OPINI
KOMPAS Mengajarkan, Media Besar Pun “Terpeleset”
Kompas Islamophobia, sangat membenci Islam. Bahkan, menurut Machfuds Dindin, Kompas menunjukan kedengkiannya terhadapi Anies Baswedan, adalah sebuah tindakan primitif. Oleh: Iriani Pinontoan, Wartawan Senior Forum News Network (FNN) KOMPAS mengajarkan Kompas. Media besar yang “terpeleset”. Apapun cerita pemimpin redaksinya, nasi sudah menjadi bubur. Sampai hari ini, sudah 21.000 pembaca berkomentar untuk jawaban makjleb Anies Baswedan atas framing Kompas, sehari sesudah hadir di KPK, Kamis, 8 September 2022. Anies yang sedang memimpin hasil survei lembaga survei manapun, sebagai Calon Presiden 2024 memang tak disukai rezim ini. Bahkan KPK sendiri. Jadi, wajar jika Anies dipanggil untuk memberi keterangan pelaksanaan Formula E-1 dan nasib perhelatan hebat ini, jika sudah tidak lagi menjabat gubernur DKI Jakarta. Naif memang. Orang lalu bertanya, apakah KPK serius? Ini atas pesanan siapa Anies ingin dikriminalisasi? Begitu juga atas framing Kompas. Bayangkan saja, Anies datang ke KPK pagi itu berseragam gubernur putih hitam menenteng map biru, sendirian. Lalu Anies diperiksa KPK selama 11 jam. Esoknya, tulisan panjang Kompas pun dilengkapi foto Anies memakai jaket hitam. Sebuah logika yang sungguh menyesatkan sebagai koran besar. Anies Baswedan lalu menulis pada Instagramnya (dikutip utuh), sebagai berikut: Kemarin, sehari sesudah memenuhi undangan KPK untuk memberikan keterangan terkait Formula-E, saya menerima banyak pesan memberitahukan tentang berita yang dimuat di Harian Kompas. Judul beritanya besar: “Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa”. Isinya mayoritas tentang pembebasan bersyarat 23 narapidana tipikor. Terdapat pula kolom berisi daftar napi tipikor yang dibebaskan. Yang aneh: yang terpampang adalah foto Gubernur DKI. Tidak ada hubungan dengan topik yang ditulis di dalam artikel. Di bagian akhir artikel terdapat tiga paragraf kecil tentang kedatangan Gubernur DKI ke KPK, yang juga tidak ada hubungan dengan topik beritanya. Media memang memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi, opini dan perasaan pembacanya. Karena memiliki kekuatan besar inilah maka media harus memiliki tanggung jawab yang besar pula. Media sebagai pilar demokrasi bukannya tidak boleh berpihak. Sebaliknya, ia justru harus berpihak, pada kebenaran, keadilan, dan objektivitas. Tanggung jawab media memang berat, karena risiko dampak salah langkahnya pun besar. Kemarin, beberapa pemimpin Kompas menjelaskan pada saya, bahwa penempatan foto itu adalah kelalaian, tak ada niat framing buruk. Memang disayangkan kesalahan mendasar seperti itu terjadi di media seperti Kompas yang pastinya memiliki mekanisme pengawasan berlapis. Hari ini, Kompas memasang berita baru yang menjelaskan secara lebih objektif terkait kedatangan saya ke KPK. Kompas hari ini memberi contoh kepada Kompas kemarin tentang bagaimana sebuah berita seharusnya ditulis. Dahulu, Kompas sebenarnya hendak diberi nama Bentara Rakyat. Namun Bung Karno memberi usul nama Kompas, karena kompas adalah penunjuk arah dan jalan. Kita berharap, filosofi nama Kompas ini terus dijaga. Apabila sebuah kompas berfungsi baik, maka kita lancar dan selamat mengarungi perjalanan. Apabila jarumnya terpengaruh oleh magnet (polar), maka ia tak lagi dapat menjadi penunjuk arah. Saya memilih mempercayai penjelasan pemimpin di Kompas dan, walau banyak yang menyarankan, saya memilih tidak membawa masalah ini kepada Dewan Pers. Namun, saya memilih tetap menyampaikan catatan ini pada publik agar bisa menjadi pengingat bagi kita semua dalam bernegara dan berdemokrasi. Pilihan Anies untuk menulis di IG pribadinya adalah pilihan bijaksana. Betapa masyarakat perlu tahu yang sebenarnya media mainstreem, koran sebesar Kompas bisa terpeleset. Bahkan beberapa netizen berkomentar: Kompas Islamophobia, sangat membenci Islam. Bahkan, menurut Machfuds Dindin, Kompas menunjukan kedengkiannya terhadapi Anies Baswedan, adalah sebuah tindakan primitif. Beda lagi Maryam Bachmid, wartawati senior, berpendapat sekelas Kompas yang leading newspaper memuat foto dengan berita yang sama sekali bukan ilustrasi yang benar. “Seperti malu-malu mengakui prestasi Anies,” kata Maryam. (*)
IPW Minta Kabareskrim Polri Ungkap Setoran AKBP Dalizon ke Kombes Anton Setiawan
Jakarta, FNN – IPW minta Kabareskrim Komjen Agus Adrianto harus transparan dan membuka kepada publik kasus Kombes Anton Setiawan yang terlibat dalam penerimaan aliran dana dari terdakwa AKBP Dalizon dalam kasus gratifikasi dan pemerasan Proyek Pembangunan Infrastruktur Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2019. Pasalnya, dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), uang yang mengalir ke AKBP Dalizon sebesar Rp 10 miliar untuk menutup kasus di Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin itu, mengalir ke Kombes Anton Setiawan sebesar Rp 4,750 miliar yang saat itu menjabat Direktur Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Sumsel. “Dari Rp10 miliar itu, Rp 4,750 miliar diberikan terdakwa ke rekannya AS secara bertahap. Kemudian Rp 5,250 miliar digunakan terdakwa untuk tambahan membeli rumah senilai Rp 1,5 miliar, tukar tambah mobil Rp 300 juta, membeli 1 unit mobil sedan Honda Civic Rp 400 juta, termasuk tabungan dan deposito rekening istri terdakwa senilai Rp 1,4 miliar,” kata JPU Kejaksaan Agung Ichwan Siregar dan Asep saat membacakan dakwaan di sidang perdana AKBP Dalizon pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) PN Palembang, Jumat (10 Juni 2022). Bahkan, dalam persidangan Rabu (7 September 2022), AKBP Dalizon mengaku setiap bulan menyetor Rp 500 juta per bulan ke Kombes Anton Setiawan. Pengakuan Dalizon ini menjadi viral di media sosial. Dalam persidangan kasus gratifikasi dan pemerasan Proyek Pembangunan Infrastruktur Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2019 sendiri, Kombes Anton Setiawan tidak pernah hadir. Pasalnya, JPU tidak pernah memaksa Kombes Anton Setiawan untuk menjadi saksi di persidangan. Namun, dengan terkuaknya aliran dana kepada Kombes Anton Setiawan ini, Indonesia Police Watch (IPW) menilai bahwa AKBP Dalizon hanya dijadikan korban oleh institusi Polri. Sementara atasannya yakni Kombes Anton Setiawan dilindungi dan ditutup rapat oleh Bareskrim Polri agar tidak tersentuh hukum. Padahal, dalam kasus tersebut jelas ada persekongkolan jahat yang