OPINI

Istikharah Politik Cawapres Anies: Antara Khofifah dan AHY

Di tingkat nasional, Khofifah juga dapat diandalkan. Ia berpotensi meraup suara dari kaum perempuan, karena Khofifah adalah Ketua Muslimat Nahdhatul Ulama (NU). Oleh: Tamsil Linrung, Wakil Ketua MPR Terpilih/Anggota DEWAN Perwakilan Daerah (DPD) RI PARTAI NasDem resmi mendeklarasikan Anies Rasyid Baswedan sebagai Bakal Calon Presiden (Capres) 2024. Dalam tempo dekat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat diperkirakan menyusul. Melihat cuaca politik pekan-pekan terakhir ini, tidak menutup kemungkinan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bergabung. Setali tiga uang dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Tidak ada keraguan, wajah Anies bakal terpajang di kertas suara Pemilihan Presiden (Pilpres). Syaratnya dua. Pertama, yaitu jika para punggawa politik menjungjung tinggi Pemilu jujur dan adil, mendorong Pemilu tepat waktu, juga tidak saling mengkriminalkan. Syarat kedua, Anies bakal lolos menuju kontestasi Pilpres jika partai-partai pengusungnya tak egois memaksakan Bakal Calon Wakil Presiden (Cawapres). Di titik ini, kompromi politik memang jadi tikungan krusial. Tidak hanya bagi Anies, tetapi nyaris semua koalisi partai dalam kontestasi Pilpres kerap buyar dan bubar, tergelincir karena tidak satu kata soal Cawapres. Lain halnya dengan Anies, ada kesan dan pesan serta kredo tidak tertulis yang ditangkap publik, Cawapres akan ditentukan berdasarkan pertimbangan paling rasional. Tentu saja yang memiliki daya katrol elektabilitas mumpuni. Karakter dan personal branding Anies yang berlatarbelakang akademisi cuma intelektual, sangat identik dengan rasionalitas dan hal-hal saintifik, tentu menjadi bagian penting dalam pertimbangan menentukan Cawapres. Bukan soal like or dislike, apalagi preferensi selera pribadi. Pemilihan Cawapres sangat mendasar, menentukan, tetapi juga krusial sekaligus rentan. Keliru memilih Cawapres sama halnya bunuh diri politik. Tidak heran, kalau media massa, pengamat, dan lembaga survei gempita menyodorkan analisa. Ada yang objektif, ada pula yang (mungkin) pesanan. Tantangan terbesar koalisi Partai Nadem, PKS, dan Demokrat ada pada Cawapres. Di antara nama-nama yang sering disebut-sebut, agaknya ada dua yang paling moncer, yakni Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawangsa dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). AHY bukan anak muda biasa. Dia luar biasa. Dia ketua umum partai, visioner, cerdas, muda, dan bisa diandalkan dalam urusan kepemimpinan. Leadhership AHY teruji ketika Partai Demokrat diobok-obok pihak lain. AHY membuktikan, dirinya mampu menyatukan seluruh kadernya dalam satu barisan, bersama menghalau pengkudeta dari Istana. AHY punya daya ungkit elektabilitas tinggi. Pemilih milenial bakal tertarik dengan figurnya yang elok, muda, dan segar. Tidak diragukan, AHY punya modal dan peluang besar mendampingi Anies. Tetapi, apakah AHY sebagai Cawapres Anies adalah realistis secara politik? Harus diakui, AHY belum sepenuhnya berpengalaman dalam politik. Tanpa berniat memandang sebelah mata, sepak terjangnya di politik masih seumur jagung. Faktor sang ayah, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), memang tidak boleh ditepikan. Namun, dalam konteks kepemimpinan nasional, AHY harus dipandang sebagai figur yang mandiri. AHY dan Anies cenderung dipersepsikan publik sebagai tokoh oposisi. Anies adalah kanal bagi kaum oposisi, sementara Partai Demokrat yang dipimpin AHY cukup representatif untuk disebut oposisi sebagai partai non-pemerintahan. Maka, kombinasi Anies-AHY adalah kombinasi oposisi dengan oposisi. Sekilas ini luar biasa dan mengundang euforia besar. Persoalannya, apakah gabungan keduanya mampu mengalahkan kekuatan kartelisasi politik saat ini?  Kita tidak pesimistis. Hanya saja, harus berhitung cermat mengkalkulasi potensi perolehan suara, bukan hanya pasangan bertalenta dan enak dipandang. Sistem pemilihan one man one vote mau tak mau mengharuskan kita mengalkulasi pasangan Capres-Cawapres dari sisi dukungan suara masing-masing individu secara matematis, kongkrit, dan realistis. Caplok Suara Lawan Dalam konteks itulah Khofifah punya nilai lebih. Selain memiliki pengalaman politik mumpuni, basis dukungannya jelas, kongkrit, dan relatif di luar lingkaran oposisi. Menggandeng Khofifah sama halnya mencaplok suara lawan, sekaligus mengerem serangan politik bertajuk politik identitas, khilafah, dan seterusnya. Jawa Timur sering dianalisa sebagai penentu kemenangan Pilpres, selain Jawa Barat tentu saja. Inilah kelebihan utama Khofifah. Figurnya jelas mampu menambah bobot perolehan suara secara signifikan, mengingat lumbung suara Anies di Pulau Jawa diperkirakan berada di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Di tingkat nasional, Khofifah juga dapat diandalkan. Ia berpotensi meraup suara dari kaum perempuan, karena Khofifah adalah Ketua Muslimat Nahdhatul Ulama (NU). Dari perspektif koalisi partai, Khofifah sekaligus bisa menjadi jalan tengah yang memecah kebuntuan koalisi Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat. Mereka punya sejarah. Dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018, Khofifah didukung Partai Nasdem dan Partai Demokrat. PKS justru berada di kubu Syaifullah Yusuf. Partai Demokrat akan mendapat berkah lain jika koalisi penyokong Anies memilih Khofifah. Alasannya, Ketua DPD Demokrat Jawa Timur, Emil Dardak, yang juga Wakil Gubernur Jawa Timur secara otomatis menggantikan posisi Khofifah sebagai gubernur. Bukankah itu cukup manis? Maka, ada baiknya Partai Demokrat melihat dari sisi lain, menghindari kacamata kuda AHY sebagai Cawapres. Toh AHY masih sangat muda. Perjalanan politiknya masih panjang dan insya’ Allah gemilang. Dia calon pemimpin bangsa di masa depan. Apapun itu, Anies jugalah yang (sebaiknya) menentukan. Seperti kata Bang Surya Paloh, masalah Cawapres ini kita serahkan sepenuhnya kepada istikharah Anies Baswedan. (*)

