OPINI

Bravo BEM UI

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan TERSENYUM nyaris tertawa tetapi mengacungkan jempol atas kreativitas BEM UI dalam memberi penilaian kepada kabinet Jokowi-Ma\'ruf. Ternyata IP seluruh Menteri itu rata-rata satu koma sehingga disebut Nasakom, nasib satu koma. IP terendah 1,O yang diberikan kepada Kapolri Listyo Sigit \"Malaikat Pelindung Institusi Bobrok\" dan Ketua KPK Firli Bahuri \"Si pelanggar Kode Etik\". IPK (Indeks Prestasi Kurang Ada) tertinggi adalah Nadiem Makarim 1,7 dan segera digelari \"Menteri yang salah urus Pendidikan\". Di tengah ada \"Penjahat Pengkhianat Demokrasi\" yaitu Luhut Binsar (1,3) dan Bahlil Lahadalia (1, 4). Sementara Sri Mulyani, Arifin Tasrif dan Suharso Monoarfa berpredikat \"Tukang Bakar Duit Rakyat\". Penilaian yang tentu membuat kecut wajah Jokowi-Ma\'ruf ini dinilai kreatif dan cermin kemampuan mahasiswa menangkap aspirasi masyarakat. Kabinet JM memang buruk dan amburadul. Cocok bila dinarasikan sebagai Indeks Prestasi Kurang Ada. Suara BEM UI adalah suara dari masyarakat yang diam atau bungkam.  \"Hatrick\" BEM UI sejak \"The King of Lip Service\", \" Foto pajangan di kelas SD\" hingga kini \"kabinet Nasakom\" ini tentu menarik. Sebuah kritik membangun untuk membangunkan kabinet yang \"kerja-kerja-kerja\" nya tidur melulu. Menjelang berakhir dari periode yang lebih banyak akting ketimbang hasil penting. Terlalu banyak imajinasi dibanding prestasi.  Dari aspek ideologis meski bukan yang dimaknai BEM UI penamaan Nasakom juga menggelitik. Nasib satu koma berlaku pula untuk pengelolaan kehidupan Demokrasi di bawah Jokowi. Gaya politik Orde Lama di masa Demokrasi Terpimpin ternyata dijalankan. Demokrasi yang dipimpin Oligarki. Nasionalis berbau kiri mendominasi.  Sementara agama tergencet tidak berdaya. Itupun agama dalam konteks peliharaan rezim. Rezimintasi faham agama.  Di samping aksi demonstrasi bersama BEM lain BEM UI juga melakukan aksi narasi. Titik temunya adalah suara keras kepada rezim yang bebal, sok kuasa dan pandai bersandiwara. Rezim yang menganggap rakyat sebagai penonton yang mudah dibohongi dan dipaksa untuk kagum pada alur cerita kepalsuan.  Satu lagi peluru telah ditembakan mahasiswa kepada Pak Jokowi bersama kabinetnya. Moga mereka sadar.  Bravo BEM UI. Selamat Hari Sumpah Pemuda.  Bandung, 28 Oktober 2022

Sumpah Pemuda?

Sentimen-sentimen primordial kesukuan justru mulai marak akhir-akhir ini. Langkah ini adalah sebuah langkah mundur, jika bukan pengkhianatan, Soempah Pemoeda. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya. @Rosyid College of Arts HARI ini, 28 Oktober 2022, kita mengenang Soempah Pemoeda 94 tahun silam. Peristiwa itu menandai kelahiran sebuah bangsa baru, yaitu Bangsa Indonesia. Segera perlu dicermati bahwa Bangsa Indonesia tidak lahir secara alami, tapi buah imajinasi anak-anak muda dari berbagai suku yang tinggal di sebuah bentang alam yang semula disebut sebagai Hindia-Belanda. Imajinasi tersebut kemudian disebut anak-anak muda itu sebagai bangsa Indonesia. Peristiwa Soempah Pemoeda itu dengan demikian melahirkan dua imajinasi baru : bangsa sebagai entitas baru yang melampaui suku, dan Indonesia yang menggantikan Hindia-Belanda. Peristiwa itu sangat penting karena terbukti kemudian memungkinkan Proklamasi Kemerdekaan bangsa terjajah itu 17 tahun kemudian oleh Soekarno-Hatta. Imajinasi para pemoeda itu yang menjelaskan mengapa Emanuel Macron tidak lama ini mengkhawatirkan kemunduran Barat sebagai kekuatan imajinasi yang selama 200 tahun lebih mendominasi dunia. Macron mengatakan bahwa konflik Rusia-Ukraina merupakan bukti pengeringan imajinasi Barat vis-a-vis Timur yang dengan susah payah didaku oleh China. Permusuhan NATO vs Rusia adalah blunder geostrategi karena membiarkan AS untuk mendorong terus permusuhannya dengan Rusia itu sebagai permusuhan Barat dengan tetangga dekat Eropa sendiri. Rusia semakin menempatkan diri sebagai Eurasia karena dimusuhi terus-menerus oleh NATO. Kejadian Kamis pagi kemarin di sebuah SMA swasta di kawasan Juwingan Surabaya menjadi penting bagi saya dalam memaknai Sumpah Pemuda hari ini. Bersama istri dan juga Kepala Sekolahnya, kami menyaksikan putra-putri SMA Kertajaya bercerita tentang foto-foto di sekitar rumah mereka yang mereka ambil sendiri beberapa waktu sebelumnya. Rumah-rumah pemuda-pemudi ini tersebar luas sejak di Jojoran, Sidotopo, Benowo, Menganti, hingga Gubeng Kertajaya. Beberapa diantaranya tinggal di Homesantren di kawasan Tambaksari. Rumah-rumah itu pada umumnya sederhana, dalam kampung yang padat penduduk. Rico yang tuna netra tinggal di Homesantren. Sebagian lagi yatim atau bahkan yatim piatu seperti Yunita yang bercita-cita jadi dokter. Zuhair yang tinggal di sekitar Gelora Bung Tomo berkisah tentang mengintip pertandingan sepakbola dari atas loteng rumahnya. Bercerita di depan teman-temannya tentang rumah mereka masing-masing beserta kenangan indah bersama keluarga adalah sebuah proses memaknai pengalaman sebagai imajinasi yang dikonstruksi kembali. Belajar adalah proses memaknai pengalaman sebagai imajinasi, sebagai dongeng. Banyak yang tidak menyadari bahwa bangsa ini, dan juga Indonesia adalah dongeng kolektif, sebuah imagined community, bukan in factu, tapi in statu nascendi yang terus dilahirkan dalam imajinasi. Begitu imajinasi kolektif para pemuda ini hilang, maka hilang pula bangsa dan Indonesia. Begitulah tingkat kerapuhan bangsa Indonesia ini. Tentu sangat berbahaya sekali jika para penguasa dengan sembrono memberi pengalaman buruk berbangsa dan bernegara melalui berbagai maladministrasi publik di mana banyak hukum dibuat bukan untuk kepentingan masyarakat kecil, tapi untuk mempertahankan kekuasaan para elit politik dan segelintir taipan. Hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Pendidikan melalui persekolahan massal paksa dijadikan instrumen pencetakan buruh trampil bagi kejayaan invetasi para pemilik modal asing dan kaki tangan domestiknya. Pemilu hanya menjadi istrumen transfer bersih hak-hak politik publik pemilih ke para elit partai politik, bukan untuk memastikan siklus kepemimpinan yang semakin meritokratik yang menghasilkan pelayanan publik yang semakin pula memberdayakan, mencerdaskan, dan memerdekakan bangsa ini. Polarisasi yang makin tajam antara kelompok cebong dan kampret alias kadrun tidak bisa dibiarkan menghancurkan imajinasi kolektif bangsa ini. Sayang sekali rezim saat ini justru memelihara tidak sedikit kanker medsos buzzer bayaran untuk mempertajam keterbelahan bangsa ini. Jika Sumpah Pemuda membuka sebuah spektrum baru bagi barisan suku-suku yang menjadi sebuah bangsa baru, rezim oligarki saat ini justru menempuh jalan sebaliknya: membiarkan keterbelahan ini untuk tetap berkuasa sambil menjadi kaki tangan kekuatan-kekuatan nekolimik asing. Sentimen-sentimen primordial kesukuan justru mulai marak akhir-akhir ini. Langkah ini adalah sebuah langkah mundur, jika bukan pengkhianatan, Soempah Pemoeda. Kegiatan Zuhair, Yunita, dan Rico dkk bercerita di depan kelas di sebuah kampung di Surabaya itu penting dari perspektif pemuda Indonesia saat ini. Di kampung Peneleh yang tidak jauh dari Juwingan, dulu HOS Tjokroaminoto mulai membangun imajinasi kolektif bangsa ini bersama Soekarno muda. Ingatlah bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah imajinasi kolektif yang rapuh. Pemuda Indonesia saat ini, sejak millenials sampai Gen-Z tidak boleh membiarkan diri menjadi korban kemiskinan imajinasi segelintir orang yang sok berkuasa. Jemursari, 28 Oktober 2022. (*)

