OPINI
Pimpinan Komisi III DPR RI Pimpin Sidang Bergaya Sambo
Dengan waktu terbatas dan tidak semuanya diberikan kesempatan untuk membuat statements dan mengajukan pertanyaan adalah atas kesepakatan bersama demi efektifitas hasil kerja persidangan menjadi maksimal. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SAAT berlangsungnya Rapat Kerja Komisi III dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berlangsung suasana framboyan, semilir saling menyampaikan sanjungan puja-puji apresiasi untuk Kapolri dengan resonansi irama yang sejuk, sesekali suara genit. “Bapak telah bertindak cepat dan tepat. Pekerjaan Bapak sangat berat, semoga Tuhan memberkati atas kerja kerasnya dan atas nama anggota Komisi III DPR RI menyampaikan terima kasih”. Begitu kira-kira ucapannya. Memang tidak semua berisi sanjungan sekalipun tetap saling jaga perasaan demi kebersamaan terdengar usulan yang substansial ditunggu masyarakat, tentang di mana Sambo saat ini, harus dihukum seberat-beratnya, bagaimana keterlibatan FS dengan bandar judi online 303, narkotika, dan kaitan dengan peristiwa KM 50. Rapat Kerja DPR RI dengan mitra kerjanya Kapolri sesungguhnya sudah ada dalam ketentuan konstitusi yang ketat: berupa dengar pendapat legislatif, pengawasan, investigasi dan konfirmasi. Terpantau lebih kuat pada fungsi pertama, fungsi lainnya terpantau melemah dan terdengar lebih kuat berupa kisi-kisi sanjungan dan puji-pujian. Fungsi pengawasan, investigasi, dan konfirmasi sangat minim, bahkan ketika fungsi itu muncul kelakar dan tetap saja diakhiri dengan sanjungan, terkesan sangat hati-hati kalau sampai melukai perasaan Kapolri dengan timnya. Kejadian fatal sidang yang dipandu Ketua Komisi ketika akan merumuskan rekomendasi komisi III untuk Kapolri, bukan hanya terjadi kebingungan menyusun kalimat otomatis substansi hasil pengawasan, investigasi nampak asalasalan. Celakanya untuk susunan kalimat melalui Pimpinan Sidang dimintakan pendapat kepada Kapolri untuk memperbaiki, dan Kapolri spontan tengok Kabareskrim untuk bantu diperbaiki, dan langsung disetujui floor. Ironi dan memalukan tetapi benar-benar terjadi. Kondisi tersebut memberi petunjuk tidak ada keseriusan dan persiapan yang baik dari Komisi III yang sesungguhnya rekomendasi semestinya sudah tersusun rapi dengan muatan substansi yang pakem sebelum masuk Rapat Kerja dengan Kapolri. Hasilnya semestinya tidak ada kompromi dengan Kapolri selain harus dilaksanakan atas nama rakyat Sebelum rapat kerja semestinya sudah ada joint hearings antar perwakilan antar partai yang ada di komisi tersebut. Saat rapat kerja hanya untuk konfirmasi mempertajam dari hasil rekomendasi yang sudah disiapkan. Substansi dan kalimat tidak ada kompromi dengan mitra kerja. Apalagi menyerahkan susunan kalimat rekomendasinya ke mitra kerja (staf Kapolri) dari konsep yang anggota Komisi III nampak gagap dan tidak siap. Demikian pula kejadian memalukan saat berlangsungnya Rapat Kerja, terjadi keributan saling interupsi. Aneh kenapa ini terjadi, apa akibat Pimpinan Sidang yang bergaya Sambo yang super kuasa mengatur jalannya sidang, sampai masuk mencegat hak hak dari anggota dewan. Kejadiannya menggelikan, aneh dan konyol, akibat Pimpinan Sidang bergaya feodal dan asal-asalan. Prosesi sidang yang lucu, justru membuat jalannya sidang tidak lancar, dan terkesan underdog Pimpin Sidang bersama Kapolri. Fungsi Pimpinan Sidang itu hanya sebagai mengatur lalu-lintas perdebatan anggotanya (bukan boss perusahaan) pada sidang yang sedang berlangsung agar berjalan tertib, rapi, organized, adil, fair untuk semua members dan tujuan hearing itu tercapai. Pimpinan sidang lupa atau tidak paham bahwa secara konstitutional, semua anggota dewan adalah setara (equal) dalam hak, tugas, tanggung-jawab. Fungsi jabatan sebagai Ketua/Wakil Ketua Komisi yang otomatis sebagai pimpinan sidang tidak boleh mengambil hak istimewa bagi anggotanya yang terdiri dari beberapa fraksi. Mereka sama memiliki one vote di dalam sidang sidang komisi. Untuk menghindari sidang yang selalu teriak-teriak penuh interupsi, gaduh, ribut, tidak teratur dan semawut , aturan tata-tertib hearing dan persidangan di DPR perlu ditinjau kembali, diperbaiki dan disempurnakan tentang tatib persidangan. Semisal sebelum masuk sidang dengan mitra kerjanya, wajib ada persiapan bahan yang harus dilakukan rapat bersama antar unsur fraksi menyusun statement inti yang harus ditanyakan dan dipertahankan atas masalah yang akan diperdebatkan. Sekaligus ada kesepakan juru bicara yang disepakati untuk menyampaikan points yang disampaikan kepada mitra kerjanya, agar masuk proses sidang berjalan rapi, tertib berjalan lancar dan tujuan tercapai dengan baik, terhindar dari interupsi yang tidak perlu, dewan terjaga eksistensi dan kompetensinya. Dengan waktu terbatas dan tidak semuanya diberikan kesempatan untuk membuat statements dan mengajukan pertanyaan adalah atas kesepakatan bersama demi efektifitas hasil kerja persidangan menjadi maksimal. Hanya anggota dewan atau yang telah dipilih dan disepakati mewakili semua partai politik itu yang boleh menyampaikan statements dan mengajukan pertanyaan kepada mitra kerja, dengan batasan waktu yang terukur tanpa mengurasi substansi keutuhan materinya. Interupsi hanya boleh dilakukan oleh anggota sidang justru ketika pimpinan sidang, menyimpang dari fungsi dan tugasnya, seperti tiba tiba mengintervensi hak-hak yang sama sesama anggota sidang atau ngelantur menjadi feodal, bergaya bos dan otoriter seperti gaya Sambo atau melemah mentalnya karena ada gangguan underog di depan Kapolri. (*)
UUD 1945 Versus UUD NRI 1945 (2)
Ketiga, pemilihan presiden secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia menyimpang dari sila ke-4 Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta PEMBELA UUD NRI 1945 hasil amandemen 1999-2002 umumnya kurang tertarik berdebat filosofis tentang mengapa ada yang disebut Lembaga Tertinggi Negara MPR, mengapa ada sistem Perwakilan Musyawarah. Saran saya kepada kelompok pendukung UUD 2002, berdebatlah dengan Prof. Kaelan, Prof. Yudhie Haryono, Dr. Mulyadi, Dr. Ichsanuddin Noersy tentang tema tersebut. Tak cukup dengan menyatakan bahwa Lembaga Tertinggi itu sistem Komunis (Prof Jimly dan Mayjen Purn. Saurip Kadi). Berdebatlah soal Pilpres Langsung sebgai anak kandung UUD 2002 hasil amandemen UUD 1945. Lihat output dari praktik Pilpres langsung yang amburadul. Berdebatlah output dari masuknya asas Kapitalisme dalam pasal 33 UUD 2002 hasil Amandemen UUD 1945 yang membuat rakyat miskin makin membludak dan kesenjangan makin menggila. Sayangnya, Dr. Refly Harun keluar dari grup Konstitusi; sempat ikut beberapa lama tanpa komentar lalu keluar. Padahal di forum itu banyak orang yang faham konstitusi dan politik negara. Kalau negara mau maju, harus berani diskusi keras dengan siapa pun yang pantas jadi lawan bertukar pikiran. Menanggapi tulisan Hatta Taliwang tersebut, Chris Komari menulis, “Yang paling sulit adalah mencari compromised version, dan itu mampu dilakukan oleh para founding fathers dengan: (1) Pancasila: (2) Preambule; (3) UUD 1949 asli. Sebaiknya, kita meminta agar teks asli UUD 1945 hasil compromised version para founding fathers dipisahkan dengan 4x teks amandemen. Dari situ nanti kita perdebatkan, teks amandemen mana yang bertentangan, mengubah dan merusak teks asli UUD 1945 hasil compromised version para founding fathers. Yang harus diperbaiki dan diamademen ke-5 adalah semua teks amandemen 4x itu, bukan teks aslinya. Saya ingin tahu, Indonesia itu mau mengadopsi sistem pemerintahan yang bagaimana. (a) Demokrasi; (b) Non-Demokrasi; (c) Atau yang bagaimana? Kalau disebut negara Demokrasi Pancasila, atau Demokrasi Terpimpin, atau Demokrasi Sila ke-4 Pancasila, maka konsep sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahannya seperti apa? Sekarang rakyat Indonesia masih seperti dulu; ada kelompok pro-UUD 1945 asli, ada yang pro-UUD 2002 amademen, ada yang pro-Pancasila, ada yang pro-Demokrasi, ada yang pro-Khilafah, dan ada yang nyrempet-nyrempet neo-communism. Tidak mungkin kita ngotot dengan versi yang kita inginkan saja. Tugas terberat generasi sekarang adalah mencari jalan tengah (compromised version), seperti para dulu, untuk memperbaiki ruwet dan carut-marut demokrasi lontong sayur yang dibanggakan di Indonesia, tetapi tidak bermanfaat bagi rakyat. Akan tetapi seperti sulit, karena generasi sekarang lebih sok tahu demokrasi dibanding generasi lama, padahal tidak. Generasi dulu itu, jauh lebih menguasai sistem pemerintahan demokrasi dibanding generasi sekarang. Dengan ego yang sok tahu generasi sekarang ini, akan sangat menyulitkan upaya upaya untuk mencari compromised version. Zulkifli S. Ekomei pun mengunggah tulisannya di https://bergelora.com/titik-nadir-uud45-palsu/“Titik Nadir UUD 1945 Palsu”. Setelah Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus diperingati, sidang pertama PPKI digelar satu hari sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945. Sidang tersebut menghasilkan sejumlah keputusan, yakni: (1) Mengesahkan rancangan UUD sebagai UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945; (2) Memilih Sukarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden; (3) Untuk sementara waktu tugas presiden dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Demikianlah, maka di hari itu, 18 Agustus 1945 itu pula diperingati sebagai Hari Konstitusi. Peringatan Hari Konstitusi RI ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2008. Hari Konstitusi adalah momentum bersejarah dalam memperingati adanya sistem ketatanegaraan Indonesia, salah satunya UUD 1945 yang menjadi landasan hukum Indonesia. Lucunya, konstitusi yang telah ditetapkan dengan Tap MPRS itu kini telah diganti dengan UUD 2002 alias UUD 1945 palsu yang dilahirkan tanggal 10 Agustus 2002, maka ini bisa disebut sebagai sebenar-benar kebohongan yang nyata dan pemalsuan yang dilegalkan. Seperti diketahui UUD 1945 telah diganti oleh para pengkhianat melalui kudeta konstitusi secara senyap, sehingga diberlakukannya UUD NRI 1945, yang lebih dikenal sebagai UUD 2002 atau UUD 1945 palsu tersebut, para pengkhianat ini tidak punya nyali untuk mengatakan ”mengganti”, tetapi ”mengubah”. Padahal mereka terang-terangan telah melakukan persekongkolan jahat dengan membentuk ”Koalisi Ornop Untuk Konstitusi Baru”, kemudian mereka memakai jasa para preman di Senayan yang tergabung dalam Panitia Ad Hoc 1 MPR 1999-2004 yang melanjutkan proyek kejahatannya dengan membentuk kelompok yang bernama ”Forum Konstitusi” bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi (Lembaga Negara produk UUD 1945 Palsu) yang bertugas mengamankan proyek kejahatan ini. Alhamdullillah, jika ini akhirnya DPD yang juga adalah produk UUD 1945 Palsu menyadari tentang perlunya kembali ke naskah asli UUD 1945 karya agung para pendiri bangsa. Dewan Perwakilan Daerah sebagai penjelmaan Utusan Daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, di mana setiap anggotanya dipilih oleh rakyat dengan jumlah suara lebih besar dibanding suara yang diperoleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat, karena setiap propinsi hanya diwakili oleh 4 orang anggota DPD, sementara untuk anggota DPR setiap propinsi masih dibagi menjadi beberapa daerah pilihan, tetapi dalam praktik ketatanegaraan kewenangan DPD jauh lebih kecil dibanding DPR, kenapa? Karena DPD tidak punya kewenangan membuat Undang-Undang. Inilah salah satu ketimpangan yang akibat diberlakukannya secara paksa UUD 1945 Palsu. Ketimpangan yang lain adalah UUD 1945 palsu menganut sistem presidensial, tetapi semua pejabat pembantu Presiden harus lolos “fit and proper test” yang dilakukan oleh parlemen, dalam hal ini DPR, dan untuk meloloskan pejabat yang bersangkutan tidak menutup kemungkinan adanya praktik-praktik suap. Dugaan ini terbukti ada beberapa pejabat yang sudah lolos ternyata tersangkut masalah korupsi. Berbicara masalah korupsi, DPR adalah salah satu lembaga korupsi yang menjadi sarang koruptor terbesar; sudah banyak anggota DPR, bahkan pimpinan DPR yang menjadi terpidana tindak pidana korupsi. Kelemahan demi kelemahan dari UUD 1945 Palsu mulai terkuak. Selain soal kewenangan DPD dan banyaknya pejabat yang tersandung kasus korupsi, MPR kini tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, sehingga tidak bisa lagi menerbitkan TAP, apalagi melakukan perubahan terhadap UUD, sehingga beberapa pemikiran mendasar, seperti menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara menemui jalan buntu. Akhirnya, dilahirkanlah GBHN tiruan atau GBHN palsu yang disebut PPHN. Namun, soal telah disepakatinya PPHN ini ketua MPR dari Fraksi Golkar bohong, dan dibantah ketua Fraksi Golkar MPR. Jika hal ini benar, maka sinyalemen Habib Rizieq Shihab benar adanya, bahwa Negeri ini sudah dalam posisi darurat kebohongan. Presiden bohong, menteri-menterinya bohong, polisi juga bohong, dan sekarang MPR juga bohong. Selanjutnya, jika ketimpangan-ketimpangan dan kebohongan semakin banyak, dan tidak terkendali, maka bukan hal yang mustahil jika kemudian terjadi “dead lock” atau dengan kata lain UUD 1945 palsu sampai pada titik nadir. Apakah kondisi ini tidak ada jalan keluarnya? Selama hidup masih dikandung badan, pasti ada jalan! Zulkifli S. Ekomei adalah seorang dokter yang sedang memperjuangkan kembalinya UUD 1945 yang asli. Zulkifli S. Ekomei menambahkan, bahwa para pendiri negeri ini bukan orang sembarangan. Dengan rahmat Allah dan didorong oleh keinginan luhur berhasil membuat negara lengkap dengan sistem pemerintahannya untuk dilanjutkan oleh generasi penerusnya, dan kalau kurang sempurna boleh disempurnakan. Maka dalam UUD 1945 ada pasal 37, ada penjelasan, ada aturan peralihan kalau perlu disempurnakan, ada aturan tambahan kalau perlu ada yang ditambahkan; ternyata ada anak bangsa yang terkena “inferior syndrome” kagum kalau melihat bule, sama dengan pelacur-pelacur yang senang kalau dapat pelanggan bule; ke luar negeri 3 bulan, di sana musim dingin, harus pakai jas, pakai sleyer, balik ke Indonesia musim kemarau, nggak mau melepas jas dan sleyernya, karena takut dikatakan ketinggalan jaman. Demikian juga melihat UUD negaranya, dianggapnya ketinggalan jaman, diobrak-abrik seenaknya. Apa sih sulitnya menjaga warisan, kalau niatnya baik, kalau tidak punya motif lain, menghamba pada bangsa lain, dasar bangsa tempe, jancukan memang! Menurut hemat penulis, efek empat kali Amandemen UUD 1945 sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut. Pertama, MPR tidak dapat meminta pertanggungjawaban kepada Presiden, karena Presiden bukan mandatarisnya. Kedua, Presiden menjadi superpower, ditambah lagi sebagai atasan langsung Kapolri. Ketiga, pemilihan presiden secara langsung oleh seluruh rakyat Indonesia menyimpang dari sila ke-4 Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Keempat, membuahkan Presidential Threshold 20% sebagai produk monopoli partai politik dalam merumuskan Undang-Undang Pemilui Nomor 7 Tahun 1917 Pasal 222, yang mengamputasi hak-hak rakyat untuk mengusulkan calon presiden. Kelima, Presiden RI tidak harus warga negara Indonesia asli. Quo Vadis Bangsa Indonesia? (*)
Ada Yang Janggal Dalam Proses Kaburnya Bandar Judi Medan Ke Singapura
Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior FNN Bandar judi online terbesar di Sumatera, Jhoni alias Apin BK, melarikan diri ke Singapura. Bersama keluargnya. Itu terjadi tak lama setelah tim Polda Sumut yang dipimpin langsung oleh Kapolda Irjen RZ Panca Putra Simanjuntak melancarkan operasi penggerebekan markas judi Apin di kawasan elit Cemara Asri, tak jauh dari Medan. Sepintas lalu, kronologi larinya Apin bersama keluarganya itu masuk akal. Tetapi, sesungguhnya tidak bisa diterima. Oleh akal sehat. Mari kita telusuri logika dalam proses pelarian Apin itu. Dari sini nanti, kita bisa menyimpulkan apakah logis si Apin disebut melarikan diri. Operasi penyerbuan markas judi online dilakukan pada 9 Agustus 2022. Tak berapa lama setelah penggerebekan, Apin dan keluarganya meninggalkan Medan menuju Singapura pada hari yang sama. Kabid Humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi mengatakan kaburnya Apin baru diketahui pada 16 Agustus ketika mereka mengecek ke Imigrasi. Pihak Imigrasi mengatakan Apin dan keluarganya melewati TPI (tempat pemeriksaan imigrasi) bandara Kualanamu pada 9 Agustus menuju Singapura. Banyak kejanggalan. Dan kejanggalan-kejanggalan itu akan terlihat ketika kita ingin mengetahui jawaban atas beberapa klaster pertanyaan berikut ini. 1. Kok bisa mereka kabur pada hari yang sama dengan hari penggerebekan, dan kaburnya satu keluarga pula? Bukankah logistik dan dokumentasi satu keluarga itu biasanya ribet? Menggunakan pesawat terjadwal atau pesawat carteran? 2. Dari mana Apin tahu tentang operasi penggerebekan itu dan dari mana dia tahu Polisi akan menangkap dirinya? Siapa yang memberitahukan itu kepada dia? 3. Mengapa Polda tidak lebih dulu menangkap Apin baru kemudian melancarkan penggerebekan? Atau, mengapa tidak ditangkap serentak dengan penggerebekan? Apakah Polda tidak tahu Apin itu bandar judi online? 4. Mengapa Polda baru bertanya ke Imigrasi pada 16 Agustus? Bukankah Apin sangat perlu ditangkap? Mengapa begitu lama selang waktu yang diperlukan untuk mengecek status Apin ke pihak Imigrasi? Jadi, sangat mengherankan kronologi dan proses Apin BK melarikan diri ke Singapura. Kejanggalan yang menyelimuti isu ini bisa menyulut pertanyaan: apakah dia benar melarikan diri murni karena kecanggihan intelijen pribadinya? Ataukah, “perfect timing” (kalkulasi waktu yang sempurna) kaburnya Apin itu merupakan buah dari investasi panjang dan besar yang dia lakukan selama ini di industri perlindungan dan perbekingan Indonesia? Tentu Anda semua mengharapkan pertanyaan ini terjawab dalam waktu yang tak terlalu lama.[]
Dokter Forensik Berpotensi Menjadi Tersangka Perusak Bukti?
Karena, mereka telah melanggar sumpah profesi. Juga, petinggi RSUP Polri yang terlibat dalam proses rehabilitasi jenazah korban untuk menghilangkan bukti pelanggaran hukum. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) SETELAH selama 3 pekan 5 hari sejak autopsi ulang atas jenazah Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat alias Brigadir Joshua, Rabu (27/7/2022, Tim Kedokteran Forensik Gabungan telah menyerahkan hasil autopsi ulang itu ke Tim Khusus Polri di Bareskrim Mabes Polri, Senin (22/8/2022). Dokter forensik yang terlibat autopsi ulang berasal dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Universitas Andalas, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, dan Universitas Udayana. Tim dipimpin Ketua Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) dr. Ade Firmansyah Sugiharto. Terdapat beberapa kesimpulan dari hasil autopsi ulang Brigadir Joshua itu, di antaranya lima luka tembak. Empat tembus tubuh, satu peluru bersarang di dekat tulang belakang.Luka-luka lain di tubuh Brigadir Joshua itu karena tembakan. Tim dari PDFI itu memastikan, tidak ada bekas penyiksaan. Luka di jari kelingking dan jari manis tangan kiri Brigadir Joshua disebabkan alur lintasan peluru.Tim dokter juga tak menemukan adanya kuku Brigadir Joshua dicabut yang sebelumnya diungkapkan pengacara keluarga Brigadir Joshua, Kamaruddin Simanjuntak.Dari hasil pemeriksaan ulang ini, penyebab kematian Brigadir Joshua tersebut disebabkan oleh luka tembak fatal di bagian dada dan kepala.“Kami yakinkan kepada seluruh masyarakat, kepada awak media, bahwa kami di sini bersifat independen, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh apapun juga. Kami bisa yakinkan tidak ada tekanan-tekanan apapun kepada kami, sehingga kami bisa bekerja secara leluasa,” ungkap Ade. Sementara keterangan Polisi terkait hasil autopsi pertama Brigadir Joshua melalui konferensi pers di Polres Metro Jakarta Selatan pada Selasa, 12 Juli lalu, terdapat sejumlah perbedaan.Hasil autopsi tersebut disampaikan oleh Kombes Budhi Herdi Susianto – saat itu menjabat Kapolres Metro Jakarta Selatan, kini di tempat khusus (Patsus), karena diduga melanggar etik dalam penyidikan kasus Brigadir Joshua.Budhi ketika itu menyebut terdapat tujuh luka tembak masuk, enam luka tembak keluar, dan satu peluru bersarang di dada. Kemudian luka-luka lain di tubuh Brigadir Joshua hasil tembakan, sehingga tidak ada bekas penyiksaan.Selain itu, penyebab kematian karena luka tembak bagian belakang sisi kiri kepala dan luka tembak di bagian dada sisi kanan.Sementara dokter perwakilan keluarga Brigadir Joshua, Martina Rajagukguk yang ikut juga menyaksikan autopsi ulang membeberkan sejumlah temuan. Sebagai dokter perwakilan keluarga, Martina menjelaskan dirinya bertugas hanya mengamati dan mencatat tanpa menganalisa hasil autopsi pada 27 Juli itu.Terdapat berbagai temuan luka yang disampaikan, mulai dari luka berupa lubang di bagian lengan kanan yang berada kurang lebih 15 cm dari puncak bahu. Penyebab luka ini belum bisa disimpulkan sehingga diambil sampel oleh dokter forensik untuk diteliti lebih lanjut.Selanjutnya, memar di bagian dalam lutut kaki kiri bagian dalam. Martina menyebut memar ini terlihat seperti ada resapan darah.Terdapat pula lebam di sisi kanan dan kiri perut. Namun, lebam sudah tidak terlihat lagi saat autopsi kedua dilakukan. Karena itu, dokter mengambil sampel untuk diteliti lebih lanjut. Pada bagian punggung ditemukan pula luka sayatan, yang kemudian diinformasikan dokter forensik sebagai luka dari autopsi pertama untuk melihat adanya peluru masuk atau tidak.Kemudian juga temuan luka yang sempat heboh, yakni lubang dari kepala belakang menembus hidung. Martina menjelaskan tim forensik menemukan luka tersebut dalam keadaan ditutupi seperti lem atau tanpa jahitan.Proses otopsi ulang terhadap jenazah Brigadir Joshua berlangsung di RSUD Sungai Bahar Jambi, pada 27 Juli 2022. Ini atas permintaan keluarga yang tidak puas terhadap hasil otopsi pertama. Keluarga menemukan luka-luka di tubuh Brigadir Joshua tidak sesuai dengan klaim polisi. Setelah 27 hari, akhirnya Ketua Tim Dokter Forensik gabungan, dr. Ade Firmansyah Sugiharto merilis hasilnya, Senin (22/8/2022). Terdapat lima luka tembak masuk di tubuh Joshua. Tim menemukan empat luka tembak keluar dari tubuhnya. Artinya, satu peluru bersarang di tulang belakang. Sementara empat lainnya peluru tembus keluar. “Kita melihat bukan arah tembakan tapi arah masukan peluru. Ada lima luka tembak masuk dan empat luka tembak keluar,” jelasnya kepada wartawan di Bareskrim Mabes Polri, Senin (22/8/2022). Artinya masih ada satu peluru yang bersarang di tubuh Brigadie Joshua, dan itu ada di dekat tulang belakang. Tapi, dia tidak mendetilkan titik luka tembakan itu di mana saja. Dokter Ade mengatakan, hasil autopsi tak ditemukan luka lain selain luka dari senjata api. Meski demikian, ia tak bisa memastikan berapa jumlah penembak yang menembak Brigadir Joshua. “Kita bisa menjelaskan arah tembakan sesuai lintasan yang ditemukan. Kita tidak bisa mengetahui ada berapa penembak,” jelasnya. Dokter Ade memastikan, pihaknya independen dan imparsial dalam proses autopsi ulang jenazah. Pemeriksaan sampel dari autopsi ulang itu dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi RSCM. Hal itupun kemudian dipertanyakan oleh pengacara keluarga Brigadir Joshua, Kamaruddin Simanjuntak, dan mengaku dirinya belum sepenuhnya menerima