RUU EBT Mengaburkan Rencana Transisi Energi Indonesia

 Ini luar biasa bandar EBT Indonesia. Mereka mau menghasilkan portofolio EBT agar mendapatkan uang internasional dengan menabrak UU Nomor 30 Tahun 2009 Ketenagalistrikan.  Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)  RUU Energi Baru Terbaharukan (EBT) yang saat ini sedang dibahas di DPR tampaknya justru mengaburkan rencana transisi energi Indonesia. RUU EBT sepertinya mengikuti pola yang digunakan selama ini dalam menjalankan Mega Proyek 35 ribu Megawatt telah terbukti gagal.  Pola semacam ini menganut prinsip liberalisasi ketenagalistrikan, yang sudah menghilangkan fungsi negara dan melemahkan PLN dan memperkaya oligarki listrik.  Padahal negara dan BUMN-lah yang harusnya berada di depan menyukseskan transisi energi sesuai dengan UU Nomor 16 Tahun 2016 tanggal 24 Oktober 2016, tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).  Lalu mengapa negara dan BUMN malah hendak dihilangkan perannya?  Setidaknya ada 3 pasal dalam RUU EBT yang berpotensi mengaburkan rencana transisi energi Indonesia yakni pasal 29 A, pasal 47 A dan Pasal 60 yang secara garis besar berisikan:  1. Memberikan kewenangan penuh kepada swasta untuk membuat pembangkit EBT, berbisnis jaringan dan menjual listrik EBT-nya sendiri kepada masyarakat, perusahaan dan lainnya.  2. Memberikan kewenangan penuh kepada sektor swasta untuk pemanfaatan jaringan listrik PLN melalui mekanisme pemanfaatan bersama jaringan PLN. PLN wajib membuka akses kepada swasta untuk memanfaatkan jaringan PLN.  3. Dengan memanfaatkan jaringan PLN tersebut pembangkit swasta dapat menjual listrik EBT secara langsung kepada konsumen individu atau perusahaan.  Ketiga hal itu memang terasa janggal jika dikaitkan dengan pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir bahwa PLN akan fokus ke binis jaringan. Dengan UU EBT jaringanpun disikat sektor swasta. Lalu negara dan PLN dapat apa?  RUU EBT sama dengan  melanggengkan liberalisasi ketenagalistrikan dengan menyerahkan potensi sumber daya EBT Indonesia kepada sektor swasta, dengan berbagai insentif dan fasilitas dari pemerintah.   DPR dan Pemerintah tidak mau belajar dari mega proyek 35 ribu Megawatt yang sangat memanjakan oligarki swasta. Akhirnya ambyar, kan?  Bahkan, agar liberalisasi UU EBT dengan sembarangan membuat satu pasal yakni pasal 60 bahwa UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan tidak berlaku sepanjang itu adalah EBT.  Ini luar biasa bandar EBT Indonesia. Mereka mau menghasilkan portofolio EBT agar mendapatkan uang internasional dengan menabrak UU Nomor 30 Tahun 2009 Ketenagalistrikan.  Padahal RUU EBT merupakan salah satu regulasi kunci bagi ketahanan energi, pertahanan dan keamanan negara Indonesia ke depan. Dunia telah melakukan pelarangan pembatasan dalam seluruh lini bagi konsumsi energi fosil.  Instrumen pembatasan meliputi pajak karbon, pembatasan perdagangan dan pelarangan sektor keuangan dan perbankan untuk membiayai energi fosil. Dengan demikian energi terbaharukan akan menjadi energi utama di masa depan. Jadi hati hatilah transisi energi adalah isue utama bagi Ketahanan Nasional. (*)

Anis Matta: Nabi Muhammad SAW Sudah Mengajarkan Cara Mengatasi Krisis Saat ini

Jakarta, FNN  -  Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta mengatakan, umat Islam saat ini membutuhkan satu model pendekatan baru untuk meneladani Nabi Muhammad SAW dalam situasi dan kondisi krisis seperti sekarang. Sebab, Umat Islam seharusnya tidak hanya sekedar takzim atau mengagumi Rasulullah SAW saja, tetapi juga harus meneladani lebih jauh apa yang telah diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. \"Kita mengaguminya dan kita begitu mencintainya, tetapi kok susah betul masyarakat kita meneladani Beliau. Sehingga kita membutuhkan satu model pendekatan baru, bukan karena takzim saja,\" kata Anis Matta dalam Gelora Talk bertajuk \'Teladan Nabi Muhammad SAW, Pemimpin Teragung Sepanjang Zaman, Rabu (12/10/2022) sore. Pendekatan baru itu, menurut Anis Matta, adalah dengan mencari persamaan situasi krisis yang dihadapi Nabi Muhammad SAW ketika itu, dengan situasi krisis yang dihadapi umat Islam sekarang. \"Sebagai pemimpin dunia, Beliau telah mengajarkan bagaimana cara melewati dan menyelesaikan krisis, tidak hanya krisis ekonomi, tapi juga krisis militer dan krisis geopolitik,\" katanya. Dengan konteks mencari persamaan itu, maka Umat Islam dapat keluar dari krisis, sekaligus juga meneladani perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin teragung sepanjang zaman. Sedangkan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH Muhyiddin Junaidi mengatakan, keteladanan Nabi Muhammad SAW yang bisa diteladani adalah keberhasilan dalam membangun peradaban dunia saat ini. \"Rasulullah SAW berhasil mengangkat para sahabat sebagai penebar peradaban ke berbagai dunia saat ini, karena fokus pada pendidikannya. Pendidikan itu, fondasi membangun negara,\" kata Muhyidin.  Ketika itu, Nabi Muhammad SAW lanjutnya, fokus  membangun kepemimpinan melalui dunia pendidikan yang integratif, dengan menggabungkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. \"Pendidikan integratif ini sekarang dikenal sebagai pesantren atau boarding school. Boarding school itu, pesantren yang dimodifikasi. Terbukti yang sekolah di boarding school banyak diterima di universitas bergengsi di dalam dan luar negeri,\" katanya. Muhyidin lantas mengungkapkan, bahwa sistem boarding school juga telah diadopsi universitas terkemuka di dunia, yakni Universitas Oxford Inggris dan Universitas Harvard Amerika Serikat. \"Karena itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, lembaga pendidikan di Indonesia perlu mengikuti jejak dua universitas terhebat di dunia itu,\" katanya. Wakil Ketua MUI berharap masyarakat tidak lagi memperdebatkan soal sistem pendidikan pesantren atau boarding school dengan sistem pendidikan umum.  \"Kita ingin membangun manusia, membangun sebuah peradaban umat yang memiliki tingkat kecerdasaan seperti para sahabat Rasulullah SAW dulu,\" tegasnya. Membaca peluang krisis Sementara itu, Ketua Ulama dan Da\'i Asia Tenggara KH. Muhammad Zaitun Rasmin berpandangan, bahwa keteladanan yang bisa diambil dari Nabi Muhammad SAW, adalah kemampuan sebagai pemimpin yang bisa membaca krisis sebagai peluang. \"Kemampuan Beliau sebagai pemimpin di tengah-tengah krisis, adalah melihat peluang lain karena fokus pada target-target umat Islam. Ini berhasil, dan ini bisa menjadi pelajaran buat kita, bagaimana kita meningkatkan diri untuk mampu membaca setiap peluang,\" kata Zaitun Rasmin.  \"Di dalam menghadapi krisis ini, kita harus mengembangkan kualitas diri dengan maksimum, sehingga kita menemukan jalan terbaik atau solusi dalam menghadapi krisis,\" sambungnya.  Cendikiawan Muda Islam Muhammad Elvandi menambahkan, bahwa pelajaran keteladanan yang bisa diambi dari Nabi Muhammad SAW adalah fokus dalam mengubah generasi yang begitu cepatnya dengan tujuan membangun peradaban Islam. \"Begitu cepatnya ketika Beliau mentransformasikan generasi menjadi sumber daya yang berkualitas, sehingga mampu membangun peradaban. Ini bisa menjadi pelajaran buat kita semua,\" kata Elvandi. Elvandi berharap kualitas pemimpin Indonesia masa depan bisa seperti kejayaan generasi pada masa peradaban Islam. Dimana seorang pemimpin harus memiliki gagasan besar, sehingga bisa membangun peradaban baru. \"Selain itu, pemimpin juga harus bisa menyatukan, merekatkan semua dan membawa kedamaian, bukan pemimpin yang membuat provokasi-provokasi. Pemimpin harus bisa memberikan edukasi politik dan literasi kepada masyarakat,\" kata Elvani yang juga Wakil Ketua Bidang Narasi DPN Partai Gelora ini. (sws)

