OPINI

KTT Asean, G20, dan Perubahan Politik Jokowi

Kita berharap Indonesia dapat berperan besar dalam G20. Selain sebagai \"event organazer\", Indonesia dapat membicarakan keadilan tatanan global dan solidaritas. Paska pandemi seluruh dunia mengharapkan adanya order global, yang selama ini dikuasi barat dengan perspektif barat sentris, ke arah dunia yang multipolar dan menekankan kebersamaan.  Oleh DR. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle ALHAMDULILLAH Joko Widodo telah memastikan bahwa dia akan lengser 2024 dan kembali ke Solo. Sebagaimana diberitakan CNN Indonesia, 13/11/22 dalam judul \"Jokowi Beber Rencana Setelah Lengser: Pulang Ke Solo Jadi Rakyat Biasa\", mengutip wawancara Jokowi dengan The Economist, majalah ekonomi terbesar di Eropa, selain lengser, Jokowi juga akan menjadi aktifis lingkungan. Pernyataan Jokowi ini sangat penting bagi kita sebagai pegangan bahwa berbagai upaya yang dilakukan pendukungnya selama ini melalui isu perpanjangan jabatan maupun isu presiden 3 periode ditepis Jokowi. Kita dapat menghentikan kecurigaan kita pada Jokowi sebagai \"mastermind\" isu perpanjangan selama ini dan dapat mengalihkan tuduhan kepada orang-orang terdekatnya, jika isu itu muncul lagi nantinya. Perubahan sikap Jokowi ini mungkin terkait dengan aktifitas internasional Jokowi hari-hari ini yang terlalu berat, baik dalam skala Asean maupun G20. Jokowi dalam KTT Asean dan selanjutnya sebagai ketua Asean telah menunjukkan sikap keras terhadap rezim junta Militer Myanmar. Bulan lalu Asean tidak membolehkan wakil Junta hadir kecuali dihadiri juga oleh pihak oposisi, dalam bahasan batas akhir dialog Junta dan oposisi. Myanmar mengutuk pemerintah Indonesia sebagai \"anjing peliharaan\" Amerika (CNBC Indonesia, 28/10/22). Dengan berubahnya sikap Jokowi yang semula ragu mengutuk Junta di sana, Asean akhirnya mayoritas dalam genggaman mainstream global order, yang menghargai demokrasi dan anti pelanggaran HAM. Pergumulan kedua Jokowi soal demokrasi terkait dengan Vlademir Putin. Pada bulan Agustus (19/8/22), Jokowi melakukan \"self claim\" bahwa Putin akan hadir pada G20. Padahal kedutaan besar Rusia di Jakarta maupun sekretaris/jubir Putin tidak memberikan informasi itu. Setidaknya jika kita merujuk pada media yang memberitakan. Jokowi sepertinya sangat berharap Rusia hadir. Bahkan, Jokowi mengambil resiko pergi ke Ukraina dan lalu ke Rusia tempo hari untuk mengundang Putin, selain Zelensky, presiden Ukraina. Namun, seiring waktu, dengan tekanan barat yang tidak menghendaki kehadiran Putin di G20 Bali, Jokowi terkesan tidak kecewa. Setidaknya tidak diungkapkan oleh Jokowi atau jika merujuk pada statemen LBP bahwa tidak masalah jika tidak ada Komunike Pemimpin Dunia di G20 (CNBC Indonesia, 12/11/22). Myanmar dan Rusia adalah sekutu Peking/RRC. Sikap Jokowi yang terkesan berubah penting dicatat karena selama ini Jokowi menjadi \"anak emas\" RRC. Bahkan, sampai detik-detik terakhir sebelum G20, Jokowi berharap KCIC (Kereta Cepat Jakarta China) Bandung-Jakarta dapat diresmikan Xi Jin Ping, di sela kunjungannya ke Indonesia. Kita bersyukur melihat Jokowi berubah ke arah blok global order yang mementingkan demokrasi dan HAM. Namun, Jokowi tidak bisa terlalu lama di tengah. Sebab, China dan Rusia pasti akan mengevaluasi posisi Jokowi terhadap afiliasinya selama ini.  Spekulasi pertama yang terlihat adalah batalnya rencana Xi Jin Ping meresmikan projek kereta cepat pertama di Asean ini. Bukan hanya tidak meresmikan, isu kereta cepat saat ini malah sudah kehabisan dana operasional, sehingga projeck akan mangkrak, jika tidak ada suntikan negara kita. Padahal selama ini pemerintah China berencana memberikan bantuan besar tanpa resiko APBN kita. Spekulasi kedua adalah kemungkinan Indonesia tidak akan dimasukkan dalam BRICS, sebuah persekutuan negara ekonomi alternatif. Padahal, selama ini Indonesia mempunyai kesempatan untuk bisa bergabung dengan BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan South of Africa), sehingga memperkuat posisi tawar Indonesia dalam global order. Penutup KTT Asean dan G20 membawa perubahan sikap  Jokowi atas isu perpanjangan masa jabatan Presiden. Jokowi telah mengatakan akan lengser dan menjadi pecinta lingkungan, pada tahun 2024. Padahal selama ini Jokowi mengapresiasi kelompok-kelompok anti demokrasi yang menyuarakan perpanjangan masa jabatan dan atau 3 periode Jokowi sebagai bagian demokrasi. Dalam hubungannya dengan Myanmar dan Putin, Jokowi memperlihatkan sikap anti kekerasan, khusus soal Putin, setidaknya tidak mengatakan kecewa atas ketidak hadiran Putin.  Kita berharap Indonesia dapat berperan besar dalam G20. Selain sebagai \"event organazer\", Indonesia dapat membicarakan keadilan tatanan global dan solidaritas. Paska pandemi seluruh dunia mengharapkan adanya order global, yang selama ini dikuasi barat dengan perspektif barat sentris, ke arah dunia yang multipolar dan menekankan kebersamaan.  Semoga Jokowi benar-benar pro demokrasi dan lalu mengkoreksi berbagai kebijakannya yang selama ini terlalu banyak melakukan kriminalisasi ulama, aktifis politik dan tokoh-tokoh lingkungan. (*)

