OPINI

Selamat Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dirgahayu NKRI Ke-77

Pak SBY dan Mas AHY (Agus Harymurti Yudhoyono), saya percaya didikan dari AMN atau AKABRI Magelang bisa mewujudkan dengan perbuatan “NKRI Harga Mati”. Oleh: Widi Agus Pratikto, Guru Besar ITS Surabaya ATAS Rachmat Allah, serta perjuangan dan pengirbanan Rakyat Indonesia maka Kita Merdeka. Kemerdekaan diperoleh dengan pengorbanan luar biasa dari seluruh rakyat NKRI. Indonesia kini sedang sakit dan tidak biasa. Kedepan Tokoh Nasional dan Tokoh Partai akan menentukan arah negara dan bangsa.. Ibu Megawati, Pak SBY, Pak Prabowo, Pak A Syaichu, Pak Surya Paloh, dan lainnya, mohon kiranya mengutamakan NKRI kedepan, daripada memikir diri sendiri atau partainya. Saya Widi Agus Pratikto, pernah membantu Ibu Megawati, Bapak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Bapak Djoko Widodo melalui Kementerian Kelautan dan Kementerian Luar Negeri. Mohon berkenan Ibu dan Bapak sekalian bisa meneropong ke depan mengenai permasalahan bangsa dan negara Indonesia. Bapak Djoko Widodo dan Bapak Prabowo Subianto – Rival dan Kawan – juga dahulu kami pernah mendukung. Kami ketemu Pak Prabowo di Pulau Madura. Kami membantu Pak Djokowi dalam forum Internasional bersama sahabat-sahabat di Kementerian Luar Negeri. PNG, Solomon, Vanuatu dan lain-lain adalah bahagian dunia ke depan yang harus memperoleh atensi Indonesia. Mohon Bapak dan Ibu sekalian bisa Berperan “Madeg Pandito”, sehingga Indonesia bisa mengedepankan Kemaslahatan Rakyat NKRI. Wabil khusus untuk Bapak Prabowo, sekarang Menteri Pertahanan NKRI, sehingga memahami betul situasi NKRI, kami mohon dengan hormat Bapak berkenan menjadi Guru Politik dan Negara untuk kita semua. Pak Surya Paloh, penyemangat bangsa sudah waktunya Bapak memegang janji-janjinya guna meng-implementasikan kebaikan untuk NKRI. Pak Achmad Syaichu, senang kiranya Bapak mengawal dengan Istiqomah PKS yang selalu mengetengahkan Amar Makruf Nahi Munkar. Pak SBY dan Mas AHY (Agus Harymurti Yudhoyono), saya percaya didikan dari AMN atau AKABRI Magelang bisa mewujudkan dengan perbuatan “NKRI Harga Mati”. Mohon doa Para Sahabat, para Paderi, Para Alim Ulama, Para Tokoh Bangsa dan Tokoh Agama kita jaga pada 2024 menjadi Perwujudan Pengorbanan Kita untuk NKRI. Semoga Allah Taala, menijabahi Permohonan kami dan kita semuanya. Aamiin Yaa Robbal Alamin. Salam Sehat dan MERDEKA! Surabaya, 16 Agustus 2022. (*)