Utang, Utang Lagi, Lagi Utang Jadi Ambyar

Oleh Syafril Sjofyan - Pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis Pergerakan 77-78 Liz Truz mundur dari Perdana Menteri Inggris. Jabatan bergengsi. Baru seumur jagung. Karena mau berutang. Utang mau menutupi APBN yang ambyar. Kenapa utang lagi, karena ingin agar rakyat Inggris punya  kehidupan ekonomi lebih baik. Dengan memotong pajak lemasukan  APBN berkurang ya utang jalan keluarnya. Tak terduga Poundsterling mata uang juga paling bergengsi, ambrol nilainya. Ojo dibandingke. Emang. Rakyat Indonesia beda dengan rakyat Inggris. Nrimo. Indonesia utangnya malah sudah sepertiga dari besarnya APBN. Artinya besaran APBN setiap tahun sepertiganya habis untuk bayar utang. Menurut begawan Ekonomi. Dr. Rizal Ramli untuk bayar bunga utang saja dengan berutang lagi. Artinya utang kita sudah gali lubang tutup jurang.  Jurang tidak akan bisa ditutupi. Malah lubang  gali-galian di mana-mana. Liz yang mundur di Inggris bertujuan meningkatkan kehidupan ekonomi dengan memotong pajak. Sementara di negerinya Presiden Jokowi, utang ditambah untuk meningkatkan infrastruktur. Bukan langsung untuk meningkatkan kesejahteraan, pajak tidak dipotong malah dinaikkan.  Menurut para ahli. Infrastrukturnya Jokowi banyak tidak menghasilkan produktivitas keekonomian. ROI (Return on Investment) rendah bahkan negatif. Salah satunya LRT di Palembang, Anda sudah tahu. Penumpangnya sepi, termasuk berbagai bandara dan pelabuhan. Sepi tanpa kesibukan. Tanpa pemasukan. Rugi. Pasti. Beban juga pasti.  Mana lagi ROI yang rendah. KCIC Kereta Cepat Indonesia Cina Jakarta-Bandung.  Sudah dihitung oleh ahli setingkat Faisal Basri memperkirakan BEP (Break Event Point) titik impasnya baru tercapai puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Mungkin ketika itu sudah jadi rongsokan atau ketinggalan zaman. KCIC sekarang sudah jadi beban APBN dan seterusnya.  Ada lagi infrastruktur ROI rendah. Ada IKN Ibu Kota Baru. Sehingga investor sama sekali tidak tertarik. Bagi Investor. ROI sangat penting. Itu nyawa mereka untuk melangkah. Jika salah bisa bangkrut alias mati. Timbul ide rezim Jokowi obral tanah. Bahkan terkesan menggadaikan tanah air. Boleh “pakai” selama 160 tahun. Masihkah investor tidak tertarik?. Ingat ROI. 160 tahun,luar biasa!. Hampir sama dengan separuh lamanya Indonesia dijajah Wulanda, 350 tahun lamanya.  Terus bagi rezim pemerintah tinggal keruk APBN dan Utang lagi. Maaf, istilahnya banyak menggunakan istilah ekonomi. Bagi awam bagaimana untuk memahaminya. Mari kita sederhanakan. Seorang  kenalan saya. Suku Cina. Pedagang bahan tekstil di Jakarta sukses. Ingin menjadi pengusaha industri. Keuntungan dagangnya untuk beli tanah, digadaikan/utang ke Bank. Untuk membeli mesin industri (infrastruktur) mendirikan pabrik.  Belum mencapai titik impas. Dia ingin membangun real estate di Bandung Barat, dengan modal berutang lagi ke Bank. Jaminannya pabrik. Lalu real estate tidak laku. Macet. Pabrik pecah kongsi. Macet lagi. Akhirnya disita Bank. Utang lagi. Lagi utang. Ambyar. Satu lagi contoh. Ini viral. Tahukan. Kasus Cipaganti Rental di Bandung. Mengembangkan infrasutruktur bisnis ke berbagai hal. Caranya mengumpulkan  investor dengan iming-iming pengembalian dengan keuntungan besar. Ambyar. Pemilik terpaksa jadi penghuni rutan. Dibalik jeruji besi. Tentang uraian utang apa masih bisa disederhanakan, supaya bisa lebih dicerna. Bisa. Seseorang yang  gengsinya tinggi. Dengan “kecerdikannya” berutang memiliki rumah gedung, mobil mewah dan berbagai tampilan kemewahan. Supaya dianggap orang sukses, kaya, termasuk golongan elite. Sampai kepada titik dimana kemampuan bayar sudah tidak ada. Semua bentuk kemewahan disita. Bahkan mungkin berurusan dengan kepolisian, kejaksaan bahkan KPK. Anda bisa tarik kesimpulan sendiri. Jika itu terjadi pada Negara Indonesia dengan besarnya utang  setiap tahun harus bayar sepertiga dari APBN. Untuk bayar bunga dan pokoknya 805 Triliun ya utang lagi. Sampai ketitik tidak berkemampuan bayar. Konon tahun 2023 krisis ekonomi akan terjadi. Kelam kata para pejabat tinggi termasuk kata presiden. Kata Rizal Ramli tidak tahun depan. Tapi sekarang sudah berlangsung. Tidak sama dengan kisah tentang pengusaha yang bangkrut, yang berakhir di jeruji besi. Bagi Sang Presiden dan menteri-menteri tidak berakhir di jeruji besi. Bagi Negara si pembuat utang jor-joran, Presiden Jokowi, Menko Ekuin Erlangga, Menkeu Sri Mulyani  atau Luhut Binsar Panjaitan, menteri berbagai jabatan, setelah berakhir jabatan mereka tetap kaya. Minimal uang dan hadiah dari akhir jabatan Milyaran, apalagi di antara mereka di samping sebagai penguasa juga merangkap menjadi pengusaha, akan tetap kaya. Tidak akan menderita ketika ada krisis ekonomi melanda. Hidup tetap enak, bahkan keluarga dan turunan mereka tetap sejahtera. Legacy rezim menjadi kelam karena utang lagi, lagi utang dan ambyar, akan menjadi beban penguasa berikutnya, menjadi beban rakyat. Termasuk infrastruktur yang ditinggalkan menjadi beban anak cucu, generasi mendatang. Ingat ada yang berumur ratusan tahun merugi, bahkan 160 tahun. Perlu dipikirkan untuk menyusun UU tentang pertanggungjawaban pemimpin. Terutama Presiden dan menteri-menterinya. Yang ugal-ugalan berutang, dan infrastruktur yang merugi dan mangkrak. Harus ada resiko walaupun tidak menjabat lagi. Supaya mendatang tidak ada lagi pemimpin yang seenaknya membangun. (*)