Kepala BIN Budi Gunawan Serasi Menjadi Cawapres Anies Baswedan

 Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jendral Polisi (Purn.) Prof. Dr. Budi Gunawan sangat layak dan pantas untuk dijodohkan menjadi bakal calon Wakil Presiden dari Anies Baswedan. Kapasitas dan kapabiltas sangat baik sebagai tokoh bangsa. Budi Gunawan sukses menjadi negarawan yang teruji mengabdi kepada bangsa Indonesia.  Oleh Kisman Latumakulita - Wartawan Senior FNN HAMPIR dipastikan tidak ada komponen bangsa ini yang meragukan komitmen dan kemampuan Budi Gunawan. Meskipun tidak banyak diketahui masyarakat menengah-bawah, namun kiprah Budi Gunawan untuk menyatukan seluruh komponen bangsa selalu dan selalu dilakukan. Tidak pernah berhenti berbuat yang terbaik demi bangsa Indonesia. Berbagai lapisan masyarakat digalang untuk memastikan bahwa Indonesia tetap bersatu, baik hari ini maupun nantinya.  Ketokohan Budi Gunawan bisa dianggap mewakili kaum nasionalis abangan. Figur yang cocok dengan bakal calon Presiden Partai Nasdem Anies Baswedan yang dikesankan mewakili kelompok nasionalis kanan. Pasangan koalisi yang serasi untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan bangsa Indonesia. Anies Baswedan-Budi Gunawan dapat mengakhiri keterbelahan sosial masyarakat yang masih terasa sampai hari ini. Selain itu, pasangan Anies Baswedan-Budi Gunawan juga bisa membawa Indonesia bersaing dengan bangsa-bangsa lain di panggung kelas dunia. Apalagi menghadapi resesi ekonomi yang melanda dunia hari ini, dan telah masuk di halaman tengah rumah besar bangsa Indonesia, sangat membutuhkan pasangan Capres-Cawapres yang punya kemampuan di atas rata-rata normal. Butuh Capres-Cawapres yang punya kemampuan komunikasi dan diplomasi kelas dunia dan terukur. Itu hanya ada pada pasangan Anies Baswedan-Budi Gunawan.  Jika terwujud, maka pasangan Capres-Cawapres Anies Baswedan-Budi Gunawan mengingatkan kita dan publik dunia kepada pasangan Presiden-Wakil Presiden Amerika legendaris Ronald Reagen-Goerge Bush senior. Bush adalah mantan Kepala Central Intelligence Agency (CIA). Pasangan Reagen-Bush sangat sukses ketika memimpin Amerika selama dua priode. Setelah Reagen berakhir periode kedua, giliran Bush senior yang menggantikan Reagen sebagai Presiden Amerika dari Partai Republik.  Dibandingkan kandidat cawapres Agus Harimurti Yudhoyono dari Partai Demokrat maupun mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Budi Gunawan masih lebih unggul. Bisa dibilang unggul dalam semua aspek. Apalagi Budi Gunawan juga memiliki kedekatan yang sangat mumpuni dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.  Begitu pula bila dibadingkan dengan Jenderal Polisi (Purn.) Prof. Dr. Muhammad Tito Karnavian PhD, yang sekarang menjabat Menteri Dalam Negeri, maka Budi Gunawan juga masih lebih unggul. Budi Gunawan itu matang dan mampu di semua lini. Baik itu lini depan, lini tengah dan lini belakarang. Sementara masyarakat menduga Tito Karnavian menjadi bagian penting yang ikut membuat institusi Kepolisin jatuh ke titik paling nadir hari ini. Dimulai ketika Tito Karnavian menjabat sebagai Kapolri. Tito membentuk Satgassus Nusantara dan Satgassus Merah Putih. Sekarang sudah dibubarkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit. Anggota Komisi III DPR Mulfachri Harahap mengatakan, Satgassus adalah organ khusus di dalam institusi Kepolisian yang punya kewenangan tanpa batas. Dapat berbuat apa saja. Menjangkau dan mengambil alih kapan saja perkara di semua Polda. Para anggotanya dikesankan memliiki darah biru, yang dapat dipromosikan pada semua jabatan penting dan strategis di Kepolisian.  Diperkirakan anggota Satgasus sangat mudah untuk sekolah pada semua jenjang pendidikan di Kepolisian. Kebijakan Tito Karnavian ini diteruskan oleh Kapolri Idham Azis. Anggota Satgassus sangat mudah untuk sekolah di Sekolah Calon Perwira Pertama, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (SESPIMMEN) maupun Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi (SESPIMTI).  Kasihan Kapolri Jendral Listyo Sigit, yang hari ini harus kerja keras dan pontang-panting mencuci piring kotor yang ditinggakan Tito Karnavian dan Idham Azis. Misalnya, Tito Karnavian menunjuk Ferdy Sambo sebagai Korspripim Kapolri. Jabatan yang setara dengan Ajudan Presiden dan Ajudan Wakil Presiden. Tiga jabatan dengan pangkat Komisaris Besar (Kombes) Polisi ini, kalau dimutasi, dipastikan naik menjadi jendral bintang satu. Tidak mungkin dimutasi ke jabatan dengan pangkat Kombes juga.   Diduga Tito Karnavian kini sedang digadang-gadang oleh beberapa petinggi PKS yang dikoordinir Sekjen PKS Habib Aboebakar Alhabsyi untuk berpasangan dengan Anies Baswedan sebagai bakal Cawapres. Manuver politik Sekjen PKS ini dapat dipahama, karena selama menjadi anggota DPR lima belas tahun, Habib Aboebakar Alhabsyi hanya bertugas di Komisi III DPR. Komisi yang membidangi masalah-masalah hukum. Wajar kalau mempunyai kedakatan khuusus dengan Tito Karnavian.         Dukungan politik untuk Budi Gunawan, pastinya bukan hanya dari PDI-P saja. Sebab sebagai orang menjabat Kepala BIN selama enam tahun lebih, Budi Gunawan tentu punya kaki dan tangan dimana-mana. Mungkin juga di kalangan partai politik selain PDI-P. Bahkan diperkirakan Budi Gunawan masih punya pengaruh yang sangat kuat di kalangan Kepolisian dan TNI.  Budi Gunawan diperkirakan masih juga punya pengaruh kuat di kementerian dan lembaga-lembaga negara. Bahkan termasuk di kalangan pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), para Gubernur dan Bupati-Walikota. Semua ini tentu menjadi modal dan kekuatan Budi-Gunawan untuk berpasangan dengan Anies Baswedan sebagai Cawapres. Jika demikian, maka pasangan Anies Baswedan-Budi Gunawan hampir pasti bakal menang jika berhadap-hadapan dengan pasangan Capres-Cawapres manapun.  Budi Gunawan menjadi bakal Cawapres untuk Anies Baswedan, sangat ditetantukan oleh pandapat dari Ketua Umum PDI-P Megawati Soerkarnoputri. Tidak mungkin Budi Gunawan membuat keputusan penting tanpa mendengar pendapat dan masukan dari Megawati Soekarnoputri. Apalagi Budi Gunawan pernah menjadi Ajudan Presiden ketika Megawati Soekarnoputri menggantikan Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Jika pasangan Anies Baswedan-Budi Gunawan terwujud, dan terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden di Pilpres 2024, maka dipastikan Ketua Umum PDI-P setelah Megawati Seokarnoputri nanti tetap dipegang oleh trah Soekarno. Jika dari trah Soekarno, maka kemungkinan besar Puan Maharani yang bakal naik tahta menjadi Ketua Umum PDI. (*)