Kemerdekaan dan Maqashid As-Syari’ah

Saya akhiri dengan mengingatkan kita semua bahwa esensi dasar dari Kemerdekaan itu ada pada deklarasi “Laa ilaaha illa Allah-Muhammad Rasulullah”. Oleh: Imam Shamsi Ali, Warga Indonesia, Imam di kota New York dan Presiden Nusantara Foundation USA BANGSA Indonesia kembali menyambut hari ulang tahun RI dengan riang dan penuh semangat. Beragam aktivitas dipersiapkan. Dari upacara bendera pada hari H hingga berbagai perlombaan menjelang hari peringatan peristiwa penting bangsa ini. Di tengah kegembiraan ini tentu ada baiknya kita bersama kembali merenungi makna dan hakikat dari Kemerdekaan yang kita rayakan. Hal ini menjadi penting agar perayaan itu tidak menjadi sekedar acara seremonial tahunan yang membawa kehampaan. Kemerdekaan dalam pertimbangan Maqashid as-Syaria’ah. Maqashid As-Syari’ah atau hal-hal yang dituju atau yang ingin dicapai dengan Syari’ah Islam menjadi sangat penting dalam membicarakan kemerdekaan. Urgensi ini minimal karena dua alasan: Pertama, karena memang Syari’ah seringkali dipahami secara literal dan sempit, baik oleh sebagian Umat Islam maupun non Muslim. Akibatnya Syariah seringkali menjadi momok yang menakutkan banyak orang. Kedua, untuk menyampaikan bahwa Syariah justru berbalik dari sangkaan sebagian yang masih memandangnya dengan pandangan negatif. Satu diantaranya seolah Syariah itu bertentangan dengan HAM, termasuk kebebasan. Padahal Syariah justru sebenarnya “jalan untuk tegaknya HAM dan kebebasan”. Jika kita ambil garis lintas, Maqashid as-Syariah dan Kemerdekaan tersebut merupakan dua entitas yang senyawa. Semua elemen atau anasir Maqashid as-Syariah secara mendasar juga menjadi tujuan utama dari deklarasi kemerdekaan. Yang berbeda hanya pada kisaran teknikalitas untuk mencapai tujuannya masing-masing. Sebagaimana disepakati oleh para Ulama Islam, khususnya para ahli di bidang hukum Islam atau Syariah, ada lima tujuan utama dari penerapan hukum Islam yang lebih dikenal dengan istilah Maqashid as-Syariah. Ketujuh tujuan itu adalah: Hifzul hayaah (menjaga kehidupan); Hifzu ad-diin (menjaga agama); Hifzul ‘Irdh (menjaga kehormatan); Hifzul ‘aqal (menjaga akal); Hifzun nasl (menjaga keturunan). Jika kita kaitkan dan coba pahami makna Kemerdekaan dengan memakai kacamata Maqashid as-Syariah ini maka akan ditemukan sebuah pemahaman hakikat Kemerdekaan yang begitu dalam dan sempurna. Mungkin banyak yang belum sempat memikirkan betapa agama secara umum dan Syariah secara khusus memiliki ikatan makna dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga sangat wajar jika tujuan Kemerdekaan sesungguhnya memiliki ikatan yang kuat dengan Maqashid as-Syariah itu. Merdeka Itu Hidup Jika merujuk pada tujuan pertama Syariah, yaitu menjaga kehidupan, maka sejatinya Kemerdekaan itu juga merupakan bagian dari esensi kehidupan. Orang yang tidak merdeka sesungguhnya secara esensi sedang mengalami kematian. Dan karenanya memperjuangkan Kemerdekaan itu adalah juga memperjuangkan lehidupan. Maka lebih jauh dapat dipahami bahwa mereka yang rela dijajah atau diperbudak, sebenarnya mereka sedang kehilangan kehidupannya yang hakiki. Itulah yang menjadikan Bilal bin Rabah merasa lebih nyaman dan kuat di saat telah masuk Islam karena dengan Laa ilaaha illa Allah. Bahkan di saat-saat tersiksa sedemikian dahsyatnya. Berbicara tentang kehidupan tentu bukan sekedar karena bernafas. Makna kehidupan di sini juga mencakup ekonomi dan segala yang terkait dengannya. Karenanya tujuan Syariah menjaga kehidupan juga tidak terlepas dari pentingnya menjamin kehidupan perekonomian manusia. Demikian hendaknya kemerdekaan juga mutlak dipahami sebagaj hadirnya jaminan ekonomi bagi warga negara. Jangan sampai di satu sisi ada pengakuan Kemerdekaan. Tapi di sisi rakyat tidak merasakan jaminan ekonomi itu. Merdeka Itu Beragama Merujuk kepada pokok kedua dari Maqashid as-Syariah maka sejatinya merdeka itu tidak bisa dipisahkan dari agama/keyakinan (religion/faith). Beragama itu adalah bagian dari kehidupan manusia yang integral. Dalam bahasa agama itu sendiri disebutkan bahwa manusia itu memiliki kefitrahan. Dan kefitrahan itulah agama (dzalika ad-diin Al-qayyim). Oleh karenanya, Kemerdekaan yang diproklamasikan harus menjadikan agama terjamin dan memberikan ruang luas untuk perkembangannya. Pengakuan kemerdekaan tapi pada saat yang sama melakukan supresi kepada agama dan pemeluknya menjadikan kemerdekaan itu tidak bermakna. Syariah hadir untuk menjaga agama (hifzud diin). Maka Kemerdekaan juga terjadi agar kebebasan dalam menjalankan agama demi menjaga kefitrahan manusia. Merdeka Itu Kehormatan Pokok ketiga dari Maqashid as-Syariah adalah hifzul ‘Irdh atau menjaga kehormatan manusia. Sebagian ulama menyebut bagian ini secara spesifik dengan menjaga keturunan (hifzun nasl). Sehingga larangan zina misalnya menjadi aturan baku dalam Syariah. Kehormatan tentu tafsirannya banyak. Tapi, salah satu yang paling mendasar adalah nilai-nilai moralitas dalam kehidupan manusia. Moralitas itu dijunjung tinggi karena menyangkut kehormatan hidup manusia. Jika merujuk pada pokok tujuan Syariah tersebut, maka Kemerdekaan harus menghadirkan jaminan integritas moral. Moral menjadi modal utama dalam membangun kehidupan publik. Termasuk di dalamnya tanggung jawab publik para pemegang amanah. Karenanya merdeka tetapi praktek korupsi merajalela menandakan esensi Kemerdekaan masih belum terwujud. Demikian pula mengaku merdeka tapi praktek-praktek immoralitas cenderung menjadi sesuatu yang biasa saja, termasuk pergaulan lawan jenis bebas (zina) berarti ada yang salah dengan pengakuan kemerdekaan. Tapi secara khusus, jika kita pahami bagian ini dengan menjaga keturunan (hifzun nasl), maka kaitannya dengan Kemerdekaan jelas dimaknai sebagai hadirnya jaminan masa depan generasi. Jaminan ini tentunya mencakup jaminan politik, pendidikan dan tidak kalah pentingnya adalah jaminan ekonomi masa depan generasi bangsa. Jangan sampai hawa nafsu bahkan keegoan untuk membangun, tapi dengan hutang yang tidak terkendali. Akibatnya generasi masa depan akan terbebani dengan beban ekonomi yang tidak ringan. Merdeka Itu Berakal Pokok kelima dari Maqashid as-Syariah (tujuan Syariah) adalah menjaga akal. Tentu kata akal (aql) di sini bermakna luas, termasuk pemikiran, ilmu, bahkan opini atau pendapat. Maka pada kaitan ini Kemerdekaan itu menghadirkan sebuah jaminan berkembangnya ilmu pengetahuan secara umum. Kemerdekaan bahkan lebih jauh harus menjamin kebebasan berpikir dan mengembangkan pemikiran. Sehingga memungkinkan terjadinya berbagai inovasi dalam kehidupan bangsa. Tapi tidak kalah pentingnya juga hidzul aql dalam konteks Kemerdekaan adalah pentingnya jaminan beropini/berpendapat. Bahkan pendapat yang sekalipun berbeda dan berseberangan dengan posisi kekuasaan penting untuk terjamin. Begitu banyak contoh dalam sejarah Islam, termasuk bahkan Bagaimana para sahabat berbeda pendapat dengan Rasulullah dalam hal-hal teknis keduniaan. Apalagi dalam konteks kehidupan berbangsa yang telah bersepakat untuk mengadopsi Demokrasi sebagai pegangannya. Merdeka Itu Menjamin Kepemilikan Pokok terakhir dari Maqashid as-Syariah adalah jaminan kepemilikan. Maka dalam Syariah mencuri itu diharamkan. Bisnis dimotivasi dan riba juga telah diharamkan karena dengan bisnis kememilikan terjamin. Dengan Riba itu pastinya seseorang akan menjadi objek dari pemilik modal. Jika hal ini dikaitkan dengan Kemerdekaan maka merdeka itu juga berarti hadirnya rasa kepemilikan (sense of ownership). Tentu dimulai dari kepemilikan negara itu sendiri. Tapi lebih jauh Kemerdekaan harus memberikan ruang yang luas kepada bangsa untuk menjadi pemilik negara dan isinya. Jika diambil satu contoh saja maka hal ini akan menjadi jelas. Dalam hal kepemilikan tanah misalnya, Kemerdekaan sejati harus dimaknai sebagai jaminan bahwa rakyat banyak harus memiliki akses yang luas untuk memilki tanah di negaranya sendiri. Jika Kemerdekaan yang dirayakan dengan penuh kegembiraan ini tapi kepemilikan tanah ada di tangan segelintir orang maka esensi Kemerdekaan masih harus diperjuangkan. Demikianlah makna Kemerdekaan dalam perspektif Maqashid as-Syariah. Dengan pemaparan ini Semoga kealergian bahkan phobia kepada Syariah tidak lagi berlebihan. Syariah hadir untuk mewujudkan Maqashid (tujuan) yang senyawa dengan tujuan Kemerdekaan itu. Saya akhiri dengan mengingatkan kita semua bahwa esensi dasar dari Kemerdekaan itu ada pada deklarasi “Laa ilaaha illa Allah-Muhammad Rasulullah”. Jangan sampai ada upaya untuk memisahkan, bahkan membenturkan di antara keduanya. Karena bagi bangsa Indonesia komitmen keagamaan (religiositas) dan Kebangsaan (nasionalitas) adalah dua entitas yang senyawa dan tak terpisahkan. Ewako! Dirgahayu RI ke-77. Merdeka! Manhattan City, 16 Agustus 2022. (*)

Merdeka?

