OPINI
Akankah Jokowi Menjadi Musuh NKRI?
Kapankah akan terjadi transisi kekuasaan pada rezim tirani ini? Atau rakyat hanya bisa pasrah menerima keadaan, kehilangan kemerdekaannya dan hidup dalam penindasan. Perih dan teraniaya dijajah oleh bangsanya sendiri, rakyat kini berhadapan langsung dengan rezim kekuasaan yang dzolim. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI SUNGGUH amoral jika belum pantas disebut biadab. Belum hilang ingatan publik dari kasus Ferdy Sambo di tubuh Polri. Belum selesai luka dan rasa sakit akibat tragedi Kanjuruhan. Kini kekuasaan bertingkah lagi dengan pengerahan massa relawan dengan biaya besar dan tak bermanfaat di GBK. Tujuan hanya sekedar menyampaikan capres berambut putih dan syahwat perpanjangan kekuasaan tiga periode, saat tanah pemakaman korban gempa belum kering dan warga Cianjur diselimuti penderitaan. Ini rezim, sepatutnya disebut manusia atau apa ya? Dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo bukan hanya jauh dari harapan rakyat Indonesia. Perilaku kekuasaan atas nama demokrasi dan konstitusi itu telah menampilkan tabiat otoriter dan diktator secara terang-benderang. Kehancuran sistem dan rezim hipokrit secara perlahan dan pasti berhasil membawa republik ini menuju negara gagal. Pembangunan fisik yang mengabaikan studi kelayakan dan skala prioritas, hanya menjadi kedok dari proyek rente, syahwat korup dan jebakan utang. Selain mangkrak, pembangunan pelbagai infrastruktur seperti jalan tol, kereta api cepat dan IKN menyebabkan terkurasnya uang negara secara sia-sia hingga menyebabkan krisis ekonomi dan krisis multidimensi. Kebutuhan pokok rakyat seperti sembako, gas, listrik dan pelayanan publik lainnya, kalah keutamaannya oleh ambisi proyek mercusuar dan legacy yang muluk-muluk. Jokowi, sosok pemimpin yang lemah dari segi kapasitas yang ditandai dengan ketiadaan visi kenegaraan, mengandalkan tindakan represi dan bahkan telah merusak tatanan nilai-nilai secara struktural dan kultural. Itu menyebabkan rezim yang berafiliasi atau menjadi sub koordinat ideologi kapitalis dan komunis tersebut perlahan tapi pasti telah menggerus sendiri keberadaan dan eksistensi Pancasila, UUD I945 dan NKRI. Tak cukup membungkam demokrasi dan membelenggu konstitusi, kekuasaan dengan tipikal Machiavellis tersebut seakan telah memiliki keharusan untuk meminggirkan peran agama, khususnya Islam. Sebuah entitas sosial politik yang telah menjadi peradaban dunia, pemilik saham terbesar atas kelahiran Indonesia sekaligus rakyat mayoritas, harus terisolasi oleh sistem sekuler dan liberal yang dianut rezim. Bengis pada oposisi, memenjarakan aktifis pergerakan dan ulama, menista agama hingga terkesan tak segan-segan untuk menganiaya dan membunuh rakyatnya sendiri, sepertinya telah menjadi dan satu-satunya prestasi dari pemerintahan di bawah komando Jokowi. Kebohongan demi kebohongan seiring perilaku merampok uang negara dengan membabi-buta dan perilaku amoral ingin memperpanjang kekuasaan hingga tiga periode. Tak mampu membuat para buzzer dan influencer yang dibiayai APBN, meyakinkan rakyat hanya dengan memoles citra dan kondite rezim. Pemerintah justru semakin menimbulkan pembelahan sosial dan ancaman disintegrasi bangsa. Isu SARA berseliweran di tengah kemerosotan ekonomi, pertentangan kelas dan ketimpangan sosial semakin melebar membuka peluang musim kriminalitas dan kecenderungan chaos akibat ulah penguasa. Potensi desktruktif benar-benar menganga di dalam negeri, bukan tidak mungkin tak butuh waktu lama NKRI diselimuti tragedi yang perkepanjangan. Jika saja tak ada upaya yang mendesak untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi pada NKRI dengan pergantian rezim dan agenda perubahan, maka beberapa hal yang bisa dipastikan akan terjadi destabilitas antara lain sebagai berikut: Pertama, kondisi sosial ekonomi antara kelompok orang kaya (the have) dan kelompok orang miskin (the have nots) yang mengundang kecemburuan sosial dan ketimpangan sosial, akan merangsang terjadinya amuk massa (collective behavior). Kedua, konflik politik yang bermuatan konflik horizontal dalam satu sistem politik yang berlaku seperti sekarang ini, akan berdampak dan menimbulkan kepentingan yang berbeda sehingga memicu “internal power struggle” di antara parpol menjelang pemilu serentak tahun 2024. Terlebih lagi, jika perpanjangan jabatan presiden tiga periode dipaksakan berlangsung. Ketiga, gagalnya penegakkan hukum (law inforceman) dengan ketiadaan rasa keadilan hukum yang dirasakan rakyat selama ini, maka tidak menutup kemungkinan hukum rimba yang terjadi di negeri Pancasila ini. Hanya melalui kerusuhan, mungkin akan terjadi perubahan dan rasa keadilan sosial di negeri ini. Beberapa kecenderungan tersebut yang sudah menjadi sinyalemen dan terlihat indikatornya, begitu berbahaya meski hanya dari faktor domestik. Lebih mengerikan lagi muncul dari faktor “conflict of interest” dari luar negeri. Seperti apa yang telah dialami oleh Indonesia sebagai negara merdeka namun dikuasai oleh bangsa asing dan aseng sejak silam hingga saat ini. Seperti api dalam sekam, NKRI sepertinya hanya akan menunggu waktu menjadi wilayah konflik secara nasional maupun internasional. Seakan mengulang era perang dingin, posisi Indonesia yang potensial dari aspek geografis, geostrategis dan geopolitis, pastinya akan menjadi seksi dan menarik bagi kepentingan global. Oleh karena itu, kondisi obyektif dan subyektif akibat kegagalan mengurus negara yang disebabkan oleh ketidakmampuan seorang presiden. Menjadikan Indonesia semakin terpuruk dan terbelakang. Di bawah pemerintahan Presiden Jokowi ini, rakyat lebih banyak mengalami kemudharatan ketimbang kemaslahatan. Di dalam negeri, Jokowi tak mampu menghadirkan kemakmuran dan rasa keadilan sosial buat seluruh rakyat Indonesia. Di lain sisi lewat kebijakannya yang gegabah, Jokowi tersandera oleh kepentingan luar negeri, terjebak utang yang berakibat kehilangan kehormatan, harga diri dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia. Sungguh, tidak bisa dibiarkan terus berlangsung lebih lama lagi. Meminjam istilah Bung Karno, rakyat Indonesia itu butuh keberanian, butuh semangat dan butuh tekat untuk menjebol dan membangun sistem kolonialisme dan imperialisme modern baik oleh bangsa asing maupun dari bangsanya sendiri. Ketika trias politika dikuasai oligarki, tak ada pilihan bagi bangsa Indonesia harus membangun demokrasi yang kedaulatan rakyat sebenar-benarnya bisa diwujudkan. Entah dengan jalan konstitusional, entah dengan jalan ekstra parlementer jika itu memang dibutuhkan dan terasa urghens. Dengan “people power” yang bisa mengusung revolusi atau berharap perubahan konstitusional mengandalkan demokrasi yang sakit, pseudo demokrasi. Apapun itu, rezim kekuasaan tak akan pernah legowo melepaskan jabatannya. Perpanjangan jabatan tiga periode, menjadi bukti hasrat rezim