tidak hanya melibatkan AKBP Dalizon. “Hal ini sangat jelas terlihat karena penanganan perkara tersebut diambil alih oleh Bareskrim Polri. Artinya, dalam melakukan penyidikan, para penyidik dan pimpinan di Bareskrim tahu kalau nama Kombes Anton Setiawan muncul dalam pemeriksaan. Namun keterlibatannya diabaikan dan tidak dijadikan tersangka,” kata rilis IPW Sabtu (10/9/2022). “Padahal, kalau ditelusuri secara materiil dengan apa yang diungkap dalam dakwaan Jaksa penuntun umum, terang benderang ada aliran dana gratifikasi ke Kombes Anton Setiawan. Benang merah itu sangat terlihat jelas bahwa korupsi yang terjadi bukan hanya melibatkan AKBP Dalizon saja,” lanjutnya. IPW juga menanyakan apakah Bareskrim memang sengaja melindungi koruptor di kandangnya sendiri. Pasalnya, Anton Setiawan setelah dimutasi dari Dirkrimsus Polda Sumsel bertugas di Ditipidter Bareskrim Polri?. “Anehnya lagi, dalam penanganan kasus AKBP Dalizon tersebut, Bareskrim Polri tidak mengenakan Undang-Undang 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Akibatnya, Kombes Anton Setiawan menjadi tidak tersentuh oleh aliran uang dari AKBP Dalizon,” ungkapnya. Padahal, kalau masyarakat biasa melakukan dugaan tindak pidana, pihak Bareskrim Polri langsung menyematkan pasal TPPU dengan mengorek semua aliran keuangan, termasuk memblokir rekening bank terduga pelaku tindak pidana dan orang-orang yang mendapat aliran dananya. “Kenapa UU TPPU itu tidak diterapkan bagi anggota Polri?” tanyanya heran. Oleh sebab itu, IPW mendesak kepada Kabareskrim Komjen Agus Adrianto untuk bersih-bersih. Diawali dengan menuntaskan kasus gratifikasi dan pemerasan Proyek Pembangunan Infrastruktur Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2019 sampai menyentuh ke atasan dan bawahan AKBP Dalizon. “Sudah seharusnya, pimpinan Polri tidak lagi melindungi anggota Polri yang melakukan penyimpangan-penyimpangan. Hal ini untuk mewujudkan institusi Polri bebas dari segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme yang diatur oleh peraturan perundang-undangan,” tegas Sugeng Teguh Santoso, Ketua IPW. (mth/*)
BBM Antarkan Jokowi Turun
Oleh M. Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Satu opsi upaya agar harga BBM turun bahkan lebih rendah dari sebelum dinaikkan oleh Jokowi adalah Jokowi turun. Turunnya Jokowi dari jabatan Presiden akan diikuti oleh turunnya harga BBM dan juga harga-harga barang yang sudah terlanjur naik akibat ulah rezim. Jokowi tidak pernah memberi kegembiraan kepada rakyat. Kepemimpinannya penuh kegaduhan dan penekanan pada kenyamanan hidup rakyat. Boro-boro meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Jokowi gagal dan tidak mampu mengemban amanah. Menaikkan harga BBM adalah wujud dari ketidakbecusan. Kalaupun dengan desakan rakyat terpaksa Pemerintah menurunkan harga BBM maka itupun tidak menyelesaikan masalah bangsa. Pembenahan harus dimulai dengan turunnya Jokowi. Ia harus lengser keprabon baik dengan kesadaran sendiri atau melalui mekanisme pelengseran. Menaikkan harga BBM hanya bagian dari cara kerja yang tidak profesional, tutup lobang gali lobang serta kriminal. BBM menjadi alat main-mainan untuk menggendutkan oligarki, memeras rakyat, dan tindakan makar seorang Presiden. Menginjak-injak Konstitusi dan tidak peduli pada aspirasi rakyat dalam kehidupan berdemokrasi. Turunnya Jokowi adalah kebahagiaan rakyat Indonesia. Wakil Presiden Ma\'ruf Amin sebagai paket pasangan hendaknya turun pula. Ia tidak memiliki kemampuan untuk memimpin negara. Kini posisi dan perannya hanya sebagai asesori semata yang tidak memberi makna signifikan bagi jalannya pemerintahan. Perlu kepemimpinan segar yang mampu mendorong partisipasi seluruh rakyat untuk membangun bersama bangsa dan negara. Tidak ada figur di kabinet Jokowi saat ini yang pantas dan \"qualified\" untuk mengemban amanah perubahan tersebut. Presiden dan Kabinet memang buruk. Kepemimpinan segar yang menggantikan tentu dapat berbasis konvensi ketatanegaraan. Memberi mashlahat dalam peran transisional menuju pemulihan asas kedaulatan rakyat. Mengoreksi pola pemerintahan Jokowi yang telah melakukan pembusukan politik (political decaying). Merusak tatanan demokrasi. Betul untuk memulihkan negeri ini perlu langkah yang bertahap. Namun tahapan awal dan terpenting adalah turunnya Jokowi dari jabatan Presiden. Sepanjang ia tetap memerintah, maka sulit untuk melakukan pembenahan. Termasuk soal harga BBM. Jika Jokowi terpaksa menurunkan kembali harga BBM maka itu tidak akan memperbaiki keadaan. Masih terlalu banyak masalah lainnya yang menjadi beban rakyat. Sebaliknya jika Jokowi yang turun dari jabatan, maka harga BBM akan ikut turun. Pemerintahan baru berkesempatan untuk mulai menata agenda kebangsaan dan kenegaraan dengan dukungan maksimal rakyat. Dengan harga BBM turun maka diprediksi harga-harga akan turun pula. Lalu penegakkan hukum dilakukan secara konsisten dengan memberantas berbagai mafia yang tumbuh, berkembang dan menjadi warna buram dari Pemerintahan Jokowi. Tak ada pilihan lain untuk agenda mendesak selain Jokowi turun atau diturunkan. Harga BBM naik adalah bukti bahwa Jokowi telah gagal dan tidak mampu lagi untuk mengemban amanah. BBM antarkan Jokowi turun. Bandung, 11 September 2022
Seharusnya Biaya Minyak Mentah untuk BBM Bisa 500 Perak Seliter
Sri Mulyani mudah-mudahan bisa. Pengalaman belasan tahun jadi Menteri Keuangan masa iya cuma bisanya membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) HARGA minyak mentah seharusnya tidak perlu ditakutkan oleh pemerintah, asal pemerintah serius menjaga nilai tukar dan menguatkannya terhadap mata uang asing, terutama terhadap US Dolar. Caranya banyak. Asal berani saja. Pada masa Pemerintahan SBY rata-rata nilai tukar rupiah sebesar Rp 8.000 per US dolar. Kalau harga minyak sekarang 90 US dolar, maka biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM Rp 4.500 per liter BBM. Waktu itu Menteri Keuangan SBY adalah Sri Mulyani. Karena kepotong kasus Century jadi Sri Mulyani tidak menjadi menteri lagi. Sri Mulyani kembali di jaman Jokowi tapi nilai tukar rupiah terhadap US dolar ambruk menjadi Rp 14.750 per dolar AS. Meski harga minyak mentah sama 90 US dolar per barel seperti saat SBY dulu, tapi biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM naik jadi dua kali lipat menjadi Rp 10.000 per liter BBM. Jadi, kepada Presiden Jokowi, cobalah perintahkan pada Sri