Hampir semua indikator ekonomi kita menunjukkan bahwa kita ini hanya bisa menjadi bangsa jongos bagi bangsa lain. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Business HARI ini kita mendengarkan pidato Nota Keuangan Presiden RI Joko Widodo di hadapan MPR sebagai joint session DPR dan DPD. Besok kita akan merayakan Hari Kemerdekaan RI yang ke-77. Tradisi pidato RI 1 di depan MPR tentang kebijakan keuangan setahun yang akan datang ini perlu kita cermati karena tiga hal. Pertama, pidato itu sekaligus simbol upaya Pemerintah saat ini untuk menjadi bangsa yang merdeka. Kemerdekaan tanpa kemerdekaan ekonomi adalah omong kosong. Kemerdekaan politik hanya mitos saat ekonomi kita terjajah. In a globally interconnected world, ekonomi kita akan segera terpengaruh saat dunia pertama seperti AS, dan Eropa, sudah jatuh ke dalam resesi, inflasi dan berbagai krisis termasuk krisis pasokan energi dan makanan akibat konflik Rusia-Ukraina. Kedua, Menkeu Sri Mulyani Indrawati berusaha meyakinkan masyarakat bahwa Indonesia kecil kemungkinannya mengalami resesi, walaupun harga-harga mulai naik, dan jumlah hutang swasta, BUMN dan Pemerintah sendiri membubung tinggi mencapai lebih dari 30% PDB. Dalam logika birokrasi saat ini hutang dinilai lumrah, apalagi rasio terhadap PDB masih tergolong rendah di banding negara-negara pertama tadi. Ketiga, sikap pemerintah terbaru atas pandemi Covid-19 yang selama 2 tahun terakhir dijadikan alasan untuk APBN tanpa-kontrol, pelambatan ekonomi dan pembatasan public liberty, legislasi berbagai UU termasuk RUU KUHP, serta investasi proyek-proyek mercusuar semacam Ibu Kota Negara di Kabupaten Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Perlu diwaspadai bahwa UU KUHP yang baru ditangan POLRI saat ini akan menjadi ancaman bagi kebebasan sipil serta jalan raya menuju police state. Logika hutang sebagai hal lumrah adalah logika International Monetary Fund dan The World Bank yang hidupnya dari hutang. Kedua institusi keuangan global ini merupakan sponsor bagi banyak nation states yang dimerdekakan usai Perang Dunia II. Sejak Konferensi Meja Bundar 1949, ekonomi RI harus mengikuti konstitusi IMF yang ditetapkan 1944 di Brettonwoods untuk memperoleh pendanaan bagi pembangunannya. Amanah UUD45 langsung dipasung oleh konstitusi IMF ini. Resep utama institusi kapitalisme global ini adalah menggolongkan RI sebagai negara miskin, lalu pembangunan dirumuskan lebih sebagai upaya peningkatan konsumsi perkapita, dengan standard Barat, bukan upaya untuk mewujudkan kemerdekaan dengan memperluas kemerdekaan itu.  Negara miskin dengan tingkat konsumsi rendah ini dijadikan alasan untuk berhutang. Padahal hutang apalagi hutang ribawi adalah instrumen nekolimik yang pernah dikhawatirkan Bung Karno. Sebagai contoh adalah konsumsi energi perkapita kita saat ini sekitar 1kL setara minyak perkapita pertahun. Bandingkan dengan konsumsi energi perkapita pertahun Eropa dan Jepang sekitar 7kL, sedangkan AS telah mencapai 10kL. Tidak mengherankan jika sejak reformasi, pembangunan pembangkit listrik kita digenjot dengan melibatkan swasta dan membakar BBM dan batubara. Itupun berakhir dengan PLN merugi karena regulasi energinya diatur untuk kepentingan pemilik modal asing. Mungkin hutang tidak terlalu bermasalah jika tanpa riba sekaligus produktif. Sejak Nixon shocks 1971, dunia di bawah kepemimpinan AS masuk ke dalam sistem keuangan ribawi full fledged. USDollar menjadi alat tukar utama dunia, namun tidak dipijakkan pada emas. The Federal Reserve bisa mencetak uang USD out of thin air. Semua transaksi global harus berbasis USD. Sementara itu negara merdeka itu mengikuti langkah The Fed untuk mencetak uang kertas mereka masing-masing out of thin air juga. Namun dalam transaksi global negara-negara itu harus menggunakan USD. Akibatnya, selama bertahun tahun, sumberdaya alam kita dikuras habis, sejak tambang hingga kayu dan ikan, dengan dibayar uang kertas yang senilai lebih tinggi sedikit dibanding kertas toilet. Nekolimisasi kaffah oleh Barat atas Republik ini terjadi terus hingga hari ini. Namun sejak sepuluh tahun silam, baik China dan Rusia mulai membangun sistem keuangan global alternatif untuk menantang dominasi USDollar. Ini yang menjelaskan kekalahan AS di Afghanistan, dan kemerosotan dominasi Eropa dan AS di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Bahkan Fareed Zakarya sudah meramalkan degradasi dominasi Barat ini dalam A post-American World. Terakhir adalah pengakuan Presiden Perancis Macron saat pidato kemenangannya dalam Pilpres baru baru ini bahwa Barat telah kehilangan imajinasi politik dengan memusuhi Rusia tetangga dekatnya sendiri untuk melayani kepentingan AS nun jauh di seberang Atlantik. Pada saat Nadiem Makarim melontarkan kebijakan “Merdeka Belajar Kampus Merdeka” kita sebagai bangsa perlu dengan jernih melakukan muhasabah atas diri kita sendiri. Hampir semua indikator ekonomi kita menunjukkan bahwa kita ini hanya bisa menjadi bangsa jongos bagi bangsa lain. Sistem Pendidikan dibiarkan dikerdilkan menjadi sistem persekolahan massal paksa untuk menyediakan buruh yang cukup trampil agar bisa menjalankan mesin-mesin pabrik, yang sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan pemilik modal asing. Padahal, sistem pendidikan kita itu seharusnya merupakan strategi budaya untuk membangun bangsa yang berjiwa merdeka di mana warga muda diberi kesempatan luas untuk belajar merdeka. Kawasan Matraman, 16 Agustus 2022. (*)

Mereka Melawan, Habisi Saja Sekalian!

