OPINI
Logika Prof Romli Miring
Kebijakannya merugikan keuangan negara, sehingga dia divonis bersalah oleh hakim, meski kemudian dalam putusan kasasi dibebaskan. Jadi, integritasnya masih diragukan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih ANAK-anak dalam kajian Politik Merah Putih, mencoba menguji dengan santai satu persatu logika Prof. Romli Atmasasmita tentang dugaan tindak pidana oleh Anies Baswedan dalam pelaksanaan Formula E. Menurut logika argumentasi Prof Romli Atmasasmita, Guru Besar Universitas Padjadjaran, Bandung, Anies terbukti bersalah dalam kasus Formula-E. Prof Romli yakin Anies telah melakukan tindak pidana. Pertama, menurut Prof Romli, tidak ada pos anggaran untuk Formula-E di dalam APBD 2019, sehingga pelaksanaan proyek tanpa anggaran tersebut melanggar keuangan daerah (DKI). Ternyata: Anggaran Formula-E memang tidak tercantum dalam APBD DKI 2019. Tetapi, ada di dalam APBD Perubahan (APBD-P) DKI 2019. \"Argumentasi Romli otomatis gugur\". Kedua, meskipun tidak ada anggaran, Anies memaksa menjalankan proyek Formula-E dengan memberi kuasa kepada Kadispora untuk melakukan pinjaman kepada Bank DKI. Menurut Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Mochammad Ardian, Pemprov DKI Jakarta tidak berkewajiban untuk meminta persetujuan kepada DPRD terkait peminjaman jangka pendek yang digunakan untuk pembiayaan Formula E pada 2019. “Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah, pinjaman jangka pendek tidak meminta pertimbangan dari Kemendagri atau persetujuan dari DPRD,\" kata Ardian saat dihubungi, Kamis (11/11/2021). Menurut Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga DKI Jakarta Achmad Firdaus, peminjaman uang Rp 180 miliar ke Bank DKI untuk talangi pembayaran commitment fee Formula E sesuai prosedur. Dia mengatakan, pinjaman tersebut sudah dilunasi dengan pencairan DPPA Dinas Pemuda dan Olahraga DKI Jakarta Desember 2019. \"Argumentasi Romli melenceng\". Ketiga, perjanjian dengan Formula-E tersebut menggunakan business-to- government yang melanggar persetujuan Kemendagri, yang mengharuskan pendekatan business-to-business. Dari hasil studi kelayakan terbaru, kelanjutan penyelenggaraan Formula E disebutkan bisa mandiri dengan skema business to business. Faktanya bahwa Pemprov DKI Jakarta juga menunjuk Jakpro untuk menjalankan Formula E tersebut. “Selain itu hasil studi kelayakan juga menunjukan bahwa sukses pelaksanaan Formula E terdapat manfaat finansial, manfaat ekonomi dan manfaat reputasional. \"Argumentasi Romli miring\". Menurut hasil audit BPK terhadap Formula-E yang dipublikasi 20 Juni 2022 menyatakan Formula-E Jakarta layak dilaksanakan. Dan hasil pelaksanaan Formula E tidak ada kerugian negara dan tidak ada pelanggaran pidana. Terlacak oleh kajian politik Merah Putih bahwa argumentasi dari Prof Romli Atmasasmita itu gugur, melenceng, dan miring terkesan sangat dekat dengan pesanan politik yang dipaksakan. Yang perlu dicatat, menurut situs resmi unpad.ac.id, Prof Romli Atmasasmita adalah Guru Besar Hukum Pidana Internasional. Jejak digital pun mencatat, Prof Romli pernah diadili terkait dengan tindak pidana korupsi saat menjabat Dirjen di Depkumham. Kebijakannya merugikan keuangan negara, sehingga dia divonis bersalah oleh hakim, meski kemudian dalam putusan kasasi dibebaskan. Jadi, integritasnya masih diragukan. Mantan napi korupsi koq berpendapat soal dugaan tindak pidana korupsi dari orang lain. (*)
"Gelombang PHK dan Perfect Storm": Buruknya Nasib Buruh Indonesia
Sampai saat ini, hanya Anies Baswedan yang setuju dengan kenaikan upah buruh tinggi, semua capres lainnya yang muncul di bursa capres, tidak pernah memikirkan nasib buruh. Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle SAID Iqbal, Ketua Partai Buruh, yang berewokan mirip Lula Da Silva, tokoh Buruh Brazil, kemarin memberi ultimatum kepada pemerintah dan pengusaha untuk tidak mengorbankan nasib buruh ketika ancaman resesi dunia datang ke Indonesia. Ancaman resesi ini, dalam istilah Luhut Binsar Panjaitan disebutkan sebagai \"Perfect Storm\", atau sebuah badai sempurna, bisa memporak-porandakan ekonomi kita. Dan Iqbal mengancam akan menurunkan massanya, kaum buruh, menolak gelombang PHK massal di depan Istana. Dari banyaknya pemberitaan media saat ini terkait gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), ada dua buah berita menarik yakni \"Ada Gelombang PHK, Klaim JHT Meningkat Sebanyak 2,2 Juta Pekerja\" dan \"Di DKI Jakarta Ada 395.866 Pekerja Kena PHK Telah Mengklaim JHT\" keduanya oleh Kompas, (30/9/2022 dan 5/10/2022). Dalam penjelasan peningkatan jumlah PHK, selama Januari - Agustus tahun ini, disebutkan terjadi peningkatan sebesar 49% atau lebih dari satu juta jiwa, secara nasional, dibandingkan tahun lalu. Kedua berita di atas menunjukkan bahwa telah lebih dari sejuta orang memang mengalami PHK, tahun ini. Jumlah ini hampir dipastikan pula pekerja formal, karena mereka terdaftar sebagai peserta JHT BPJS ketenagakerjaan. Apakah \"Perfect Storm\" yang dimaksudkan oleh LBP sudah tiba? Menurut konsensus para ahli krisis yang dimaksudkan akan datang tahun depan. CNN Internasional memberitakan dalam \"5 signs the world is headed for a recession\", (2/10/2022), antara lain: \"While the consensus is that a global recession is likely sometime in 2023, it’s impossible to predict how severe it will be or how long it will last. Not every recession is as painful as the 2007-09 Great Recession, but every recession is, of course, painful.\" Meski krisis akan datang tahun depan, sebelum badai krisis datang kita sudah melihat gelombang PHK begitu dahsyatnya saat ini. Apalagi ketika badai krisis datang? Atau kita bisa sebaliknya, melihat perspektif ekonom Chatib Basri, bahwa badai itu hanya akan memperlambat ekonomi saja, tidak sampai membuat krisis. Sebab, krisis ekonomi adalah situasi penurunan aktifitas ekonomi, seperti GDP, penurunan inkome riil, penurunan lapangan kerja, dan penurunan industri, selama beberapa quarter dalam grafik yang tajam. Menurut Basri, kemungkinan kita seperti tahun 2007-2008 saja. Tidak besar dampaknya, hanya perlambatan. Terlepas krisis datang, seperti kata Luhut, maupun hanya perlambatan kata Chatib Basri, nasib buruh yang terpuruk sudah menjadi kenyataan. Said Iqbal, dalam pernyataannya diberbagai media mengatakan bahwa badai krisis yang disampaikan pemerintah hanyalah upaya menakut-nakuti. Seharusnya, pemerintah bekerja keras untuk membuat tidak ada (lagi) krisis sehingga tidak ada PHK. Caranya dengan meningkatkan daya beli kaum buruh melalui kenaikan upah sebesar 13%. Sehingga nantinya terjadi konsumsi yang lebih besar dan perputaran ekonomi membaik. Persoalan upah buruh memang menyedihkan paska pandemi covid-19. Survei Mekari April 2022 dalam judul \"Mekari Whitepaper: Laporan Kesejahteraan Karyawan 2022 terhadap 5500 karyawan dari 300 perwakilan divisi SDM”, Kompas, (10/10/2022), menunjukkan 74% karyawan mengalami kemerosotan daya beli, sebanyak 61% mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dan hanya 15% yang masih mampu bertahan jika terjadi PHK. Survei ini memotret buruh dalam sekor formal. Sektor formal, sekali lagi, adalah sektor yang secara hirarkis memberikan kesejahteraan lebih baik dari buruh sektor non formal dan informal. Sehingga secara keseluruhan kita dapat membayangkan kesejahteraan pekerja kita mayoritas dihantui ketidakpastian hidup. Untuk memperkuat gambaran buruknya nasib pekerja kita, sebuah survei yang dilakukan Litbang Kementerian Perhubungan tentang Ojek Online, Kompas (9/1/2022), sebagai berikut: pendapat pengemudi ojek perhari hampir sama dengan pengeluaran mereka, yakni berkisar Rp. 50.000-Rp.100.000. Mereka adalah anak usia 20-30 tahun sebanyak 40,63%, dan menjadi pengemudi ojol sebagai penghasilan utama sebanyak 54%. Jumlah pengemudi Ojol ini berkisar 4 jutaan. Untuk kelompok GO-JEK sendiri, dream.co.id, (5/8/22), memberitakan jumlah mitra GO-JEK sebesar 3,7 juta pengemudi. Survei Litbang Kementerian Perhubungan itu dilakukan September paska kenaikan BBM. Kenaikan BBM ini memperburuk situasi ekonomi buruh yang di survei Mekari di atas. Pada April terjadi kemerosotan daya beli, lalu pemerintah memberi kado kenaikan BBM pada September. Inflasi terjadi begitu tinggi. Buruh semakin merana. Untuk keperluan daya beli buruh, pemerintah membuat BSU (Bantuan Subsidi Upah) pada program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) 2022. Ini sudah berlangsung 3 tahun. Program ini dimaksudkan untuk mensubsidi buruh sebesar Rp 