OPINI

Prabowo Berpeluang Jika Triumvirat

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Prabowo-Puan atau Prabowo-Cak Imin atau Jokowi-Prabowo merupakan pasangan yang berat untuk merebut simpati atau memenuhi keinginan rakyat. Prabowo-Puan bercitra kepanjangan rezim yang dinilai telah gagal atau ambyar. Prabowo-Cak Imin hanya bertumpu pada kekuatan Prabowo sendiri, dukungan Cak Imin di kalangan NU sudah terbelah. Sedangkan Jokowi-Prabowo merupakan pasangan inkonstitusional dan tontonan aksi dari permainan wajah ambisi dan kelucuan yang dipaksakan.  Memaksakan Prabowo untuk maju sebagai Capres tentu berisiko atas keberhasilannya. Prabowo 2024 berbeda dengan Prabowo 2019. Kegagalan pada 2024 bakal menjadi monumen dari seorang figur yang gagal permanen. Artinya perlu perenungan keras atas kenekadan langkah. Partai Gerindra juga akan terpengaruh masa depannya. Bahwa Prabowo itu unggul pada survey tidak menjadi ukuran. Bisa saja efek myopsis dari tipu-tipu lembaga survey. Di tengah modus pekerjaan dari lembaga hoax terdahsyat di era kini.  Peluang Prabowo terbuka jika ia memulai langkah dengan terobosan sebagai triumvirat. Artinya Jokowi yang tidak selesai hingga 2024. Jika ini terjadi Konstitusi mengatur tiga figur untuk memimpin negeri sementara yaitu Prabowo Subianto (Menhan), Tito Karnavian Mendagri) dan Retno Marsudi (Menlu).Tentu figur terkuat dengan daya dukung partai politik adalah Prabowo. Dengan status ini Prabowo akan unggul dan kuat untuk proses Pilpres berikutnya pada tahun 2024. Posisinya sebagai incumbent.  Jika Prabowo masih atau sangat bersemangat untuk menjadi Presiden,  seharusnya bersama kekuatan oposisi mendesak presiden Jokowi dan Wapres Ma\'ruf Amien agar segera mengundurkan diri demi rakyat, bangsa, dan negara. Jokowi sudah sulit untuk mendapat dukungan tulus dalam kepemimpinannya. Negara sendiri sepertinya sudah bergerak auto pilot.  Ketidakmampuan Presiden Jokowi dalam pengelolaan ekonomi, hukum, HAM, agama maupun demokrasi berpengaruh besar terhadap kapabilitas anggota Kabinet. Sulit memberi penilaian ada Menteri yang sukses dalam memimpin kementriannya, termasuk Prabowo. Ia tidak akan mampu menjual kesuksesan kementrian. Justru di era ini kedaulatan negara terancam dan rapuh.  Jalan strategis bagi Prabowo adalah triumvirat. Artinya harus turut mendesak Jokowi agar mundur dari jabatannya. Ma\'ruf Amin tentu mengikuti. Ini adalah upaya untuk menyelamatkan Negara.  Pertanyaan mendasarnya adalah mau dan beranikah Prabowo ? Tentu diragukan.  Puja-puji setinggi langit pada Jokowi bahkan berbau menjilat membuat Prabowo kehilangan karakter kenegarawanan yang diharapkan.  Warga yang dulu mendukung habis Prabowo untuk Presiden dan kini berhimpun dalam komunitas pendukung calon Presiden lain berteriak \"Sudahlah tidak perlu bicara lagi Prabowo. Prabowo sudah habis\". Ia mengeluh betapa kecewanya pada ketidakpedulian Prabowo atas kesulitan dan tragedi yang menimpa pendukung-pendukunganya di era pemerintahan Jokowi. Prabowo itu pelit dalam bersimpati apalagi mengadvokasi.  Prabowo memang bukan pemimpin yang baik.  Bandung, 24 Agustus 2022

PKS Tolak Rencana Kenaikan BBM

Jakarta, FNN --- Anggota Komisi VII DPR-RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, tegas menolak rencana kenaikan harga BBM bersubsidi oleh Pemerintah. Hal itu disampaikannya saat melakukan interupsi pada Rapat Paripurna DPR RI ke-2 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2033, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (23/8/2022). “Kami ingin menyampaikan sikap PKS, bahwa PKS menolak kenaikan harga BBM bersubsidi. Mengapa? Karena masyarakat belum pulih benar dan belum cukup kuat bangkit dari terpaan pandemi covid-19”, ungkap Mulyanto. Menurutnya, inflasi yang mendera masyarakat saat ini sudah tinggi. Hal itu berpotensi makin parah apabila harga BBM bersubsidi dinaikkan. “Masyarakat hari ini menderita inflasi sebesar 4,94 persen. Ini merupakan inflasi tertinggi sejak Oktober 2015, artinya tujuh tahun yang lalu. Bahkan, untuk kelompok makanan, inflasi hari ini adalah sebesar 11 persen. Gubernur Bank Indonesia bilang, seharusnya yang tertinggi hanya 5-6 persen. Tapi sekarang, 11 persen. Itu kondisi saat belum ada kenaikan BBM bersubsidi. Kalau harga BBM bersubsidi dinaikkan, ini dapat dipastikan inflasi sektor makanan akan meroket. Tentu saja, ini akan menggerus daya beli masyarakat, dan tingkat kemiskinan akan semakin meningkat”, ujarnya lagi. Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Inbang ini pun menyoroti bahwa harga minyak dunia sebenarnya sudah turun sejak beberapa bulan terakhir. “Padahal, sejak Juni 2022, harga minyak terus turun, dari USD 140 per barrel menjadi hari ini sebesar USD 90 per barrel. Jadi, urgensi kenaikan harga BBM bersubsidi sudah kehilangan makna”, tegasnya. Mengakhiri interupsinya, Mulyanto meminta Pemerintah untuk menghemat anggaran dengan menghentikan pembangunan proyek yang dinilainya tak perlu, seperti IKN baru dan kereta cepat Jakarta-Bandung. (TG)