Menatap Masa Depan Indonesia

Oleh Tony Rosyid -  Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa HARUS tetap optimistis. Tidak boleh ada kata pesimis. Setiap negara punya masalah yang tidak ringan. Tapi, untuk Indonesia memang cikup berat. Entah harus dimulai dari mana. Para akademisi berharap sebuah perubahan bisa diawali dengan lahirnya seorang pemimpin yang memiliki integrity, capability dan commitment (kenegarawanan) yang kuat. Masalah di Indonesia boleh dibilang akumulasi warisan dari masa lalu. Terutama Orde Lama dan Orde Baru. Orde Reformasi tidak banyak membuat perubahan kecuali perubahan pada sistem pilpres. Semula menjadi hak pilih MPR, sekarang diambil alih secara langsung oleh rakyat. Hanya itu. Yang lain? Secara substansial, tidak banyak perubahan. Mungkin ada, tapi untuk siapa? Ini pertanyaan yang sangat serius. Dari aspek mental, Indonesia beda dengan umumnya negara maju. Di negara maju, mereka tahu masalah, lalu berupaya mengatasinya. Di Indonesia, mereka tahu masalah, tapi diwariskannya ke generasi berikutnya. Mungkin kesimpulan ini tidak sepenuhnya tepat. Tapi, faktanya memang terlalu sedikit masalah mendasar yang mampu diatasi oleh setiap rezim. Berganti rezim, masalah tetap sama. Hampir semua masalah diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Dari satu rezim ke rezim berikutnya. Nyaris tidak ada perubahan kecuali hanya infrastruktur. Sejumlah problem utama dan krusial tidak berubah. Penegakan hukum misalnya, tak ada perubahan signifikan. Padahal, hukum adalah pondasi peradaban bangsa. Jika hukum tidak memberi kepastian dan rasa keadilan, maka sebuah bangsa akan sulit membangun karakternya. Karakter bangsa sangat dipengaruhi oleh penegakan hukumnya. Hukum, dalam prakteknya, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Apalagi jika politik ikut terlibat. Keadilan menjadi barang langka dan sangat mahal. Tumpulnya hukum dalam waktu yang terlalu lama telah menyuburkan lahirnya para mafia. Semua mafhum, Indonesia adalah negara yang telah dikuasai oleh para mafia. Oligarki disebut sebagai rajanya mafia.  Selama hukum tidak ditegakkan dan persoalan terkait aparat hukum tidak diatasi, maka Indonesia akan sulit melangkah ke depan untuk menjadi bangsa yang punya harapan sebagai bangsa yang maju. Lemahnya penegakan hukum (law inforcement) menjadi tembok tebal yang akan terus menghambat Indonesia untuk membenahi masa depannya. Selain hukum, ada masalah birokrasi. \"Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah\". Birokrasi kita terlalu rumit dan berbelit-belit. Semua serba uang dan panjang. Urus pendirian perusahaan, bisa berminggu-minggu. Bahkan berbulan-bulan. Biayanya cukup mahal. Padahal, lahirnya perusahaan akan membuka lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi dan menambah income (pajak) negara. Itu saja dipersulit.  Di Amerika, seorang gubernur (negara bagian) dan presiden (federal) akan dipilih kembali kalau mampu menambah lapangan kerja. Ini ukuran umumnya negara maju. Di Indonesia, bukan prestasi yang jadi ukuran, tapi pencitraan. Birokrasi menjadi rumit dan padat biaya (serba bayar). Lagi-lagi, ini ada hubungannya dengan penegakan hukum yang lemah. Korupsi dan suap menjamur jadi tradisi dalam praktek birokrasi kita. Birokrasi menjadi sarang mafia, karena hukum seringkali tidak hadir di sana. Soal ekonomi, kita juga punya masalah serius. Orang kaya terlalu sedikit dibanding orang miskin. Jarak kaya-miskin terlalu lebar. 1% orang Indonesia menguasai 50% kekayaan negara. 10% menguasai 77% kekayaan negara. 90% warganegara memperebutkan 23% sisanya.  Satu tanah bisa ada tujuh sertifikat. Mafia tanah bekerjasama dengan oknum birokrat mengambil tanah rakyat dan merampok tanah negara. Ini terus terjadi dan belum sungguh-sungguh mampu datasi. Kita bisa bayangkan seandainya sumber daya alam (SDA) kita, mulai dari nikel, batu bara, besi, emas, dll, 65% buat negara dan hanya 35% untuk investor (lokal maupun asing), maka kemakmuran rakyat akan terjamin. Pendidikan tidak hanya free sampai SMA, tapi gratis juga sampai kuliah. Kualitas pendidikan dan riset akan mampu mendorong lebih cepat lagi kemajuan bangsa. Inilah cita-cita kemerdekaan bangsa yang terabaikan.  Empat aspek yaitu penegakan hukum, sistem dalam birokrasi, kekuatan ekonomi dan kualitas pendidikan merupakan pilar peradaban bangsa yang harus dibenahi dan ditata ulama lebih serius, sungguh-sungguh dan terukur. Jika empat pilar ini tidak  berubah, terlalu pesimis berharap Indonesia mengalami perubahan yang berarti di masa depan. New York, USA, 26 Oktober 2022

Wanita Berjilbab Masuk Istana: Taktik “Etok Etok”