Rezim Akan Runtuh Akibat Kabut Teori “Guna Tolol”

“Sudahlah yang ingin hobi mengeluh dan dleming lanjutkan, yang ingin terus misuh dan marah marah silakan. Jangan sampai, stress, stroke atau bisa menjadi gila”. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih MOBOKRASI pemerintahan di Indonesia dipegang dan dipimpin oleh rakyat jelata yang tidak tahu seluk-beluk pemerintahan. Otomatis akan melahirkan pemimpin yang inkonstitusional and plain stupid (inkonstitusional dan bodoh). Indonesia sekarang ini seperti hidup tanpa aturan, pengendalian dan tanpa pemimpin, lahan Indonesia menjadi jarahan banyak pihak yang ingin terus menjarahnya. Persaingan kekuatan para penjarah, saat ini Indonesia telah menjadi milik kaum elit, para borjuis – kapitalis Oligarki Politik dan Ekonomi, yang bebas mengatur dan mengendalikan negara dengan suka cita menjadi ambtenaar. Yang ada di Istana hanya badut-badut: When a clown moves into a palace he Doest  be come a king. The palace be come a circus  (Ketika badut pindah ke Istana dia tidak menjadi raja. Istana menjadi sirkus). Yang berlaku adalah teori guna tolol. Menurut Markus Ghiroth (gembong komunis 1965), dalam strategi komunis, ada namanya istilah “teori guna tolol”. Yaitu: orang-orang tolol yang berguna. Menempatkan orang-orang “tolol” bodoh, manut, mata duitan, rakus jabatan, di posisi strategis agar kemudian bisa dan mudah di atur dan di kendalikan. Kritik dari Bung Ihsanudin Nursi ringan tapi tajam, bagi penggemar petahana bahwa rezim ini tidak ada cacat sedikitpun bagi mereka. Ketika ditunjukkan kebodohan, kebohongan dan kegagalan petahana mereka tetap tak bergeming. Saya beri istilah “pemuja”, karena mereka ini sudah menganggap petahana satu-satunya sosok yang akan menyelamatkan Indonesia, “Ratu Adil”-lah istilahnya, ujarnya. Gangguan kejiwaan ini bisa semakin parah, ketika kebohongannya mendapat pujian. Kebohongannya yang menjadi-jadi membuat semua omongannya pasti kebalikannya. Dampaknya kerusakan di mana-mana. Perubahan tidak akan terjadi jika kita menunggu orang lain atau waktu yang lain. Kitalah yang ditunggu-tunggu. Kita adalah perubahan yang dicari (Barack Obama). Kalau mau menunggu sampai siap, kita akan menghabiskan sisa hidup kita hanya untuk menunggu – (Lemony Snicket). Tak ada jalan pintas ke tempat yang layak dituju (Beverly Sills). Fokuslah, bukan sekadar sibuk saja (Tim Ferris). Tanpa sasaran dan rencana meraihnya, Anda seperti kapal yang berlayar tanpa tujuan (Fitzhugh). Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan” – (Sutan Syahrir). Dan jiwamu, jika tidak kau sibukkan di dalam kebenaran maka ia akan menyibukkanmu dalam kebathilan” (Imam Syafi’i). “Sudahlah yang ingin hobi mengeluh dan dleming lanjutkan, yang ingin terus misuh dan marah marah silakan. Jangan sampai, stress, stroke atau bisa menjadi gila”. Hanya percaya atau tidak sudah tidak ada jalan perubahan dengan cara kompromi, teori guna tolol harus dihentikan total, tata kembali Indonesia – “kembali ke UUD 45 asli”, jalannya hanya ada satu pilihan “Revolusi”. (*)