begitu tinggi melanjutkan dinasti kekuasaannya. Untuk menjajah, menguasai dan memiliki Indonesia demi kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya semata. Tidak peduli republik diambang kehancuran, tak peduli NKRI akan terhapus dalam sejarah yang pernah ada dan tercatat di dunia. Dengan penderitaan rakyat yang begitu hebat. Tak berdaya oleh wabah dan konspirasi pandemi yang berlarut-larut. Di tengah negeri yang diliputi korupsi dan kejahatan kemanusiaan, mampukah rakyat Indonesia keluar dari krisis dan berhasil melakukan restorasi. Kapankah akan terjadi transisi kekuasaan pada rezim tirani ini? Atau rakyat hanya bisa pasrah menerima keadaan, kehilangan kemerdekaannya dan hidup dalam penindasan. Perih dan teraniaya dijajah oleh bangsanya sendiri, rakyat kini berhadapan langsung dengan rezim kekuasaan yang dzolim. Rezim kekuasaan, ada di mana cita-cita proklmasi kemerdekaan dan amanat pendiri bangsa serta para pahlawan dikhianati. Rezim kekuasaan yang oleh publik dinilai dinahkodai seorang pemimpin boneka. Akankah Jokowi menjadi musuh NKRI? Wallahu a\'lam bishawab. Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 27 November 2022/3 Jumadil Awal. (*)
Presiden Minus Karakter Negarawan: Hipokrit Terhadap Wacana Penundaan Pemilu, Perpanjangan Masa Jabatan dan Presiden Tiga Periode
Kembali ke UUD 1945, Yang Berdaulat Adalah Rakyat, maka ambil kembali mandat yang telah diberikan oleh rakyat kepada para Pelaku Makar Konstitusi tersebut. Jalan melalui Pengadilan Rakyat atau Revolusi mungkin menjadi satu-satunya jalan untuk menghentikan langkah konspirasi penguasa yang hendak makar terhadap konstitusi. Oleh: Pierre Suteki, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo BANYAK pihak merasa terkejut ketika Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), LaNyalla Mahmud Mattalitti mengusulkan Pemilu 2024 ditunda. Tidak hanya itu, LaNyalla juga mengusulkan agar masa jabatan Presiden Joko Widodo alias Jokowi ditambah dua atau tiga tahun lagi. Hal tersebut disampaikan di acara Musyawarah Nasional (Munas) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ke XVII. Ada misi apa di balik pernyataan Ketua DPD tersebut. Memang akhirnya Ketua DPD memberikan klarifikasi bahwa tidak ada Barter Politik atas pernyataan yang mengejutkan tersebut, namun hal itu tidak menyurutkan persepsi miring terhadap usulan “nyleneh” LaNyalla Mattalitti. Gayung pun bersambut. Tampaknya, Presiden Jokowi tidak lagi menolak wacana penundaan pemilu yang berarti ada perpanjangan masa jabatan presiden, DPR, DPD dan yang terkait dengan kepemimpinan 5 tahunan, demikian juga wacana 3 periode. Terkait dengan wacana ini, ada momentum politik ketika Presiden Jokowi hadir di GBK dalam acara Gerakan Nusantara Bersatu, Sabtu, 26 Nopember 2022 sekitar pukul 08.20 WIB. Dia hadir menyapa seluruh relawan sampai mengundang sapaan dari para relawan dan pendukungnya yang berlangsung meriah. Di tengah kemeriahan itu, terdengar teriakan-teriakan “tiga periode” dan “satu periode lagi” menyambut Pilpres 2024. Selain itu poster-poster bernada serupa pun seperti “Jokowi 3 Periode” dan semacamnya turut dibentangkan beberapa relawan. Pertanyaannya, mengapa yel-yel dan poster itu ada, dan terkesan dibiarkan untuk dibentangkan? Isu perpanjangan masa jabatan presiden, presiden 3 periode yang mulai lagi dihembuskan sebenarnya kontroversial dengan pernyataan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi dulu pernah bilang bahwa isu perpanjangan masa jabatan Presiden tampar mukanya. Namun, pernyataan itu juga terkesan hipokrit, karena Jokowi juga pernah menyatakan bahwa wacana itu merupakan bagian demokrasi. Presiden Jokowi akhirnya angkat bicara soal isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Wacana itu menjadi polemik setelah disuarakan sejumlah elit partai politik. Meski demikian, sikap Jokowi kali ini tak sekeras pernyataannya sebelumnya. Kali ini, dia menyatakan bahwa wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang. Sebab, hal itu bagian dari demokrasi. Namun, sekali lagi, Jokowi menegaskan bakal tunduk dan patuh pada konstitusi. Dalam tinjauan hukum, tindakan Jokowi yang katanya taat konstitusi tapi terkesan membiarkan atas nama demokrasi itu dapat dikatakan hipokrit, antara das sollen (antara idea) dengan das sein (realita). Saya kira pernyataan itu tidak konsisten ketika dihadapkan pada peristiwa persekusi terhadap dosen dan mahasiswa, bahkan ancaman pembubaran diskusi tentang Pemakzulan Presiden yang bahkan dijamin, diatur oleh UUD Pasal 7A. Sementara soal wacana penundaan pemilu itu tidak diatur bahkan bertentangan dengan konstitusi Pasal 7 dan Pasal 22 E ayat (1). Jika mau fair, mestinya semua hak bicara dihormati, dipenuhi dan dilindungi oleh Pemerintah, Presiden. Tapi kita lihat, wong TNI Polri dan istri cuma bicara di GWA saja akan dikenakan sanksi oleh institusinya, ini konstulitusionalkah? Ini demokratiskah? Orang nggak setuju dengan kebijakan pemerintah, dikatakan (telah) terpapar radikalisme, tidak boleh mengundang ustadz radikal! Inikah yang disebut demokrasi itu? Democracy for who? Ada juga kasus lain yang terjadi pada 29 Mei 2020 di Yogyakarta. Sebuah diskusi yang awalnya diberi judul \'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan\' ramai disorot, terdapat berbagai jenis Teror kepada Panitia dan Pembicara (Prof. Ni\'matul Huda). Judul diskusi akhirnya diubah menjadi: \'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan\'. Teror susulan menyasar panitia diskusi daring tentang pemakzulan presiden yang sebelumnya pada Jum’at lalu Batal digelar kelompok studi mahasiswa Constitutional Law Society, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, panitia kemudian membatalkan diskusi itu. Alasannya, nara sumber, panitia, dan keluarga panitia mendapatkan ancaman pembunuhan melalui pesan pendek di telepon seluler. Panitia menerima pesan berisi ancaman pembunuhan serempak dari nomor yang berbeda pada Jumat, pukul 13.00. Teror juga menimpa calon pembicara diskusi Prof. Ni’matul Huda. Imbasnya, Prof. Ni’matul takut keluar dari rumah. Teror terhadap Prof. Ni’matul diduga terjadi pada Kamis tanggal 28 Mei 2020, sekitar pukul 23.00. Pada jam itu, lima orang memencet bel dan menggedor-gedor pintu dan garasi rumah Ni’matul. Dalam ketakutan, ia tidak membuka pintu dan menghubungi Jamil. Teror kembali muncul pada Jum’at siang sebelum acara diskusi mulai. Ni’matul menerima pesan WhatsApp bernada ancaman pembunuhan sama seperti yang diterima panitia diskusi. Kalau konsisten terhadap hak warga negara dalam alam demokrasi, mengapa perlakuan diskriminatif justru dipertontonkan oleh rezim Jokowi? Pada intinya, kalau dicermati, respons yang ditunjukkan oleh presiden saat ini terhadap wacana penundaan pemilu dan penambahan 3 periode masa jabatan presiden memang “tampak jelas ada penurunan ketegasan” jika