Merasakan Kekuasaan dan Keadilan Tuhan

Pastilah setiap yang berlebihan dan melampaui batas tersebut sesungguhnya merupakan perbuatan keji. Pada waktunya akan merasakan kekuasaan dan keadilan Tuhan. Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI TRAGEDI di tubuh Polri, betapapun mengerikan harus dilihat sebagai sebuah pelajaran dari banyak peristiwa memilukan yang terjadi di negeri ini. Tentang semua pikiran, ucapan, dan tindakan terkait kepentingan rakyat yang harus dipertanggungjawabkan. Masih banyak Ferdy Sambo lain dan kroninya berkeliaran di pelbagai insitusi negara. Betapun lihainya rekayasa kejahatan dan kedzoliman rezim ini, pada akhirnya akan tunduk berhadapan dengan kekuasaan dan keadilan Tuhan. Indonesia sekarang seakan-akan telah dikuasai oleh kekuatan gelap, angkara murka begitu digdaya menampilkan kesombongannya. Rakyat terus-menerus menjadi korban dari praktek-praktek distorsi penyelenggaraan negara oleh sekelompok orang yang berlindung di balik harta dan jabatannya. Kejahatan yang terorganisir, terstruktur dan masif kini berwajah formal dan konstitusional. Sistem ketatanegaraan telah menjadi wadah sekaligus sarana berhimpunnya sekumpulan penghianat bangsa yang membunuh Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Gonjang-ganjing dalam institusi Polri merupakan salah satu contoh gejala berulang, pada kondisi akut dari penyakit komplikasi dan kronis yang menggerogoti bangsa ini sejak lama secara keseluruhan. Negeri ini hanya mampu menuangkan cita-cita mulia kemerdekaan pada secarik kertas sebagaimana tertuang dapam pembukaan UUD I945. Tak berkelanjutan dalam pikiran, ucapan dan tindakan nyata yang membawa kehidupan rakyat pada kemakmuran dan keadilan, tak berujung pada negara kesejahteraan. Di dalam tangan para pemangku kepentingan publik yang rentan hipokrit dan psikopat, NKRI deras menuju jurang kehancuran. Sementara Pancasila hanya bisa diwujudkan dalam bentuk nafsu syetan memburu materi dan kenikmatan kehidupan duniawi. Rakyat terus tak berdaya dalam semua perjalanan sejarah republik. Hidup dalam kebodohan dan kemiskinan, melewati batas waktu dan zaman. Menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa, dari generasi ke generasi harus hidup sengsara dan menderita mulai dari masa kolonialisme dan imperialisme lama hingga ke-77 tahun usia kemerdekaannya. Penindasan dan kesewenang-wenangan, kini semakin marak dan menjadi pemandangan yang lumrah, meski hidup bebas dari alam penjajahan. Watak dan tabiat kompeni, rupanya masih hidup dan bertumbuh-kembang dalam wajah-wajah asing dan aseng serta segelintir pribumi. Sudah semakin sulit dibedakan penjajahahan dari bangsa asing atau oleh bangsa sendiri, karena mereka menyatu dan dalam penampakan serupa tapi tak sama. Melampaui Batas Ketika pejabat dan para pemimpin mulai keluar dari trek hakekat bernegara dan berbangsa. Saat proses penyelenggaraan pemerintahan semakin menjauh dari moralitas dan spiritualitas. Maka rakyat Indonesia yang berbasis religi dan telah bersepakat menjunjung demokrasi dalam habitat kemajemukan dan kebhinnekaannya, perlahan tapi pasti terpaksa mengalami kemunduran peradaban. Aparat dan elit politik menjadi pembunuh dan perampok, sebagian rakyatnya juga menjadi maling-maling kecil. Kebohongan, korupsi, tindakan kekerasan, perampasan, pemerkosaan, LGBT dan pelbagai penyimpangan menjadi serba permisif terutama di kalangan penyelenggara negara. Sungguh ironis dan begitu miris, perbuatan-perbuatan tercela dan sarat kebiadaban itu justru lebih banyak dilakukan oleh para pemimpin yang seharusnya memberi contoh dan keteladanan bagi rakyatnya. Kembali kepada prahara yang terjadi dalam institusi Polri, sudah selayaknya bangsa ini dapat melakukan refleksi dan evaluasi total. Bahwa kehancuran sistem dan kerusakan serta kebobrokan mental birokrasi pemerintahan telah melampaui batas. Bukan hanya sebatas Polri, hampir pada setiap institusi negara mengalami fenomena yang sama. Sektor legislatif dan yudikatif, kemudian juga sektor eksekutif dari mulai presiden hingga kementerian, pemerintahan daerah, BUMN-BUMD, komisi tetap dan komisi adhock seperti KPU, Komnas HAM, KPK dlsb., juga mengalami disfungsi dan distorsi kebijakan. Kalau tidak penyelewengan keuangan, para pembuat dan eksekutor kebijakan itu kerapkali melakukan manipulasi dan kamuflase terhadap undang-undang, peraturan dan keputusan yang memarjinalkan kepentingan hajat hidup orang banyak. Bukan hanya intens menghirup udara kapitalisme global, liberalisasi, dan sekulerisasi juga sudah masuk ke tulang sumsum bangsa ini, menjiwai pola dan gaya hidup terlebih pada para wakil dan pelayan rakyat yang hedon dan menjadi lumben proletar. Uang, jabatan dan populeritas telah menjadi tujuan hidup sebagian besar penghuni bumi nusantara ini. Sikap materialistik yang dianggap mampu menopang status sosial, perlahan menjadi keyakinan dan agama baru. Kemewahan dan gaya hidup yang telah dimanjakan oleh fasilitas berlimpah, membuat banyak pejabat larut dalam kenikmatan semu dan sesaat. Keuangan yang maha kuasa, berhasil menggusur dan melumpuhkan sila pertama Pancasila, untuk selanjutnya mengubur utuh lebih dalam dasar negara dan falsafah bangsa itu. NKRI kini bertuhankan materi dan UUD 1945 menjadi alat ritual transaksional kepentingan politik sesat. Oleh karena itu, belajar dari gonjang-ganjing di korps Bhayangkara tersebut  juga yang sama secara esensi dan substans pada insitusi negara sebagian besar lainnya. Maka bangsa ini, selayaknya dapat memetik nilai dan memungut hikmah lebih fundamental. Distorsi penyelenggaraan negara tak akan kekal, untuk terus berlangsung selamanya. Tak ada kesenangan yang berlama-lama, tak ada pesta yang tak berakhir. Serapat-rapatnya bau busuk itu disimpan, aromanya akan tercium juga. Sepandai-pandainya Tupai melompat, akhirnya akan terjatuh juga. Tidak ada kejahatan yang sempurna, tak ada kebohongan yang tak terungkap, Rakyat boleh tak berdaya, rakyat boleh dirampas haknya, rakyat boleh tergusur dan lapar. Tapi rakyat masih punya suara dan jeritan hati. Rakyat masih punya doa dan keluhannya kepada Sang Pencipta yang Maha Pemberi dan Pengasih. Sama halnya seperti darah beracun para ulama dan pewaris nabi yang punya muhabalah. Doa orang yang teraniaya lebih dekat sampai ke haribaan Illahi. Begitupun kepada para pemimpin yang dzolim dan lalim, bukan soal waktu dan bukan soal cepat atau lambat. Pastilah setiap yang berlebihan dan melampaui batas tersebut sesungguhnya merupakan perbuatan keji. Pada waktunya akan merasakan kekuasaan dan keadilan Tuhan. Merasakan kekuasan dan keadilan Tuhan, menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar dan akan menghampirinya suka atau tidak suka. Masih berani menunggu muhabalah? Munjul-Cibubur, 23 Agustus 2022. (*)

