Kasak-kusuk untuk Menjadi Nakhoda Muhammadiyah di Muktamar Ke-48
Kita menginginkan ada seperti tipikal Pak AR lagi di Muhammadiyah. Yang ke atas punya ketegasan dan ke bawah punya marhamah ke warga persyarikatan
Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ketua LDK PWM DKI
MUHAMMADIYAH bukan partai politik. Tetapi Muhammadiyah punya amal usaha dan pendukung serta simpatisan separoh dari warga masyarakat di negeri ini. Maka dari itu Muhammadiyah menjadi seksi dan gula-gula bagi siapa yang berkuasa dan ingin berkuasa baik itu di Muhammadiyah atau di pemerintahan.
Tapi, sayangnya Muhammadiyah sudah punya cara sendiri dalam mengatur dirinya yang gak bisa dikangkangin oleh pihak lain siapapun dia. Mau jadi Ketua Umum (Ketum) silakan atau mau jadi Ketum kedua kali juga silakan. Gak ada yang bisa melarang dan mencegahnya.
Tapi kalau pengen jadi Ketum kemudian membentuk Tim-tim dari kalangan angkatan mudanya yang hampir persis sama dengan yang ada di partai-partai politik yang sikat-sikut sana-sini dan membentuk polarisasi yang kemudian menyebabkan warga persyarikatan terbelah seperti saat Pemilihan Presiden (Pilpres) itu yang gak elok dan gak boleh.
Dulu ada kejadian orang yang tidak masuk jadi calon Ketum tapi beliau dipilih secara aklamasi oleh semua pengurus untuk jadi Ketum. Itu pernah terjadi. Yakni KH. Sutan Mansur. Model seperti ini tidak pernah terjadi di organisasi manapun baik organisasi massa atau politik baik di dalam negeri atau di dunia.
Itu hanya terjadi di Muhammadiyah. Apakah hal semacam ini bisa terjadi di era milenial lagi seperti saat ini di Muktamar ke-48? Kayaknya hal itu Sulit bin Susah. Why atau Kenapa?
Karena orang sekarang punya kepentingan pribadi dengan Muhammadiyah cukup tinggi. Mereka mau jadikan Muhammadiyah sebagai tunggangan untuk Kepentingan Pribadi dan Kelompoknya. Seperti yang sudah terjadi di beberapa Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) saat ini.
Ada yang punya kepentingan ingin jadi rektor. Dan, kalau sudah jadi rektor, ingin bisa dua atau tiga priode tanpa prestasi. Ada yang pengen jadi direktur di suatu AUM tanpa malu-malu memintanya agar dia bisa duduk di situ.
Padahal Aib bagi Muhammadiyah minta-minta jabatan. Ada yang pengen jadi pengurus di suatu AUM yang gak mau diganti-ganti dengan orang lain kecuali dia mati.
Ada yang benar-benar cari hidup di Muhammadiyah karena sudah pensiun di pemerintahan daripada gak ada pemasukan cuan ke kantongnya maka lebih baik jadi pengurus Muhammadiyah.
Lumayan kan ada honornya. Padahal dia sudah hafal betul perkataan Yai Ahmad Dahlan “Hidup-hidupkan Muhammadiyah jangan cari hidup di Muhammadiyah”. Ke semua kelompok manusia yang dicontohkan di atas itu mereka adalah orang-orang taat kepada Allah tapi masih hubuddunnya.
Jadi, pengurus dan jabatan apa aja di Muhammadiyah silakan saja dan itu tidak haram tapi jangan Kemaruk dan Serakah. Karena organisasi ini milik umat, bukan milik bapak moyang ente. Jadi harus bergiliran.
Kecuali ada aturan khusus yang telah disepakati bersama dan disetujui bersama agar anda menduduki jabatan itu sampai kiamat. Itu baru boleh. Seperti yang terjadi sama KH. AR Fakhrudin, beliau jadi Ketum cukup lama karena keteladanan yang beliau miliki.
Beliau dengan Kultur Jawanya bisa meredam Pak Harto (Soeharto) sang presiden saat itu yang semua orang takut hatta Jenderal semut saja di negeri ini takut dengannya. Tapi Alhamdulillah Pak AR begitu panggilannya bisa mengatasinya.
Kita menginginkan ada seperti tipikal Pak AR lagi di Muhammadiyah. Yang ke atas punya ketegasan dan ke bawah punya marhamah ke warga persyarikatan.
Kira-kira ada gak model-model kayak Pak AR lagi? Ke depan Muhammadiyah harus dipimpin oleh seorang yang bermental kayak Pak AR. Yang kesempatan beliau jadi kaya terbuka luas tapi beliau memilih jualan bensin eceran di depan rumahnya sambil nunggu dengan membaca kitab kuning. Oh Pak AR kami merindukan sosok karismamu di Muktamar 48 Muhammadiyah ini.
Allahummag filahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu.
Nasrum Minallahi wafathun Qoriib wa Basysyiril Mukminin.
Wallahu A'lam ... (*)