Menjemput Mandat Presiden

Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Bukan \"show off force\", bukan juga mobilisasi massa demi eksistensi politik. Momen 16 Oktober 2022 di Balai Kota DKI, menjadi indikator masih hidupnya demokrasi dan harapan untuk Indonesia yang lebih baik. Partisipasi dan dukungan rakyat terhadap Anies melepas jabatan gubernur Jakarta dan menyongsongnya menjadi presiden Indonesia. Menjadi bukti, masih ada pemimpin yang amanah, yang menjadi harapan dan begitu dicintai rakyat di tengah keniscayaan kehidupan sebagai sebuah negara bangsa. Sepanjang usia reformasi, belum ada seorang pejabat yang saat terpilih dan mengakhiri masa jabatannya tetap sama mendapatkan apresiasi dan dukungan luas publik. Hanya Anies Baswedan pada saat kampanye, bertugas dan menyelesaikan tanggungjawabnya sebagai gubernur Jakarta mendapat respon yang begitu gegap gempita dari sebagian besar rakyat Indonesia. Bukan hanya prestasi, penghargaan dan tingkat kepuasan masyarakat Jakarta.   Purna bakti Anies mengelola ibukota negara, terus menuai banyak pujian dan berlimpah aspirasi rakyat untuk mengemban mandat sebagai presiden Indonesia. Tanggal 16 Oktober 2022 menjadi momen spesial bukan hanya bagi seorang Anies Baswedan, melainkan juga buat warga Jakarta dan seluruh rakyat di pelosok negeri. Gubernur Jakarta yang sukses dengan tagline maju kotanya dan bahagia warganya, Anies mengakhiri pengabdiannya di tanah Betawi itu dengan segudang catatan manis dan berkesan. Tak sekedar ucapan selamat perpisahan, rakyat semakin antusias memberikan kepercayaan untuk melanjutkan karya yang jauh lebih besar dan bermakna. Selain ucapan sukses dan terimakasih, Anies bahkan telah didapuk untuk menjadi presiden. Begitulah simpati, empati dan euforia warga Jakarta khususnya dan khalayak luas pada umumnya mengekspresikan pemimpin yang dicintainya. Sebuah fenomena tersendiri dalam dinamika politik kontemporer Indonesia, belum juga usai menjabat gubernur Jakarta, teriakan presiden menggema dimana-mana. Gubernur rasa presiden, begitulah rakyat menjulukinya tanpa pencitraan, tanpa rekayasa dan tanpa siasat jahat politisi apalagi konspirasi oligarki. Anies memang istimewa dan beda dari kebanyakan pemimpin yang sekarang bertebaran dan naif tebar pesona. Kegiatan formal  seremonial dan protokoler yang menyudahi jabatan gubernur Jakarta yang diemban Anies begitu menyita dan menarik perhatian masyarakat. Perhelatan demisioner tugas Anies oleh DPRD DKI dan terkonsentrasi di Balai Kota pada 16 Oktober 2022 itu, seperti akan menjadi permulaan pesta rakyat sebelum memasuki pesta demokrasi dalam pilpres 2024 mendatang. Anies seakan tak pernah berhenti dielu-elukan masyarakat, seakan bangga dan puas atas kinerja kepemimpinannya selama membangun Jakarta,  sekaligus semangat mengusungnya tampil dalam pentas kepemimpinan nasional. Menjelang melepaskan jabatannya, geliat dan animo untuk  tugas baru telah menanti Anies. Terimakasih Jakarta dan Selamat Datang Anies terasa memenuhi langit politik Indonesia. Partai politik, para relawan dan rakyat di penjuru tempat, begitu suka cita menyambut Anies mengakhiri tugasnya sebagai gubernur Jakarta, untuk selanjutnya memberi mandat sebagai presiden Indonesia. Warga Jakarta dan seluruh rakyat di daerah-daerah menaruh kepercayaan dan memberikan dukungan penuh Anies menjajaki transisi dan estafet kepemimpinan nasional. Pemimpin baru dan harapan baru untuk Indonesia yang jauh lebih baik, lebih sejahtera dan berkeadilan serta menjunjung tinggi keberadaban. Begitulah perasaan dan suasana batin rakyat Indonesia terhadap seorang Anies Baswedan. Rasanya, menanggalkan jabatan gubernur Jakarta, bagi Anies sejatinya menjadi awal dan babak baru bagi jejak panggung politik nasional yang digelutinya. Bukan hanya penyelamatan demokrasi, Anies juga ditantang untuk mewujudkan keberadaan serta nilai-nilai Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang hakiki. Ditengah keterpurukan negara bangsa dan penderitaan rakyat yang semakin mengemuka. Anies dituntut mampu menjadi pemimpin yang sesungguhnya, pemimpin yang lahir, tumbuh dan dibesarkan dari rahim rakyat. Mengemban amanat penderitaan rakyat untuk membawanya dalam negara kesejahteraan, kepada keadaan suatu bangsa yang kemakmuran dan keadilan bukan hanya sebagai sebuah mimpi dan uthopis. Pemimpin yang bijak terhadap kebhinnekaan dan kemajemukan rakyatnya, pemimpin yang gandrung pada persatuan dan kesatuan nasional, serta pemimpin yang teguh menapaki jalan penderitaan dan pengorbanan demi kedaulatan dan kehormatan negara bangsanya. Di pundak Anies dengan karakter dan integiritasnya, ada secercah keyakinan dan sikap  optimis bahwasanya masa depan Indonesia masih bisa membuka ruang seluas-luasnya bagi keadilan dan kemakmuran kehidupan rakyat Indonesia. (*)

Muhammad (SAW), Sang Mutiara-01

Dalam sebuah syair yang lain disebutkan: “kesempurnaannya mencapai puncak ketinggian. Keindahannya menyingkap kegelapan. Semua sisinya begitu indah. Maka bersholawatlah kepadanya dan keluarganya”.  Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation  HARI-hari ini Umat Islam di seluruh penjuru dunia mengingat kelahiran Muhammad, Rasulullah SAW. Terlepas setuju atau tidak dengan berbagai cara atau acara untuk mengingat kelahiran itu, Umat semuanya tanpa kecuali pastinya sepakat untuk selalu memperbaharui dan memperkuat keimanan dan kecintaannya kepada Muhammad SAW.  Sehingga sesungguhnya perbedaan pendapat dan sikap itu tidak perlu menjadikan Umat ini terpecah dan saling bermusuhan karenanya. Masing-masing punya hak berpendapat dan mengambil sikap sesuai keyakinan masing-masing. Toh, sekali lagi, semuanya memilki iman dan cinta kepada baginda Rasul sebagai “common ground”.  Terlepas dari perdebatan tentang “Maulid” atau kelahiran Rasulullah SAW mungkin ada baiknya kita sekali melihat siapa dan bagaimana harusnya kita menempatkan Rasulullah SAW. Sebab seringkali terjadi sikap “eksejerasi” (berlebihan) akibat tendensi ekstrim dalam melihat Rasulullah SAW. Ekstrim dalam melihat Rasul ini menjadikan sebagian lepas pegangan keagamaan dan cenderung mengikuti emosi atau sentimen semata.  Al-Qur’an sendiri memberikan beberapa defenisi atau karakteristik tentang Rasul. Baik dari aspek akhlak yang sangat dipuji (wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhim) hingga ke aspek kejiwaan yang begitu kasih dan sayang kepada seluruh manusia (rahmatan lil-alamin). Bahkan Al-Qur’an juga menyebut beliau sebagai sosok yang sangat “tegas” kepada kekufuran (asyiddaa alal kuffaar). Namun sangat lemah lembut kepada sesama (rauufun rahim).  Kali ini saya akan mengutip satu ayat yang mendefenisikan Rasulullah dengan sangat unik. Ayat itu ada di Surah Al-Kahf ayat 110 yang berbunyi: “Katakan (wahai Muhammad) kalau saya adalah manusia seperti kalian diwahyukan kepadaku bahwasanya tuhan kalian adakah Tuhan yang Satu”.  Ayat ini sangat dalam dan luas untuk dirincikan. Tapi secara global ada dua sisi penting dari Rasulullah yang diekspos. Satu, bahwa Muhammad itu manusia seperti manusia lainnya. Dua, bahwa Muhammad itu mendapatkan wahyu tentang Tuhan yang Maha Tunggal.  Sebagai “basyar” dengan penekanan “mitslukum” atau seperti manusia lain bermakna bahwa Muhammad itu juga memiliki semua karakteristik atau sifat dasar manusia lainnya. Beliau makan, minum, tidur, lelah, marah (walau marahnya untuk kebaikan), bahkan sedih dan menangis (ketika putranya meninggal). Rasulullah juga punya hasrat hawa nafsu atau syahwat dan karenanya melakukan pernikahan.  Realita ini yang kemudian menjadikan orang-orang kafir Quraish mempertanyakan “Kenapa bukan malaikat yang diutus kepada mereka”? Bahkan mempertanyakan sosok Muhamad sebagai orang biasa. Bukan seorang raja atau seseorang yang kaya raya.  Sungguh maha bijak Allah ketika mengutus RasulNya dari kalangan manusia biasa. Karena dengan itu sang Rasul akan menjalani kehidupan sebagaimana manusia lainnya. Beliau menikah dan membangun keluarga misalnya untuk menjadi contoh bagi manusia untuk melakukan hal yang sama.  Walaupun beliau adalah manusia biasa tapi pada lanjutan ayat Allah menegaskan: “diwahyukan padaku (Muhammad)”. Menunjukkan bahwa realita sebagai manusia biasa tidak menjadikannya seperti manusia lainnya. Tapi justeru beliau adalah manusia agung, unik dan Istimewa. Memiliki berbagai kelebihan dan sempurna dalam kapasitasnya sebagai manusia.  Realita ini  menampakkan sebuah paradoks: manusia biasa, tapi tidak seperti manusia yang lain. Tapi memang itulah yang digambarkan misalnya dalam puji-pujian para pencinta, khususnya di kalangan Muslim Asia Selatan: “Muhammad itu manusia. Tapi bukan seperti manusia. Tetapi Muhammad adalah mutiara. Dan manusia bagaikan bebatuan”.  Dalam sebuah syair yang lain disebutkan: “kesempurnaannya mencapai puncak ketinggian. Keindahannya menyingkap kegelapan. Semua sisinya begitu indah. Maka bersholawatlah kepadanya dan keluarganya”.  Keindahan baginda Rasulullah yang begitu sempurna ini karena tersinari oleh wahyu (yuuhaa) yang memang memiliki kekuatan yang dahsyat: “sekiranya Al-Qur’an ini Aku turunkan di atas sebuah pegunungan niscaya engkau akan lihat gunung itu goncang dari takut kepada Allah”.  Kekuatan wahyu yang membentuk keindahan Rasul Muhammad itu sekaligus menghadirkan nilai (value) dalam kehidupan beliau. Sehingga dengan nilai itu beliau menjadi “walking Qur’an” (Al-Quran yang berjalan). Sekaligus dengan kehidupan yang sempurna dalam nilai itu menjadikan beliau tauladan bagi seluruh manusia: “Sungguh pada diri Rasul itu ada suri tauladan untuk kalian”.  Pada hari-hari mengingat kelahirannya itu marilah kita semua berusaha memperbaharui iman, meningkatkan kecintaan, sekaligus membangun komitmen untuk menjadikan Rasulullah sebagai role model (suri tauladan) untuk kita dalam segala lini kehidupan.  NYC Subway, 11 Oktober 2022. (*)