Pendapat Hukum Terhadap Penarikan Pimpinan MPR Unsur DPD Fadel Muhammad

Pernyataan tertulis 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD tergolong penarikan mandat dengan cara pemungutan suara (voting). Oleh: Gugum Ridho Putra, SH, MH, Managing Partner Kantor Hukum GUGUM RIDHO & PARTNERS Dasar Hukum Dasar hukum yang dijadikan rujukan dalam menyusun pendapat hukum ini antara lain: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI Tahun 1945”); 2. Undang-Undang Negara Republik Indonesian Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU Nomor 17 Tahun 2014”); 3. Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (“Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019”); 4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Negara Republik Indonesian Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib (“Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022”). Pertanyaan Hukum Adapun pertanyaan hukum yang diminta untuk dianalisa adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Tatacara Pemberhentian Pimpinan MPR dari Kelompok DPD RI? 2. Apa Alasan Yang dapat dijadikan Dasar Pengusulan Penggantian Pimpinan MPR dari Kelompok DPD? Dan Bagaimana Prosedurnya? 3. Apakah “mosi tidak percaya ” dapat dianggap Sebagai mekanisme pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR RI menurut Ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019? Pembahasan Analisis Hukum III.1 Tatacara Pemberhentian Pimpinan MPR Dari Kelompok DPD 1. Bahwa ketentuan pasal 1 ayat 3 UUD Tahun 1945 telah menegaskan Indonesia adalah negara hukum. Pengakuan sebagai negara hukum itu membawa konsekuensi bahwa segala tindak tanduk penyelenggaraan negara hanya bisa diselenggarakan dengan dasar kewenangan dan prosedur yang telah ditentukan dalam hukum. Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek harus mengacu kepada sistem peraturan perundangundanganyang dan berlaku secara hierarkis (berjenjang). 2. Mengacu kepada teori pertingkatan norma Hans Kelsen dan muridnya Hans Nawiasky, norma hukum tersusun dalam hierarki dari bawah hingga ke atas. Puncak hukum tertulis tertinggi di sebuah negara adalah staatsgrund gezets atau dikenal dengan sebutan konstitusi. Prinsip hierarki ini kemudian diadops dalam sistem perundang-undangan kita. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor kemudian diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 menempatkan konstitusi atau Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai norma hukum tertulis tertinggi. 3. Satu layer atau satu tingkat di bawahnya ada peraturan perundang-undangan berbentuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Di bawahnya lagi ada Peraturan Perundang-Undangan dalam tataran teknis (verodenung) maupun peraturan otonom (autonome satzung) bentukan eksekutif di tingkat pusat seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Lembaga Negara. Terakhir dalam layer atau tingkatan terbawah adalah peraturan perundang-undangan dalam tataran teknis (verodenung) maupun peraturan otonom (autonome satzung) bentukan eksekutif di tingkat daerah seperti Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota, Peraturan Desa, dan sebagainya. Masing-masing berlaku dalam tatarannya dan tidak boleh bertentangan antara peraturan yang di bawah dengan peraturan di atasnya. 4. Tidak terkecuali terhadap sistem hukum yang mengatur Pengisian, Pemberhentian dan Penggantian Pimpinan MPR dari Unsur DPD RI. Dasar hukum tertinggi adalah staatgrund gesetz atau konstitusi yakni UUD NRI Tahun 1945. Di bawahnya dalam tataran strategis berlaku yakni UU No. 17 Tahun 2014. Di bawahnya lagi dalam tataran teknis dan otonom kelembagaan terdapat Peraturan Tata Tertib di lingkungan MPR RI (Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019) dan Tatib DPD RI (Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022). Masing-masing Tatib berlaku sebagai peraturan teknis untuk melaksanakan UU Nomor17 Tahun 2014 dalam tataran teknis, sekaligus berlaku pula sebagai peraturan otonom, yakni peraturan yang berlaku mengikat dan wajib dipatuhi dalam internal lembaga masing-masing. 5. Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 menyatakan “Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) Ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota MPR”. Ayat (2) ketentuan ini mengatakan “Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap”. UU Nomor 17 Tahun 2014 tidak memerinci makna frasa “bersifat tetap”. Akan tetapi jika dikaitkan dengan ketentuan masa jabatan anggota MPR yang berbunyi “Masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji”, maka bersifat tetap ini menyangkut jabatannya yang bukan sementara (tidak ad hoc ). Pimpinan MPR menjabat dalam masa jabatan yang tetap yakni mutatis mutandis mengikuti masa jabatannya sebagai anggota MPR selama 5 tahun. 6. Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat 5 UU Nomor 17 tahun 2014 menentukan “Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna MPR”. Ayat (6) mengatakan “Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan MPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan MPR dalam rapat paripurna MPR”. Sementara ayat (8) mengatakan “Pimpinan MPR ditetapkan dengan Keputusan MPR”. Dari sini dapat dipahami bahwa ada 2 (dua) cara memilih pimpinan MPR yakni dapat dipilih lewat musyawarah atau lewat voting dan penetapannya menggunakan Keputusan MPR. 7. Bahwa terkait pemberhentian Pimpinan MPR, ketetuan pasal 17 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 menyatakan “Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena : a. Meninggal dunia; b. Mengundurkan diri; c. Diberhentikan”. Ayat (2) mengatakan “Pimpinan MPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila : a. Diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD; atau b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR”. Dari ketentuan ini dapat diketahui hanya ada 3 (tiga) dasar pemberhentian pimpinan MPR yakni : (1) pertama, meninggal dunia; (2) kedua, mengundurkan diri; (3) ketiga, diberhentikan. Dalam Pasal 19 UU No. 17 Tahun 2014 ditegaskan “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR diatur dalam peraturan MPR tetang tata tertib”, dalam hal ini Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019. 8. Bahwa mengacu kepada Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019, alasan pemberhentian Pimpinan MPR kembali diperjelas kembali dalam ketentuan pasal 29 ayat (1) yakni “Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena: a. Meninggal dunia, b. Mengundurkan diri; c. Diberhentikan; d. Menjabat sebagai Pimpinan DPR atau Pimpinan DPD; atau e diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD”. Dari ketentuan ini dapat diketahui terdapat penambahan dasar pemberhentian Pimpinan MPR yang semula hanya ada 3 (tiga) alasan, bertambah 2 (dua) dasar lagi yakni menjabat sebagai Pimpinan DPR atau Pimpinan DPD atau diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD. 9. Bahwa selanjutnya dalam ketentuan Pasal 31 ayat (1), (2) dan (3) Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 ditegaskan apabila terdapat kekosongan jabatan ketua MPR, Pimpinan MPR akan menyurati Fraksi asal ketua MPR jika ketua MPR berasal dari salah satu Fraksi atau Kepada Kelompok DPD jika Ketua MPR berasal dari Kelompok DPD. Masing-masing kelompok menetapkan nama Pengganti Calon Pimpinan MPR selambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima surat Pimpinan MPR. Nama calon Pengganti Ketua MPR disampaikan kepada Ketua MPR. Apa Alasan yang Dapat Dijadikan Dasar Pengusulan Penggantian Pimpinan MPR Dari Kelompok DPD? Dan Bagaimana Prosedurnya? 10. Bahwa Ketentuan Pasal 29 ayat (1) Tatib MPR Nomor 1 Tahun 2019 telah menegaskan Pimpinan MPR dapat berhenti dari jabatannya salah satunya karena “diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD”. Dengan ketentuan ini Pimpinan MPR dari unsur Kelompok DPD dapat saja diberhentikan di tengah masa jabatannya dengan mekanisme pengusulan penggantian yang disampaikan oleh anggota-anggota MPR Kelompok DPD RI. Meskipun alasan ini dapat dijadikan dasar untuk pemberhentian, namun Tatib MPR Nomor 1  Tahun 2019 tidak mengatur secara rigid apa saja kondisi-kondisi yang dapat membuat Kelompok DPD berhak mengusulkan penggantian Pimpinan MPR di tengah masa jabatannya. 11. Bahwa apabila merujuk kepada Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Negara Republik Indonesian Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib (“Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022”), ketentuan Pasal 135 ayat (1) menyatakan “calon Pimpinan dari unsur DPD dipilih dari dan oleh Anggota dalam sidang paripurna yang dipimpin oleh Pimpinan DPD”. Ayat (2) menyatakan “Anggota DPD yang telah menjadi calon Pimpinan DPD tidak dapat lagi menjadi calon Pimpinan MPR”. 12. Bahwa Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 juga telah menentukan persyaratan khusus bagi Anggota untuk dapat dipilih dan diusulkan menjadi Pimpinan MPR dari Unsur DPD. Dalam ketentuan Pasal 136 ayat (1) disebutkan “Calon Pimpinan MPR unsur DPD seabgaimana dimaksud dalam Pasal 135 harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Memiliki integritas, kapasitas dan kapabilitas; b. Berjiwa kenegarawanan; c. Memiliki pengetahuan tentang wawasan nusantara; dan d. Menandatangani pakta integritas”. 