OPINI
Akhirnya Semesta Mendukung
Jadilah ia sosok negarawan yang kokoh. Tentu saja, ketokohannya tidak tak tergantikan. Ialah \"habib\" yang jelas habib, bukan, gelar, bukan turunan dan bukan Arab sebagaimana habib pada umumnya. Oleh: Dr. Yudhie Haryono, Direktur Nusantara Center SAYA memanggilnya ustad. Dan, harta termulia satu-satunya adalah ilmu dan akhlaknya. Masa kerjanya tidak bertepi. Masa normalnya tidak berkesudahan. Masa perjuangannya tidak tak terhentikan. Masa pikiran dan tesis-tesisnya terus bermutu dan muncul dalam detak peradaban yang tak beku, tak jemu, tetapi dirindu. Bekalnya dua: iman pada ilmu serta iman pada waktu. Dengan dua bekal itulah, ia menempatkan derajatnya di antara derajat kemanusiaan yang makin rusak akhir-akhir ini. Ia jenis sintesa ke-Indonesia-an: beriman, berilmu dan berakhlak. Tulisannya tersebar dengan semangat yang sosialis dan Pancasilais. Dunia mengenalnya dengan nama Habib Chirzin. Seorang ulama, ilmuwan, rokhaniawan sekaligus pejuang perdamaian yang gigih. Hampir dua puluh tahun saya mengenalnya, membaca tulisannya, mengunjunginya, dan juga mempraktekkan hipotesa-hipotesanya yang ceria. Salute. Sepuluh tahun terakhir, ia terus kampanye mengarus-utamakan keamanan manusia. Mungkin karena manusia makin tak aman. Mungkin juga karena manusia makin greedy dan homo homini lupus. Di kita, mungkin karena SDM (selamatkan diri masing-masing), makin individualis bin selfis. Di kawasan Asia, gagasan dan praktik pengarus-utamaan dilakukan dalam rangka merealiassikan keamanan yang selaras dengan nilai-nilai Asia. Dalam konteks Indonesia, hal tersebut dilakukan untuk menggali nilai-nilai luhur bangsa dalam mengembangkan dan menerapkan keamanan manusia di Indonesia. Jihad dan ijtihadnya dalam urusan perdamaian di dunia internasional tidak bisa sangkal lagi. Tercatat lebih dari 90 kali, ustad Habib menyampaikan presentasi makalah dalam seminar, workshop dan konferensi internasional. Terjun dalam urusan perdamaian internasional telah dilakoninya sejak 4 dekade silam. Oleh karena kerja kerasnya, beliau dianugerahi Doktor HC dari UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Menurutnya, jika dulu dalam menciptakan perdamaian ada adagium si vis pacem para bellu, sekarang adagiumnya berubah menjadi si vis pacem para pacem (jika engkau ingin damai, siaplah untuk damai). Tetapi, dalam konteks inilah, diskursus dan kemajemukan serta posisi Indonesia sangat diakronik. Kedamaian kita memiliki pondasi yang sangat kokoh karena syorga agama dan pancasila, tetapi bangunannya rapuh dan dirapuhkan penduduknya. Atas alasan itulah, ia kerja dan kerja serta kerja tak lelah-lelah. Sebab, pembangunan (apapun) memperoleh partisipasinya, jika dihayati dan dinikmati oleh umat beragama sebagai bagian penyelamat, ibadah, dan upaya mensejahterakan umatnya. Tanpa penghayatan itu, rumah bersama ini roboh disapu arus fundamentalisme, feodalisme, radikalisme dan terorisme. Ya. Tentu. Ia manusia jenius sekaligus \"crank\" karena berorganisasi secara Muhammadiyah tetapi berkhidmat pada Nahdlatul Ulama, tetapi bertradisi Pancasila karena induk madzabnya hibridasi. Jadilah ia sosok negarawan yang kokoh. Tentu saja, ketokohannya tidak tak tergantikan. Ialah \"habib\" yang jelas habib, bukan, gelar, bukan turunan dan bukan Arab sebagaimana habib pada umumnya. Bopo guru, selamat. Mari kita masuki dunia ini lebih khidmat. Dengan energi dan semangat dahsyat. Sampai kiyamat. Salam kangen. Rujak ala Magelang sudah lama tak tersaji. Buku guyon ala Gusdur sudah lama tak tercetak. Dari kota Depok, doa dan sayang kami tak sudah-sudah. (*)
Satgas Polri VS Civil Society
Oleh Farid Gaban - Jurnalis Senior DALAM beberapa hari ini terungkap bahwa Satgas Khusus Polri yang dipimpin Fredy Sambo dipakai pula untuk membungkam oposisi dan mengkriminalisasi demonstran serta aktivis. Satgas itu dibentuk oleh Tito Karnavian, kini Menteri Dalam Negeri. Tito adalah mantan Kapolri yang naik daun secara politik berkat sukses membasmi terorisme (war on terror). Lebih setahun lalu saya telah menulis tentang bagaimana isu terorisme (war on terror) sangat rawan dipakai tidak hanya untuk menangkapi orang Islam, tapi juga para aktivis sekuler (HAM dan lingkungan). Perluasan cakupan Satgas Polri sangat mudah terjadi karena kita (publik) cenderung permisif, bahkan memberi \"blanko kosong\" kepada polisi dan badan intelijen negara. Tanpa kritisisme, kerja \"perang melawan teror\" mudah tergelincir disalahgunakan. \"War on terror\" di Indonesia sudah 20 tahun lebih, operasi anti-teror terlama di dunia di luar wilayah konflik. Alih-alih menagih tanggungjawab polisi, Densus, BNPT dan badan intelijen, kaum intelektual, akademisi serta jurnalis cenderung percaya begitu saja cerita polisi dan intel. Memberi blanko kosong kepada polisi dan intel punya konsekuensi luas bagi demokrasi kita dan bagi civil society keseluruhan (tak hanya bagi umat Islam yang selalu dijadikan sasaran kecurigaan). Pada 2003, Human Rights Watch membuat laporan yang menyimpulkan bahwa \"war on terror\" dimanfaatkan oleh para despot dan diktator sebagai dalih untuk mempersempit kebebasan sipil, memberangus oposisi dan meredam protes. Lewat \"perang melawan teror\", kekuasaan polisi dan aparat intel makin kuat. Tak hanya anggaran makin besar, tapi juga kekuasaannya, yang jarang dipertanyakan. Kita tidak peka lagi terhadap standar normal kehidupan bernegara. Kita cenderung membiarkan polisi melenggang begitu saja meski telah membunuh 100 lebih terduga teroris tanpa proses hukum (extra-judicial killing). Kita tidak peka lagi ketika kekuasaan polisi/intel dipakai untuk memberangus demonstrasi damai. Kita menutup mata bahwa polisi menangkap 5.000 demonstran dalam dua gelombang besar demonstrasi: anti-korupsi dan anti-Omnibus Law dua tahun terakhir. Kekuasaan besar polisi dan aparat intel akan cenderung mengarah pada pendekatan keamanan dan negara-polisi (police state). Memberi impunitas kepada aparat dan mendorong satu warga memata-matai warga lain. Dan itu tak hanya merugikan aktivisme Islam. Kekuasaan polisi dan aparat intel dipakai juga untuk meredam demonstrasi tanpa motif agama, aspirasi politik lokal seperti Papua, aktivisme sosial melawan penggusuran dan aktivis pembela lingkungan. Lebih segalanya, blanko kosong kekuasaan besar polisi dan aparat intel akan memperkuat posisi kaum oligark, melindungi perselingkuhan politisi dan bisnis yang makin korup dan menindas. (*)