 Jangan direspon atau kalaulah akan direspon beritahu, dugaan sinetron ini mereka sedang latihan saja. Mereka sering tidak menyadari melakukan taktik yang sama pada kondisi-kondisi yang berbeda itu kesalahan dan fatal. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih DIKATAKAN oleh Prof Din Syamsuddin: Istana tersebut ia anggap sebagai self fulfilling prophecy atau perkabaran tentang sesuatu yang bakal terjadi. Masyarakat luaspun sudah paham paska Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko singgung tentang radikalisme, tidak makan waktu lama akan ada kejadian etok-etok (pura-pura) sebagai pembenaran atas ucapannya. “Membatasi diri dengan taktik yang itu-itu saja tidak selalu perlu. Kalau mampu beradaptasi terhadap keadaan, kita akan lebih dapat melepaskan diri dari bahaya” (Fables Aesop). Kesalahan fatal adalah mengganggap sukses dengan taktik yang sama pada keadaan yang sudah berubah. Dalam forum kajian politik Merah Putih, peristiwa wanita berjilbab berusaha masuk Istana – bukan topik penting sekalipun dengan kelakar tetap dibahas sekenanya dengan super santai. Seorang wanita yang \"berjilbab dan berhijab\" disertai cadar berjalan di depan Istana Merdeka. Tiba-tiba di depan gerbang utama dia menodongkan pistol FN ke arah seorang Paspampres. Polisi lalu-lintas yang bertugas di sekitar Istana lantas segera mengamankan perempuan tersebut. Kini yang bersangkutan berada di Polres Metro Jakarta Pusat, dan menurut Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran kasus ini “masih didalami”. Dugaan kuat pengulangan taktis yang sama dengan kejadian wanita berjilbab yang tiba-tiba menerobos Mabes Polri di Jl Trunojoyo. Rakyat lebih cepat cara mendalaminya bahwa itu hanya sekedar mainan. Kesan pendapat netizen di medsos bahwa yang bersangkutan hanya bermain-main menodongkan senjata. Dugaan kuat pistol mainan dan sama sekali tidak terdengar ada tembakan. Terlalu sering munculnya skenario yang sama orang stres, gila atau gemblung jadi-jadian. Terkesan semuanya hanya skenario siapa yang menjadi peran action-nya di pintu gerbang Istana dan siapa Paspampres yang harus pura-pura beraksi cepat merespon satu paket rekayasa yang biasa dengan taktik yang sudah usang tidak menyediakan keadaan yang sudah berubah. Sangat mungkin hanya untuk mengalihkan tekanan isu ijazah palsu yang sangat kuat menerpa Istana. Apalagi Presiden Joko Widodo barusan salah counter attack dengan mengatakan ijazah tidak penting, yang penting skill. Pernyataan itu jelas sangat fatal. Spontan rakyat mencibir dengan sindiran tersebut, “itu benar skill menipu, bohong-bohongan dll. We…” Framing ke sentuhan tuduhan stigma dan radikalisme akan coba ditiupkan kembali atau setelah Moeldoko menyinggung politik identitas, dan skenario pelaku harus memakai jilbab bisa saja dalam paket skenarionya. Hanya itu kecil arahnya nyasar ke sana. Drama diupayakan ke arah islamophobia bisa terjadi, tetap saja sasaran jangka pendek agar masyarakat beralih perhatian ke istana terkait ijazah palsu bagaikan bom nuklir yang jatuh di istana. Sangat mungkin kalau test the water ini gagal sesuai tujuan akan ada plan skenario baru semata untuk menolong istana dari serangan peluru ijazah palsu yang sudah dicoba terus-menerus di-counter tetap gagal total. Kalau skenario perempuan bercadar gagal menarik dan mengalihkan isu ijazah palsu, maka peristiwa itu akan segera di senyapkan, plan lanjutan harus dihidupkan pada penangkapan teroris jadi-jadian tetap dalam kendali skenarionya. Antisipasi atas kejadian dengan taktik yang selalu sama, terlalu vulgar dan abal-abal diduga dan terduga kuat hanya main-mainan dan dagelan. Jangan direspon atau kalaulah akan direspon beritahu, dugaan sinetron ini mereka sedang latihan saja. Mereka sering tidak menyadari melakukan taktik yang sama pada kondisi-kondisi yang berbeda itu kesalahan dan fatal. Cara yang sama, taktik etok-etok atas kejadian tersebut sudah ada dalam memori kamus rakyat itu kekonyolan yang sia-sia. (*)

Era Meritokrasi Pemilu 2024 Anies Antitesa Jokowi

Tentu pada 2024 nanti suksesi kepemimpinan akan beda dengan 2019, sebab pertarungan kepentingan akan sangat tajam dan akan menghalalkan segala cara. Sebab ini soal hidup matinya kelompok oligarki bisa jadi keris Empu Gandring akan mewarna perhelatan perebutan kekuasaan. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila PILPRES masih tahun 2024. Ketika ada partai yang mendeklarasikan calon Presidennya, partai besar PDIP menyoroti langkah Partai NasDem yang telah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden atau Capres 2024. Langkah NasDem sebagai partai koalisi pemerintah itu dinilai PDIP tak sesuai etika politik yang diharapkan, karena Anies selama ini diketahui memiliki pandangan berbeda dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dalam politik itu tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi. Pandangan politik berbeda ya memang harus berbeda dan itu sudah menjadi kehendak rakyat. Mengapa, sebab rakyat ingin kembali pada tujuan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan cita-cita negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Menjadi ribut di koalisi pendukung PDIP ketika ada yang mengatakan Anies adalah antitesa Jokowi. Mengapa harus baper dan langsung marah, bukannya kontestasi pilpres itu adu konsep menawarkan apa yang dikehendaki rakyat? Bahkan harusnya memang calon bisa menawarkan antitesa dari Inkamben, misal selama ini banyak janji-janji yang tidak ditepati ya antitesanya buat janji- janji yang ditepati, selama ini diatur oleh oligarki, ya buat antitesanya negara ini merdeka tidak tergantung oligarki. Utang yang sudah menggunung ya buat antitesanya tidak lagi hutang yang sembrono. Menjual aset-aset negara seperti PLN ya buat antitesanya bahwa pemerintah berdaulat atas energi, korupsi yang merajalela ya antitesisnya korupsi dihabisi sampai keakar-akarnya. Kepolisian yang sudah berada di titik nadir ya buat antitesanya supaya Kepolisian bermartabat. Memperbaiki negeri ini dari keterpurukan perlu antitesa untuk meluruskan kesalahan-kesalahan yang selama ini terjadi. Pada Pilpres 2024 sudah saatnya politik Indonesia berubah, pemimpin harus terapkan Meritokrasi tidak lagi karena KKN, atau dinasti politik, dan asal-usul tidak jelas rekam jejaknya. Pemimpin harus terukur dan mempunyai kemampuan yang bisa ditelusuri rekam jejaknya. Istilah Meritokrasi (merit, dari bahasa Latin: mereō; dan krasi, dari bahasa Yunani Kuno: κράτος kratos, \'kekuatan, kekuasaan\') adalah sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial. 1. Kemajuan dalam sistem seperti ini didasarkan pada kinerja, yang dinilai melalui pengujian atau pencapaian yang ditunjukkan. 2. Meskipun konsep meritokrasi telah ada berabad-abad lamanya, istilah ini sendiri diciptakan pada tahun 1958 oleh sosiolog Michael Dunlop Young dalam buku distopia politik dan satirenya yang berjudul The Rise of the Mercy. Bangsa ini tidak bisa lagi dipimpin dengan pemimpin yang tidak jelas rekam jejaknya dan harus berani menegakkan kebenaran terhadap apa yang sudah menjadi kesepakatan pendiri negara bangsa ini yaitu Pancasila dan UUD 1945 asli. Saya sering dengar pidato Aneis Baswedan yang mengatakan bahwa hutang kita mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Pernyataan sepert ini tidak sederhana, sebab mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tak mungkin diletakkan pada sistem Individualisme, Liberalisme, dan Kapitalisme. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan antitesa dari Individualisme, Liberalisme, dan Kapitalisme. Artinya, tidak ada jalan lain mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kalau tidak kembali pada Pancasila dan UUD 1945 yang asli. Artinya, sistem MPR harus dikembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara, dengan GBHN-nya dan presiden mandataris MPR. Tentu pada 2024 nanti suksesi kepemimpinan akan beda dengan 2019, sebab pertarungan kepentingan akan sangat tajam dan akan menghalalkan segala cara. Sebab ini soal hidup matinya kelompok oligarki bisa jadi keris Empu Gandring akan mewarnai perhelatan perebutan kekuasaan. Antara Pendawa dan Kurawa, antara kaum akal sehat melawan akal dengkul. Tetapi saya yakin bahwa era kengawuran dan pengkhianatan terhadap negara proklamasi akan berakhir. Allah akan turun tangan, sebab negara ini didirikan berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur, didirikan, dan dipertahankan dengan resolusi jihad yang penuh dengan panjatan doa-doa para ulama sesepuh bangsa ini. Tentu Allah tidak akan membiarkan negara ini hancur-lebur. (*)