600.000 sekali pertahun, kepada 14,6 juta buruh. Jika itu dikalikan, maka uang yang disalurkan kepada buruh untuk subsidi adalah Rp. 8,76 T. atau 1,9% dari anggaran PEN (Rp 455,6 T). Sampai saat ini pemerintah mengklaim telah menyalurkan kepada sekitar 8 juta pekerja. Tergerusnya daya beli buruh tentu saja tidak mampu diimbangi oleh program subsidi upah yang hanya menyentuh sedikit jumlah pekerja. BBC berbahasa Indonesia mengungkapkan hal itu dalam berita \"Bantuan Subsidi Upah 2022: \'Cemburu Sosial\' Bagi Puluhan Juta Pekerja Informal\", (6/4/2022). Jumlah pekerja informal disebutkan 78 juta jiwa dan formal sebanyak 53 juta jiwa tahun 2021. Sesungguhnya kecemburuan pun terjadi bagi pekerja formal yang tidak mendapatkan. Timbul Siregar, ketua serikat buruh OPSI dalam \"BSU 2022 yang Tidak Sesuai Janji\", progresnews.Info, (1/9/2022), juga memperkuat telah terjadi kecemburuan sosial dikalangan buruh dalam subsidi upah yang sangat terbatas ini. Bersatulah Kaum Buruh Demonstrasi Partai Buruh yang dilakukan Said Iqbal dkk hari ini menjadi bagian dari demonstrasi kaum Buruh yang sudah berlangsung secara berkali-kali selama beberapa bulan ini. Gelombang PHK Buruh diantara kesulitan ekonomi, baik inflasi maupun resesi, akan menyengsarakan buruh dan keluarganya. Setiap buruh umumnya menanggung seorang istri dan dua anaknya. Artinya puluhan juta kaum buruh menderita saat ini. Dan ini perlu jalan keluar bersama dari pemimpin kaum buruh. Kelompok buruh yang di pimpin Said Iqbal selama ini berjarak dengan kelompok buruh yang dipimpin oleh Jumhur Hidayat. Keterpisahan terjadi karena kedekatan mereka yang berbeda pada kekuasaan Jokowi. Namun, tantangan yang besar ke depan, Gelombang PHK dan penderitaan buruh akibat hancurnya daya beli, menuntut adanya kebersamaan sikap dalam merespon kebijaksanaan Jokowi, khususnya siapa dikorbankan pemerintah jika terjadi krisis? Apakah buruh atau orang-orang kaya? Jika buruh ingin menyelamatkan diri, maka keniscayaan persatuan kaum buruh harus segera terjadi. Dimulai dengan evaluasi atas berbagai kebijakan Jokowi yang anti buruh, seperti UU Omnibus law, kebijakan kenaikan upah rendah, pemberangusan hak-hak berserikat buruh dan anggaran PEN yang lebih memihak pengusaha ketimbang buruh. Setelahnya buruh harus bersatu mencari pemimpin ke depan. Pemimpin bangsa ini dihuni mayoritas elite yang tidak pro buruh. Mereka hanya melihat kekuasaan sebagai karir hidup dan penghambaan material alias memperkaya diri. Kaum buruh ke depan perlu membangun pakta persekutuan dengan calon presiden yang mau tunduk pada kepentingan buruh, bukan tunduk pada kepentingan oligarki. Penutup Gelombang PHK sudah terjadi. Ini belum lagi jika badai krisis dunia atau \"Perfect Storm\" datang tahun depan. Bagaiamana kita mampu melihat jutaan buruh menjadi pengangguran dan keluarga buruh menjadi pengemis? Survei telah memotert, sebagiannya, nasib buruh yang semakin terpuruk, yakni kehilangan daya beli pada awal tahun lalu dan semakin hancur dalam survei Litbang Kemenhub setelah kenaikan BBM. Belum lagi buruh pada sektor informal. Untuk itu kaum buruh harus bersatu. Melawan semua kebijakan Jokowi yang anti buruh. Tidak bisa terpisah seperti selama ini, sebagiannya masih berdekatan dengan Jokowi, sebagiannya berposisi. Kebersamaan buruh dibutuhkan untuk melawan arah nasib buruh yang hancur dan akan semakin hancur. Dalam kebersamaan itu, kaum buruh juga harus membangun pakta persekutuan dengan capres yang pro buruh. Sampai saat ini, hanya Anies Baswedan yang setuju dengan kenaikan upah buruh tinggi, semua capres lainnya yang muncul di bursa capres, tidak pernah memikirkan nasib buruh. Begitupun, pakta persekutuan kepada calon pemimpin ke depan merupakan agenda terbesar dari kebersamaan kaum buruh untuk merubah nasib buruh kedepan. Selamat Berjuang. (*)
PKI SIBAR, Menyingkap Cara Pandang Intelijen Belanda Untuk Mendesain Indonesia Pasca Kemerdekaan
Jangan-jangan SIBAR dari awal memang cuma diplot sebagai organ cangkang untuk menyusun jejaring Van der Plas yang bersih dari unsur-unsur yang berjiwa nasionalis baik di lapisan sipil maupun militer. Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) ADA buku bagus yang sudah ada di rak koleksi buku saya sejak 10 tahun lalu, ditulis oleh Harry A Poeze berjudul: PKI SIBAR, Persekutuan Aneh antara Pemerintah Belanda dan Orang Komunis di Australia 1943-1945. Persekutuan aneh bermula ketika PKI gagal melancarkan pemberontakan terhadap Belanda pada 1926-1927, pemerintah kolonial Belanda mengirim ribuan anggotanya ke Tanah Merah, kamp tawanan yang keras dan terpencil di Nugini Selatan. Atau kelak lebih dikenal dengan Boven Digul. Pada saat Jepang masuk Indonesia dan menggantikan Belanda sebagai penjajah, arus balik terjadi. Belanda menyatakan perang terhadap Jepang. Maka para tawanan anggota PKI, bersama-sama para para tawanan politik lainnya yang juga tokoh pergerakan nasional baik dari para nasionalis radikal, para pemimpin Islam dan pengikut Tan Malaka, kemudian diungsikan ke Australia, atas desakan dari Van der Plas. Inilah awal persekutuan aneh orang-orang PKI dan Belanda. Maka orang-orang PKI yang ada dalam pembuangan di Australia, kemudian membentuk Serikat Indonesia Baroe (SIBAR) pada 1944. Tujuannya adalah menjadikan dirinya sebagai Partai Negara yang akan memimpin Indonesia setelah mengalahkan Jepang. Hanya saja setelah Jepang kalah pada Agustus 1945 dalam Perang Dunia II, maka persekutuan aneh Belanda-PKI SIBAR pun jadi tidak relevan lagi. Bahkan sejak Sukarno-Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, PKI SIBAR sontak hilang dari catatan dan ingatan sejarah. Kalau begitu, di mana aspek menarik dari buku karya sejarawan Belanda Harry A. Poeze itu? Menurut sang penulis yang juga banyak menulis riwayat hidup Datuk Ibrahim Tan Malaka, dia merasa tergugah menulis buku ini karena dua hal. Pertama, ini persekutuan aneh yang jarang-jarang terjadi, mengingat Belanda selalu dalam satu persekutuan strategis dengan Inggris, Amerika dan Prancis sejak pasca Napoleon Bonaparte. Kedua, persekutuan Belanda-PKI SIBAR menyingkap permainan intelijen Belanda untuk menyusun skema Indonesia pasca Perang Dunia II. Sehingga dalam konteks ini, gagasan Van der Plas yang terkenal misterius dan pemain kunci dalam komunitas intelijen Belanda pada masa kolonial, membangun persekutuan dengan PKI SIBAR, dimaksudkan untuk memplot PKI dalam operasi bendera palsu. Rencana Van der Plas memplot PKI SIBAR sebagai boneka Belanda meski tanpa harus disadari oleh kader-kader PKI itu sendiri, memang sangat mendukug. Mengingat beberapa kader kuncinya seperti Sardjono, Ketua de fakto PKI misalnya, sama sekali tidak tahu-menahu perkembangan yang terjadi dalam Perang Dunia II kala itu. Menarik mengutip laporan kawan Sardjono yang ada di Australia: “Sardjono dan para tahanan lain tidak tahu-menahu tentang Perang Dunia II. Mereka hanya tahu sedikit tentang serangan Jepang dan niatan mereka terhadap Hindia Belanda, Sardjono adalah satu-satunya pemimpin revolusioner di dunia yang tidak tahu bahwa Trotzky sudah meninggalkan Uni Soviet dan mati. Hitler telah menguasa Jerman, Italia menjajah Abyssinia, Spanyol mengalami perang saudara, Jepag menguasai sebagian China, dan Jerman menyerang Uni Soviet.” Meskipun Poeze dalam bukunya menilai laporan kawannya Sardjono ini dilebih-lebihkan, namun ada setitik kebenaran dalam pernyataan tersebut. Besar dugaan saya, kawannya Sardjono yang membuat laporan ini tergolong kategori kader ideologis dan lumayan berwawasan intelektual. Sehingga laporan tentang Sardjono ini menggambarkan betapa kudet-nya (kurang update) seorang kader PKI yang tergolong pemain kunci di partai. Kondisi macam ini sudah tentu sangat dikenali betul oleh Van der Plas. Van der Plas merupakan salah seorang pejabat pemerintahan kolonial Belanda yang punya sifat yang tidak biasa, misterius, namun sangat berpengetahuan luas mengenai orang-orang Indonesia baik ciri sosial maupun budayanya. Lebih dari itu, Van der Plas merupakan satu-satunya pejabat kolonial Belanda yang selain fasih bahasa Indonesia, juga mengenal secara pribadi sebagian besar kaum elit Indonesia. Sehingga Van der Plas dianggap merupakan otak di balik strategi cerdas Belanda terutama pada fase ketika Belanda membentuk pemerintahan pengasingan di Australia seturut masuknya Jepang di Indonesia pada 1942, hingga saat Jepang menyerah, maupun ketika Belanda mencoba kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara sekutu sebagai pemenang perang dunia