Anies Baswedan: Bola Salju Perubahan

Oleh Prof. Ridha Dharmajaya - Direktur Institute for Democracy Research (IDR)  INDONESIA itu hebat. Kalau saat ini kita dilanda banyak masalah, itu bukan karena kita tidak punya sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). Melainkan karena para penguasa tidak mampu mengelola kedua sumber itu agar Indonesia menjadi negara maju. Negara ini kaya raya. SDA melimpah ruah. Dan itu ada di mana-mana. Berjenis-jenis. SDM juga melimpah ruah. Pun ada di mana-mana. Beragam-ragam, bertingkat-tingkat, untuk pekerjaan ringan maupun pekerjaan berat. Untui pekerjaan hardware (keras) maupun pekerjaan software (lunak). Jadi, SDA-nya serba ada dan SDM-nya serba bisa. SDA dan SDM yang kualitatif sekaligus kuantitatif. Inilah aslinya Indonesia. Bangsa dan negara ini dikaruniai kekayaan yang komplit. Tetapi, kekayaan yang dahsyat itu hanya dinikmati oleh segelintir orang yang hanya mengutamakan nafsu kerakusan. Mereka mengeksoloitasi kekayaan yang maif itu untuk keuntungan pribadi sebesar mungkin.  Mereka itu adalah persekongkolan orang-orang yang tidak memikirkan orang lain. Mereka semata-mata memikirkan diri sendiri dan geng-geng yang membantu mereka melakukan tindakan yang hanya pantas disebut sebagai perampokan itu. Inilah persekongkolan antara oligarki bisnis (pemodal) dan oligarki kekuasaan, baik yang berada di eksekutif maulun di legislatif. Indonesia sedang babak belur di tangan mereka. Semua serba terbalik. Logika terbalik. Makna ucapan terbalik. Nilai-nilai pun ikut jungkir balik. Yang benar divonis salah. Yang salah diberi perlindungan, dst.  Rakyat susah dan semakin menderita. Pengelolaan negara amburadul sempurna. Rajut sosial menjadi rusak. Semua perbedaan, baik itu soal keimanan, pandangan dan pilihan politik, kultural, dll, digunakan sebagai resep adu domba. Berkembanglah dan maraklah keterbelahan sosial-politik. Rakyat disibukkan oleh perpecahan yang kian hari semakin dalam dan mengeras itu. Alhamdulillah, di tengah situasi yang carut-marut ini masih ada harapan untuk perubahan. Walaupun harapan itu harap-harap cemas. Meskipun kita semua sedang dihimpit seribu kerumitan. Hari ini, harapan perubahan itu tampak muncul di horizon Indonesia. Perlahan, perubahan itu bukan lagi dalam bentuk harapan. Tapi sudah menyosok menjadi kenyataan.  Dari Jakarta, sebagai jantung Indonesia, perubahan yang diteriakkan di seluruh pelosok negeri itu telah menggelinding menjadi bola salju. Dan bola salju itu tidak lain adalah Anies Baswedan. Sejak hari pertama duduk di kursi gubernur DKI, Anies menuliskan lembaran pertama perubahan itu. Dia mengubah kultur administrasi pemerintahan dan orientasi pembangunan fisik dan psikis Jakarta. Supremasi hukum, etika dan humanisme menjadi tema besar pengelolaan pemerintahan. Singkatnya, semua aturan nasional dan regional harus ditegakkan. Anies menertibkan tempat-tempat hiburan yang sebelumnya menikmati kesewenangan dalam beroperasi. Alexis adalah salah satu simbol kesewenangan yang kemudian ditutup atas instruksi Anies. Penghentian pekerjaan pulau reklamasi merupakan contoh spektakuler tindakan hukum yang dilaksanakan Anies.  Supremasi hukum diperkuat oleh etika dan prinsip-prinsip humanisme (kemanusiaan). Inilah resep utama yang digunakan Anies. Dampak dari penagakan hukum dan perangkat peraturan itu mengubah suasana Jakarta. Pendekatan kemanusiaan yang diterapkan Anies menyempurnakan misi perubahan Jakarta. Seluruh rakyat, tidak hanya orang Jakarta, menyaksikan perubahan fisik dan psikis yang diprakarsai Anies. Banyak warga yang tidak punya tempat tinggal, sekarang bisa menikmati program rumah murah dan mudah. Anies membangun infrastruktur transportasi yang baru. Atau memperbaiki dan meningkatkan kualitas jaringan yang sudah ada. Anies menciptakan taman-taman hijau yang selama ini tidak ada atau tidak dirawat. Semua ini menumbuhkan rasa nyaman dan percaya diri warga Jakarta. Selama lima tahun ini warga kecil yang terpinggirkan, ikut merasakan kebahagian hidup. Mereka merasa dimanusiakan. Inilah antara lain hasil kebijakan humanisme yang melengkapi langkah-langkah penegakan peraturan hukum.  Walhasil, Jakarta tidak hanya milik orang-orang yang berduit. Tetapi juga menjadi harapan hidup berjuta-juta orang kecil yang kemarin tak dianggap oleh kapitalisme dan individualisme Jakarta. Terlalu singkat tulisan ini untuk menjelaskan pekerjaan teknokratis yang sangat rumit selama kepemimpinan Anies di Jakarta. Yang jelas, dia telah mengubah Jakarta menjadi kota yang berkemanusiaan. Dia juga mengubah kota besar ini menjadi ramah pengguna transportasi, menjadi ramah bagi orang yang memerlukan perawatan kesehatan, menjadi ramah bagi pelaku bisnis besar, menengah maupun kecil, menjadi ramah bagi penikmat taman hijau, dlsb. Begitu dahsyat transformasi yang dialami Jakarta dan warganya. Begitu nyata dan drastis perubahan yang digagas oleh Anies. Sampai-sampai gaungnya menjangkau dan menyentuh hampir semua sudut negeri. Yang kemudian memicu keinginan sebagian besar rakyat agar Anies memimpin perubahan Indonesia. Masih lagi duduk di Balai Kota Jakarta, sekian banyak kelompok relawan bermunculan. Mereka semua siap mendukung Anies di Pilpres 2024. Siap juga mengkampanyekan Anies kepada rakyat. Sungguh luar biasa. Anies Baswedan kini berubah menjadi bola salju perubahan. Dia terus menggelinding sambil memperbesar bola salju itu. Medan, 13 November 2022