hasil dari autopsi ulang yang dilakukan oleh PDFI. Kamaruddin pun lantas menyangkal pernyataan tersebut, sebab menurutnya ada beda keterangan yang ia terima soal penganiayaan. “Berarti dokternya ini belum profesional kita harus sekolahkan lagi ini ke luar negeri,” katanya. “Karena saksi saja atau tersangka mengakui kepalanya (Brigadir Joshua) itu dijambak dulu sebelum ditembak,” lanjut Kamaruddin, Senin (22/8/2022) dalam program Sapa Indonesia Malam, Kompas TV. “Dijambak itu kan penganiayaan, kalau tersangka mengakui penganiayaan, sementara itu dokter forensik mengatakan tidak ada, berarti ada perbedaan. Apakah ini yang benar tersangka atau pelaku atau dokternya,” tegasnya. Menurut Kamaruddin, dalam autopsi ulang ini pihaknya diberikan hak untuk mengirim dua orang ahli. Dan hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh dua orang yang ia kirimkan dalam proses autopsi ulang ini, sudah dinotariatkan atau berkekuatan hukum. Sehingga, lanjutnya, jika terjadi perbedaan keterangan berarti ada kebohongan di dalamnya. “Yang jelas saya hanya mengatakan begini, kalau dokternya sudah kerja benar dia pasti akan selamat. Tetapi kalau dokternya tidak benar kerjanya atau dia memberikan pendapat bukan karena keilmuannya maka dia akan berhadapan dengan Tuhan pencipta langit dan bumi,” kata Kamaruddin mengingatkan. “Karena saya juga sudah menitipkan dua orang, dokter dan ahli medis, dan hasil autopsi ulang dari mereka sudah saya notariatkan, jadi kalau mereka mengatakan sesuatu yang beda dengan yang saya notariskan itu berarti ada kebohongan,” tutur Kamaruddin. Sementara, berdasarkan autopsi polisi, tujuh luka tembak itu diantaranya: luka tembak di bawah kelopak mata kanan, luka tembak di bagian jari, luka tembak di pergelangan tangan, hingga luka tembak di bagian dada. Hasil autopsi ulang juga berbeda dengan versi keluarga Brigadir Joshua yang menyebutkan adanya luka di leher, luka sayat di bawah mata, luka sayat di hidung, luka sayat di bibir, luka sayat di belakang telinga, pundak hancur, dagu bergeser, memar di rusuk, dan luka di tangan hingga kaki, di samping luka tembak di dada. Dokter Perusak? Adanya perbedaan hasil antara autopsi pertama di RSUP Polri Jakarta, pada 8 Juli 2022, dengan autopsi kedua di RSUD Sungai Bahar Jambi, pada 27 Juli 2022, itu karena kondisi jenazah Joshua yang sudah rusak berat. Kabarnya, dari beberapa bukti dan keterangan dokter forensik, karena kondisi jenazah yang sudah rusak berat itu, sehingga bukti penyiksaan secara sains tidak dapat dibuktikan. Karena itu, proses penyidikan saat ini diarahkan kepada tim dokter forensik RSUP Polri. Mereka semua berpotensi dijerat dengan pasal perusakan bukti pelanggaran hukum. Para dokter forensik itu bakal dijerat pasal perusakan bukti pelanggaran hukum. Tampaknya, jumlah tersangka perusak bukti pelanggaran hukum itu, kian panjang dan bertambah. Para dokter yang terlibat dalam autopsi pertama itu diduga melanggar sumpah profesi. Salah satu bukti pelanggaran hukum oleh para dokter forensik pertama yang merehabilitasi jenazah Brigadir Joshua, sehingga kejahatan Ferdy Sambo Cs sulit dibuktikan secara sains. Para dokter tersebut harus dijadikan tersangka. Pun dicabut status profesi dan izin dokternya. Karena, mereka telah melanggar sumpah profesi. Juga, petinggi RSUP Polri yang terlibat dalam proses rehabilitasi jenazah korban untuk menghilangkan bukti pelanggaran hukum. Menurut seorang dokter, untuk mengetahui luka yang ada di tubuh Joshua itu masih bisa identifikasi dan belum rusak. Luka dan sebagainya masih bisa dilihat. “Pemeriksaan luka bisa sampai sel,” katanya. Ia menilai, ini adalah cara kerja Allah SWT mengungkap kejahatan luar biasa yang potensinya menghancurkan bangsa ini. “Dengan pembunuhan atas alasan yang sangat sepele, sangat menjijikkan, dengan kekejian yang sangat mengerikan, sebetulnya Allah telah memberi kesempatan rakyat untuk bersikap dan bertindak. Tetapi sepertinya rakyat Indonesia sudah terbelenggu, pengecut dan hipokrit,” lanjutnya. Sebenarnya masih banyak yang bisa dipertanyakan terkait hasil autopsi atas jenazah Brigadir Joshua ini. Seperti, proyektil yang ditembakkan itu berasal dari senjata api jenis apa. Dan akan diketahui, apakah proyektil tersebut hanya berasal dari satu senjata api saja, atau lebih dari satu. Ditembak dari jarak berapa meter. Dengan fakta ada luka di leher, apakah itu memang benar-benar dari peluru? Kalau benar, koq pelurunya bisa keliling leher ya? Termasuk jari-jemari yang tergores proyektil, koq rapi sekali lukanya, dan tidak hancur? Jangan sampai ada kesan, hasil autopsi kedua ini hanya untuk menghapus jejak pembunuhan sadis dengan menganggap tak ada penyiksaan, sehingga Ferdy Sambo mendapat hukuman ringan. Vonis 5 tahun penjara! (*)
Arah Politik Anies – Puan
Kalkulasi politik Capres/Cawapres memang masih bergerak sangat dinamis, tetapi arahnya mulai bisa dibaca untuk formasi Capres/Cawapres yang akan maju ke depan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih MUNCUL foto bersama, Puan Maharani dengan Surya Paloh di NasDem Tower, Jakarta Pusat, Senin (22/8/2022). Ketua DPP PDIP yang juga Ketua DPR itu didampingi Sekjen PDIPHasto Kristiyanto dan Ketua Bappilu PDIP Bambang Wuryanto. Selain itu beberapa kader PDIP lainnya terlihat mengawal. Adakah petunjuk awal yang bisa dibaca sedang dibangun antara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Puan Maharani akan dipasangkan sebagai calon presiden dan wakil presiden di pemilihan presiden (Pilpres 2024) nanti? Rangkaian proses lobi politik tersebut diduga kuat tidak lepas dari bantuan tangan dingin politisi senior Golkar Yusuf Kalla, yang terang-terangan akan memperjuangkan Anies Baswedan bisa lolos dan memenangkan Pilpres 2024. Yusuf Kalla sepertinya sedang merencanakan lobi politik lanjutan pertemuan besar antara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati Soekarnoputri, dan Surya Paloh serta petinggi dari partai PKS dalam waktu dekat ini. Hanya JK yang bisa meredam ambisi Partai Demokrat menarik keinginannya mencalonkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), maju Cawapres pada Pilpres 2024. Juga hanya JK pula yang akan bisa meredam perseteruan SBY dengan Megawati, dengan pandangan demi masa depan bangsa Indonesia lebih baik. Pasangan Anies – Puan bisa menyatukan aspirasi rakyat khususnya aspirasi umat Islam dan nasionalis. Sekalipun di bawah masing masing pendukungnya masih berselisih tetapi relatif kecil untuk bisa diredam hingga bersatu. Sekiranya posisi itu benar-benar terwujud, maka Capres lainnya yang akan menuju di Pilpres 2024, harus berhitung politik dengan cermat dan hati-hati. Calon Presiden Prabowo Subianto yang telah menyatakan akan maju lagi pada Pilpres 2024 dan masih mencari partai lain berkoalisi dengan partai Gerindra harus berjuang keras, untuk tidak gagal lagi pada Pilpres mendatang. Calon Presiden AA LaNyalla M. Mattalitti (non unsur partai politik) cukup banyak dan besar aspirasi pendukungnya, masih banyak hambatan dengan dihadang Presidential Threshold 20 %. Kalau akan masuk bergabung dengan parpol dipastikan akan memerlukan energi politik yang cukup besar. Mengingat watak politik transaksional masih melekat pada partai politik saat ini. Kalkulasi politik Capres/Cawapres memang masih bergerak sangat dinamis, tetapi arahnya mulai bisa dibaca untuk formasi Capres/Cawapres yang akan maju ke depan. Kekuatan lain yang tidak kalah penting untuk diikuti perkembangannya yaitu peran Oligarki yang tampaknya kuasa pengendalian Capres pada Pilpres 2024 tidak semulus saat mengendalikan Jokowi. Tetap saja sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan, untuk terus diamati dan diikuti perkembangannya. (*)
UUD 1945 Versus UUD NRI 1945 (1)