Logika Prof Romli Miring

 Kebijakannya merugikan keuangan negara, sehingga dia divonis bersalah oleh hakim, meski kemudian dalam putusan kasasi dibebaskan. Jadi, integritasnya masih diragukan.  Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih ANAK-anak dalam kajian Politik Merah Putih, mencoba menguji dengan santai satu persatu logika Prof. Romli Atmasasmita tentang dugaan tindak pidana oleh Anies Baswedan dalam pelaksanaan Formula E. Menurut logika argumentasi Prof Romli Atmasasmita, Guru Besar Universitas Padjadjaran, Bandung, Anies terbukti bersalah dalam kasus Formula-E. Prof Romli yakin Anies telah melakukan tindak pidana. Pertama, menurut Prof Romli, tidak ada pos anggaran untuk Formula-E di dalam APBD 2019, sehingga pelaksanaan proyek tanpa anggaran tersebut melanggar keuangan daerah (DKI). Ternyata: Anggaran Formula-E memang tidak tercantum dalam APBD DKI 2019. Tetapi, ada di dalam APBD Perubahan (APBD-P) DKI 2019. \"Argumentasi Romli otomatis gugur\". Kedua, meskipun tidak ada anggaran, Anies memaksa menjalankan proyek Formula-E dengan memberi kuasa kepada Kadispora untuk melakukan pinjaman kepada Bank DKI. Menurut Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Mochammad Ardian, Pemprov DKI Jakarta tidak berkewajiban untuk meminta persetujuan kepada DPRD terkait peminjaman jangka pendek yang digunakan untuk pembiayaan Formula E pada 2019. “Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah, pinjaman jangka pendek tidak meminta pertimbangan dari Kemendagri atau persetujuan dari DPRD,\" kata Ardian saat dihubungi, Kamis (11/11/2021). Menurut Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga DKI Jakarta Achmad Firdaus, peminjaman uang Rp 180 miliar ke Bank DKI untuk talangi pembayaran commitment fee Formula E sesuai prosedur. Dia mengatakan, pinjaman tersebut sudah dilunasi dengan pencairan DPPA Dinas Pemuda dan Olahraga DKI Jakarta Desember 2019. \"Argumentasi Romli melenceng\". Ketiga, perjanjian dengan Formula-E tersebut menggunakan business-to- government yang melanggar persetujuan Kemendagri, yang mengharuskan pendekatan business-to-business. Dari hasil studi kelayakan terbaru, kelanjutan penyelenggaraan Formula E disebutkan bisa mandiri dengan skema business to business. Faktanya bahwa Pemprov DKI Jakarta juga menunjuk Jakpro untuk menjalankan Formula E tersebut. “Selain itu hasil studi kelayakan juga menunjukan bahwa sukses pelaksanaan Formula E terdapat manfaat finansial, manfaat ekonomi dan manfaat reputasional. \"Argumentasi Romli miring\". Menurut hasil audit BPK terhadap Formula-E yang dipublikasi 20 Juni 2022 menyatakan Formula-E Jakarta layak dilaksanakan. Dan hasil pelaksanaan Formula E tidak ada kerugian negara dan tidak ada pelanggaran pidana. Terlacak oleh kajian politik Merah Putih bahwa argumentasi dari Prof Romli Atmasasmita itu gugur, melenceng, dan miring terkesan sangat dekat dengan pesanan politik yang dipaksakan. Yang perlu dicatat, menurut situs resmi unpad.ac.id, Prof Romli Atmasasmita adalah Guru Besar Hukum Pidana Internasional. Jejak digital pun mencatat, Prof Romli pernah diadili terkait dengan tindak pidana korupsi saat menjabat Dirjen di Depkumham. Kebijakannya merugikan keuangan negara, sehingga dia divonis bersalah oleh hakim, meski kemudian dalam putusan kasasi dibebaskan. Jadi, integritasnya masih diragukan. Mantan napi korupsi koq berpendapat soal dugaan tindak pidana korupsi dari orang lain. (*) 