Mulyani sebagai Menkeu, supaya diskusi dengan Gubernur BI bagaimana cara menguatkan kembali nilai tukar rupiah terhadap USD. Karena sekarang ini Indonesia itu beli minyak menggunakan dolar. Bukan menggunakan Yuan atau Rubel. Sri Mulyani mudah-mudahan bisa. Pengalaman belasan tahun jadi Menteri Keuangan masa iya cuma bisanya membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot. Sekali-kali Sri Mulyani tunjukkanlah kepintarannya dengan menaikkan nilai tukar rupiah ini. Kalau bisa menguatkan nilai tukar rupiah menjadi Rp 1.000 per Dolar AS, maka biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM hanya senilai Rp 500 per liter. Kalau Jokowi mau bisa melakukan ini. Kalau pembantunya tidak bisa coba cari yang bisa. Jadi, demikian jika nilai tukar Rp 1.000 per dolar maka biaya pokok produksi bisa jadi Rp 500 per liter, ditambah PPN 11 persen, ditambah PBBKB 5 persen, ditambah pungutan BPH Migas, biaya pokok BBM hanya Rp 650-750 per liter. Pertamina bisa jual pertalite Rp 5.000 per liter untungnya bisa segaban. Kalau sekarang dengan biaya pokok BBM Rp 10.000 per liter (harga minyak mentah x kurs 14.750/159 liter sebarel) maka ditambah PPN 11 persen, ditambah PBBKB 5 persen, ditambah pungutan BPH Migas, ditambah lagi pungutan lain-lain, maka biaya pokok BBM mencapai 12 ribu sampai 13 ribu rupiah. Pertamina jual 10 ribu ya lama-lama Pertamina Pecok. Ngono lo... (*)
Potensi Kejatuhan Presiden Jokowi
Bagi mereka, buat apa simpan di bank kalau bunganya kecil dan nyaris tidak ada sama sekali? Kabarnya, inilah yang sekarang ini terjadi. Kekhawatiran ini jelas bisa berdampak pada ketahanan perbankan. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) DEMONSTRASI menentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah marak di mana-mana. Mahasiswa dan buruh di berbagai kota turun ke jalan menolak kenaikan harga BBM yang telah diumumkan Presiden Joko Widodo, Sabtu (3/9/2022). Sebelumnya, Presiden Jokowi mengumumkan harga BBM terbaru di Istana Merdeka, Jakarta. Pemerintah menetapkan harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, Pertamax nonsubsidi naik dari Rp 12.500 jadi Rp 14.500 per liter dan berlaku mulai Sabtu 3 September 2022 pukul 14.30 WIB. Akankah demonstrasi besar-besaran ini berpotensi menjadi gerakan people power yang bisa menjatuhkan jabatan Presiden Jokowi? Pasalnya, fakta di lapangan ditemukan suara-suara desakan Jokowi Mundur. Apalagi rakyat sudah benar-benar jenuh dengan berbagai kebijakan yang telah diambil Presiden Jokowi. Janji-janji kampanye 2014 dan 2019 tidak banyak ia penuhi. Kebohongan APBN bisa jebol jika terus subsidi BBM didengungkan di depan publik. Bahkan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyebut, Pemerintah berbisnis dengan rakyat: harga pertalite naik Rp 2.350 per liter x sisa konsumsi tahun ini anggap saja 10 juta KL = Rp 23,5 triliun. Harga solar naik Rp 1.650 per liter x sisa konsumsi 5 juta KL = Rp 8,25 triliun. Inikah nilai menyakiti hati masyarakat, nilai keadilan: hanya Rp 31,75 triliun? Di lain sisi, Anthony mengungkap, pendapatan Negara per Juli 2022 naik jadi Rp 519 triliun (50,3%), akibat harga komoditas, yang notabene milik negara, meroket. Bukannya membagi rejeki ‘durian runtuh’ ini kepada masyarakat, sebagai kompensasi kenaikan harga pangan, tapi yang ada malah menaikkan harga BBM: Sehat? Sedangkan ‘durian runtuh’ sektor batubara sangat besar, ekspor 2021 naik $12 miliar, dari $14,5 miliar (2020) menjadi $26,5 miliar. Kenapa Rp 31,75 triliun, sekitar $2 miliar saja, tidak ambil dari batubara ini? Kenapa harus dari rakyat kecil? Bukankah batubara milik rakyat juga? Yang jelas, kemarahan rakyat sudah memuncak. Sehingga demonstrasi tetap akan sulit dibendung, meski senjata “BLT” BBM sudah digelontorkan dengan nilai miliaran, atau bahkan, triliunan rupiah. Anthony mengungkap, negara maju, liberal dan kapitalis, saja masih mau memikirkan rakyatnya, dengan memangkas pajak BBM untuk meringankan beban masyarakat atas kenaikan harga minyak mentah. Dan, subsidi BBM ini diberikan kepada semua orang, termasuk orang kaya. Tapi, Indonesia menaikkan harga Pertalite, Solar, dan Pertamax, penerimaan pajak (PBBKB dan PPN) ikut naik. Pajak pertalite naik dari Rp 1.055 menjadi Rp 1.380/liter. Di tengah kesulitan masyarakat, pemerintah itu seharusnya membantu publik dengan menghapus pajak BBM. Perlu dicatat, konsumsi pertalite sekitar 23 juta KL, dengan harga Rp 7.650 per liter, pemerintah daerah dan pusat mendapat pajak (PBBKB 5% dan PPN 11%) Rp 24,27 triliun. Di tengah kesulitan inflasi dan harga minyak mentah yang tinggi, pemerintah seharusnya bebaskan pajak BBM tersebut. Kalau pemerintah mempunyai rasa empati kepada rakyat, untuk sementara ini harga BBM seharusnya tidak dikenakan pajak (PBBKB dan PPN). Harga pertalite sebesar Rp 10.000 per liter, kalau tanpa pajak menjadi Rp 8.620 per liter. Kalau Pertamina, Perusahaan Milik Negara, Milik Rakyat, berempati dengan rakyat, untuk sementara waktu Pertamina bisa menghapus keuntungan BBM bersubsidi, kalau keuntungan pertalite Rp 1.000 per liter, maka harga pertalite bisa menjadi Rp 7.650 Lagi. Tapi, pemerintah bersikukuh menghapus subsidi BBM dengan alasan APBN bisa jebol. Inilah yang dinilai sebagai kebohongan pemerintah. Karena riilnya subsidi BBM itu cuma sekitar Rp 11 triliun saja. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, termasuk akibat dari perang Rusia-Ukraina, bayang-bayang krisis ekonomi yang pernah terjadi di Indonesia juga mengkhawatirkan. Karena bisa berdampak para krisis politik. Apalagi, tanpa disadari, suku bunga tabungan di perbankan kini sudah menyentuh 0%. Beberapa bank memberlakukan bunga ini untuk jumlah simpanan tertentu.Misalnya untuk Tabungan Rupiah Bank Mandiri untuk tabungan 0 - Rp 1 juta suku bunga 0%, lalu Rp 1 juta sampai kurang dari Rp 50 juta juga berlaku bunga 0%.Sedangkan untuk biaya administrasi mulai dari Rp 12.500 sampai Rp 18.000. Tergantung dari jenis kartu dan tabungan yang digunakan. Apakah ini artinya jumlah tabungan lama-lama bisa habis termakan biaya admin?Perencana Keuangan dari Advisors Alliance Group Indonesia Andy Nugroho mengungkapkan memang untuk bunga bank yang nol persen hingga biaya admin yang besar bisa mempengaruhi jumlah tabungan.Seperti dilansir Detik.com, lanjut Andy Nugroho, sebaiknya rekening tabungan digunakan bukan untuk mengembangbiakan uang. “Karena dengan bunga segitu (0%), sudah pasti tak akan ada keuntungannya. Apalagi sekarang inflasi dan BBM naik,” katanya, Senin (5/8/2022). Andy menyebut sebaiknya rekening tabungan ini digunakan untuk cash flow sehari-hari atau menerima gaji, untuk transaksi bisnis. “Jadi kalau simpan uang di bank lebih baik untuk transaksi keuangan bukan untuk menabung. Jika ingin mendapat keuntungan bisa simpan di deposito,” ujarnya.Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja mengungkap, biaya administrasi yang dikenakan bank ini digunakan untuk pengembangan sarana dan pra sarana.Nasabah juga bisa menikmati berbagai layanan perbankan agar transaksi menjadi lebih mudah. “Misalnya internet banking dan mobile banking bisa digunakan 24 jam, jaringan ATM yang luas ada di mana-mana,” jelas dia.Menurut dia, jika memang ingin menabung dan tak dikenakan biaya admin. Bisa memilih produk tabungan yang biaya admin rendah atau gratis. Namun memang transaksi dibatasi dan tak bisa menggunakan layanan e channel. Dalam tulisan yang lainnya, Senin (05 Sep 2022 07:26 WIB), Detikcom dengan tegas menyebut, bunga tabungan di bank kini sudah menyentuh level 0%. Ya, 0% alias tidak ada bunganya sama sekali. Tapi bunga 0% ini berlaku untuk jumlah simpanan dengan nominal tertentu. Tidak semua simpanan diberikan bunga 0%. Di beberapa website bank, bunga tabungan untuk denominasi rupiah ini mulai dari 0% - 1%.Misalnya untuk Tabungan Rupiah Bank Mandiri untuk tabungan 0 - Rp 1 juta suku bunga 0%, lalu Rp 1 juta sampai kurang dari Rp 50 juta juga berlaku bunga 0%.Untuk tabungan Rp 50 juta kurang dari Rp 500 juta akan mendapat bunga 0,10%. Lalu tabungan Rp 500 juta kurang dari Rp 1 miliar suku bunganya 0,6%. Lalu untuk tabungan di atas Rp 1 miliar suku bunganya 0,6%.Suku bunga akan berbeda untuk setiap produk. Untuk tabungan berjangka mulai dari 1 sampai jangka waktu 15 tahun diberikan bunga mulai dari 1% - 1,85%.Di Bank Negara Indonesia (BNI) nyaris sama. Untuk simpanan kurang dari Rp 1 juta bunga 0% (p.a). Lalu simpanan di atas Rp 1 juta hingga Rp 50 juta suku bunganya 0,10%. Kemudian di atas Rp 50 juta hingga Rp 500 juta 0,20%, selanjutnya Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar 0,60% dan di atas 1 miiar 0,80%. Dari keterangan di website, suku bunga BNI Taplus ini berlaku mulai 04 Februari 2022.Di OCBC NISP untuk simpanan kurang dari Rp 1 juta bunganya 0%. Lalu simpanan Rp 1 juta sampai dengan kurang dari Rp 30 juta bunganya 0,10%. Selanjutnya simpanan Rp 30 juta hingga kurang dari Rp 100 juta bunganya 0,10%. Untuk simpanan Rp 100 juta sampai dengan Rp 500 juta bunganya 0,50% dan simpanan lebih dari Rp 1 miliar bunganya 1%.Untuk beberapa jenis produk di CIMB Niaga seperti XTRA Savers Special untuk saldo rata-rata bulanan kurang dari Rp 1 juta bunga tabungan adalah 0%. Lalu untuk tabungan Rp 1 juta sampai kurang dari Rp 100 juta adalah 0,25%. Kemudian tabungan Rp 100 juta sampai kurang dari Rp 250 juta bunganya 1%.Lalu tabungan Rp 250 juta sampai kurang dari Rp 500 juta bunganya 2%. Selanjutnya untuk tabungan Rp 500 juta hingga kurang dari Rp 5 miliar bunganya 2,25% dan di atas Rp 5 miliar 2,5%.CIMB Niaga juga menyebut suku bunga dapat berubah sewaktu-waktu dan akan diinformasikan kepada nasabah melalui cabang. Metode perhitungan bunga dan nisbah adalah tiering progrssive kecuali produk TabunganKu, SimPel, Xtra Pandai dan Xtra Dinamis.Di Panin Bank, untuk bunga tabungan dengan rata-rata saldo 0 - Rp 1 juta adalah 0%. Kemudian saldo Rp 1 juta sampai kurang dari Rp 10 juta 0,25%.Kemudian saldo Rp 10 juta sampai kurang dari Rp 25 juta 0,25%. Saldo Rp 25 juta sampai kurang dari Rp 100 juta 0,50%, saldo Rp 100 juta kurang dari Rp 1 miliar 1%. Lalu saldo Rp 1 miliar sampai kurang dari Rp 10 miliar 1,25% dan saldo di atas Rp 10 miliar 1,5%. Berlakunya suku bunga bank sampai menyentuh 0% tersebut, tentu saja bisa membuat nasabah yang punya tabungan dengan nilai kecil hingga besar akan mempertimbangkan untuk menarik simpanannya dari bank-bank. Bagi mereka, buat apa simpan di bank kalau bunganya kecil dan nyaris tidak ada sama sekali? Kabarnya, inilah yang sekarang ini terjadi. Kekhawatiran ini jelas bisa berdampak pada ketahanan perbankan. Jika sampai terjadi rush, maka bisa berdampak pada krisis kepercayaan atas kepemimpinan Jokowi, seperti yang terjadi pada Presiden Soeharto, Mei 1998. Meski kenaikan harga BBM itu dibatalkan, tuntutan Jokowi lengser bisa saja terus bergema di berbagai daerah, seperti yang terjadi di Garut, misalnya. Jokowi sendiri sudah sejak awal 2022 boyongan barang-barang miliknya dari Istana untuk dibawa pulang ke Solo. Hal itu dilakukan agar bila nanti benar-benar lengser sebelum habis masa jabatan presiden 2024, tidak ada barang miliknya yang hilang seperti saat Presiden Abdurrahman Wahid keluar dari Istana. Konon, setelah dilengserkan melalui Sidang Istimewa MPR RI dulu, banyak barang milik Gus Dur yang hilang ketika harus keluar dari Istana. Kembali ke soal kenaikan harga BBM. Presiden mengungkapkan, berdasarkan penghitungan pemerintah kenaikan harga BBM Pertalite, Solar, dan Pertamax akan menambah inflasi sebesar 1,8 persen. Penyesuaian subsidi BBM yang diumumkan pekan lalu berimbas pada inflasi. Hitungan dari menteri-menteri, kira-kira akan naik di 1,8 persen. “Tapi saya enggak mau diem, kita harus intervensi,” ujar Jokowi dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Rabu (7/9/2022). Presiden Jokowi meminta pemerintah daerah untuk turut berperan mengatasi inflasi seperti ketika menghadapi pandemi Covid-19. Oleh karena itu pemda diwajibkan untuk membelanjakan 2 persen dari dana transfer umum (DTU) yang mencakup dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) untuk bantuan sosial (bansos). Ketentuan tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib Dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun 2022. Soeharto Lengser Jika melihat gejala dan tanda-tandanya, kondisi saat ini nyairs mirip dengan jelang Presiden Soeharto lengser dari jabatan Presiden. Jokowi harus belajar dari lengsernya Presiden Soeharto, Mei 1998. Dari jejak digital dapat diketahui, ada peristiwa yang terjadi sebelum Soeharto lengser. 1. Krisis Moneter. Dampak terjadinya krisis moneter 1997 yang melanda Indonesia sekaligus jadi titik awal gerakan reformasi. Dampaknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melambung tinggi dari Rp 2 ribu per dolar AS pada Juni 1997, menjadi di atas Rp 16 ribu per dolar AS pada Juni 1998. Bahkan angka pengangguran pun makin meningkat dari 4,68 juta penduduk pada 1997 menjadi 5,46 juta pada 1998. 