OPINI

Habis Anies Terbitlah Heru

Jika benar, keterlambatan mencalonkan Anies karena kalah cepat dengan pengumuman tersangka oleh KPK akan membuat Anies sulit masuk ke gelanggang politik. Oleh: Djohermansyah Djohan, Pendiri Institut Otonomi Daerah (i-OTDA) TANGGAL 16 Oktober 2022 genap Anies Rasyid Baswedan selama lima tahun menjabat Gubernur Jakarta. Periode pertamanya memimpin ibu kota selesai. Tapi tidak ada pemilihan umum setelah Anies lengser. Pemilihan Gubernur Jakarta baru akan digelar 2024 karena Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah Nomor 10/2016 mewajibkan pemilu secara serentak di 541 daerah otonom pada 27 November 2024. Pemilihan kepala daerah serentak ini mengikuti tata waktu pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang disatukan penyelenggaraannya pada 14 Februari 2024. Menurut para penyusun UU Pemilihan Kepala Daerah, pemilu serentak bertujuan menyederhanakan pemilu dan agar keriaan demokrasi ini berjalan efisien. Kemudian, siapa yang menggantikan Anies memimpin DKI Jakarta selama dua tahun mendatang? Di sinilah pangkal soalnya. Pembuat UU Pilkada tidak hati-hati, baik disengaja ataupun tak sengaja, mengatur jabatan kosong yang telah  ditinggalkan kepala daerah yang pemilihannya tak klop dengan jadwal pemilu serentak dengan menunjuk penjabat dari kalangan pegawai negeri sipil. Penunjukan ini akan berakibat pada legitimasi kepala daerah. Sesuai amanah konstitusi, UU Pilkada seharusnya menyediakan mekanisme pemilihan oleh DPRD atau memperpanjang masa jabatan kepala daerah hingga terselenggara pemilu berikutnya. Mengangkat pegawai negeri sipil oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri, selain mencederai demokrasi, juga rawan konflik kepentingan. Terlebih lagi di masa jabatan kepala daerah yang ditunjuk itu ada pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah. Sudah bukan rahasia lagi penjabat dari kalangan PNS selama ini gampang disetir dan ditunggangi kepentingan politik. Di daerah, pada era demokrasi elektoral kini, faktor figur kepala daerah sangat menentukan. Dia menjadi lokomotif dalam melakukan transformasi. Suatu daerah bisa maju, jalan di tempat, atau malah mundur, bila salah memilih pemimpin kepala pemerintahannya. Karena itu pejabat yang berwenang mengangkatnya perlu hati-hati dan hendaknya menjadikan kriteria baku sebagai pedoman penunjukannya. Di samping itu, sejak 2007, warga Jakarta telah memilih sendiri secara langsung gubernurnya. Pada tahun itu sebagian besar penduduk Jakarta memilih Fauzi Bowo, seorang birokrat pemerintahan DKI Jakarta yang berkarier dari staf biasa hingga menjabat Sekretaris Daerah. Ia dikalahkan Wali Kota Solo Joko Widodo saat maju sebagai petahana di periode kedua. Dalam pemilihan kepala daerah 2017, Anies Baswedan mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama, wakil Jokowi yang melaju ke kursi presiden pada 2019. Rektor Universitas Paramadina yang menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla menjadi DKI-1 mengalahkan Basuki lewat pertarungan sengit yang diwarnai politik identitas. Semua itu adalah proses demokrasi yang seharusnya tak diabaikan begitu saja oleh para pembuat undang-undang kita. Kini masa jabatan Anies Baswedan selesai. Menurut ketentuan pasal 201 ayat 10 UU Pilkada Nomor 10/2016, jabatan gubernur harus diisi oleh pegawai negeri yang menyandang jabatan setara eselon 1. Semula hanya Menteri Dalam Negeri yang bisa mengusulkan tiga nama calon pelaksana tugas gubernur kepada presiden. Belakangan atas desakan masyarakat, DPRD boleh pula mengajukan tiga nama. Tiga nama yang diusulkan DPRD DKI Jakarta kepada Presiden Jokowi adalah Heru Budi Hartono, Kepala Sekretariat Presiden yang pernah menjadi Wali Kota Jakarta Utara; Marullah Matali, Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta yang pernah menjabat Wali Kota Jakarta Barat; dan Bachtiar, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri yang pernah menjadi penjabat Gubernur Kepulauan Riau. Dalam sidang tim penilai akhir (TPA) pada 6 Oktober 2022, Presiden Jokowi memutuskan Heru Budi Hartono sebagai Penjabat Gubernur DKI Jakarta. Berarti dia dianggap “clean” dan cakap memimpin DKI Jakarta. Jika ada beberapa kasus hukum yang berkaitan dengan Heru Budi seperti disuarakan Masyarakat Antikorupsi (MAKI), TPA tentu telah membahasnya dengan teliti. Nyatanya, Presiden telah menjatuhkan pilihan siapa yang memimpin Jakarta dua tahun ke depan. Naiknya Heru Budi menjadi DKI-1 memunculkan kesan “gubernur rasa Istana” untuk menunjukkan dulu ada “gubernur rasa Menteri Dalam Negeri”. Pada pilkada 2017, Jokowi juga mendapuk Heru Budi berpasangan dengan Basuki namun gagal. Butuh lima tahun Jokowi bisa menunaikan cita-citanya mengangkat Heru jadi Gubernur Jakarta. Setelah melantiknya, Jokowi berpesan agar Heru mengendalikan banjir Jakarta, menurunkan kemacetan melalui integrasi transportasi publik, juga membereskan tata ruang. Tugas lain adalah memfinalkan APBD DKI Jakarta 2023 paling lambat 30 Nopember 2022 ini. Dalam konteks itu, kemampuan Heru meyakinkan DPRD DKI Jakarta bakal diuji, sehingga anggaran bisa diketok tepat waktu. Dua tugas penting lain Heru Budi Hartono adalah memfasilitasi kepindahan ibu kota negara Nusantara dari Jakarta ke Kalimantan Timur dan mendukung kelancaran pemilihan legislator dan pemilihan presiden 14 Februari 2024 serta pemilihan Gubernur Jakarta 27 November 2024. Sebagai “orang Istana” rasanya Heru Budi Hartono tak akan banyak kesulitan menanganinya, karena ia punya akses ke pucuk kekuasaan, pengelola otorita Nusantara, para menteri dan pimpinan lembaga sipil dan militer. Sebagai pegawai negeri, Heru tentu wajib netral, tidak memolitisasi aparatur sipil negara, dan tidak mencalonkan diri menjadi gubernur Jakarta pada 2024. Bagaimana nasib Anies Baswedan? Di luar soal keberhasilannya menata Jakarta, meluaskan transportasi publik, menurunkan kemacetan, ia juga pemimpin yang kontroversial. Guna mewujudkan mimpi membuat Jakarta jadi kota global, pada 14 Juni 2022 ia menggelar balapan Formula E dengan alokasi biaya hajatan sekitar Rp 380 miliar. Belakangan KPK memeriksa Anies untuk menyelidiki dugaan korupsi di ajang balapan mobil listrik itu. KPK kabarnya segera menetapkan Anies Baswedan sebagai tersangka korupsi. Menurut majalah Tempo, rencana pengumuman itu yang membuat Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh buru-buru mengumumkan Anies sebagai calon presiden dalam Pemilu 2024. Jika benar, keterlambatan mencalonkan Anies karena kalah cepat dengan pengumuman tersangka oleh KPK akan membuat Anies sulit masuk ke gelanggang politik. Dari kursi gubernur Jakarta kini Anies Baswedan terlempar ke kursi calon presiden. Bila hasil surveinya menanjak, koalisi partai pengusung berhasil dibentuk, dan calon wakil presiden yang dipilihnya bisa menambah suara, Anies berpeluang besar memenangi pemilihan presiden 2024. Berarti, ia meneruskan jejak Joko Widodo yang naik ke kursi Presiden dari jabatan gubernur DKI Jakarta. Kalau Anies Baswedan kalah dan tak jadi calon presiden, jika mau, ia masih terbuka peluang ikut lagi berlaga di pemilihan Gubernur Jakarta untuk periode kedua. Tapi ia harus menunggu pemilihan berikutnya setelah keriuhan pemilihan presiden beres akibat kekacauan desain Pemilu serentak dalam UU Pemilihan Kepala Daerah. (*)

