertingkah, bakal capres-capres yang sangat bergantung pada oligarki itu, sudah menjadi kartu mati di mata rakyat. Betapapun uang berlimpah dan fasilitas menggiurkan miliknya berupaya membeli demokrasi. Mengapa hal itu terjadi dan mengemuka untuk menelanjangi pemimpin yang cenderung disebut boneka atau wayang kekuasaan? Penilaiannya juga tidak terlalu rumit, mereka itu pemimpin palsu, pemimpin yang lahir dari demokrasi kapitalistik dan transaksional. Mereka yang membeli jabatan dengan uangnya tersebut, kemudian menghisap kekayaaan negara sebesar-besarnya dengan menggunakan kekuasaannya itu. Uang untuk membeli dan membangun pencitraan itu sesungguhnya bertolak-belakang dengan realitas dirinya. Harta dan kewenangannya tersebut mungkin bisa menjadi bengkel yang dapat memperbaiki rupanya, tapi tak akan mampu mengobati dan menyembuhkan penyakit pikiran dan hatinya. Tetap menjadi virus berbahaya bagi demokrasi yang sehat, karena orientasi jahat dan distorsi tersebut adalah kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Bagus kemasannya, sangat buruk isinya, begitulah karakter beberapa bacapres yang tidak ada dalam figur Anies. Sekali lagi, isi lebih penting dan utama daripada kemasannya. Karena isi akan menemukan bentuknya, sebaliknya kemasan yang akan mencari bentuknya. Tidak ada kemasan tanpa isinya. Tak sekedar baik di luar, namun bobrok di dalamnya. Menjual sesuatu yang menarik dan menggoda tapi sejatinya penuh kepalsuan. Berbeda dengan figur Anies yang asli dan genuin, figurnya merupakan fakta bukan citra. Kepribadian Anies yang otentik, yang memiliki karakter dan integritas, jauh dari pencitraan. Ya, bukan pencitraan yang selama ini bertebaran dalam wujud banyak pemimpin penuh janji dan segudang kebohongan. Keji pula. Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 31 Oktober 2022/5 Rabi\'ul akhir 1444 H. (*)
Jokowi Mundur, Indonesia Maju
Kalau saja republik ini ingin tetap ada dan tercatat di peta dunia, seperti melalui “poin of no return” yang harus berani menghadapi perjuangan dan resiko apapun untuk Indonesia yang lebih baik. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI INDONESIA sepertinya sedang dipimpin oleh “gerombolan bromocorah”. Sekelompok manusia bermental korup juga bengis, bergabung dengan penjahat perampok harta negara dan pembunuh rakyat. Tak ketinggalan, perilaku seks bebas dan menyimpang ikut mewarnai pentas panggung politik para bajingan berdasi yang sering berdalih atas nama rakyat dan konstitusi. Semua kejahatan kemanusiaan itu begitu sempurna, seakan menggantikan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Ini bukan soal konstitusional atau inkonstitusional. Ini juga bukan soal sesuai masa jabatannya atau berhenti di tengah jalan. Ini menyangkut keselamatan dan masa depan NKRI. Tidak perlu menunggu sampai dua tahun, langkah-langkah preventif mutlak dilakukan agar republik ini tidak semakin hancur. Situasi dan kondisi negara ini sudah sama dengan penyakit yang kronis dan akut. Sistem ketatanegaraan yang semakin amburadul berbarengan dengan perilaku menyimpang para aparatur pemerintahan. Bukan sekedar distorsi kekuasaan, rezim semakin terang-benderang melakukan kejahatan terstruktur dan sistematik. Negara ini tidak boleh kalah oleh segelintir penghianat bangsa. Rakyat harus bangkit, melawan dan menyelamatkan Indonesia tercinta berapa pun besar dan mahalnya perjuangan tersebut. Bangsa Indonesia sejak dalam kepemimpinan hampir dua periode Jokowi, semakin mengalami kerusakan. Kecenderungan negara gagal sudah semakin terasa ketika kebohongan demi kebohongan terbukti dalam mengurus negara. Bukan hanya tak terbukti dalam mewujudkan janji kampanye ketika pilpres, pemerintah lebih parah lagi, banyak menghasilkan kebijakan yang membuat rakyat sengsara dan menderita. Demokrasi ekonomi dan demokrasi politik hanya berbuah kekuasaan yang korup, tiran dan menindas. Tak ada lagi