13. Bahwa pakta integritas yang dimaksud dalam ketentuan di atas, diperjelas dalam pasal 136 ayat (2) yakni “Pacta integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d memuat kesediaan calon pimpinan MPR unsur DPD untuk: a. Mewujudkan penyelenggaraan lembaga negara yang berwibawa, baik, dan bersih dengan menaati peraturan perundang-undangan; b. Tidak melakukan politik uang baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk pemberian dan gratifikasi serta janji yang dilakukan sendiri atau melalui orang lain; c. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pimpinan lembaga negara lain; dan d. Bersedia mengundurkan diri sebagai Pimpinan MPR unsur DPD apabila dikemudian hari ternyata ditemukan terjadinya pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c. 14. Bahwa ketentuan Pasal 137 ayat (1) dan (2) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 juga menentukan mekanisme pemilihan calon Pimpinan MPR unsur DPD. Dalam ayat (1) disebutkan “Pemilihan calon Pimpinan MPR dari unsur DPD dilakukan dengan prinsip mendahulukan musyawarah untuk mufakat dan keterwakilan wilayah”. Sementara ayat (2) menyatakan “Apabila tidak tercapai mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilihan dilakukan dengan pemungutan suara”. 15. Bahwa Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 tidak memerinci mekanisme Penggantian Pimpinan MPR Unsur DPD lewat mekanisme pengusulan oleh Anggota MPR Kelompok DPD. Namun Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 mewajibkan Pimpinan MPR unsur DPD menyampaikan laporan kinerja setiap tahun. Hal ini dipertegas dalam ketentuan pasal 138 ayat (1) yang menyatakan “Pimpinan MPR dari unsur DPD menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD setiap 1 (satu) tahun sidang”. Sementara Ketentuan Pasal 138 ayat (2) menyatakan “Kelompok Anggota DPD di MPR menindaklanjuti laporan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. 16. Bahwa merujuk kepada ketentuan pasal 135 ayat (1) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 di atas, dapatlah dipahami bahwa Anggota MPR dari Kelompok DPD adalah Pemilik Hak Pilih sah atas calon Pimpinan MPR unsur Kelompok DPD. Para Anggota DPD memilih Calon Pimpinan MPR dari Unsur DPD dengan mekanisme musyawarah dan/atau Pemungutan Suara (voting ). Pemilihan Pimpinan MPR dari unsur DPD lewat musyawarah ataupun lewat voting bukanlah pemberian wewenang secara atributif (atribusi ) ataupun pelimpahan wewenang (delegasi). Melainkan sekedar pemberian mandat dari Kelompok Anggota DPD kepada salah satu anggotanya untuk menjadi Pimpinan MPR dari Unsur DPD. Dengan begitu Pimpinan MPR unsur DPD hanyalah sekedar pemegang mandat (mandataris ) dari para anggota yang diwakilinya. Kewenangan dan hak-hak suara dalam rapat-rapat pengambilan keputusan di MPR tetap milik anggota-anggota DPD yang duduk di MPR. 17. Bahwa bukti Pimpinan MPR Unsur DPD hanyalah mandataris Kelompok Anggota DPD yang menunjuknya, dapat dilihat dari ketentuan pasal 3 Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 yakni “MPR terdiri atas Anggota DPR dan Anggota DPD yang dipilih melalui Pemilihan Umum”. Hal yang sama juga dipertegas oleh ketentuan tentang Pengambilan Keputusan. Dalam ketentuan Pasal 90 Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 ditegaskan bahwa Kuorum pengambilan keputusan untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 adalah sah apabila dihadiri 2/3 (dua pertiga) anggota dan disetujui minimal 50% (lima puluh persen) plus 1. Usul Pemberhentian Presiden dan/atau wakil presiden adalah sah apabila dihadiri ¾ (tiga per empat) anggota dan disetujui minila 2/3 (dua pertiga) anggota MPR yang hadir. Begitupun untuk sidang selain dua hal itu, pengambilan keputusan sah apabila dihadiri minimal 50% (lima puluh persen) plus 1 anggota dan disetujui minimal 50% (lima puluh persen) plus 1 anggota hadir. Ketentuan Pasal 138 ayat (1) 1Tatib DPD Nomor 1 Tahun 2022, Pimpinan MPR unsur DPD juga diwajibkan menyampaikan laporan Tahunan dalam rapat paripurna dan Anggota MPR Kelompok DPD menindak lanjuti laporan tersebut. Dengan begitu, jelaslah pemilik kewenangan dan hak untuk mengambil keputusan dalam penyelenggaraan tugas-tugas MPR ada pada anggota, bukan pada pimpinan MPR. 18. Bahwa olehkarena kewenangan kelompok anggota DPD tidak beralih sekalipun dilakukan pemberian mandat, maka atas mandat yang telah diberikan kepada Pimpinan MPR unsur DPD dapat dilakukan pencabutan kapan saja oleh Pemberi Mandat. Itulah mengapa, ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 mengatur pemberhentian Pimpinan MPR Unsur DPD dapat diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD. Teknis penggantian ini tidak perlu diatur secara teknis karena penunjukan pimpinan MPR unsur DPD adalah sebuah pemberian mandat, atas dasar itu penarikan dan penggantiannya dapat dilakukan kapan saja oleh Kelompok Anggota DPD selaku Pemberi Mandat. Apakah “Mosi Tidak Percaya” Termasuk Mekanisme Pemberhentian Pimpinan MPR Unsur DPD RI yang Sah Menurut Pasal 29 Ayat (1) Huruf E Tatib Mpr Ri Nomor 1 Tahun 2019 19. Bahwa mosi tidak percaya dari segi istilah memang hanya dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer dan tidak dikenal dalam sistem pemerintahan presidensil. Namun jika hal itu dipersoalkan, apa yang diajukan Kelompok Anggota DPD di MPR hanyalah sekedar persoalan peristilahan saja. Sekalipun nama yang disematkan adalah “mosi tidak percaya” namun secara substansial tindakan yang diambil 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD secara faktual adalah sebuah pernyataan keputusan tertulis yang tidak lagi melanjutkan atau menarik mandat yang selama ini diterima pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad. Atas dasar itu, tindakan 97 anggota DPD tersebut dapatlah dianggap sebagai pelaksanaan penarikan mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e yakni “pemberhentian pimpinan MPR unsur DPD dengan cara diusulkan penggantian oleh Kelompok DPD”. 20. Bahwa ketentuan Pasal 137 ayat (1) dan (2) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022 telah menentukan dua cara dalam melakukan pemilihan calon Pimpinan MPR unsur DPD, yakni (1) lewat musyawarah atau (2) lewat pemungutan suara (voting). Sekalipun tidak ada mekanisme yang terperinci bagaimana melaksanakan penarikan mandat dalam pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019, namun semenjak penunjukan mandat itu dilakukan melalui musyawarah atau voting, maka penarikan mandatnya pun mutatis mutandis dapat dilakukan dengan mekanisme yang sama yakni melalui musyawarah atau voting. 97 (sembilan puluh tujuh) dari total 136 (seratus tiga puluh enam) anggota DPD telah menyatakan keputusan tertulisnya. Pernyataan tertulis itu jika diakumulasi secara keseluruhan dapatlah dikategorikan sebagai pemungutan suara atau voting . Dengan demikian, secara hukum 97 (sembilan puluh tujuh) anggota MPR unsur DPD telah menyatakan hak suaranya untuk menarik mandat pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad. Dengan begitu, secara hukum pemberhentian pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad telah sah karena telah sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019. Kesimpulan Pendapat Hukum Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan pendapat hukum sebagai berikut: 1. Pimpinan MPR dari Kelompok DPD dapat berhenti dari jabatannya karena 5 (lima) alasan yakni : a. Meninggal dunia; b. Mengundurkan diri; c. Diberhentikan; d. Menjabat sebagai Pimpinan DPD; e. diusulkan penggantian oleh Fraksi/Kelompok DPD. Setelah pimpinan MPR dari Kelompok DPD berhenti, Pimpinan MPR menyurati Kelompok DPD. Kelompok DPD memiliki waktu selambatnya 30 (tiga Puluh) hari untuk menetapkan nama Pengganti dan menyampaikannya kepada Pimpinan MPR. 2. Pemilihan Pimpinan MPR unsur Anggota DPD adalah sebuah mekanisme pemberian mandat. Atas dasar itu Pemberhentian Pimpinan MPR unsur DPD melalui mekanisme dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e Tatib MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 adalah sebuah mekanisme penarikan mandat. Itulah mengapa teknis penggantian ini tidak perlu diatur secara rinci karena penunjukan pimpinan MPR unsur DPD adalah sebuah pemberian mandat, maka penarikan dan penggantiannya dapat dilakukan kapan saja oleh Kelompok Anggota DPD selaku Pemberi Mandat. 3. Mosi tidak percaya memang tidak dikenal dalam Negara Republik Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensil. Akantetapi, tindakan yang diambil 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD secara faktual adalah sebuah pernyataan keputusan tertulis yang tidak lagi melanjutkan atau menarik mandat yang selama ini diterima pimpinan MPR unsur DPD a.n Fadel Muhammad. Tindakan penarikan mandat oleh 97 (sembilan puluh tujuh) dari total 136 (seratus tiga puluh enam) anggota DPD juga telah sesuai dengan mekanisme pemilihan Pimpinan MPR unsur DPD dalam ketentuan Pasal 137 ayat (1) dan (2) Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2022. Semenjak pemilihannya (pemberian mandat) dilakukan dengan musyawarah atau pemungutan (suara), maka penarikan mandat juga dapat dilakukan dengan cara yang sama. Pernyataan tertulis 97 (sembilan puluh tujuh) Anggota MPR unsur DPD tergolong penarikan mandat dengan cara pemungutan suara (voting). Demikianlah pendapat hukum ini saya sampaikan, semoga bermanfaat dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. (*)