Menempa Daya Muda

Dengan menggali modal sejarah, kita bisa bercemin bahwa peristiwa Sumpah Pemuda bisa dilukiskan sebagai ekspresi pembongkaran kreatif (creative destruction). Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia INDONESIA tanpa komitmen memberdayakan kaum muda ibarat pohon melupakan akarnya. Menulis dalam majalah pengobar kemajuan, Bintang Hindia (volume no. 14/1905: 159), Abdul Rivai mendefinisikan “kaum muda” sebagai “semua orang Hindia [muda atau tua] yang tak lagi berkeinginan untuk mengikuti aturan kuno, namun sebaliknya bersemangat untuk mencapai rasa percaya diri melalui pengetahuan dan ilmu”. Munculnya istilah “kaum muda” sendiri merefleksikan usaha intelektual dari kaum inteligensia baru untuk menemukan batas imajiner antara diri mereka dengan aristokrasi tua dengan cara mengkonstruksi penanda beda bagi kedua kelompok tersebut. Anggota bangsawan “tua” disebut “bangsawan usul”, sedangkan anggota bangsawan “muda” disebut “bangsawan pikiran”. Pada terbitan pertama majalah yang sama tahun 1902, Rivai mengingatkan bahwa demi kemajuan, “Tak perlu memperpanjang perbincangan kita mengenai ‘bangsawan usul’ karena kemunculannya memang telah ditakdirkan.... Saat ini, pencapaian dan pengetahuan-lah yang akan menentukan posisi seseorang. Inilah situasi yang melahirkan munculnya ‘bangsawan pikiran’.” Kedua jenis bangsawan itu lantas dipertautkan dengan komunitasnya masing-masing. Pengikut “bangsawan usul” diasosiasikan dengan komunitas “kaum tua” atau “kaum kuno”, sedangkan penganjur “pikiran” diasosiasikan dengan komunitas “kaum muda”. Dalam perkembangannya, istilah kaum muda digunakan secara luas dalam liputan media dan wacana pendukung bangsawan pikiran. Sebuah usaha merepresentasikan identitas kolektif dari mereka yang memiliki kesamaan tekad untuk memperbaharui masyarakat Hindia melalui jalur keilmuan-kemajuan. Sejak itu, istilah kaum muda atau pemuda selalu dirapatkan dengan kualitas pengetahuan/keterpelajaran seperti tercemin dalam kemunculan entitas “pemuda-pelajar”. Istilah Belanda ‘jong’, yang kerap digunakan untuk menamai satuan-satuan organisasi pemuda-pelajar pada dekade awal abad ke-20, tidak merujuk pada sembarang pemuda, melainkan memiliki konotasi khusus pada “yang muda-yang terpelajar-yang berilmu”. Jenis pemuda macam inilah yang kemudian melahirkan “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928, sebagai tonggak penciptaan kebangsaan Indonesia. Peringatan Sumpah Pemuda menjadi momen pengingat bahwa pada awal pertumbuhan gagasan ke-Indonesia-an, kaum muda-lah yang menjadi inisiator, pemimpin, sekaligus pelaksana politik kebangsaan. Adapun politik dalam kesadaran pemuda terpelajar ini adalah politik akal-budi untuk mengupayakan resolusi atas problem-problem kolektif (kaum terjajah) melalui pengikatan solidaritas kekitaan dan pemenuhan kebajikan publik. Peluang dan Ancaman Dengan cetakan dasar ke-Indonesia-an seperti itu, usaha apa pun untuk memancangkan kembali marwah bangsa ini harus mempertimbangkan fitrah perjuangan emansipasi berbasis daya muda dan daya pengetahuan. Kesadaran akan pentingnya usaha merevitalisasi daya muda dan daya pengetahuan itu menemukan kembali relevansinya dalam usaha Indonesia menghadapi tantangan masa kini. Berdiri awal dekade kedua abad ke-21, di tengah dunia yang baru beringsut dari cengkraman pandemi Covid-19, seperti deja vu yang menyerupai latar peristiwa Sumpah Pemuda. Berakhirnya Perang Dunia I, suasana kehidupan di Hindia Belanda memasuki masa krisis dan katastrofi yang akut. Hal itu ditandai oleh ambruknya kehidupan perekonomian, krisis industrial dan krisis pangan, akibat disrupsi perang, bersamaan dengan cengkraman pandemi influenza (1918-1920) yang memakan korban kematian sekitar 4,6 juta jiwa.  Krisis perekonomian membuat pemerintahan kolonial mengetatkan ikat pinggang, dengan menguatkan tindakan represif. Suasana demikian justru membangkitkan semangat perlawanan dari minoritas kreatif kaum muda untuk menyatukan berbagai gugus perjuangan ethno-nationalism ke dalam suatu blok historis bersama, dengan menciptakan komunitas imajiner (civic-nationalism) baru bernama Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi monumen kesadaran kebangsaan baru, yang telah membuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia. Bila kaum muda terpelajar pada masa kolonial mampu merespon tantangan zamannya, sanggupkah kaum muda masa kini merespon tantangan zaman baru? Untuk itu, kita perlu memiliki bayangan ke mana pendulum sejarah kehidupan dunia bergerak pasca pandemi Covid-19.  Salah satu skenario yang bisa kita rujuk adalah pandangan Peter Zeihan dalam buku, The End of the World is Just the Beginning (2022). Menurutnya, perkembangan globalisasi dalam beberapa dekade terakhir sebenarnya dipicu oleh kepentingan Amerika Serikat untuk melumpukan Uni Soviet selama perang dingin,  melalui aliansi strategis dengan berbagai negara lintas-benua. Untuk itu, Amerika Serikat telah menawarkan bantuan keamanan, investasi, infrastruktur teknologi, finansial dan pasar global. Rantai pasokan berskala global dimungkinkan karena proteksi angkatan laut AS. Dolar AS menopang pasar finansial dan internasionalisasi energi. Komplek-komplek industri inovatif tumbuh untuk memuaskan konsumen AS. Kebijakan keamanan AS menekan negara-negara bersengketa untuk melucuti senjata. Miliaran orang memperoleh makanan dan pendidikan berkat sistem perdagangan global yang dipimpin AS. Berkat semua itu, globalisasi merebak dengan membuat segala hal jadi lebih cepat, lebih baik, lebih murah. Dengan berakhirnya perang dingin, AS kehilangan kepentingannya untuk mempertahankan itu. Kecuali bila AS terlibat perang langsung dengan negara-negara adidaya baru, pendulum sejarah akan berbalik arah menuju de-globalisasi. Tandanya mulai dicanangkan pada era pemeritahan Donald Trump: “America First”. Dan keterisolasian berbagai negara semasa pandemi covid-19 yang lalu mempercepat proses ke arah itu. Bila era deglobalisasi menjadi kenyataan, negara dan kawasan tak memiliki pilihan lain kecuali membuat barang sendiri, menanam makanan sendiri, memenuhi energi sendiri, bertempur dengan senjata sendiri, dan mengerjakan semua itu dengan penduduk dan sumberdayanya sendiri. Dalam menghadapi perkembagan tersebut, Indonesia memiliki peluang dan ancaman. Secara geografis, Indonesia berada di kawasan strategis sebagai gerbang menuju pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di Asia Timur dan India, sekaligus batu loncatan menuju pusat ketegagan geopolitik global di masa depan. Secara demografis, Indonesia beruntung memiliki struktur penduduk bercorak muda; bisa terhindar dari problem negara-negara Eropa dan Asia Timur yang mengalami proses penuaan (aging). Kita juga memiliki keanekaragaman sumberdaya sebagai sumber rantai pasok bagi industri sendiri. Tantangan terbesar yang kita hadapi adalah rendahnya modal manusia (human capital). Padahal, berdasarkan pengalaman gerak maju lintas-negara, kendati faktor terwariskan (geografi, demografi, geologi, sumberdaya alam) bisa berkontribusi terhadap kemajuan, faktor yang paling menentukan adalah modal manusia. Alhasil, bila Indonesia gagal membangun kualitas hidup dan kapabilitas manusia, maka di negeri yang begitu strategis dan kaya potensi sumberdaya ini, kelimpahan penduduk muda tak akan menjadi bonus demografi lagi, melainkan bencana demografi. Apa yang Harus Dilakukan? Untuk bisa