Kelemahan (Keburukan) Sistem Pilpres Langsung dan Saran-Saran Perbaikan (1)

M. Hatta Taliwang, Anggota DPR RI/MPR RI 1999-2004, Mahasiswa S3 UNAS Jakarta

Tahun keempat, mulai sibuk bertempur, karena lawan tanding sudah mulai muncul. Praktis setahun petahana sibuk kampanye tersembunyi atau terang-terangan.

Oleh: M. Hatta Taliwang, Anggota DPR RI/MPR RI 1999-2004, Mahasiswa S3 UNAS Jakarta

PERAN Partai/DPR terlalu dominan membuat aturan main Pemilu/Pilpres. Meskipun ada DPD RI sebagai repsentasi Daerah, tetapi tak punya peran dalam menyusun aturan main Pemilu/Pilpres.

Organisasi seperti Muhammadiyah/NU belum tentu anggotanya menyalurkan aspirasinya ke partai dan Kelompok Profesi/Intelektual, serta Raja/Sultan yang punya andil besar dalam kelahiran Indonesia, seharusnya mereka mendapat tempat sebagai Utusan Golongan, apalagi kalau dikaitkan dengan spirit dan teks UUD 1945, 18 Agustus 1945, serta Sila ke-4 Pancasila, seharusnya diatur dalam UU Pemilu/Pilpres.

Karena peran partai dominan, tanpa penyeimbang, maka partai sesuka mereka berkompromi dan mengatur Capres tanpa pertimbangan matang dalam pengajuan capres, dan mereka bisa dikendalikan dengan kekuatan uang dari oligarki kapital, sehingga mengabaikan kualitas calon Presiden.

Yang terpenting siapa yang didukung oligarki kapital itulah yang disetujui jadi capres. Kata Bambang Soesatyo, untuk menguasai sebuah Partai cukup bayar Rp 1 triliun.

Dengan Sistem Pilpres Langsung, meskipun kita punya calon bagus, tapi jika oligarki kapital tidak sreg bisa saja dikerjain saat proses pencalonan atau di berbagai titik proses pemilihan. Bisa di-bully, dijegal, saat sebelum Pilpres atau ketika Pilpres berlangsung. Bisa dijegal di saat penghitungan suara di KPU.

Dengan sistem one man one vote dalam Pilpres langsung, menyamakan suara 1 orang gila dengan suara 1 Guru Besar, waras atau tidak?

Biaya Pilpres langsung sampai puluhan/ratusan triliun rupiah untuk KPU dan triliunan dari kantong capres atau kantong cukong menghasilkan orang yang belum tentu sesuai harapan rakyat.

Belum tentu juga sesuai harapan cukong. Biaya tersebut belum termasuk keamanan, birokrasi, dan lain-lain.

Biaya sosial, psikologis juga mahal. Suasana kampanye merusak hubungan sosial psikologis masyarakat, karena banyak hoaks hingga fitnah, hubungan antar warga kurang harmonis dan saling prasangka, dll.

Rakyat jadi terbelah berkepanjangan, merusak kerukunan nasional dan sosial, serta menghancurkan Sila ketiga Pancasila.

Isu-isu sensitif soal suku, ras, antar golongan, agama (SARA) sampai tetek-bengek soal cara beribadah diumbar sebagai instrumen kampanye, hingga mengancam persatuan.

Daftar Pemilih lama di mana sudah banyak pemilih yang lalu (2014) yang telah meninggal, masih dihitung dan digunakan untuk Pemilu/Pilres 2019.

Sementara pemilih pemula yang berusia 17 tahun pada 2018 tidak dianggap. Maka, apa pun argumennya tetap cacat hukum, cacat akal sehat, dan cacat moral. Bahkan angka tersebut masih dipakai lagi sebagai basis menentukan Presidential Threshold. Ini sudah mendapat kecaman luas dari publik.

Memasukkan orang gila atau cacat mental berat sebagai pemilih itu adalah indikasi bahwa dengan cara apa pun KPU berupaya menghimpun suara demi kepentingan tersembunyi, termasuk masalah data pemilih misterius itu. Ini sesuatu yang sangat tidak logis. Pada pilpres 2019 diduga ada 17,5 juta suara pemilih misterius (Ahli IT Agus Maksum).

Dalam sistem pilpres langsung ini sangat mudah diintervensi dengan berbagai instrumen yang potensial dikendalikan penguasa, apalagi jika berkonspirasi dengan oligarki kapital untuk menggolkan oknum yang mereka inginkan.

Instrumen seperti lembaga survei, akademisi (mata duitan), intelijen resmi atau partikelir, aparat keamanan, birokrat, parpol, aparat hukum, LSM, Ormas, media massa mainstream, KPU, buzzer, dll dengan uang, janji jabatan, permainan pajak, permainan hukum, dan lain-lain, bisa dilibatkan dalam konspirasi.