Ketiga, tentang kekuasaan yang dijatuhkan, yaitu Soekarno dan Gus Dur oleh UUD 1945 Asli, apa yang salah? Dalam ilmu manajemen saja ada yang disebut reward and punishment. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta UUD 1945 yang dimaksud ialah UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Aguastus 1945. Adapun UUD NRI 1945 adalah hasil amandemen atas UUD 1945 empat kali dalam rentang waktu 1999 sampai dengan 2002. Sebelum amandemen, batang tubuh UUD 1945 terdiri atas 16 bab, 37 pasal, 65 ayat, 4 pasal aturan peralihan, dan 2 ayat aturan tambahan. Setelah 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 16 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan. UUD 1945 pada periode pertama mulai berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949. UUD 1945 dalam kurun 1945-1950 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya, karena Indonesia sedang disibukkan oleh perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Presiden Nomor X pada 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa kekuasaan legislatif diserahkan kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), karena MPR dan DPR saat itu belum terbentuk. Pada 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi Presidensial atau Semi Parlementer yang pertama. Peristiwa ini merupakan perubahan pertama sistem pemerintahan Indonesia terhadap UUD 1945. Amandemen UUD 1945 merupakan upaya penyempurnaan aturan dasar guna lebih memantapkan usaha pencapaian cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Perubahan UUD 1945 dilakukan oleh MPR sesuai kewenangannya yang diatur dalam pasal 3 dan pasal 37 UUD 1945. Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa MPR punya wewenang dalam mengubah dan menetapkan UUD.Pembukaan UUD 1945 Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di antara penjelasan tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, bahwa Undang-Undang Dasar adalah sebagian dari hukum dasar Undang-Undang Dasar suatu negara. Undang-Undang Dasar (UUD) ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya UndangUndang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak ditulis. Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitution nel) suatu neqara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya (loi Constituttionelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana praktiknya dan bagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-Undang Dasar itu. Pokok-pokok pikiran dalam “pembukaan”. Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi, negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara, menurut pengertian “pembukaan” itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Refly Harun mengemukakan beberapa poin penting tentang UUD 1945 di Forum Diskusi Ultah KAMI ke-2, pada 18 Agustus 2022. Hatta Taliwang merekam statement Refly Harun sekaligus meminta tanggapan anggota grup WA Konstitusi & Masalah Negara sebagai berikut. UUD 1945 baru beberapa bulan lahir langsung “disimpangkan” dengan keluarnya Maklumat X, sehingga kita menganut Sistem Parlementer. Hal ini tidak sesuai dengan UUD 1945 Asli. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1945 lahir kekuatan Orde Lama (ORLA) di mana rezim otoriter berlangsung. Indonesia sempat berdemokrasi pasca Orde Lama pada tahun 1966 sampai dengan 1971 di masa awal Soeharto. Setelah Pemilu 1971 dengan kekuatan mayoritas tunggal Golkar ditopang ABRI kita masuk era Otoriter Soeharto. Setelah 1998 sampai dengan sekarang kita hidup dalam alam demokrasi dengan UUD NRI 1945 hasil Amandemen. Refly Harun mengakui bahwa masalah yang terjadi sekarang ada andil konstitusinya, ada andil Undang-Undang, dan ada andil pada implentasi oleh penguasa. Bahkan dia menyebut demokrasi makin regresi dan terjadi OTG (Otoriter Tanpa Gejala). Lembaga-lembaga demokrasinya mandul, MK mandul, KPK mandul, DPD dimandulkan dari awal, KY lumpuh dari awal juga, dan Komnas-Komnas juga demikian. Dengan MK yang seperti sekarang, yang akan menjadi hakim bagi hasil Pilpres/Pemilu mendatang, tidak bisa diharapkan, karena akan selalu memenangkan rezim penguasa. Kecurangan apa pun dalam Pemilu/Pilpres tak mungkin bisa diputuskan secara adil. Tidak ada bukti UUD 1945 berhasil. Justru melahirkan 2 rezim otoriter (Soekarno dan Soeharto) dan menjatuhkan 2 Presiden, yaitu Soekarno dan Gus Dur. Jika kembali ke UUD 1945 tidak ada basis sejarah dan basis argumentasi ilmiah. Tidak pernah dipraktikkan cara memilih Presiden di MPR. Meskipun demikian, menurutnya dia menghargai pilihan mereka yg ingin Kembali ke UUD 1945, sementara ada pula yang ingin status quo. Refly sendiri ingin mengamandemen (amandemen ke-5). M. Hatta Taliwang menanggapinya demikian. Pertama, tugas generasi sekarang untuk melakukan terobosan mempraktikkan amanat UUD 1945 Asli secara benar dan baik. Kedua, menanggapi point tentang praktik UUD 1945 di masa Soekarno dan Soeharto, Refly Harun melihat seolah era itu adalah era praktik UUD 1945, karena itulah ia menyalahkan UUD 1945-nya. Padahal hemat saya era itu adalah era penyimpangan praktik UUD 1945. Orba bukan rezim UUD 1945 Asli. Bahkan dalam konteks Demokrasi, Prof. Dr. Maswadi Rauf menyebut era Soeharto bukan era Demokrasi. Rezim Soeharto bukan rezim demokrasi yang menjadi cita-cita pendiri negara. Rezim Soeharto adalah rezim militer dengan segala sifatnya. Kritik atas praktik kekuasaan yang tidak demokratis bertentangan dengan UUD 1945 itu disampaikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB) yang terdiri atas Bung Hatta, M. Natsir, Jenderal AH Nasution, dan Mr Sanusi Hardjadinata, menyusul kritik dari PETISI 50 yang dipimpin Ali Sadikin terkenal itu. UUD 1945 cuma dipakai sebagai bungkus oleh rezim militer Soeharto, dan tidak pas praktiknya untuk menilai UUD 1945 yang sesungguhnya sebagai yang dicita-citakan pendiri negara. Pasal mana di UUD 1945 yang mengistimewakan peranan TNI atau yang eksplisit menyebut boleh berkuasa seumur hidup? Era Soeharto tidak mewakili semangat dan cita-cita pendiri negara yang tertuang dalam UUD 1945. Antara ayat dan praktik UUD 1945 era Soeharto menurut tokoh-tokoh bangsa saat itu tidak selaras. Jadi, yang salah UUD 1945 atau Aktor Penguasanya? Masih menurut M. Hatta Taliwang, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soekarno bagai kuda lepas dari tali ikatannya. Setelah 10 tahun hanya jadi simbol dari UUD 1950 dalam sistem parlementer, dengan Dekrit merasa punya kekuasaan riel lagi. Soekarno memperkenalkan konsepsi baru Demokrasi Terpimpin. Dengan itulah Soekarno mulai memusatkan semua kekuasaan di tangannya, termasuk menjadi Panglima Tertinggi ABRI, Ketua MPRS merangkap jadi Menteri, Ketua Mahkamah Agung merangkap jadi Menteri. Di pasal mana UUD 1945 membolehkan perangkapan demikian? Praktik Soekarno berkuasa itu dikritik habis oleh Bung Hatta dengan tulisannya yang terkenal, Dekokrasi Kita. Juga dikritik oleh Liga Demokrasi pimpinan Jend. Soekendro. Artinya, ada pendiri negara yang lain yang menganggap bahwa Bung Karno berkuasa mengabaikan pesan UUD 1945 Asli. Jangan dicampur aduk antara cita-cita negara dalam UUD 1945 dengan praktik-praktik menyimpang dari penyelenggara negara dengan ambisi pribadinya. Sungguhnya UUD 1945 itu belum pernah secara baik dipraktikkan oleh penguasa setelah merdeka. Tugas generasi kini untuk mempelajari dengan lebih baik bagaimana isi pesan UUD 1945 dan bagaimana mempraktikkan dalam kekuasaan dengan lebih baik. Ketiga, tentang kekuasaan yang dijatuhkan, yaitu Soekarno dan Gus Dur oleh UUD 1945 Asli, apa yang salah? Dalam ilmu manajemen saja ada yang disebut reward and punishment. Penghargaan untuk yang berjasa dan berprestasi, dan hukuman bagi yang melanggar dan bersalah. Menaikturunkan Presiden itu sesuatu yang normal dalam manajemen negara modern. Praktik memilih Presiden ala UUD 1945 pernah dilakukan ketika MPR RI memilih Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden. (*)