Peluang Anies Berat Sekali
Dengan sikon politik di China, tentu saja potensi terjadinya revolusi rakyat di Indonesia jelas semakin terbuka. China yang selama ini dianggap menyokong Presiden Jokowi dan Oligarki, akan lebih fokus pada persoalan di China. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) FAKTANYA Anies Rasyid Baswedan belakangan ini memang salah satu nama yang diunggulkan menjelang kontestasi Pilpres 2024 nanti. Setidaknya, bagi Partai Keadilan Sosial (PKS) nama Anies sudah patent menjadi Bakal Calon Presiden yang akan diajukan sebagai Capres 2024. Apalagi, kabarnya, di hadapan Habib Rizieq Shibab, para Habaib dan Ulama di Petamburan, Anies sudah mendapat “restu” mereka. Ditandai dengan cipika-cipiki di depan HRS. Kelihatannya RI-1 nanti adalah Anies. Siapa Cawapres, semua calon partai koalisi sepakat agar Anies yang pilih sendiri. Karena duet mendatang harus “para jagoan”. Itu kalau nasionalis dan ingin memperbaiki NKRI yang sudah rusak berat di semua sistem pemerintahan. Konon, Surya Paloh dan PKS sudah setuju. Tinggal SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang masih perlu bargaining ketat. SBY tentu saja ingin Ketum DPP Partai Demokrat yang juga putranya, Agus Harimurty Yudhoyono (AHY) yang tampil sebagai Cawapres Anies Baswedan. Apakah NasDem dan PKS menyetujuinya? Belum tentu. Karena mereka juga punya calon yang ingin diajukan sebagai pendamping Anies. NasDem mengusulkan Khofifah Indarparawansa (Gubernur Jawa Timur) atau Andika Perkasa (Panglima TNI) untuk dampingi Anies. PKS menawarkan nama Hidayat Nurwahid, Iwan Prayitno dan Ahmad Heriawan untuk mendampingi Anies Baswedan pada Pilpres 2024 mendatang. Yang dikhawatirkan adalah jika NasDem tiba-tiba menarik diri dari koalisi PD dan PKS. Dapat dipastikan, peluang Anies untuk ikut kontestasi Pilpres 2024 bakal gagal. Sebab, dua partai ini belum penuhi syarat Presidential Threshold 20 persen, sehingga tidak bisa mengajukan Capres-Cawapres 2024. Perlu diingat, Surya Paloh itu hingga kini masih kolega James Riady, salah seorang yang disebut-sebut sebagai Oligarki. Dapat dipastikan, Paloh akan lebih turutin kemauan James Riady daripada konstituen NasDem sendiri. Di sinilah posisi “rawan Anies Baswedan. Apalagi, hingga detik ini pun NasDem masih belum secara tegas untuk declare Anies sebagai Capres 2024 NasDem. Meski dalam mendapat suara terbanyak saat Rakernas NadDem, namun Palon masih juga menawarkan nama Ganjar Pranowo dan Andika Perkasa yang berada dua urutan di bawah Anies. Bukan tidak mungkin NasDem menarik diri dari PKS dan PD kemudian bikin koalisi baru dengan parpol lainnya, seperti Golkar, PPP dan PAN maupun PKB jika Muhaimin Iskandar tidak dijadikan Cawapresnya Prabowo Subianto. Yang kita tahu, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Golkar, PPP dan PAN itu ada di bawah kendali Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Marinves yang sangat dipercaya Presiden Joko Widodo. Apalagi, kabarnya, Luhut itu menjadi “komandan” lapangan oligarki. Sementara, parpol sendiri masih butuh dana untuk membiayai parpol, salah satunya bersumber dari oligarki yang punya duit tidak berseri. Dan, mereka siap menggelontorkan dana puluhan, bahkan, ratusan triliun rupiah untuk memuluskan kepentingan mereka. Jika ini yang terjadi, dengan bergabungnya NasDem bersama KIB bukan tidak mungkin NasDem akan mengusung Ganjar Pranowo yang terdepak dari PDIP untuk diajukan sebagai Capres NasDem plus KIB. Mereka tinggal menentukan siapa yang bakal dijadikan Cawapresnya Ganjar nanti. Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Khofifah Indar Parawansa, atau ada tokoh lainnya di luar itu semua. Bisa jadi, justru yang bakal dipilih adalah Khofifah yang kini menjabat Gubernur Jawa Timur. Apalagi, saat Yudisium Universitas Airlangga, Ganjar dan Khofifah tampak hadir di sana. Peluang Ganjar untuk tetap bersama PDIP dan diajukan sebagai Capres atau Cawapres PDIP sangatlah tipis. Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri lebih memilih putrinya sendiri, Puan Maharani, ketimbang Ganjar Pranowo sebagai Capres 2024, meski elektabilitas Puan jauh di bawah Ganjar. Jelas sekali, PDIP tak mau mengulang untuk ketiga kalinya “kesalahan” dalam menentukan Capres PDIP, seperti pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu yang pilih Joko Widodo sebagai Capres PDIP, sehingga trah Soekarno nyaris hilang tidak berbekas. Karena, itulah Puan dipaksakan untuk maju Capres 2024. Bagaimana dengan Ketum Gerindra Prabowo Subianto? Tampaknya Prabowo sudah enjoy dengan Muhaimin Iskandar. Makanya dalam acara yang digelar PKB baru-baru ini, mantan Danjen Kopassus itu menyatakan sikap hormat kepada Ketum PKB ini dengan mengangkat tangan kanannya. Koalisi Gerindra dengan PKB ini sudah bisa maju sebagai pasangan Capres-Cawapres 2024: Prabowo Subianto – Muhaimin Iskandar. Muhaimin sendiri tampaknya juga sangat enjoy digandeng oleh Prabowo. Jika seperti narasi di atas yang terjadi, maka peluang Anies Baswedan untuk maju Pilpres 2024 semakin tipis. Satu-satunya peluang yang sangat mungkin adalah seperti “tawaran” politisi senior Golkar Jusuf Kalla untuk dijodohkan dengan Puan Maharani sebagai Capres PDIP. Mengingat selama ini peta politik Indonesia itu selalu mencari “jalan tengah”, maka bukan tidak mungkin niatan JK ini bisa terwujud: Anies Baswedan – Puan Maharani. Tujuannya jelas, solusi untuk mengatasi keterbelahan rakyat selama ini harus dengan cara “menikahkan” Anies dengan Puan. Apalagi, untuk mengajukan pasangan Capres-Cawapres, tanpa koalisi dengan parpol lain pun PDIP sudah bisa mengajukan sendiri. Cuma, yang perlu Anies ingat yaitu, pengalaman Presiden Abdurrahman Wahid yang akhirnya lengser dan digantikan oleh Megawati yang saat itu menjabat Wapres. Jangan sampai Anies hanya dijadikan Puan untuk meraih suara umat Islam saja, untuk kemudian didepak setelah berhasil jabat Wapres. Itu akibat dari politik jalan tengah tadi. Gus Dur dengan “poros tengah” ala Amien Rais, saat itu Ketua MPR, akhirnya dia juga yang lengserin Gus Dur. Skenario Revolusi Skenario “copras-capres” di atas bisa terjadi bila kondisi politik nasional dalam