Penyempurnaan Kerusakan Ekonomi Indonesia

Ini mengerikan! Ini sama artinya dengan kekayaan ekonomi Indonesia telah merosot separuh, namun pada saat bersamaan kewajiban Indonesia terhadap asing yakni utang dalam mata uang dolar telah meningkat separuh. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) ADA dua indikator utama ekonomi negara itu menuju kerusakan atau menuju perbaikan, yakni 1) Penerimaan negara sebagai indikator pemeirntah berhasil cari uang atau gagal; 2) Nilai tukar sebagai indikator pemerintah berhasil berdagang secara internasional atau gagal. Dari dua indikator tersebut ternyata pemerintahan Joko Widodo akan berakhir dengan kerusakan ekonomi Indonesia yang makin parah. Jaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono di awal penerimaan negara terhadap Gross Domestic Product (GDP) berada pada posisi 13% lebih. Di ujung pemerintahan SBY penerimaan negara merosot menjadi 10,8 % terhadap GDP. Dalam ekonomi GDP adalah indikator yang utama. GDP adalah total output yang dihasilkan dalam ekonomi. Semakin tinggi GDP seharusnya penerimaan negara makin besar. Kalau sebaliknya, berarti banyak yang maling, korupsi atau nyolong di negara itu. Pemerintahan Jokowi selanjutnya malah menyempurnakan kerusakan dalam penerimaan negara. Meskipun laju eksploitasi sumber daya alam berlangsung masif dan rakyat dipajakin makin intensif, tapi penerimaan negara terhadap GDP jatuh sampai titik terendah. Menurut data Bank Dunia, sejak 2014 begitu pemerintahan Jokowi dimulai penerimaan negara terhadap GDP terus meluncur secara pasti tanpa ada kemampuan mengatasinya. Pada 2020 penerimaan negara terhadap GDP hanya sebesar 8,3%. Ini adalah yang paling buruk sejak tahun 1981 dimana penerimaan negara terhadap GDP saat itu sempat mencapai 21,8 persen. Kerusakan paling besar yang telah mengakibatkan makin terpuruknya Indonesia dalam pergaulan global dan perdagangan internasional adalah terpuruknya nilai tukar rupiah. Di masa awal pemerintahan SBY nilai tukar rupiah terhadap USD senilai Rp 8.700 per USD. Seiring berjalannya pemerintahan SBY nilai tukar rupiah atas USD meluncur sampai akhir pemerintahan SBY menjadi Rp. 12 300 per USD. Tetapi rata rata kurs sepanjang pemerintahan ini adalah Rp. 10.000 per USD. Nah, pemerintahan Jokowi membawa nilai tukar mata uang Indonesia makin tidak berharga. Menyempurnakan Kerusakan dalam nilai mata uang negara. Nilai rupiah terhadap USD sepanjang pemerintahan Jokowi talah merosot 50% lebih. Sekarang nilai tukar rupiah terhadap USD adalah Rp 15.700 per USD. Jika pada masa pemerintahan SBY nilai tukar rupiah rata-rata Rp 10.000 per USD, maka selama pemerintahan Jokowi rata rata nilai tukar rupiah Rp 15.000 per USD. Ini mengerikan! Ini sama artinya dengan kekayaan ekonomi Indonesia telah merosot separuh, namun pada saat bersamaan kewajiban Indonesia terhadap asing yakni utang dalam mata uang dolar telah meningkat separuh. Ibarat negara ini sudah jatuh, masih ditimpa tangga. Kerusakan tampaknya akan terus berlanjut. Jika belajar dari pengalaman sekarang transisi SBY ke Pemerintahan Jokowi, maka transisi pemerintahan Jokowi ke pemerintahan baru menuju pemilu serentak 2024 bisa jadi membuat rupiah akan kehilangan nilai lebih banyak lagi. Hal ini disebabkan menjelang peristiwa politik besar seperti pemilu gonjang-ganjing politik dan ketidakpastian makin buruk. Rupiah akan mengarah ke Rp 20.000 - Rp. 25.000 per USD. Sebab fundamentalnya adalah hampir tidak ada penahan tergerusnya cadangan devisa Indonesia yang tergantung pada impor dan kewajiban membayar utang luar negeri yang sangat besar. (*)

Main Dua Kaki Jokowi

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  DUKUNGAN kepada Prabowo adalah mainan baru Jokowi. Tentu tidak melepas dukungan kepada Ganjar Pranowo. Isu ingin ada tiga pasangan yang bertarung seperti demokratis tetapi sebenarnya oligarkis. Oligarki yang berjudi untuk dua pasangan. Pasangan ketiga yang menjadi target penyingkiran adalah Anies Baswedan.  Jika Prabowo berpasangan dengan Puan maka Jokowi senang berada di kaki ini. Berdamai dengan Megawati. Kaki lainnya adalah KIB yang diharapkan mengajukan Ganjar-Airlangga. Jika pasangan ini sukses Jokowi berbahagia. Sementara Anies Baswedan- AHY atau Anies Aher, akan menjadi musuh kedua pasangan restu Jokowi tersebut.  Skenario sukses dua kaki Jokowi adalah pertarungan antara pasangan Prabowo lawan Ganjar Pranowo. Dugaan kuat Jokowi akan all out untuk Ganjar. Andai Prabowo ternyata menang Jokowi masih bisa senyum meski agak kecut.  Inilah pola baru yang memungkinkan untuk melawan Anies Baswedan. Politik identitas yang disematkan kepada Anies menjadi bola yang akan disepak-sepak terus.  Jika ternyata final nanti adalah Ganjar Pranowo melawan Anies Baswedan maka kubu Prabowo akan bergabung mendukung Ganjar. Segala cara akan digunakan untuk memenangkannya. Kecurangan 2019 dapat terulang agar oligarki tetap berlanjut. Jokowi perlu perlindungan.  Bahasa Jokowi \"saatnya Prabowo jadi Presiden\" bisa saja untuk kejutan lain yakni Jokowi menjadi Cawapres  Prabowo sebagaimana gencar juga dimunculkan. Tapi ini merupakan pasangan bertegangan tinggi. Risiko besar karena pasangan Prabowo-Jokowi menjadi musuh bersama siapapun lawan-lawannya. Termasuk PDIP yang marah besar.  Dukungan rakyat kepada Anies Baswedan justru akan menguat sebagai wujud dari aspirasi perlawanan.  Politik dua kaki Jokowi lebih rasional ketimbang berdiri di kaki sebelah kiri. Manuver ini untuk mengimbangi penggumpalan dukungan rakyat pada Anies Baswedan.  Semua masih berkonfigurasi mengingat proses pendaftaran Capres masih jauh. Lebih jauh lagi manuver ini adalah upaya untuk menepis upaya rakyat yang sudah muak dengan tingkah polah rezim Jokowi. Mereka ingin Jokowi berhenti saat ini. Tidak percaya pada kebersihan Pemilu 2024. Harapan rakyat jika Pemilu 2O24 terlaksana maka hal ini tidak dijadikan sebagai ajang judi kekuatan oligarki  atau semata kepentingan dan perlindungan Jokowi.  Pemilu 2024 adalah peletakan dasar bagi pembangunan demokrasi yang lebih segar dan berkemajuan.  Dan itu hanya dapat terjadi jika Jokowi tidak lagi berstatus sebagai Presiden.  Bandung, 13 November 2022