Tragedi Pembunuhan KM 50 Wajib Diusut Kembali
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan KATA \"wajib\" bagi muslim adalah kategori hukum yang sangat penting bahkan berat. Dikerjakan berbuah pahala (reward) ditinggalkan berdosa dan bersanksi (punishment). Dalam makna yang umum \"wajib\" adalah keharusan atau sesuatu yang tidak boleh tidak. Fakta sebenarnya dari kasus penyiksaan dan pembunuhan 6 laskar FPI oleh aparat adalah wajib untuk dibuka karena selama ini nampaknya tertutup, terkesan rekayasa dan dilakukan proses peradilan pura-pura. Wajibnya menguak fakta adalah tuntutan rakyat demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Kasus Km 50 adalah kejahatan kemanusian (crime against humanity). Terbongkarnya kejahatan Duren tiga yang berskema mirip Km 50 mendasari kuatnya dorongan untuk membuka dan membongkar kembali kasus Km 50 yang saat itu ditangani dengan penuh rekayasa dan dalam peradilan sesat. Kapolri Jenderal Listyo Sigit di depan Komisi III DPR menyatakan kasus Km 50 dapat dibuka kembali jika ada bukti baru atau Novum. Menurutnya ia masih menunggu proses peradilan yang kini masih di tingkat kasasi. Terhadap proses peradilan ini tentu publik tidak bisa berharap banyak karena sejak awal juga sudah salah. Perlakuan kepada terdakwa dua anggota Polisi itu luar biasa sangat istimewa. Kasus yang jelas pembunuhan akan tetapi ternyata keduanya tidak ditahan dan bebas berkeliaran. Demikian juga untuk Novum tidaklah perlu karena masalahnya adalah tidak tuntasnya penyidikan. Banyak bukti yang belum tergali atau disembunyikan. Dalam kasus Km 50 ini tidak perlu temuan bukti baru (Novum) bukti yang ada saja sengaja untuk tidak dibuka dan dituntaskan. Sebagai contoh disembunyikan atau tidak dibukanya bukti-bukti yang ada, antara lain : Pertama, terjadinya obstruction of justice melalui skenario \"tembak menembak\" dengan bukti palsu. Tampilan empat pejabat saat konperensi pers adalah fakta kebohongan. Siapa sebenarnya pengarang cerita itu ? Irjen Fadil Imran Kapolda Metro Jaya, Mayjen Dudung Abdurahman Pangdam Jaya, Brigjen Hendra Kurniawan Karo Paminal Propam Mabes Polri, atau Kombes Yusri Yunus Kabid Humas Polda Metro Jaya ? Atau ada pengarang lain di luar keempatnya yang terlibat? Kedua, mobil-mobil dengan penumpang yang masih tersembunyi. Mobil Land Cruiser hitam sebagai \"mobil komando lapangan\" dengan penumpang yang patut diminta pertanggung jawaban. Lalu dua mobil Avanza hitam B 2739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJL. Komnas HAM (yang diduga mengetahui) telah merekomendasi agar penumpang ketiga mobil tersebut diusut dan diproses hukum. Ketiga, penghilangan dan perusakan alat bukti seperti CCTV, penghapusan rekaman HP, dan penghancuran rest area Km 50. Semua itu bukan saja obstruction of justice tetapi juga suatu kejahatan yang terancam pidana. Baik pelaku maupun penyuruh. Mudah sebenarnya untuk mengusut hal ini jika memang ada kemauan. Dan hal ini tidak perlu Novum karena sudah ada bukti yang terserak sejak dulu kala. Keempat, bekas penganiayaan yang terlihat pada keenam jenazah. Penyembunyian yang diduga terjadi saat dilakukan otopsi (yang tanpa izin keluarga) adalah bukti yang mesti dibongkar kembali. Bukankah dakwaan JPU di pengadilan untuk terdakwa Fikri dan Yousman itu di samping pembunuhan (338 KUHP) juga penganiayaan yang menyebabkan kematian (351 ayat 3 KUHP) ? Dimana lokasi keenamnya dianiaya ? Km 50 wajib diusut kembali apalagi dengan terbongkarnya kerja dari Satgassus Polri yang dikomandani Irjen Ferdy Sambo. Beberapa personal yang ditahan dalam kasus Duren Tiga seperti Brigjen Hendra Kurniawan dan AKBP Handik Zusen ternyata berada juga di \"ruang\" Km 50. Sekali lagi penting mendesak Presiden Jokowi agar segera menginstruksikan Kapolri untuk membuka kembali atau menuntaskan pengusutan kasus Km 50. Jangan biarkan misteri tetap melayang-layang. Kebenaran dan keadilan harus ditegakkan. Hukumnya adalah wajib. Bandung, 25 Agustus 2022
Anies dan Puan, Pasangan Ideologis dan Relevan
Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI SAMPAI saat ini, begitu sangat resisten reaksi kedua kubu pendukungnya, ketika ada upaya Anies dan Puan dipasangkan sebagai capres-cawapres pada Pilpres 2024. Ada dilematis ketika idealisme dikawinkan dengan realitas politik. Terkendala dan pasrah oleh keadaan, atau lapang dada merajut kebersamaan untuk meraih kemenangan. Sementara, demokrasi yang kapitalistik dan transaksional tak peduli kekuasaan direngkuh dengan cara yang humanis atau machiavellis sekalipun. Perbedaan latar belakang, struktur sosial dan behavior, kerapkali mengemuka dan menjadi alasan Anies dan Puan begitu ditentang, khususnya di kalangan akar rumput pendukungnya. Benarkah demikian?, mungkin ini menjadi menarik dibahas secara lebih lugas, rasional dan terukur. Kalau memang ada perbedaan mendasar dan prinsip di antara Anies dan Puan, kenapa tidak dicari kesamaan dan kecocokannya, agar keduanya menjadi harmonis dan selaras bagi perjalanan politik ke depannya. Jangankan hanya dua sosok, republik yang lebih kompleks masalahnya ini juga didirikan dari bangunan perbedaan yang paling prinsip dan fundamental, namun bisa disatukan oleh konsensus nasional. Tentu saja semua paham bahwa para pendiri bangsa telah bersepakat, perbedaan mendasar soal suku, agama, ras dan antar golongan dapat dipersatukan dengan terwujudnya Pancasila, UUD 1945 dan NKRI hingga bisa dinikmati hingga saat ini. Memori bangsa ini tak akan pudar, ketika para ulama dan pemimpin umat tulus dan hikmad dalam musyawarah BPUPKI tahun 1945, ketika Piagam Jakarta pada akhirnya melebur dalam prinsip-prinsip negara Pancasila dan bukan sebagai negara agama. Meskipun menjadi persoalan yang substansi dan membutuhkan ekstra perhatian khususnya bagi partai politik dan pendukungnya, untuk mempertemukan Anies dan Puan sebagai pasangan ideal dalam panggung pilpres 2024. Secara personifikasi mungkin ada, sama halnya dengan pasangan capres siapapun lainnya, karena setiap figur memiliki eksistensi dan karakternya masing-masing. Namun teruntuk Anies dan Puan, keduanya relatif tidak memiliki kendala yang berarti, jika dipasangkan dalam kontestasi pemilihan presiden paling krusial sekaligus eksotis bagi masa depan Indonesia. Anies dan Puan akan bertumbuh simpati, empati dan apresiasi publik, mengingat kedua figur pemimpin tersebut sama-sama memiliki loyalis dan kalangan \"die hard\" tersendiri. Secara aspek historis dan ideologis, Anies dan Puan yang akan menjadi pengantin politik pilpres itu justru menjadi kekuatan signifikan dan paling berpengaruh. Keduanya mewarisi trah pemimpin yang tak bisa diabaikan bahkan menjadi tolok ukur bibit, bebet dan bobot dari budaya Jawa yang sudah menjadi representasi politik nasional. Puan yang cucu Bung Karno dan Anies yang cucu AR Baswedan, merupakan generasi yang layak mendapat panggung politik nasional untuk meneruskan estafet kepemimpinan dan mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang telah dicanangkan oleh generasi terdahulu. Meneruskan spirit kebangsaan sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang pondasinya telah diletakan oleh para pejuang dan pahlawan, termasuk dari kakeknya Anies dan Puan. Sementara itu dalam tatanan ideoligi, Anies dan Puan cenderung menjadi sinergi dan elaborasi dari kekuatan nasionalis dan agama. Kedua hubungan aliran ideologi dan politik yang dalam satu dekade ini begitu tajam pasang surutnya, berpotensi menemukan momentum politik yang kondusif melalui kolaborasi Anies dan Puan. Puan sebagai putri Megawati yang menjadi lokomotif dari gerbong nasionalis, marhaenis dan Soekarnois. Akan semakin kuat dan menentukan