2. Demo Besar-Besaran. Tercatat mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, menuntut Soeharto untuk mundur. Demo mahasiswa ini mendapat dukungan Harmoko selaku Ketua MPR saat itu. Harmoko adalah Menteri Penerangan era Orde Baru dari tahun 1983-1997. Setelahnya, ia menjabat sebagai Ketua DPR/MPR periode 1997-1999. Harmoko berpidato pada 18 Mei 1998, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. 3. Kerusuhan Merajalela. Kerusuhan, pembakaran, penjarahan, dan pemerkosaan merajalela di ibu kota dan sejumlah daerah pada 13-15 Mei 1998. Diantaranya adalah kebakaran Mal Yogya di Klender yang menewaskan 400 orang pada 15 Mei, setelah dua hari berturut-turut menjadi target penjarahan warga. 4. Ke-14 Menteri Mundur. Dengan dimotori Ginandjar Kartasasmita, ke-14 menteri menyatakan untuk mengundurkan diri secara bersama-sama dari jabatan mereka. Dari empat peristiwa di atas, hanya poin ke-3 dan 4 yang belum terjadi saat ini. Poin pertama, tinggal menunggu waktu saja saat ketahanan perbankan bobol. Poin kedua, sedang berlangsung demonstrasi di mana-mana. Semoga saja poin ketiga tidak terjadi. Kalau poin keempat, rasanya sulit terjadi. Karena, jabatan menteri sedang diuber-uber politisi. (*)
Menentukan Harga BBM Wajib Sesuai Kemampuan Ekonomi Masyarakat
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) BAHAN Bakar Minyak, BBM, merupakan barang kebutuhan (necessity goods) yang menguasai hajat hidup orang banyak. BBM dikonsumsi masyarakat luas, dari kendaraan pribadi hingga transportasi umum dan taksi, dari pertanian hingga nelayan, dan lain-lainnya. BBM juga merupakan komponen biaya produksi dan distribusi yang cukup signifikan. Kalau harga BBM naik, biaya produksi dan distribusi juga akan naik, menyebabkan inflasi, membuat daya beli masyarakat tergerus. Di negara berkembang seperti Indonesia, kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan tingkat kemiskinan. Di tengah kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah menaikkan harga pertalite dan solar pada 3 September lalu. Sangat tinggi, lebih dari 30 persen. Alasannya, untuk mengurangi subsidi BBM. Kalau tidak, APBN akan jebol, demikian alasan horor yang dikemukakan. Apa benar APBN akan jebol? Tidak ada yang tahu. Lagi pula, apa artinya ‘jebol’? Pemerintah tidak transparan dalam menghitung neraca keuangan BBM. Berapa pendapatan dan subsidi BBM akibat kenaikan harga minyak mentah? Tidak jelas! Kenaikan harga BBM ini langsung menuai protes dari masyarakat luas. Tentu saja ada juga yang mendukung. Protes umumnya berasal dari kelompok bawah. Kenaikan harga BBM akan berakibat buruk bagi mereka. Jumlah kelompok bawah ini sangat besar, merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia. Kelompok pendukung terkesan sangat liberal, harga BBM harus merujuk harga internasional, untuk mengurangi atau bahkan menghapus subsidi BBM. Selain itu mereka juga beralasan subsidi BBM tidak tepat sasaran, jadi harus dicabut. Tetapi dampaknya terhadap masyarakat miskin sepertinya kurang dipedulikan. Jadi, berapa harga BBM yang pantas di Indonesia? Apakah harus mengikuti harga internasional dengan mencabut subsidi, seperti yang dilakukan banyak negara maju antara lain Amerika Serikat, Eropa, Jepang, bahkan Singapore, Hong Kong atau Korea Selatan? Atau sebaiknya meniru Malaysia, yang memberlakukan harga BBM (tertentu) cukup rendah bagi warganya? Jawaban untuk itu, harusnya cukup sederhana. BBM adalah barang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Maka itu harga BBM wajib terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Terjangkau, artinya relatif dibandingkan dengan penghasilan masyarakat. Kalau harga BBM di Indonesia setinggi di Singapore, sekitar Rp 30.000 – Rp 40.000 per liter, maka sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan BBM-nya untuk aktivitas sehari-hari. Karena penghasilan masyarakat Indonesia jauh lebih rendah dari masyarakat Singapore dan negara maju lainnya. Pendapatan per kapita Indonesia tahun 2021 hanya 4.292 dolar AS, sedangkan Singapore sudah mencapai 72.794 dolar AS, atau 17 kali lipat dari Indonesia. Selain itu, menurut data Bank Dunia, jumlah rakyat miskin di Indonesia mencapai 50,3 persen dari jumlah penduduk pada 2021, setara 138,9 juta orang, dengan pendapatan di bawah Rp1 juta per orang per bulan (atau 5,5 dolar AS, kurs PPP 2011). Sedangkan Singapore dan negara maju lainnya tidak ada penduduk miskin dengan pendapatan sebesar itu. Dengan pendapatan per kapita yang sangat rendah, ditambah jumlah penduduk miskin yang sangat besar, mayoritas masyarakat Indonesia tidak mampu membeli BBM dengan harga internasional. Meskipun harga BBM di Indonesia lebih rendah dari negara maju, tetapi rasio atau persentase pengeluaran BBM terhadap penghasilan bersih (disposable income) di Indonesia lebih tinggi dari negara maju. Yang lebih memprihatinkan, kelompok masyarakat bawah menanggung beban kenaikan harga BBM jauh lebih berat dari kelompok atas. Menurut salah satu studi di Amerika Serikat, rasio pengeluaran BBM terhadap penghasilan masyarakat berpendapatan rendah bisa mencapai 11 sampai 38 persen dari penghasilan bersihnya. Sedangkan bagi kelompok menengah atas hanya 2,8 hingga 4,9 persen saja. Maka itu, kenaikan harga BBM akan membuat masyarakat miskin semakin bertambah miskin. Belum memperhitungkan inflasi yang akan melonjak akibat kenaikan harga BBM. Bagi Indonesia dengan jumlah penduduk miskin sangat besar, kenaikan harga BBM dan pengurangan subsidi jelas akan membuat jumlah penduduk miskin meningkat. Di samping itu, masyarakat pedesaan akan menanggung beban kenaikan harga BBM lebih besar dibandingkan masyarakat perkotaan. Kemiskinan pedesaan akan melonjak. Maka itu, kenaikan harga BBM di tengah inflasi yang tinggi saat ini sangat tidak tepat. Mencabut subsidi BBM akan membuat masyarakat miskin menjadi lebih miskin, dan membuat jumlah penduduk miskin meningkat. Maka itu, mereka masih sangat perlu dibantu. Artinya, menentukan harga BBM, barang yang menguasai hajat hidup orang banyak, wajib memperhatikan penghasilan masyarakat agar mampu (untuk) memenuhi kebutuhan BBM untuk aktivitas sehari-hari, dan mempertahankan ekonomi sosial masyarakat agar tidak bertambah miskin. (*)
Tiga Skenario yang Akan Terjadi di Indonesia!