Ketika Rakyat Rindukan Perubahan

Bahkan Mendagri Tito Karnavian – yang di mata publik sangat Jokowi sentris dalam artian berseberangan dengan Anies – mengakui kesuksesan cucu pahlawan nasional AR Baswedan itu. Oleh: Nasmay L. Anas, Wartawan Senior Harian Jawa Pos DI tengah sebaran hoax oleh para buzerRp, ternyata animo masyarakat terhadap pencapresan Anies Baswedan begitu luar biasa. Karenanya tidak terbayangkan lagi bahwa Anies hanyalah mantan Gubernur DKI Jakarta. Yang memang ibukota negara. Tapi dibandingkan dengan luas kepulauan Nusantara, ianya hanyalah sebuah titik kecil saja. Sebuah noktah merah dalam peta wilayah Republik Indonesia. Tak pelak hal ini tentu menimbulkan pertanyaan: Mengapa Anies begitu digandrungi? Ada apa, sehingga begitu luasnya dukungan dari berbagai kalangan di seantero bumi Nusantara? Tidak hanya di Jakarta, atau pulau Jawa saja. Tapi bahkan menyebar dari Sabang sampai Merauke. Tidak hanya dari mereka yang menyaksikan perjalanan politik Anies. Minimal 10-20 tahun terakhir. Tapi bahkan juga dari mereka yang mungkin sama sekali belum pernah mendengar nama tokoh idola ini. Melihat kecenderungan itu, tak banyak yang dapat dikomentari. Kecuali, rakyat seantero Nusantara sangat mengharapkan adanya perubahan. Tidak hanya perubahan bagi perbaikan kehidupan mereka. Tapi juga perubahan secara menyeluruh. Pertama, dari tata kelola pemerintahan. Kedua, perubahan sosok yang mengendalikan kekuasaan. Sesuai arah kebijakan yang pernah dilakukan. Menurut kacamata rakyat banyak, tentu saja. Apakah kebijakan yang ada selama ini berpihak kepada mereka atau tidak? Dan dari semua harapan dan asa yang terkandung di hati rakyat banyak, tampaknya perubahan yang kedua itulah yang paling ditunggu-tunggu. Karena, selama tujuh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi, rakyat merasakan kehidupan yang semakin sulit. Sebagai akibat dari kebijakan yang centang prenang. Sekali lagi, di mata rakyat banyak, tentu saja. Meskipun pemerintah selalu mengatakan telah berusaha keras untuk menjalankan roda pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Di tengah suasana yang ada sekarang ini, ternyata sejumlah nama telah ditampilkan sebagai para calon presiden yang akan datang. Paling tidak masa 5 tahun pasca 2024. Spanduk mereka yang ingin namanya dikenal masyarakat luas – dan tentu saja berharap sebagai yang terbanyak akan dicoblos rakyat pada Pemilu 2024 nanti – telah tersebar di mana-mana. Di pojok-pojok jalan di pusat kota. Bahkan sampai ke jalan-jalan di daerah pelosok yang jauh. Dengan senyuman sumringah terbaiknya. Berikut janji-janji bila terpilih nanti. Yang semuanya berjanji akan mengangkat harkat dan martabat rakyat banyak. Seperti yang pernah dilontarkan Jokowi menjelang pemilu 2014 dan 2019. Satu hal yang paling penting diingat, tentu saja, bahwa rakyat tidak ingin tertipu lagi. Baik oleh janji-janji manis yang hanya manis di bibir saja, tapi juga yang terlalu pahit dalam kenyataan. Begitu juga oleh sosok yang selalu ditampilkan. Yang begitu terkesan sederhana. Sangat merakyat. Sampai menjadi satu-satunya calon presiden di muka bumi yang berani masuk gorong-gorong. Sebagai gambaran akan siap bermandikan lumpur dan kotoran demi kesejahteraaan rakyat. Yang pada kenyataannya, sangat jauh panggang dari api. Semua itu telah terpatri dalam benak rakyat selama 7 tahun terakhir ini. Dengan kenyataan, hampir semua janji tidak ditepati. Termasuk janji akan mensejahterakan kehidupan rakyat. Dengan membuat ekonomi meroket. Tidak akan menambah hutang. Tidak akan bagi-bagi kekuasaan. Dan, akan membuka 10 juta lapangan pekerjaan. Dan sejumlah janji manis yang lain. Yang terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu. Hanya Anies Baswedan Perasaan kecewa yang begitu rupa dan semakin meningkatnya ketidak-percayaan publik terhadap penguasa, membuat rakyat mengharapkan sesuatu yang lain. Tepatnya, rakyat rindu perubahan. Agar penguasa nanti berpihak kepada mereka. Tidak ingin mendengar pada saatnya nanti ada yang bilang: Penguasa lebih peduli kepentingan oligarki dari pada kepentingan rakyat yang telah menjatuhkan pilihan untuknya dalam dua kali pemilu terdahulu. Dan, di antara sejumlah nama yang sudah beredar sebagai Capres Republik Indonesia ke depan, ternyata hanya Anies Baswedan yang memperlihatkan kecenderungan yang mungkin akan memenuhi harapan mereka. Hal ini tidak didasarkan subyektifitas kepada sosok maupun kepribadian Anies semata-semata. Yang tak perlu ditampilkan kesederhanaannya dari dandanan yang mirip rakyat jelata. Apalagi untuk ikut-ikutan masuk gorong-gorong segala. Tapi lebih-lebih pada figur yang siap bekerja keras untuk kemajuan seluruh anak bangsa. Tak peduli apa pun suku, agama, ras maupun etnisitasnya. Yang mungkin lebih mampu membebaskan diri dari pengaruh oligarki. Baik oligarki politik maupun ekonomi. Seperti yang telah diperlihatkannya ketika lima tahun memimpin ibukota Jakarta. Dan yang paling penting, dialah satu-satunya calon yang diharapkan akan mampu merajut kembali tata kelola pemerintahan, ke arah yang lebih baik. Yang terbebas dari pengaruh dan tekanan partai koalisi. Membangun kembali kepercayaan publik, dengan memperbaiki kondisi sosial ekonomi yang begitu terpuruk. Meningkatkan penegakan hukum. Kalau perlu dengan mengganti orang-orang yang tidak kompeten. Dan, mendorong dilakukannya perbaikan ketentuan undang-undang dasar, selepas amandemen undang-undang yang kebablasan pasca reformasi. Begitu juga, meluruskan tupoksi sejumlah lembaga – semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) – yang kesannya cenderung jadi alat penguasa. Lalu, the last but not least, menghilangkan keterbelahan anak bangsa. Yang sejauh ini terjadi karena kebijakan penguasa membayar para buzzer. Demi memperbaiki citra yang terpuruk dan menghadapi serangan lawan-lawan politik. Di balik alasan mengapa orang merindukan sosok pemimpin seperti Anies tidak lain karena prestasi yang telah ditorehkannya selama lima tahun memimpin ibukota Jakarta. Terutama karena Anies telah memenuhi hampir seluruh janji kampanyenya. Hal ini antara lain dapat dilihat dari paparan Sosiolog Musni Umar. Yang  menilai Anies Baswedan sukses membangun Ibu Kota dalam 5 tahun kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hal tersebut disampaikan Musni dalam tulisannya berjudul \'Refleksi 5 Tahun Kepemimpinan Anies Baswedan: Sukses Bangun Jakarta Tanpa Penggusuran, Barnis For Anies 2024\'. “Dalam refleksi 5 tahun kepemimpinan Anies Baswedan memimpin Jakarta, kita bisa lihat berbagai kemajuan yang diwujudkan,” tulis Musni, seperti dikutip Sabtu (15/10/2022). Menurutnya, kesuksesan Anies membangun Jakarta bisa dilihat dari berbagai macam bidang, baik itu bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, transportasi, pembangunan infrastruktur, hingga revitalisasi sejumlah kawasan dan lainnya. Secara lebih rinci Musni menyebut, keberhasilan Anies merealisasikan program melindungi perempuan dan anak-anak Jakarta dari praktik pelecehan, kekerasan dan diskriminasi, serta praktik perdagangan orang dengan mengaktifkan 267 Rumah Aman. Mewujudkan pembukaan 200.000 lapangan kerja dengan mengaktifkan 44 pos pengembangan kewirausahaan warga. Dalam upaya menghasilkan 200.000 pewirausaha baru selama 5 tahun. Anies juga membangun sistem transportasi umum terpadu. Dalam bentuk interkoneksi antar moda dan perbaikan model manajemen layanan transportasi massal. Begitu juga membangun kembali Kota Tua yang diubah namanya menjadi kawasan Batavia. Membangun 377 taman kota, termasuk Tebet Eco Park dan Taman Literasi Christina Martha Tiahahu Blok M yang sangat disukai warga Jakarta. Dan, di antara legacy Anies yang paling fenomenal, kata sosiolog kondang itu, ialah pembangunan Jakarta Internasional Stadium (JIS) dan Sirkuit Taman Impian Jaya Ancol, yang sukses luar biasa menyelenggarakan balap mobil Formula E. Sekarang, meski para buzzerRp tak henti-henti melecehkan kinerja mantan Gubernur DKI Jakarta itu, namun mata hati dan mata kepala rakyat dapat melihat dengan terang benderang. Bukti nyata sukses kepemimpinan Anies di Jakarta. Yang mandiri dan terbebas dari pengaruh maupun tekanan pihak mana pun. Bahkan, Mendagri Tito Karnavian – yang di mata publik sangat Jokowi sentris dalam artian berseberangan dengan Anies – mengakui kesuksesan cucu pahlawan nasional AR Baswedan itu. Ketika bicara di Kantor Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara, Senin (17/10/2022), Tito mengatakan, permasalahan di Jakarta sangat kompleks. Tapi Anies dapat menyelesaikannya dengan husnul khatimah. (*)