"Gelombang PHK dan Perfect Storm": Buruknya Nasib Buruh Indonesia

Sampai saat ini, hanya Anies Baswedan yang setuju dengan kenaikan upah buruh tinggi, semua capres lainnya yang muncul di bursa capres, tidak pernah memikirkan nasib buruh.  Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle SAID Iqbal, Ketua Partai Buruh, yang berewokan mirip Lula Da Silva, tokoh Buruh Brazil, kemarin memberi ultimatum kepada pemerintah dan pengusaha untuk tidak mengorbankan nasib buruh ketika ancaman resesi dunia datang ke Indonesia. Ancaman resesi ini, dalam istilah Luhut Binsar Panjaitan disebutkan sebagai  \"Perfect Storm\", atau sebuah badai sempurna, bisa memporak-porandakan ekonomi kita. Dan Iqbal mengancam akan menurunkan massanya, kaum buruh, menolak gelombang PHK massal di depan Istana. Dari banyaknya pemberitaan media saat ini terkait gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), ada dua buah berita menarik yakni \"Ada Gelombang PHK, Klaim JHT Meningkat Sebanyak 2,2 Juta Pekerja\" dan \"Di DKI Jakarta Ada 395.866 Pekerja Kena PHK Telah Mengklaim JHT\" keduanya oleh Kompas, (30/9/2022 dan 5/10/2022). Dalam penjelasan peningkatan jumlah PHK, selama Januari - Agustus tahun ini, disebutkan terjadi peningkatan sebesar 49% atau lebih dari satu juta jiwa, secara nasional, dibandingkan tahun lalu. Kedua berita di atas menunjukkan bahwa telah lebih dari sejuta orang memang mengalami PHK, tahun ini. Jumlah ini hampir dipastikan pula pekerja formal, karena mereka terdaftar sebagai peserta JHT BPJS ketenagakerjaan. Apakah \"Perfect Storm\" yang dimaksudkan oleh LBP sudah tiba? Menurut konsensus para ahli krisis yang dimaksudkan akan datang tahun depan. CNN Internasional memberitakan dalam \"5 signs the world is headed for a recession\", (2/10/2022), antara lain: \"While the consensus is that a global recession is likely sometime in 2023, it’s impossible to predict how severe it will be or how long it will last. Not every recession is as painful as the 2007-09 Great Recession, but every recession is, of course, painful.\" Meski krisis akan datang tahun depan, sebelum badai krisis datang kita sudah melihat gelombang PHK begitu dahsyatnya saat ini. Apalagi ketika badai krisis datang? Atau kita bisa sebaliknya, melihat perspektif ekonom Chatib Basri, bahwa badai itu hanya akan memperlambat ekonomi saja, tidak sampai membuat krisis. Sebab, krisis ekonomi adalah situasi penurunan aktifitas ekonomi, seperti GDP, penurunan inkome riil, penurunan lapangan kerja, dan penurunan industri, selama beberapa quarter dalam grafik yang tajam. Menurut Basri, kemungkinan kita seperti tahun 2007-2008 saja. Tidak besar dampaknya, hanya perlambatan. Terlepas krisis datang, seperti kata Luhut, maupun hanya perlambatan kata Chatib Basri, nasib buruh yang terpuruk sudah menjadi kenyataan. Said Iqbal, dalam pernyataannya diberbagai media mengatakan bahwa badai krisis yang disampaikan pemerintah hanyalah upaya menakut-nakuti. Seharusnya, pemerintah bekerja keras untuk membuat tidak ada (lagi) krisis sehingga tidak ada PHK. Caranya dengan meningkatkan daya beli kaum buruh melalui kenaikan upah sebesar 13%. Sehingga nantinya terjadi konsumsi yang lebih besar dan perputaran ekonomi membaik. Persoalan upah buruh memang menyedihkan paska pandemi covid-19. Survei Mekari April 2022 dalam judul \"Mekari Whitepaper: Laporan Kesejahteraan Karyawan 2022 terhadap 5500 karyawan dari 300 perwakilan divisi SDM”, Kompas, (10/10/2022), menunjukkan 74% karyawan mengalami kemerosotan daya beli, sebanyak 61% mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dan hanya 15% yang masih mampu bertahan jika terjadi PHK. Survei ini memotret buruh dalam sekor formal. Sektor formal, sekali lagi, adalah sektor yang secara hirarkis memberikan kesejahteraan lebih baik dari buruh sektor non formal dan informal. Sehingga secara keseluruhan kita dapat membayangkan kesejahteraan pekerja kita mayoritas dihantui ketidakpastian hidup. Untuk memperkuat gambaran buruknya nasib pekerja kita, sebuah survei yang dilakukan Litbang Kementerian Perhubungan tentang Ojek Online, Kompas (9/1/2022), sebagai berikut: pendapat pengemudi ojek perhari hampir sama dengan pengeluaran mereka, yakni berkisar Rp. 50.000-Rp.100.000. Mereka adalah anak usia 20-30 tahun sebanyak 40,63%, dan menjadi pengemudi ojol sebagai penghasilan utama sebanyak 54%. Jumlah pengemudi Ojol ini berkisar 4 jutaan. Untuk kelompok GO-JEK sendiri, dream.co.id, (5/8/22), memberitakan jumlah mitra GO-JEK sebesar 3,7 juta pengemudi. Survei Litbang Kementerian Perhubungan itu dilakukan September paska kenaikan BBM. Kenaikan BBM ini memperburuk situasi ekonomi buruh yang di survei Mekari di atas. Pada April terjadi kemerosotan daya beli, lalu pemerintah memberi kado kenaikan BBM pada September. Inflasi terjadi begitu tinggi. Buruh semakin merana. Untuk keperluan daya beli buruh, pemerintah membuat BSU (Bantuan Subsidi Upah) pada program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) 2022. Ini sudah berlangsung 3 tahun. Program ini dimaksudkan untuk mensubsidi buruh sebesar Rp 600.000 sekali pertahun, kepada 14,6 juta buruh. Jika itu dikalikan, maka uang yang disalurkan kepada buruh untuk subsidi adalah Rp. 8,76 T. atau 1,9% dari anggaran PEN (Rp 455,6 T). Sampai saat ini pemerintah mengklaim telah menyalurkan kepada sekitar 8 juta pekerja. Tergerusnya daya beli buruh tentu saja tidak mampu diimbangi oleh program subsidi upah yang hanya menyentuh sedikit jumlah pekerja. BBC berbahasa Indonesia mengungkapkan hal itu dalam berita \"Bantuan Subsidi Upah 2022: \'Cemburu Sosial\' Bagi Puluhan Juta Pekerja Informal\", (6/4/2022). Jumlah pekerja informal disebutkan 78 juta jiwa dan formal sebanyak 53 juta jiwa tahun 2021. Sesungguhnya kecemburuan pun terjadi bagi pekerja formal yang tidak mendapatkan. Timbul Siregar, ketua serikat buruh OPSI dalam \"BSU 2022 yang Tidak Sesuai Janji\", progresnews.Info, (1/9/2022), juga memperkuat telah terjadi kecemburuan sosial dikalangan buruh dalam subsidi upah yang sangat terbatas ini. Bersatulah Kaum Buruh Demonstrasi Partai Buruh yang dilakukan Said Iqbal dkk hari ini menjadi bagian dari demonstrasi kaum Buruh yang sudah berlangsung secara berkali-kali selama beberapa bulan ini. Gelombang PHK Buruh diantara kesulitan ekonomi, baik inflasi maupun resesi, akan menyengsarakan buruh dan keluarganya. Setiap buruh umumnya menanggung seorang istri dan dua anaknya. Artinya puluhan juta kaum buruh menderita saat ini. Dan ini perlu jalan keluar bersama dari pemimpin kaum buruh. Kelompok buruh yang di pimpin Said Iqbal selama ini berjarak dengan kelompok buruh yang dipimpin oleh Jumhur Hidayat. Keterpisahan terjadi karena kedekatan mereka yang berbeda pada kekuasaan Jokowi. Namun, tantangan yang besar ke depan, Gelombang PHK dan penderitaan buruh akibat hancurnya daya beli, menuntut adanya kebersamaan sikap dalam merespon kebijaksanaan Jokowi, khususnya siapa dikorbankan pemerintah jika terjadi krisis? Apakah buruh atau orang-orang kaya? Jika buruh ingin menyelamatkan diri, maka keniscayaan persatuan kaum buruh harus segera terjadi. Dimulai dengan evaluasi atas berbagai kebijakan Jokowi yang anti buruh, seperti UU Omnibus law, kebijakan kenaikan upah rendah, pemberangusan hak-hak berserikat buruh dan anggaran PEN yang lebih memihak pengusaha ketimbang buruh. Setelahnya buruh harus bersatu mencari pemimpin ke depan. Pemimpin bangsa ini dihuni mayoritas elite yang tidak pro buruh. Mereka hanya melihat kekuasaan sebagai karir hidup dan penghambaan material alias memperkaya diri. Kaum buruh ke depan perlu membangun pakta persekutuan dengan calon presiden yang mau tunduk pada kepentingan buruh, bukan tunduk pada kepentingan oligarki. Penutup Gelombang PHK sudah terjadi. Ini belum lagi jika badai krisis dunia atau \"Perfect Storm\" datang tahun depan. Bagaiamana kita mampu melihat jutaan buruh menjadi pengangguran dan keluarga buruh menjadi pengemis? Survei telah memotert, sebagiannya, nasib buruh yang semakin terpuruk, yakni kehilangan daya beli pada awal tahun lalu dan semakin hancur dalam survei Litbang Kemenhub setelah kenaikan BBM. Belum lagi buruh pada sektor informal. Untuk itu kaum buruh harus bersatu. Melawan semua kebijakan Jokowi yang anti buruh. Tidak bisa terpisah seperti selama ini, sebagiannya masih berdekatan dengan Jokowi, sebagiannya berposisi. Kebersamaan buruh dibutuhkan untuk melawan arah nasib buruh yang hancur dan akan semakin hancur. Dalam kebersamaan itu, kaum buruh juga harus membangun pakta persekutuan dengan capres yang pro buruh. Sampai saat ini, hanya Anies Baswedan yang setuju dengan kenaikan upah buruh tinggi, semua capres lainnya yang muncul di bursa capres, tidak pernah memikirkan nasib buruh. Begitupun, pakta persekutuan kepada calon pemimpin ke depan merupakan agenda terbesar dari kebersamaan kaum buruh untuk merubah nasib buruh kedepan. Selamat Berjuang. (*)