Dengan kata lain, determinasi umat Muslim untuk ber-jihad fii sabillah dan TNI untuk mengambil peran perubahan yang lebih besar akan menentukan skenario mana yang akan wujud. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SETELAH mengumumkan kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar cukup besar, Presiden Joko Widodo kini menghadapi prospek presidency yang gloomy. Sebelumnya mungkin tidak pernah dibayangkan oleh Jokowi, setelah berkali- kali membuat kebijakan yang relatif berjalan mulus. Riak-riak reaksi hanya berjalan beberapa hari dan rakyat akhirnya menyerah. Akibat kasus Ferdy Sambo, imbasnya rezim mengalami krisis kepercayaan serius dari dalam maupun luar tubuh institusi paling mematikan dalam sejarah Indonesia modern ini. Jokowi kini menghadapi prospek presidency yang gloomy. Ini terjadi setelah sebelumnya instrumen kekuasaan terkuatnya, yaitu POLRI, saat ini runtuh berantakan. Langit negeri ini langsung gelap saat rakyat harus memikul beban hidup yang semakin berat akibat harga-harga kebutuhan pokok naik hingga 12%. Jumlah orang miskin negeri ini oleh Bank Dunia dilaporkan sudah nyaris separuhnya. Presiden Jokowi hanya bisa bertahan dengan berapologi, dengan alasan APBN jebol jika subsidi BBM tidak dikurangi. Jokowi untuk kesekian kalinya nekad menaikkan harga BBM dengan asumsi akan berhasil membujuk masyarakat dengan BLT dan berbagai Kartu Pintar, Kartu Sehat. Padahal, semua adalah kebohongan yang diulang-ulang. Salah perhitungan semua akan berantakan dari sukses kebohongan sebelumnya. Kali ini mungkin Jokowi akan terpaksa mengeluarkan Kartu Sabar. Tapi kini baik rakyat kecil, mahasiswa maupun buruh, apalagi emak-emak dan para pensiunan sipil maupun tentara semakin tercekik harga-harga yang begitu membubung tinggi. Pengendara OJOL juga tertekan. Alhasil, Presiden Jokowi tidak akan digubris lagi oleh rakyatnya. Buktinya, demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM terjadi di mana-mana di berbagai pelosok tanah air. Peta kekuatan saat ini, akan mengulang sejarah bertumpu pada kekuatan TNI dan Umat Islam. Saat bersama negara sedang bertaruh dengan gempuran dari kekuatan global. Depresi global akan melemahkan oligarki yang kini sedang mencengkeram Indonesia. Partai politik saat ini sedang berusaha keras untuk mempertahankan memonopolinya atas politik domestik, akan rontok. Kekuatan kekuasaan dan parpol saat ini masih mengandalkan logistik yang dipasok oleh para taipan, sementara elit parpol banyak dirawat jalan oleh KPK. Mereka akan blingsatan seperti anak kehilangan induknya. Kini mahasiswa sebagai kekuatan moral dan garda terdepan demokrasi telah bangkit kembali dari tidur panjang mereka. Kondisi ini akan memunculkan tiga skenario yang akan terjadi: Pertama, China sedang terjadi pelemahan ekonomi, uang yang dipinjam ke luar negeri harus ditarik kembali (minimal pengutang harus membayar tepat waktu). China paham Indonesia akan sempoyongan. Jokowi akan jatuh karena dihantam krisis domestik dan tekanan depresi dari global, siapa yang akan ambil posisi selanjutnya tersebut harus mendapatkan dukungan dari TNI, Umat Islam dan kekuatan AS dan sekutunya. Saat itu harus dibentuk kabinet baru yang didukung rakyat khususnya Umat Islam. Harus mampu mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 45 asli, bubarkan DPR/MPR, KPK, MK, keluarkan semua tahanan politik yang selama ini di dituding melawan dan berlawanan dengan penguasa. Semua mutlak harus ada dukungan full dari Umat Islam, kalau syarat ini tidak terpenuhi keadaan akan makin kacau. Kedua, Jokowi akan tetap bisa saja bertahan sampai 2024, dengan terpaksa, ambisi perpanjangan dan atau keinginan tiga periode mental atau tidak akan terwujud. Bisa tetap bertahan karena sekalipun POLRI melemah, dan gagal direformasi tetap menjadi instrumen pendukung Jokowi dengan back up dari oligarki. Umat Muslim akan tetap tertekan, POLRI tetap brutal, sementara TNI makin kehilangan jati dirinya. Ketiga, TNI berhasil bangkit merebut jiwa Sapta Marganya, mengambil hati rakyat, terutama ummat Islam, yang didukung banyak partai politik sekaligus mendorong reformasi total atas POLRI. Dengan dukungan dari AS, TNI akan berhasil menjaga jarak dengan Presiden yang selama ini terlalu dekat dengan POLRI dan China. Jokowi akan jatuh sebelum 2024 kecuali mengakomodasi aspirasi rakyat yang menghendaki kembali ke UUD 45 naskah asli. Oligarki pendukung Jokowi akan retak dan terus melemah karena ikut terkena depresi ekonomi/politik global yang berubah akan menerpa perkembangan politik domestik di Indonesia. Kondisi seperti ini dipastikan TNI akan mengakomodasi para pimpinan dan tokoh nasional yang loyal utuh dengan nafas dasar Pancasila dan UUD 45 asli. Karena TNI tidak memiliki tradisi kudeta untuk ambil-alih kekuasaan, tetapi hanya akan menjaga negara tatap sesuai roh dan arah tujuan negara sesuai pembukaan UUD 45 asli. Keadaan ini terjadi akibat kelola negara yang sudah menyimpan dari pakemnya UUD 45 asli dengan segal resikonya. Ketiga opsi di atas peluangnya sama besar, dan mana yang akan terjadi itu terpulang kembali pada gerakan people power oleh rakyat bersama para mahasiswa yang sedang dan akan terus berlangsung saat ini. Penentunya ada di TNI bersama Umat Islam dan campur tangan AS, sejarah perubahan politik dalam negeri akan terulang kembali. Dengan kata lain, determinasi umat Muslim untuk ber-jihad fii sabillah dan TNI untuk mengambil peran perubahan yang lebih besar akan menentukan skenario mana yang akan wujud. Pemaparan dari salah satu mahasiswa di atas dengan dibantu narasinya dan tambahan ide serta pendapat dari teman-teman kajian/diskusi, tersusunlah narasi yang saat ini bisa kita baca bersama sama. Selebihnya, skenario tunggal adalah ada dikuasa skenario Allah SWT yang tak pernah tidur. (*)
Letkol Mubin Ternyata Menjadi Guru Bahasa Arab dan Kebangsaan