tempat bagi akal sehat, nurani, dan budi pekerti. Tak ada lagi sedikitpun celah bagi etika dan moralitas. Tak boleh ada keleluasaan untuk tumbuhnya kemanusiaan dan Ketuhanan. Kekacauan penyelenggaraan negara yang diselimuti dengan pelbagai kejahatan kemanusiaan. Bukan saja mengubur keyakinan rakyat terhadap keberadaan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Kebanyakan Pejabat dan sebagian besar pemimpin berubah menjadi psikopat politik yang karena orientasi materi, menghalalkan segala cara hanya untuk memenuhi dan memuaskan syahwat dunia. Rakyat menjadi terbelah, sebagian terpinggirkan dan frustasi, sebagian lagi mengikuti jalan sesat setan berwujud aparat negara. Banyak yang terus mengambil sikap kritis dan kesadaran perlawanan, namun tidak sedikit yang menghamba pada kekuasaan. Sudah banyak korban yang berjatuhan, teraniaya, dan bahkan menemui kematian karena konsisten menegakkan kebenaran dan keadilan. Begitupun ada yang mengambil posisi aman, menjilat dan ikut menikmati kue kekuasaan meski tenggelam dalam kemunafikan. Dengan krisis kepemimpinan seiring krisis moral yang berdampak pada krisis multidimensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia juga telah mengalami kehancuran nyaris di semua aspek. Kebudayaan kapitalistik yang hedon telah membuat rakyat tercerabut dari akar nilai-nilai spiritual dan religi. Keinginan mencari kesenangan hidup dan mengabaikan prinsip-prinsip ahlakul kharimah, membuat hampir seluruh rakyat Indonesia hanya menjadi bangsa yang sekedar beragama tetapi tak Bertuhan. Kebohongan demi kebohongan, fitnah keji dan pembunuhan sudah menjadi pemandangan biasa dalam pergaulan sosial dan interaksi kebangsaan. Rakyat Indonesia di bawah kepemimpinan rezim boneka dan aparat monster tersebut, layaknya populasi penduduk yang primitif dan barbar yang hidup di dalam era modern. Sejak rezim Jokowi memimpin, Indonesia menjadi negara terbelakang, bahkan tertinggal 100 tahun dari negara yang hanya ada di kawasan Asia Tenggara. Pembelahan sosial telah menimbulkan luka dalam dan sulit disembuhkan bagi persatuan dan kesatuan nasional. Kehidupan ekonomi dan politik yang membuat kehidupan rakyat dibebani oleh utang dan krisis keuangan, membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa kuli di atas bangsa kuli. Begitu pula dengan kedaulatan negara, harga diri, kehormatan serta martabat bangsa yang semakin terpuruk. Indonesia menjadi sempurna menuju negara gagal, ketika ditambah sistem pertahanan dan keamanan menjadi begitu sangat lemah. Hal ini terbukti bukan hanya pada ranah sosial, ekonomi, dan politik, dalam penguasaan persenjataan konvensional dan biologis, militer Indonesia masih tergolong memiliki alutsista yang secara kualitatif dan kuantitatif masih jauh dari standar dan belum mampu menjamin keselamatan dan kesinambungan eksistensi NKRI. Pandemi Covid-19 beserta kontroversi dan eksesnya menjadi bukti yang tak terbantahkan, betapa rapuhnya Indonesia dalam skala lokal dan terlebih lagi global. Rasanya, ini bukan sekedar subyektifitas dalam melihat fenomena mirisnya Indonesia, yang sejatinya negara besar dan kaya. Republik yang sarat historis dan ideologis serta mumpuni menjadi bangsa pemimpin dan disegani di dunia, namun apa daya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Rezim Jokowi, sebuah komunitas politik dengan pemimpin boneka didampingi birokrat hipokrit dan badut-badut buzzer yang konyol ini, Indonesia nyaris tenggelam oleh perilaku menyimpang dari kekuasaan rezim Jokowi yang tak ubahnya bagai penjahat berkedok aparatur negara dan dilindungi konstitusi. Sebuah entitas politik pemerintahan yang sanggup menerkam, mengoyak, dan mencabik-cabik Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Pada akhirnya tak ada pilihan lain lagi, yang terbaik bagi keselamatan rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Kalau saja republik ini ingin tetap ada dan tercatat di peta dunia, seperti melalui “poin of no return” yang harus berani menghadapi perjuangan dan resiko apapun untuk Indonesia yang lebih baik. Maka menjadi keharusan yang wajib dilaksanakan, bahwasanya saatnya Jokowi mundur sehingga menjadikan Indonesia maju. Dari catatan pinggiran labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 30 Oktober 2022/4 Rabi\'ul Akhir 1444 H. (*)