dibandingkan respons ditunjukkan pada akhir tahun 2019 lalu dan terkesan inkonsisten. Terkait dengan inkonsistensi sikap Jokowi dalam isu presiden tiga periode ini, julukan King of Lips Service kembali dibicarakan netizen. Pernyataan netizen saya kira juga bukan tanpa alasan mengingat track record Jokowi yang banyak dinilai oleh beberapa pihak tidak konsisten antara yang diucapkan dengan yang diperbuat (BEM UI, Azumardy Azra). Ya seperti yang pernah disebutkan, Jokowi menyatakan bahwa “jika ada orang yg mendorong perpanjangan masa jabatan, hingga 3 periode itu, orang itu (1) menampar mukanya; (2) mencari muka dan (3) menjerumuskannya.” Lalu kenapa selama beberapa mingguan ini dia membiarkan perbincangan yang jelas memenuhi 3 hal itu hingga akhirnya menyatakan itu bagian dari demokrasi? Mestinya presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan di awal wacana langsung memberikan pernyataan resmi: “Setop Wacana Penundaan Pemilu Dan Perpanjangan Masa Jabatan”, sehingga tidak menjadi bola liar yang menguras energi bangsa. Pernyataan Presiden juga bisa dinilai anti klimaks terhadap Gonjang Ganjing wacana itu karena Terkesan Abu-Abu, Inkonsisten, ambigu dan Hipokrit! Artinya, dugaan bahwa beliau itu The King of Lips Service oleh netizen cukup beralasan. Terkait dulu bilang tampar mukanya, dan sekarang bagian demokrasi, oleh netizen disimpulkan bahwa menampar muka bagian dari demokrasi, hal itu merupakan kekacauan logika akibat dari sikap penguasa. Namun, itu logika yang Lurus dengan menggunakan prinsip Silogismus sebagai berikut: Premis 1: Wacana penundaan pemilu itu menampar muka presiden; Premis 2: Wacana penundaan pemilu itu bagian demokrasi. Kesimpulan: 1. Wacana penundaan pemilu itu Menampar muka, namun termasuk bagian dari demokrasi. 2. Menampar muka presiden itu termasuk bagian dari demokrasi. Ini termasuk penalaran yang benar ataukah Logical Falacy? Ya, kadang-kadang kita perlu ngomong: “Wes, Pokoke Awuren...!” Perpanjangan jabatan itu sebagai konsekuensi adanya penundaan pemilu. Sampai sekarang belum jelas siapa sebenarnya yang punya kemauan untuk melakukan penundaan pemilu. Semula saya malah baca berita yang menyatakan, justru yang mempunyai kemauan untuk penundaan pemilu itu Presiden Jokowi (Andi Arief Demokrat). Lalu meminta menteri dan ketua-ketua parpol untuk melempar wacana sekaligus menyetujui rencana tersebut. Kalau ini benar, maka ini adalah persekongkolan (konspirasi). Persekongkolan mereka dapat disebut sebagai persekongkolan jahat untuk Makar Terhadap Konstitusi. Jika hal ini benar, maka Presiden dapat diduga telah melakukan upaya Pelanggaran Terhadap Konstitusi dan Dapat Di-Impeachment. Pertanyaannya: siapa yang akan melakukan impeachment jika Para Wakil Rakyat saja telah tersandera dalam Persekongkolan tersebut? Kembali ke UUD 1945, Yang Berdaulat Adalah Rakyat, maka ambil kembali mandat yang telah diberikan oleh rakyat kepada para Pelaku Makar Konstitusi tersebut. Jalan melalui Pengadilan Rakyat atau Revolusi mungkin menjadi satu-satunya jalan untuk menghentikan langkah konspirasi penguasa yang hendak makar terhadap konstitusi. Jika merasa menjadi negarawan, beranikah menghentikan wacana penundaan pemili, perpanjangan masa jabatan dan presiden tiga periode? Jika hipokrit dapat dipastikan, Presiden tidak akan berniat dan mau menghentikan wacana tersebut. Tabik...!!! Semarang, Ahad: 27 Nopember 2022. (*)
Jokowi Tiga Periode: Relawan Suruh Partai Politik Cuci Piring Kotor
Partai politik saat ini sedang menikmati puncak kekuasaan, jangan sampai kekuasaan ini direnggut hanya untuk membela kepentingan pribadi (relawan) Jokowi. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) RELAWAN himpun massa di Stadion GBK. Tujuannya tidak jelas, kecuali mendegradasi kehormatan presiden, seolah-olah menjadi pemimpin organisasi massa (ormas). Relawan seolah-olah mau mengatakan bahwa survei Litbang Kompas, yang menyatakan hanya 15,1 persen rakyat yang masih mendengar perkataan atau arahan Presien Jokowi, salah. Relawan sepertinya mau membuktikan ini lewat pengerahan massa. Tetapi, halusinasi tentu saja tidak bisa menghapus realita. Pertemuan ini terlihat tidak ada makna sama sekali bagi rakyat. Karena tidak membicarakan hal substantif untuk kepentingan bangsa dan negara, apalagi kepentingan rakyat. Maka itu, menghancurkan kehormatan Presiden. Malah terkesan relawan hanya cari muka saja, alias …. Maaf, saat ini, saya belum menemukan kata yang tepat. Relawan mengundang Jokowi pidato. Di tengah pidatonya ada yang teriak tiga periode. Cukup berani menyela pidato presiden, seperti diskusi di RT/RW saja. Apa karena memang sesuai skenario, harus ada yang teriak tiga periode? Anehnya, Jokowi sepertinya menikmati. Tertawa mendengar teriakan tersebut. Mungkin merasa lucu, atau mungkin juga menikmatinya. Cuma Jokowi yang paham makna tertawanya. Seperti juga sebelum-sebelumnya, di mana Jokowi juga terlihat begitu menikmati usulan perpanjangan masa jabatan presiden atau usulan Jokowi tiga periode. Usulan seperti ini hanya mencoreng kehormatan seorang presiden. Karena ini bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan UUD. Relawan macam apa yang minta presiden melanggar konstitusi, kalau (mereka itu) bukan mau menghancurkan kehormatan presiden? Perpanjangan masa jabatan presiden atau tiga periode seharusnya dilupakan. Jokowi selesai 2024, menjadi histori saja. Tidak perlu dibicarakan lagi. Karena, perpanjangan masa jabatan presiden atau tiga periode hanya bisa dilakukan dengan cara ‘Kudeta Konstitusi’. Artinya, mereka harus mengubah konstitusi untuk kepentingan penguasa sekarang. Sedangkan yang harus melakukan ‘kudeta konstitusi’ adalah MPR. Yang harus melakukan pekerjaan kotor tersebut adalah MPR. Karena yang bisa mengubah konstitusi hanya MPR, yang mayoritas anggotanya terdiri dari anggota DPR, yang merupakan perwakilan partai politik. Artinya, tugas kotor mengubah masa jabatan presiden harus dilakukan oleh parpol. Mereka menghadapi risiko besar berhadapan dengan perlawanan dari rakyat, yang secara jelas akan membela konstitusi dan kepentingan bangsa dan negara dari gerombolan pengacau perebut kedaulatan rakyat, yang bisa memicu terjadi Revolusi Jilid II pasca Revolusi Jilid I 1998. Maka itu, dapat dipastikan, tidak ada partai politik yang mau menjadi martir (relawan) Jokowi. Partai politik saat ini sedang menikmati puncak kekuasaan, jangan sampai kekuasaan ini direnggut hanya untuk membela kepentingan pribadi (relawan) Jokowi. Parpol lebih baik mencari mainan (boneka) baru dengan sistem konstitusi yang berlaku saat ini, yang pastinya lebih menguntungkan bagi partai politik. Maka itu, jangan sampai dirusak. Semoga relawan jangan terlalu banyak berhalusinasi. (*)
Skenario Jahat di Balik Rencana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