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Letkol Purn H. Muhammad Mubin korban dari pembunuhan bermotif misterius yang dilakukan secara sadis oleh Henry Hernando alias Aseng bersama ayahnya Sutikno di Lembang meninggalkan kejutan. Ternyata mantan Dandim ini pernah menjadi pengajar sebuah pondok pesantren di Purbalingga. Almarhum mengajar Bahasa Arab dan Bahasa Inggris di depan para santri. Menurut puterinya Muthia ayahnya mengajar di pondok pesantren itu kurang lebih satu tahun sebelum ia berpindah ke Bandung. Tentang kemampuan Bahasa Arab yang dikuasainya itu Muthia menjelaskan karena Almarhum dahulu adalah santri di Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang. Setelah purna dari tugas sebagai TNI Mubin bekerja di perusahaan batubara dan minyak di Kalimantan. Selama 12 tahun. Kepindahan ke Jawa itulah yang memulai langkah bekerja pada pengabdian keagamaan untuk kembali ke lingkungan pondok pesantren dengan menjadi pengajar bahasa Arab dan Bahasa Inggris tersebut. Setahun kemudian ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai sopir di perusahaan meubel milik H Salim di Lembang. Mubin selalu berprinsip tentang pekerjaan yang halal dan berkah. Saat melamar sebagai sopir di perusahaan meubel ia sempat ditolak karena kata pemilik perusahaan tugasnya itu berat, bukan hanya sebagai sopir tetapi juga harus mengangkat barang meubeuler yang dijualnya. Atas kesanggupannya ia pun diterima. Baru 40 hari bekerja, peristiwa tragis telah menimpanya ia meninggal dibunuh secara keji hanya karena mobil pick up nya parkir di sebelah gudang yang pintunya tertutup milik Sutikno dan puteranya Henry alias Aseng. Menurut Muthia ayahnya selalu mengajarkan hidup bersyukur kepada Allah. Jika ia berjalan bersama dan melihat ada pengemis, saat bersedekah juga menyatakan perlunya selalu bersyukur akan rizki Allah, karena Allah masih memberi kelebihan kepadanya dibandingkan orang lain. Muthia sendiri bersyukur ayahnya memasukan ke pesantren tahfidz hingga ia kini hafal 20 juz Al Qur\'an. H Salim pemilik perusahaan juga senang dengan karyawan barunya ini. Ia sangat memperhatikan dan menyayangi puteranya Muhammad yang selalu diajak shalat bersama di Mushola tokonya. Ternyata Muhammad yang selalu diantarkan ke sekolah TK nya ini yang membersamai akhir hayat Letkol Purn yang baik tersebut. Melihat orang tua di sebelahnya ditusuk bertubi-tubi hingga bersimbah darah Ia tidak kuat sehingga harus lari setelah membuka pintu mobil. Sungguh sadis perbuatan Henry alias Aseng ini karenanya perlu diketahui motif sebenarnya apa benar sekedar parkir saja. Kepolisian harus terbuka dan tidak boleh menutup atau melindungi seseorang dalam kasus ini. Saat di Polsek Lembang, terasa ada rekayasa. Publik melihat ada \"perlindungan\" baik kepada Henry Hernando maupun ayahnya Sutikno. Bahkan terkesan keterlibatan Sutikno cenderung diabaikan atau disembunyikan. Orang baik Letkol Purn H Muhammad Mubin telah tiada, dibunuh secara keji oleh pengusaha arogan penjual pupuk di Lembang Bandung. Bermotif misterius apakah kebencian, ketakutan, atau lainnya. Peristiwa luar biasa yang tentu tidak bisa ditangani sekedarnya. Buka CCTV dengan seterang-tetangnya sebab rekaman dan penglihatan Ilahi tidak bisa dibohongi oleh siapapun termasuk Polisi. (*)
Jokowi di Puncak Kejatuhannya
Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI Mulutnya dipenuhi kebohongan, memercik air liur fitnah, terbiasa memakan uang haram dan menyeru kedzoliman. Begitulah perilaku kekuasaan yang sering teriak saya Pancasila dan saya NKRI. Menjadikan korupsi sebagai tradisi dan terbiasa pada kejahatan kemanusiaan lainnya, sebagai satu-satunya keahlian dan kemampuan terbaik dalam penyelenggaraan negara. Kenaikan harga BBM memang tak bisa dihindari menjadi pil pahit dan menimbulkan gejolak di masyarakat. Penghapusan subsidi sektor penting kebutuhan publik itu, dipastikan berdampak melambungnya harga-harga bahan pokok dan semakin menurunnya daya beli rakyat. Rezim sekonyong-konyok merampok uang rakyat dengan siasat menaikkan harga-harga kebutuhan pokok dan kepentingan rakyat. Sesaat rezim merasa tak tegoyahkan dan tak tersentuh hukum. Meskipun kebijakan menaikkan harga pertalite dan solar dilakukan pada momen yang tidak tepat saat ekonomi rakyat tertekan karena PHK di-mana-mana dan angka kemiskinan meningkat akibat pandemi. Tetap saja demikian sulit menggoyahkan posisi rezim apalagi sampai melengserkannya. Betapapun daya tolak rakyat begitu tinggi terhadap sebagian besar kebijakan pemerintah, yang diwakili gerakan mahasiswa dan buruh serta elemen perlawanan lainnya. Kebijakan kenaikkan harga BBM tetap tak terbendung, sekali lagi rakyat tak bisa berbuat apa-apa. Hanya mampu sekedar mengeluh, bersungut-sungut dan mengeluarkan sumpah-serapah kepada rezim. Dua periode kepemimpinan Jokowi yang terus mengalami degradasi dalam bidang ipolesosbudhankam, hanya mampu menghasilkan wajah pemerintahan yang korup, diliputi utang yang tinggi berbarengan dengan serbuan TKA Cina dan pajak yang mencekik rakyat. Tidak hanya dalam soal ekonomi, perilaku ugal-ugalan kekuasaan juga berhasil membunuh demokrasi, bertindak represif serta mengancam keamanan dan keselamatan rakyat demi melanggengkan kekuasaannya. Hukum telah menjadi mainan bagi kalangan yang berduit. Sementara konstitusi dikuasai oleh oligarki melalui para politisi dan birokrasi yang mudah dan murah dibeli. KPK, KPU, Komnas HAM, TNI, Polri dlsb., telah menjadi alat kekuasaan bukan alat negara. Mereka diam seribu bahasa, seolah tak peduli dan bahkan ikut mendukung kejahatan yang dilakukan sebagian besar penyelenggara negara. Pelbagai distorsi penyelenggaraan negara baik yang dilakukan secara personal maupun secara terstruktur, terorganisir dan sistemik dalam institusi pemerintahan. Sudah menjadi serba permisif dan seakan-akan melembaga dan mulai mewujud tradisi. KKN, perampasan, pemerkosaan, penyiksaan dan pembunuhan, terjadi tidak hanya oleh pelaku kriminal biasa. Begitu miris dan memprihatinkan, kejahatan kemanusiaan itu juga dilakukan oleh banyak aparatur negara. Unjuk rasa rakyat dalam berbagai upaya menuntut haknya, dihadapi dengan tindakan kekerasan dan penganiayaan oleh rezim. Politisasi dan kriminalisasi kerapkali dijadikan modus oleh pemerintah dalam membungkam suara rakyat dan kelompok kesadaran kritis, demi melanggengkan kekiasaannya. Tak sedikit para aktifis dari mahasiswa, buruh, jurnalis, akademisi hingga para ulama, harus menerima penganiayaan hingga berujung meregang nyawa akibat kekejaman aparatur negara. Pemerintah tak lagi mampu menyembunyikan aib dan kebusukannya betapapun kekuasaannya begitu menyelimuti seluruh negeri dari mulai jalanan hingga di balik pintu-pintu rumah rakyat. Konflik interest di antara pemangku