II. Banyak kalangan yang meyakini Van der Plas telah membentuk jaringan intelijen di Indonesia pasca kemerdekaan, sehingga sempat muncul istilah Kader-Kader Van der Plas, untuk menggambarkan banyaknya orang-orang elit Indonesia yang sengaja disusupkan Belanda ke berbagai instansi-instansi pemerintaham, TNI, maupun partai-partai politik. Kalau melihat skema Van der Plas ini, usaha memplot PKI SIBAR masuk dalam orbit operasi intelijen Belanda, jadi sangat masuk akal. Apalagi dengan kualitas orang nomor satu PKI di pengasingan seperti Sardjono sebagaimana laporan tertulis kawannya yang di Australia tadi. Selain itu, tersirat lewat buku Poeze ini, tergambar betapa rapuhnya kader-kader PKI dalam kemampuan intelektual maupun penguasaan ideologinya. Sehingga tak heran begitu mudahnya masuk perangkap pengaruh Belanda. Dikiranya lewat kerjasama dengan Belanda untuk melawan fasisme Jepang di Asia dan fasisme Jerman di Eropa, PKI bisa bangkit dan berjaya kembali. Coba simak betapa naifnya para kader PKI SIBAR pimpinan Sardjomo ini. Dalam rencana dasar, tujuan SIBAR adalah berusaha bersama-sama pemerintah Belanda untuk mencapai kebebasan Indonesia dari tangan musuh. Kedua, menyediakan dasar Indonesia Baru yang demokratis. Lebih celaka lagi, PKI SIBAR secara gamblang berjanji tidak akan melanggar hukum Belanda dan pemerintah Australia. Dari klausul pendirian SIBAR ini saja, tersingkap betapa naif dan tidak imajinatifnya kader-kader komunis yang jadi eksil di Australia tersebut. Andaikan waktu itu Indonesia kembali dikuasai Belanda, maka klausul PKI itu berada dalam genggaman Belanda sepenuhnya. Atau lebih buruk lagi, orang-orang PKI SIBAR dengan senang hati bersedia jadi agen-agen proksi Belanda. Kenaifan komunis yang lain lagi adalah, Sardjono dalam salah satu artikelnya meyakini sepenuhnya Belanda siap melaksanakan demokrasi dan reformasi. Tentu saja pandangan Sardjono semacam itu ibarat mimpi di siang bolong. Mana mungkin negara penjajah untuk melestarikan jajahannya memberikan kebebasan dan demokrasi pada rakyat jajahannya? Namun justru kualitas semacam itu merupakan sasaran empuk dari aparat-aparat Netherlands Force4s Intellience Service/NEFIS Belanda, untuk menggarap jejaring intelijennya di Indonesia pasca kemerdekaan Indoesia. Sebab tren ke arah Indonesia merdeka, sudah disadari oleh orang jenius intelijen Belanda macam Van der Plas. Sebagaimana laporan yang disampaikan Layanan Keamanan Australia, pihak NEFIS menyadari bahwa Belanda sudah tidak mungkin lagi menjajah Indonesia secara langsung seperti dulu. Maka, harus berkompromi dengan bangsa Indonesia, dan menawarkan mereka peran yang lebih besar dalam skema Netherlands East Indies atau Hindia Belanda. Dengan kata lain, tersirat Belanda lewat orang-orang macam Van der Plas, bermaksud menyusun jejaring agen-agen proksi di semua sektor strategis baik pemerintahan maupun swasta. Baik di kalangan sipil maupun militer. Dalam konteks PKI SIBAR inilah, skenario Van der Plas menemukan salah satu mata-rantainya justru dari kalangan komunis. Seperti kesimpulan Van der Plas sendiri tentang kepribadian Sardjono, tokoh sentral PKI dalam pengasingan di Austrtralia: Sardjono pada dasarnya tipikal orang fanatik sekaligus pemimpi. Biasanya, seperti juga dengan tipikal yang sama di kalangan aktivis pergerakan Islam, fanatik sekaligus pemimpi/pengkhayal, sasaran empuk masuk perangkap Operasi Bendera Palsu (False Flag Operation). Kalau mencermati meletusnya pemberontakan Madiun September 1948 yang dipimpin Muso yang berakhir dengan tumpasnya gerakan tersebut, Sardjono dan beberapa eksponen SIBAR yang kemudian menjadi pengurus inti PKI di Indonesia pada 1946, bukan saja ikut terlibat aksi Madiun, bahkan kemudian dihukum mati sebagai pemberontak pada Desember 1948. Apakah pemberontakan Madiun September 1948 juga melibatkan operasi intelijen Belanda? Menarik untuk dikaji lebih dalam. Namun salah satu jejak keterlibatan Belanda bisa saja ada, mengingat fakta bahwa Hardjono, salah satu pentolan PKI yang satu haluan dengan Sardjono dan sama-sama ikut dihukum mati akibat aksi Madiun, ternyata pernah direkrut NEFIS sebagai karyawan di Holandia. Menghilangnya SIBAR dari peredaran, seturut kembalinya Sardjono, Hardjono Cs ke Indonesia pada 1946 dan mendirikan kembali PKI pada tahun yang sama, sepertinya skenario operasi intelijen Van der Plas sudah gagal total. Benarkah demikian? Tidak juga. Sebab setidaknya, Sardjono dan Hardjono, pemain kunci PKI sejak 1946, setahun setelah Indonesia merdeka, hingga hancurnya pemberontakan Madiun 1948, telah berhasil membersihkan unsur-unsur yang berpandangan nasionalis di dalam tubuh PKI Sibar. Sehingga sejak itu Sardjono Cs menjadi kekuatan fron komunis yang berhaluan internasional. Jangan-jangan SIBAR dari awal memang cuma diplot sebagai organ cangkang untuk menyusun jejaring Van der Plas yang bersih dari unsur-unsur yang berjiwa nasionalis baik di lapisan sipil maupun militer. Sementara Sardjono Cs yang didorong mendirikan PKI SIBAR mengira sedang membangun imperium politiknya sendiri. Padahal sejatinya menjadi alat tersembunyi Van der Plas dan NEFIS untuk menyusun barisannya sendiri untuk merongrong kedaulatan nasional Indonesia pasca Proklamasi 17 Agustus 1945. (*)
Logika Prof Romli Atmasasmita Bahaya: Kalau Anies dan Formula-E Dipidana, Maka Jokowi dan Banyak Kasus APBN juga Harus Dipidana
Maka itu, sangat bahaya sekali logika argumentasi Prof Romli, yang melihat permasalahan dengan sudut pandang sangat sempit, sehingga logika seperti itu bisa mempunyai dampak sangat buruk secara nasional. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) HUKUM dibuat dengan tujuan memberi keadilan bagi semua pihak. Yang salah dinyatakan salah, yang benar dinyatakan benar, menurut hukum atau undang-undang yang berlaku. Artinya, semua orang sama dihadapan hukum. Hukum berkaitan erat dengan logika, dan hukum dibangun berdasarkan alur pemikiran logika. Menurut logika argumentasi Prof Romli Atmasasmita, Guru Besar Universitas Padjadjaran, Anies terbukti bersalah dalam kasus Formula-E. Prof Romli yakin Anies telah melakukan tindak pidana. Pertama, sudah ada perbuatan (actus reus) melawan hukum, dan kedua sudah ada niat jahat (mens rea): https://www.republika.co.id/berita/rj8mgj409/penjelasan-prof-romli-soal-adanya-mens-rea-dalam-penyelenggaraan-formula-e Tulisan ini untuk mempertanyakan logika argumentasi Prof RomIi dan konsekuensinya terhadap sistem keuangan daerah (APBD) serta sistem keuangan negara (APBN). Ada tiga alasan utama Prof Romli menyatakan Anies bersalah dan melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan daerah dalam proyek Formula-E. Pertama, menurut Prof Romli, tidak ada pos anggaran untuk Formula-E di dalam APBD 2019, sehingga pelaksanaan proyek tanpa anggaran tersebut melanggar keuangan daerah (DKI). Kesalahan kedua, meskipun tidak ada anggaran, Anies memaksa menjalankan proyek Formula-E dengan memberi kuasa kepada Kadispora untuk melakukan pinjaman kepada Bank DKI. Kesalahan ketiga, perjanjian dengan Formula-E menggunakan business-to-government yang melanggar persetujuan Kemendagri, yang mengharuskan pendekatan business-to-business. Dari penjelasan Prof Romli, pelaksanaan proyek yang tidak ada pos anggarannya merupakan pokok tindak pidana yang merugikan keuangan daerah. Anggaran Formula-E memang tidak tercantum dalam APBD DKI 2019. Tetapi, ada di dalam APBD Perubahan (APBD-P) DKI 2019. Kalau memang benar anggaran Formula-E ada di dalam APBD-P 2019, maka argumentasi Prof Romli dengan sendirinya gugur? Artinya, Anies tidak melakukan tindak pidana. Bukankah begitu? Kemudian, seandainya benar, sekali lagi seandainya benar, tidak ada anggaran Formula-E di dalam APBD-P 2019, apakah ‘kesalahan’ ini merupakan tindak pidana? Pidana apa? Korupsi? Apakah ada kerugian keuangan DKI (negara)? Sedangkan menurut hasil audit BPK terhadap Formula-E yang dipublikasi 20 Juni 2022 menyatakan Formula-E Jakarta layak dilaksanakan: https://jakarta.bpk.go.id/hasil-audit-bpk-nyatakan-formula-e-jakarta-layak-dilaksanakan/. Artinya, tidak ada kerugian keuangan DKI (negara), tidak ada pidana, bukankah begitu? Selanjutnya, kita coba terapkan logika Prof Romli di tingkat pemerintah pusat, APBN. Berdasarkan audit BPK untuk semester pertama 2022 terungkap ada 9.158 temuan dengan 15.674 permasalahan senilai Rp18,37 triliun. BPK menyatakan secara jelas, ada 8.116 permasalahan karena akibat ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, dengan potensi kerugian negara Rp17,33 