Secara lahiriah skenario di atas pasti sudah tercium oleh Amerika Serikat (AS) dan pastilah AS tidak akan tinggal diam begitu saja melihat Indonesia menjadi boneka China. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SEJAK munculnya tuntutan negara kembali ke UUD 1945 asli, oleh sebagian masyarakat dan didukung beberapa statement para Jenderal (Purnawirawan) TNI, tiba tiba terdengar kabar dari Istana merespon akan memenuhi aspirasi tersebut dengan lahirnya Dekrit kembali ke UUD ‘45 asli tentu menjadi berita gembira sebagian tokoh masyarakat, pengamat politik, dan masyarakat pada umumnya. Tapi, tiba-tiba kita dikejutkan pernyataan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang mengatakan antara lain ... mengusulkan penundaan pemilu... dan menyarankan agar Presiden Joko Widodo menambah dua tahun masa jabatan. Demikian kata LaNyalla dalam sambutannya di Munas XVII HIPMI, Senin (21/11/2022). Ucapan yang disampaikan langsung di depan Presiden Jokowi itu ternyata tak berdiri sendiri dan tak sesederhana hanya alasan Covid sehingga Presiden juga tidak maksimal waktunya. Makanya, untuk itu perlu penambahan waktu atau masa perpanjangan masa jabatannya. Demikian juga wacana Istana merespon akan mengeluarkan Dekrit Presiden kembali ke UUD ‘45 asli, tidak semata-mata keinginan seorang negarawan yang ingin mengembalikan negara pada rel konstitusi UUD ‘45 asli, karena penyimpangan UUD 2002. Diduga kuat, ini semua ada rencana busuk yang direncanakan oleh Oligarki dan keinginan Presiden China Xi Jinping yang tidak menghendaki ada Pilpres 2024 dan menghendaki adanya perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi. Rencana perpanjangan masa jabatan Presiden juga bukan untuk kepentingan bargaining posisition dengan Dekrit, tetapi ada rencana oligarki akan bermain di adendum paska Dekrit kembali ke UUD ‘45 asli dikeluarkan Presiden. Dari sana harus ada klausul adendum bahwa Presiden bisa menjabat tiga kali, mungkin juga akan ada klausul adendum dan bisa dipilih lagi sepanjang MPR memilihnya, persis seperti zaman Presiden Suharto. Sejarah kelam kepartaian yang selama ini dapat disatukan dalam satu kolam koalisi gemuk di Istana diyakini oleh Oligarki akan bisa tetap dikendalikannya. Tidak terlalu rumit untuk dikenali dalam logika politik transaksional, mereka semua akan dibeli. Bukan hanya partai yang akan dibeli, tetapi semua anggota MPR yang telah memiliki suara memilih Presiden tersebut akan dibeli oligarki berapapun harganya. Perlu dicatat, di Senayan itu ada 711 anggota MPR. Anggota MPR terdiri dari 575 anggota DPR dan 136 anggota DPD. Mereka inilah yang bakal dibeli oleh oligarki dan kaki tangannya. Amati saja suara mereka. Kalaupun sekarang ini sudah ada yang mulai bersuara memberi peluang perpanjangan jabatan, dapat dipastikan, dia sudah “terbeli” oligarki. Silakan amati kedepan akan ada dukungan penambahan jabatan Presiden dan Pilpres 2024 dari para pejabat negara. Kemudian, hingga meluas dari sebagian tokoh masyarakat, politisi dan tokoh lainnya, yang sudah terkontaminasi oleh oligarki. Kalau itu sudah muncul, mari kita catat mereka, semua pasti sudah jatuh jadi boneka oligarki. Konon, proses pembelian suara mendukung perpanjangan itu kini sedang berjalan. Jika muncul suara tokoh masyarakat, politisi, atau akademisi yang suaranya mendukung rencana perpanjangan jabatan Presiden hingga selama dua tahun dan meniadakan Pilpres 2024, dapat dipastikan, mereka telah terbeli. Apakah rencana yang sudah matang di atas akan berjalan mulus, tidak terjadi gangguan berarti, hanya kuasa Tuhan YME yang bakal menghancurkan kuasa di atas rekayasa makhluk manusia yang lemah tetapi senang berbohong dan menyombongkan diri. Secara lahiriah skenario di atas pasti sudah tercium oleh Amerika Serikat (AS) dan pastilah AS tidak akan tinggal diam begitu saja melihat Indonesia menjadi boneka China. Ego Presiden dan oligarki yang merasa telah “menguasai” kekuatan TNI dan Polri sebagai tameng kekuasaannya, tak akan kuat kalau rakyat sudah marah dan muncul sebagai kekuatan people power atau Revolusi yang bakal bangkit melawan penguasa. Semoga Allah SWT, Tuhan YME, tetap menjaga negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD ‘45, tetap terjaga dan tetap dalam lindungan kekuasaan dan Ridlo-Nya. Aamiin YRA. (*)
Antara Halusinasi dan Realita, Relawan Jokowi
Realitanya, yang mendengar Jokowi hanya 15,1 persen, kemungkinan bisa turun lagi mengingat masa jabatan Jokowi masih 2 tahun. Realitanya, masa jabatan Presiden Jokowi paling lambat berakhir pada 20 Oktober 2024. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) RELAWAN Joko Widodo unjuk taring, bersama massa, tepatnya mengerahkan massa. Sepertinya, ingin menyampaikan pesan. Pertama, relawan ingin menunjukkan Jokowi masih sangat berpengaruh. Ini sangat penting untuk menjawab hasil survei Litbang Kompas. Ya Litbang Kompas, yang mengatakan hanya 15,1 persen warga yang yakin memilih sosok capres yang didukung Jokowi. https://amp.kompas.com/nasional/read/2022/11/14/09035291/survei-litbang-kompas-151-persen-warga-pilih-capres-yang-didukung-jokowi Begitu rendah persentase kepercayaan masyarakat tersebut. Padahal masa jabatan Jokowi masih 2 tahun. Ini menunjukkan popularitas Jokowi juga sangat rendah. Sehingga masyarakat enggan ‘manut’. Maka itu, kedua. Tema relawan adalah “2024 Manut Jokowi”. Hal itu untuk membantah bahwa Jokowi sudah tidak didengar. Tetapi ini seperti halusinasi. Realitanya seperti survei Litbang Kompas. Bukan begitu? Relawan menegaskan 6 poin alasan tetap mendukung Jokowi. Satu, bersama Presiden Jokowi … dan seterusnya. Dua, bersama Presiden Jokowi … dan seterusnya. Seperti dilansir KOMPAS.com, anak muda perwakilan relawan Joko Widodo mendeklarasikan “2024 Manut Jokowi” di tengah-tengah acara Gerakan Nusantara Bersatu yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) pada Sabtu (26/11/2022). Deklarasi tersebut disampaikan oleh perwakilan anak muda relawan Gerakan Indonesia Bersatu yang berasal dari 37 provinsi di Tanah Air. “Kami relawan Jokowi berhimpun dalam Gerakan Nusantara Bersatu, bersama Presiden Jokowi, kami berkomitmen membentuk barisan kuat, mengawal Indonesia Emas 2045, Indonesia yang maju,” kata perwakilan relawan. “2024 manut Jokowi. 2024 manut Jokowi. 