Mengapa Harus Mendiskreditkan Muslim dan Sunda?

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  KASUS pembunuhan Letkol Purn. Muhammad Mubin terus menggelinding. Kejanggalan dan rekayasa mulai terkuak. Dari tersangka \"diludahi\"   dan \"pukul memukul\" dalam keterangan awal menjadi \"penyerangan langsung\" dengan menusukkan pisau ke leher, dada, dan perut. Karenanya bergeser juga tuduhan dari \"penganiayaan\" menjadi \"pembunuhan\" bahkan \"pembunuhan berencana\". Pemeriksaan awal di tingkat Polsek Lembang maupun Polres Cimahi nampak ada upaya menutupi identitas tersangka. Yang bersangkutan berdasarkan pengetahuan lingkungan adalah warga yang dahulu disebutnya WNI keturunan. Demikian juga dalam pemberitaan yang bersangkutan disebut \"Aseng\". Nama aslinya entah Henry Handoko atau Henry Hernando.  Saat ditangkap Henry tidak bertopi akan tetapi sewaktu pemeriksaan foto yang beredar berpeci mengesan sebagai muslim, bahkan hingga keluarnya SPDP ke Kejaksaan Henry Hernando disebut \"bin\" nya pula.  Ketika Purnawirawan menggeruduk Polsek Lembang, Kapolres Cimahi  yang turut hadir berulang menyatakan tersangka itu \"Sunda\". Akhirnya soal \"Sunda\" dan \"Cina\" menjadi bahasan serius dan hangat dalam dialog.  Penonjolan status \"Muslim\" dan \"Sunda\" ini aneh untuk kejahatan sadis Aseng atau Henry Hernando yang membunuh mantan Dandim Tarakan. Status dibuat secara berlebihan. SARA yang dijadikan proteksi. Sebelumnya dalam kasus mengguncangkan pembunuhan Brigadir J di kediaman Kadiv Propam, maka Irjen Ferdy Sambo atau lainnya yang menjadi tersangka tidak disebut atau diangkat identitas \"Kristen\" \"Toraja\", \"Batak\", atau lainnya. Agama dan suku diabaikan dan memang tidak relevan.  Dalam kasus Henry Hernando berbeda, di samping terjadi kebohongan atau rekayasa juga ternyata ada penonjolan identitas itu. Apa maksudnya  ? Mungkin pihak Kepolisian ingin menghindari aspek sentimen SARA bahwa pembunuh adalah \"Cina\" atau dahulu disebut WNI keturunan yang sensitif dalam masyarakat.  Ada sentimen kuat atau sorotan terhadap etnis ini yang dinilai sebagai minoritas yang hidup lebih makmur dibanding mayoritas pribumi dan tidak jarang bersikap arogan. Terbiasa pula mengandalkan \"beking\" dari aparat di belakangnya.  Implikasi penonjolan atau penggiringan identitas ini justru bernuansa dan berbahaya. Henry Hernando yang dicitrakan \"Muslim\" dan \"Sunda\" dengan mengaburkan atau mengubur \"Cina\" adalah sikap yang mendiskreditkan. Seolah-olah \"Muslim\" dan \"Sunda\" itu si pembunuh sadis tersebut. Menutupi fakta \"Cina\" yang membunuh \"Pribumi\" atau \"Bumiputera\".  Kepolisian sebaiknya mengoreksi penggunaan pola \"menutupi SARA dengan SARA\" biarlah kasus ini berstatus apa adanya. Pengusaha Henry Hernando yang membunuh sadis Letkol TNI Purn. Muhammad Mubin.  Jangan biarkan pula publik bertanya lebih menukik benarkah Henry itu \"Muslim\" dan benarkah pula Henry itu \"Sunda\" ? Bandung, 23 Agustus 2022

Polisi Terlalu Cepat Mengatakan Hoax Bunker 900 M

 Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior FNN  Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo terlalu cepat mengatakan bunker berisi 900 miliar milik Ferdy Sambo, dipastikan hoax. Menurut Dedi, informasi mengenai bunker 900 M tidak benar. Di sini, Pak Dedi tidak peka. Sensitivitasnya hilang. Gaya bicara dan pemahamannya tidak berubah dari cara dia menjelaskan “tembak-menembak” yang menyebabkan Brigadir Yoshua (Brigadir J) tewas. Kemudian, Sambo terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigdir J. Sejak itu, publik tak percaya lagi kepada Kepolisian. Tapi, kelihatannya, Kadiv Humas tidak merasakan seperti itu. Dia tetap bersikap bahwa publik akan menelan begitu saja pernyataan atau penjelasan Polisi. Mengatakan bunker 900 M itu hoax adalah tindakan yang terlalu cepat. Gegabah. Penyelidikan tentang dugaan ini tidak transparan. Dalam suasana minus kepercayaan publik itu, Dedi seharusnya tidak mengeluarkan dikte-dikte yang akan ditertawakan orang. Sepatutnya Irjen Dedi memahami bahwa setiap penjelasan tentang Sambo, tidak akan diterima oleh publik kalau memihak ke mantan Kadiv Propam itu. Tindakan Sambo berbohong dan merekayasa cerita tentang Brigadir J membuat publik tidak percaya lagi kalau ada yang membantah dugaan kejahatan-kejahatan lain yang dituduhkan kepada polisi sadis ini. Publik sangat percaya Sambo punya jaringan mafia yang bekerja mengumpulkan uang besar. Dibantah sekeras apa pun soal bunker 900 M itu, tidak akan diterima publik. Masyarakat malah akan mencurigai bantahan itu sebagai modus untuk menyembunyikan uang bunker itu. Rakyat meyakini bahwa Sambo selama ini mengumpulkan uang besar. Jumlahnya besar karena Sambo diduga kuat melindungi berbagai bisnis hitam yang beromzet besar seperti judi online, narkoba, mafia kasus, mafia tambang, pengambilalihan barang bukti kasus-kasus penipuan yang melibatkan uang besar, dlsb. Ini yang disangkakan publik terhadap Sambo dan jaringan mafianya. Mantan Kadiv Propam ini disebut-sebut memiliki jaringan yang sangat kuat. Yang dikatakan melibatkan para petinggi kepolisian. Artinya, sangat logis kalau jumlah uang yang ditimbunnya sangat besar. Tak mungkin uang receh sebatas puluhan miliar. Sebuah diagram atau silsilah yang beredar belum lama ini menunjukkan betapa masifnya jaringan Sambo. Melibatkan banyak jenderal berbintang dua, berbintang satu, kombes, AKBP, kompol, AKP, dan yang berpangkat rendah. Ini artinya tidak mungkin duit yang mereka kumpulkan hanya 100-200 miliar. Diagram itu sangat profesional. Kerapian dan kedatailan diagram memperlihatkan bahwa yang membuatnya adalah orang-orang yang sangat dekat dengan, dan sangat tahu tentang, sepak terjang Sambo. Di halaman pertama dari enam halaman diagram yang diberi judul “Kaisar Sambo dan Konsorsium 303” itu tertulis bahwa “Setiap tahun Ferdy Sambo dan kroninya menerima setoran lebih dari 1.3 triliun”. Isi diagram ini belum tentu benar. Tapi belum tentu pula salah. Karena itu, dugaan yang cukup meyakinkan ini sebaiknya diusut dengan melibatkan para wartawan dan lembaga pemantau kepolisian. Biarkan dulu berlangsung pengusutan tuntas dan transparan. Lakukan semuanya di depan kamera, tidak ada yang disembunyikan. Hanya dengan pengusutan yang berkualitas dan dengan kadar akuntabilitas yang tinggi, publik bisa pelan-pelan mengembalikan kepercayaan kepada Polri.   Jadi, Kadiv Humas tidak perlu buru-buru mengatakan bunker 900 M itu hoax. Pak Dedi tidak perlu khawatir. Yang hoax pasti hoax. Hoax akan terbentuk dengan sendirinya jika semua pihak rela pengusutan kasus Sambo dilepas apa adanya. Orang paham bahwa Polri perlu membalas skor 10-0 yang sangat memalukan sekarang ini. Tetapi, gol balasan yang diragukan kebersihannya malah akan menambah keruh kepercayaan penonton satu stadion. Hoax bunker 900 M adalah gol balasan yang tidak “clean” dan tidak “clear”. Publik malah menyorakinya. Penonton menilainya sebagai gol tipuan.[] 22 Agustus 2022.