triliun. Ketidakpatuhan artinya sama dengan pelanggaran, bukankah begitu? Sebagian besar potensi kerugian negara tersebut terkait potensi pelanggaran pemberian insentif dan fasilitas perpajakan program PC-PEN (Penanganan Covid – Pemulihan Ekonomi Nasional), meliputi berbagai pelanggaran dari yang tidak berhak menerima hingga tidak valid. Mengikuti logika argumentasi Prof Romli, audit BPK tersebut menunjukkan pertama, sudah ada perbuatan (melawan hukum) atau actus reus, karena potensi kerugian negara sudah terjadi, dan sudah dihitung BPK, dan kedua juga sudah ada niat jahat atau mens rea, karena insentif diberikan kepada pihak yang tidak berhak dan tidak valid. Dengan demikian, menurut Prof Romli, penanggung jawab APBN terbukti sudah melakukan tindak pidana korupsi, dengan potensi kerugian Rp18,37 triliun, seperti logika argumentasi yang disangkakan kepada Anies Baswedan terkait Formula-E, meskipun, dalam hal APBD DKI, tidak jelas tindak pidana apa, karena tidak ada potensi kerugian negara (DKI)? Kalau logika argumentasi Prof Romli yang dikenakan kepada Anies juga dikenakan pada pengelolaan keuangan negara, APBN, dengan prinsip kesetaraan hukum dan keadilan, maka logika argumentasi Prof Romli mengatakan Presiden Jokowi, sebagai penanggung jawab APBN, telah melakukan tidak pidana korupsi? Apakah demikian? Maka itu, sangat bahaya sekali logika argumentasi Prof Romli, yang melihat permasalahan dengan sudut pandang sangat sempit, sehingga logika seperti itu bisa mempunyai dampak sangat buruk secara nasional. Terakhir, proyek Formula-E, seperti proyek-proyek lainnya, harus dilihat dari dua sisi. Yaitu pelaksanaan (pembangunan) proyek dan operasional. Kalau pelaksanaan pembangunan proyek tidak mempunyai masalah keuangan, artinya bisa dipertanggungjawabkan, maka sudah sepantasnya menyatakan proyek Formula-E tidak bermasalah. Hasil operasional proyek (Formula-E), misalnya rugi, tidak pernah bisa menjadi kerugian keuangan negara, sepanjang tidak ada korupsi. Kalau kerugian pengelolaan Formula-E dianggap sebagai kerugian negara, dan tindak pidana, maka ini bisa menjadi malapetaka bagi pengelolaan keuangan pemerintah (daerah maupun pusat). Bayangkan, berapa banyak proyek nasional yang rugi, antara lain proyek-proyek jalan tol yang sekarang harus dijual oleh BUMN-BUMN Karya, atau proyek LRT Palembang, atau bahkan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung yang pastinya juga akan rugi? Apakah semua ini akan menjadi kerugian negara dan menjadi delik pidana Kalau logika argumentasi hukum hanya didasari rasa kebencian, pada akhirnya bisa berbalik kembali kepada tuannya, seperti bumerang. Kalau tuannya tidak pandai menangkap bumerang yang kembali tersebut, bisa-bisa leher yang terpotong. (*)
Politik Transit Anies
Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI SECARA empiris, karir politik Anies sejauh ini kental dipengaruhi oleh momentum. Tentu saja kekuatan ideologi dan irisan politik lainnya tetap menjadi dominan. Selain kekuatan partai politik dan kooptasi oligarki, faktor behavior Anies dan emosi publik memberi peran signifikan. Termasuk ketentuan takdir Tuhan yang tak bisa dinafikan. Akankah Anies mulus melewati transisi politik kekuasaan dari gubernur ke presiden? Perjalanan karir politik Anies tak selalu memberi ruang yang dominan pada kalkulasi normatif dan formalis. Sebagai pemimpin yang cukup berpengalaman dalam memangku kepentingan publik, Anies tak selalu mengandalkan mekanisme struktural dan birokratis. Pencapaian jabatan pemerintahan strategis, seperti memberi penegasan kepemimpinan Anies menjulang karena beberapa faktor antara lain struktur sosial, momentum dan intuisi politik yang dimilikinya. Tidak seperti kebanyakan tokoh dan pejabat lainnya yang terikat oleh bakunya mekanisme demokrasi, dominasi partai politik, dan sistem kapitalistik yang menyelimutinya. Anies bertumbuh dan menguat figurnya, sangat dipengaruhi oleh faktor kepribadian dan kemampuannya menyelami psikologi massa dan menyerap aspirasi rakyat. Tak sekedar memiliki cukup bekal pada aspek behavior, Anies seiring waktu menyajikan gaya kepemimpinan yang terpikul dan dipikul natur. Anies masih kuat menjunjung tradisi sembari menopang kemajuan peradaban. Menilik refleksi kiprahnya dalam mengelola Jakarta, Anies mampu mengelaborasi antara kebutuhan kultural dan tuntutan modernitas. Sinergi memajukan kotanya dan membahagiakan warganya, terlihat dari sentuhan tangan dingin Anies yang menghasilkan prestasi, penghargaan dan tingginya tingkat kepuasan publik. Anies menjadi salah satu prototipe pemimpin yang fokus, terukur dan implementatif terhadap amanah yang diembannya. Tak cukup kejujuran, kecerdasan dan kesantunan, keunggulan Anies membuncah dengan kemampuan menyelesaikan masalah dan kepemimpinan yang visioner. Ditengah krisis kepemimpinan dan krisis multidimensi yang menyelimuti negara bangsa ini, Anies terus mengambil posisioning seorang figur pemimpin yang berkarakter dan berintegiritas yang sulit dijumpai dalam satu dekade ini. Jauh dari modus pencitraan, pemimpin boneka dan rendah kualitasnya, apalagi sampai menipu, menghianati rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Kemampuan Anies dalam memenej konflik, terlihat selaras dengan kematangan intelektual, emosional dan spiritualnya. Sebagai pemimpin yang tak pernah surut diterpa badai isu, intrik dan fitnah, terutama framing pada politik identitas dan pelbagai stereotif primordialisme dan sektarianisme. Anies berhasil melewati semua ganjalan dan sandungan politik itu secara elegan dan bermartabat. Kelihaian Anies menggunakan komunikasi massa secara lintas sektoral, terutama kepada rakyat, partai politik dan korporasi decara maksimal. Menempatkan Anies sebagai figur potensial pemimpin masa depan yang mendapat dukungan luas. Termasuk bagaimana cara Anies yang humanies dan beretika menghadapi upaya penjegalan dan pembunuhan karakter yang menyerangnya selama ini. Bahkan Anies tetap tenang, memiliki kesabaran tinggi dan sangat rasional saat tendensi politisasi dan kriminalisasi yang gencar membidiknya. Dalam soal persfektif kebangsaan yang menyangkut aspek historis dan ideoligis, sesungguhnya secara nilai Anies telah melampau tolok ukur itu dan tak perlu diragukan lagi. Anies membangun sekaligus mewarisi spirit nasionalisme dan patriotisme baik dari keluarga maupun rekam jejak yang diukirnya sendiri. Proses dan capaian yang dimiliki baik dalam birokrasi dan dunia akademisi, telah mematangkan Anies dalam pergaulan dan eksistensi politik kontemporer Indonesia. Dengan purna baktinya sebagai gubernur Jakarta, Anies tak ubahnya telah siap menapaki jalan estafet kepemimpinan nasional. Dinamika, resonansi dan polarisasi politik yang telah dilaluinya, menjadikan Anies sebagai pemimpin yang berbasis dukungan dan dicintai rakyat. Entitas politik dan aliran ideologi yang menghidupi proses penyelenggaraan negara dan kehidupan kebangsaan, menjadi bekal sekaligus perjalanan transisi kepemimpinan Anies berikutnya. Tak terhindarkan kontestasi pencapresannya dalam menyongsong pilpres 2024. Kejelian Anies untuk membangun keseimbangan pendulum ideologi kebangsaan menjadi triger dari transisi karir politik Anies. Anies sepertinya harus siap memasuki gelombang besar serta berselancar apik dengan langgam ideologi kanan, kiri dan tengah yang menyejarah dan fundamental. Bukan sekedar harmoni, Anies juga dituntut piawai mengadopsi kepentingan global dan korelasinya dengan kepentingan nasional. Geliat umat Islam bersama entitas politik lainnya di tengah himpitan mainstream kapitalisme dan komunisme internasional. Menjadi tantangan tersendiri dan memaksa Anies memiliki kecakapan sebagai negarawan dan pemimpin dunia, lebih dari sebatas seorang presiden. Mengutip pemikiran Bung Karno tentang revolusi Indonesia dan konsep Trisakti, Anies bersama umat Islam dan seluruh rakyat Indonesia tak akan punya pilihan lain selain mengambil transisi kepemimpinan nasional dalam momentum pilpres 2024. Jika ingin melakukan perubahan mendasar pada republik yang lebih baik lagi atau tidak sama sekali. Kondisi subyektif dan obyektif yang didukung oleh karakteristik pemimpin yang nasionalis religius dan religius nasionalis. Anies dengan kompetensi qua intelektual dan qua ideologisnya, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, tampaknya tak bisa menghindari daulat rakyat menampuk mandat presiden. Sebuah langkah politik transit yang dimaknai sebagai perkawinan ikhtiar Anies dengan takdir Tuhan. (*)
Bola Panas BBM: Tunggu Sidang Rakyat!