Harapan Permohonan Maaf Kepada Keluarga Besar Sukarno Kandas oleh Amandemen UUD

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) KETETAPAN MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang *Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno* ditetapkan 12 Maret 1967. Memang sudah cukup lama, 55 tahun silam, tetapi dampak turbulensinya terasa hingga sekarang. MPRS ketika itu berpendapat bahwa pidato pertanggungjawaban Presiden Sukarno yang berjudul Nawaksara pada 22 Juni 1966, yang kemudian dilengkapi dengan surat presiden tentang Pelengkap Nawaksara pada 10 Januari 1967, tidak memenuhi harapan rakyat. Artinya tidak diterima oleh MPRS. Dalam butir a pertimbangan, MPRS berpendapat bahwa Presiden Sukarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G-30-S/PKI. Pada prinsipnya, pencabutan kekuasaan Presiden / Mandataris MPRS oleh MPRS memang merupakan hak dan wewenang MPRS sebagai lembaga tertinggi negara, sesuai konstitusi yang berlaku ketika itu, di mana wewenang MPR(S) lebih tinggi dari Presiden. Sehingga keputusan pencabutan kekuasaan ini sah menurut konstitusi, dan tidak bisa dipermasalahkan oleh siapapun. Peristiwa hampir serupa, tapi tidak sama, terjadi pada Presiden BJ Habibie, di mana pertanggungjawabannya tidak diterima oleh MPR pada sidang istimewa tahun 1999. Perbedaannya, MPR tidan mencabut kekuasaan Presiden Habibie, yang tetap menjabat sebagai Presiden hingga pemilihan Presiden berikutnya setelah pemilu 1999. Tetapi Habibie sadar bahwa dukungan politik kepadanya sangat rendah sehingga yang bersangkutan memutuskan untuk mundur dari bursa pencalonan Presiden pada pemilihan berikutnya. Keputusan ini patut dihargai sebesar-besarnya, dan menempatkan Habibie sebagai negarawan sesungguhnya. Yang menjadi persoalan bukan pemberhentian Presiden Sukarno oleh MPRS. Tetapi salah satu alasan pemberhentian tersebut yang menurut pihak tertentu sangat mencoreng dan merugikan nama Sukarno, karena dianggap mendukung G-30S-PKI. Apalagi Pasal 6 TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tersebut berbunyi _“Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden._ Masalahnya, penyelesaian persoalan hukum tersebut tidak pernah ditindaklanjuti hingga Sukarno (Bung Karno) meninggal tahun 1970, membuat persoalan hukum ini tidak mungkin lagi dapat ditindaklanjuti setelah itu. Setelah sekian lama berlalu, Presiden Soeharto / Mandataris MPR kemudian memberi gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Karno dan Bung Hatta melalui Keputusan Presiden pada 1986. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian mempertegas dengan memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno dan Bung Hatta melalui Keputusan Presiden pada 2012. Apakah gelar Pahlawan Proklamator dan Pahlawan Nasional kepada Bung Karno ini sebagai pengakuan negara bahwa Sukarno tidak terkait peristiwa G-30-S/PKI? Apakah gelar Pahlawan Proklamator dan Pahlawan Nasional tersebut sudah cukup memulihkan nama Bung Karno sesuai harapan para pendukung dan keluarga besar Bung Karno? Di samping itu, TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 juga sudah dibatalkan oleh TAP MPR No 1/MPR/2003, dan dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.  Tetapi, ada beberapa kalangan masyarakat merasa semua itu belum cukup, dan berharap pemerintah Indonesia menyampaikan permohonan maaf kepada Sukarno dan keluarga besarnya karena pernah mengeluarkan TAP MPRS tersebut. Pertanyaannya, apakah bisa? Apakah secara hierarki kelembagaan negara dimungkinkan? Karena yang mengeluarkan TAP MPRS adalah lembaga MPR(S) yang mempunyai kedudukan dan wewenang lebih tinggi dari pemerintah (atau presiden sebagai mandataris MPR(S)), maka, logisnya, pemerintah tidak bisa minta maaf atas keputusan MPR(S) tersebut. Karena, permintaan maaf dari pemerintah bisa mempunyai implikasi, pemerintah (seolah-olah) telah melakukan koreksi terhadap keputusan lembaga MPR yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pemerintah (ketika itu), yang mana berarti pemerintah melanggar hierarki kelembagaan negara? Kalau ini terjadi, maka bisa menjadi preseden buruk, di mana pemerintah bisa melakukan koreksi terus-menerus terhadap lembaga MPR, yang saat ini mempunyai kedudukan sederajat. Sangat bahaya. Karena itu, yang bisa membatalkan keputusan MPR adalah lembaga MPR itu sendiri. Artinya, TAP MPR harus dibatalkan dengan TAP MPR lagi, tidak bisa oleh undang-undang, apalagi keputusan presiden. Dan ini sudah dilaksanakan, TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 sudah dibatalkan oleh TAP MPR No I/MPR/2003. Kalau pembatalan ini belum cukup dan negara perlu minta maaf, maka yang harus minta maaf seharusnya adalah lembaga MPR. Bukan Presiden. Tetapi, akibat amandemen UUD 1945 asli sebanyak empat kali sejak 1999-2002, MPR saat ini sudah tidak bisa mengeluarkan Ketetapan MPR yang bersifat kebijakan dan mengikat keluar. Artinya, MPR tidak bisa minta maaf kepada pihak luar, dalam hal ini kepada Sukarno dan keluarga besarnya? Lagi pula, atas dasar apa MPR saat ini bisa menyatakan bahwa TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 tersebut keliru sehingga perlu minta maaf? MPR dalam hal ini juga dalam posisi dilematis. Agar bisa memuaskan semua pihak, maka mau tidak mau harus diadakan proses penyelesaian hukum terlebih dahulu sesuai bunyi pasal 6 TAP MPRS tersebut. Apakah mungkin? Bagaimana kalau minta fatwa Mahkamah Konstitusi Dalam beberapa kasus permohonan uji materi terkait TAP MPR, Mahkamah Konstitusi juga berpendapat tidak berwenang mengadili TAP MPR terhadap UUD. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang mengadili undang-undang terhadap UUD. Dengan demikian, amandemen UUD 1945 sudah mengakibatkan kekosongan hukum terkait TAP MPR. Berharap pemerintah Indonesia atau negara menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga besar Bung Karno sepertinya sulit terealisasi. Demikian sumbang pemikiran ini diberikan dengan harapan dapat menjadi bahan diskusi lebih lanjut untuk mengisi kekosongan hukum pasca amandemen UUD. (*)

Mengapa Harus Ngotot Moderasi?

