OPINI

Sepak Terjang Korporasi Global di Indonesia dan Pelbagai Belahan Dunia (1)

Demikianlah sekelumit kisah mengenai sepak-terjang dua korporasi global Gerber Food dan the International Nestle yang kebetulan keduanya bergerak di sektor produk susu dan makanan bayi. Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI) SEKELUMIT kisah di bawah ini merupakan rangkaian cerita kelam berkaitan dengan sepak-terjang Multi National Corporation (MNC, sekarang nyebutnya Korporasi) sebagai kekuatan global di beberapa negara. Mari kita ambil contoh apa yang terjadi di Guatemala. Baru-baru ini, Jenny Suziani, staf kami di Global Future Institute membuat suatu research pustaka yang relatif cukup komprehensif berkaitan dengan dampak globalisasi terhadap para buruh wanita hamil di sejumlah negara. Kelakuan MNC AS Gerber Food di Guatemala Dalam kasus Guatemala, salah satu MNC yang layak kita sorot adalah Gerber Food, yang demi untuk mempromosikan konsumsi susu bayi bagi para wanita di Guatemala, dengan teganya menolak produk perundangan-undangan yang mendukung para ibu untuk menyusui anaknya dengan Air Susu Ibu (ASI). Cara yang ditempuh Gerber Food sebagai korporasi multi-nasional adalah dengan memaksa World Trade Organization (WTO) agar pemerintah Guatemala untuk menekan Guatemala agar menghapus batasan pada produk makanan bayi. Dan Gerber Food berhasil memaksa WTO menekan pemerintah Guatemala. Padahal, pemerintah Guatemala sebelumnya menetapkan undang-undang untuk mendukung pemberian ASI para Ibu Rumah Tangga, dan pada saat yang sama membatasi penggunaan, juga penyalah-gunaan susu formula bayi, karena terkait dengan tingginya tingkat kematian bayi di negara-negara miskin. Karenanya Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan panduan yang berguna bagi konsumen buta huruf. Dalam panduan ini tercantum juga batasan pemakaian adegan atau gambaran pemberian susu botolan pada bayi dalam iklan maupun kegiatan pemasaran lainnya. Setelah pemerintah Guatemala menerapkan undang-undang tersebut secara efektif pada 1988, penelusuran pustaka beberapa staf kami di Global Future Institute membuktikan bahwa seluruh pemasok susu dalam dan luar negeri di Guatemala mengubah cara pengemasan produk mereka. Hasilnya, tingkat kematian bayi turun drastis. PBB berpendapat bahwa Guatemala adalah contoh yang baik dalam hal penerapan aturan bagi penggunaan susu formula bayi. Namun ya itu tadi, Gerber Food sebagai perusahaan multi-nasional Amerika Serikat yang bergerak dalam produk susu bayi, menolak peraturan baru yang diterapkan pemerintah Guatemala terssebut dan bahkan berhasil mengobrak-abrik produk hukum Guatemala tersebut. Perusahaan ini tetap memakai gambar bayi gemuk dan ‘sehat’ di kemasan dan iklan mereka. Singkat cerita, pemerintah Guatemala gagal memaksa Gerber untuk mengubah kemasan. Gerber meminta pemerintah AS untuk melaporkan tindakan pemerintah Guatemala ini kepada WTO. Pemerintah AS ternyata tidak harus bersusah-payah memberikan laporan, karena pemerintah Guatemala sudah takut terlebih dahulu pada