Tetapi kelambanan dalam mengatasi kasus Sambo masih juga muncul dengan berbagai alasan, seperti: ini sensitif, ini hanya bisa diketahui orang dewasa, ini semua adalah kelemahan yang nyata terjadi. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih TIMSUS harus bisa memperdayai dan mengendalikan Geng Sambo yang masih ingin melakukan perlawanan. Peta kekuatan mereka sangat tidak sulit untuk dideteksi, kendala yang muncul adalah beban pada dirinya kalau terlibat dan semua teman sendiri dalam satu kesatuan Bayangkara. Tiba-tiba muncul istilah dari netizen sedang terjadi perang mafia/geng dalam tubuh Polri. Timsus mesti lebih cerdik, karena mereka dipastikan masih menyimpan tipu muslihat, bahkan sangat mungkin mereka juga akan pasang strategi balik memperdayai Timsus. Bisa saja mereka dianggap sudah lemah tapi tidak boleh sembrono. Serangan balik bisa saja terjadi, apalagi melibatkan para jenderal. William Macnaghten (panglima perang dari Inggris berusia empat puluh lima tahun) mengatakan, sebuah negara yang beradab tidaklah menggunakan pembunuhan untuk memecahkan masalah politiknya. Kasus Sambo masih gelap, mengapa, urusan, dan motif apa Sambo sampai melakukan pembunuhan, pasti tersimpan psikologi yang tidak normal bagi seorang perwira tinggi dengan sebutan jenderal. Situasi sudah tidak ada tempat untuk kompromi dan negosiasi apapun itu alasannya, semua yang terlibat harus menghadapi resikonya Mereka rata-rata memiliki sifat ganas. Diduga kuat, mereka juga terlibat telah melakukan kekejaman seperti peristiwa KM 50. Main watak tiba-tiba mengiba di depan Timsus. Jangan menangis, mengeluh, merintih, atau menampilkan wajah memelas, hadapi semua resikonya. Kekeliruan yang paling fatal adalah pandangan bahwa uang dan kepentingan sanggup membeli kepatuhan, ketaatan, loyalitas. Tapi, setelah ketahuan dan terbongkar perilaku jahatnya, tiba-tiba menjadi pesakitan sedemikian hinanya. Mereka baru terkejut ketika uang justru telah membawa bencana. Ketika menghadapi para mafia dan sedang berhadapan dengan mereka pikiran kita jangan tersingkap dalam bentuk ucapan dan gerakan peluang kompromi sekalipun itu teman. Pantulkan sikap tegas dan pasti Anda melawan habislah Anda sekalian. Menghadapi para penjahat tidak seperti menghadapi benda mati seperti dalan seni mekanis, tapi menghadapi manusia yang memiliki potensi akan berekasi melawan. Timsus berhadapan dengan mata para penjahat. Jangan memandang mereka apa adanya, tapi harus mampu memandang mereka sehingga bisa menembus segalanya untuk membaca sifat hakikinya. Tidak akan jera sekalipun dibuang ke Nusakambangan. Tampaknya, Presiden Joko Widodo sudah kehilangan wibawanya sampai tiga kali minta kasus Sambo segera dibuka seterang-terangnya, toh diabaikan oleh pihak yang bertanggung jawab untuk mengatasi masalahnya. Tanpa megurangi apresiasi kita atas sikap tegas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang telah menetapkan Sambo sebagai tersangka. Terus menetapkan pihak-pihak yang melanggar etik. Tetapi kelambanan dalam mengatasi kasus Sambo masih juga muncul dengan berbagai alasan, seperti: ini sensitif, ini hanya bisa diketahui orang dewasa, ini semua adalah kelemahan yang nyata terjadi. Potensi mereka akan melawan masih tetap ada, melakukan perhitungan dan pengamatan yang seksama dan bisa saja akan lahir prinsip harakiri bersama. Karena kasus Sambo benar-benar melibatkan pejabat tinggi negara yang telah terserang virus uang. Kita berharap, segera beritahu mereka, Anda melawan, Anda akan semakin berat akibatnya, terus melawan habisi saja sekalian. Bisa dibina ya dibina. Jika tak bisa dibina, ya “dibinasakan” atau dihabisi saja sekalian. Urusan Sambo ini harus berakhir dengan pertimbangan Final reformasi di tubuh Polri atau sebuah reformasi total untuk mengembalikan wibawa dan citra Polri sesuai peran, fungsi, dan Tupoksinya. (*)