Anies - Puan di Atas Angin, Cegat Muncul Calon Tunggal

Politik adalah seni dari semua kemungkinan, bisa saja semua berubah secara mendadak. Kekuatan oligargi sangat besar untuk mengendalikan partai politik di Indonesia. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih FOTO bersama Ketua DPR RI Puan Maharani dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (AB) saat ajang Formula E Jakarta (4 Juni 2022), bukan foto hanya sekedar hobi selfie. Tetapi memiliki muatan politik penuh makna. Arah foto menuju ke AB dan mengesampingkan wajah Presiden Joko Widodo itu merupakan langkah berani Puan untuk meninggalkan dan mengabaikan Jokowi. Di bagian terpisah Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto buru-buru memberi komentarnya, makna dari foto bersama tersebut mengatakan: “foto bersama antara Puan Maharani dengan Anies Baswedan sudah menjadi kecenderungan di masyarakat – itu suatu hal yang baik. Foto selfie bersama itu tampilannya suatu yang cukup baik,” katanya, di Kampus Universitas Pertahanan, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Ahad (5/6/2022). Berkali-kali dari markas Tengku Umar mengeluarkan nada sejuk bahwa Puan dan Anies tidak ada masalah, dalam ruang sama menatap masa depan bangsa yang lebih baik. Sebelumnya Ketum NasDem Surya Paloh bertemu dengan Ketum Gerindra Prabowo Subianto di NasDem Tower, Gondangdia, Jakarta, Rabu (1/6/2022) dan dilanjutkan lobi dengan Presiden Jokowi tentang Capres 2024. Lobi basa-basi ini tampaknya memberitahu dan seolah-olah minta pendapat Jokowi pasangan Capres 2024. Saat itu Surya ditengarai hanya penjajagan pandangan politik Jokowi tentang formasi Capres 2024. Lobi tersebut ditangkap sinyalnya oleh Megawati. Surya Paloh harus dalam mitra kendalinya, bukan dikendalikan oleh Presiden atau Ketum Partai lain. Serangan Mega dilancarkan melalui forum Rakernas PDIP yang waktunya sudah sangat dekat pada 21 Juni 2022. Hanya dalam rentang waktu hanya 17 hari dari foto Puan dan Anies dengan Rakernas PDIP. Benar terjadi Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri mengatakan, tidak ada sebutan koalisi di Indonesia. Hal ini mengingat sistem tata negara menganut sistem presidensial dan bukan parlementer. Sebaliknya, Megawati menilai lebih cocok penyebutan kerja sama politik jika dibandingkan koalisi. Hal ini disampaikan di hadapan Presiden Jokowi yang menghadiri acara Rakernas PDIP, Selasa (21/6/2022). Pidato Megawati tentang tidak ada sebutan koalisi di Indonesia itu memiliki makna politik menghentikan laju Ganjar Pranowo, melepas Prabowo Subianto dan memberitahu pada Jokowi jangan campur tangan soal Capres 2024 saat bersamaan memberi ruang politik Anies dan Puan. Lobi politik terus bergerak terpantau melalui media sosial Puan bertemu Surya Paloh di NasDem Tower, Jakarta Pusat, Senin (22/8/2022), Puan tiba pada pukul 11.00 WIB. Terlihat Puan mengenakan baju serba hitam. Puan didampingi oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto hingga Ketua Bappilu PDIP Bambang Wuryanto. Selain itu beberapa kader PDIP lainnya terlihat mengawal. Rentetan dari beberapa lobi politik yang bisa terlacak pasti didahului lobi politik senyap untuk memperlancar prosesnya. Bisa dibaca bahwa Surya Paloh yang sudah berkawan (koalisi) dengan Partai Demokrat dan PKS, dugaan kuat menerima mandat memperluas kerjasama dengan parpol lainnya, termasuk mendekati PDIP secara terhormat. Lobi Surya direspon positif oleh pihak PDIP. Bahkan Puan sampai mengatakan bahwa Surya Paloh adalah Pakdenya (saudara tuanya). Rekayasa politik tersebut adalah untuk memuluskan formasi Anies Baswedan dan Puan Maharani. Proses ini pasti membawa korban politik lanjutan. Sangat mungkin akan menimbulkan reaksi oligarki untuk mencegatnya, apabila tidak  dalam kendalinya. Ganjar Pranowo harus berhenti dari niatnya ingin maju Capres, kecuali nekad ada dukungan dari partai di luar PDIP dan masih diperlukan oleh oligarki, walaupun peluang ini sangat kecil. Prabowo sendiri kini dalam kesulitan yang nyata, walaupun terus mencoba menggunakan Jokowi sebagai jembatan lobinya, bisa jadi salah sasaran karena Jokowi sudah jadi kartu mati. Sekalipun masih ada hubungan dengan Oligarki, koalisi dengan PKB sangat rawan dan sangat rentan, lemah kalau nekad koalisi tersebut tetap akan dipakai Prabowo Subianto. Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) pasti pecah, besar kemungkinannya PPP akan berbalik mengikuti kerjasama partai PDIP, Nasdem, dan Demokrat serta PKS. Sementara Golkar dan PAN akan dihadapkan pada pilihan menyerah atau bergabung dengan Prabowo atau partai politik besar bersama PDIP dkk. Politik adalah seni dari semua kemungkinan, bisa saja semua berubah secara mendadak. Kekuatan oligargi sangat besar untuk mengendalikan partai politik di Indonesia. Dari gerak lobi-lobi partai politik tersebut yang harus dijaga, jangan sampai ada calon tunggal. Itu jebakan oligarki sehingga Pilpres bisa ditunda dan akan muncul perpanjangan masa jabatan Presiden. (*)