kepentingan publik, sekonyong-konyong menyeruak dengan sendirinya di hadapan publik. Kekuasaan yang dzolim dan melampaui batas, tanpa disadari justru menjadi kelemahan rezim itu sendiri. Semakin terbuka dan telanjang kekuasaan mempertontokan kekuasaannya, semakin terlihat kebobrokannya. Aparat pemerintahan yang bejad yang semakin membuat rakyat sekarat, hanya tinggal menunggu waktu. Kalau tidak karena perlawanan rakyat yang sejauh ini masih terlena, tak terorganisir dan tidak solid, boleh jadi kekuasaan rezim yang bengis itu akan hancur oleh keserakahan dan ketamakannya sendiri. Rezim bisa jadi terlalu kuat dan sulit untuk dilengserkan. Kekuatan uang yang disokong oleh olgarki dengan memanfaatkan jabatan dan senjata aparat, telah berhasil membungkam kesadaran kritis dan perlawanan semua entitas pergerakan. Rakyat juga mungkin bingung menghadapinya dan hanya bisa ngedumel sembari pasrah menerima keadaan. Namun bukan tak mungkin bagi kebanyakan yang menjadi korban rezim, akan lahir kekuatan dari doa-doa rakyat yang tertindas dan teraniaya. Karena sejatinya, doa-doa orang yang terdzolimi sungguh dekat dengan Tuhan. Tampaknya sudah terasa dan tak bisa dihindari lagi. Tidak ada kekuasaan yang abadi selain kekuasaan Tuhan. Bagi para pelaku kejahatan, terlebih yang memanfaatkan negara untuk memenuhi ambisi dan nafsu kekuasaannya hingga tega mengorbankan rakyat. Pastinya, seiring waktu akan menemui hukuman dan balasan yang setimpal dari Tuhan baik di dunia maupun akherat. Tak ada pesta yang tak berakhir, tak ada bangkai yang ditutup-tutupi mampu menyimpan bau busuknya. Seperti kasus Ferdi Sambo yang menjadi tragedi di tubuh Polri, menjadi sinyal kejahatan institusional yang telah menjadi contoh dari sekian banyak ketidakberesan di republik ini. Atau selayaknya kita perlu memahami semua itu telah menjadi kehendak Tuhan. Begitulah kekuasaan Tuhan mengemuka, salah satunya dalam mubahalah seorang Ulama penuh kharisma bernama Habib Riziek Syihab. Begitu nistanya rezim menghina rakyat, umat dan agama Islam serta memperlakukan buruk ulama, maka tinggal menunggu waktu saja Tuhan mencabut kemuliaan dan merendahkan rezim kekuasaan, serendah-rendahnya manusia yang mendapat laknat Sang Pencipta. Rakyat yang tak berdaya, tertindas dan teraniaya oleh perilaku aparat negara yang korup dan bengis. Lambat-laun akan menjadi kekuatan yang tak disadari dan menjadi bumerang bagi penguasa. Sekalipun dengan uang, jabatan dan kekuasaan yang besar dan tinggi sekalipun. Rezim Jokowi sesungguhnya sedang berada dalam puncak kejatuhannya. *) Catatan dari pinggiran kesadaran kritis dan perlawanan.
Malah Bagus, Koran Kompas Memperjelas Posisinya
Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior FNN, Pemerhati Sosial Politik SAYA setuju koran Kompas memasang foto yang tak relevan dengan judul dan isi. Dalam laporan berita “Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa”, Pemred Budiman Tanuredjo memasang foto Anies Baswedan yang sedang berada di kantor KPK. Gubernur DKI itu, pada 7 September, diperiksa oleh lembaga antikorupsi ini terkait dugaan korupsi dana Formula E. Mengapa saya setuju? Karena itu berarti Kompas tidak munafik. Dalam bahasa lain, koran ini konsisten. Mereka, untuk kesekian kalinya, menegaskan kembali posisinya: yaitu anti-Islam, benci Islam. Kompas memperjelas misi dan keinginan mereka. Ini malah bagus. Tidak abu-abu. Begitulah seharusnya. Lewat artikel dengan foto tak wajar itu, Kompas ingin menyampaikan pesan terselubung bahwa Anies adalah contoh orang korup. Meskipun belum terbukti. Terus, untuk apa Kompas melakukan ini? Ya, itu tadi. Konsisten dalam sikapnya membenci Islam, umat Islam, terutama Islam politik. Orang langsung tahu bahwa Kompas selalu seperti itu. Anies dianggap sebagai salah satu ikon Islam politik. Dia didukung oleh umat Islam. Dan dia punya peluang untuk menjadi presiden lewat pilpres 2024. Karena peluang itu sangat besar, Kompas merasa perlu menyudutkan Anies dengan segala cara. Termasuk cara halus yang diboncengkan di artikel yang foto ilustrasinya tak “nyambung” itu. Targetnya: Anies jangan sampai menjadi presiden. Sebetulnya, Kompas tak suka Islam itu sudah ada sejak kemunculannya. Mereka memang membawa misi itu. Kalau Anda mau mengamati pemberitaan mereka tentang hal-hal yang bisa memberatkan atau memojokkan umat, pasti Anda akan temukan misi yang dimaksud. Biasanya Kompas ‘gaspol’ dalam pemberitaan, artikel, dlsb. Sebagai contoh, Kompas akan menurunkan liputan dari berbagai ‘angle’ kalau itu tentang penangkapan terduga teroris, tentang radikalisme, intoleransi, Islam liberal, dll. Ada juga soal guru-guru pesantren yang melakukan pencabulan yang diturunkan sebagai berita besar. Ada yang salah? Tentu tidak ada. Kompas boleh-boleh saja tak suka Islam. Itu hak mereka. Yang mungkin salah adalah ‘fairness’ mereka. Publik merasa Kompas tidak adil. Tidak fair. Orang-orang Kompas sekarang ini melihat Anies sebagai musuh yang harus dicegah dan dihadang agar tidak bisa ikut pilpres 2024. Jadi, tak heran kalau artikel “Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa” mereka gunakan secara halus untuk menggiring opini publik bahwa Anies adalah koruptor. Publik marah. Mereka mampu membaca tujuan Kompas. Karena itu mereka menyerbu kolom komentar koran ini dan akun-akun resmi media sosial Kompas. Inilah yang saya sebut bagus, bahwa Kompas tidak menyembunyikan ketidaksukaannya kepada Islam, umat Islam. Mereka juga tidak sembunyikan ketidaksukaan pada Anies yang dijadikan idola capres oleh umat Islam. Kompas memang kerepotan. Mereka tidak menemukan aspek yang paling sexy untuk disematkan ke Anies. Mau disebut radikal, tak jalan. Mau disebut intoleran, tidak terbukti. Mau disebut partisan, sepenuhnya tak berdasar. Akhirnya, orang-orang Kompas mencoba stigma korupsi untuk Anies. Lumayan, ada pemanggilan dan pemeriksaan KPK. Sekali lagi, yang dilakukan Kompas itu sangat bagus. Semua orang tahu afiliasi politik Kompas. Publik tidak perlu susah-susah mencari koordinat politik koran itu. Selama ini masyarakat hanya tahu koordinat fisiknya saja. Sekarang, koordinat politik dan koordinat fisik Kompas sudah terintegrasi di Peta Islamofobia Indonesia. Sehingga, nantinya kalau ada yang perlu memberikan masukan kepada Kompas, bisa datang langsung ke alamat mereka.[]