Jika tidak diredam dengan menarik ulang kebijakan kenaikan harga BBM, implikasinya bisa mengganggu stabilitas nasional. Sesuatu yang tidak bisa dicegah karena menyangkut hak asasi rakyat. Oleh: Tamsil Linrung, Wakil Ketua MPR Terpilih/Anggota DPD RI KENAIKAN harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dipaksakan saat situasi ekonomi rakyat paceklik, lagi-lagi membuktikan betapa lemahnya kapasitas pemerintah mengelola keuangan negara. Pemerintah tidak memiliki komitmen keberpihakan kepada rakyat. APBN superjumbo yang terus bertambah saban tahun, tak diimbangi dengan kemampuan mendistribusikan kesejahteraan. Menaikkan harga BBM dengan alasan membenani APBN jelas merupakan argumen fatal. Padahal, rakyat yang menggunakan BBM tersebut terbukti berkontribusi memompa denyut ekonomi dalam skala yang masif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan 52,9% pertumbuhan ekonomi bersumber dari konsumsi rumah tangga. Termasuk terdorong oleh kelompok masyarakat menengah bawah. Maka keputusan mengerek harga bensin dipastikan berefek ganda. Inflasi gila-gilaan di depan mata. Kenaikan harga BBM sudah disahuti dengan kenaikan biaya logistik, ongkos transportasi, hingga kenaikan harga sembako. Ujungnya bisa ditebak. Angka kemiskinan yang meroket sulit dihindari. Kita bertanya-tanya, dicampakkan kemana ideologi ekonomi Pancasila yang jelas-jelas memerintahkan agar mengarus-utamakan kepentingan rakyat di atas agenda-agenda politik temporer? Kenaikan harga BBM adalah potret ideologi yang salah arah. Diperparah lagi pada saat yang sama, alokasi anggaran digelontorkan untuk proyek-proyek yang punya potensi mangkrak dan bermasalah. Seperti kereta cepat Jakarta-Bandung dan Ibu Kota Negara. Seperti biasa, setiap kali ada kebijakan yang menuai penolakan rakyat, aneka argumen selalu dilontarkan pemerintah. Dijadikan narasi pembenar menopang kenaikan harga BBM. Lantas, buzzer, pengamat dan juga media didikte untuk menguatkan narasi itu. Namun, apapun argumentasinya, sepanjang kenaikan BBM tidak dibarengi pembukaan lapangan kerja memadai, sepanjang itu pula akan berdampak serius. Kenaikan BBM tidak sebatas harga yang melonjak, tetapi tentang kesejahteraan atau daya beli masyarakat. Artinya, ini bukan hanya perkara BBM semata. Ini tentang ketahanan ekonomi rakyat melawan serangan melambungnya harga-harga kebutuhan. Pada tahun ini saja, sebelum BBM naik, nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), harga elpiji dan tarif listrik non subsidi telah mendahului. Itu belum termasuk geliat harga minyak goreng akibat ulah oligarki ekonomi. Kondisi itu pura-pura tidak disadari oleh pemerintah. Bahkan, Presiden Joko Widodo dengan enteng membandingkan harga BBM Indonesia dengan Jerman, Singapura dan Thailand, tanpa membandingkan daya beli masyarakatnya. Sekali lagi, problem kenaikan BBM ada pada kesejahteraan dan daya beli dari masyarakat. Alih-alih mengatasi sumber persoalan, Pemerintah mengucurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) seperti yang sudah-sudah. Padahal, BLT yang diambil dari duit subsidi BBM itu tidak menjamin naiknya daya beli mereka. Terlebih lagi, karena sulit menentukan imbas inflasi sebagai efek multiplier kenaikan BBM terhadap produk lainnya. Kalau pemerintah serius mencari solusi, sebenarnya banyak jalan yang bisa diterabas. Misalnya, hentikan saja mega proyek Ibu Kota Baru berbiaya superjumbo nan ambisius itu. Juga stop proyek-proyek yang berpotensi merugikan negera seperti Kereta Cepat Jakarta Bandung. Hapus gaji pensiun pejabat negara, termasuk anggota parlemen. Bersamaan dengan itu, harus ada upaya membuat keseimbangan primer hingga nol yang secara otomatis berimplikasi pada pengurangan utang luar negeri. Setiap tahun pemerintah dipaksa menyisihkan Rp805 triliun duit APBN untuk membayar utang. Rinciannya, Rp400 triliun untuk membayar cicilan dan Rp405 triliun untuk membayar bunga. Utang inilah yang nyata-nyata membebani APBN, bukan subsidi yang nota bene adalah hak rakyat dan memjadi kewajiban konstitusional yang negara harus tunaikan, bukan pula duit pensiun Pegawai Negeri Sipil. Gigihnya pemerintah menambah utang dan mempertahankan proyek-proyek kontroversial menunjukkan ketidak-berpihakannya kepada rakyat. Apalagi, dengan narasi Subsidi sebagai beban APBN dan seolah olah menjadi beban negara. Sinyalemen itu muncul dari sanggahan sejumlah pengamat terhadap harga keekonomian BBM yang dinilai terlalu tinggi. Juga muncul dari para ekonom yang menyatakan, nilai subsidi BBM Rp502 triliun sebagaimana dinyatakan Jokowi adalah tidak benar. Nilai itu adalah akumulasi beberapa subsidi energi. Bukan subsidi BBM saja. Atas sanggahan itu, ada kecendrungan rakyatlah yang dipaksa memeras keringat membayar gunungan utang itu. Caranya, ya dengan menaikkan harga agar diperoleh margin lebih besar. Sementara itu, duit utang yang sebagian dipakai membangun infrastruktur, nyatanya ada yang tidak tepat sasaran, ada pula yang berpotensi merugi. Dan kita tidak pernah menagih tanggungjawabnya. Bagi masyarakat, matematika di atas mungkin terlalu rumit. Urusan mereka sederhana, yakni bagaimana agar dapur tetap mengepul sehingga aktivitas bisa berjalan normal. Kalau urusan perut ini terganggu, arahnya tentu bisa kemana-mana. Apalagi eskalasi gelombang demonstrasi terus membesar. Di daerah, pengadangan truk-truk tangki BBM dan penutupan jalan telah dilakukan mahasiswa. Demikian pula aksi mogok yang dilakukan oleh kelompok-kelompok buruh. Jika tidak diredam dengan menarik ulang kebijakan kenaikan harga BBM, implikasinya bisa mengganggu stabilitas nasional. Sesuatu yang tidak bisa dicegah karena menyangkut hak asasi rakyat. Kini bola panas di tangan Presiden. Apakah membiarkan bara penolakan itu terus membesar, atau menerima tuntutan rakyat dan mahasiswa menurunkan kembali harga BBM? Kita tunggu “Sidang Rakyat” pada Kamis, 20 Oktober 2022, pekan depan. (*)
Skenario (Bilamana Terjadi) Revolusi
Sebab, tidak bisa dibantah bahwa di antara triumvirat itu Prabowo-lah yang paling senior. Dan, karena keseniorannya itulah, rasanya tidak mungkin Tito maupun Retno mau atau berani melangkahi Prabowo. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) MANUVER Partai NasDem yang declare Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal Calon Presiden, yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan Anies dengan Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) telah membuat PDIP “kalang-kabut”. Akhirnya, Presiden Joko Widodo yang terkesan “berseberangan” dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri terkait dukungannya kepada Ganjar Pranowo, bertemu Megawati di Istana Batu Tulis, Bogor, Sabtu, 8 Oktober 2022. Jokowi menjelaskan, pertemuan dengan megawati bertujuan untuk menjaga stabilitas politik karena situasi ekonomi global yang sedang tidak jelas. “Yang tidak pasti, yang sulit ditebak, sulit diprediksi, sulit dihitung, sulit dikalkulasikan,” kata Jokowi usai pelantikan Gubernur DIY dan kepala LKPP di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 10 oktober 2024. Sehingga, kata Jokowi, stabilitas politik dan keamanan itu menjadi sangat penting saat ini. “Jangan sampai kita mau menjelang pemilu, padahal ada persoalan besar dalam ekonomi global, terganggu ekonomi kita. Itu yang kami enggak kehendaki,” ujar Presiden Jokowi. Tak hanya dengan Megawati saja, Jokowi menyebut isu ini juga dibahas dalam pertemuan dengan Ketua Umum partai politik lainnya. “Sehingga saya intens berbicara dengan ketua-ketua partai untuk itu, termasuk juga untuk 2024 lah, kami enggak mungkin tutupi itu,” kata dia. Jokowi membantah bahwa pertemuan tersebut bagian dari lobi Megawati agar Jokowi mendukung Ketua DPR Puan Maharani untuk menjadi calon presiden 2024. “Tanya Bu Mega, wong kandidatnya belum diputuskan,” kata dia. Rasanya sangat tidak mungkin jika dalam pertemuan Jokowi-Megawati di Istana Batu Tulis itu tanpa pembicaraan soal “nasib” Puan Maharani yang harus “bersaing” di internal PDIP dengan Ganjar Pranowo. Apalagi, fakta hasil beberapa lembaga survei selalu “mengunggulkan” Ganjar ketimbang