77 Tahun Indonesia: Ambruknya Etika Pejabat Publik

Oleh Ubedilah Badrun | Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ). SALAH satu cara terbaik pada momentum 77 tahun Indonesia merdeka adalah melakukan semacam kontemplasi, melakukan evaluasi, merenung tentang hakikat bernegara. Untuk apa sesungguhnya negara Indonesia berdiri? Mau dibawa kemana hampir 300 juta rakyat Indonesia saat ini? Sejak awal merdeka, para pendiri republik ini telah menegaskan bahwa negara ini berdiri memiliki tujuan yang jelas. Dalam pembukaan UUD 1945 jelas tertulis bahwa tujuan negara Indonesia berdiri adalah melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta dalam upaya perdamaian dunia. Tujuan negara ini secara etik substantif sangat mulia, untuk menjadikan warga negara betul-betul sebagai manusia, atau memanusiakan warga negara. Dengan tujuan itu siapapun pejabat publik, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif memiliki tanggungjawab besar untuk mewujudkan tujuan negara itu. Secara etik, tujuan itu mengikat siapapun pejabat publik.  Dalam praktek empiriknya saat ini kita patut mengajukan pertanyaan penting, apa kabar etika pejabat publik saat ini ? Etika Publik Alat ukur paling penting untuk menilai etika pejabat publik adalah dengan mencermati indikator-indikator penting dari apa yang disebut sebagai etika publik. Dalam banyak literatur etika publik itu dimaknai sebagai standar  norma yang menentukan baik atau buruk,  benar atau salah dari perilaku, tindakan, maupun keputusan pejabat publik dalam rangka menjalankan tanggungjawabnya sebagai pelayan publik. Sebagai pelayan publik, pejabat memiliki kewajiban etik untuk melindungi keselamatan warga negara sebagai manusia, melindungi nyawanya bukan memusuhinya, apalagi membunuhnya. Sebagai pelayan publik, pejabat memiliki kewajiban etik untuk memajukan kesejahteraan warga negaranya, memudahkan segala urusan warga negaranya, bukan menyusahkanya,  memiskinkannya atau hobi memperlebar jurang (gap) antara yang kaya dengan yang miskin dengan mengutamakan warga kelas elit yang akses ekonominya lebih dimudahkan dalam segala urusan. Bukan pula mengkorupsi uang yang seharusnya untuk rakyat miskin. Sebagai pelayan publik, pejabat memiliki kewajiban etik  untuk membuat semua warga negara mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama, yang murah dan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagai pelayan publik, pejabat memiliki kewajiban untuk membuat warganya hidup damai dan merasa aman dan nyaman dalam pergaulan sosial antar sesama warga negara maupun dalam pergaulan internasional. Saya merenung jika saja pejabat publik di negeri ini betul-betul belajar tentang urgensi etika publik, betapa bangsa dan negara ini akan luar biasa mengalami kemajuan. Sebab dalam etika publik orientasi utama pejabat adalah kepentingan publik, kepentingan rakyat banyak. Pada pelajaran dasar etika publik dalam pemerintahan, telah banyak diingatkan oleh para ahli ternama dibidang etika publik. Misalnya dalam Introduction to Government Ethics, John P.Pelissero mengingatkan dengan jelas bahwa The role of government and its officials is to serve the public interest with ethical awareness and ethical actions. When governments serve the public interest and avoid engaging in behavior that promotes any private interests, they are acting for the common good. Pejabat itu pelayan publik yang melayani publik dengan kesadaran etis dan tindakan etis, meniadakan kepentingan pribadinya, bertindak untuk kebaikan bersama (common good). Ambruknya Etika Pejabat Publik Kematian warga negara akibat kekerasan aparat seberapapun jumlahnya, meski satu orang, itu adalah persoalan besar kemanusiaan. Sebab alasan apapun kekerasan yang mengakibatkan kematian adalah pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia (HAM). Kita semua masih ingat dalam episode ini kematian warga negara   akibat kekerasan aparat bertubi-tubi terjadi. Dari peristiwa di Bawaslu RI pada 22 Mei 2019, hingga aksi #reformasidikorupsi sepanjang september 2019. Media internasional BBC mencatat pada episode 2019 ada 50 demonstran tewas saat unjuk rasa. Setahun kemudian petistiwa KM 50 yang menewaskan 6 pengawal Habib Riziq Shihab pada 7 Desember   2020 terjadi. Komnas HAM menyebutnya penembakan itu sebagai pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Kini peristiwa terbaru muncul, ditembaknya Brigadir Joshua di rumah pejabat pada 8 Juli 2022. Mirisnya itu terjadi dilingkungan institusi aparat. Semua peristiwa tersebut secara etik kemanusiaan menunjukan titik terendah perlindungan terhadap warga negara, sebuah episode ambruknya etika dan moral pejabat publik. Ambruknya etika pejabat publik pada episode ini terjadi juga pada kasus korupsi pejabat publik. Dari korupsi dikalangan pejabat penegak hukum, korupsi dikalangan anggota parlemen, hingga korupsi di lembaga eksekutif. Ambruknya etika pejabat publik dalam kasus korupsi ini terjadi begitu vulgar karena yang dikorupsi uang bantuan sosial yang seharusnya dipergunakan untuk rakyat miskin yang sedang alami penderitaan dan musibah akibat pandemi Covid-19. Korupsi itu dilakukan oleh Menteri Sosial dan ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada 5 Desember 2020. Ambruknya etika pejabat publik juga terlihat dari aktor korupsinya yang tidak hanya sedang menjabat sebagai anggota parlemen tetapi juga pengurus inti bendahara ormas keagamaan terbesar di Indonesia. Miris, prihatin dan kita semua yang masih menggunakan akal sehat tentu sedih melihat keadaan ini. Wajah ambruknya etika pejabat publik juga makin terlihat ketika publik tidak lagi didengar aspirasinya. Elit pejabat telah menutup telinganya dari kritik publik, misalnya dari aspirasi penolakan publik terhadap revisi UU KPK, UU Ciptaker, RUUKUHP, hingga kritik publik terhadap merajalelanya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang rapotnya masih merah dengan skor 38 adalah fakta bahwa etika pejabat republik ini memang sedang ambruk. Besaran jumlah uang yang dikorupsi pada episode ini juga sangat fantastik. Nilainya bukan ratusan milyar tetapi puluhan triliun bahkan kalkulasi ICW dan KPK mencatat total nilainya bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Itu uang rakyat, dari pajak rakyat dan dari utang yang dibebankan kepada rakyat. Nurani pejabat koruptor ini memang rusak dan ambruk. Lebih ambruk lagi moral bangsa ini ketika elit politik  menganggap perilaku seperti itu dianggap biasa. Sementara ditengah rakyat ada warga yang bunuh diri karena di PHK, bahkan ada warga yang bunuh diri karena hidup susah  dan sakit-sakitan. 

Presiden Harus Instruksikan Kapolri untuk Usut Kasus KM 50

Oleh Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan SAATNYA membuktikan bahwa di Indonesia yang mayoritas muslim itu tidak ada Islamophobia sebagaimana pejabat dan cendekiawan serta buzzer sesumbar mengatakan di berbagai forum dan media. Pembuktian salah satunya adalah dengan cara membuka seterang-terangnya peristiwa penyiksaan dan pembunuhan enam anggota laskar FPI oleh aparat yang dikenal dengan kasus Km 50. Kasus berbasis  ulama dan aktivis Islam yang dimusuhi.  Ketika kita jujur dan terbuka menguak peristiwa getir ini maka umat Islam  akan berbahagia. Sebagai bagian dari upaya pembenahan di lingkungan Kepolisian akibat peristiwa tragis pembunuhan Brigadir Joshua di kediaman mantan Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo komplek Duren Tiga Jakarta Selatan. Operasi Satgassus di Duren Tiga diduga kuat memiliki hubungan dengan operasi serupa di Km 50. Rencana untuk menargetkan Habib Rizieq Shihab melalui penguntitan dan pengejaran di Tol Cikampek ini berujung tewasnya enam pengawal HRS dengan luka penganiayaan dan penembakan. Skenario tembak menembak yang awal diumumkan oleh pihak Kepolisian ternyata bohong sebagaimana bohongnya skenario pembunuhan di Duren Tiga.  Empat langkah yang Pemerintahan Jokowi dapat lakukan demi kebaikan bersama adalah : Pertama, Presiden Jokowi segera menginstruksikan Kapolri untuk mengusut kembali kasus Km 50 yang dinilai janggal sejak penyidikan hingga peradilan dahulu. Terbuka untuk memunculkan tersangka baru.  Kedua, meminta  agar Komnas HAM melakukan penyelidikan ulang kasus km 50 dengan mendasarkan diri pada UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pelanggaran HAM berat lebih nyata dalam kasus ini. Komnas HAM jauh lebih kuat posisinya dalam memproses berdasar UU ini.  Ketiga, mendesak Kapolri untuk mencopot Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran atas keterlibatan anggota Polda Metro Jaya dalam kasus Km 50. Dugaan keterlibatan dan tuntutan pertanggungjawaban atas Kapolda Irjen Pol Fadil Imran sangat kuat. Operasi penguntitan dan pembunuhan berada di bawah koordinasi, pengawasan dan perintah atasan.  Keempat, menghimpun kembali bukti-bukti termasuk CCTV yang dianggap tidak berfungsi, apakah hal itu benar atau rekayasa. Perlu pendalaman peran Propam atau Satgassus. Ada  simpul Kapolda Irjen Fadil Imran, Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo dan Karo Paminal Brigjen Hendra Kurniawan, simpul Pangdam dan BIN, serta simpul \"ghost rider\" Land Cruiser hitam dan 2 mobil Avanza bukan milik Kepolisian.  Muncul dugaan bahwa kasus Km 5O bukan semata masalah hukum tetapi politik, karenanya arah dan sasaran tertuju pada pengambil  kebijakan politik. Untuk membersihkan dan menuntaskan kasus ini, maka Presiden sebagai Kepala Pemerintahan perlu menginstruksikan pengusutan ulang secara terbuka, obyektif dan transparan.  Kejahatan pada kasus Duren Tiga sulit untuk dielakkan sangat berkaitan dengan kasus Km 50. Bangsa, khususnya umat Islam Indonesia menunggu penuntasan secara benar atas kasus Km 50. Kualifikasinya adalah unlawful killing atau crime against humanity. Pelanggaran HAM berat.  Dengan diawali Instruksi Presiden kepada Kapolri, maka pengusutan kembali dapat segera dijalankan.  Jangan tutup-tutupi kebiadaban Km 50. Bandung, 16 Agustus 2022.