keadaan normal hingga menjelang Pilpres 2024 nanti. Tapi, jika melihat sikon politik akhir-akhir ini dengan maraknya demo anti kenaikan harga BBM yang semakin massif, peta politiknya tentu bakal berubah total. Apalagi, suara desakan agar Jokowi mundur dari jabatan Presiden juga marak saat demo BBM, karena dianggap membuat rakyat semakin susah. Ekonomi pun memburuk. Hutang sudah mencapai angka Rp 7.000-an triliun. Rakyat dicekik dengan beragam “pajak”. Selain BBM, listrik juga naik. Kebijakan Presiden Jokowi yang dinilai paling fatal adalah Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Pemerintah mengaku hal ini sebagai langkah terobosan pemerintah mempercepat pemenuhan hak-hak korban dengan penyelesaian non-yudisial. Mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban. Perjuangan PKI supaya Pemerintah minta maaf dan meminta kompensasi ganti rugi serta agar PKI tetap eksis dan bisa kembali hidup di Indonesia terus bergerak, tetap harus diwaspadai. Saat Megawati menjabat sebagai Presiden RI, PDIP juga berupaya mencabut TAP MPRS No. XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan larangan terhadap ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme di Indonesia. Pada saat itu massa umat Islam bergerak melakukan aksi penolakan terhadap wacana tersebut. RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) bermasalah sejak awal. Salah satu alasannya, itu karena tidak memasukkan ketentuan hukum yang langsung terkait dengan penyelamatan ideologi Pancasila. Yaitu Ketetapan (TAP) MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang menyatakan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai terlarang, termasuk pelarangan setiap kegiatan menyebarkan atau mengembangkan ideologi atau ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme. Alasan menempuh mekanisme non-yudisial lebih memungkinkan terwujudnya hak-hak korban, seperti hak untuk mengetahui kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan hak atas kepuasan. Apapun alasannya Keppres tersebut memuat misteri politik tersembunyi yang harus diwaspadai, sangat mungkin hanya dijadikan jalan pintas untuk seolah dianggap menuntaskan pelanggaran HAM berat, bahkan ada agenda politik lain yang mendesak harus diambil. Melacak rekam jejak digital tentang polah tingkah PKI selama ini bisa menjadi Keppres 17 Tahun 2022 ini sebagai pintu masuk Pemerintah akan minta maaf kepada PKI, kemudian hak-hak Komunisme dipulihkan lagi, dan PKI sebagai institusi dihidupkan, direhabilitasi dan negara harus memberikan ganti rugi kepada pihak-pihak yang merasa menjadi korban. Keluarnya Keppres 17 Tahun 2022 tersebut bisa memicu kemarahan rakyat (dan TNI tentunya) yang jelas-jelas juga sudah menjadi korban G-30-S/PKI 1965. Keppres 17 Tahun 2022 adalah bukti adanya pelanggaran konstitusi yang dilakukan Presiden Jokowi, atas TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Potensi untuk terjadinya People Power atau Revolusi Rakyat sangatlah besar. Jika kondisinya seperti itu, maka atas nama Undang-Undang, TNI bisa saja mengambil-alih kekuasaan. Karena negara dalam keadaan darurat atau genting. Kalau sudah demikian keadaannya, peluang Anies Baswedan semakin tipis dan bisa hilang untuk menjadi Presiden, karena Pilpres 2024 tidak ada lagi. Paling banter, Anies hanya bisa menjadi Wapres yang ditunjuk “Presiden Darurat”. Itupun juga harus atas desakan rakyat. Situasi politik di China yang kabarnya Xi Jinping sudah dicopot dari jabatan sebagai Sekjen PKC. Yang mencopot itu PKC. Militer China itu di bawah Sekjen PKC. Jadi, ini bukan kudeta militer. Dengan sikon politik di China, tentu saja potensi terjadinya revolusi rakyat di Indonesia jelas semakin terbuka. China yang selama ini dianggap menyokong Presiden Jokowi dan Oligarki, akan lebih fokus pada persoalan di China. Sekarang ini tinggal kembali ke rakyat dan TNI. Apakah ingin perubahan atau tetap dengan kondisi seperti sekarang ini, semakin semrawut. (*)
Deklarasikan Anies, Tiga Partai Akan Dapat Coattail Effect
Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa KONSOLIDASI Nasdem, PKS dan Demokrat semakin dekat ke titik temu. Hanya tinggal selangkah lagi. Pembicaraan fokus ke siapa yang akan dampingi Anies. Demokrat ingin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi cawapres Anies. Jika ini disetujui, deklarasi akan segera dilakukan. Nasdem mengusulkan Khofifah Indraparawansa, (Gubernur Jawa Timur) atau Andika Perkasa (Panglima TNI) untuk dampingi Anies. PKS menawarkan nama Hidayat Nurwahid, Iwan Prayitno dan Ahmad Heriawan untuk dipertimbangkan mendampingi Anies Baswedan di pilpres 2024. Ada sejumlah pihak yang mengusulkan agar Anies didampingi oleh Muhaimin Iskandar, Yeni Wahid atau Mahfudz MD. Nama Soetrino Bachir juga masuk di radar cawapres Anies. Secara prinsip, tiga partai ini sudah punya capres definitif yaitu Anies Baswedan. Sepakat dan kompak. Hanya perlu ijtihad terkait cawapres. Mana yang lebih berpeluang menang dan diterima oleh tiga parpol pengusung. Hanya itu saja. Keputusan tentang siapa yang akan jadi pendamping Anies nampaknya akan menenrukan kapan Anies dideklarasikan oleh tiga parpol tersebut. Jumlah parpol pengusung Anies akan bertambah jika Ganjar Pranowo tidak berani nyapres di luar tiket PDIP. Ganjar adalah calon yang nampaknya didukung oleh istana. Sejumlah partai koalisi pemerintah, terutama yang tergabung dalam Koalisi Indenesia Bersatu (KIB) didorong untuk mendukung Ganjar. Ini sekaligus ancaman bagi PDIP. Sudah lama istana dan PDIP punya pilihan politik yang tidak hanya berbeda, tapi berseberangan. PDIP calonkan Puan, sedang istana dukung Ganjar. Kenapa PDIP tidak calonkan Ganjar, padahal elektabilitasnya berada di atas Puan? Karena Ganjar menjadi ancaman trah Soekarno (Puan) untuk memimpin PDIP kedepan. Ganjar berkuasa, hampir pasti PDIP diambil alih. Puan tidak sekuat Megawati, pendiri PDIP. Puan harus ambil dulu PDIP, perkuat posisinya, konsolidasikan semua simpul partai, baru bisa kendalikan kader lain. Jika tidak, PDIP bisa lepas dari trah Soekarno. Jika Ganjar tidak nyapres, maka besar kemungkinan PAN dan PPP akan ikut merapat ke Anies. Alasannya? Pertama, para pemilih dua partai Islam ini mayoritas pendukung Anies. Bisa jeblok elektoralnya jika dua partai ini tidak mengusung Anies. Kedua, bagi