Anti Klimaks Soekarnoisme

Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Terlepas pro dan kontra serta polemik di seputar kehidupan dan sejarah yang menulis tentang figurnya, Soekarno telah lama menjadi ikon dari ideologi kebangsaan yang kuat melekat pada republik ini. Sayangnya setelah setengah abad kepergiannya, pemikirannya yang masih hidup  dan biasa disebut dengan Soekarnoisme atau Marhaenisme itu, lebih kental menjadi komoditas politik oleh keluarga ataupun pengikutnya. Dipakai sebagai alat perdagangan dan transaksi kekuasaan oleh PDIP ataupun petualang politik pragmatis yang menggelutinya. Spiritnya  hanya sebatas simbol dan sekedar jargon semata. Para Soekarnois itu, justru lebih suka membunuh Soekarno berkali-kali bahkan setelah kematiannya. Kalangan nasionalis kini sedang digugat. Pada sejarah masa lalunya, maupun tindak-tanduknya di masa kini. Sempat menjadi sumber energi dan bagai api yang menyala-nyala tak pernah padam. Ideologi nasionalis sempat mencapai puncak kejayaannya,  tatkala bangsa ini dalam semangat  pergerakan kemerdekaan Indonesia. Menghidupkan revolusi Indonesia melawan penindasan dari kolonialisme dan imperialisme. Membebaskan rakyatnya dari belenggu penjajahan, tak peduli berapapun harganya tak peduli darah dan nyawa dikorbankan. Namun tak lama usai kemerdekaan dikumandangkan, nasionalisme di tangan pemimpin-pemimpin yang ego, ambisius dan cinta dunia. Telah mewujud menjadi nasionalisme yang \"chauvanistic\" dan cenderung \"facism\".  Nasionalisme yang menggantikan kolonialisme dan imperialisme itu sendiri,  melahirkan diktatorian dan otoriterian bagi rakyatnya sendiri. Kini setelah  76 tahun menghirup alam kemerdekaan, apa yang terjadi?. Nasionalisme menjadi seperti ayam sayur. Sebuah masakan yang sering menjadi ilustrasi sifat pecundang dan kekerdilan. Gagah berani mengobarkan semangat patriotis mengusir penjajahan di masa lampau, seiring waktu rakyat hanya menjadi menjadi korban dari kekuatan liberaliasi dan sekulerisasi yang sejatinya menjadi representasi kapitalisme modern. Nasionalisme nyaris tak mampu hadir atau menunjukkan keberadaanya saat negara dalam cengkeraman kekuasaan bangsa asing dan bangsa aseng. Pancasila, UUD 1945 dan NKRI terus diperkosa dan teraniaya oleh ideologi yang tak pernah terpikul dan dipikur oleh naturnya Indonesia. Ekonomi, politik dan hukum begitu tak berwibawa, bahkan  kehilangan harga diri dan martabatnya,  rakyat hanya menjadi bangsa kuli di atas kuli. Simbol sekaligus jargon nasionalis yang dulu  kuat melekat pada pemimpin dan tokoh-tokoh kebangsaan terutama pada figur Soekarno. Menjadikan figur Soekarno seperti magnit yang menyatukan kekuatan revolusioner pada masanya. Kiri, kanan dan tengah sebagai istilah instrumen perlawanan mengusir penjajahan. Martchs Vorming Soekarno menyebutnya, meskipun pada akhirnya semua kekuatan yang menentang imperialisme dan kolonialisme disebutnya sebagai kelompok kiri. Dari situ domain dan irisan Soekarno tidak pernah lepas dari keyakinan dan pengaruh kekuatan kiri, yang dianggap berbasis pemikiran Karl Marx yang kemudian ditafsirkan sebagai ideologi komunis. Setelah orde lama, orde baru dan 24 tahun perjalanan reformasi. Konstelasi dan konfigurasi politik aliran dan ideologi  itu, tak pernah surut mengiringi episode panjang drama dan konflik Indonesia sejauh ini. Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno bukan hanya sebagai salah seorang  pendiri bangsa dan proklamator kemerdekaan Indonesia. Bung Karno juga menjadi presiden yang berkuasa dengan durasi cukup lama, sembari berkontribusi besar bagi dunia antara lain ikut mendirikan gerakan kekuatan non blok,  menggagas Konferensi Asia Afrika ( KAA), pidato Pancasila yang menggetarkan sebagai ideologi alternatif dunia di Sidang Umum PBB, dlsb. Performans pribadinya juga menguat dengan pelbagai julukan yang memesona seperti pemimpin besar revolusi, penyambung lidah rakyat dan penggali Pancasila. Beragam pesona pada dirinya itu pada akhirnya membuat Bung Karno terjebak pada pertarungan dan kepentingan blok barat dan blok timur yang kala  itu mengusung era perang dingin. Bung Karno harus jatuh dari kekuasaannya, ketika gagal memainkan politik luar negeri dalam rangka membangun kepentingan nasional dan menjaga keseimbangan dari pengaruh pendulum ideologi kapitalisme dan komunisme yang menguasai dunia. Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang begitu dibangga-banggakan Soekarno, harus terbelenggu, porak poranda dan bahkan  mengalami kehancuran bukan karena semata sebab dampak perang dingin yang dimotori Amerika dan Uni Soviet. Negara yang kaya dan besar secara aspek geografis, geopolitis dan geostrategis, harus mengalami degradasi bahkan kemunduran peradaban akibat pertikaian dua kekuatan adidaya tersebut. Kepemimpinan berkarakter Bung Karno yang gagal menciptakan  keharmonisan dan keselarasan kehidupan politik dsn ekonomi di dalam negeri. Juga posisi tawar negara dalam pergulatan dua ideologi paling berpengaruh demi menguatkan posisi Indonesia di luar dan di dalam negeri, menjadi faktor penting yang memicu tamatnya kekuasaan Bung Karno, tragedi kemanusiaan dan Indonesia berada di titik nadir. Peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965,  menjadi indikator kelalaian kalau belum bisa dibilang kesalahan  Bung Karno, selain dari hadirnya kompetisi dan pemenang pertarungan ideologi kapitalisme dan komunisme yang berimplikasi pada  penaklukan Indonesia.  Mengulang Sejarah Konstelasi dan konfigurasi politik dan ekonomi dalam pemerintahan orde lama dibawah kepemimpinan Soekarno menjelang kejatuhannya. Menunjukkan  betapa sulitnya mengatur suatu negara sekaligus tampil ekspresif dalam pergaulan internasional, sekalipun pemimpin sekelas Bung Karno. Usia kemerdekaan negara yang belum genap 20 tahun pada saat itu, membuktikan konsolidasi nasional menjadi begitu penting dan utama  ketimbang mengedepankan eksistensialis dan agresifitas pada percaturan global. Terlebih melawan negara-negara yang menjadi episentrum kapitalisme dan menyuburkan imperialisme dan kolonialisme dunia. Sikap tidak konsisten Bung Karno pada gerakan non blok yang diperjuangkannya sendiri. Membuat Bung Karno membawa Indonesia ke jurang marabahaya, dengan terlalu intim pada  negara komunis yang menjadi representasi kekuatan blok timur. Tanpa disadari Bung Karno, afiliasi politik dan ekonomi yang condong ke Uni Soviet di saat geliat perang dingin, signifikan membangun resistensi kekuatan blok barat yang diwakili Amerika dan negara-negara sekutunya. Praktis politik luar negeri yang demikian menjadikan Indonesia pada akhirnya hanya sebagai negara yang menjadi irisan sekaligus etalase konflik internasional. Indonesia bukan  hanya negara yang menarik  ditinjau karena faktor taktis dan strategis, menyangkut kekayaan sumber daya alam serta sebagai faktor stabilisator regional dan internasional. Negeri yang bisa disebut baru seumur jagung dan terlalu lama dijajah itu, telah menjadi boneka cantik yang harus direbut dan dikuasai negara-negara kapital dunia. Bung Karno, terlepas dari kekhilafannnya sebagai manusia, harus lenger dengan begitu terpuruk hingga di  akhir hayatnya. Meninggalkan hitam putih perjuangannya, hitam putih sejarahnya serta hitam putih kebaikan dan kesalahannya sebagai seorang  yang tetap juga sebagai manusia meskipun menjadi pemimpin sekaliber dunia. Bung Karno yang terlalu dalam berinteraksi dan menjadi daya dukung utama kekuatan komunis saat menampilkan karakter kepemimpinan yang anti imperislisme dan kolonialisme. Harus jatuh menghadapi teori dan politik konspirasi.  