Puan. Jika PDIP memaksakan Puan sebagai bakal Capres PDIP, ini jelas akan membuat Ganjar kecewa berat. Dan, petinggi PDIP sendiri juga tahu bahwa nama Puan “tidak laku” dijual di masyarakat. Sehingga, bukan tidak mungkin pada akhirnya, diambil jalan tengah. Bisa saja Jokowi-Megawati mengambil kesepakatan Batu Tulis II antara Jokowi bersama Megawati untuk mengusung paslon Ganjar Pranowo-Puan Maharani sebagai bakal Capres-Cawapres 2024. Seolah mengulang “sejarah”, pada 2014 Megawati akhirnya mengalah kepada Jokowi yang saat itu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, menerima tugas sebagai bakal Capres PDIP pada 2014. Sekjend DPP PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, pertemuan antara Megawati dan Jokowi itu memang direncanakan secara periodik dan sering dilakukan di Istana Merdeka, Istana Bogor, maupun di Batu Tulis. Alasan dipilihnya Batu Tulis sebagai lokasi pertemuan, menurut Hasto, daerah tersebut memiliki alasan historis. Dia menceritakan lokasi itu sebagai tempat saat megawati mempersiapkan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jadi, itu suatu tempat yang secara historis kepemimpinan Pak Jokowi juga sangat kuat. Suasana kebatinan (yang sangat kuat) itulah yang mengambil pembahasan fundamental bangsa dan negara,” katanya. Sedangkan mengenai pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dari PDIP, Hasto mengatakan itu menjadi kewenangan Megawati. Menurut Hasto para kader tetap disiplin menunggu arahan Megawati. Hasto juga menegaskan pdi perjuangan tidak ingin terburu-buru menetapkan dan mendeklarasikan bakal capres demi pengaruh ekor jas atau coattail effect, yakni merujuk pada hasil yang diraih dengan melibatkan tokoh penting atau tokoh tersohor. Pernyataan Hasto itu sepertinya menyindir NasDem yang secara terburu-buru deklarasi pencalonan Anies Baswedan sebagai bakal Capres 2024. Tapi, yang jelas, deklarasi itu setidaknya telah membuat PDIP panik. Ketum NasDem Surya Paloh tampaknya ingin mengulang sukses Pilkada Jawa Barat 2017 yang saat itu mendeklarasikan Ridwan Kamil sebagai bakal Cagub Jabar 2017. Inilah yang ketika itu membuat PDIP merasa “tidak nyaman” atas manuver Surya Paloh itu. Karena, konon, PDIP juga “mengincar” RK. Beragam manuver pun kemudian ditempuh PDIP, termasuk bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Batu Tulis itu. Setidaknya, tempat pertemuan itu bisa mengingatkan Jokowi bahwa PDIP-lah yang berjasa atas sukses Jokowi meraih jabatan Gubernur DKI Jakarta dan Presiden RI pada Pilpres 2014. Puan Maharani sendiri juga telah bertemu dengan Ketum Golkar Airlangga Hartarto, menyusul dukungan terbuka tokoh senior Golkar Akbar Tanjung terhadap Anies Baswedan. Satu-satunya halangan yang kini tengah dihadapi Anies adalah manuver Firli Bahuri, Ketua KPK, yang ngotot ingin memproses hukum Anies terkait dengan penyelenggaraan balapan Formula E di Jakarta. Skenario yang konon dirancang Presiden Jokowi hanya akan ada dua paslon, menambah panik PDIP maupun Jokowi sendiri. Apalagi, ada pernyataan Anies akan dipenjara. Info yang diterima Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono itu dapat dipastikan akurat sekali. Saya yakin, SBY punya “mata dan telinga” yang bisa melihat dan mendengar ucapan Presiden Jokowi itu. Sekelas SBY tidak mungkin berani bilang seperti itu jika mata dan telinganya tidak menjangkau “mulut” Jokowi. Perlu diingat, baik SBY maupun Surya Paloh itu pernah sama-sama di Golkar. Mereka pasti akan saling membantu jika pada akhirnya mereka satu gerbong dalam Pilpres 2024 nanti. Revolusi Semesta Skenario “copras-capres” di atas bisa terjadi bila kondisi politik nasional dalam keadaan normal hingga menjelang Pilpres 2024 nanti. Tapi, jika melihat sikon politik akhir-akhir ini dengan maraknya demo anti kenaikan harga BBM yang semakin massif, peta politiknya tentu bakal berubah total.Apalagi, suara desakan agar Jokowi mundur dari jabatan Presiden juga marak saat demo BBM, karena dianggap membuat rakyat semakin susah. Ekonomi pun memburuk. Hutang sudah mencapai angka Rp 7.000-an triliun. Rakyat dicekik dengan beragam “pajak”. Selain BBM, listrik juga naik. Mahasiswa sendiri berencana akan melakukan “Sidang Rakyat” pada Kamis, 20 Oktober 2022. Yang diadili nanti adalah Presiden Jokowi. Bisa disebut, ini sebagai puncak aksi mahasiswa dan rakyat Indonesia yang mengkritisi pada kebijakan Presiden Jokowi yang tidak “pro rakyat”. Jika Kamis pekan depan benar-benar terjadi “revolusi semesta” yang diikuti oleh mahasiswa, buruh, emak-emak, dan elemen masyarakat lainnya, dapat diprediksi Presiden Jokowi bakal “tergusur” dari jabatan Presiden. Kalau sudah begitu keadaannya, maka Wakil Presiden RI, KH Ma\'ruf Amin akan naik pangkat menjadi Presiden RI ke-8. Namun, akan menjadi berbeda halnya jika hasil \"Sidang Rakyat\" itu juga menyeret sang Wapres sebagai pihak yang ikut diturunkan. Ketika hal itu terjadi, maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku universal, kursi kepemimpinan nasional ada di tangan Triumvirat: Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Luar Negeri. Artinya, Prabowo Subianto, Tito Karnavian, dan Retno Marsudi akan menjadi pimpinan nasional sementara dengan tugas utama menyelenggarakan pemilu dalam jangka waktu tertentu, lebih-kurang 6 bulan. Dan, jika memang itu yang terjadi, mimpi Prabowo sebagai \"Presiden RI\" bisa terwujud, meski hanya sementara. Pertanyaannya mengapa? Sebab, tidak bisa dibantah bahwa di antara triumvirat itu Prabowo-lah yang paling senior. Dan, karena keseniorannya itulah, rasanya tidak mungkin Tito maupun Retno mau atau berani melangkahi Prabowo. Di sinilah kepemimpinan Prabowo akan benar-benar diuji. Apakah memang Prabowo sebagai pemimpin eksekutif nasional yang bisa membawa Indonesia kembali menuju pada demokratisasi sesuai amanat konstitusi, atau malah memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi? (*)
PLN Berada di Garis Depan Memandu Yang Lain Mencapai Net Zero Emission
Terserah Indonesia, kalau mau mempersiapkan diri, kemungkinan masih ada Opportunity dalam 2 isu ini. Indonesia adalah climate super power. Indonesia adalah metaverse alam nyata. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) TIDAK lama lagi, kurang lebih 10 tahun lagi tidak ada yang bisa menghindar dari isu emisi karbon yang telah diletakkan secara internasional sebagai masalah paling besar umat manusia sekarang ini. Industri migas, Pembuang kitan listrik, Ekstraktif industri, manufacturing, industri keuangan, perbankan, jasa-jasa, konsumen akhir, semua tidak lagi dapat menghindar dari semua denda yang akan dibebankan terhadap semua emisi karbon yang dihasilkan. PT PLN sebagai perusahaan BUMN ketenagalistrikan mengambil tempat paling depan untuk memimpin segenap sektor yang lain. Mengapa? Karena di masa depan semua harus elektifikasi, semua harus menuju ke listrik, tidak ada lagi motor bakar yang dapat bertahan dari denda emisi, mesin mesin industri akan berganti dengan mesin listrik, alat alat transportasi akan berpindah ke listrik, seluruhnya sampai dengan kapal kapal tengker pengangkut BBM. Tampaknya mau tidak mau, suka tidak suka nantinya PLN akan memimpin. Melaksanakan seluruh proses transisi energi pada semua lini, mulai dari bahan bakar primer, pembangkit listrik, jaringan, hingga usaha meningkatkan kesadaran konsumen, semua memang harus dikerjakan oleh PLN. Roadmap atau peta jalan transisi energi yang telah ditetapkan PLN setahun yang lalu tentu tidak mudah untuk dijalankan. Hambatan dan rintangan akan datang baik dari aspek politik, ekonomi, hingga masalah sosial budaya, semua memang menjadi beban tugas berat PLN untuk menyelesaikannya. Setiap kebijakan yang akan diambil PLN terkait dengan pelaksana roadmap tersebut sudah pasti banyak yang tidak senang. Karena bisnisnya terganggu. Namun, masalah transisi energi telah menjadi faktor kunci bagi ketahanan nasional. Dunia telah memutuskannya. Penataan keuangan global yang baru telah mengambil isue transisi energi dan digitalisasasi sebagai pintu faktor kunci membangun tatanan keuangan baru. Terserah Indonesia, kalau mau mempersiapkan diri, kemungkinan masih ada Opportunity dalam 2 isu ini. Indonesia adalah climate super power. Indonesia adalah metaverse alam nyata. Bukan perubahan besar kalau tanpa resiko. Semua hanya dapat diwujudkan dengan direction yang kuat. Tahun depan 2023 diramalkan resesi melanda dunia, krisis energi, krisis keuangan, akan mendera dalam waktu bersamaan. Transisi energi adalah salah satu strategi mempersiapkan Ketahanan Nasional menyongsong perubahan yang kadang menyakitkan hati. (*)