kedua partai Islam ini, hambatan untuk mengusung Anies tidak ada lagi jika Ganjar tidak nyapres. Karena istana nyaris tidak punya calon kuat. Ketiga, peluang Anies menang sangat besar. Jika Ganjar tidak nyapres, pilihan rasional bagi Jokowi adalah mendukung Anies. Kepada Anies, Jokowi masih bisa bicara setara. Beda dengan Megawati, Jokowi adalah petugas partai. Tidak setara, tapi superior-inverior, karena ada posisi atas-bawah di struktur partai. Meskipun posisi netral tetap menjadi pilihan terbaik dan yang paling ideal buat presiden. Bagi parpol pengusung Anies, ada keuntungan elektoral. Anies sedang beranjak popularitas dan elektabilitasnya. Partai yang mengusung Anies akan mendapat efek elektoral. Ini keniscayaan politik. Para pendukung Anies akan memilih parpol yang memberi tiket ke Anies. Terutama pemilih militan Anies hampir pasti akan meninggalkan parpol yang tidak mengusung Anies. Ada sejumlah anggota DPR dan DPRD akhir-akhir ini telah meninggalkan parpol lamanya dan bergabung ke Nasdem. Satu alasan yang paling kuat: karena Nasden sejak deklarasikan Anies, makin diminati oleh para pemilih Anies. Nyaleg via Nasdem saat ini dianggap lebih menjanjikan. Pemilih muslim hampir pasti banyak yang tinggalkan partai-partai Islam dan pilih Nasdem jika partai-partai Islam tersebut tidak mengusung Anies di pilpres 2024. Ini bagian dari dinamika politik yang wajar dan bisa dijelaskan secara ilmiah. Jika setelah Anies tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI tanggal 16 oktober 2022, lalu tiga partai segera deklarasikan Anies beserta pasangannya, maka ada beberapa keuntungan. Pertama, elektoral parpol pengusung Anies diprediksi naik. Kedua, koalisi ini akan semakin kokoh dan tidak mudah digoyang. Ketiga partai ini akan bisa bahu membahu hadapi setiap serangan dan segala upaya penjegalan dari pihak lain. Ketiga, punya waktu kampanya cukup panjang. Keempat, akan menjadi daya tarik parpol lain untuk ikut bergabung. Terutama PPP, PAN dan Golkar. Purwokerto, 25 September 2022
Dewan Jenderal dan Dewan Kopral
Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan DEWAN Jenderal adalah fitnah PKI kepada TNI untuk membenarkan percobaan kudeta yang diawali penculikan para Jenderal. Dilaporkan kepada Presiden Soekarno bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta kontra revolusioner pada hari Angkatan Bersenjata tangga 5 Oktober 1965. Kini dalam konteks yang berbeda muncul istilah Dewan Kolonel yang dimaksudkan pada dukungan kader PDIP khususnya anggota DPR Fraksi PDIP untuk mengusung Puan Maharani sebagai Calon Presiden dari PDIP. Entah apakah terinspirasi dari Dewan Jenderal atau tidak, tetapi penamaan Dewan Kolonel menjadi menarik. Polarisasi dukungan kader PDIP antara kandidat Puan Maharani dan Ganjar Pranowo telah membangun reaksi berupa Dewan Kopral untuk dukungan pada Ganjar Pranowo. Dewan Kolonel versus Dewan Kopral menjadi fenomena politik unik di internal PDIP. Hanya catatan pentingnya adalah bahwa Calon Presiden PDIP nantinya ditentukan oleh Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri sang \"Jenderal\". Dewan Jenderal itu tentu PKI sentris, Dewan Kolonel adalah dukungan elit partai, kelas menengah dan atas. Fraksi di DPR. Dewan Kopral mengesankan pada dukungan arus bawah. Mungkin kelompok non mainstream di PDIP dan lingkungan sekitarnya. Dewan Kolonel digagas Johan Budi dikomandani Bambang Wuryanto dan Utut Adianto. Ada juga nama Trimedya Panjaitan. Sementara Dewan Kopral adalah pendukung Ganjar termasuk GP Mania. Menurut tokohnya Immanuel Ebenezer Dewan Kopral adalah \"prajurit\" masyarakat kebanyakan baik mahasiswa, buruh, tani, guru pendukung Ganjar Pranowo. Membangun citra komunitas yang tidak elitis. Sekeras apapun konflik tetapi penamaan Dewan Kolonel dan Dewan Kopral menyinggung TNI dan hal itu dinilai tidak etis. Sebaiknya diubah penamaan pada yang lebih pada orientasi dukungan politik seperti Puan Mania atau Ganjarist atau lainnya. Lucu-lucuan juga boleh. Ingatan publik dibawa ke arah peristiwa bulan September, bulan hitam di tahun 1965. Peristiwa menghalalkan segala cara, PKI memfitnah TNI dan memusuhi agama. Berlindung pada ideologi Pancasila untuk menggantikan ideologi Pancasila. Menjadikan Dewan Jenderal sebagai batu loncatan. Gotong royong kamuflase atas prinsip sama rata sama rasa. Indonesia sebagai proxi China. Adakah Soekarno terpengaruh oleh bisikan PKI soal Dewan Jenderal ? Pengetahuan soal G 30 S PKI sebagaimana ucapan Ratna Sari Dewi di Wisma Yoso menjadi indikasi. Aneh Soekarno masih membela PKI setelah peristiwa pembunuhan para Jenderal 30 September 1965. Pada tanggal 6 September 1966 di depan delegasi Angkatan 1945, Soekarno menolak pemberantasan Komunis. PKI memang licik dan gemar adu domba. Dulu PKI, kini PKI tanpa bentuk. Bandung, 25 September 2022
Pencabutan Subsidi BBM dan Pupusnya Amanat Penderitaan Rakyat
Tidak ada jalan lain bagi rakyat Indonesia selain melawan terhadap kebijakan yang bertentangan dengan Amanat Penderitaan Rakyat. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila DIGANTINYA UUD 1945 dengan UUD 2002 ternyata bukan hanya mengganti sistem berbangsa dan bernegara. Juga, mengganti Visi dan Misi dengan Visi Misi Presiden, Visi Misi Gubernur, Visi Misi Bupati dan Walikota, tetapi juga mengganti tujuan masyarakat adil dan makmur. Banyak yang tidak tahu kalau negara sudah tidak bertujuan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jadi, jangan heran kalau negara dikelola seperti perusahaan, yang penting untung. Apalagi, dengan naiknya harga BBM dan mulai merangkaknya beban kebutuhan hidup dianggap oleh penguasa itu biasa saja bagian dari resiko yang harus diterima rakyat. Elit politik dan penguasa hari ini tidak mengerti apa itu Amanat Penderitaan Rakyat. Jadi mereka tidak peduli dengan amanat penderitaan rakyat ya sebab tidak belajar dari sejarah dan ajaran Soekarno. PDIP yang mengaku Soekarnois tak lebih hanya mengkultuskan Soekarno saja tetapi membuang ajaran Soekarno. Jika mereka mengerti amanat penderitaan rakyat maka tak akan mendukung kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Percuma, patung Bung Karno dibuat di mana-mana tetapi hanya sekedar patung karena ajarannya dibuang. Cuplikan pidato Soekarno. Amanat Presiden Soekarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1963 