2024 manut Jokowi,\" lanjut perwakilan relawan, disambut meriah seluruh relawan yang hadir. Adapun sebelum menegaskan deklarasi tersebut, perwakilan relawan mengungkapkan enam poin alasan tetap mendukung Jokowi. Menurut mereka, selama sewindu (delapan tahun) ke belakang, Presiden Jokowi membuat pembangunan dari hulu ke hilir terjadi secara nyata. Selain itu, Jokowi dianggap berhasil meningkatkan pembangunan SDM, infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Relawan mengakui, pembangunan yang dilakukan hari ini bukan hanya untuk generasi sekarang saja, tetapi juga generasi emas pada 2045 nanti. “Hari ini kami berkumpul di sini menjadi saksi membawa bukti dan berjanji. Satu, bersama Presiden Jokowi memastikan pembangunan SDM tak berhenti. Kualitas manusia Indonesia yang kini telah melesat tinggi akan terus diperkuat sebagai pondasi. Menjadikan bonus demografi tak berhenti sebatas teori tapi nyata menggerakkan ekonomi,” kata perwakilan relawan. Kedua, bersama Presiden Jokowi para relawan bertekad melanjutkan pemerataan pembangunan. Antara lain dengan menjaga pilar infrastruktur yang kini telah berdiri dari Aceh sampai Papua akan tetap kokoh menopang ekonomi rakyat setiap sendi. Relawan berjanji bahwa tidak akan ada ketimpangan, melainkan kemakmuran bagi masyarakat. “Tiga, bersama Presiden Jokowi menjaga Indonesia tetap tangguh setelah pandemi, ekonomi telah bangkit dan tantangan kesehatan pun telah terlewati. Dua modal besar untuk mewujudukan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” kata perwakilan relawan. “Empat, bersama Presiden Jokowi mendorong potensi anak muda negeri. Partisipasi anak muda adalah kunci membangun negeri, bukan sekadar bekerja untuk industrialisasi tapi mampu membangun industrinya sendiri, menyerap tenaga kerja dan memberdayakan rekan senegeri,\" lanjut mereka. Lima, bersama Presiden Jokowi, para relawan akan memperkuat posisi Indonesia di tingkat global. Sebab Presidensi G20 sudah berhasil dipegang secara baik. Selanjutnya Presidensi ASEAN saat ini dijabat oleh Indonesia. “Harapan kebangkitan dunia kepada kita dititipkan. Negeri ini tak lagi mendayung di antara dua karang, tetapi menjadi nahkoda global, melewati arus ketidakpastian menuju perdamaian, penyelesaian pandemi, dan perubahan iklim, ekonomi berkelanjutan, serta pengembangan ekonomi digital,” ujar perwakilan relawan. Bersama Presiden Jokowi! Bersama Presiden Jokowi? Apa artinya? Apakah relawan mau menegaskan akan meninggalkan Jokowi setelah Jokowi tidak menjabat Presiden lagi? Artinya, cukup bersama Jokowi hingga 2024, karena jabatan presiden Jokowi berakhir pada 20 Oktober 2024? Setelah itu, Jokowi akan menjadi rakyat biasa lagi. akan menjadi bagian dari sejarah, histori. Seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Seperti Megawati. Jokowi akan menjadi masa lalu Indonesia setelah 20 Oktober 2024, sesuai konstitusi, sesuai kesepakatan rakyat Indonesia. Maka itu, semoga relawan tidak berhalusinasi berlebihan. Berhalusinasi pendengar Jokowi masih banyak. Berhalusinasi Jokowi bisa memperpanjang jabatan. Karena: Realitanya, yang mendengar Jokowi hanya 15,1 persen, kemungkinan bisa turun lagi mengingat masa jabatan Jokowi masih 2 tahun. Realitanya, masa jabatan Presiden Jokowi paling lambat berakhir pada 20 Oktober 2024. Yang jelas, biaya pengerahan massa ini sangat tinggi. Semoga tidak ada yang kena php alias ‘prank’? (*)
Mengapa Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 Berdasarkan UUDS 1950 Sendiri Inkonstitusionil dan Tidak Demokratis?
Kami aktivis Forum Tanah Air (FTA) USA dan FTA global memiliki solusi alternatif, atau opsi alternatif yang bisa dipertimbangkan dan diperdebatkan untuk bisa menjaga dan melestarikan UUD 1945 “asli” tanpa harus melakukan Dekrit Presiden, tanpa harus memperpanjang jabatan Presiden Jokowi dan mengundur Pemilu 2024 Oleh: Chris Komari, Activist Democracy, Activist Forum Tanah Air (FTA) USA, FTA Global, FTA-RI Nasional Indonesia KETIKA rakyat tak berani menolak tindakan-tindakan pemimpin bangsa yang unconstitutional, abuse of power dan tidak demokratis berupa Dekrit Presiden 5 Juli 1959, bukan berarti itu adalah tindakan yang bisa dibenarkan dan bisa diulangi lagi. UUDS tahun 1950 memiliki pasal sebanyak 146 pasal, dimana dalam: 1). Pasal 1, ayat 1, UUDS 1950 disebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. (Ingat, demokrasi itu sendiri memiliki 11 pilar demokrasi). 2). Pasal 1, ayat 2, UUDS 1950 disebutkan bahwa kedaulatan RI adalah di tangan rakyat. 3). Pasal 84, UUDS 1950 menyatakan bahwa Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan setelah membubarkan DPR, dalam waktu 30 hari Presiden harus mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru. Jadi yang dimandatkan oleh Pasal 84, UUDS tahun 1950 adalah hak Presiden untuk membubarkan DPR, bukan hak membubarkan Parliamen, atau Dewan Konstituante. Karena di era UUDS 1950, Dewan Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu 2 lembaga yang berbeda. 4). Ketika anggota Dewan Konstituante mengalami gridlock (kebuntuan) dalam bermusyawarah untuk mufakat, tak berhasil mencapai kesepakatan bersama (consensus) karena begitu banyaknya perbedaan pendapat, ideologies dan idealism antar anggota Konstituante, sehingga UUD RI baru yang diharapkan tidak bisa disepakati! Dalam situasi, kondisi dan kontek seperti ini, dimana Dewan Konstituante mengalami gridlock, ada 2 hal yang menjadi pertanyaan saya: 1). Apakah hal itu berarti (warranted) Dewan Konstituante harus dibubarkan? 2). Bagaimana dengan konsep dan rumus “deliberation” yang dibuat dan dirumuskan sendiri oleh para Founding Fathers NKRI yang sebagian besar menjadi anggota Dewan Konstituante, dengan Sila ke #4 Pancasila yang berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”? 3). Apakah para anggota Dewan Konstituante waktu itu masih belum mengenal atau belum mengetahui system deliberation yang baik dan benar, dan mengetahui apa step process yang harus dilakukan bila terjadi “gridlock” untuk mencari jalan tengah (compromised version) dari berbagai fraksi, golongan dan perwakilan di Dewan Konstituante seperti yang dilakukan di US Congress di Amerika Serikat (AS)? Kadang saya termenung, berpikir dan akhirnya tersenyum sendiri melihat dan menggali kehebatan para Founding Fathers NKRI di era 40\'an, 50\'an dan 60\"an. Mereka selain brilliant, intelligence, suka berdebat, sangat idealistic (idealisme sangat tinggi), anti western, tetapi juga kocak-kocak dalam berpolitik. Kocaknya di mana? Sila ke#4 Pancasila itu khan para Founding Fathers NKRI sendiri yang merumuskan secara idealis, membuat formula deliberation dengan musyawarah untuk mufakat, yang didasari dengan (inner wisdom) hikmat dan kebijaksanaan dalam Sila ke#4 Pancasila? Kemudian para Founding Fathers NKRI itu setelah selesai merumuskan Sila ke #4 Pancasila, mereka sendiri juga yang harus menjalankan dan mempraktekannya dalam pemerintahan dan berpolitik, tetapi hasilnya apa? Hasilnya “gridlock” dan Dewan Konstituante berakhir dibubarkan? Itu khan kocak?! Para Founding Fathers NKRI yang merumuskan Sila ke-4 Pancasila sendiri saja, tidak mampu melakukan dan mempraktekan Sila ke-4 Pancasila, apalagi kita generasi penerus? Dalam perspective saya sebagai activist democracy selama 22 tahun lebih dan mantan anggota City Council 2 term (2002 dan 2008) di Contra Costa County, State of California yang memahami with decent knowledge tentang sistem demokrasi di negara bagian (State of California) dan di USA pada umumnya, serta mengalami sendiri (first hand experience) sebagai kandidat, melakukan kampanye, melakukan public debates dengan kandidat lainnya di depan publik rakyat Amerika, dalam kontek dan praktek-praktek demokrasi di USA dan menjadi 2 term anggota City Council. Dengan segala kekurangan dan kelebihan, saya sendiri sudah menjalani sendiri praktek-praktek bagaimana sistem, proses, prosedur, dan mekanisme deliberation yang baik, benar dan demokratis ditingkat City Council di pemerintahan tingkat Kota. Karena itu, ketika menggali peristiwa politik masa lalu dan sepak terjang para Founding Fathers NKRI di era 40\'an, 50\'an dan 60\'an membuat saya tertarik, kemudian membandingkan dengan pengalaman pribadi saya dalam kontek demokrasi di Amerika Serikat (AS). I found it very entertaining dan sedikit kocak yang membuat saya kadang tersenyum dan tertawa sendiri. 