Bendera Palsu Demokrasi dan Riba
Tanpa kekuatan ekonomi, umnat tidak mungkin bisa membangun kekuatan politik. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @ Rosyid College of Arts DI tengah skandal Ferdy Sambo yang belum jelas akhirnya, kita dikejutkan dengan kekisruhan stadion Kanjuruhan yang telah menewaskan 131 korban meninggal, serta ratusan lainnya luka dan sakit akibat terinjak-injak sesama penonton, dan hipoksia serta gas air mata yang dilontarkan aparat keamanan. Di tengah suasana berkabung nasional itu, perhatian kita segera tersedot pada deklarasi bacapres Anies Baswedan oleh Parpol Nasdem. Dikabarkan bahwa deklarasi ini merupakan upaya pemimpin Nasdem Surya Paloh untuk melindungi Anies dari ancaman penangkapan Anies oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan Formula-E. Sementara itu sekelompok ummat Islam yang merindu tokoh nasional untuk memperbaiki nasib mereka dari intimidasi islamophobik rezim ini sedang kesengsem berat oleh sosok Anies Baswedan. Berpuluh kelompok sukarelawan dan penggemar Anies bermunculan untuk mendukungnya maju sebagai bacapres idaman mereka dalam Pilpres 2024. Menilik rekam jejaknya, serta hasil polling elektabilitas para bacapres selama beberapa bulan terakhir, Anies muncul sebagai tokoh bacapres yang sangat populer mengungguli Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto dan beberapa tokoh lainnya. Penting dicermati sinyalemen Mulyadi Tadampali dari FISIP UI bahwa sejak UUD 1945 diganti UUD 2002, adopsi ekonomi yang makin liberal kapitalistik membuat demokrasi Indonesia makin dikuasai oleh para bandit politik yang didukung logistiknya oleh para bandar politik, sementara hampir seluruh perangkat polhukam diawaki oleh para badut politik di DPR, MK, KPK dan KPU. Aparat keamanan semakin menjadi alat kekuasaan yang makin brutal dan mematikan bukan bagi penjahat tapi bagi rakyat sipil biasa yang seharusnya justru dilindungi dan diayomi. Hukum makin tajam ke bawah, namun makin tumpul ke atas menghadapi para bandit, bandar dan badut politik itu. Gaduh politik itu telah berhasil mengalihkan perhatian dan energi kita pada ancaman yang secara senyap senantiasa merongrong Republik ini yaitu ekonomi kapitalisme yang bertumpu pada ekonomi ribawi, yaitu ekonomi yang mengandalkan transaksi-transaksi pemerolehan laba secara tidak adil dan penuh tipu daya. Riba bukan cuma soal bunga pinjaman, namun juga penggunaan luas uang kertas atau fiat money yang tidak memiliki nilai intrinsik apapun. Pelarangan penggunaan dinar emas ataupun dirham perak dalam konstitusi IMF yang disepakati dalam pertemuan Bretton Woods pada 1944 telah mendorong banyak negara yang baru merdeka sejak PD II untuk mencetak uang kertas mereka masing-masing, lalu dipaksa menerima USDollar sebagai alat tukar dalam perdagangan antar-negara. Kemudian, sebagai negara pemenang perang, melalui keputusan Presiden Nixon, AS pada 1971 secara sepihak melepaskan USDollar dari basis emas sehingga AS boleh mencetak USD out of thin air. Demikian itulah full fledged capitalism merampok kekayaan ummat manusia bagi segelintir elit ekonomi di planet ini. Begitulah kapitalisme Barat telah menjadi instrumen penjajahan dan dominasi baru oleh Barat terhadap negara-negara yang baru merdeka itu. Baru dalam beberapa tahun terakhir ini saja, baik China maupun Rusia mulai melawan dominasi US Dollar dengan Yuan dan Rubel dalam perdagangan dunia ini. Keruntuhan USSR pada awal 1990an telah didaku (claimed) sebagai penanda kemenangan kapitalisme melawan komunisme. Oleh Francis Fukuyama ini disebut sebagai The End of History and the Last Man (1992). Namun dunia yang sejak itu makin didominasi kapitalisme berkali-kali mengalami krisis serta peperangan, sementara ketimpangan serta kemiskinan tetap persisten berkepajangan. Konflik Rusia vs Ukraina, dan AS vs China yang terjadi saat ini adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa kapitalisme telah gagal membuktikan janji-janjinya tentang kemakmuran dan keadilan bagi semua. Fareed Zakarya telah meramalkan akhir dari kejayaan AS dalam the Post-American World (2008). Ini dikonfirmasi kemudian oleh Emanual Macron sesaat setelah kemenangannya dalam Pilpres Perancis 2022 bahwa Barat telah kehilangan imajinasi politiknya. Ketergantungan Eropa kepada AS dengan memusuhi Rusia tetangga dekatnya sendiri adalah geostrategic blunder. Kini Eropa kelimpungan dihantam krisis energi dan pangan yang serius akibat penghentian pasokan gas Rusia dan gandum Ukraina. Setelah pandemi Covid-19 usai, Dunia kini memasuki krisis eksistensial yang lebih besar akibat keruntuhan lingkungan, ancaman perang nuklir, dan resesi besar ekonomi global. Sementara itu ummat Islam Indonesia sendiri masih saja ikut tergoda untuk mempertaruhkan nasibnya pada Pilpres 2024 dengan satu kepercayaan bahwa dengan kemenangan politik (berkuasa), ummat Islam boleh berjaya secara ekonomi. Sejak pemisahan Bank Indonesia dari Pemerintah RI meniru the Fed terpisah dari US Government, fakta sejarah menunjukkan bahwa ritual politik yang disebut Pemilu adalah sebuah operasi bendera palsu sekaligus instrumen legitimasi untuk mempertahankan ekonomi ribawi yang dikuasai para bandar politik yang secara ajeg menggerogoti kekuatan ekonomi ummat dan memperjongoskannya. Tanpa kekuatan ekonomi, umnat tidak mungkin bisa membangun kekuatan politik. Menolak riba dengan meninggalkannya adalah aksi politik yang akan menusuk jantung kekuatan oligarki domestik dan global yang tiada henti mencengkram Republik lontong sayur ini. Gunung Anyar, 11 Oktober 2022. (*)
Pancasila dan Politik Berkeadaban
Doa Muslim pada shalat tahajud, “Tuhanku, masukkanlah aku ke jalan masuk yang benar, dan keluarkanlah aku dari jalan keluar yang benar, dan berilah aku dari pihak-Mu kekuasaan yang menolongku.” (QS 17:79-80) Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta PANCASILA adalah pandangan hidup bangsa dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bangsa Indonesia menghayati dan meyakini bahwa kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, melalui perjuangan yang penuh pengorbanan pikiran, jiwa, dan raga, serta nyawa. Dalam perjalanannya Pancasila mengalami pengayaan redaksional dan semantik hingga menjadi rumusan final pada Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Para pendiri bangsa mampu menyelami pandangan masyarakat Nusantara masa lalu dan membangun tatanan baru untuk Indonesia modern. Pancasila pemersatu bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Pancasila menyerap, menerima, dan menumbuhkan segala budaya, serta ideologi positif yang dapat berkembang berkelanjutan. Nusantara menjadi pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya yang mengembangkan berbagai corak kebudayaan. Pancasila merupakan satu kesatuan dari lima sila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila memberi kekuatan hidup bangsa dan membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir dan batin dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Pancasila penuntun sikap dan tingkah laku setiap manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila cerminan suara hati nurani manusia Indonesia yang menggelorakan semangat dan harapan akan hari depan yang lebih baik. Kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan hidup, baik dalam kehidupan sebagai pribadi, masyarakat, maupun bangsa. Pancasila menempatkan manusia pada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dengan kesadaran untuk mengembangkan kodratnya sebagai makhluk pribadi maupun sosial. Kemajuan seseorang