di Jakarta: .... ”Saya berdiri di sini sebagai warganegara Indonesia, sebagai patriot Indonesia, sebagai alat Revolusi Indonesia, sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, – sebagai Pengemban Utama daripada Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia. Kita semua yang berdiri dan duduk di sini harus merasakan diri kita sebagai pengemban Amanat Penderitaan Rakyat! Saya bertanya, sudahkah engkau semua, hai saudara-saudara! Engkau … engkau … engkau … engkau, sudahkah engkau semua benar-benar mengerti dirimu sebagai Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat, benar-benar menyadari dirimu sebagai pengemban Amanat Penderitaan Rakyat, benar-benar menginsyafi dirimu sebagai Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat, benar-benar merasakan dirimu, sampai ke tulang-tulang-sungsummu, sebagai Pengemban Amanat Penderitaan Rakyat? Amanat Penderitaan Rakyat, yang menjadi tujuan perjuangan kita, – sumber kekuatan dan sumber keridlaan-berkorban daaripada perjuangan kita yang maha dahsyat ini? Sekali lagi engkau semua, – engkau semua dari Sabang sampai Merauke! –, sudahkah engkau semua benar-benar sadar akan hal itu? Kesadaran sosial dari Rakyat Indonesia itulah pokok-hakekat daripada Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia. Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia itu adalah dus bagian daripada social consciousness of mankind. Dus amanat Penderitaan Rakyat Indonesia adalah bagian daripada Amanat Penderitaan Rakyat daripada seluruh kemanusiaan! Dus Amanat Penderitaan Rakyat kita bukanlah sekadar satu pengertian atau tuntutan nasional belaka. Amanat Penderitaan Rakyat kita bukan sekedar satu “hal Indonesia”. Amanat Penderitaan Rakyat kita menjalin kepada Amanat Penderitaan Umat Manusia, Amanat Penderitaan Umat Manusia menjalin kepada Amanat Penderitaan Rakyat kita. Revolusi Indonesia menjalin kepada Revolusi Umat Manusia, Revolusi Umat Manusia menjalin kepada Revolusi Indonesia. Pernah saya gambarkan hal ini dengan kata-kata: “there is an essential humanity in the Indonesian Revolution”. Pernah pula saya katakan bahwa Revolusi Indonesia mempunyai suara yang “mengumandang sejagad”, yakni bahwa Revolusi Indonesia mempunyai “universal voice”..... Yang perlu dicatat, karena elit politik dan penguasa tidak memahami apa itu \"Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia\", maka kebijakan dengan menaikkan harga BBM tak lagi mempertimbangkan amanat penderitaan rakyat Indonesia. Tidak ada jalan lain bagi rakyat Indonesia selain melawan terhadap kebijakan yang bertentangan dengan Amanat Penderitaan Rakyat. Meluruskan kembali negara yang bertujuan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia tidak ada jalan lain kecuali Revolusi kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Merdeka! (*)
Anies Pemimpin Akal Sehat
Meminjam istilah Aa Gym, Anies itu orang yang paling beruntung dunia akhirat. Karena dialah orang yang kesalahannya selalu dicari, prestasinya tidak pernah diakui. Oleh: Nasmay L. Anas, Wartawan Senior AKAL Sehat tampaknya benar-benar dibutuhkan sekarang. Jika kita ingin memperbaiki kehidupan bangsa yang sudah carut-marut sedemikian rupa. Karenanya, pemilu 2024 mendatang sangat penting artinya bagi perjalanan sejarah bangsa ini ke depan. Pemimpin yang mestinya tampil sesudah ini harus dipastikan yang benar-benar memiliki akal sehat. Dipilih oleh orang-orang yang berakal sehat. Untuk mencapai langkah pembangunan sebagai hasil olah pikir dan olah kerja dari akal sehat. Pemimpin yang dimaksud tentu saja adalah seseorang yang benar-benar mampu melihat akar persoalan bangsa. Dengan kejernihan mata pikiran dan mata hati yang tidak diragukan lagi. Yang siap dan yakin mampu mengatasi segala keterpurukan yang nyata ada. Siap saat menghadapati tantangan resiko yang besar. Termasuk penentangan dan penolakan dari mereka yang pro status quo. Dalam situasi dan kondisi yang begitu buruk sekarang. Ketika situasi politik dan ekonomi yang banyak masalah. Tingkat kemiskinan yang terus bertambah. Hutang negara dan swasta yang kian menggunung. Penegakan hukum yang tampak tidak adil. Penyelenggaraan pemerintahan yang tidak berorientasi kemaslahatan rakyat banyak. Paling tidak, semua itulah yang selalu jadi sasaran kritik dari para pakar dan anak bangsa yang peduli nasib bangsa ini hari ini. Dan berharap dapat mengalami kemajuan yang dicita-citakan dalam masa yang dekat ke depan. Bagaimanapun, rilis Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat 7,07 persen pada kuartal II 2021. Sebuah angka yang fantastis sekali tentunya. Yang memungkinkan kita bisa keluar dari keterpurukan sekarang ini. Tapi, sayangnya, angka itu tidak dapat diterima begitu saja. Mantan Menteri Perekonomian Rizal Ramli malah meragukan rilis itu. Menurut Rizal, hal itu tidak sesuai dengan realita di masyarakat. \"Kok ekonomi rakyat masih nyungsep? Efek kenaikan harga ekspor sawit & batubara dll sama rakyat mah kecil. Konsumsi dan daya beli rakyat masih jeblok!\" begitu cuit akun Twitter @RamliRizal, 6 Agustus lalu. Sementara itu, bagaimana dengan soal utang? Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah kembali naik hingga akhir Juli 2022. Berdasarkan dokumen APBN Kita, pada akhir Juli 2022, utang kita berada di angka Rp 7.163,12 triliun. Lalu bagaimana pula dengan istilah penegakan hukum yang tebang pilih? Mantan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus), Ramelan, baru-baru ini tidak menolak adanya istilah itu. Menurut dia, hal itu disebabkan adanya ketidakpastian hukum dalam pemberantasan korupsi. Disebabkan oleh penerapan kewenangan diskresi (pengecualian) yang tidak jelas pedomannya. Mantan Direktur YLBHI sekaligus mantan Ketua KPK, Bambang Widjojanto, juga mengamini hal itu. Menurut Bambang, istilah tebang pilih itu adalah konsekuensi ketidakmampuan pemerintah untuk melahirkan politik penegakan hukum yang baik. Secercah Harapan Dalam kondisi keterpurukan yang sedemikian rupa, masih adakah secercah harapan agar kita dapat bangkit kembali? Tidak adakah seorang anak bangsa yang dapat diharapkan sebagai tempat menggantungkan harapan itu? Yang akan dapat mengubah keadaan? Agar dapat tegak sama tinggi duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa yang