merespon tantangan tersebut, kita perlu melakukan perubahan konsepsi pembangunan dengan menyadari kembali khitah ke-Indonesia-an. Seperti kebangkitan nasional di masa lalu yang dikobarkan kaum terpelajar sebagai produk pembangunan kualitas manusia, begitu pun peta jalan kemajuan Indonesia masa kini. Pembangunan tak boleh hanya dipahami sebatas pembangunan infrastruktur fisik dan indikator perekonomian kuantitatif (PDB, pendapatan per kapita, dan sejenisnya). Pembangunan itu pada hakekatnya harus dipahami sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas hidup. Kalau kita bicara kualitas hidup, kata kuncinya adalah kapabilitas dan keberfungsiannya dalam memecahkan problem riil masyarakat. Dan kalau kita bicara kapabilitas dan keberfungsian, tumpuan utamanya adalah pendidikan dengan dukungan sistem politik dan sistem perekonomian yang kondusif. Pendidikan baik dapat meningkatkan kapabilitas manusia dengan keunggulan dalam pengetahuan, keterampilan-tata kelola, dan karakter, yang dapat menumbuhkan pribadi baik sekaligus warga negara dan warga dunia yang baik. Dalam kaitan itu, Ray Dalio (2021) mengingatkan bahwa  sepanjang sejarah peradaban, kemakmuran suatu bangsa ditentukan oleh kemampuannya menghadirkan suatu sistem yang di dalamnya orang-orang berpendidikan baik bisa bekerja sama secara damai, dengan penghormatan terhadap hukum, peraturan dan ketertiban masyarakat, hingga dapat melahirkan berbagai inovasi dan produktivitas yang melambungkan kesejahteraan. Sistem demikian bisa terlahir dalam kehadiran negara yang sehat. Negara yang memiliki kepemimpinan kuat dan kapabel dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan kehadiran warga sipil yang bisa dikelola akan lebih memiliki daya resiliensi dan responsi  daripada negara yang tak memiliki kualitas tersebut. Negara yang lebih inventif akan lebih makmur dan lebih mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan dan tantangan ketimbang negara yang kurang inventif. Politik Kebudayaan Gerak maju pembangunan berbasis kapabilitas manusia memerlukan transformasi paradigmatik dari pendekatan politik dan ekonomi sebagai panglima menuju budaya sebagai panglima. Kebudayaan harus menjadi dasar dan haluan pembangunan yang dibudayakan di jantung pendidikan. Seperti diingatkan Bung Hatta, apa yang diajarkan dalam pendidikan adalah kebudayaan, sedang pendidikan sendiri adalah proses pembudayaan – melalui olah pikir, olah rasa, olah karsa dan olah raga, yang dapat berfungsi optimal dalam kehadiran lingkungan tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera yang baik. Dalam usaha itu, strategi kebudayaan dituntut melakukan reorientasi pada dimensi mitos (keyakinan), logos (pengetahuan) dan etos (karakter kejiwaan).  Pada dimensi mitos, kita harus menyangkal mitos yang memandang status quo senioritas, kekayaan dan keturunan sebagai  ukuran kehormatan dan tumpuan kemajuan.  Mitos baru harus dimunculkan dengan mempercayai kualitas manusia dan kapasitas kaum muda sebagai ukuran kehormatan dan agen perubahan.  Seiring dengan itu, kaum muda sendiri diharapkan dapat menyelamatkan kepercayaan rakyat kepada Republik, dengan mengembalikan politik pada khitahnya sebagai seni untuk mewujudkan kemaslahatan bersama (common good). Seiring dengan itu, mitos lama yang mempercayai bahwa kemenangan suatu golongan harus dibayar oleh kekalahan golongan lain mesti diganti dengan mitos baru yang mempercayai keutamaan berbagi kebahagiaan dengan merayakan kemenangan secara bersama. Potensi kekayaan dan keragaman Indonesia tak boleh dibiarkan terus dikuasai secara eksklusif dan berjalan dalam situasi “plural-monokulturalisme”, tanpa kesediaan saling berbagi dan berinteraksi. Harus diciptakan wahana yang dapat menguatkan semangat persatuan dalam perbedaan (bhinneka tunggal ika), lewat perluasan jaring-jaring konektivitas (perjumpaan) dan inklusivitas (kesetaraan dan keadilan), yang dapat mengatasi prasangka dan kecembuan sosial dan memperkuat rasa saling percaya, serta menghasilkan  persenyawaan yang unggul dan produktif . Pada dimensi logos, pengukuhan kembali kekuatan ilmu sebagai ukuran kehormatan terasa penting ketika daya pikir (bangsawan pikiran) mulai direndahkan kembali oleh “kebangsawanan usul” baru, dalam bentuk oligarki-plutokrasi, politik dinasti, dan popularitas “tong kosong”, yang membawa mediokritas dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan merajalelanya mediokritas, etos kreatif dan ekonomi inovatif sebagai basis kemakmuran dan daya saing bangsa tak memiliki topangan yang kuat. Jika bangsa ini hendak merestorasi elan vitalnya, seperti yang pernah dihidupkan oleh pemuda pelopor di masa lalu, tak ada jalan lain bahwa modal pengetahuan dan pemahaman (logos) perlu ditingkatkan dengan memperbaiki sistem pembelajaran sosial secara kolektif (collective social learning). Bahwa kemajuan dan kesejahteraan rakyat harus dipandang sebagai hasil dari proses belajar sosial, melalui kesetaraan kesempatan (opportunities) dan kebebasan (freedom) bagi siapa pun untuk belajar mengembangkan diri dan meraih apa yang dilihat seseorang secara reflektif sebagai sesuatu yang bernilai. Untuk memberi lingkungan yang kondusif bagi penguatan modal pengetahuan, praksis demokrasi harus kembali dipimpin oleh orientasi etis ‘hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan nalar-pengetahuan dan kearifan. Seturut degan itu, selain perlu penguatan sistem pendidikan inklusif, dunia pendidikan juga diharapkan menjadi wahana penumbuhan budaya demokrasi dan kompetensi kewargaan (civic competence). Harus dicegah proses pendidikan yang mengarah pada eksklusivisme dan segregasi sosial. Kapitalisasi dunia pendidikan harus dibatasi dengan meneguhkan kembali standar meritokrasi di atas daya beli. Pada dimensi etos, perlu ada transformasi karakter untuk membebaskan bangsa dari perbudakan mental dan mentalitas budak yang kurang memiliki daya kemandirian, suka eker-ekeran mempertentangkan hal remen-temeh dengan mudah terpukau pada gebyar lahir ketimbang isi batin. Terkait hal ini, energi kaum muda harus diarahkan untuk memperkuat etos kejuangan. Meski minoritas kreatif masih tumbuh, energi etos kaum muda hari ini banyak terkuras oleh kecenderungan mental menerabas, keguyuban kekerasan dan permusuhan, serta kecenderungan menutupi kemalasan dan melempar tanggung jawab dengan menyalahkan pihak lain. Demi kebahagiaan dan kemajuan bersama, etos negatif tersebut harus diganti dengan etos solidaritas, etos mandiri, etos kerja dan etos kreatif sesuai dengan bakat dan karakter masing-masing. Dengan menggali modal sejarah, kita bisa bercemin bahwa peristiwa Sumpah Pemuda bisa dilukiskan sebagai ekspresi pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan kejumudan, serba ragu, konformis, status kita tangkap api Sumpah Pemuda sebagai ekspresi pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan kejumudan, serba ragu, konformis, status quois dan parokialis dari kaum tua, para pemuda-pelajar, umumnya berusia di bawah 30 tahun, datang dengan ilmu dan etos kreatif. Etos kreatif ini, seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative Mind (1968), bersendikan kepercayaan diri dan kesanggupan menanggung risiko, sehingga memiliki keberanian untuk mendekonstruksi bangunan lama demi konstruksi baru yang lebih baik. Itulah trayek kebangkitan bangsa di masa lalu, itu pula trayek kebangkitan bangsa menuju masa depan. (*)