Berpikir Tentang IKN Presiden Jokowi
Pemerintah masih sempat menghapus subsidi. Dan, menghilangkan BBM jenis premium. Konon, awal November 2022, harga BBM akan dinaikan lagi. Dapat dipastikan, harga-harga akan naik lagi. Rakyat semakin tercekik lagi. Oleh: Syafril Sjofyan, Pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis Pergerakan 77-78 LAMA saya berpikir. Merenung. Tentang hati seorang Presiden. Joko Widodo. Seperti apa, perhatiannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan pada kondisi kelam. Namun yang tergambarkan dalam benak pikiran saya ini hanyalah keberpihakannya kepada pemilik modal, investor (Asing). Bahkan, sangat terkesan keberpihakannya “hanya” kepada dirinya sendiri. Betapa tidak. Ketika resesi ekonomi 2023 sudah di depan mata, krisis yang menghantui dengan ancaman kebangkrutan dan kehidupan kelam, yang akan diderita semua pihak, Presiden Jokowi terkesan abai. Dalih yang disampaikan selalu ini sebagai dampak Covid-19. Dampak perang Ukraina-Rusia yang berkepanjangan. Dampak perang dagang USA – RRC yang berlangsung sejak lama sampai sekarang. Dampak krisis pangan global. Yang sudah diderita rakyat Indonesia. Kenaikan harga BBM juga berdampak pada kenaikan harga semua kebutuhan. Akibat PHK dan bangkrutnya UMKM ketika dua tahun Covid-19 itu, belum sembuh benar. Sekarang sudah terjadi lagi PHK ratusan ribu karyawan di berbagai Perusahaan padat karya. Karena order dibatalkan buyer. Tidak ada lagi order baru dari buyer. Sebab, kemampuan beli para buyer drastis anjlog karena krisis ekonomi global. Jokowi tetap “ngotot” perihal mimpinya. Yakni, pada akhir masa jabatannya HUT Proklamasi 2024 harus di IKN (Ibu Kota Negara) baru di Kabupaten Paser Utara, Kalimantan Timur. Apapun “caranya”. Bahwa tindakan Presiden Jokowi hanya satu, mewujudkan mimpi pribadinya. Tak peduli apapun yang akan terjadi. Menggerogoti APBN yang sudah bolong-bolong. Pembayaran utang dengan utang lagi. Sepertinya Jokowi “tidak peduli” dengan krisis ekonomi yang melanda. Presiden Jokowi cukup berkata bahwa 2023 krisis terjadi. Indonesia akan kelam. Titik. Meski anomali dari krisis kelam, Jokowi ternyata malah “menjual” secara obral dan “banting harga” penggunaan lahan dan pembangunan IKN Nusantara itu. Sangat terkesan, IKN tersebut ke depannya akan “jadi jajahan” para pemilik modal dengan segala fasilitas yang sangat memanjakan dan menggiurkan bagi para investor. Sebegitunya Jokowi hanya untuk mewujudkan mimpinya. Dalam kondisi “kelam” katanya, tetap Keukeuh (Bahasa Sunda: “bandel/keras kepala”). Ungkapan ini pernah disampaikan Setya Novanto (mantan Ketua DPR, dan mantan Ketua Golkar yang menjadi pesakitan KPK) tentang sosok Jokowi. Delapan tahun berkuasa Presiden Jokowi punya hobi “lempar-lempar” hadiah kepada rakyatnya. Sampai sekarang tidak pernah berubah. Tidak ada orang terdekat yang mampu mencegahnya. Jokowi bagai “sinterklas” bagi-bagi amplop pada setiap kunjungannya. Sebagai Presiden melibatkan diri dalam kegiatan teknis secara langsung membagikan BLT. Bagi sebagian kalangan rakyat miskin, Presiden Jokowi itu baik. Menghadapi “keadaan kelam” karena krisis ekonomi “tidak terlihat” empatinya terhadap penderitaan yang akan dihadapi rakyatnya. Tugasnya sebagai kepala pemerintahan meningkatkan kesejahteraan sekurang-kurangnya menjaga agar kesejahteraan rakyatnya secara menyeluruh tetap bisa bertahan meski dalam kondisi sulit, Sepertinya abai. Padahal menurut para ekonom, akibat krisis ekonomi, recovery cukup lama dan diperkirakan 