tindakan WTO. Akhirnya pemerintah Guatemala menyatakan bahwa peraturan tentang citra bayi dalam iklan dan pemasaran tidak berlaku bagi produk Gerber. Dengan demikian, Guatemala dipaksa untuk mengorbankan kesejahteraan bayi-bayinya demi kepentingan korporasi tersebut. Kelakuan MNC Swiss The International Nestle Satu lagi kisah kelam sepak-terjang jaringan industri raksasa produk susu bayi asal Swiss The International Nestle. Sebagaimana terungkap melalui berbagai sumber, Kampanye menentang cara promosi pabrik susu formula yang tidak etis, mulai berlangsung akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Semula diwarnai tanda tanya, mampukah kekuatan anti global itu melawan jaringan industri raksasa yang begitu rapi organisasinya. Namun berbagai kalangan gerakan anti globalisasi nampaknya tak ada ruginya untuk mencoba. Maka ketika itu terbitlah buku The Baby Killer pada tahun 1974 yang berisi pemantauan kelompok konsumen Inggris War on Want yang amat menghebohkan. Buku yang diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa Eropa Barat itu langsung menggugat nama baik Nestle, pabrik susu formula terbesar di dunia asal Swiss tersebut. Salah satu versi terjemahan buku tadi diterbitkan di Swiss dalam bahasa Jerman. Dengan perubahan judul yang provokatif, Nestle Membunuh Bayi-bayi. Penerbitnya langsung dituntut ke pengadilan oleh Nestle. Lewat proses pengadilan selama dua tahun, 13 orang aktivis konsumen Swiss yang menerbitkan buku terjemahan tadi dinyatakan bersalah, tapi Nestle sendiri memperoleh peringatan keras untuk memperbaiki cara pemasarannya. Akibatnya, jutaan orang dari puluhan negara bergandengan tangan mengkampanyekan The International Nestle Boycott, yang berlangsung selama enam setengah tahun, sehingga akhirnya perusahaan multinasional itu pada September 1984 memutuskan untuk mengubah citranya. Nestle merupakan perusahaan susu formula pertama yang menghilangkan gambar bayi montok pada kaleng produknya, tiga tahun setelah keluarnya Kode Internasional Pemasaran PASI (Pengganti ASI). Demikianlah sekelumit kisah mengenai sepak-terjang dua korporasi global Gerber Food dan the International Nestle yang kebetulan keduanya bergerak di sektor produk susu dan makanan bayi. Tentu saja bukan maksud penulis untuk berpanjang kalam dalam kasus tersebut di atas. Lebih dari itu, kedua kasus tersebut hanya sekadar gambaran kecil betapa besar dan kuatnya pengaruh berbagai korporasi dalam menentukan arah kebijakan strategis pemerintahan suatu negara, bahkan di negara tempat korporasi-korporasi besar tersebut berasal. Dalam kasus Gerber Food yang merupakan perusahaan multi-nasional Amerika, melalui kasus ini secara nyata membuktikan bahwa pemerintahan di Washington pun harus tunduk pada arahan kebijakan strategis ekonomi yang ditetapkan oleh Gerber Food, sehingga melalui tangan-tangan Gerber Food di Departemen Perdagangan dan bahkan WTO, pada akhirnya mampu memaksa pemerintahan Guatemala agar tidak memberlakukan Undang-Undang pembatasan produk susu dan makanan bayi terhadap Gerber Food. (*)