PKI SIBAR, Menyingkap Cara Pandang Intelijen Belanda Untuk Mendesain Indonesia Pasca Kemerdekaan

Jangan-jangan SIBAR dari awal memang cuma diplot sebagai organ cangkang untuk menyusun jejaring Van der Plas yang bersih dari unsur-unsur yang berjiwa nasionalis baik di lapisan sipil maupun militer. Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) ADA buku bagus yang sudah ada di rak koleksi buku saya sejak 10 tahun lalu, ditulis oleh Harry A Poeze berjudul: PKI SIBAR, Persekutuan Aneh antara Pemerintah Belanda dan Orang Komunis di Australia 1943-1945. Persekutuan aneh bermula ketika PKI gagal melancarkan pemberontakan terhadap Belanda pada 1926-1927, pemerintah kolonial Belanda mengirim ribuan anggotanya ke Tanah Merah, kamp tawanan yang keras dan terpencil di Nugini Selatan. Atau kelak lebih dikenal dengan Boven Digul. Pada saat Jepang masuk Indonesia dan menggantikan Belanda sebagai penjajah, arus balik terjadi. Belanda menyatakan perang terhadap Jepang. Maka para tawanan anggota PKI, bersama-sama para para tawanan politik lainnya yang juga tokoh pergerakan nasional baik dari para nasionalis radikal, para pemimpin Islam dan pengikut Tan Malaka, kemudian diungsikan ke Australia, atas desakan dari Van der Plas. Inilah awal persekutuan aneh orang-orang PKI dan Belanda. Maka orang-orang PKI yang ada dalam pembuangan di Australia, kemudian membentuk Serikat Indonesia Baroe (SIBAR) pada 1944. Tujuannya adalah menjadikan dirinya sebagai Partai Negara yang akan memimpin Indonesia setelah mengalahkan Jepang. Hanya saja setelah Jepang kalah pada Agustus 1945 dalam Perang Dunia II, maka persekutuan aneh Belanda-PKI SIBAR pun jadi tidak relevan lagi. Bahkan sejak Sukarno-Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, PKI SIBAR sontak hilang dari catatan dan ingatan sejarah. Kalau begitu, di mana aspek menarik dari buku karya sejarawan Belanda Harry A. Poeze itu? Menurut sang penulis yang juga banyak menulis riwayat hidup Datuk Ibrahim Tan Malaka, dia merasa tergugah menulis buku ini karena dua hal. Pertama, ini persekutuan aneh yang jarang-jarang terjadi, mengingat Belanda selalu dalam satu persekutuan strategis dengan Inggris, Amerika dan Prancis sejak pasca Napoleon Bonaparte. Kedua, persekutuan Belanda-PKI SIBAR menyingkap permainan intelijen Belanda untuk menyusun skema Indonesia pasca Perang Dunia II. Sehingga dalam konteks ini, gagasan Van der Plas yang terkenal misterius dan pemain kunci dalam komunitas intelijen Belanda pada masa kolonial, membangun persekutuan dengan PKI SIBAR, dimaksudkan untuk memplot PKI dalam operasi bendera palsu. Rencana Van der Plas memplot PKI SIBAR sebagai boneka Belanda meski tanpa harus disadari oleh kader-kader PKI itu sendiri, memang sangat mendukug. Mengingat beberapa kader kuncinya seperti Sardjono, Ketua de fakto PKI misalnya, sama sekali tidak tahu-menahu perkembangan yang terjadi dalam Perang Dunia II kala itu. Menarik mengutip laporan kawan Sardjono yang ada di Australia: “Sardjono dan para tahanan lain tidak tahu-menahu tentang Perang Dunia II. Mereka hanya tahu sedikit tentang serangan Jepang dan niatan mereka terhadap Hindia Belanda, Sardjono adalah satu-satunya pemimpin revolusioner di dunia yang tidak tahu bahwa Trotzky sudah meninggalkan Uni Soviet dan mati. Hitler telah menguasa Jerman, Italia menjajah Abyssinia, Spanyol mengalami perang saudara, Jepag menguasai sebagian China, dan Jerman menyerang Uni Soviet.” Meskipun Poeze dalam bukunya menilai laporan kawannya Sardjono ini dilebih-lebihkan, namun ada setitik kebenaran dalam pernyataan tersebut. Besar dugaan saya, kawannya Sardjono yang membuat laporan ini tergolong kategori kader ideologis dan lumayan berwawasan intelektual. Sehingga laporan tentang Sardjono ini menggambarkan betapa kudet-nya (kurang update) seorang kader PKI yang tergolong pemain kunci di partai. Kondisi macam ini sudah tentu sangat dikenali betul oleh Van der Plas. Van der Plas merupakan salah seorang pejabat pemerintahan kolonial Belanda yang punya sifat yang tidak biasa, misterius, namun sangat berpengetahuan luas mengenai orang-orang Indonesia baik ciri sosial maupun budayanya. Lebih dari itu, Van der Plas merupakan satu-satunya pejabat kolonial Belanda yang selain fasih bahasa Indonesia, juga mengenal secara pribadi sebagian besar kaum elit Indonesia. Sehingga Van der Plas dianggap merupakan otak di balik strategi cerdas Belanda terutama pada fase ketika Belanda membentuk pemerintahan pengasingan di Australia seturut masuknya Jepang di Indonesia pada 1942, hingga saat Jepang menyerah, maupun ketika Belanda mencoba kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara sekutu sebagai pemenang perang dunia II. Banyak kalangan yang meyakini Van der Plas telah membentuk jaringan intelijen di Indonesia pasca kemerdekaan, sehingga sempat muncul istilah Kader-Kader Van der Plas, untuk menggambarkan banyaknya orang-orang elit Indonesia yang sengaja disusupkan Belanda ke berbagai instansi-instansi pemerintaham, TNI, maupun partai-partai politik. Kalau melihat skema Van der Plas ini, usaha memplot PKI SIBAR masuk dalam orbit operasi intelijen Belanda, jadi sangat masuk akal. Apalagi dengan kualitas orang nomor satu PKI di pengasingan seperti Sardjono sebagaimana laporan tertulis kawannya yang di Australia tadi. Selain itu, tersirat lewat buku Poeze ini, tergambar betapa rapuhnya kader-kader PKI dalam kemampuan intelektual maupun penguasaan ideologinya. Sehingga tak heran begitu mudahnya masuk perangkap pengaruh Belanda. Dikiranya lewat kerjasama dengan Belanda untuk melawan fasisme Jepang di Asia dan fasisme Jerman di Eropa, PKI bisa bangkit dan berjaya kembali. Coba simak betapa naifnya para kader PKI SIBAR pimpinan Sardjomo ini. Dalam rencana dasar, tujuan SIBAR adalah berusaha bersama-sama pemerintah Belanda untuk mencapai kebebasan Indonesia dari tangan musuh. Kedua, menyediakan dasar Indonesia Baru yang demokratis. Lebih celaka lagi, PKI SIBAR secara gamblang berjanji tidak akan melanggar hukum Belanda dan pemerintah Australia. Dari klausul pendirian SIBAR ini saja, tersingkap betapa naif dan tidak imajinatifnya kader-kader komunis yang jadi eksil di Australia tersebut. Andaikan waktu itu Indonesia kembali dikuasai Belanda, maka klausul PKI itu berada dalam genggaman Belanda sepenuhnya. Atau lebih buruk lagi, orang-orang PKI SIBAR dengan senang hati bersedia jadi agen-agen proksi Belanda. Kenaifan komunis yang lain lagi adalah, Sardjono dalam salah satu artikelnya meyakini sepenuhnya Belanda siap melaksanakan demokrasi dan reformasi. Tentu saja pandangan Sardjono semacam itu ibarat mimpi di siang bolong. Mana mungkin negara penjajah untuk melestarikan jajahannya memberikan kebebasan dan demokrasi pada rakyat jajahannya? Namun justru kualitas semacam itu merupakan sasaran empuk dari aparat-aparat Netherlands Force4s Intellience Service/NEFIS Belanda, untuk menggarap jejaring intelijennya di Indonesia pasca kemerdekaan Indoesia. Sebab tren ke arah Indonesia merdeka, sudah disadari oleh orang jenius intelijen Belanda macam Van der Plas. Sebagaimana laporan yang disampaikan Layanan Keamanan Australia, pihak NEFIS menyadari bahwa Belanda sudah tidak mungkin lagi menjajah Indonesia secara langsung seperti dulu. Maka, harus berkompromi dengan bangsa Indonesia, dan menawarkan mereka peran yang lebih besar dalam skema Netherlands East Indies atau Hindia Belanda. Dengan kata lain, tersirat Belanda lewat orang-orang macam Van der Plas, bermaksud menyusun jejaring agen-agen proksi di semua sektor strategis baik pemerintahan maupun swasta. Baik di kalangan sipil maupun militer. Dalam konteks PKI SIBAR inilah, skenario Van der Plas menemukan salah satu mata-rantainya justru dari kalangan komunis. Seperti kesimpulan Van der Plas sendiri tentang kepribadian Sardjono, tokoh sentral PKI dalam pengasingan di Austrtralia: Sardjono pada dasarnya tipikal orang fanatik sekaligus pemimpi. Biasanya, seperti juga dengan tipikal yang sama di kalangan aktivis pergerakan Islam, fanatik sekaligus pemimpi/pengkhayal, sasaran empuk masuk perangkap Operasi Bendera Palsu (False Flag Operation). Kalau mencermati meletusnya pemberontakan Madiun September 1948 yang dipimpin Muso yang berakhir dengan tumpasnya gerakan tersebut, Sardjono dan beberapa eksponen SIBAR yang kemudian menjadi pengurus inti PKI di Indonesia pada 1946, bukan saja ikut terlibat aksi Madiun, bahkan kemudian dihukum mati sebagai pemberontak pada Desember 1948. Apakah pemberontakan Madiun September 1948 juga melibatkan operasi intelijen Belanda? Menarik untuk dikaji lebih dalam. Namun salah satu jejak keterlibatan Belanda bisa saja ada, mengingat fakta bahwa Hardjono, salah satu pentolan PKI yang satu haluan dengan Sardjono dan sama-sama ikut dihukum mati akibat aksi Madiun, ternyata pernah direkrut NEFIS sebagai karyawan di Holandia. Menghilangnya SIBAR dari peredaran, seturut kembalinya Sardjono, Hardjono Cs ke Indonesia pada 1946 dan mendirikan kembali PKI pada tahun yang sama, sepertinya skenario operasi intelijen Van der Plas sudah gagal total. Benarkah demikian? Tidak juga. Sebab setidaknya, Sardjono dan Hardjono, pemain kunci PKI sejak 1946, setahun setelah Indonesia merdeka, hingga hancurnya pemberontakan Madiun 1948, telah berhasil membersihkan unsur-unsur yang berpandangan nasionalis di dalam tubuh PKI Sibar. Sehingga sejak itu Sardjono Cs menjadi kekuatan fron komunis yang berhaluan internasional. Jangan-jangan SIBAR dari awal memang cuma diplot sebagai organ cangkang untuk menyusun jejaring Van der Plas yang bersih dari unsur-unsur yang berjiwa nasionalis baik di lapisan sipil maupun militer. Sementara Sardjono Cs yang didorong mendirikan PKI SIBAR mengira sedang membangun imperium politiknya sendiri. Padahal sejatinya menjadi alat tersembunyi Van der Plas dan NEFIS untuk menyusun barisannya sendiri untuk merongrong kedaulatan nasional Indonesia pasca Proklamasi 17 Agustus 1945. (*)