dalam memenangkan pilpres 2024 jika dipasangkan dengan Anies yang kini semakin populis dan didukung oleh basis politik entitas Islam termasuk dari tokoh dan basis NU dan Muhamadiyah. Meskipun mendapat sokongan umat Islam, figur moderat Anies yang berlatar pendidikan di Amerika, menjadi pasangan sejoli buat Puan yang kental dengan nasionalis sekuler, sebagian politik tradisional dan Islam abangan. Anies dan Puan seperti mewakili keintiman ideologi nasionalis dan Islam. Keduanya juga menjadi cermin dari kekuatan partai politik besar dan paling berpengaruh serta euforia rakyat yang menginginkan figur pemimpin yang mampu merangkul kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa. Pasangan Anies dan Puan bukan saja otentik, lebih dari itu menjadi kompromi paling bijak dan solutif dari krisis kepemimpinan dan karut-marutnya politik yang melanda kekinian Indonesia. Setidaknya ada simbiosis mutual antara Megawati Soekarno Putri atau PDIP dengan Anies Rasyid Baswedan jika terjadi kesepakatan. Megawati dapat menyiapkan transisi kepemimpinan dan melanggengkan politik trahnya sekaligus sekoci kepada Puan terhadap PDIP, Anies dapat melewati aral rintangan terberat berupa \"password\" kendaraan politiknya. Terkait transformasi nilai-nilai, edukasi dan rasionalisasi Anies dan Puan terhadap kemungkinan terjadinya penolakan dan migrasi dukungan politik dari masing-masing grass root. Bagi Anies dan Puan serta irisan keduanya, memang membutukan proses dan pendekatan yang elegan untuk menjawab dan mengantisipasinya. Namun seiring waktu dan perlahan, konstelasi dan konfigurasi politik nasional pada situasi dan kondisi tertentu, akan mendorong pilihan yang terbaik yang mendesak untuk menyelamatkan pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Para petinggi partai politik dan elit kekuasaan, khususnya dari PDIP yang memahami dan akrab dengan kultur \"patron klain\" rakyat Indonesia. Selayaknya menjadikan Anies dan Puan sebagai pasangan capres paling potensial dan mampu memenangkan hati rakyat, menjadi pilihan yang tak terhindarkan lagi. Bagi PDIP maupun partai politik lainnya, tak ubahnya memasuki fase \"to be or not to be\", pilihan Anies dan Puan menjadi upaya paling elegan, cerdas dan bermartabat dalam pilpres 2024. Tentunya, selain untuk kebaikan masa depan negara dan bangsa Indonesia, pilihan Anies dan Puan sebagai pasangan capres-cawapres juga berarti mendongkrak suara partai politik yang mengusung keduanya. Seandainya, domain Anies dan Puan beserta masing-masing irisannya memahami dan dapat memaknai perbedaan antara politik idealis dan politik realitas. Seandainya kedua kubu masing-masing berjiwa besar dan legowo mendukung Anies dan Puan. Maka pilpres 2024 dan efek kekuasaan yang dihasilkannya, akan menjadi mahfum bagi semua pihak dinilai sebagai alat untuk merangkai idealisme. Jadi, bersemangat dan yakinlah para nasionalis religius dan religius nasionalis. Anies dan Puan sejatinya merupakan pasangan ideologis dan relevan. Munjul-Cibubur, 25 Agustus 2022.
Kapolri Undur Diri, Itu Baru Presisi
Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI KETIKA terlontar pernyataan ikan busuk mulai dari kepalanya, maka sekarang menjadi relevan buat kapolri membuktikan komitmen dan konsistensi pada ucapannya sendiri. Sebagai pemimpin institusi Polri, Jenderal Sigit sulistyo bukan hanya berwenang mengendalikan dan menentukan performans korps Bayangkara itu. Ia juga harus bertanggungjawab terhadap baik-buruknya kinerja kepolisian. Tak ada kegagalan dan kesalahan anak buah, kecuali berasal dari ketidakmampuan pemimpinnya. Terlepas adanya konstelasi yang menggunakan istilah perang bintang dan peran mafia dalam polri. Kasus Ferdy Sambo seperti menjadi puncak krisis dan kekisruhan yang menjadi aib bagi lembaga yang sejatinya melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Polri seakan mencapai klimaks dari runtuhnya kepercayaan publik. Meski tak bisa dipungkiri, masih banyak polisi jujur dan baik yang setia kepada rakyat dan negara. Sulit membangun citra Polri yang mengalami distorsi dan terdegradasi secara struktural, sistemik dan berlangsung masif sejak lama. Karakter yang coba dimunculkan melalui slogan prediktif, responsibility, transparan dan berkeadilan (presisi). Patut dihargai dan diapresiasi publik sebagai langkah progressif revolusioner dalam memulihkan dan mereformasi Polri. Dengan tugas berat menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat serta fungsi penegakan hukum di satu sisi, di lain sisi Polri mendapat tantangan yang tidak mudah dalam membenahi jajaran internalnya baik secara personal maupun institusional. Ada \"good will\" dan \"political will\" dari Polri memperbaiki lembaga negara yang langsung di bawah presiden itu, meski pada akhirnya menjadi hegemoni sekaligus korban politisasi dari kepentingan kekuasaan. Kasus Ferdi Sambo menggelinding menjadi titik nadir kenistaan Polri. Polri pernah menjadi fenomenal sekaligus historis karena Pak Hoegeng, mantan kapolri yang jujur dan berwibawa. Polri juga sempat mendapat kritik, satir dan sinis dari Gusdur yang pernah menjadi presiden RI, dengan menyebut hanya ada tiga polisi yang baik yaitu Pak Hoegeng, patung polisi dan polisi tidur. Seharusnya, stigma dan stereotif itu menjadi cambuk juga effort bagi perubahan Polri yang lebih baik. Layaknya jargon revolusi mental yang digaungkan Jokowi, yang dianggap dekat dan memberikan kewenangan tak terbatas dalam sosial hukum, sosial politik, sosial ekonomi dan sosial keamanan kepada Polri. Alih-alih tampil trengginas, Polri justru tampil geragas gagal memafaatkan previlage dan menjadi anak emas presiden. Boleh jadi tereduksinya Polri menjadi representasi Jokowi yang penuh ironi dalam memimpin negara ini. Kini, Polri seperti harus menghadapi situasi dan kondisi yang berada pada \"point of no return\", untuk menyelamatkan institusi, rakyat, negara dan bangsa. Tak cukup sekedar operasi bersih-bersih diri dari polisi bertabiat penghianat dan yang menjadi irisan mafia atau oligarki. Polri yang telah menjadi bagian dari sindikasi penjahat yang membajak konstitusi dan memengaruhi politik kekuasaan. Tidak ada pilihan lain, selain merombak total personal dan sistem yang ada pada polri. Begitupun negara dan semua kewenangan yang kompeten terhadap Polri, termasuk presiden dan DPR harus berani membuang orang jahat dan menyelamatkan orang baik secara terintegrasi dan komprhensif di kesatuan korps kepolisian yang ada tanpa terkecuali. Jika ingin mendapatkan, setidaknya melihat ada peluang untuk \"blessing in the sky\" dalam rangka menghidupkan dan mengembalikan nama baik Polri di mata rakyat. Sepatutnya, Ferdi Sambo dan komplotannya, semua yang bersentuhan dengan domain interest dan konflik kepentingan internal, serta akses dan sumber cengeraman oligarki harus diamputasi. Termasuk semua petinggi Polri yang terkontaminasi dan memainkan peran \"the invicible hand\". Jika terbukti dan valid data keterlibatannya, para mantan kapolri termasuk kapolri yang menjabat sekarang dimana kasus Ferdy Sambo menguak, mutlak diambil tindakan tegas. Khususnya Kapolri yang mustahil tidak berkomunikasi, berkoordinasi dan berkonsolidasi selama ini, dimana konspirasi kejahatatan yang menjangkiti Polri bukanlah terjadi dengan proses yang singkat dan berdiri sendiri. Demi keselamatan Polri serta demi keselamatan rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Seandainya ilustrasi hewan yang tak bermoral itu bisa dipakai, bahwasanya ikan busuk dimulai dari kepala. Menjadi kehormatan, martabat dan harga diri sekaligus pertanggungjawaban moral, bagi kapolri untuk undur diri dari jabatannya. Karena kapolri undur diri, itu baru presisi. Rasa -rasanya terlalu lama menunggu hingga Jokowi undur diri. Munjul, Cibubur - 24 Agustus 2022.