Betapapun  fenomenal dan unik Bung Karno mengisi panggung politik perhelatan pergaulan dunia saat itu, Bung Karno adalah pemimpin yang keras kepala dan tak mudah menghentikan ambisinya. Bung Karno tetap kopeh mempertahankan dan bahkan melindungi PKI sebagai anasir komunisme internasional dalam perjalanan  pemerintahannya. Realitas itu yang membawa dampak buruk bagi Indonesia bukan hanya soal krisis ideologi, lebih dari itu melahirkan krisis multidimensi kenegaraan dan kebangsaan. Politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan  hingga keutuhan dan keselamatan Indonesia juga dipertaruhkan. Indonesia nyaris tenggelam setidaknya Pancasila, UUD 1945 dan NKRI mengalami situasi genting pada masa itu. Pemberontakan PKI tahun 1965 menghancurkan segalanya dan memulai segalanya, hingga Indonesia kekinian. Sejarah yang kemudian juga tak kalah hebatnya dalam dinamika politik dan ekonomi, yang diisi dan ditulis sendiri oleh kekuasaan orde baru. Orde lama dan orde baru telah tergusur dari pentas dan panggung  politik utama secara formal dan normatif. Namun secara substansi, keyakinan-keyakinan ideologi keduanya tak pernah mati. Orde lama yang kental dicap sebagai komunis dan orde baru yang dituduh sangat kapitalistik, merupakan kekuatan laten yang tak pernah mati hingga era reformasi bergulir. Kedua irisan ideologi besar dunia itu seakan menjadi keniscayaan bagi proses penyelenggaraan dan keberlangsungan negara Indonesia. Landasan dan semangat yang berpijak pada pengamalan Pancasila, pelaksanaan UUD 1945 dan mewujudkan NKRI sebagaimana cita-cita proklamasi, terbukti sekedar basa-basi dan menjadi pepesan kosong. Eksistensi negara tak ubahnya seperti pemerintahan kolonial, rezim berwatak militeristik dan anti demokrasi. Sementara rakyatnya hidup menderita menjadi menjadi korban distorsi kekuasaan. Rakyat Indonesia harus pasrah dan rela menjadi korban dari eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa  baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsanya sendiri. Kini setelah hampir 25 tahun reformasi bergulir, Indonesia tak berubah, tetap menjadi negara pecundang. Bahkan jauh lebih buruk dari orde lama dan orde baru. Sendi-sendi kehidupan negara yang fundamental dan prinsip telah hancur lebur.  Pancasila telah mati setidaknya mati suri, konstitusi porak poranda dan yang paling miris ketika moral bangsa pada titik terendah menghinggapi bukan saja pada aparat, pejabat dan para pemimpin, penyakit ahlak yang kronis dan akut juga telah mewabah hingga ke rakyat jelata di semua penjuru. Hipokrit, penghianatan, ketidakjujuran, perilaku sadis dan dzolim hingga cinta harta, tahta dan dunia telah meresap ke tulang sumsum dan menjadi karakter manusia Indonesia. Bangsa ini secara perlahan dan masif telah berubah menjadi bangsa pembunuh dan menghalalkan segala cara untuk memuadkan nafsu syahwat atas harta, tahta dan wanita.  Kritik Oto Kritik Soekarnoisme Antitesis Soekarno, sepertinya akan mengusik diskursus kemapanan politik dan ideologi kebangsaan yang selama ini didominasi oleh faham nasionalis. Bergenre nasionalis Soekarnois atau nasionalis, selain nasionalis religius dan religius nasionalis Marhaenis. Dengan menjadi platform kebangsaan yang sudah pasti menjadi landasan pemerintahan rezim siapapun yang berkuasa. Tak ubahnya warisan ideologi yang harus terus dipelihara dan abadi, ideologi nasionalis tak akan pernah tergantikan oleh pemahaman kebangsaan apapun. Nasionalisme yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Soekarno dan cenderung berhaluan kiri itu, seakan menjadi abadi, hidup terus sepanjang negara bangsa Indonesia ada. Tak boleh ada perdebatan lagi, tak boleh diganggu dan tak boleh dipertentangkan lagi. Konsensus nasional bervisi kebangsaan yang menjadi representasi piagam Jakarta, telah menetapkan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagai nilai-nilai yang baku dan mutlak bagi proses perjalanan dan eksistensi republik. Seperti yang terus hingga kini terdengar begitu bising dan hiruk pikuk dengan teriakan Pancasila harga mati dan NKRI harga mati serta  saya Pancasila dan saya NKRI. Sayangnya, semua itu hanya kamuflase dan manipulasi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Sesungguhnya praktek-praktek penyelenggaraan negara  dihidupkan oleh kekuatan kapitalisme dan komunisme global.  Metamorfosis dari perang dingin yang diwakili blok Amerika dan Uni Soviet di masa lampau, seiring waktu menampilkan kedigdayaan Amerika dan Cina di era modern. Secara hakiki,  perang dingin dalam wujud neoliberalisme masih menyelimuti  Indonesia. Nasionalisme Soekarnois atau nasionalisme Marhaenis bersama instrumen nasionals sekuler lainnya yang terbukti gagal dan mengalami kebuntuan. Pada prskteknya masih dipertahankan oleh trah entitas politik seperti PDIP dan kompatriotnya dalam pelbagai  insitusi negara baik dalam kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun kekuatan media, organisasi massa dan stage holder lainnya. Ideologi Soekarno atau identik dengan Marhaenisme, langgeng dan terus melenggang menjadi pemilik otoritas prinsip-prinsip pemerintahan dan tata kelola negara. Tak peduli betapapun betapa nilai-nilai kapitalistik dan komunis terus menggerogoti tafsir dan manifesto pemikiran Soekarno. Kenyataannya, penyelenggaraan negara dijalankan dengan prinsip-prinsip kapatalistik dan Marxis. Selain Amerika liberal dan sekuler, Cina yang komunis dan mulai intens mengadopsi kapitalisme. Keduanya negara super power itu tak terbantahkan telah menjadi nekolim atau penjajah baru  bagi negeri yang sebagian rakyatnya memuja  mengagungkan ideologi Soekarno atau Marhaenisme, yang dulu sangat menentangnya. Sementara tak ada tempat dan waktu bagi tafsir nasionalisme yang lain, terlebih bagi Islam yang  selalu marginal yang sejatinya menjabarkan peradaban manusia dan dunia, lebih dari sekedar nasionalisme dan internasionalisme. Saatnya, rakyat membuka mata dan hati, saatnya bangsa ini sadar dari \'koma\' panjang. Bahwasanya nasionalisme Indonesia telah mengalami kebangkrutan dan kegagalan. Soekarno dengan ideologi Marhaenis boleh jadi sangat baik dalam pemikiran tapi boleh jadi sangat buruk dalam implementasinya. Secara historis dan empiris, terbukti tidak menjadi obat bagi persoalan peradaban manusia dan kehidupan dunia, khususnya bsgi rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Satu lagi hal yang paling mendasar, pentingnya memudakan pengertian nasionalisme yang lebih sederhana, segar dan menyehatkan bagi kesadaran ideologi dan politik di  bumi nusantara ini. Harus ada pengertian dan toleransi bagi semua anak bangsa, terutama  para pelaku politik dan pemangku kepentingan publik. Persefrktif ideologi dan kebangsaan tidak boleh dipaksakan seolah-olah nasionalisme itu hanya berasal dan bersumber dari pemikiran atau ideologi Soekarno. Hanya PDIP sebagai pewaris dan yang paling Seoekarnois. Termasuk tidak sempit dan picik mengaggap orang-orang Soekarnois itu mutlak paling  nasionalis,  atau sebaliknya yang nasionalis itu selalu harus Soekarnois. Terlebih ketika euforia Soekarnoisme melalui geliat PDIP justru pada prakteknya menimbulkan keterputukan bangsa. Ya, dengan situasi dan kondisi rakyat, negara dan bangsa Indonesia sekarang ini. Bisa dibilang determinasi ideologi Soekarnoisme justru berujung anti klimaks. (*)