1). Bagaimana para Founding Fathers NKRI kita dulu itu mau mengukur dan mengetahui “Kehikmatan” dan “Kebijaksanaan” wakil-wakil rakyat di pemerintahan, khususnya di Parliamen? Bagaimana mau mengukur “kehikmatan” dan “kebijaksanaan” anggota Dewan Konstituante, anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD? 2). Ukuran standard-nya apa? 3). Dan siapa yang mengukur? Ataukah itu hanya berupa harapan, keinginan, kemauan, cita-cita, impian dan wishful thinking dari para Founding Fathers NKRI terhadap para wakil-wakil di pemerintahan, khususnya di Parliamen agar hikmat dan bijaksana dalam melakukan deliberation mewakili kepentingan rakyat? Tanpa membuat ukuran standard dan bagaimana mengukurnya? Beda dengan sistem deliberation di US Congress, (House & Senate), State Legislature dan City Council yang bermuara pada mekanisme, consensus, compromise, checks and balances. Saya tidak peduli, anggota City Council lainnya itu bijak atau tidak. Ketika terjadi gridlock dalam musyawarah untuk mufakat di City Council, kita akan melakukan conference atau negotiation untuk mencapai compromised version. Ketika terjadi gridlock dalam deliberation, masih ada banyak steps yang harus dilakukan oleh anggota Parliamen (anggota City Council) dari masing-masing representative, fraksi atau caucus untuk mencapai apa yang disebut dengan “compromised version”. Bayangin setiap Bill (RUU) harus lolos di House of Representative dan harus lolos di US Senate, sebelum lolos di US Congress? Setiap kita di City Council membuat aturan baru berupa a new city Codes and Ordinances yang dikeluarkan bersama oleh City Council, aturan baru itu tidak boleh bertabrakan dengan Federal Statutes, State Rules, Regulations and Statutes dan harus in harmony County\'s rules and regulations. Selain tentunya aturan baru itu tidak boleh mengurangi quality of life (kualitas hidup) warga kota, tidak discriminative, aturan itu harus universal dan memiliki prospek untuk meningkatkan local tax revenues for the city, dan lain-lain. Kadang untuk membuat aturan baru di tingkat kota saja sudah begitu sulit, karena selain ada begitu banyaknya interest (kepentingan) dalam satu kota, juga ada statutes di atasnya yang tidak boleh ditabrak, apalagi dalam satu negara. Tapi itulah the nature of deliberation in Parliament, Legislature or Congress. You have to learn to compromise! Dan, compromise adalah salah satu prinsip demokrasi nomer #11 (the importance values of tolerance, pragmatism, cooperation and compromise). Yang membuat saya kesulitan untuk menggali keinginan, cita-cita, cara berpikir dan daya berpikir para perumus Pancasila, adalah satu fakta yang saya sadari bahwa rumusaan Pancasila itu isinya terlalu bagus, terlalu idealis, impian yang terlalu tinggi, mendekati sempurna dan sangat futuristic sehingga sulit untuk dijalankan dan dipraktekan oleh orang biasa (ordinary politicians). Buktinya, para perumus Pancasila itu sendiri terbukti “gagal” mempraktekan Sila ke #4 Pancasila dalam deliberation di Dewan Konstituante! Bagaimana mungkin kita sebagai generasi penerus sekarang yang disuruh menjalankan dan mempraktekan Sila ke#4 Pancasila? Lho wong mereka yang merumuskan Sila ke#4 Pancasila sendiri, gagal?! Apalagi kita yang tidak ikut merumuskan Pancasila? Namun demikian, karena Pancasila adalah hasil karya, hasil kerja, cita-cita, keinginan, kemauan, tujuan dan kesepakatan (compromised version) para Founding Fathers and Mothers NKRI, maka kita sebagai generasi penerus “wajib” menjaga, menghormati, dan melestarikannya. Sistem dan bentuk pemerintahan itu tidak penting bagi saya, asal Adil, Jujur dan Bijaksana (Just, Fair & Wise). Bagi saya, sistem pemerintahan dictatirship atau monarch yang adil, jujur dan bijak, jauh lebih baik daripada sistem pemerintahan demokrasi yang sudah dikorupsi dan direkayasa (corrupted democracy), seperti di Indonesia saat ini, dari demokrasi berubah menjadi Partai-Krasi! Bagaimana cara yang legal, constitutional dan demokratis untuk tetap menjaga dan melestarikan redaksi (text) UUD 1945 asli? Kami mendukung keinginan untuk kembali ke UUD 1945 asli, tetapi: 1). Dekrit Presiden itu tindakan unconstitutional (inkonstitusionil), apapun alasan dan excuses yang dijadikan justification. Karena Presiden tidak memiliki kekuasaan lebih tinggi dari Parliamen, dan Presiden tidak memiliki kekuasaan untuk mengubah, melanggar, apalagi membatalkan Konstitusi UUD 1945. Presiden juga tidak memiliki kekuasaan untuk membubarkan Parliamen, seperti yang dilakukan Presiden Soekarno yang membubarkan Dewan Konstituante dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 2). Memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi selama 2 tahun atau 3 tahun maksimal dan mengundur Pemilu 2024 adalah tindakan inkonstitusionil (unconstitutional) yang akan menciptakan chaos dan turmoil karena akan menciptakan krisis konstitutional. 3). Kredibilitas Presiden Jokowi saat ini sangat rendah dan tidak akan mendapatkan full support dari publik untuk bisa selamat melakukan dekrit Presiden, meski dengan 2 dekrit Presiden, salah satunya tidak akan memperpanjang jabatan setelah masa perpanjangan jabatan selesai. Tiga options di atas tidak akan bisa diterima oleh banyak kelompok, minimal akan banyak yang menolak dan menentangnya. Semua perubahan politik yang besar menyangkut Konstitusi dan UU, harus dilakukan secara: 1). Legal 2). Constitutional 3). Demokratis. Kami aktivis Forum Tanah Air (FTA) USA dan FTA global memiliki solusi alternatif, atau opsi alternatif yang bisa dipertimbangkan dan diperdebatkan untuk bisa menjaga dan melestarikan UUD 1945 “asli” tanpa harus melakukan Dekrit Presiden, tanpa harus memperpanjang jabatan Presiden Jokowi dan mengundur Pemilu 2024. Solusi dan opsi alternatif yang akan kami berikan masih dalam koridor hukum, constitutional dan demokratis. Apa solusi alternatif itu? Secara comprehensive akan diberikan penjelasan menyusul dalam kontek dialog publik. Inshallah. (*)
Jokowi Gagal Membuka Munas KAHMI, Kenapa?