Rektor Koruptor dan Kegagalan Revolusi Mental

Kegagalan Revolusi Mental Jokowi perlu ditindaklanjuti dengan adanya sebuah upaya baru dalam memperbaiki mentalitas bangsa yang sedang terpuruk ini. Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle REKTOR Universitas Lampung, Professor Karomani, juga petinggi organisasi keagamaan tertentu, ditangkap KPK beberapa hari lalu, karena menjual \"kursi masuk\" mahasiswa melalui jalur mandiri seharga Rp 100-350 juta per calon mahasiswa. Professor tersebut terkenal juga selama ini sebagai tokoh Forum Rektor yang mempropagandakan kampus bebas dari radikalisme. Karena, menurutnya, radikalisme adalah ancaman yang saat ini paling membahayakan di dalam  lingkungan kampus. Kita harus mengapresiasi KPK untuk penangkapan ini. Meski nilai rupiahnya tidak seperti kasus APENG yang bernilai triliunan maupun ketika kita kecewa KPK tidak berani atau tidak siap melanjutkan pemeriksaan kasus dugaan KKN anak Jokowi yang dilaporkan Ubaidillah Badrun. Kenapa perlu diapresiasi? Karena penangkapan kaum Professor dari sebuah universitas yang dibiayai negara ini, merupakan simbolis penanganan kasus hancurnya moralitas bangsa kita. Alasan lainnya, sebagai pendukung militan Jokowi, Professor ini harusnya dapat merupakan \"banchmark\" keberhasilan atau kegagalan Revolusi Mental Jokowi. Universitas dan Suksesnya Sebuah Bangsa Universitas sepanjang sejarah dipercaya sebagai pusat peradaban manusia. Baik ketika dahulu kala namanya Academy di era Plato, di Athena, Yunani atau Madrasah, di jaman Al Ghazali yang mengajar di Baghdad, semuanya dimaksudkan untuk memproduksi manusia cerdas, berintegritas, dan juga memuliakan tujuan kehidupan. Perdebatan dan riset tentang demokrasi, hak-hak manusia, dan sistem pemerintahan, tentang alam semesta serta penemuan sains dan teknologi menjadi kekayaan universitas, sehingga ia dipercaya untuk mendidik manusia menjadi manusia sejati. Universitas juga dipercaya oleh sebuah bangsa untuk menjadi referensi nilai bagi pembangunan bangsa tersebut. Misalnya, universitas selalu diminta oleh negara dalam memproduksi atau mengevaluasi sebuah undang-undang. Sebab, tanpa kehadiran kaum cendikiawan dalam hadirnya sebuah produk hukum, moralitas hukum tersebut masih dapat dipertanyakan. Begitu juga ketika negara membutuhkan riset yang sangat serius untuk sebuah produk strategis, seperti energi nuklir dan lainnya. Kesuksesan sebuah bangsa seringkali diukur dengan suksesnya universitas di negara tersebut. Atau setidaknya kita bisa melihat korelasi kesuksesan sebuah bangsa dengan majunya universitas di negara itu. Sebuah kondisi paralel. Negara yang mempunyai banyak universitas dalam ranking tinggi global umumnya negara maju, sebaliknya juga terjadi. Indonesia dibandingkan Malaysia, apalagi Singapura, mempunyai universitas yang ranking-nya jauh lebih rendah, paralel dengan negaranya yang lebih tertinggal. Dengan demikian, sangatlah wajar jika universitas menjadi tumpuan harapan manusia, keluarga dan juga sebuah bangsa. Sehingga, jika universitas itu terlihat gagal menjalankan misinya, kekecewaan besarpun akan datang. Rektor Koruptor, Mengapa? Korupsi yang dilakukan rektor UNILA ini adalah jenis yang paling sadis. Korupsi yang lebih rendah kebiadabannya bisa terjadi pada korupsi dalam pengadaan barang. Karena umumnya jejaring atau broker kekuasaan memang membuat keadaan terpaksa seseorang pejabat publik harus korupsi. Beberapa universitas swasta kaya bisa memiliki peralatan laboratorium yang canggih dibandingkan universitas negeri, karena kesulitan pejabat publik berhadapan dengan calo-calo projek. Padahal negara sudah mengalokasikan dana untuk itu. Namun, mengkorupsi dengan model rektor Universitas Lampung ini, yakni meminta uang kepada calon mahasiswa, telah menghancurkan prinsip-prinsip keutamaan moral, menghancurkan kepercayaan diri dari mahasiswa untuk menjadi SDM handal dikemudian hari dan merusak reputasi universitas itu sendiri. Program penerimaan mahasiswa mandiri sebenarnya mempunyai banyak manfaat. Pertama, pihak universitas tidak terjebak pada penyeragaman tersentralisasi, seperti era Sipenmaru tahun 1980 an. Kedua, universitas memberikan kesempatan kedua kepada calon mahasiswa yang gagal dalam saringan pertama. Dalam kesempatan kedua secara teoritis diharapkan mampu memberikan penyempurnaan pada kemungkinan kegagalan sistem penerimaan disaringan pertama. Misalnya, ada saja calon mahasiswa genius yang terhalang masuk pada saringan pertama. Bagiamana dengan biaya jalur mandiri? Sebenarnya, ketika kampus kesulitan mencari pembiayaan dari negara maupun upaya kampus untuk menambah kemampuan pembiayaan sendiri, wajar saja saringan ala jalur mandiri itu dikaitkan dengan sumbangan calon mahasiswa. Namun, tentu saja itu bukan suatu syarat mutlak. Syarat mutlaknya adalah kemampuan akademik dan IQ sang calon tersebut. Dan uang yang diperoleh tentu saja untuk universitas, bukan pribadi rektor dan kawan-kawannya. Lalu kenapa rektor ini korupsi? Hal ini tentu merupakan kerusakan mental. Pertama, di lingkungan universitas negeri, di bawah jajaran Kemendikbud,  belum terdengar kabar adanya biaya suksesi yang mahal untuk menjadi rektor. Model biaya mahal umumnya terjadi untuk kursi kekuasaan eksekutif dan legislatif. Tapi, ini juga mungkin mulai berubah? Kedua, seorang rektor dan sebagai professor, seharusnya dia sudah hidup lebih dari cukup. Bahkan, seorang Professor masih mendapatkan tunjangan negara sampai usia tua. Lalu apa motivasi rektor koruptor? Ini perlu penyelidikan serius, bisa jadi karena rektor ini korban projek Revolusi Mental? Gagalnya Revolusi Mental Presiden Joko Widodo membawa ide, semangat dan api \"Revolusi Mental\" ketika kampanye menjadi presiden. Menurut situs pemerintah, \"Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.\" (Kominfo.go.id). Dan, \"Revolusi mental Jokowi ditandai dengan prinsip integritas, etos kerja dan gotong royong.\" (situs Kemendikbud). Pemerintah mengalokasikan biaya untuk ide ini terwujud, khususnya dalam pelatihan pelatihan dan pendidikan (Diklat) yang diberikan kepada aparatur negara. Penangkapan Rektor UNILA yang menjijikkan ini telah menunjukkan adanya kegagalan Revolusi Mental dalam dunia pendidikan. Ini memang baru sebuah indikator. Namun, indikator ini sangat penting mengingat keterlibatan rektor dan pimpinan universitas perguruan tinggi negeri dengan model korupsi yang biadab. Apalagi rektor tersebut petinggi organisasi keagamaan dan promotor utama anti radikalisme di kampus. Bisa jadi, modus korupsi penerimaan mahasiswa baru ini sudah berkembang lama dan terjadi di berbagai perguruan tinggi negeri lainnya. Ade Armando, misalnya, pernah mengatakan bahwa mahasiswa di kampusnya mengajar, banyak yang berbayar alias diterima masuk karena uang, bukan IQ dan kapasitas. Lalu bagaimana nasib Revolusi Mental ini? Setelah 8 tahun Jokowi presiden? Kasus penangkapan Rektor Koruptor ini bukanlah satu-satunya indikasi kegagalan Revolusi Mental. Kita melihat sebelumnya kasus Ferdy Sambo, Penegak Hukumnya Penegak Hukum alias Provos dari institusi utama penegakan hukum pun telah menunjukkan kegagalan Revolusi Mental ala Jokowi. Belum lagi banyaknya deretan kasus-kasus korupsi dan moralitas kekuasaan saat ini. Untu itu maka kita melihat Revolusi Mental ala Jokowi sudah gagal. Lalu, What\'s Next? Kegagalan Revolusi Mental Jokowi perlu ditindaklanjuti dengan adanya sebuah upaya baru dalam memperbaiki mentalitas bangsa yang sedang terpuruk ini. Apakah melalui konsep Revolusi Akhlak ala Habib Rizieq diperlukan ke depan? Kita harus kaji. Tapi, setidaknya sudah saatnya kita mengatakan, bubarkan Revolusi Mental ala Jokowi! (*)