Jalan Tuhan Dan Penyimpangan

Belajar tiga hal dari elang; pandangan yang jauh, harga diri dan kemerdekaan. Tuhan, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar adalah benar, dan juga karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk mengikutinya. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta SEMUA manusia mengetahui tragedi pertama di bumi ketika salah seorang anak Adam, Kabil, membunuh saudaranya, Habil. Kekejaman itu bermula dari rasa iri dan dengki, karena kurban sang adik diterima, sedabgjab kurbannya tidak. Itulah kepastian sejarah yang terus berulang hingga kini, tak terkecuali di negeri ini. Dari zaman ke zaman selalu terjadi peperangan di kalangan umat manusia dengan motif yang beraneka. Tuhan pun dari masa ke masa melalui lisan para nabinya melarang manusia saling membunuh dan menumpahkan darah. Tragisnya lagi, umat yang bejat sampai hati membunuh nabi-nabi utusan Tuhan. Jika ada aparat yang memalak rakyat, pertanda kiamat sudah dekat. Tuhan telah membentangkan jalan kebaikan dan telah memberitahukan jalan keburukan. Beruntunglah mereka yang memilih jalan lempang, dan merugilah mereka yang menempuh jalan menyimpang. Beruntunglah mereka yang menyucikan jiwa, dan rugilah bagi mereka yang mengotorinya. Beruntunglah mereka yang bebersih diri lalu mengagungkan nama Tuhannya. Jalan kebaikan memang tidak gampang, perlu perjuangan dan pengorbanan. Mendaki. Menjadi umat yang terbaik, mencanangkan kemakrufan, dan juga menghentikan kemungkaran, atas dasar keimanan dan mengharapkan ridha Tuhan. Para utusan Tuhan pun tidak mendapatkan keistimewaan dalam konteks kemanusiaan. Anak Nabi Nuh ikut tenggelam bersama orang-orang yang ingkar kepada Tuhan. Istri Lut tumbang bersama umat yang menyimpang. Sebaliknya, Tuhan menghadirkan perempuan teladan istri Fir\'aun yang senantiasa bermohon agar diselamatkan dari kekejaman, dan supaya dibangunkan sebuah rumah di dekat-Nya dalam surga. Juga perempuan teladan Maryam yang disucikan dari sentuhan tangan-tangan. Orang beriman senantiasa memohon bimbingan Tuhan pada jalan-Nya menuju kebahagiaan. Siapa yang menaati Allah SWT dan Rasul-Nya kelak mereka bersama orang-orang yang dikaruniai nikmat, dari kalangan para nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada, dan orang-orang shalih sepanjang zaman. Banyak orang yang salah jalan, tetapi merasa tenang, karena banyak teman. Beranilah menjadi benar, meskipun sendirian. Rezeki itu bukan hanya uang. Teman yang baik pun rezeki dari Tuhan. Kadangkala perkataan yang halus dan lembut lebih berpengaruh daripada perkataan yang keras dan kasar. “Orang Islam sejati adalah yang tetap pada tempat yang benar meskipun dunia dalam keadaan kacau.” (KH Ahmad Dahlan) Rasulullah Saw bersabda, \"Pemimpin adalah perisai dalam memerangi musuh rakyat dan melindungi mereka. Jika pemimpin itu mengajak rakyatnya kepada ketakwaan, dan keadilan, ia bermanfaat bagi rakyat, tetapi jika ia memerintahkan yang sebaliknya, ia musibah bagi mereka.\" (HR Muslim) \"Ada tiga fase orang menuntut ilmu. Pertama, takabur, sombong, karena baru tahu ilmu baru. Kedua, tawadhu\', rendah hati, karena sadar ternyata yang tahu ilmu itu bukan cuma dia. Ketiga, tidak berilmu, karena ternyata ilmu itu sangat luas, sehingga seakan-akan dia tidak punya ilmu apa-apa.\" (KH Hasan Abdullah Sahal) Belajar tiga hal dari elang; pandangan yang jauh, harga diri dan kemerdekaan. Tuhan, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar adalah benar, dan juga karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan, tunjukkanlah kepada kami yang salah adalah salah, dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk menjauhinya. Tuhan, sibukkanlah orang-orang zalim dengan yang zalim, dan keluarkanlah kami dari antara mereka dengan selamat. Tuhan, selamatkanlah kami dari kejahatan anak-anak negeri ini. (*) 

Jangan Remehkan Sambo!