Prediksi unsur BIN itu terbukti. Saat Wapres membuka acara, peserta Munas beramai-ramai dan kompak meneriakan nama Anies. Teriakan berulang-ulang, sampai Waprespun harus menyebut nama Anies. Oleh: Ayu Nitiraharjo, Pemerhati Budaya PRESIDEN Joko Widodo membatalkan kedatangan pada Pembukaan Munas KAHMI XI di Palu, 25 November 2022. Pembatalan terjadi H-2 sebelum acara. Bagaimana ceritanya? Kota Palu menjadi saksi kemeriahan Munas KAHMI XI. Mungkin ini menjadi Munas paling meriah dalam sejarah penyelenggaraan Munas KAHMI. Presiden bahkan terjadwal hadir membuka acara tersebut. Presiden telah menyatakan kesediaanya dan rencananya untuk membuka Munas. Pernyataan itu disampaikan saat menerima audiensi Pengurus MN KAHMI waktu itu. Pun beberapa hari sebelum pembukaan, Presiden sebenarnya masih confirmed akan hadir. Perubahan terjadi saat H-2 acara. Begini peristiwanya: protokol presiden tiba di Palu dan rapat dengan panitia. Rapat tersebut juga dihadiri oleh forkompimda, termasuk BINDA (BIN Daerah). Dalam rapat tersebut, protokol presiden meminta panitia Munas untuk mencoret nama Anies Baswedan dari daftar undangan upacara pembukaan Munas. Mereka mengatakan bahwa Anies cukup diundang gala dinner saja, yaitu sehari sebelum pembukaan Munas. Protokol presiden mengatakan bahwa Anies bukan pengurus maka tidak perlu hadir upacara pembukaan yang dihadiri presiden. Panitia galau. Pilihannya, menarik kembali undangan yang sudah terlanjur dikirim kepada Anies agar presiden bersedia hadir, atau tetap mengizinkan Anies hadir di pembukaan tapi konsekuensinya Presiden jadi tidak hadir membuka Munas. Pilihan yang sama-sama berat buat panitia: Anies adalah bagian langsung dari KAHMI, hampir semua peserta Munas menginginkan untuk bertemu langsung dengan Anies, melarang Anies hadir, panitia pasti akan banyak menuai protes dari peserta. Atau membuatkan Anies hadir, dengan konsekuensi acara tidak dibuka oleh Kepala Negara. Protokol Presiden sikapnya tegas: jika ingin Presiden hadir maka Anies tidak boleh ada di ruangan. Panitia berunding dan hasilnya adalah memilih opsi kedua, yaitu undangan untuk Anies Baswedan hadir di pembukaan Munas tidak dibatalkan. Konsekuensinya, Presiden yang sebelumnya berkomitmen untuk hadir pun akhirnya membatalkan hadir, digantikan oleh Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Itulah peristiwa yang senyatanya terjadi. Bahkan unsur BIN yang hadir dalam rapat sempat mengatakan, kalau ada Anies di dalam ruangan, Presiden pasti kalah pamor dengan Anies. Prediksi unsur BIN itu terbukti. Saat Wapres membuka acara, peserta Munas beramai-ramai dan kompak meneriakan nama Anies. Teriakan berulang-ulang, sampai Waprespun harus menyebut nama Anies. Namun tetap disayangkan Presiden tidak hadir. Tapi yang lebih disayangkan, mengapa negara harus memusuhi sesama anak bangsa? Jadi ingat peristiwa pelarangan terhadap Gubernur DKI Jakarta untuk turun ke lapangan saat Persija juara kompetisi. Salut untuk Panitia Munas KAHMI yang berani bersikap! (*)
Munas KAHMI XI Palu: Harus Bikin Komunike Dukungan Pencapresan Anies
Kalau KAHMI menyatakan total mendukung akan jadi energi yang luar biasa buat pencapresan Anies. Oleh: Andrianto, Aktivis Pergerakan PERHELATAN Munas Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam/KAHMI ke XI berlangsung di Kota Palu Sulteng. Acara berlangsung pada 24-27 November 2022. Sejak pagi ketika kedatangan salah satu Alumni HMI Anies Baswedan situasi dan kondisi Palu langsung tensi tinggi, ada animo masyarakat terhadap sosok Anies yang digadang-gadang sebagai Capres favorite. Anies tiba bersama rombongan Jusuf Kalla, Mahfud MD dan lain-lain. Acara KAHMI dimulai pada malamnya di hotel Western dengan sambutan-sambutan, antara lain: Ahmad Doly Kurnia/Korspers, Jusuf Kalla, Mahfud Md dll. Puncaknya adalah Orasi Kebangsaan dari Anies Baswedan yang antara lain mengatakan kader dan alumni HMI agar berilmu pengetahuan, punya etos dan etika. Pidatonya simpel dan berbobot, intinya sebuah bangsa jika ingin besar harus menjadikan, pertama bahwa ilmu pengetahuan sebagai tolak ukur dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan; Kedua, etos harus dibangkitkan, keuletan dalam membangun bangsa tersebut dibutuhkan; Dan, yang ketiga, etika harus dijunjung tinggi seperti di negara-negara maju dimana nilai nilai etis berlaku. Menurut Anies, hanya HMI yang bisa berada di semua spektrum. Ini sebuah resource yang besar buat KAHMI memajukan Indonesia dan Umat Islam. Anies Baswedan berpidato singkat, padat dan bernas di hadapan ratusan perserta Munas KAHMI. Acara Munas KAHMI XI resminya dibuka esoknya (25/11) di Srinti Convention Hall oleh Wapres Ma’ruf Amin yang menggantikan Joko Widodo yang batal hadir. Saya dari HMI Cabang Jakarta yang hadir sejak hari pertama Munas KAHMI, melihat KAHMI adalah wadah kaum intelek Muslim modern yang tetap eksis. Ini dibuktikan dengan antusias peserta yang tinggi. Namun jangan melulu monoton sekedar sirkulasi pergantian pimpinan KAHMI semata. Mestinya momentum itu jadi ajang kontemplasi pola bentuk KAHMI ke depan yang modern dan menjawab tantangan umat Islam. Karena faktanya umat Islam yang mayoritas 85% masih jadi inferior dalam hal Ekonomi. Ini ironis sekali, meski sudah 77 tahun Indonesia Merdeka, rakyat yang nota bene umat Islam masih belum terentaskan. Pada bagian lain, Habil Marati, mantan anggota DPR dari PPP yang juga hadir berharap Munas KAHMI langsung bikin komunike dukungan Pencapresan Anies Baswedan. Harus to the point, bila tidak akan mubazier. Kalau KAHMI menyatakan total mendukung akan jadi energi yang luar biasa buat pencapresan Anies. Acara Munas KAHMI juga terlihat kehadiran para Alumni antara lain, Sofyan Mile, mantan anggota DPR dari Golkar, Junisab Akbar (mantan anggota DPR dari PBR), Yayat Biaro (mantan anggota DPR dari Golkar, Jhoncik Muhammad (Bupati 4 Lawang, Sumsel), dan lain-lain. (*)
Selamat Hari Thanksgiving
Thanksgiving telah menjadi lebih komersial dan bahkan meningkatkan kecenderungan menjadi materialistis. Apa yang disebut “Black Friday” adalah contoh yang jelas tentang itu. Dan saya pribadi tidak menyukainya. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation SETIAP Kamis terakhir bulan November setiap tahun adalah hari istimewa bagi orang Amerika. Ini adalah hari libur nasional dan diamati secara nasional. Itu disebut “Hari Thanksgiving”. Hari Thanksgiving diamati untuk pertama kalinya oleh para Peziarah (Imigran Eropa) setelah panen pertama mereka pada bulan Oktober 1621, yang berlangsung selama tiga hari dan dihadiri oleh 90 penduduk asli Amerika dan 53 imigran Eropa yang baru tiba. Sebagai bagian dari masyarakat lain Amerika, Muslim Amerika mengambil bagian dalam perayaan itu. Dan seringkali muncul pertanyaan di kalangan umat Islam tentang hukum Islam pada perayaan seperti itu: Apakah diperbolehkan atau tidak dalam agama? Tentu saja tulisan ini bukan fatwa (hukuman agama). Sebaliknya, tulisan ini adalah untuk membagikan pandangan pribadi saya tentang masalah ini. Saya sepenuhnya menyadari adanya pandangan lain tentang itu. Dan, saya sangat menghargai fakta bahwa Islam memungkinkan kita berbeda pendapat dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama. Sungguh merupakan kekayaan iman. Saya ingin memulai dengan menegaskan bahwa ketika Islam datang ke tempat mana pun, ia tidak bermaksud mengubah atau menghapus budaya positif dan norma sosialnya. Karena alasan inilah Anda akan melihat keragaman