IKN: Presiden Sudah Berada di Jalan Buntu

Akan dikaji dengan cara apapun IKN akan mengalami kegagalan. Kegagalan dari caranya sendiri yang terlalu berambisi, spekulasi dengan rancang bangun asal-asalan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih GAMBARAN: “Belati bentuknya panjang dan runcing. Tidak pernah diasah. Dalam bentuknya itulah terletak kesempurnaannya sebagai alat untuk menembus secara bersih dan dalam. Entah ditusukkan ke bagian samping, belakang atau menembus jantung, efeknya tetap fatal”. Presiden Joko Widodo seperti sales yang terus menawarkan investasi di Ibu Kota Negara (IKN), namun sepertinya banyak kendala mengarah ke situasi buntu. Pemerintah melakukan “Obral” IKN berupa fasilitas dapat HGB 160 tahun, tax holiday 30 tahun, tax reduction sampai 350 persn. Luar biasa promosinya. Ini seolah tanah Kalimantan itu sudah menjadi milik “pribadi” saja. Cara yang paling dangkal untuk berusaha menarik investasi adalah melalui omongan tanpa apapun yang nyata di belakangnya. Pengaruh yang dihasilkan oleh sekadar goyang lidah sepertinya tidak akan terlalu berarti. Hanya ingin memukul emosi, menyilaukan, dengan gambaran, harapan, dan stimulus dengan janji-janji peluang emas yang mereka mengira akan menarik dan menyentuh para investor. Selama ini merasa sebagai penguasa yang paling berkuasa seringkali enggan menerima masukan, saran, dan nasihat dari para punggawa pemilik ilmu sesuai ahlinya. Didorong emosi ambisi dan mungkin karena proyek titipan, di luar kemampuan untuk menolaknya. Intinya, terlalu banyak membanjiri perkataan yang merasa paling tahu dan benar justru selama ini kosong dari kecocokan antara kata dengan realitanya, akan berdampak pantulan balik yang negatif atau pasti mental. Ketika Presiden Jokowi hanya bicara secara umum tentang kebaikan IKN tanpa mampu menjelaskan apa persisnya tentang kebaikan tersebut. Dia sedang menyembunyikan sesuatu di balik yang ia maksud. Ketika menghadapi kondisi seperti inilah kita harus curiga. Ini bukan akan membangun Ibu Kota Negara tetapi justru akan menjual Ibu Kota Negara. Dia selalu menggunakan kata-kata manis silakan investasi apa saja – obral IKN berupa fasilitas dapat HGB 160 tahun, tax holiday 30 tahun, tax reduction sampai 350 persen. Itu adalah bahasa samar, berbunga-bunga penuh dengan metafora yang cerdik. Siapapun yang terperangkap ke dalamnya bisa dipastikan akan terjebak pada kekonyolan tersebut. Dugaan kuat Presiden Jokowi sendiri sesungguhnya tidak meyakini apa yang dikatakannya itu tetapi ia katakan sebagai benar. Selalu menyembunyikannya dengan kebohongan sehingga dampaknya akan selalu mendapatkan kesulitan. Karena sekuat apapun menyembunyikan kebohongan pasti akhirnya jebol. Akan dikaji dengan cara apapun IKN akan mengalami kegagalan. Kegagalan dari caranya sendiri yang terlalu berambisi, spekulasi dengan rancang bangun asal-asalan. Presiden sudah berada di jalan buntu. Tak ada saran terbaik selain, sebaiknya dihentikan sebelum berakibat lebih fatal. (*)