Siapa saja teman yang ikut menikmati keuangan yang saat itu dihimpun dan disalurkan dari aliran dana para bandar, mulai judi, narkoba, hingga praktik haram lainnya dibuka oleh Ferdy Sambo. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PUSAT Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus menelusuri dugaan dana haram di Satgassus Merah Putih yang pernah dipimpin oleh Irjen Ferdy Sambo. “PPATK adalah menjadi penting untuk menelusuri dana yang dikelola oleh Satgasus Merah Putih ke mana saja beredarnya,” kata pengacara keluarga Brigadir Joshua, Kamaruddin Simanjuntak.   Pernyataan Kamaruddin Simanjuntak yang menyebut kematian kliennya itu  terkait bisnis haram judi, miras dan sabu perlu dibongkar aparat kepolisian. “Harus ditelusuri kemana dana itu disalurkan,” tegasnya. Timsus Polri yang menangani kasus Ferdy Sambo, harus segera meminta PPATK untuk membongkar transaksi keuangan di Satgassus Merah Putih. “Kepala PPATK Ivan Yustivandana belum dihubungi pihak Polri untuk menelusuri aliran dana Satgasus Merah Putih,” ungkap Kamaruddin. Kalau ternyata ada kendala karena pihak Polri belum memintanya, sudah saatnya Presiden Joko Widodo langsung yang memintanya dan/atau melalui menteri di Kabinet, seperti Mengko Polhukam Mahmud MD, misalnya. Kendala saat ini sekalipun Ferdy Sambo sudah di non aktifkan dari Satgassus Merah Putih, apalagi Satgassus tersebut sudah dibubarkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, tetapi pangkat Ferdy Sambo masih bertengger (melekat) di pundaknya.   Sehingga, meski tidak pegang jabatan lagi, Ferdy Sambo masih bisa leluasa “mengendalikan” mantan anggota Satgassus Merah Putih. Ini yang patut juga diwaspadai.   Bukan tidak mungkin melalui jaringannya, Ferdy Sambo tetap bisa memberi instruksi untuk melakukan perlawanan. Atau sebaliknya, nyawa Ferdy Sambo justru bisa terancam ketika dia mulai bersuara sumbang mengungkap aliran dana yang selama ini dikelolanya. Sehingga, wajar jika kemudian Ferdy Sambo ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Dugaan kuat, aliran dana yang dikumpulkan Ferdy Sambo selama ini, selain mengalir ke koleganya, juga ke pejabat di Senayan. Makanya wajar jika Mahfud MD sempat menyindir DPR yang tidak bersuara  sama sekali terkait kasus yang menimpa Brigadir Joshua ini, kecuali Ketua MPR Bambang Soesatyo yang bersuara, tapi justru terkesan “membela” Ferdy Sambo. Apakah diamnya pejabat yang berkantor di Senayan itu karena selama ini ada aliran dana dari Satgassus Merah Putih ke sana, hanya mereka dan Tuhannya yang tahu. Sambo bukan hanya polisinya polisi, tapi juga mantan komandan Satgassus, masih tetap bisa bermain ke semua lini, dengan kekuatan finansialnya kalau potensi tersebut belum diblokir atau diambil alih oleh Timsus Polri, maka dia masih berpotensi memanfaatkan finansialnya itu. Dalam proses persidangan di pengadilan, suatu saat nanti Ferdy Sambo bisa saja, karena tekanan dan tidak ingin bernasib sial harus ditanggung sendiri, dia berkicau dengan lincah di persidangan pengadilan. Siapa saja teman yang ikut menikmati keuangan yang saat itu dihimpun dan disalurkan dari aliran dana para bandar, mulai judi, narkoba, hingga praktik haram lainnya dibuka oleh Ferdy Sambo. Setidaknya, Ferdy Sambo memiliki kartu truf yang mematikan dan mortir yang bisa ditembakkan atau diarahkan ke mana-mana. Jadi, jangan pernah meremehkan Ferdy Sambo. Dia ini manusia setengah sakti, tapi giginya belum keluar, pada saatnya jika tertekan momen itu akan muncul gigi taringnya dan bisa mengigit siapapun yang layak digigit. (*)

Tiga Dosa Tito

Oleh M.Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Tito di sini adalah Tito Karnavian mantan Kapolri 2016-2019 yang sejak 2019 menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Kini akan banyak Kepala Daerah yang habis masa jabatannya, maka banyak pula penjabat atau pejabat sementara baik itu Gubernur maupun Bupati/Walikota. Peran Mendagri sangat penting dalam menentukan dan mengisi formasi untuk penjabat tersebut.  Jenderal (Purn) Tito Karnavian mencuat namanya dihubungkan dengan kasus terbunuhnya Brigadir J yang berkaitan dengan status tersangka Irjen Pol Ferdy Sambo yang di samping Kadiv Propam juga sebagai Kepala Satgassus sebuah lembaga nonstruktural yang dibentuk oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian.  Bacaan itu adalah tentang tiga dosa politik Pak Jenderal, yaitu : Pertama, pembentukan Satgassus Merah Putih yang ternyata menjadi semacam lembaga kerja mafia di tubuh Polri. Apakah kondisi saat ini adalah penyimpangan dari misi awal atau memang sejak pembentukan ditujukan untuk pekerjaan yang remang-remang bahkan hitam ? Faktanya kini Satgassus telah sukses menciptakan \"monster\" yang ahli rekayasa alias sandiwara dan jago dalam menebar kekerasan di lingkungan maupun di luar Kepolisian.  Kedua, membangun konsepsi \"Democratic Policing\" dengan maksud Polisi yang berperan aktif dalam kehidupan demokrasi termasuk melakukan demokratisasi. Dalam prakteknya Polisi justru berperan dan merambah kemana-mana. Akibatnya civil society dan demokrasi menjadi terancam. Polisi sebagai \"gurdian of the state\" menjadi kekuatan pemaksa yang \"out of the order\". Ia dominan mengatur diri dan orang lain. TNI pun ikut tersisihkan.  Ketiga, melakukan pelanggaran HAM atas tewas sekurangnya 9 pengunjuk rasa di depan Bawaslu tanggal 21-22 Mei 2019. Sebelumnya pihak Kepolisian juga tidak melakukan pengusutan atas tewasnya 894 petugas Pemilu dan 5-11 ribu petugas mengalami sakit. Kejanggalan ini harus diterima begitu saja oleh rakyat Indonesia dengan alasan petugas meninggal karena \"kelelahan\". Betapa enteng memperlakukan nyawa manusia.  Esok Pak Tito bersama Presiden akan menjadi penentu dalam menunjuk penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota tanpa proses pemilihan demokratis. Kedaulatan rakyat tercerabut dari akarnya dengan alasan \"sementara\" saja hingga 2024. 101 Kepala Daerah habis tahun 2022 dan 170 Kepala Daerah tahun 2023. Dengan Kepala Daerah penunjukan seperti ini maka mereka akan mudah diarahkan dan dikendalikan sesuai kemauan Presiden dan Mendagri yang merepresentasi Pemerintah Pusat. Termasuk untuk mengawal \"pembenaran\" Pemilu yang dapat saja dilaksanakan dengan curang.  Jenderal (Purn) Tito Karnavian harus ikut mempertanggungjawabkan dosa politik yang dilakukannya. Kecuali bahwa semua itu didalihkan atas \"perintah\" atau \"petunjuk\" Presiden.  Jika demikian, maka Presiden lah yang menjadi penanggungjawab utama.  Bandung, 15 Agustus 2022

Mengapa Joshua Dibunuh, Dia “Tahu Banyak dan Banyak Tahu”?