Logika Prof Romli Atmasasmita Bahaya: Kalau Anies dan Formula-E Dipidana, Maka Jokowi dan Banyak Kasus APBN juga Harus Dipidana

Maka itu, sangat bahaya sekali logika argumentasi Prof Romli, yang melihat permasalahan dengan sudut pandang sangat sempit, sehingga logika seperti itu bisa mempunyai dampak sangat buruk secara nasional.  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) HUKUM dibuat dengan tujuan memberi keadilan bagi semua pihak. Yang salah dinyatakan salah, yang benar dinyatakan benar, menurut hukum atau undang-undang yang berlaku. Artinya, semua orang sama dihadapan hukum. Hukum berkaitan erat dengan logika, dan hukum dibangun berdasarkan alur pemikiran logika. Menurut logika argumentasi Prof Romli Atmasasmita, Guru Besar Universitas Padjadjaran, Anies terbukti bersalah dalam kasus Formula-E. Prof Romli yakin Anies telah melakukan tindak pidana. Pertama, sudah ada perbuatan (actus reus) melawan hukum, dan kedua sudah ada niat jahat (mens rea): https://www.republika.co.id/berita/rj8mgj409/penjelasan-prof-romli-soal-adanya-mens-rea-dalam-penyelenggaraan-formula-e Tulisan ini untuk mempertanyakan logika argumentasi Prof RomIi dan konsekuensinya terhadap sistem keuangan daerah (APBD) serta sistem keuangan negara (APBN). Ada tiga alasan utama Prof Romli menyatakan Anies bersalah dan melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan daerah dalam proyek Formula-E. Pertama, menurut Prof Romli, tidak ada pos anggaran untuk Formula-E di dalam APBD 2019, sehingga pelaksanaan proyek tanpa anggaran tersebut melanggar keuangan daerah (DKI). Kesalahan kedua, meskipun tidak ada anggaran, Anies memaksa menjalankan proyek Formula-E dengan memberi kuasa kepada Kadispora untuk melakukan pinjaman kepada Bank DKI. Kesalahan ketiga, perjanjian dengan Formula-E menggunakan business-to-government yang melanggar persetujuan Kemendagri, yang mengharuskan pendekatan business-to-business. Dari penjelasan Prof Romli, pelaksanaan proyek yang tidak ada pos anggarannya merupakan pokok tindak pidana yang merugikan keuangan daerah. Anggaran Formula-E memang tidak tercantum dalam APBD DKI 2019. Tetapi, ada di dalam APBD Perubahan (APBD-P) DKI 2019. Kalau memang benar anggaran Formula-E ada di dalam APBD-P 2019, maka argumentasi Prof Romli dengan sendirinya gugur? Artinya, Anies tidak melakukan tindak pidana. Bukankah begitu? Kemudian, seandainya benar, sekali lagi seandainya benar, tidak ada anggaran Formula-E di dalam APBD-P 2019, apakah ‘kesalahan’ ini merupakan tindak pidana? Pidana apa? Korupsi? Apakah ada kerugian keuangan DKI (negara)? Sedangkan menurut hasil audit BPK terhadap Formula-E yang dipublikasi 20 Juni 2022 menyatakan Formula-E Jakarta layak dilaksanakan: https://jakarta.bpk.go.id/hasil-audit-bpk-nyatakan-formula-e-jakarta-layak-dilaksanakan/. Artinya, tidak ada kerugian keuangan DKI (negara), tidak ada pidana, bukankah begitu? Selanjutnya, kita coba terapkan logika Prof Romli di tingkat pemerintah pusat, APBN. Berdasarkan audit BPK untuk semester pertama 2022 terungkap ada 9.158 temuan dengan 15.674 permasalahan senilai Rp18,37 triliun. BPK menyatakan secara jelas, ada 8.116 permasalahan karena akibat ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, dengan potensi kerugian negara Rp17,33 triliun. Ketidakpatuhan artinya sama dengan pelanggaran, bukankah begitu? Sebagian besar potensi kerugian negara tersebut terkait potensi pelanggaran pemberian insentif dan fasilitas perpajakan program PC-PEN (Penanganan Covid – Pemulihan Ekonomi Nasional), meliputi berbagai pelanggaran dari yang tidak berhak menerima hingga tidak valid. Mengikuti logika argumentasi Prof Romli, audit BPK tersebut menunjukkan pertama, sudah ada perbuatan (melawan hukum) atau actus reus, karena potensi kerugian negara sudah terjadi, dan sudah dihitung BPK, dan kedua juga sudah ada niat jahat atau mens rea, karena insentif diberikan kepada pihak yang tidak berhak dan tidak valid. Dengan demikian, menurut Prof Romli, penanggung jawab APBN terbukti sudah melakukan tindak pidana korupsi, dengan potensi kerugian Rp18,37 triliun, seperti logika argumentasi yang disangkakan kepada Anies Baswedan terkait Formula-E, meskipun, dalam hal APBD DKI, tidak jelas tindak pidana apa, karena tidak ada potensi kerugian negara (DKI)? Kalau logika argumentasi Prof Romli yang dikenakan kepada Anies juga dikenakan pada pengelolaan keuangan negara, APBN, dengan prinsip kesetaraan hukum dan keadilan, maka logika argumentasi Prof Romli mengatakan Presiden Jokowi, sebagai penanggung jawab APBN, telah melakukan tidak pidana korupsi? Apakah demikian? Maka itu, sangat bahaya sekali logika argumentasi Prof Romli, yang melihat permasalahan dengan sudut pandang sangat sempit, sehingga logika seperti itu bisa mempunyai dampak sangat buruk secara nasional. Terakhir, proyek Formula-E, seperti proyek-proyek lainnya, harus dilihat dari dua sisi. Yaitu pelaksanaan (pembangunan) proyek dan operasional. Kalau pelaksanaan pembangunan proyek tidak mempunyai masalah keuangan, artinya bisa dipertanggungjawabkan, maka sudah sepantasnya menyatakan proyek Formula-E tidak bermasalah. Hasil operasional proyek (Formula-E), misalnya rugi, tidak pernah bisa menjadi kerugian keuangan negara, sepanjang tidak ada korupsi. Kalau kerugian pengelolaan Formula-E dianggap sebagai kerugian negara, dan tindak pidana, maka ini bisa menjadi malapetaka bagi pengelolaan keuangan pemerintah (daerah maupun pusat). Bayangkan, berapa banyak proyek nasional yang rugi, antara lain proyek-proyek jalan tol yang sekarang harus dijual oleh BUMN-BUMN Karya, atau proyek LRT Palembang, atau bahkan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung yang pastinya juga akan rugi? Apakah semua ini akan menjadi kerugian negara dan menjadi delik pidana Kalau logika argumentasi hukum hanya didasari rasa kebencian, pada akhirnya bisa berbalik kembali kepada tuannya, seperti bumerang. Kalau tuannya tidak pandai menangkap bumerang yang kembali tersebut, bisa-bisa leher yang terpotong. (*)