Setelah Melanggar Konstitusi, Kini Politisasi Jadwal Pilkada, untuk Kepentingan Siapa?

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) direncanakan serentak, artinya terjadi bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, serentak untuk kepala daerah yang sudah habis masa jabatan 5 tahunnya, agar dilaksanakan serentak di semua daerah. Tetapi, serentak bukan berarti ditunda, seperti yang terjadi sekarang. Yaitu, pilkada yang seharusnya dilaksanakan 2022 baru akan dilaksanakan 2024. Itu namanya ditunda secara serentak. Sementara itu, kepala daerah yang dipilih secara demokratis, yang masa jabatan 5 tahunnya sudah habis, diberhentikan. Dengan demikian, menurut UUD Pasal 18 ayat (4), telah terjadi kekosongan jabatan kepala daerah tersebut, seperti terjadi di DKI Jakarta. Karena, menurut konstitusi, kepala daerah wajib dipilih secara demokratis. Artinya dipilih oleh rakyat melalui pilkada, bukan ditunjuk atau diangkat oleh mendagri atau bahkan presiden. Artinya, pengangkatan Penjabat Kepala Daerah melanggar konstitusi.  Anjing menggonggong, Kafilah berlalu. Mendagri tetap menunjuk dan mangangkat Penjabat Kepala Daerah. Di samping melanggar konstitusi, pilkada serentak 2024 sepertinya juga dipolitisasi. Tahun 2024 juga tahun pemilu dan pilpres. Pemilihan anggota DPR dan DPRD, serta pemilihan presiden. Anehnya, jadwal pilpres dilaksanakan lebih dahulu dari jadwal pilkada. Padahal Pilkada sudah tertunda lama sekali. Pelaksanaan Pilpres dijadwalkan Februari 2024, sedangkan pilkada dijadwalkan November 2024. Pertanyaannya, kenapa bukan pilkada yang dilaksanakan terlebih dahulu, baru kemudian pilpres? Sehingga kepala daerah yang dipilih secara demokratis tersebut bisa bersikap netral ketika pilpres.  Kalau pilpres dilaksanakan terlebih dahulu, apakah Penjabat Kepala Daerah yang ditunjuk pemerintah, sehingga dapat dikatakan “orang pemerintah”, dapat bersikap netral? Hampir dapat dipastikan, tidak. Sebagai “orang pemerintah”, Para Penjabat Kepala Daerah tersebut diperkirakan akan bertindak untuk kepentingan pemerintah, atau koalisi pemerintah. Politisasi jadwal pilkada seperti ini akan berdampak negatif terhadap demokrasi, menghancurkan demokrasi, menuju jurang kehancuran. (*)

Political Genosida dan Perlawanan Partai Politik

Kami menggunakan istilah political genocide, karena begitu banyak institusi partai politik yang diberangus. Hampir 50 persen dari jumlah partai politik yang mendaftarkan diri diberangus. Oleh: Dr. Ahmad Yani, SH, MH, Advokat Senior, Mantan Anggota DPR RI, Ketua Umum Partai Masyumi “KALAU partai-partai politik dikubur, yang berdiri di atas nisan kuburan itu diktator” (M. Natsir, Ketua Umum Partai Masyumi 1949-1959). Kita semua berharap pemilu yang Langsung, Bebas, Umum, Rahasia, Jujur, dan Adil. Kita ingin pemilu terselenggara dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Tentu itu harapan kita semua sebagai sebuah bangsa yang menjunjung tinggi nilai Pancasila dan memegang teguh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terutama sekali sebagai negara hukum dan negara ber-kedaulatan rakyat. Pemilu yang demokratis dan konstitusional adalah pemilu yang bersandar pada azas dan tujuan dari pemilu itu sendiri. Dimulai dengan cara-cara yang benar dan adil sesuai hukum yang berlaku. Dengan pemilu itu, setiap warga negara diberi kesempatan untuk berkompetisi memperebutkan suara rakyat, baik dalam pemilu legislatif, senator maupun presiden dan wakil presiden. Itulah hakikat dari Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan: “Setiap warga negara bersama kedudukannya dalam hukum pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecuali nya”. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai salah satu institusi yang diamanatkan UUD 1945 sebagai penyelenggara pemilu sesuai amanat UU itu, seyogyanya memiliki sikap demokratis dan konstitusional, serta menyiapkan segala kebutuhan untuk terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil serta konstitusional. Namun, patut disayangkan, lembaga negara (KPU) yang disebut sebagai pelaksana demokrasi justru tidak memahami hakikat dasar demokrasi Pancasila yang telah menjadi bagian dari nilai luhur bangsa Indonesia. Bagaimana mungkin kebebasan konstitusional warga negara yang telah mengikuti prosedur untuk mendirikan suatu partai politik diberangus begitu saja tanpa menggunakan instrumen hukum yang berlaku. Terlihat jelas ketika KPU, mengeliminasi 16 partai politik secara sewenang-wenang, dan tidak dapat mengikuti tahap verifikasi administrasi atau tahap selanjutnya dengan sebuah surat, bukan surat keputusan. Tentu saja ini mengherankan bagi siapa saja yang belajar hukum Administrasi. Sesungguhnya kebebasan mendirikan partai politik tidaklah mudah. Perlu biaya dan tenaga yang maksimal untuk memperoleh syarat-syarat menjadi partai politik itu. Tidak mudah seperti semudah KPU menyatakan partai politik tidak memenuhi syarat dan diputuskan tanpa proses verifikasi administrasi. Lalu dengan alasan apa KPU menyatakan bahwa partai politik yang mendaftar secara resmi dan diserimonialkan sebagai peserta pemilu itu dinyatakan tidak lolos, padahal baru mendaftarkan diri? Pada 1-14 Agustus 2022 adalah saat proses pendaftaran partai politik peserta pemilu. Namun setelah selesai mendaftar tiba-tiba KPU menyatakan 16 partai politik tidak lolos tahap pendaftaran. Darimana KPU ini bisa menilai dokumen persyaratan parpol padahal belum melakukan verifikasi administrasi. Semua ini tidak lain adalah sebuah tindakan politik pemberangusan atau yang kami sebut sebagai Political Genocide. Dengan otoritas tanpa dasar hukum, 16 partai itu dinyatakan tidak lengkap syarat dan Dukumen sehingga tidak bisa ikut tahap selanjutnya yang pada akhirnya digagalkan menjadi peserta pemilu. Tidak diterbitkan berita acara dan surat keputusan seperti biasanya tindakan administrasi kelembagaan. Hanya pemberitahuan atau Surat Tanda Pengembalian Data dan Dokumen Partai Politik Calon Peserta Pemilu, tidak ditandatangani oleh Ketua dan Komisioner KPU. Sebagaimana dalam ketentuan pasal 11 ayat (1) huruf d UU 7/2017: “Ketua KPU mempunyai tugas: d. Menandatangani seluruh peraturan dan keputusan KPU”. Ketentuan pasal 11 ayat (1) huruf d, tidak dilakukan oleh Ketua KPU Hasyim Asy’ari, melainkan oleh pegawai KPU, bukan juga Anggota KPU. Tetapi akibat hukum dari tindakan itu membuat partai-partai politik yang dinyatakan tidak lengkap berkas, tidak bisa mengikuti tahap verifikasi. Sekali lagi saya katakan, ini politik genosida, di mana kebebasan setiap warga negara untuk membentuk partai politik dan melaksanakan ketentuan UU tentang Partai Politik “dihabisi” begitu kasar. Dasar Hukum Partai Politik Partai politik adalah salah satu pilar demokrasi. Tanpa partai politik, maka demokrasi akan merosot menjadi tirani, dan mencegah partai politik untuk ikut pemilu tanpa alasan dan dasar hukum jelas tentu itu mewarisi sifat tirani itu sendiri. Keberadaan partai politik sebagai pilar demokrasi telah dijamin secara konstitusional melalui pasal 28 UUD 1945. Mendirikan partai politik adalah hak konstitusional setiap warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memberikan syarat untuk berdirinya Partai Politik. Syarat itulah yang juga menjadi syarat untuk mendaftar ke KPU. Yaitu, 100 persen tingkat provinsi, 75 persen tingkat kabupaten/kota, 50 persen tingkat kecamatan dan 1/1000 dari jumlah pemilih setiap kabupaten/kota, serta kepengurusan tingkat Pusat sampai daerah, 30 persen harus ada keterwakilan perempuan. Itulah syarat bagi partai politik untuk mendapatkan Surat Keputusan badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM. Syarat tersebut telah terpenuhi sehingga partai-partai politik mendaftar ke KPU dengan asumsi bahwa KPU lah yang akan  melakukan verifikasi administrasi dan faktual untuk partai baru sehingga dengan verifikasi itu partai dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai partai peserta pemilu atau tidak. Sesuatu yang tidak mudah bagi para pendiri partai untuk mendapatkan Surat Keputusan badan Hukum dari Menkumham, karena harus melewati proses pemenuhan syarat itu. Tentu bagi teman-teman yang mendirikan partai politik mengerti bagaimana tenaga, waktu, biaya telah dikeluarkan, namun dengan semudah itu oleh KPU dinyatakan tidak lolos disaat pendaftaran. Kami bisa maklumi kalau keputusan lolos atau tidak itu, berdasarkan hasil verifikasi yang telah dilakukan KPU. Namun, sebelum dilakukan verifikasi, langsung dinyatakan telah gugur, tanpa Surat Keputusan. Apakah ini yang dinamakan negara Hukum? Eksekusi Tanpa Keputusan Tindakan KPU sebagian besar tidak mengindahkan kaidah negara hukum. Dalam negara hukum semua harus bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Ini tidak terpenuhi, sepanjang mengenai pendaftaran dan verifikasi partai politik. Bayangkan saja, KPU membuat sebuah norma yang mewajibkan semua partai politik menggunakan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol). Sipol bukanlah instrumen pendaftaran partai politik, dan tidak diatur sama sekali dalam UU 7/2017. Darimana datangnya Sipol ini? Sipol itu dari Peraturan KPU RI Nomor 4 Tahun 2022 diantaranya dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. Artinya, Sipol ini dapat diartikan sebagai bentuk diskresioner dari KPU, dia tidak bisa dijadikan norma yang dapat mengikat calon Partai Partai Politik Peserta Pemilu, oleh karena KPU bukanlah pembentuk norma melainkan hanya pelaksanaan norma. Karenanya, keberadaan diskresioner tersebut (Sipol) tidak boleh melampaui kewenangan, dan tidak boleh juga memunculkan atau menciptakan keadaan hukum baru yang dalam sifatnya menghalangi hak Partai Politik atau menangguhkan hak Partai Politik sebagian atau seluruhnya sementara atau permanen, yang menimbulkan beban tambahan kepada Partai Politik. Yang lebih aneh lagi dan tidak bisa diterima nalar hukum yaitu PKPU Nomor 4 Tahun 2022 baru ditetapkan dan diundangkan pada 20 Juli 2022, itu artinya hanya 11 hari sebelum pendaftaran Parpol untuk mendaftar sebagai calon Partai Politik Peserta Pemilu (P4), akan tetapi KPU telah membuka Sipol dan memberikan Akun dan pasword Sipol kepada Parpol pada tanggal 24 Juni 2022. Sebelum Parpol resmi mendaftar di KPU. Tindakan KPU tersebut jelas sekali tanpa dasar hukum atau Abuse of Power. Dengan instrumen yang tidak memiliki dasar hukum itulah, KPU menyatakan 16 parpol dinyatakan tidak lolos tahap pendaftaran. Yang lebih aneh lagi, saat menyatakan tidak lolos, KPU tidak menuangkan dalam Berita Acara sebagai sebagaimana yang menjadi Standar Operasional Prossedur Pendaftaran Partai Politik. Bahwa setiap Partai yang dinyatakan tidak lengkap dokumen pendaftaran dituangkan dalam Berita Acara. Hal itu dinyatakan juga dalam pernyataan ketua KPU pada tanggal 16 Agustus dan Surat Bawaslu kepada KPU nomor: 258/PM.00/K1/07/2022 tanggal 29 Juli 2022. Berita acara itu tidak pernah ada, tidak pernah diterbitkan dan partai politik dinyatakan gugur tanpa Surat Keputusan. Ini menyalahi asas-asas umum pemerintahan yang baik. Upaya Hukum Kami sebagian besar partai politik yang tak lolos pemilu melayangkan gugatan ke Bawaslu RI untuk melakukan sidang Adjudikasi sengketa Proses. Namun, Bawaslu menyatakan gugatan kami tidak dapat diterima karena tidak memiliki objek. Kami merasa heran dengan keputusan Bawaslu tersebut. Seharusnya dari awal sebagai pengawas, Bawaslu menegur KPU, tapi itu tidak dilakukan. Maka kami menduga KPU dan Bawaslu secara bersama-sama melakukan upaya genosida politik terhadap partai-partai ini. Seharusnya dari awal Bawaslu mengingatkan KPU untuk mentaati prosedur dan ketentuan Undang-undang dalam proses pendaftaran Partai politik itu. Ini tidak terjadi sama sekali, lalu memutuskan bahwa gugatan kami tidak memiliki objek Hukum. Begitu juga ketika kami mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN. Pengadilan TUN menyatakan bahwa Surat dari KPU itu bukan objek sengketa, karena itu bukan Surat Keputusan. Artinya, tidak memenuhi syarat sebagai keputusan bersifat konkrit, individual dan final. Karena itu, kami menyadari ini bukan hanya persoalan proses pendafataran dan verifikasi, tapi ini persoalan yang lebih mendasar, yaitu pemberangusan kebebasan berserikat dan berkumpul termasuk mendirikan partai politik. Genosida Politik Tibalah kami pada kesimpulan bahwa apa yang kami alami bukanlah sekedar persyaratan parpol. Toh, persyaratan tersebut telah dinyatakan terpenuhi oleh Menkumham. Ini adalah persoalan politik dengan menggunakan instrumen kekuasaan untuk menghalangi jalannya Demokrasi yang jujur dan adil. Sistem demokrasi tidak pernah membatasi keterlibatan warga negara dalam setiap agenda-agenda politik, semasih itu dalam tidak menyalahi Hukum. Meskipun 16 Partai politik itu sudah berusaha mengikuti aturan main yang diatur dalam Undang-undang, tetap juga diberangus dengan cara-cara otoritarianisme. Dalam sejarah, pemberangusan massal itu terjadi ketika Rezim fasis di Jerman dan Komunis di Uni Soviet berkuasa. Kedua negara itu menggunakan senjata untuk memberangus lawan-lawan politik dan membunuh setiap orang tanpa proses Hukum. Dalam demokrasi dan politik, kerap kita jumpai pembunuhan dalam bentuk lain. Yaitu memberangus kebebasan dengan cara-cara seperti yang lebih halus dengan memainkan aturan hukum. Maka kami melakukan deklarasi \"Gerakan Melawan Pilitik Genocide\". Bersama 6 parpol yang dinyatakan oleh KPU dan Bawaslu tidak memenuhi syarat kelengkapan dokumen pendaftaran. Ada Partai Masyumi (Dr. Ahmad Yani), Partai Perkasa (Eko Suryo Sancoyo), Partai Reformasi (H. Syamsahril Kamal), Partai Pandai (Dr. Farhat Abbas), Partai Pemersatu Bangsa (Dr. Eggy Sujana), Partai Kedaulatan (Denni Cillah). Kami menggunakan istilah political genocide, karena begitu banyak institusi partai politik yang diberangus. Hampir 50 persen dari jumlah partai politik yang mendaftarkan diri diberangus. Tidak ada keputusan Hukum, tidak ada instrumen demokrasi dan instrumen politik yang dilewati, tetapi tetap dieksekusi tanpa putusan. Kalau bukan genosida, lalu apa yang pantas untuk dilabelkan ke KPU selaku penyelenggara pemilu seperti itu? (*)