Radikalisme Negara

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  MEMBERI warning atas kemungkinan terjadi sesuatu itu bagus dalam rangka membangun kesadaran atau meningkatkan kewaspadaan. Akan tetapi warning berlebihan yang berbau ancaman justru dapat menjadi teror. Baik teror fisik maupun psikologis. Teror tersebut dapat dilakukan oleh anggota atau elemen masyarakat dan dapat pula oleh negara.  Moeldoko yang membuat sinyalemen terjadinya peningkatan radikalisme pada tahun politik 2023 dan 2024 adalah berlebihan, tidak mendidik dan membuat resah masyarakat. Moeldoko menakut-nakuti dan menciptakan teror. Moeldoko itu teroristeroris atau radikalis. BNPT langsung merespon dengan siap melakukan mitigasi. Radikalisme dan politik identitas menjadi hantu politik yang dikembangkan oleh negara.  Menjadi pertanyaan besar adakah peristiwa aneh perempuan nyasar ke Istana Negara menodongkan pistol FN ke arah Paspampres menjadi paket hemat dari pernyataan Moeldoko soal radikalisme? Paket hemat karena modalnya cuma pakaian muslimah dan cadar. Soal senjata FN kan bisa diambil kembali, entah siapa yang meminjamkan.  Ketakutan rakyat yang diciptakan oleh negara namanya teror negara. DR Steve Hewitt Senior Lecturer in American and Canadian Studies menyatakan bahwa terorisme negara adalah agen negara yang melaksanakan kekerasan.  \"What is state terrorism? It is similar to non state terrorism in that it involves palitically or ideologically or religiously inspired act of violence against individuals or groups outside of armed conflict. The key difference is that agents of the state are carrying out the violence\". Sangat besar kemungkinan bahwa pembunuhan  aktivis Munir, 6 laskar FPI, dr Sunardi, serta tragedi Kanjuruhan yang melibatkan state actor termasuk dalam state terrorism. Sedangkan pembubaran HTI dan FPI serta kriminalisasi ulama dan tokoh serta aktivis kebangsaan dan keagamaan itu adalah state radicalism.  Demikian juga dengan pernyataan Moeldoko yang menakut-nakuti masyarakat dengan isu peningkatan radikalisme jika bukan terorisme negara, sekurang-kurangnya adalah radikalisme negara. Sayangnya BNPT sering menempatkan diri sebagai agen negara untuk membuat marak atau menciptakan rdikalisme itu sendiri.  Nah peristiwa perempuan FN di depan Istana Negara jangan-jangan menjadi upaya pembenaran dari radikalisme yang tak lain diduga menjadi salah satu bentuk radikalisme negara. Umat Islam yang dijadikan fitnah dari gerakan radikalisme tersebut. Terorisme, radikalisme, intoleransi, bahkan moderasi menjadikan target dan sasaran pelumpuhannya adalah umat Islam.  Non State Radicalism dan  State Radicalism sama-sama harus diwaspadai. Berlakulah adil dan jujur demi bangsa dan negara Republik Indonesia.  Bandung, 27 Oktober  2022.

Hubungan Prinsipil Undang-Undang Dasar dan Negara Republik Indonesia

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) NEGARA Indonesia sangat unik. Sebelum 17 Agustus 1945, tidak ada negara Indonesia. Yang ada adalah sebuah kawasan yang dinamakan Indos Nesos, (East) Indian Archipelago, atau Kepulauan India. Pemerintah kolonial Belanda menamakannya Hindia Belanda, menunjukkan sebuah teritori di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda. Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945 atas kesepakatan para pemuda dan tokoh perwakilan daerah Indos Nesos, yang terbentang dari Sumatra hingga Maluku dan Irian Barat. Kesepakatan menjelang kemerdekaan ini dituangkan di dalam Undang-Undang Dasar Indonesia, yang mengikat serta wajib dipatuhi oleh semua pihak perwakilan daerah seluruh Indos Nesos. Butir-butir kesepakatan yang dituangkan di dalam pembukaan UUD sangat prinsipiil, dan menjadi dasar terbentuknya Negara Republik Indonesia, sehingga tidak dapat dihilangkan. Dengan kata lain, kalau butir-butir kesepakatan yang sangat prinsipiil tersebut dihilangkan dari UUD, maka dengan sendirinya esensi dan eksistensi Negara Republik Indonesia juga hilang. Butir-butir kesepakatan yang dimaksud adalah sebagai berikut: - Negara Republik Indonesia disusun berdasarkan kedaulatan rakyat. Artinya, rakyat mempunyai kekuasaan penuh dalam membentuk pemerintah. - Kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), harus dimaknai untuk tugas dan wewenang yang diberikan oleh UUD. Yaitu, memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden, serta menetapkan garis-garis besar haluan negara atau GBHN yang wajib dilaksanakan sepenuhnya oleh presiden mandataris. - Dengan demikian, kalimat \"dilakukan sepenuhnya oleh MPR” bukan berarti MPR menjadi pemilik akhir dari kedaulatan rakyat. Pembukaan UUD yang dengan jelas mengatakan “Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat” mempunyai makna bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan penuh dalam membentuk pemerintah Negara Indonesia. - MPR wajib terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Artinya, utusan daerah dan utusan golongan pada prinsipnya wajib ada di dalam struktur MPR sebagai perwakilan daerah dan golongan rakyat Indos Nesos, yang telah menyerahkan kedaulatan daerah mereka untuk mendirikan Negara Republik Indonesia. Tanpa ada utusan daerah dan utusan golongan, negara Republik Indonesia pada prinsipnya juga tidak ada. - Karena, utusan daerah dan utusan golongan, sebagai perwakilan rakyat dari ddaerah Indos Nesos, dirancang di dalam struktur MPR agar daerah mempunyai suara yang cukup penting dalam menentukan presiden dan wakil presiden Negara Indonesia. Sedangkan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung melalui sistem one-man-one-vote, ditambah calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik, ditambah dengan presidential threshold 20 persen, maka praktis daerah mengalami kemunduran ke era penjajahan kembali, karena tidak berdaya dan tidak berdaulat dalam menentukan calon pemimpin nasional. Hal ini berakibat fatal, membuat daerah menjadi tempat eksploitasi, di mana terjadi “perampasan” sumber daya alam pertambangan maupun perkebunan milik daerah, dilakukan oleh segelintir orang yang difasilitasi oleh pemerintah pusat dan kroni-kroninya, tidak beda halnya ketika jaman penjajahan.  - Sistem one-man-one-vote membuat daerah mayoritas berkuasa atas daerah minoritas, bertentangan dengan prinsip musyawarah dan mufakat yang disepakati di dalam UUD, menjelang kemerdekaan Negara Indonesia, ketika daerah menyerahkan kedaulatannya kepada Negara Republik Indonesia. - Sedangkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai akal-akalan untuk mengganti utusan daerah dan utusan golongan, pada hakekatnya tidak sama dengan utusan daerah dan utusan golongan. DPD tidak mempunyai peran sama sekali sebagai perwakilan daerah, tidak mempunyai suara dalam mencalonkan dan memilih presiden dan wakil presiden. Anggota DPD yang dipilih oleh rakyat pada hakekatnya lebih banyak persamaan dengan anggota DPR yang juga dipilih rakyat. Selain itu, banyak anggota DPD juga berasal dari partai politik. Selain itu, DPD tidak mempunyai hak seperti DPR, antara lain, hak membuat UU, hak anggaran, hak mengawasi pemerintah, dan lainnya. Dengan demikian, amandemen UUD yang dilakukan sebanyak empat kali selama periode 1999-2002, yang menghilangkan peran daerah dalam pemilihan dan penetapan presiden, pada prinsipnya melanggar kesepakatan antar daerah yang dimuat di dalam UUD menjelang didirikannya Negara Republik Indonesia pada tahun 1945. Karena amandemen UUD tersebut menghilangkan kedaulatan daerah.  Maka itu, untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia, butir-butir kesepakatan yang sangat prinsipiil di dalam UUD asli harus dipertahankan. Apabila tidak, maka Negara Republik Indonesia dengan sendirinya juga terancam hilang. (*)