Politik Transit Anies

Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  SECARA empiris, karir politik Anies sejauh ini kental dipengaruhi oleh momentum. Tentu saja kekuatan ideologi dan irisan politik lainnya tetap menjadi dominan. Selain kekuatan partai politik dan kooptasi oligarki, faktor behavior Anies dan emosi publik memberi peran signifikan. Termasuk ketentuan takdir Tuhan  yang tak bisa dinafikan. Akankah Anies mulus melewati transisi politik kekuasaan dari gubernur ke presiden? Perjalanan karir politik Anies tak selalu memberi ruang yang dominan pada kalkulasi normatif dan formalis. Sebagai pemimpin yang cukup berpengalaman dalam  memangku kepentingan publik, Anies tak selalu mengandalkan mekanisme struktural dan birokratis. Pencapaian jabatan pemerintahan strategis, seperti memberi penegasan kepemimpinan Anies menjulang karena beberapa faktor antara lain struktur sosial, momentum dan intuisi politik yang dimilikinya. Tidak seperti kebanyakan tokoh dan pejabat lainnya yang terikat oleh bakunya mekanisme demokrasi,  dominasi partai politik, dan sistem kapitalistik yang menyelimutinya. Anies bertumbuh dan menguat figurnya, sangat dipengaruhi oleh faktor kepribadian dan kemampuannya menyelami psikologi massa dan menyerap aspirasi rakyat. Tak sekedar memiliki cukup bekal pada aspek behavior, Anies seiring waktu menyajikan gaya kepemimpinan yang terpikul dan dipikul natur. Anies masih kuat menjunjung tradisi sembari menopang kemajuan peradaban. Menilik refleksi kiprahnya dalam mengelola Jakarta, Anies mampu mengelaborasi antara kebutuhan kultural dan tuntutan modernitas. Sinergi memajukan kotanya dan membahagiakan warganya, terlihat dari sentuhan tangan dingin Anies yang menghasilkan prestasi, penghargaan dan tingginya tingkat kepuasan publik. Anies menjadi salah satu prototipe pemimpin yang fokus, terukur dan implementatif terhadap amanah yang diembannya. Tak cukup kejujuran,  kecerdasan dan kesantunan, keunggulan Anies membuncah dengan     kemampuan menyelesaikan masalah dan kepemimpinan yang visioner. Ditengah krisis kepemimpinan dan krisis multidimensi yang menyelimuti negara bangsa ini, Anies terus mengambil posisioning seorang figur pemimpin  yang berkarakter dan berintegiritas yang sulit dijumpai dalam satu dekade ini. Jauh dari modus pencitraan, pemimpin boneka dan rendah kualitasnya, apalagi sampai menipu,  menghianati rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Kemampuan Anies dalam memenej konflik, terlihat selaras dengan kematangan intelektual,  emosional dan spiritualnya. Sebagai pemimpin yang tak pernah surut diterpa badai isu, intrik dan fitnah, terutama framing pada politik identitas dan pelbagai stereotif primordialisme dan sektarianisme. Anies berhasil melewati semua ganjalan dan sandungan politik itu secara elegan dan bermartabat. Kelihaian Anies menggunakan komunikasi massa secara lintas sektoral, terutama kepada rakyat, partai politik dan korporasi decara maksimal. Menempatkan Anies sebagai figur potensial pemimpin masa depan yang mendapat dukungan luas.  Termasuk bagaimana cara Anies yang  humanies dan beretika menghadapi upaya penjegalan dan pembunuhan karakter yang menyerangnya selama ini. Bahkan Anies tetap tenang,  memiliki kesabaran tinggi dan sangat rasional  saat tendensi politisasi dan kriminalisasi yang gencar membidiknya. Dalam soal persfektif kebangsaan yang menyangkut aspek historis dan ideoligis, sesungguhnya secara nilai Anies telah melampau tolok ukur itu dan tak perlu diragukan lagi. Anies membangun sekaligus mewarisi spirit nasionalisme dan patriotisme baik dari keluarga maupun rekam jejak yang diukirnya sendiri. Proses dan capaian  yang dimiliki baik dalam birokrasi dan dunia akademisi, telah mematangkan Anies dalam pergaulan dan eksistensi politik kontemporer Indonesia. Dengan purna baktinya sebagai gubernur Jakarta, Anies tak ubahnya telah siap menapaki jalan estafet kepemimpinan nasional. Dinamika, resonansi dan polarisasi politik yang telah dilaluinya, menjadikan Anies sebagai pemimpin yang berbasis dukungan dan dicintai  rakyat. Entitas politik dan aliran ideologi yang menghidupi proses penyelenggaraan negara dan kehidupan kebangsaan, menjadi bekal sekaligus perjalanan transisi kepemimpinan Anies berikutnya. Tak terhindarkan kontestasi pencapresannya  dalam menyongsong pilpres 2024. Kejelian Anies untuk membangun keseimbangan pendulum ideologi  kebangsaan menjadi triger dari transisi karir politik Anies. Anies sepertinya harus siap  memasuki gelombang besar serta berselancar apik dengan langgam ideologi kanan, kiri dan tengah yang menyejarah dan fundamental. Bukan sekedar harmoni,  Anies juga dituntut piawai mengadopsi kepentingan  global dan korelasinya dengan kepentingan nasional.  Geliat umat Islam bersama entitas politik lainnya di tengah himpitan  mainstream kapitalisme dan komunisme internasional. Menjadi tantangan tersendiri dan memaksa Anies memiliki kecakapan  sebagai negarawan dan pemimpin dunia, lebih dari sebatas seorang presiden. Mengutip pemikiran Bung Karno tentang revolusi Indonesia dan konsep Trisakti, Anies bersama umat Islam dan seluruh rakyat Indonesia tak akan punya pilihan lain selain mengambil transisi kepemimpinan nasional dalam momentum pilpres 2024. Jika ingin melakukan perubahan mendasar pada republik yang lebih baik lagi atau tidak sama sekali. Kondisi subyektif dan obyektif  yang didukung oleh karakteristik pemimpin yang nasionalis religius dan religius nasionalis. Anies dengan kompetensi  qua intelektual dan qua ideologisnya, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, tampaknya tak bisa menghindari daulat rakyat menampuk mandat presiden. Sebuah langkah politik transit yang dimaknai sebagai perkawinan ikhtiar Anies dengan takdir Tuhan. (*)