5 tahunan. Sebagai Presiden, Jokowi “belum pernah” menyampaikan “kiat-kiat” apa yang harus dipersiapkan dan dilakukan oleh rakyatnya. Kiat kepada Kepala Rumah Tangga, para UMKM, dan para Pengusaha besar yang tengah melakukan PHK besar-besaran. Begitu juga kiat dari Presiden untuk para pejabat pusat dan daerah dalam menghadapi “kekelaman” tersebut. Presiden Jokowi lebih “asyik masyuk” sendiri untuk mewujudkan mimpi, beristana baru di IKN. Sebenarnya tulisan ini sudah saya tulis dua hari lalu. Belum saya kirimkan ke media. Sebab masih berpikir keras. Apa yang ada di benak Presiden. Terutama dalam menghadapi kelamnya kondisi ekonomi. Saya tunggu kiat dari Jokowi dalam menghadapi kekelaman, tidak ketemu juga. Karena memang tidak ada. Sementara investor dimanjakan dengan berbagai kemudahan di IKN. Pemerintah masih sempat menghapus subsidi. Dan, menghilangkan BBM jenis premium. Konon, awal November 2022, harga BBM akan dinaikan lagi. Dapat dipastikan, harga-harga akan naik lagi. Rakyat semakin tercekik lagi. Keberpihakan Presiden Jokowi “berlebih” kepada pemilik modal dan mimpinya. Bukan kepada rakyatnya. Si miskin cukup disuap dengan BLT dan lemparan hadiah. Mengenaskan. Eling Pak Presiden. Bahwa kekelaman akan terjadi. Itu kata Bapak Presiden sendiri, bukan saya atau rakyat, lho?! Bandung, 30 Oktober 2022. (*)
WNA Bisa Tinggal 10 Tahun, Bahaya: Bisa Dimanfaatkan Jelang Pilpres 2024
Migrasi warga China ke Indonesia bersamaan sejumlah anak muda di China saat ini lebih memilih untuk menyerah ketika berhadapan dengan situasi buruk. Tindakan tersebut di China dikenal dengan sebutan “Bailan”. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KEBIJAKAN second home visa alias visa rumah kedua yang diperuntukkan bagi Warga Negara Asing (WNA) atau eks Warga Negara Indonesia (WNI) yang baru dikeluarka Pemerintah, sangat berbahaya terutama menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Selama 10 tahun mendapatkan second home visa, sangat mungkin bakal dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dan politik khususnya jelang Pilpres 2024. WNA bisa tinggal 10 tahun, kemungkinan akan dimanfaatkan lebih dalam oleh WNA asal China untuk kepentingan yang lebih luas baik aspek ekonomi atau politik untuk mengendalikan Indonesia. Terbitnya visa tersebut menjadi pembenaran isu serbuan warga China bisa mencapai ratusan juta orang, mengingat penduduk China kini mencapai 1,4 miliar. Kebijakan WNA bisa tinggal 10 tahun di Indonesia, membuat Presiden Joko Widodo layak dicurigai punya agenda sendiri. Sangat mungkin kepatuhan Jokowi sedang menjalankan perintah pemerintah Presiden Xi Jinping untuk mengurangi beban pemerintah dan negaranya, yaitu kepentingan terselubung untuk ekspansi memindah kepadatan penduduknya ke Indonesia. Mantan kepala BIN Sutiyoso mengungkapkan kekhawatirannya akan terus berdatangannya tenaga kerja asing (TKA) dari China, dia bahkan menjamin mereka tak akan kembali lagi ke negaranya. “Saya jamin orang itu gak akan pulang ke negaranya,” tegas Sutiyoso pada Senin, 22 Mei 2022. Ungkapan Sutiyoso bukan asalan-asalan karena ada isu bahwa warga China yang sudah keluar dari negaranya akan dihapus data kependudukannya. Dengan demikian, warga tersebut akan berusaha menjadi WNA di negara yang mereka datangi dan tidak akan pernah kembali kenegaranya. “Agar semua orang Indonesia waspada tehadap serbuan TKA asal China dan segera sadar akan kemungkinan etnis China menjadi mayoritas di tanah air,” tegas Sutoyo. Warga Negeri Tirai Bambu akan migrasi ke Indonesia karena kejamnya aturan yang ada di negara asal mereka. Salah satunya adalah aturan larangan punya anak, maksimal satu orang. Maka mereka akan berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk beranak pinak di Indonesia, pada saatnya mereka menjadi etnis mayoritas di tanah air. Migrasi warga China ke Indonesia bersamaan sejumlah anak muda di China saat