Kembalikan POLRI ke Khittahnya: Melindungi, Mengayomi, dan Melayani

Dengan melakukan Muhabalah Rakyat yang terzolimi memohon keadilan pada Allah, sehingga berbagai kejadian yang tidak patut kita lihat pada hari-hari ini diperlihatkan oleh Allah. Oleh: Anhar Nasution, Anggota DPR RI Periode 2004 s/d 2009 UNDANG-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang  Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Preambul MENIMBANG, poin b. Bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia; Niat luhur yang terkandung di dalam makna dasar Undang-undang tersebut amatlah sangat manusiawi dan humanis, seharusnya ada sebuah departemen yang khusus mensosialisasikan dan memberikan pemahaman secara terus- menerus kepada masyarakat, sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara akan mencapai masyarakat madani Baldatun Toyyibatun warobbun Ghofur sangatlah mudah untuk diwujudkan. Namun, kenyataan hari ini kita dapatkan adalah sebuah lembaga kepolisian lebih mengarah kepada Militeristik dengan mengedepankan tindakan Represip melalui lembaga Brimob, Densus 88, dan belakangan oleh Tito Karnavian saat menjabat Kapolri dibentuk lagi Satgassus Merah Putih yang masyarakat tidak tahu jelas fungsi dan tugasnya. Jangan disalahkan kalau kemudian rakyat menilai berbagai kekacauan dan kerusuhan baik mulai penanganan aksi-aksi demo masyarakat, mahasiswa dan kaum buruh yang melakukan kritik kepada pemerintah yang merupakan hak-hak berdemokrasi selalu berujung pada bentrokan dan kerusuhan. Penangkapan-penangkapan kelompok yang dilabelkan Teroris begitu represif dan brutal belakangan kita dengan kasat mata menyaksikan penangkapan para Ustadz/ulama yang dilabelkan Radikal dan para aktivis yang bersuara kritis ditangkap dengan sangkaan melanggar Undang-Undang pasal karet yang membuat rasa keadilan dan kesamaan hukum di Negara ini sudah tidak didapatkan lagi oleh rakyatnya. Belakangan kita menyaksikan terungkapnya berbagai kasus yang menggradasi dan memperburuk Citra Polri sampai ke titik nadir sangatlah membuat hati kita perih dan miris. Berbagai kasus yang tidak perlu saya uraikan berulangkali kita saksikan  menjadi titik balik dari kesalahan penerapan Undang-undang yang digagas begitu sangat luhur bagaimana seharusnya peran dan tugas Polri ditengah-tengah masyarakat. Saya masih teringat ketika mengikuti Latihan Bela Negara dalam hal Kamtibmas sekitar tahun 1996 yang dilakukan oleh Binmas Polri, pelatihan Kamtibmas bagi Aktivis Generasi muda dan Mahasiswa selama 1 bulan di Kelapa Dua amat sangatlah besar manfaatnya kami rasakan. Kami sangat memahami tugas-tugas dan fungsi Polri, sehingga membuat para aktivis saat itu betul-betul menyatu dengan Polri dan secara sadar kami ikut mensosialisasikannya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Sayangnya saat ini Lembaga Binmas Polri itu nyaris tak terdengar lagi. Kalau pun ada di tingkat Kelurahan bernama Binmas yang kadangkala di setiap kelurahan di Jakarta hanya ada 2 atau 3 personil saja aparat kepolisian ditempatkan di sana dan itupun kita sering mendengar guyonan aparat yang ditempatkan di Kelurahan tersebut adalah petugas-petugas yang tidak punya prestasi dan Relasi dengan atasan. Yang seharusnya merekalah yang menjadi Etalase Polri, yang menjadi contoh teladan dit engah-tengah masyarakat yang mampu Melindingi, Mengayomi dan Melayani Masyarakat. Seharusnya anggota Polri yang ditempatkan di setiap kelurahan tersebut sekurang-kurngnya 1 regu kader-kader terbaik Polri dalam bidang Kemasyarakatan dengan berbagai Disiplin Ilmu. Ironisnya masyarakat selalu ditampilkan dengan wajah-wajah bengis personil Brimob dengan senjata lengkap saat menangani aksi-aksi demo mahasiswa dan masyarakat. Wajah-wajah tegang dari Anggota Densus 88 ketika mereka menangkap orang yang dilabelkan teroris, begitu juga saat menangkap Ulama/ Ustadz dan para Aktivis. Sudah saatnya hal ini segera diakhiri, sudah banyak korban, hal-hal buruk dan berbagai rekayasa yang diciptakan mungkin hanya untuk mendapatkan tambahan anggaran APBN atau pembenaran hanya untuk mencari dana-dana talangan yang tidak sah dan melanggar Undang-undang dibenarkan dengan payung hukum Kedaruratan. Banyak sudah kesalahan dan penzoliman terhadap rakyat, ulama, dan para aktivis yang dipertontonkan pada kita hukum duniawi sudah tidak lagi bisa diharapkan rakyat, sehingga rakyat menyerahkan dan memohon turunnya Hukum Allah yang Maha Adil. Dengan melakukan Muhabalah Rakyat yang terzolimi memohon keadilan pada Allah, sehingga berbagai kejadian yang tidak patut kita lihat pada hari-hari ini diperlihatkan oleh Allah. Jangan sampai semua rakyat, khususnya ummat Islam, ber-muhabalah, sehingga kejadian-kejadian yang lebih dahsyat akan menimpa negara kita tercinta ini. Allah tidak rela limpahan Rahmad atas Bangsa ini dirampas oleh segelintir manusia-manusia Serakah yang Zolim. (*)