ditentukan oleh kemauan dan kemampuannya dalam mengendalikan diri dan kepentingannya dalam rangka melaksanakan kewajiban sebagai warga masyarakat dan negara. Dengan sila pertama manusia Indonesia menyatakan percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sila pertama menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk Indonesia untuk memeluk agama dan beridabah menurut ajaran agamanya. Manusia Indonesia saling menghormati dan bekerja sama membina kerukunan hidup sesama umat beragama. Kebebasan beragama diakui sebagai salah satu hak paling asasi di antara hak-hak asasi manusia. Dengan sila kedua, manusia Indonesia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Sama hak, derajat, dan kewajibannya, tanpa pembeda-bedaan suku, keturunan, agama, jenis kelamin, serta kedudukan sosial, dan sebagainya. Sila kedua menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan mendorong kegiatan kemanusiaan, membela kebenaran, dan keadilan, serta mengembangkan sikap saling menghormati, dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan sila ketiga manusia Indonesia menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan bangsa, dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Persatuan dikembangkan atas dasar kebinekaan, dan kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Dengan sila keempat manusia Indonesia sebagai warga masyarakat dan negara mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Keputusan menyangkut kepentingan bersama dilakukan dengan musyawarah dan mufakat menggunakan akal sehat, sesuai dengan hati nurani yang luhur, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan, serta mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. Permusyawaratan dalam demokrasi didasarkan atas asas raionalitas dan keadilan, bukan subjektivitas ideologis dan kepentingan, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, berorientasi jauh ke depan, melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak yang dapat menangkal dikte minoritas elit penguasa dan klaim mayoritas. Praktik Pemilihan Presiden secara langsung oleh semua warga negara Republik Indonesia dengan prinsip one man one vote (satu orang satu suara) tidak sejalan dengan sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dengan sila kelima manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang lain. Pancasila merupakan satu kesatuan utuh yang terpadu dan tak boleh dipisahkan yang satu dari yang lain. Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian seterusnya. Sebagai dasar negara Pancasila niscaya menjadi landasan Undang-Undang Dasar dan Undang-undangan lain serta peraturan-peraturan turunannya. Segala Undang-Undang dan peraturan yang tidak sejalan dengan Pancasila, sejak hari proklamasi, Jumat 17 Agustus 1945 hingga hari ini, harus ditinjau ulang, diperbaiki, dan/atau dibatalkan. Politik adalah usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik yang akan hidup bahagia, karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi. Politik mengandung unsur interaksi antara pemerintah dengan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik adalah usaha untuk menentuan peraturan-peraturan yang dapat diterima dengan baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan umum menyangkut peraturan dan alokasi sumber daya alam, perlu dimiliki kekuasaan dan wewenang, guna membina kerja sama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Kegiatan politik menyangkut cara bagaimana kelompok mencapai keputusan kolektif dan mengikat melalui pendamaian perbedaan-perbedaan di antara anggotanya. Kegiatan politik suatu bangsa bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya yang tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama. Politik dalam bentuk paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang berkeadilan. Persepsi adil itu dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi dan zaman yang bersangkutan. Politik dalam bentuk paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan sendiri. Politik adalah perebutan kuasa, tahta, dan harta. Pengelolaan kebinekaan merupakan aspek penting dalam kehidupan berbangsa untuk mewujudkan kohesivitas sosial yang akan membuat penduduk lintas agama dan lintas etnis nyaman. Setiap warga negara harus mempercayai sesama warga dan pemerintah untuk merancang dan menerapkan kebijakan yang bermanfaat secara inklusif. Politik identitas merupakan penjabaran dari identitas politik yang dianut oleh warga negara berkaitan dengan arah politik yang kerap dikerucutkan menjadi dua kelompok, yaitu nasionalis dan agamis. Antara nasionalisme dan agama sesungguhnya tidak bisa dibenturkan. Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama, dan keduanya saling menguatkan. Konsep politik Islam termuat dalam kosakata kunci mulk, imam, khalifah, ulul amri, dan sulthan dalam Al-Quran. Allah swt Pemilik kekuasaan. Dia berikan kekuasaan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan sekaligus mencabutnya dari siapa saja yang dikehendaki-Nya. Boleh jadi kekuasaan itu memuliakan seseorang, dan bisa jadi menghinakannya. Kebaikan adalah sejalan dengan kehendak Allah swt, dan kejahatan berarti pengingkaran terhadap kehendak-Nya. Terang dan gelap secara simbolis berarti ilmu dan kebodohan, kesenangan dan kesedihan, kesadaran rohani dan kebutaan rohani. Takdir dan kehendak Allah swt juga berlaku seperti dalam dunia lahir. Di tangan-Nya segala kesempurnaan. (QS 3:26-27). Dalam pengertian rohani “kalimat” bermakna kehendak, keputusan, atau rencana Allah swt. Dalam segala hal Nabi Ibrahim saw memenuhi kehendak Allah swt. Ia membangun tempat suci Ka’bah, dan menyerahkan segala keinginan kepada kehendak-Nya. Maka Allah swt menjanjikan kepemimpinan dunia. Nabi Ibrahim pun bermohon untuk keturunannya juga, tetapi janji Allah swt tidak akan sampai kepada orang-orang yang terbukti berdusta. (QS 2:124) Khalifah yang sempurna ialah yang mempunyai kemampuan inisiatif sendiri, tetapi kebebasan kehendaknya memantulkan adanya kehendak penciptanya. Kekuasaan Nabi Daud sebagai raja, dan bakat kearifan, keadilan, serta kerasulannya dianugerahkan Allah swt kepadanya sebagai amanat. Bakat-bakat besar yang diberikan ini, yang diberikan kepada siapa saja, tentu bukan untuk dibangga-banggakan. (QS 38:26). Ulul amri ialah pihak yang memegang kekuasaan atau bertanggung jawab yang dapat mengambil keputusan –mereka yang menangani berbagai macam persoalan. Sungguhpun begitu, keputusan terakhir di tangan Tuhan. Dari Dialah para nabi mendapat wewenang. Oleh karena itu di dalam Islam tidak ada pemisahan secara tajam antara soal-soal yang sakral dan sekular. Adanya suatu pemerintah biasa diharapkan berjalan di atas kebenaran, dan dapat bertindak sebagai pemimpin yang saleh, benar, dan bersih pula. Kita harus menghormati dan mematuhi pemegang kekuasaan yang demikian. (QS 4:59). Doa Muslim pada shalat tahajud, “Tuhanku, masukkanlah aku ke jalan masuk yang benar, dan keluarkanlah aku dari jalan keluar yang benar, dan berilah aku dari pihak-Mu kekuasaan yang menolongku.” (QS 17:79-80) Masuk dan keluar mengandung berlapis makna. Pertama, secara umum, masuk dan keluar dalam segala tingkat kehidupan. Kedua, masuk dalam kematian, dan keluar pada waktu kebangkitan. Ketiga, bagi Nabi Muhammad saw, memasuki kehidupan baru di Medinah yang masih merupakan peristiwa-peristiwa masa depan, dan keluar dari kehidupan di kota Mekah yang penuh dengan segala penindasan, di samping lingkungan yang penuh kebohongan. Keempat, dihubungkan dengan hijrah yang akan terjadi, “Biarlah itu timbul dari niat karena kebenaran dan kehormatan rohani belaka, dan bukan dari niat karena rasa dendam terhadap kota Mekah atau para penindasnya, atau karena ambisi pribadi maupun kekuasaan duniawi dari kota Medinah, yang dalam segalanya sudah siap berada di bawah telapak kaki Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda, “Setiap kamu adalah seorang pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya…” Sumpah Presiden Republik Indonesia “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.” (*)