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  BAGI umat Islam, yang disasar dengan tembakan moderasi atau deradikalisasi, aturannya sudah jelas. Merusak, mengancam, menteror baik kepada umat lain ataupun umat sendiri jelas tidak dibolehkan. Apalagi membunuh dan menganiaya. Islam itu dimaknai sebagai jalan keselamatan menuju perdamaian.  Bahwa ada sikap tegas dalam relasi dengan umat lain tentu lazim. Dan itu dalam konteks penghormatan pada masing-masing keyakinan. Jika ada sebutan \"kafir\" kepada yang lain itupun suatu hal yang wajar saja. Seperti umat lain juga yang tentu \"mengkafirkan\" umat Islam. Kelompok atau rezim anti Islam sering mengeksploitasi hal ini. Hasilnya bukan toleransi tetapi sinkretisme atau pengaburan nilai-nilai agama.  Qur\'an Surat Al Kaafiruun mengatur toleransi itu melalui ayat \"lakum dienukum waliya dien\"--Bagimu agamamu, bagiku agamaku (Ayat 6). Ayat awal adalah penjelasan elementer \"laa a\'budu maa ta\'buduun\"--aku tidak menyembah apa yang kau sembah (Ayat 2) dan \"walaa antum abiduuna maa a\'bud--dan kamu tidak menyembah apa yang aku sembah (Ayat 3).  Surah Al Kaafiruun ini sering dibaca Nabi untuk shalat sunat. Bahkan disunnahkan. Misalnya saat usai thawaf \"wattakhidzuu min maqoomi ibroohima musholla\" (dan jadikanlah maqom Ibrahim ini tempat shalat). Lalu shalat 2 rakaat dimana rakaat pertama membaca surat al Kaafiruun. Ibrahim itu berbeda agama dengan ayah dan rajanya. Juga dengan kaumnya.  Rakaat kedua membaca Qur\'an Surat Al Ikhlas yang substansinya adalah ajaran tauhid \"qul huwallahu ahad\"--katakanlah Allah itu Esa. Jika ada sebutan Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan \"lam yalid walam yuulad\" itu adalah keyakinan Islam. Naif jika ada yang harus tersinggung dan menganggap tidak toleran.  Definisi radikalisme, intoleransi, moderasi dan kini politik identitas sangat tidak jelas. Itu terma politik bukan hukum. Semata tafsir politik untuk \"menggebuk\" dan \"melumpuhkan\".  Negara yang selalu meneriakannya adalah negara kekuasaan bukan negara hukum.  Dua surat pendek dari Al Qur\'an yaitu \" Al Kaafiruun\" dan \"Al Ikhlas\" cukup sebagai dasar bagi seorang muslim untuk memaknai identitas diri dalam beragama. Ada konsepsi ketuhanan dan relasi kemanusiaan.  Jadi buat apa ribut soal moderasi?  Kementerian Agama harus menjadi penjaga agama bukan perusak agama. Kementerian Pendidikan harus membuat bangsa semakin terdidik bukan menjadi pemantik dari kesemrawutan politik.  Bandung, 12 November  2022

Ijazah Palsu, Presiden Palsu?

Oleh : Dr. Memet Hakim - Pengamat Sosial, Ketua Umum APIB (Aliansi Profesional Indonesia Bangkit) SETELAH Tim kuasa hukum Bambang Tri Mulyono (BTM), selaku penggugat Presiden Joko Widodo, mencabut gugatan kasus dugaan ijazah palsu Joko Widodo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, secara perdata kasus itu telah selesai. Tapi apakah urusan ijazah palsu ini selesai?. Tampaknya belum, bahkan “kehebohan”  semakin ramai di medsos. Ketidakpercayaan masyarakat semakin meningkat. Masalah perdata telah bergulir menjadi masalah politis dan sosial.  Penahanan BTM dan Gus Nur pada 14 Oktober 2022 dianggap alasan yang “mengada-ada” oleh kalangan netizen. Dasar  hukum penahanan sama sekali tidak terkait dengan “kepalsuan ijazah” Jokowi.  Bisa saja tindakan polisi tersebut sepertinya mengkonfirmasi bahwa ijazah tersebut memang palsu.  Logika umum. Kenapa harus ada penangkapan?. Perlihatkan saja ijazah asli. Tidak perlu menghalangi sidang perdata dengan penangkapan BTM sebagai penggugat. Kasus akan tutup permasalahan kepalsuan ijazah selesai. Dengan menangkap BTM sehingga sidang pembuktian ijazah “terhalang”. Jokowi merugi. Semakin “disembunyikan” semakin meyakinkan masyarakat bahwa memang benar-benar ijazah Jokowi palsu. Hanya karena beliau masih menjadi orang no. 1 yang sangat berkuasa pembuktian kepalsuan masih tertunda. Obrolan ijazah palsu Jokowi tidak saja di medsos tapi juga di warung-warung kopi sampai kepedesaan. Legitimasi Joko Widodo dipertanyakan.  Obrolan netizen dan warung semakin menjadi-jadi dengan berita dugaan tentang Harry Mulyono. Pemilik ijazah Sarjana Kehutanan UGM ini meninggal terkait dengan kasus kepalsuan ijazah. Ijazahnya dimanfaatkan oleh Jokowi. Masyarakat belum pernah lihat foto Jokowi pakai toga ketika wisuda. Sesi foto yang sangat dibanggakan dan ditunggu oleh keluarga.  Juga jadi pembicaraan, Apakah penghapusan pasal UU hukuman pidana bagi pemalsu berhubungan dengan kasus “ijazah palsu” Jokowi.  Apakah perkawinan adik Jokowi mantan istri alm. Harry Mulyono, yang bernama Idayati dengan ketua MK ada kaitannya dengan ijazah palsu?. Demikian juga perpanjangan usia pensiun hakim MK terkait kepalsuan ijazah?. Sehingga ketika kepalsuan terungkap. Pemakzulan tidak dimungkinkan. Issue berkembang liar. Hanya karena BTM ditangkap, Jokowi tidak bisa memperlihatkan ijazah aslinya nya didepan pengadilan.  Walaupun mantan guru, kolega Jokowi ramai-ramai memberikan pengakuan dan menyampaikan kesan tentang sekolahnya Jokowi ketika SD, SMP, SMA. Rektor UGM ikut memberikan klarifikasi. Serta beberapa alumni angkatan 1980 Fakultas Kehutanan memperlihatkan ijazah asli mereka. Jokowi tidak ikut memperlihatkan ijazah aslinya. Semua aksi tersebut bukan memberikan keyakinan terhadap keabsahan ijazah Jokowi. Malah sebaliknya gunjingan “kepalsuan” semakin liar.   Sebenarnya jika saja ada kejujuran yang tersisa, Jokowi harus menghentikan semua “kehebohan” tersebut. Bukan saja menyangkut martabat diri dan keluarganya. Tetapi juga menyangkut martabat dan harga diri Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Jelaskan secara terus terang, melalui  pengadilan untuk diperiksa keaslian ijazahnya.  Namun karena Pengadilan sudah tidak ada penggugat sudah mencabutnya. Cara lain yang lebih konsitusional, merupakan cara yang diterima masyarakat adalah  DPR RI segera membentuk Pansus tentang ke absahan ijazah Presiden Jokowi.  Tidak perlu kuatir rakyat Indonesia sangat religi dan pemaaf. Jika memang ijazah palsu, minta maaf. Kemudian mundur secara baik-baik. Jokowi akan dianggap sebagai seorang yang bertanggung jawab terhadap kesalahan. Sebaliknya jika terbukti tidak palsu Jokowi dan keluarga akan kembali meningkatkan martabatnya, dan dapat mengakhiri jabatannya dengan terhormat.  Jika tidak “diselesaikan” baik secara pengadilan maupun tidak terbentuknya Pansus di DPR, polemik “heboh palsu” akan tetap berkembang dengan segala bumbunya. Presiden Jokowi akan terhina selamanya. Tercatat dalam sejarah bangsa. Ijazah Palsu, Presiden Palsu.  Bandung, 12 November 2022