Menyongsong 2030, Indonesia Perlu Pemimpin Ekonom

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Ekonomi Indonesia di ujung tanduk. Kurs rupiah mendekati, bahkan tembus, Rp15.500 per dolar AS, menuju Rp16.000. Pemerintah sepertinya tidak berdaya. Ini baru tahap awal. Kondisi ekonomi akan lebih buruk di tahun-tahun mendatang, menjelang pemilu dan pemilihan presiden (pilpres) 2024. Ekonomi dunia akan masuk resesi, mungkin bisa berkepanjangan, hingga tahun 2024. Karena suku bunga dunia, termasuk Indonesia, akan terus naik hingga inflasi terkendali. Kenaikan suku bunga akan menekan ekonomi, investasi akan turun, konsumsi akan turun. Ekonomi menuju kontraksi. Apakah calon presiden yang akan ikut kontestasi pilpres 2024 menyadari bahaya ekonomi tersebut? Apakah mereka dapat mengatasinya dengan cepat? Apakah mereka siap mengatasi ekonomi yang akan masuk resesi, serta mengatasi utang pemerintah yang naik terus, mendekati Rp9.000 triliun pada akhir 2024?  Masa depan Indonesia di ujung tanduk. Sistem politik presidential threshold 20% menghalangi para calon pemimpin nasional terbaik untuk ikut partisipasi dalam pilpres. Memalukan dan sekaligus menjadi skandal besar bangsa ini. Tantangan utama Indonesia dalam beberapa tahun ke depan adalah ekonomi. Maka itu, pemahaman ekonomi sangat kritikal bagi calon presiden 2024, agar dapat membawa bangsa ini keluar dari resesi secepatnya. Salah satu orang tersebut adalah Rizal Ramli, yang memiliki semua persyaratan dan kualifikasi sebagai calon presiden. Yang tidak dimiliki olehnya hanya kuota presidential threshold 20%. Sekali lagi, sungguh memalukan, dan skandal besar, kalau Rizal Ramli tidak dapat ikut kontestasi pilpres 2024, akibat sistem demokrasi “kriminal” presidential threshold 20%. (*)

Ha Ha Bunga Karangan Lagi

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SAMBUTAN luar biasa masyarakat saat Anies Baswedan melakukan acara perpisahan sebagai Gubernur DKI 16 Oktober 2022 menjadi fenomena menarik. Dalam sejarah mungkin baru kali ini terjadi dan ini memberi pelajaran bagi kepala daerah siapa dan di manapun agar perjalanan jabatannya dapat diakhiri dengan baik atau \"husnul khotimah\".  Penjabat pengganti Anies sebagai Gubernur DKI yaitu Heru Budi Hartono Kepala Sekretariat Presiden penunjukannya sangat sarat kritik. Karena di samping ia \"orang Istana\" juga sebagai teman Ahok. Netralitas yang diragukan. Heru juga diduga terkait dengan kasus Sumber Waras, Tanah Cengkareng dan Mark Up pembelian Bus Trans Jakarta.  Sambutan pada Heru Budi Hartono tentu tidak seantusias perpisahan Anies Baswedan. Posisinya rentan.  Skeptisme publik dijawab dengan pernyataan Heru \"kerja kerja kerja\" mengingatkan pada slogan Jokowi pada awal menjabat. Mantan Walikota Jakarta Utara dan Komisaris BTN ini waktu itu nyaris menjadi Wagub Ahok.  Yang menarik pasca pelantikannya sebagai Pj. Gubernur DKI adalah banyaknya karangan bunga ucapan selamat. Sesuatu yang tidak lazim untuk seorang Penjabat yang baru ditunjuk dan ditetapkan secara tidak demokratis. Bukan pilihan rakyat. Bahkan mungkin hanya sebagai \"petugas Istana\". Empati, simpati atau apresiasi lewat karangan bunga menjadi karakter dari rezim pencitraan.  Teringat banyak kiriman karangan bunga di depan Markas Kodam Jaya setelah sukses \"luar biasa\" Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurahman memimpin pencopotan Baliho Habib Rizieq Shihab. Bak pahlawan Dudung diapresisi dengan karangan bunga. Apresiasi gambaran kepalsuan, rekayasa dan eforia kekanak-kanakan.  Demikian juga saat Ahok Djarot kalah di Pilgub, banjir karangan bunga ucapan terimakasih dan penghargaan. Tidak tanggung-tanggung jumlahnya hingga 1500 an karangan bunga. Netizen berkomentar bahwa karangan bunga itu dibuat oleh kubu Ahok sendiri. Dikirim oleh satu dua pemesan. Penghormatan itu dinilai sekedar pencitraan dan bohong-bohongan.  Kini Penjabat tunjukan Jokowi dan dilantik Tito Karnavian dibanjiri karangan bunga lagi. Heru Budi Hartono tidak pantas mendapat apresiasi tanpa bukti keringat untuk masyarakat Jakarta. Ia belum bekerja apa-apa, baru teriak \"kerja, kerja, kerja\".  Karangan bunga adalah cermin Istana dan orang-orang Istana yang bekerja dengan karangan, kepura-puraan, serta dibanjiri oleh prestasi palsu. Bunga-bunga itu adalah wajah dari sebuah kemunafikan. Heru Budi hanya menjadi tangan dari kepentingan rezim yang ingin mempertahankan, mengamankan atau memperpanjang kekuasaan.  Pengiriman karangan bunga rekayasa adalah kerja yang memuakkan dan menipu diri sendiri. Memperkokoh warna rezim dari hulu ke hilir yang tidak ajeg. Membohongi rakyat dengan wajah yang tidak satu. Bunga tamparan dari sebuah kebodohan. Hal buruk sebagaimana diingatkan oleh sebuah quotes : \"Aku sangat membenci orang yang memiliki dua muka, akan sulit bagiku untuk memutuskan wajah mana yang akan aku tampar terlebih dahulu\". Nah.  Bandung, 19 Oktober 2022