maju lainnya. Sekali lagi, perlu sekali diingatkan. Bahwa pemilu 2024 sangat penting bagi bangsa ini untuk berubah. Meskipun baru tahun depan tepatnya disebut sebagai tahun politik, namun para elit politik kita sudah disibukkan dengan upaya mempersiapkan diri dan kelompoknya menyongsong kontestasi itu. Baliho dan spanduk dari mereka yang siap dan berambisi jadi pemimpin telah disebar di mana-mana. Dari sudut-sudut jalanan kota sampai ke daerah pinggiran yang jauh. Tapi dari sekian banyak calon itu, adakah yang dapat memberikan secercah harapan, bagi kemajuan yang mesti diraih di masa depan? Tentu saja ada penilaian. Bahwa saat ini hanya Gubenur DKI Jakarta Dr. Anies Baswedan satu-satunya calon pemimpin yang dapat memberikan secercah harapan. Jika kita benar-benar ingin berubah. Jika kita ingin meninggalkan keterpurukan yang ada. Untuk menggapai angan-angan kemajuan bangsa. Tentu ada yang bertanya: Kenapa Anies? Bukankah di antara 275 juta jiwa penduduk negeri ini pasti ada yang dapat diharapkan untuk melakukan perubahan? Persoalannya, yang lain itu memang banyak. Tapi belum teruji. Sedangkan Anies sudah membuktikannya selama 5 tahun memimpin ibukota Jakarta. Dengan sejumlah prestasi membanggakan. Kita saksikan, banyak tokoh yang sudah membuat persiapan luar biasa. Dengan didukung kekuatan mesin partai. Dikibarkan namanya dengan berbagai bentuk survey. Termasuk upaya branding berbiaya super mahal. Dan jangan lupa, sebagian dari mereka itu tentu akan di-back up secara total oleh kekuatan oligarkhi politik dan ekonomi yang tetap ingin bercokol. Persoalannya, apakah semua itu bisa diharapkan akan dapat memulihkan keadaan, dalam artian yang positif bagi rakyat banyak? Bukankah begitu banyak survey abal-abal yang hasil surveynya pun diragukan publik kebenarannya? Bukankah upaya branding berbiaya super mahal juga tidak menjamin menaikkan elektabilitas seseorang secara signifikan? Kalau yang jeblog mah akan tetap sulit digerek naik. Di samping itu, kian menjamurnya lembaga survey dan penyedia layanan branding politik kecenderungannya tak dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas calon pemimpin maupun partai politik. Tapi lebih kepada upaya mengeruk keuntungan finansial dari suasana perpolitikan berbiaya tinggi. Sudah bukan rahasia lagi, seorang politisi yang ingin di-branding harus mampu memberikan bayaran Rp 200 sampai Rp 300 juta untuk sebuah survey super kilat. Hanya untuk seorang calon anggota dewan. Menyangkut elektabilitas dirinya. Yang dia sendiri belum tentu mengerti bagaimana survey itu dilakukan. Siapa saja respondennya dan berapa banyak jumlahnya. Karena itu, banyak yang tarik diri. Tidak ikut-ikutan di-survey, karena tidak punya dana. Kecuali kalau ada cukong yang mau membiayai semuanya. Dengan segala konsekuensi. Karena pada saatnya nanti tidak akan mampu menolak bila kekuasaannya yang akan dicampurtangani oleh cukong tersebut. Anies Memang Beda Sementara itu, Anies Baswedan memang beda. Secara politik dia memang tidak punya kekuataan apa-apa. Tidak juga ekonomi. Jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta pun akan berakhir 16 Oktober mendatang. Tidak sampai satu bulan lagi. Meskipun Nasdem, PKS, Demokrat plus PPP disebut-sebut siap mengajukannya sebagai Capres, namun itu belum pasti. Bila positif saat didaftarkan sebagai Capres di meja KPU nanti barulah bisa dipastikan calon. Artinya, jika tak ada partai yang mencalonkannya, keinginan untuk jadi presiden tampaknya hanyalah fatamorgana. Situasi dan kondisi perpolitikan kita di tanah air sekarang begitu rumit. Parlementarian Threshold 4 persen dan Presidential Threshold 20 persen adalah salah satu penyebabnya. Karenanya perpolitikan kita sulit untuk bisa keluar dari suasana politik berbiaya tinggi. Akibatnya jumlah calon pemimpin sangat terbatas. Hanya yang berhasil mendapatkan dukungan dari satu maupun gabungan beberapa partai. Pada akhirnya, pemimpin yang akan dihasilkan hanyalah para pemimpin boneka. Karena dipilih bukan berdasarkan kualitas, kapasitas dan integritas. Popularitasnya adalah popularitas semu. Yang merupakan hasil polesan penata rias kelas kambing. Sementara itu, popularitas Anies terus melambung tinggi. Dalam berbagai kesempatan, dia dielu-elukan dengan teriakan “presiden, presiden, presiden!” Kenapa bisa begitu? Karena hanya dialah calon presiden yang tidak berasal dari partai politik. Tapi dia punya keberanian untuk mengambil resiko kebijakan. Dan punya kapasitas untuk mengatasi masalah. Begitu juga integritas yang rasanya tidak banyak dimiliki para calon pemimpin yang ada. Dan Anies sudah membuktikannya selama 5 tahun memimpin ibukota Jakarta. Dengan segala perubahan yang berhasil dia buat. Hasil kerja keras dalam kesunyian. Tanpa gembar-gembor dan acting palsu di bawah sorotan kamera. Soal keberanian, bukankah tidak ada pemimpin selain dia yang berani secara frontal mematikan langkah oligarkhi 9 naga? Dengan membatalkan pembangunan beberapa pulau reklamasi. Proyek bergengsi para taipan itu. Soal kapasitas, dia tidak hanya meraih prestasi yang gemilang. Yang mendapatkan pengakuan mulai dari rakyat kecil di Jakarta dan luar Jakarta, sampai para pemimpin dunia. Begitu juga soal integritas. Tanpa perlu dibesar-besarkan, anda semua tahulah. Anies semakin terkenal sebagai tokoh yang populis. Tanpa perlu melempar-lempar kaos atau hadiah recehan. Tanpa terpengaruh untuk ikut-ikutan masuk gorong-gorong. Karena itu para calon lain berikut oligarkhi pendukung mereka akan mati-matian berusaha menjegal langkah Anies. Mulai dari dilaporkan ke KPK untuk sebuah kesalahan yang tak ada. Sampai kepada upaya mendegradasi citra dirinya sebagai seorang pemimpin populis. Bukankah sekarang begitu masif serangan yang bernuansa kebencian, hinaan, dan fitnah kepada mantan Mendikbud itu? Bahkan beberapa di antaranya mengandung unsur SARA. Dengan dituduh memainkan politik identitas. Meminjam istilah Aa Gym, Anies itu orang yang paling beruntung dunia akhirat. Karena dialah orang yang kesalahannya selalu dicari, prestasinya tidak pernah diakui. Saya mencoba memaknai kata-kata ulama kondang Jawa Barat ini dengan pengakuan. Betapa besar pahala yang dapat dia raih. Dengan berbuat semata-mata demi Allah SWT., dan untuk kesejahteraaan rakyat yang menjadi tanggungannya. (*)