Savak dan Negara Polisi
Oleh Arief Gunawan (Pemerhati Sejarah) SEJARAWAN Harry Poeze menyebut rezim Hindia Belanda (1800-1949) sebagai era Politiestaat, alias era Negara Polisi, yang oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer kehidupan pribumi kala itu dilukiskan bagaikan tinggal di sebuah Rumah Kaca. Politiestaat menekankan Rust en Orde (Ketenangan dan Ketertiban). Atas nama jargon ini di era 1920-an polisi kolonial menindas para tokoh pergerakan kemerdekaan. Sedangkan KNIL berperan menumpas perlawanan rakyat di sejumlah daerah. Agresi Militer Pertama dan Kedua Belanda (1947-1948) yang dikecam oleh dunia internasional dihaluskan dengan istilah Aksi Polisionil. Sebuah eufemisme untuk menempatkan tokoh-tokoh seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan lainnya, seolah kriminal belaka, yang mengganggu Rust en Orde. Waktu Dinasti Pahlavi berkuasa di Iran, 1950-an sampai 1979, sistem Politiestaat dipraktekkan. Savak (Sazeman-e Ettela’at va Amniyat-e Keshvar), alias dinas polisi rahasia dan intelijen Iran, dipakai buat menopang rezim yang lemah. Sekaligus untuk mengawasi dan menekan para tokoh kritis yang mengoreksi kesalahan pemerintah. Dinas polisi rahasia ini ditakuti karena sangat terkenal dengan kebengisannya dalam menyiksa dan mengeksekusi, serta memiliki puluhan ribu agen dengan berbagai peran. Tatkala pecah Revolusi Iran yang berujung kejatuhan Reza Pahlavi, Savak digambarkan sebagai institusi yang paling dibenci oleh rakyat, karena membekaskan banyak trauma akibat tindakan kejam yang dilakukan. Dalam menjalankan operasinya organisasi ini dipimpin oleh seorang jenderal polisi Iran di bawah mentor dinas rahasia CIA dan Mossad Israel. Savak yang merupakan peliharaan dinasti Pahlavi juga disebut merampas satu miliar dolar kekayaan negara yang mereka simpan di luar negeri. Bagaimana kepolisian di era kolonial Hindia Belanda ? Sejarawan Marieke Bloembergen di dalam buku “Polisi Zaman Hindia Belanda” mengatakan, orang Belanda memberlakukan Politik Etis tapi tetap ingin mempertahankan status quo dengan menggunakan polisi. Manfaat sosial polisi waktu itu cukup menonjol, selain menjaga Rust en Orde, polisi juga memastikan warga untuk menjaga kebersihan pekarangan rumah, tidak membiarkan ternak berkeliaran, menjaga ketenangan jam istirahat pada malam hari, dan peran-peran lainnya, yang menggambarkan upaya untuk mengadabkan (civilize) masyarakat sipil menurut ukuran Eropa. Pada masa itu ada banyak bentuk polisi. Antara lain cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), stands politie (polisi kota), hingga veld politie (polisi lapangan). Sedangkan jabatan kepolisian tertinggi ialah hood agent setingkat bintara, inspecteur van politie, dan commissaris van politie yang hanya untuk orang Belanda. Golongan pribumi hanya boleh memegang jabatan tertentu seperti mantri polisi atau wedana polisi. Kecuali anak priyayi ningrat yang diberikan privilege untuk menjadi petinggi polisi. Polisi di Hindia Belanda, menurut Marieke Bloembergen, adalah produk yang lahir dari ketakutan dan kepedulian orang Belanda sendiri di Hindia Belanda. Mereka was-was karena bagaimana pun mereka tinggal di sebuah negeri yang asing, di mana masyarakat di sekeliling mereka mempunyai budaya dan pemahaman lain terhadap komunitas kulit putih. Karena itu mereka membutuhkan polisi untuk mendapatkan rasa aman. Menurut sejarawan Margreet van Till di dalam buku “Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api”, saat reorganisasi kepolisian dilakukan antara 1904 dan 1916 di kalangan bumiputera untuk pertamakalinya muncul ekspresi emansipasi politik, antara lain lahir Budi Utomo dan Sarekat Islam. Pada periode ini polisi kolonial mulai memiliki seragam secara modern, tinggal di barak-barak, mendirikan sekolah teknik kepolisian, dan semakin banyak orang Eropa yang jadi polisi. Momentum lain ialah didirikannya PID (Politieke Inlichtingen Dienst) atau Dinas Intelijen Politik, Hindia Belanda, yang beranggotakan para polisi. Di masa ini untuk pertamakalinya pula diperkenalkan daktiloskopi, yaitu ilmu tentang sidik jari. Disusul pemberlakuan Wetboek van Stafrecht, alias KUHP, pada 1918. Cita-cita luhur berdirinya kepolisian nasional banyak bersumber dari para tokoh sipil yang merupakan pejuang kemerdekaan. Di antaranya Mohammad Yamin, Sutan Sjahrir, dan beberapa lainnya. Sutan Sjahrir misalnya menekankan pentingnya sebuah Polisi Negara yang berorientasi kepada keamanan sipil dengan mengedepankan humanisme. Saat meresmikan sekolah kepolisian nasional di Magelang, pada 1946, Perdana Menteri pertama RI itu mengamanatkan hal ini kepada Kepala Jawatan Kepolisian Negara Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kapolri pertama RI). Penekanannya adalah Polisi Negara bukan Negara Polisi (Politiestaat). Polisi Negara adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, dalam rangka terpeliharanya keamanan di dalam negeri. Sedangkan Mohammad Yamin tak kurang pula jasa-jasanya terhadap kepolisian nasional. Dengan pengetahuannya yang luas ia menginspirasi lahirnya konsepsi tentang Bhayangkara dan sosok Gajah Mada sebagai abdi negara yang ideal. Namun setelah gegap-gempita kemerdekaan yang melahirkan semangat dekolonisasi dan restrukturisasi terhadap kepolisian ternyata terjadi diskontinuitas. Karena upaya untuk membentuk dan membangun organisasi kepolisian baru yang berciri humanis tidak disertai dengan perubahan fundamental. Politisasi dan karakter militeristik malah semakin terlihat kuat saat ini. Inner world atau dunia batinnya, memakai istilah sejarawan Peter Britton, cenderung dijiwai oleh mentalitas jago. Jago, menurut Peter Britton, adalah jawara lokal yang dalam tindakannya terhadap masyarakat dibayar oleh pihak yang punya uang. ***