Sebagai Penasehat Satgassus Merah Putih, karena jabatannya sebagai Kapolri, sangatlah tepat Jenderal Listyo Sigit Prabowo membubarkan Satgassus Merah Putih tersebut. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) AKHIRNYA Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membubarkan Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Merah Putih yang sebelumnya dipimpin oleh Irjen Ferdy Sambo, mantan Kadiv Propam Polri yang telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Brigadir Joshua di rumah dinas Duren Tiga 46 Jakarta Selatan. “Bapak Kapolri sudah menghentikan Satgassus Polri, artinya sudah tidak ada lagi Satgassus Polri,“ ujar Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, dalam jumpa pers, Kamis (11/8/2022). Sekadar diketahui, Satgassus Merah Putih dipimpin oleh Irjen Ferdy Sambo. Tim ini awalnya dibentuk oleh mantan Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk meredam “Aksi 411” pada 4 November 2016 yang memprotes ucapan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dianggap menghina agama Islam. Polisi menyiagakan 7.000 personel untuk mengamankan aksi protes. Pasukan TNI dikerahkan untuk menjaga kawasan Pecinan di Jakarta Barat. Sebagian warga Tionghoa khawatir aksi 4 November 2016 berakhir seperti kerusuhan 1998. Sejumlah gereja juga dijaga ketat oleh aparat keamanan. Namun, semua kekhawatiran itu tidak terjadi. Aksi massa berakhir damai, meski setelah acara terjadi insiden akibat provokasi kelompok kecil beratribut “HMI”. Tapi, secara keseluruhan, aksi massa berlangsung damai.   Dua pekan setelah Aksi 411, Ahok yang menjabat Gubernur DKI Jakarta non aktif telah ditetapkan polisi sebagai tersangka penistaan agama. Tak berhenti sampai di sini. Aksi massa pun berlanjut pada Jum’at, 2 Desember 2016 yang dikenal dengan sebutan “Aksi 212”. Aksi 2 Desember atau yang disebut juga Aksi 212 dan Aksi Bela Islam III yang jatuh pada hari Jum’at itu, dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan pejabat tinggi lainnya, berlangsung damai juga tanpa ada kericuhan berarti. Selesaikah misi Satgassus Merah Putih seiring dengan selesainya “Aksi 212” itu? Ternyata tidak. Satgassus Merah Putih dibentuk untuk melaksanakan Tugas Kepolisian di Bidang Penyelidikan dan Penyidikan. Dasar Hukum UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Indonesia; UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP, UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang, dan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Demikian yang tertuang dalam Sprin nomor Sprin/681/III/HUK.6.6/2019 tertanggal 6 Maret 2019. Satgasus Merah Putih ini merupakan jabatan Non Stuktural di Kepolisian. Khusus untuk Satgasus Merah Putih, satuan tugas ini pertama kali dibentuk pada 2019, oleh Kapolri saat itu Jenderal Tito Karnavian. Jabatan Kasatgasus Merah Putih pertama kali diemban Kabareskrim era Tito, Komjen Idham Azis. Sementara Ferdy Sambo ketika itu menjadi Koorspripim Polri ditugaskan sebagai Sekretaris Satgasus. Ketika itu, Ferdy Sambo masih berpangkat Kombes. Satgassus Merah Putih sempat membongkar sejumlah kasus besar dan mayoritas narkotika. Tahun 2017, Satgassus membongkar penyelundupan 1 ton sabu di bekas bangunan Hotel Mandalika, Anyer, Serang, Banten. Ketika itu tim yang terlibat membongkar kasus tersebut diantaranya Kombes Nico Afinta dan Kombes Herry Heryawan. Nico Afinta saat ini menjadi Kapolda Jawa Timur dengan pangkat Irjen. Sedangkan Herry Heryawan saat ini berpangkat Brigjen dan menjabat sebagai Dirsidik Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Setelah Jenderal Idham Azis menjabat Kapolri, jabatan Kasatgassus kemudian diserahkan kepada Brigjen Pol Ferdy Sambo sejak 20 Mei 2020. Dia mendapat amanah sesuai dengan Sprin/1246/V/HUK.6.6/2020. Saat itu, Brigjen Ferdy Sambo masih mengisi posisi sebagai Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Sosok yang menjabat Sekretaris Satgasus adalah AKBP Dedy Murti Haryadi dan pada saat itu menjabat Pjs Koorspripim Polri. Melansir Tribun-Timur.com, Brigadir Joshua juga menjadi anggota Satgassus pada saat itu dan pangkatnya masih Briptu. Sprin Satgassus 2022 seperti diungkap Amnesty International Indonesia terbit pada 1 Juli 2022, Sprin/1583/VII/HUK.6.6./2022. Secara Struktural Polri sudah mempunyai Satuan Tugas tersebut dan diketahui Presiden. Pertanyaannya, mengapa Polri masih membentuk Satgassus Non Struktural? Apakah Presiden mengetahui adanya Satgassus Non Struktural? Jika Presiden tak tahu, maka jelas para Elit Polisi ini bermain di belakang Presiden. Padahal, secara Struktural Polri sudah mempunyai Satgas itu dan diketahui Presiden. Dalam Sprin/1246/V/HUK.6.6/2020 pada 20 Mei 2020, Ferdy Sambo sudah menjadi Kasatgassus (daftar nomor 16). Pada saat itu Brigadir Joshua juga menjadi Anggota Satgassus Merah Putih (nomor 41). Sementara para Pembunuh KM 50 dalam kasus pembunuhan 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada akhir 2020 itu ada di dalam daftar anggota Satgassus, diantaranya: Almarhum Ipda Elwira Priadi Zendrato (No. 282), Ipda M Yusmin Ohorella (No. 283), Briptu Fikri Ramadhan Tawainella (No. 287). Dan nama lain yang terlibat di antaranya: Kompol Handik Zusen (No. 273) dan Bripka Guntur Pamungkas (No. 285). Malansir Tribunnews.com, Handik Zusen disebut-sebut sebagai komandan pengejaran Laskar FPI, dan pengemudi mobil Toyota Avanza berwarna hitam dengan nopol B 1392 TWQ adalah Guntur Pamungkas. “Mereka juga menjadi bagian dari Satgassus Merah Putih, jadi jangan heran jika para Pelaku Pembunuhan KM 50 ini bisa bebas dari jerat Hukum. Lalu bagaimana dengan Pembunuh Brigadir Joshua?” tulis Opposite6890. Mungkinkah Brigadir Joshua dibunuh karena “banyak tahu dan tahu banyak” perihal aktivitas Satgassus Merah Putih, terutama Ferdy Sambo. Sehingga diduga, ada “kesepakatan” diantara anggota Satgassus untuk membungkam mulut Joshua selamanya? Apalagi, tudingan pelecehan terhadap istri Ferdy Sambo Ny. Putri Chandrawati yang sebelumnya selalu dinarasikan pihak polisi, sekarang ini justru dianulir, sehingga penyidikannya dihentikan (SP3). Karena tidak ada pelecehan! Dari sini saja sudah bisa dicari alasan pembunuhan Joshua. Apalagi, sebelum terjadi pembunuhan, sudah ada petunjuk adanya ancaman terhadap Joshua, seperti diungkapkan pengacara keluarganya, Kamaruddin Simanjuntak. Sebagai Penasehat Satgassus Merah Putih, karena jabatannya sebagai Kapolri, sangatlah tepat Jenderal Listyo Sigit Prabowo membubarkan Satgassus Merah Putih tersebut. Perlu dicatat, waktu pertama kali dibentuk Jenderal Tito Karnavian, sebagai Kapolri, Tito otomatis menjadi Penasehat Satgassus Merah Putih. Demikian pula Jenderal Idham Azis dan Jenderal Listyo Sigit Prabowo begitu menjabat Kapolri, otomatis Kapolri menjadi Penasehat Satgassus Merah Putih. Pembubaran Satgassus Merah Putih yang anggotanya diperkirakan lebih dari 300 polisi dari pangkat perwira tinggi, perwira menengah, dan bintara, hingga tamtama itu, patut diapresiasi. Kapolri telah mengambil pilihan tepat! (*)