Keluar Dari Balai Kota, Anies Seperti Menang Pilpres

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN EDAN luar biasa. Belum lagi resmi menjadi capres, belum lagi kampanye pilpres, tapi sambutan untuk Anies Baswedan mirip seperti dia baru menang dalam pilpres. Ratusan ribu massa pendukung Anies tidak bisa mendekat ke Balai Kota Jakarta. Lapangan yang ada di depan kantor gubernur dan jalan-jalan yang berada di sekitarnya penuh dengan massa rakyat. Mereka datang dengan satu tujuan: yaitu ingin menunjukkan dukungan penuh kepada mantan gubernur itu untuk menjadi presiden 2024. Sebagaimana Anies diantarkan masuk ke Balai Kota pada 16 Oktober 2017, gubernur yang ingin ditersangkakan oleh Firli Bahuri (Ketua KPK) itu disambut meriah ketika keluar dari tempat yang sama pada 16 Oktober 2022 barusan. Belum pernah terjadi dalam sejarah kegubernuran Jakarta. Hari itu, Firli bisa membaca pesan yang langsung disampaikan rakyat kepadanya: urungkanlah niat buruk Anda. Pikiran Anda berbanding terbalik dengan nurani rakyat. Minta ampunlah Anda kepada Yang Maha Kuasa, minta maaflah Anda kepada Anis Baswedan. Menjauhlah Anda dari nafsu angkara kaum oligarki. Itu pesan pertama, pesan untuk Firli Bahuri. Yang kedua, bukan pesan melainkan ‘stern warning’ (peringatan keras) kepada para elit parpol-parpol licik agar mereka semua tidak coba-coba menyusun skenario jahat untuk menjegal Anies menuju Istana. Rakyat sudah muak dengan permainan culas Anda. Hentikanlah itu. Yang ketiga, ada pesan lantang kepada media piaraan oligarki bahwa ‘show of conscience’ (unjuk nurani) rakyat pada hari terakhir Anies di Balai Kota itu adalah imbauan santun (polite notice) agar Anda kembali ke prinsip dasar jurnalistik. Anda seharusnya menjadi bagian dari media yang mengawal demokrasi, bukan mengawal oligarki. Yang keempat adalah pesan kepada lembaga-lembaga penyelenggara pemilu/pilpres seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Mahkamah Konstitusi, dsb. Sudah cukuplah Anda bermain jorok di pilpres-pilpres yang lalu. Jangan lagi lakukan itu di pilpres 2024. Unjuk dukungan kepada Anies di Balai Kota kemarin menyiratkan peringatan bahwa kalau Anies ikut pilpres dan kalah, maka rakyat akan menyimpulkan kekahalahan itu adalah rekayasa Anda semua.  Unjuk nurani di Balai Kota beberapa hari lalu itu baru sebatas pembuka saja. Rakyat di seluruh pelosok sedang menyiapkan panggung untuk Anies. Mantan gubernur Jakarta ini punya waktu panjang untuk menyampaikan gagasan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat. Dan juga untuk mengakhiri kemelut salah kelola pemerintahan serta mengakhiri kekuasaan bayangan yang berada di tangan segelintir konglomerat rakus. Di Jakarta, selama lima tahun, Anies telah menunjukkan kemampuannya memimpin miniature Indonesia itu. Dia memperlihatkan kepemimpinan yang otoritatif, bukan otoriter. Dia membangun tradisi kepemimpinan yang dihormati, bukan yang ditakuti. Anies mengedepankan pendekatan humanisme, bukan pemanisme. Rakyat Jakarta merasakan itu. Indonesia seluruhnya menyaksikan dan mendambakan itu. Itulah yang mendorong warga luar daerah ikut berkumpul di Balai Kota Jakarta di hari purnatugas itu. Untuk menunjukkan bahwa ‘aniesthetic’ (semangat mendukung Anies) ada di mana-mana. Sekaligus mengisyaratkan kepada Firli Bahuri dan oligarki bahwa mereka, dengan rencana yang jahat itu, tidak punya tempat di negeri akal sehat. Mereka berada di pulau gersang yang terpencil. Perlahan, satu per satu, kaum Bahurian pindah ke pulau itu. Karena tidak kompatibel lagi dengan konsep egalitarianisme dan kebersamaan. Di pulau terpencil itu, mereka mengalami kontraksi pemikiran yang membawa mereka kembali ke alam primitif. Inilah yang memicu perasaan mereka bahwa merekalah penguasa di pulau terpencil itu. Mereka seratus persen benar. Merekalah penguasa di situ. Tanpa rakyat. Kecuali umat Bahurian itu saja. Sebab, rakyat Indonesia minus orang-orang yang berpikiran jahat itu memilih berada di Balai Kota Jakarta. Di situ ada suasana yang menyenangkan; suasana seperti Anies menang pilpres.[]

Hentikanlah Membodohi Masyarakat!

Namun, yang terjadi kemudian, menurut Luhut, kalau tidak ada suntikan dari APBN, proyek kereta cepat terancam mangkrak. Maka, melalui Perpres Nomor 93 Tahun 2021, pemerintah membolehkan APBN membiayai KCJB. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economic and Policy Studies-PEPS) JUDUL berita @kompascom menarik, dapat diartikan “hentikanlah membodohi masyarakat: Kalau B to B, artinya tidak pakai duit APBN. Kalau pakai duit APBN, maka jangan ngotot klaim B to B”. Ironi Kereta Cepat: Ngotot Diklaim B to B, Tapi Pakai Duit APBN Kompas.com – (26/05/2022, 10:41 WIB). Semakin membodohi masyarakat, semakin terlihat diri sendirilah yang bodoh. Sebelumnya, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah berkali-kali menegaskan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah murni bisnis alias business to business (B to B). Disebutkan, proyek kereta cepat yang menghubungkan Padalarang dan Halim ini digarap oleh konsorsium terdiri dari beberapa perusahaan milik negara dan perusahaan dari China, untuk kemudian membentuk perusahaan patungan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).  Hal ini sekaligus menepis tudingan adanya jebakan utang China dalam mega proyek tersebut. Luhut mengatakan, Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah investasi jangka panjang. “Itu adalah utang produktif. Ada yang bilang hidden debt. Itu yang bilang hidden debt saya text, kau datang kemari tunjukin hidden debt-nya di mana,” tegas Luhut dalam keterangannya, dikutip pada Kamis (26/5/2022). “Wong saya yang nangani kok. Hidden debt kalau dibilang G to G, ini tidak ada. Itu B to B,” tambahnya. Meski menuai banjir kritik dan dinilai melanggar janji, pemerintah bergeming dan tetap mengucurkan duit APBN untuk menambal pembengkakan biaya investasi Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCKB). Namun demikian sampai saat ini, baik pemerintah maupun pihak KCIC masih kukuh menganggap proyek ini B to B.  Mengutip Antara, proyek pembangunan KCJB) tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari pemerintah terkait Penyertaan Modal Negara (PMN) dan komitmen pendanaan dari China Development Bank (CBD). “Masuknya investasi pemerintah melalui PMN kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) selaku pemimpin konsorsium (leading consortium) KCJB tersebut bisa mempercepat penyelesaian pengerjaan proyek setelah sempat tersendat akibat pandemi Covid-19,” ungkap Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi dalam keterangannya. Menurutnya, struktur pembiayaan KCJB adalah 75 persen dari nilai proyek dibiayai oleh CDB dan 25 persen dibiayai dari ekuitas konsorsium. Dari 25 persen ekuitas dari ekuitas itu, sebesar 60 persen berasal dari konsorsium Indonesia karena menjadi pemegang saham mayoritas. Dengan demikian, pendanaan dari konsorsium Indonesia ini sekitar 15 persen dari proyek, sedangkan sisanya sebesar 85 persen dibiayai dari ekuitas dan pinjaman pihak China, tanpa jaminan dari Pemerintah Indonesia. PMN yang akan dialokasikan pemerintah sebesar Rp 3,4 triliun, digunakan untuk pembayaran base equity capital atau kewajiban modal dasar dari konsorsium. Sedangkan pinjaman CBD diperkirakan mencapai 4,55 miliar dolar AS atau setara Rp 64,9 triliun. Dalam beberapa kesempatan, baik Presiden Joko Widodo maupun para pembantunya, berungkali menegaskan bahwa proyek KCJB adalah murni dilakukan BUMN. Menggunakan skema business to business. Biaya investasi sepenuhnya berasal dari modal anggota konsorsium dan pinjaman dari China. Dana juga bisa berasal dari penerbitan obligasi perusahaan. “Kereta cepat tidak gunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk business to business. Pesan yang saya sampaikan kereta itu dihitung lagi,\" kata Jokowi dikutip dari laman Sekretariat Kabinet pada 15 September 2015. “Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN,” ucap Jokowi menegaskan. Jokowi menegaskan, jangankan menggunakan uang rakyat, pemerintah bahkan sama-sekali tidak memberikan jaminan apa pun pada proyek tersebut apabila di kemudian hari bermasalah. Hal ini karena proyek kereta cepat penghubung dua kota berjarak sekitar 150 kilometer tersebut seluruhnya dikerjakan konsorsium BUMN dan perusahaan China dengan perhitungan bisnis. “Tidak ada penjaminan dari pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya b to b, bisnis,\" tegas Jokowi kala itu. Namun, yang terjadi kemudian, menurut Luhut, kalau tidak ada suntikan dari APBN, proyek kereta cepat terancam mangkrak. Maka, melalui Perpres Nomor 93 Tahun 2021, pemerintah membolehkan APBN membiayai KCJB. Apakah ini berarti penyimpangan dari skema business-to-business menjadi business-to-goverment? Bagaimana kalau nantinya proyek kereta cepat ini rugi? Apakah akan pakai dana APBN lagi, untuk menambal kerugian tersebut? Perlu diingat, banyak proyek kereta cepat di China mengalami rugi operasional sangat besar, dan proyek KCJB itu diperkirakan juga akan mengalalami rugi operasional yang cukup besar. (*)