ini lebih memilih untuk menyerah ketika berhadapan dengan situasi buruk. Tindakan tersebut di China dikenal dengan sebutan “Bailan”. Bailan secara harfiah berarti ‘biarkan membusuk’. Sebagaimana diberitakan South China Morning Post, gerakan kaum rebahan ini muncul dari sentimen generasi muda China yang merasa mereka tak memiliki kekuatan untuk merespons tekanan ekspektasi sosial di negara itu. Kebijakan ini membuat miris jika jumlah warga asal China akan datang ke Indonesia tanpa kendali, ke depan khawatir situasinya akan lebih buruk lagi. Kita mengingatkan, seluruh warga negara Indonesia tidak boleh tinggal diam. Rakyat Indonesia harus paling depan mengamankan NKRI dari penjajahan gaya baru yang lebih berbahaya, dari penjajahan Belanda yang makan waktu 350 tahun. Penjajahan gaya baru akan mengambil negara untuk selamanya. Presiden Jokowi harus membatalkan second home visa ini, karena ini sangat berbahaya bagi masa depan bangsa dan negara. (*)
APBN Jebol, Hanya Isapan Jempol
Sehingga, secara keseluruhan, total realisasi subsidi energi, yaitu subsidi BBM, LPG dan listrik, per September 2022 hanya mencapai Rp 123,8 triliun, jauh lebih rendah dari anggaran sebesar Rp 208,93 triliun: atau hanya 59,25 persen saja. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) APBN akan jebol. Kalimat yang sangat populer pada Agustus lalu. Sekaligus menakutkan. Disuarakan ramai-ramai oleh para menteri, seirama dan senada. APBN akan jebol diorkestrasi untuk pembenaran menaikkan harga pertalite dan solar. Yang akhirnya benar-benar dinaikkan pada 3 September 2022. Alasan APBN akan jebol, karena subsidi BBM (yang kemudian dikoreksi menjadi subsidi energi) sangat besar, mencapai Rp 502 triliun: negara manapun tidak kuat menyangganya, katanya. Bagaimana realisasinya hingga saat ini? Apakah APBN sudah jebol? Menurut data Kementerian Keuangan, realisasi APBN pada Agustus 2022 mengalami surplus Rp107,4 triliun, dan per akhir September 2022 masih mencatat surplus Rp60,8 triliun. Artinya, APBN baik-baik saja. Sehat-sehat saja. Tidak jebol. Sedangkan realisasi subsidi BBM dan LPG masih sangat rendah, jauh lebih rendah dari yang “dipropagandakan”. Realisasi subsidi BBM dan LPG per Agustus 2022 hanya Rp 71,21 triliun, atau hanya 47,67 persen dari anggaran subsidi BBM dan LPG sebesar Rp149,37 triliun (belum termasuk dana kompensasi BBM), terdiri dari subsidi BBM Rp 14,58 triliun dan LPG Rp 134,79 triliun. Sedangkan realisasi subsidi listrik per Agustus 2022 hanya 51,85 persen dari anggaran. Dengan demikian, realisasi subsidi BBM, LPG dan listrik, atau dinamakan subsidi energi, hanya 48,86 persen dari anggaran. Sangat rendah. Atau, lebih tepatnya, subsidi yang dianggarkan jauh lebih besar dari yang diperlukan. Artinya, anggaran menggelembung, atau digelembungkan, untuk menaikkan harga BBM? Jadi, bagaimana APBN bisa jebol? Data per akhir September 2022 juga memperkuat bahwa APBN baik-baik saja. Realisasi subsidi BBM dan LPG per September 2022 hanya 58,9 persen dari anggaran. Artinya, APBN baik-baik saja, tidak akan jebol. Sedangkan realisasi subsidi listrik per September 2022 juga sangat rendah, hanya 60,15 persen dari anggaran. Sehingga, secara keseluruhan, total realisasi subsidi energi, yaitu subsidi BBM, LPG dan listrik, per September 2022 hanya mencapai Rp 123,8 triliun, jauh lebih rendah dari anggaran sebesar Rp 208,93 triliun: atau hanya 59,25 persen saja. Apalagi kalau dibandingkan angka “propaganda” Rp 502 triliun, jauh lebih rendah lagi? Maka itu, APBN akan jebol sepertinya hanya isapan jempol saja? Dalam kamus Indonesia, isapan jempol artinya kabar tidak benar, atau kabar bohong. Karena, pertama, APBN per September 2022 masih sangat sehat, mencatat surplus sangat besar, yaitu Rp60,8 triliun. Kedua, subsidi energi baru mencapai 59,25 persen dari anggaran, masih sangat rendah. Sehingga tidak salah, APBN Jebol hanya Isapan Jempol? (*)