Jokowi-lah Ancaman Demokrasi!

Saya berharap PDIP, Partai, Elemen Civil Socety, dan lain-lain itu mewaspadai Jokowi-Isme, yakni menciptakan feodalisme dan kultusisme yang menjadikan kita menyimpang dari akar konstitusi Republik Demokrasi. Oleh: Andrianto, Aktivis Pergerakan JOKO Widodo akan dikenang sebagai Presiden Mangkrak. Ini bermula dari mangkraknya Mobil Esemka yang tiada wujudnya hingga kini. Dalam periode pemerintahannya tidak ada niatan mewujudkan realisasi Mobil Nasional, setidaknya meletakkan dasar seperti BJ Habibie dulu dengan Project mobnas: Maleo. Yang ada makin banjir mobil dari RRC dan Korea. Sebelumnya, publik dibuai dengan histeria bila Jokowi Presiden, Rupiah akan kuat di kisaran Rp 10.000 per USD seperti periode awal SBY. (Pada akhir rezim SBY rupiah menyentuh Rp 13.000 per USD). Sekarang yang terjadi malah rupiah sudah lewati angka psikologis pasar Rp 15.800 per USD. (Tampaknya masih akan menaik). Janjinya untuk mewujudkan Nawa Cita yang isinya sangat Sosialistik ala Bung Karno, yang terjadi Rezimnya sangat Liberalis dan Kapitalistik. Tampaknya kita yang over estimed, dari berbagai sumber antara lain Bang Rizal Ramli yang pernah di dalam kabinet, Jokowi nyaris tidak pernah mau membaca executive summary. Padahal cuma 1 lembar sesuai permintaannya. Akhirnya roda pemerintahan berdasar intuisi dan kepentingan Oligarkhys. Ini yang terjadi dari project Infrastrukturnya yang tidak bermanfaat untuk rakyat. Seperti project IKN (Ibu Kota Negara), Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Bandara Kertajati, LRT Jabotabek dll. Semua project Jokowi dapat dipastikan mangkrak dan berpotensi pelanggaran hukum yang dapat menjadikannya berurusan dengan penegak hukum kelak. Jokowi sudah mengantisipai sehingga berupaya untuk terus berkuasa. Namun ambisi tersebut membentur tembok besar ketika PDIP menolak Amandemen 3 periode, dan Perpanjangan 3 tahun. Akhirnya sampailah Jokowi secara terang-terangan meng-endorse beberapa figur, dimulai dari Ganjar Pranowo (Jokowi berutang budi lewat tangan GP sang putra, Gribran Rakabuming Raka, bisa dapat rekom Walikota). Ganjar dengan dukungan resource-nya melejit ke elektabilitas tertinggi dengan maksud mem-presure Megawati Soekarnoputri dan PDIP memberi tiket Capres untuk Ganjar. Sejak setahun ini opsus dijalankan. Namun tanda-tandanya malah makin tertutup, PDIP mengunci Ganjar. Wajar saja. Ganjar pilihan Jokowi, bukan pilihan Megawati. Sedangkan Megawati tentu trauma dengan eksprimen petugas partai yang ternyata di-remote kekuatan lain. Bagi Megawati tentu akan lebih realistik menjaga roh dan keberlanjutan trah Sukarnoisme di PDIP. Setelah itu KIB didirikan untuk maksud sekocinya Ganjar. Namun PDIP mencium skenario ini, sehingga mengancam memecat Ganjar bila jadi Capres. Sejarah mencatat banyak tokoh berguguran bila dipecat antara lain Arifin Panigoro, Dimyati Hartono, Laksamana Sukardi, Rustriningsih dll. Semua tokoh ini dipecat dari PDIP oleh Megawati yang juga Ketum PDIP. Akhirnya melalui instrumen relawan militannya MUSRA (Musyawarah Rakyat) yang tadinya di-design untuk menaikan pamor Ganjar di akar rumput dan Parpol, tiba-tiba berputar haluan. Jokowi pun di acara HUT Perindo secara terang terang menyebut Prabowo Subianto dengan istilah Jatah. Dilanjutkan dengan pertemuan Musra dengan Prabowo sebagai bentuk dukungan Capres. Jokowi dan para oligarkhysnya tentu tidak mau lagi terkecoh sama Megawati dalam hal last minute mendukung KH Maruf Amin sebagai Cawapres. Padahal sosok ini yang paling di benci, karena berperan besar menjadikan Ahok masuk Bui dan tersungkur dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dari Anies Baswedan. Apa yang dilakukan Jokowi memang tidak lazim. Sebagai Presiden seharusnya bertindak sebagai pengawas, bukan malah jadi Partisan. Dengan resource yang dimlikinya tentu keabsahan pemilu yang jurdil menjadi terancam. Apalagi putusan MK yang dibuat Adik iparnya yang membolehkan Menteri tidak mundur ketika jadi Capres, ini tercium juga untuk melapangkan Prabowo. Saya berharap PDIP, Partai, Elemen Civil Socety, dan lain-lain itu mewaspadai Jokowi-Isme, yakni menciptakan feodalisme dan kultusisme yang menjadikan kita menyimpang dari akar konstitusi Republik Demokrasi. Jangan biarkan Tiran muncul sehingga kita setback menjadi negeri paria yang mundur ke belakng dan hanya untungkan para Oligakrhysnya Jokowi. (*)