Perjuangan Anies adalah Perjuangan Rakyat
Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI KETIKA gerakan politik masih mengedepankan ahlak dan keberadaban terus menuntun perilaku. Betapapun hebatnya badai kebencian dan fitnah, pemimpin sejati tak akan lari menghindarinya. Kemampuan menderita menjadi kekuatannya dan kesabaran menghadapi tekanan menjadi pelindungnya. Anies terbiasa dalam kesadaran spiritual dan trasedental, untuk konsisten dalam kepatuhan pada Ilahi sembari berkesinambungan menghidupi kesolehan sosial. Jejak rekam yang mememesona karena melumuri perjalanan hidupnya dengan dedikasi dan pengabdian. Membuat Anies tetap menampilkan semangat untuk terus belajar dan berproses mewujudkan tujuan hidupnya. Jabatan publik yang lalu, sekarang dan kelak akan diembanya, semata-mata untuk menuangkan ilmu yang didapat sebagai alat untuk menghadirkan kemaslahatan. Lebih dari pembentukan ahlak, Anies terus tertantang merealisasikan pikiran, ucapan dan tindakannya untuk memberi manfaat seluas-luasnya dalam ruang publik. Terlebih saat tampil menjadi seorang pemimpin dan pemangku kepentingan hajat hidup orang banyak. Anies tahu betul bahwa hidupnya bukan untuk diri sendiri ataupun keluarganya. Ia menyadari telah menjadi bagian dari kehidupan orang banyak. Dengan sumpah jabatan yang ada dipundaknya, Anies telah memikul beban berat rakyat dan menyiapkan pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan. Setelah menyelesaikan jabatan gubernur Jakarta dengan catatan memuaskan dan mampu melampaui ekspekktasi. Anies yang semenjak dilantik menjadi orang nomor satu di DKI tak pernah luput dari gelombang isu, intrik dan fitnah. Nyaris tak leluasa menjalankan roda pemerintahannya. Tak mendapat persetujuan, tak mendapat dukungan dan bahkan adanya upaya menghambat dan menggagalkan implementasi program-program kepemimpinannya. Menjadi menu keseharian Anies yang diterimanya dalam menahkodai birokrasi di ibu kota negara tersebut. Namun Anies bergeming, tak sedikitpun menggoyahkannya. Sikap permusuhan dan kebencian yang menjadi buntut dari dendam politik pilkada Jakarta tahun 2017 itu. Tak menghentikan Anies untuk fokus, terarah dan terukur serta terus berprestasi membangun Jakarta. Hasilnya terbukti dan Anies berlimpah penghargaan nasional dan internasional. Tak kalah penting dan menjadi prinsip, tingginya tingkat kepuasan warga Jakarta menjadi bekal strategis Anies untuk ikut berkontribusi dan berdaya guna bagi rakyat Indonesia. Euforia sekaligus menjadi kerinduan rakyat Indonesia pada kehadiran seorang pemimpin sejati. Membuncah saat negeri ini akan menyelenggarakan pilpres 2024. Pesta demokrasi paling akbar yang akan memilih presiden itu, dipenuhi hingar-bingar aspirasi dan kehendak politik, termasuk dari pelbagai kepentingan yang menginginkan kekuasaan. Pejabat eksekutif, leguslatif dan yudikatif serta-merta ikut bermain dan berharap dapat memenangkan setidaknya memenuhi target dari perhelatan politik praktis itu. Pengusaha, politisi dan birokrasi menjadi instrumen dominan yang mewarnai perhelatan demokrasi langsung yang begitu kapitalistik dan transaksional. Anies tak terbendung dan terus memuncaki bursa capres. Upaya pembunuhan karakter dan segala cara untuk menjegal pencapresannya oleh kalangan tertentu dan lawan politiknya, justru malah menumbuhkan simpati dan empati rakyat. Survey obyektif, tanpa rekayasa dan jujur terus menunjukkan grafik tertinggi Anies pada bursa capres. Sebagai capres berkarakter dengan statistik tingkat dikenal, disukai dan dipilih rakyat yang tinggi, membuat Anies semakin meninggalkan kompetitornya. Biaya tinggi dan melibatkan mesin politik birokrasi serta otoritas didukung kekuasaan yang besar pada capres lainnya, tak mampu menenggelamkan Anies yang hanya bermodal prestasi, dukungan rakyat dan kemuliaan cita-cita untuk kebaikan Indonesia. Saking besarnya peluang Anies memenangkan pilpres 2024, terlebih sudah ada indikasi dukungan PKS, Demokrat dan Nasdem yang akan mengusung Anies sebagai capresnya. Musuh politik sekaligus musuh demokrasi tak pernah berhenti menggagalkan Anies untuk menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan republik ini. Banyak pihak yang tak menginginkan, akan tetapi lebih banyak lagi yang menginginkan Anies menjadi presiden. Kekuatan oligarki yang menguasai birokrasi dan lembaga politik berusaha keras agar presiden terpilih dalam pilpres 2024 menjadi bisa menjadi boneka dan dalam genggaman kekuasaannya. Hampir semua institusi negara dalam pengaruh dan tekanannya, termasuk yang terkait pemilu seperti KPU, Bawaslu, TNI dan Polri. Akankah proses demokrasi dalam pileg dan pilpres 2024 dapat berjalan terbuka, jujur dan adil?. Mungkinkah sama seperti pilpres 2014 dan 2019 yang hanya menghasilkan presiden yang dianggap rakyat sebagai boneka dan kacung oligarki yang merusak NKRI?. Masihkah ada kecurangan seperti yang dilansir SBY yang pernah menjadi presiden ke-6 RI?. Rakyat belum dapat memastikan meski gejalanya sudah terasa. Begitu juga semua entitas politik yang ada, semua masih meraba bagaimana pilpres 2024 bisa lebih berkualitas baik dari pelaksanaan teknisnya maupun kualitas hasilnya. Terutama dapat memilih presiden yang dikehendaki rakyat dan memiliki kemampuan menjadikan Indonesia jauh lebih baik. Saat negara diambang kehancuran tatkala diselimuti krisis multi dimensi, rakyat membutuhkan seorang pemimpin yang bisa menyelamatkan dan memperbaiki NKRI. Sejalan dengan itu, geliat figur Anies yang dipelopori antusias para relawan dan partai politik serta dukungan luas rakyat. Sepertinya menjadi bekal utama Anies untuk memenangkan pilpres 2024. Betapapun tak mudah dan membutuhkan effort tersendiri, Anies bersama rakyat akan membuktikan demokrasi masih bisa diharapkan sesuai koridornya dan politik masih menyimpan moralitas. Karena bersama rakyat Anies dapat memenangkan pilpres 2024 dan menjadikannya sebagai momentum kebaruan Indonesia. NKRI yang rakyatnya semangat dalam revolusi ahlak dan berkeberadaban sebagai sebuah bangsa. Semoga Anies dapat mengemban amanat kepemimpinan nasional yang dianugerahkan Tuhan dan dipercayakan rakyat. Meski sulit dan berat perjuangannya, tak ada yang mustahil dan tak ada yang tak mungkin dalam hidup ini. Terlebih saat semua menyadari, perjuangan Anies adalah perjuangan rakyat.