Eh Copot, Eh Copot-Copot

Seperti kata Kapolri Listyo Sigit Prabowo tentang ikan busuk itu dari kepala, bongkar-pasang dalam institusi Polri atau segera mengganti Jokowi? Oleh: Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI MESKI Irjen Ferdy Sambo disinyalir sebagai otak pembunuhan Brigadir Joshua, namun kasusnya kian kemari menyeret banyak petinggi Polri dan lingkaran kekuasaan Istana. Bukan hanya menguak kejahatan berjamaah, ramai berkembang kabar kecenderungan pengaruh oligarki yang menguasai institusi Polri. Ada keterlibatan banyak pihak yang menandakan kerusakan sistem selain sekedar perilaku oknum ditubuh Korps Bhayangkara. Pembunuhan yang mengakhiri penyiksaan seorang polisi oleh pimpinannya, seperti menjadi bom atom bagi kalangan internal Kepolisian. Bukan hanya menodai Tri Brata dan Eka Prasetya bagi keluarga besar Polri. Kejahatan multidimensi itu, seketika semakin menghancurkan kepercayaan rakyat kepada lembaga penegakan hukum tersebut. Kematian dengan didahului penyiksaan yang menyemburkan bau amis korupsi, perselingkuhan, dan disorientasi seksual, juga beraroma bekingan bisnis perjudian online, pelacuran dan traficking, penyelundupan, ijin pertambangan ilegal serta pelbagai usaha haram lainnya. Menghasilkan kinerja jeblok yang menyelimuti kejahatan di dalamnya, menjadikan publik menempatkan Polri sebagai tersangka institusi negara paling buruk di republik ini. Polri semakin terdegradasi seiring-sejalan dengan kekuasaan rezim Jokowi selama hampir dua periode. Dengan kewenangan tak terbatas meliputi ipolesosbudhankam, Polri justru menjadi institusi yang \"over power\" dan \"super body\". Bukan hanya bergeser dari alat negara menjadi alat kekuasaan, Polri juga berangsur-angsur menjelma menjadi satu kedinasan yang terkesan korup, represif dan cenderung menjadi musuh publik. Polri dan Jokowi seolah-olah menjadi pasangan sejoli, telah menghadirkan persekongkolan anti demokrasi bak tirani, yang membawa kehidupan rakyat pada jurang penderitaan dan tanpa pemerintahan serta menuju negara gagal. Tak cukup sekedar copot-mencopot beberapa pejabatnya, tak cukup sekedar mereformasi lembaganya. Tragedi Polri menjadi contoh dari kehancuran sistem dan kerusakan mental aparat hampir di semua institusi negara. Rakyat Indonesia hanya punya dua punya pilihan, menikmati ilusi reformasi atau berani revolusi. Seperti kata Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tentang ikan busuk itu dari kepala, bongkar-pasang dalam institusi Polri atau segera mengganti Jokowi? Munjul-Cibubur, 22 Agustus 2022. (*)

Jangan “Cover Up” Kasus Pembunuhan Letkol Mubin

Kiranya jangan ada cover up dalam kasus ini. Sudah terlalu banyak mafia yang merambah ke segala arah. Ada mafia tanah, mafia minyak goreng, mafia kepolisian, mafia pengadilan, ataupun mafia politik di ruang parlemen. Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan PEMBUNUHAN sadis Letkol Purn Muhammad Mubin, mantan Dandim yang bekerja sebagai sopir, oleh Henry Hernando sudah menjadi perhatian publik. Kemarin ratusan Purnawirawan TNI menggeruduk Polsek Lembang, Bandung Barat, dan mempertanyakan serius kasus ini. Kapolres Cimahi yang hadir dalam acara tersebut turut menjelaskan, meski oleh perwakilan peserta dialog penjelasan tersebut dinilai setengah hati dan belum terbuka. Unjuk rasa keprihatinan para purnawirawan bersama Ormas dan elemen masyarakat ke Sektor Kepolisian dan juga melihat TKP adalah wujud dari sikap Purnawirawan TNI untuk mendesak pihak-pihak yang berwenang agar mengusut peristiwa ini dengan sebenar-benarnya. Jangan ada cover up atau menutup-nutupi. Di tingkat pemeriksaan Polda terkuak fakta bahwa tersangka maupun saksi melakukan kebohongan. Menurut tersangka dan saksi, korban telah meludahi sehingga terjadi pertengkaran. Padahal faktanya, hal itu sama sekali tidak terjadi. Henry langsung menyerang dan nenusukkan pisau berulang-ulang ke leher, dada, dan perut korban. Serangan itu menyebabkan tewasnya korban. Di tingkat Polsek Lembang dan Polres Cimahi tersangka hanya dikenakan Pasal 351 ayat (3) KUHP yaitu penganiayaan yang menyebabkan kematian. Akan tetapi di tingkat Polda justru tersangka diduga melakukan pembunuhan dengan terencana sehingga dikenakan Pasal 340 KUHP Jo Pasal 338 KUHP. Hal ini tentu menjadi menarik. Di samping itu permasalahan tidak cukup dengan bermain pada pasal-pasal yang dituduhkan, akan tetapi publik ingin mengetahui motif dari terjadinya pembunuhan yang direncanakan tersebut. Sekedar kesal karena kendaraan yang diparkir di depan toko gudangnya atau sebab lain? Pembunuhan sadis seorang sopir mobil pick up yang ternyata seorang Letkol Purnawirawan TNI dan mantan Dandim oleh pengusaha keturunan ini harus diusut secara terbuka dan transparan. Ada rasa keadilan masyarakat yang terusik. Tahukah Henry Hernando bahwa yang ia rencanakan untuk dibunuh itu adalah seorang Purnawirawan perwira TNI? Bila ia mengetahui, maka ini adalah serangan pada institusi. Keberanian atau kenekadan yang dilakukan tentu berdasar. Apakah karena merasa ada becking atau kekuatan relasi yang diharapkan dapat meringankan sanksi hukum atas perbuatannya? Bila ia tidak mengetahui dan menganggap sang sopir hanya rakyat jelata, maka inipun adalah pelecehan berdasar strata sosial. Ini arogansi khas pengusaha keturunan yang sering merendahkan warga pribumi. Bahwa kita tidak boleh menyinggung persoalan etnis mungkin benar, akan tetapi faktor etnis sering menjadi fakta atas perilaku diskriminatif. Apalagi jika sang etnis itu menganggap uang dapat menyelesaikan segalanya. Kesenjangan sosial adalah persoalan bangsa yang utama. Kemewahan dan arogansi menjadi ciri strata tertentu, sementara strata lain hidup dalam keadaan serba sulit dan mengais-ngais. Kecemburuan sosial dapat menjadi dendam yang terpendam dan dapat berkulminasi menjadi potensi konflik yang mengejutkan. Kasus pembunuhan Letkol TNI Purn Muhammad Mubin adalah gunung es persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan kita di era kemerdekaan. Dan tentu saja di rezim ini. Karenanya kasus Lembang ini bukanlah masalah kecil tetapi besar atau sangat besar. Ada persoalan fundamental di sana. Kiranya jangan ada cover up dalam kasus ini. Sudah terlalu banyak mafia yang merambah ke segala arah. Ada mafia tanah, mafia minyak goreng, mafia kepolisian, mafia pengadilan, ataupun mafia politik di ruang parlemen. Ayo buka dan buktikan bahwa kekerasan tidak bisa ditoleransi apalagi atas dasar arogansi. Waspadai perambahan dari Sambo ke Hernando. Sama-sama berangkat dari kebohongan. Bandung, 22 Agustus 2022. (*)