yang sangat dalam di antara umat Islam dalam hal budaya dan perilaku sosial. Semakin banyak kita berkeliling dunia, semakin beragam wajah Islam yang akan kita lihat tercermin dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Muslim. Pada bagian diskusi ini kita dapat mengatakan ada Muslim Asia Selatan, Muslim Asia Tenggara, Muslim Timur Tengah, Muslim Afrika, Muslim Eropa, Amerika Latin dan, dari tentu saja, Muslim Amerika. Fakta ini didasarkan pada apa yang Nabi sendiri nyatakan: “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang baik”. Yang pada hakekatnya berarti bahwa misi Nabi (Islam) adalah menyempurnakan dan membatasi (bukan mengubah atau meniadakan) nilai-nilai positif dan praktik budaya umat. Oleh karena itu, Thanksgiving sebagai bagian dari budaya Amerika, dan itu termasuk Muslim Amerika, adalah budaya yang dapat diadopsi dan dianut dalam nilai dan pemahaman kita sendiri. Saya menyebut jenis ucapan syukur ini “Shukr”. Bersyukur atau “Syukr” berakar pada ajaran Islam. Al-Quran, misalnya, mengingatkan kita: “Bersyukurlah padaku dan jangan kufur” (Surat 2 ayat 152). Al-Quran juga menyatakan: “Dan jika kamu bersyukur, aku akan memberimu lebih (nikmatku). Tetapi jika kamu kufur, sungguh azabku sangat keras” (Ibrahim: 7) Istilah “Shukr” yang secara harfiah berarti “bersyukur, berterima kasih atau penghargaan” dalam konteks ini dapat merujuk pada Thanksgiving yang dirayakan dengan gembira dan nasional oleh orang Amerika. Saat bergabung dengan sesama orang Amerika dalam merayakan Thanksgiving, kami ingin mengingatkan diri kami sendiri sebagai berikut: Pertama, Syukuran dalam Islam harus berlanjut dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Ini masalah hidup. Selama kita hidup, kita mengucap syukur. Tidak ada salahnya melakukannya pada Kamis terakhir bulan November. Tetapi kami tidak membatasi diri kami pada hari itu saja. Bersyukur atau merayakan Thanksgiving adalah tanggung jawab yang berkelanjutan baik terhadap Pencipta kita maupun sesama manusia. Kedua, ada tiga syukr (syukur) utama yang penting untuk dirayakan: 1) Bersyukur kepada Sang Pencipta dengan mengakui kebaikan dan nikmat-Nya yang tak terbatas kepada kita, dengan merendahkan diri dalam beribadah kepada-Nya dengan komitmen dan dedikasi. Nabi Muhammad menjawab istrinya ketika dia bertanya kepadanya tentang dedikasinya dalam ibadahnya: “bukankah saya harus menjadi hamba (Allah?) yang bersyukur”. 2) Ucapan terima kasih kepada orang tua kita. Dalam Islam, orang tua berada di sisi Allah dalam hal cinta dan hormat. Beberapa ayat dalam Al-Qur\'an mengingatkan umat Islam untuk berbakti dan hormat kepada orang tua mereka. Untuk menemani orang tua mereka di dunia ini dengan kebaikan dan rasa hormat yang tinggi. 3) Bersyukur juga berarti berterima kasih kepada sesama ciptaan, khususnya kepada sesama manusia. Bersikap baik kepada orang lain bukan hanya tindakan kebaikan sosial. Itu sebenarnya adalah bagian dari ucapan syukur kami karena telah menjadi bagian dari keluarga manusia kami. Nabi bahkan memberi tahu kita: “orang yang gagal menghargai sesama manusia juga gagal menghargai Allah”. Sedihnya, hari-hari ini Thanksgiving telah bergeser dari tujuan awalnya dan itu adalah untuk menghargai Tuhan dan bersikap baik satu sama lain. Thanksgiving telah menjadi lebih komersial dan bahkan meningkatkan kecenderungan menjadi materialistis. Apa yang disebut “Black Friday” adalah contoh yang jelas tentang itu. Dan saya pribadi tidak menyukainya. Bagi saya Jum’at Berkah jauh lebih baik daripada Jum’at Hitam. Apakah kamu tidak setuju? Kota Jakarta, 25 November 2022. (*)
Is Anies Going To Be The Next Anwar?
Apakah Anies akan berhasil membawa agenda Islam Tengah sebagaimana amanah UUD 1945 juga seperti janji Anwar sebagai PM ke-10 Malaysia juga membebaskan bangsa ini dari riba akan menjadi pertanyaan beyond his presidency. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts MUNGKIN ya, mungkin tidak. Masa depan masih suci, semua kemungkinan bisa terjadi. Ketidakpastian dan ketidakjelasan adalah fitur melekat masa depan. Sebagai dua tokoh yang dilahirkan dari kelompok nasionalis relijius yang serupa, kaum nasionalis relijius di ICMI, KAHMI, Muhammadiyah, dan parpol-parpol afiliasinya berharap Anies Baswedan akan menjadi the next Anwar for Indonesia. Kini puluhan relawan pro-Anies telah bermunculan di mana-mana bak jamur tumbuh di musim hujan. Ada semacam kerinduan agar kepentingan ummat Islam lebih diakomodasi oleh Pemerintah, tidak seperti zaman Presiden Jokowi ini. Tapi harapan itu hanya bisa terwujud dengan beberapa syarat. Syarat pertama, upaya elit parpol penguasa dan kelompok ProJo menunda Pemilu 2024 atau mengamandemen UUD 2002 agar masa jabatan presiden bisa lebih dari 2 periode gagal. Syarat ini bisa terjadi, perhari ini, dengan kemungkinan 50:50. Penggalangan opini masyarakat untuk mendukung perpanjangan kekuasaan Jokowi masih saja terjadi. Anehnya, Jokowi tampak membiarkan ini terjadi karena bagian dari demokrasi. Kedua, ekonomi Indonesia bisa bertahan menghadapi resesi ekonomi global parah yang kini mengancam, sementara pandemi benar-benar bisa diakhiri untuk tidak memperparah stagflasi global. Kemungkinan besar syarat ini akan berlaku. Pasar domestik yang besar dan bonus demografi akan menggantikan pasar ekspor yang melemah. Ketiga, konflik Rusia-Ukraina segera bisa dikendalikan lalu diselesaikan secara damai, tidak berkembang menjadi konflik yang lebih luas, bahkan Perang Dunia ke-3. Syarat inipun berpeluang 50:50. Opsi perang dunia untuk global resetting dunia, sekaligus pengurangan populasinya, masih menjadi agenda para elit global. Keempat, ummat Islam berhasil mengkonsolidasikan kepentingan politiknya sehingga berhasil mensukseskan pencapresan Anies melalui koalisi parpol. Peluang syarat ini berlaku cukup tinggi. Jika Anwar Ibrahim sukses memimpin Malaysia paling tidak 2 tahun ke depan ini, cocktail party effect akan terjadi sehingga peluang Anies memenangkan Pilpres 2024 akan makin terbuka lebar. Kelima, Pemilu 2024 berlangsung terbuka, jujur dan adil. Syarat kelima ini nyaris mustahil terjadi. Di samping rancangan Pemilu yang paling rumit, kompleks dan mahal di dunua, Daftar Pemilih Tetap yang akan digunakan dalam Pemilu 2024 masih banyak mengandung jutaan data siluman yang menjadi sumber jual beli suara. Konflik hasil pemilu akan diputuskan oleh KPU dan hakim-hakim MK yang sulit bersikap independen. Di samping itu, penggalangan opini dan intimidasi serta politik uang akan tetap mewarnai Pilpres 2024. Segera perlu dicatat bahwa hiruk-pikuk pencapresan ini bisa jadi hanyalah sebuah operasi bendera palsu. Harapan baru yang dibawa pencapresan Anies telah melemahkan people power untuk memulangkan Jokowi ke Solo sebelum 2024. Sementara itu proses penjarahan kekayaan bangsa ini terus terjadi melalui investasi asing yang sangat eksploitatif, privatisasi sektor strategis seperti energi dan transportasi, serta praktek keuangan ribawi oleh elit global maupun kaki tangan domestiknya. Kedaulatan rakyat sebagaimana amanah UUD 1945 pada akhirnya adalah kedaulatan keuangan. Apakah Anies akan berhasil membawa agenda Islam Tengah sebagaimana amanah UUD 1945 juga seperti janji Anwar sebagai PM ke-10 Malaysia juga membebaskan bangsa ini dari riba akan menjadi pertanyaan beyond his presidency. Jika Anies gagal, maka bangsa ini akan lestari sebagai jongos politik dan jongos ekonomi. Gambiran, Banyuwangi, 26 November 2022. (*)