Aparat keamanan, hukum, dan birokrat yang mestinya netral tanpa sadar atau dengan sadar sering terbawa arus oleh godaan-godaan di atas.

Belum terhitung bagaimana teknologi IT yang canggih bisa dipermainkan, ditambah produksi KTP misterius, formulir misterius, dan lain-lain, sangat tidak kondusif untuk membangun rasa saling percaya dalam sistem pilpres langsung ini.

Dengan sikap KPU yang penuh keanehan (misalnya mendadak mengubah cara debat (pada Pilpres 2019), dan berbagai indikasi lainnya yang menunjukkan dugaan mengakomodasi kepentingan salah satu peserta pilpres, maka bagaimana masyarakat percaya bahwa KPU bisa netral, dan sungguh-sungguh akan menghasilkan Pilpres yang bisa dipercaya? Situasi ini sungguh akan menimbulkan bencana politik di kemudian hari.

Negara sebesar ini dengan kaum menengahnya yang sudah kaya-raya, apa maksudnya membuat Kotak Pemilu/Pilpres dari Kardus? Lalu Kardus Digembok? Ada apa di balik akal ini? Ha ha…

Argumen bahwa Pilpres langsung menghasilkan demokrasi yang bagus bisa dipertanyakan.

Kalau kita percaya angka ini. Hasil Pilpres:

Pilpres 2019 dengan paslon Joko Widodo – Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno.

Daftar Pemilih Tetap Pemilu/Pilpres 2019 adalah 192,83 juta jiwa. 

Jumlah pemilih Jokowi-Ma'ruf 85.607.362 suara, suara Prabowo-Sandi 68.650.239.

Jumlah suara pemilih Jokowi/Ma'ruf Amin dan Prabowo Sandi = 85.607.362 +68.650.239 = 154.257.601.

Berdasarkan DPT di atas, maka ada selisih DPT dengan yang menggunakan hak pilihnya sebesar 192.830.000 – 154.257.601 = 38.572.399.

Angka 38.572.399 ini bisa digolongkan ke dalam kelompok yang golput, suara rusak, dan lain-lain.

Kesimpulan:

Jumlah pemilih Jokowi-Ma' ruf 85.607.362 : 192.830.000 = 44,40%

Jumlah Pemilih Prabowo-Sandi 68.650.239 : 192.830.000 = 35,60%

Jumlah suara golput, suara rusak dll = 38.572.399 : 192.830.000 = 20%.

Dengan menggunakan cara menghitung 2019 di atas maka Pilpres 2014 antara paslon Joko Widodo – Jusuf Kalla dengan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa sebagai berikut.

Jokowi-JK 37,30%.

Prabowo-Hatta 32,88%

Golput dll 29,81%

Kalau memakai rumus menang secara demokratis harusnya 50+1.

Nyatanya, Jokowi menang 2 x masing-masing 37,30% dan 44,20%. Dua kali menang suaranya di bawah 50% pemilih.

Artinya, mengacu ke rumus menang secara demokratis tidak tercapai, sehingga penulis menyebutnya ini hasil legal, tapi tidak legitimatif.

Apa bedanya dengan Pilpres sistem Perwakilan dan Musyawarah di MPR RI yang dianggap kurang demokratis, namun hasilnya bisa terpilih Presiden yang lebih berkualitas, karena ada faktor Utusan Golongan yang bisa menjadi “penyaring capres”?

Setelah Presiden terpilih, berdasarkan pengalaman adalah sebagai berikut.

Tahun pertama, sibuk konsolidasi kekuasaan. Partai-partai yang dianggap bukan pendukung rezim, diobrak-abrik atau dijinakkan dengan segala cara. Mulai terjadi persekongkolan atau bangun oligarki. Ujungnya kepentingan rakyat diselewengkan.

Tahun kedua, mulai raba-raba program apa yang mau dikerjakan, yang bisa membuat rakyat segera melihat hasil nyata. Program abstrak, misalnya revolusi mental, nation and character building dan lain-lain disingkirkan, meskipun dipidatokan dalam kampanye. Seakan sinetron kejar tayang yang bisa membuat rakyat kagum.

Dipilih program praktis, misalnya kartu sehat, dan yang paling mudah itu infrastruktur, sekalipun dengan seruduk gunakan pinjaman dengan bunga besar atau gunakan dana yang tidak semestinya untuk infrastruktur, seperti dana haji, dana pensiun dll. Itu sekadar contoh bagaimana bekerjanya sebuah sistem tanpa tuntunan GBHN.

Tahun ketiga, mulai bangun pencitraan, banyak selfie dan berbagai acara yang sifatnya konsolidasi untuk terpilih pada periode kedua.

Tahun keempat, mulai sibuk bertempur, karena lawan tanding sudah mulai muncul. Praktis setahun petahana sibuk kampanye tersembunyi atau terang-terangan.

Beberapa program seperti raskin, bansos dll diolah menjadi modal politik petahana. (*)

357

Related Post