Selamat Bertarung Anies Baswedan
Politik identitas yang salah adalah menggunakan isu etnis dan agama untuk mendominasi. Sebaliknya, Anies Baswedan menggunakan identitas untuk emansipasi, afirmasi, dan anti kolonialisasi. Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle TULISAN ini didedikasikan kepada komunitas pengundang saya di acara pelepasan 5 Tahun Anies Baswedan, Ahad, (25/9/22) di Warung Buncit. Ratu Elisabeth telah dimakam di Kastil Windsor, dekat London, beberapa hari lalu. Seluruh dunia melihat ke sana. Pemimpin-pemimpin besar negara-negara banyak yang melayat. Mereka bersedih. Sementara itu Truganini, terbaring dikuburannya sejak 146 tahun lalu. Dia, menurut Yuval Noah Harari, adalah perempuan orang asli (Aborigin) terakhir di Tasmania. Kedatangan Inggris, yang diperintahkan kakek-buyutnya Elisabeth, King George, telah memusnahkan semua orang pribumi asli di Tasmania. Tak tersisa. Diantara kesedihan ribuan manusia mengantarkan Queen Elizabeth ke liang kubur, jejak kejahatan imperialisme kulit putih masih menyisakan luka yang tidak bisa dikubur. Di Indonesia, untuk mempertahankan kaum pribumi, Anies Rasyid Baswedan, menegaskan dalam pidato kemenangannya 5 tahun lalu bahwa sudah saatnya pribumi bangkit. Bangkit maksudnya adalah untuk berkuasa di negerinya sendiri. Berkuasa artinya berdaulat, mandiri, dan bersolidaritas. Untuk statement penting Anies Baswedan ini, seorang anti nasionalis melaporkan Anies ke polisi, karena dianggap rasis. Tapi, setelah 5 tahun Anies memerintah di DKI Jakarta, semangat Anies dalam tema pribumi ini tidak pernah surut. Tepat seminggu lalu, ketika seorang supermodel senior, mempertemukan saya dengan Prof. Sri Edi Swasono, menantu Proklamator Indonesia, Bung Hatta, menceritakan syukur harunya ketika dua tahun belakangan ini dia tidak lagi membayar pajak rumah Bung Hatta, sang Proklamator. Selama ini Sri Edi, bahkan diantaranya, menjual berbagai aset keluarga, untuk membayar pajak rumah itu, Rp 140 juta. Padahal penghasilan dia hanya dari gaji seorang dosen saja. Menurutnya, rumah pendiri Republik Indonesia harus bertahan di Menteng, agar merupakan bagian sejarah. Beberapa rumah strategis dengan sejarah pejuang nasional terpaksa dijual keturunannya, karena tidak mampu lagi membayar pajak. Sejarah eksistensi pribumi ini menurut profesor Sri Edi telah dijaga Anies Baswedan. Itu adalah salah satu komitmen Anies mengutamakan pribumi. Komitmen Anies Baswedan pada isu pribumi juga terlihat pada kebijakan politik demografi di pantai utara Jakarta. Rezim Presiden Jokowi yang mendukung reklamasi pantai utara, menghadapi hadangan Anies Baswedan yang membatalkan reklamasi. Namun, gencarnya gerakan kekuasaan dan kekuatan rezim Jokowi tersebut, telah membuat Anies Baswedan \"terkalahkan\". Meski tidak kalah sepenuhnya. Namun, politik demografi Anies telah ditafsirkan sebagai upaya membatasi dominasi keturunan alias non pribumi di pantai utara Jakarta. Apalagi isu penjualan kawasan perumahan pantai utara saat itu ada yang ditujukan kepada pembeli luar negeri, dengan berbahasa Mandarin. Untuk kebijakan pengadaan perumahan murah, Anies juga merubah aturan luas kepemilikan tanah yang lebih kecil (1.000 M2), dari sebelumnya 6.000 M2, untuk pengusaha bisa terlibat bisnis perumahan murah. Alhasil, tuan tanah-tuan tanah pribumi bisa ikut menjadi pemain bisnis dalam pengadaan perumahan. Mengurus masa depan kaum pribumi adalah politik identitas. Tapi dalam bahasa asing itu disebut sebagai Nasionalisme. Jika tidak ada nasionalisme maka tidak berharga sebuah negara. Orang-orang Skotlandia dan Irlandia di Inggris, sampai kini juga, tetap menjaga nasionalisme mereka untuk tidak didominasi orang-orang English. Orang-orang yang memusuhi Anies Baswedan, tentu saja mencari celah untuk menghujatnya. Menghujat karena pertama terjadi perbedaan pengelompokan historis masyarakat dan kedua, mungkin karena dibandari cukong-cukong (oligarki) yang selama ini mencengkeram bangsa kita. Kelompok yang berbeda secara historis tentu saja gagal menyerang Anies dalam dimensi nasionalisme. Sebab, nasionalisme dalam versi yang diperjuangkan Anies mewakili historis, sebagaimana dikembangkan oleh Bung Karno dalam tulisannya Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, 1926. Dan juga perjanjian kebangsaan kita dengan meletakkan perkataan Pribumi, bahkan sebelumnya, Pribumi dan Islam, dalam UUD 1945. Jadi, siapapun yang menyerang Anies atas tuduhan atau argumentasi politik identitas telah salah dalam menafsirkan sejarah Bangsa Indonesia. Politik identitas yang salah adalah menggunakan isu etnis dan agama untuk mendominasi. Sebaliknya, Anies Baswedan menggunakan identitas untuk emansipasi, afirmasi, dan anti kolonialisasi. Anies Baswedan telah 5 tahun berjuang untuk kaum Pribumi. Bravo Anies Baswedan. Maju terus, pantang menyerah! (*)
Penghargaan untuk Sang Teladan
Sikap menyayangi yunior diperlihatkan melalui terbukanya rumah beliau di Wijilan, Jogjakarta (tahun 1980-an) menjadi perpustakaan bagi mahasiswa yang kantongnya pas-pasan, dan melalui pemberdayaan yunior dalam forum-forum internasional. Oleh: Prof. Dr. M. Fattah Santoso, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) UNIVERSITAS Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta menggelar Sidang Senat Terbuka Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Sosiologi Perdamaian kepada Muhammad Habib Chirzin, cendekiawan yang dinilai luar biasa dalam bidang sosiologi perdamaian. Saya bersyukur kepada Allah SWT yang telah menakdirkan bisa hadir dalam upacara penganugerahan Doktor Honoris Causa untuk Sang Teladan, Ustadz Drs. Muhammad Habib Chirzin, oleh UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Rabu, 21 September 2022. Tahniah, aalaafu mabruuk, ustadzii. Beliau sudah sepantasnya mendapatkan penghargaan ini. Karena beliau adalah teladan dalam banyak hal: 1) Konsistensi dalam pilihan; beliau memilih aktivitas di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sejak 1970-an hingga kini. Yang menarik dari pilihan itu, beliau tidak tenggelam dalam dunia aksi/praksis, namun menjadikan LSM jembatan untuk meluaskan ilmu dan networking. Ilmu yang dipilih terfokus pada \"(sosiologi) perdamaian\". Networking yang dibangun nasional dan bahkan global, melintasi lima benua – seolah beliau berkata: \"Telah kugenggam dunia\". Pengembaraan empat dasawarsa yang memadukan aktivisme dan ilmu telah mengantarkan beliau tampil sebagai narasumber pada 109 forum ilmiah internasional. Per dasawarsa rata-rata lebih dari 25 forum ilmiah. Very very excellent. 2) Pembelajar penuh percaya diri dan piawai dalam berkomunikasi; sangat tidak mungkin \'konsistensi dalam pilihan\' yang begitu produktif tanpa menjadi pembelajar sepanjang hayat sekaligus penuh percaya diri (walau hanya dengan kemampuan berbahasa Inggris dari Gontor) sehingga melintasi batas-batas pendidikan formal – tidak canggung berwacana dan berdiskusi dengan doktor dan profesor, gagasan dan opininya diapresiasi sampai-sampai, misalnya beliau diberi amanah menjadi direktur International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia. Menjadi lengkap, beliau piawai dalam berkomunikasi dengan berbagai pihak tanpa membedakan, dan di hampir setiap akhir pertemuan beliau biasa berujar: \"Keep in touch\". 3) Dokumenter terbaik, par excellent; semua kegiatan di atas oleh beliau dan ibu Sri Hindun, isteri beliau, didokumentasikan dengan baik dalam bentuk soft-file maupun foto, hobi yang tidak banyak dilakukan orang. 4) Sense of humanity yang tinggi; memperlakukan kesetaraan dengan isteri dengan mengajaknya dalam forum-forum nasional dan internasional, hampir tidak ada kegiatan tanpa di samping beliau ibu Hindun – sebuah pasangan yang serasi, saling melengkapi, penuh kasih sayang. Selain itu, beliau juga menghormati yang senior dan menyayangi yang yunior, betapa capaian doktor honoris causa ini beliau persembahkan untuk para senior, terutama guru-guru beliau – alhamdulillah Trimurti Pondok Gontor sebagai simbol hadir lengkap. Sikap menyayangi yunior diperlihatkan melalui terbukanya rumah beliau di Wijilan, Jogjakarta (tahun 1980-an) menjadi perpustakaan bagi mahasiswa yang kantongnya pas-pasan, dan melalui pemberdayaan yunior dalam forum-forum internasional. Sungguh empat teladan yang tidak mudah diteladani oleh saya sekalipun. Sekali lagi, selamat, ustadzi, semoga bertambah berkah. (*)