Islamophobia Tidak Ada? Buta Keles

Oleh M. Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  KETIKA Menag Yaqut menyatakan setuju dan memberi dukungan pada Resolusi PBB tentang penetapan hari penghapusan Islamophobia maka tentu ia meyakini bahwa Islamophobia itu ada. Negara-negara PBB penting untuk menjalankan Resolusi tersebut di negaranya masing-masing. PBB tidak mengkhususkan Islamophobia pada negara minoritas muslim, tetapi seluruh negara termasuk Indonesia yang mayoritas muslim.  Pernyataan Imam Besar Istiqlal Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA bahwa di Indonesia tidak ada Islamophobia bukan saja mengada-ada tetapi juga buta pada realita. Kasus-kasus penyikapan negatif pada Islam dan umat Islam bukan tidak ada, bahkan banyak. Dasarnya adalah Islamophobia.  Pak Imam harus tahu bahwa bentuk Islamophobia itu beragam antara lain menista atau menodai agama. Tidak adakah di Indonesia? Lalu menuduh tanpa dasar bahwa agama itu yang membuat radikalisme, intoleran atau terorisme. Islam dan umat Islam yang difitnah sebagai tertuduh.  Program moderasi beragama juga berbasis Islamophobia. Kriminalisasi ulama dan aktivis Islam serta membiarkan faham dan aliran sesat keagamaan seperti ahmadiyah, syi\'ah, bahaisme dan lainnya adalah Islamophobia. Membenturkan adat Istiadat dengan agama Islam termasuk di dalamnya.  Lebih jauh menginterpretasi Islam secara liberal dan pengembangan sekularisme yang berujung pada de-Islamisasi atau de-Qur\'anisasi adalah Islamophobia akut. Terma yang ada dalam Al Qur\'an yang harus dihindari dibaca dan di da\'wahkan seperti qital, qishosh, khilafah, jihad, ghazwah, kafir atau lainnya. Kaum Islamophobia ada di mana-mana. Buzzer yang teriak kadrun-kadrun dan anti Arab itu adalah kaum Islamophobia.  Kelompok yang membenturkan Islam dan Pancasila lalu menyatakan bahwa Pancasila itu seperti rumusan 1Juni 1945 itupun Islamophobia. Ingin menafikan bahwa Pancasila 18 Agustus berasal dari Piagam Jakarta. Mereka ketakutan berlebihan pada Islam.  Kaum Islamophobia menganggap Islam hanya urusan shalat dan puasa. Bisa haji sudah cukup. Tetapi ketika Islam mengharamkan bunga, mengutuk LGBT atau melarang kawin beda agama maka itu disebutnya radikal. Kaum itu memberi predikat umat Islam intoleran dan anti kemajemukan.  Nah pak Imam Besar, coba buka mata dengan jernih betapa umat Islam kecewa dengan sikap pemerintahan kini yang berbau Islamophobia. Meminggirkan dimensi sosial dan politik keumatan. Pak Imam jangan larut dan ikut-ikutan menuduh umat ini radikal, intoleran atau teroris. Pak Imam Besar bisa menjadi kaum Islamophobia. Walau memimpin Masjid negara sebagai Ketua DKM.  Islamophobia tidak ada tetapi radikalisme agama ada, bias dan tendensius pandangan Nasaruddin ini.  Katanya, \"praktek penyebaran radikalisme, intoleransi dan kebencian di mimbar agama nyata terjadi dan harus diakui guna memunculkan kewaspadaan dini\". Nah payah.  Islamophobia itu ada, masif, dan invasif karenanya harus diwaspadai dan diantisipasi. Bahkan harus dilawan dan dibasmi. PBB telah mencanangkan hari dunia melawan Islamophobia. Pak Menteri Agama telah mendukung, namun Pak Imam Besar malah menafikan atau berujar \"Islamophobia tidak ada\". Buta kalee.  \"Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi sehingga hati dan akal mereka dapat memahami ?\"-- fainnahaa laa ta\'maal abshooru wa laakin ta\'maal quluubu allatii fiish shuduur (sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta itu ialah hati yang ada di dalam dada)--QS Al Hajj 46. Bandung, 24 Juli 2022

Rakyat Akan Melawan – Ambil-Alih Kekuasaan

Proses tata kelola negara dan demokratisasi telah tersesat di jalan yang terang. Para pendekar konstitusi yang lahir dari rahim reformasi tampak semakin tak berdaya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih “RAKYAT yang sedang lapar telah melepas sebuah pertanyaan: Rezim ini akan membuat regulasi UU apa lagi untuk membunuh rakyatnya. Rakyat yang telah susah dan menderita terus-menerus dirundung kecemasan kolektif dari ranah masyarakat sipil (civil society) bukan tanpa alasan. Karena UU yang sungsang telah menjadi penyebab laten ahirnya rakyat yang harus menderita dan telah terjadinya disharmoni di dalam ritme kehidupan ekonomi dan politik”. Lahirnya regulasi UU yang ditandai dengan cacat bawaan terjadi, itu karena kedunguan, cipta rasa dan akalnya sudah seperti batu. Rakyat sendiri sudah mengetahui bahwa rezim telinganya sudah tuli dan matanya sudah buta, itu karena indikasi kuat akibat serangan virus koin yang maha dahsyat. Disharmoni revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja sampai sekarang menggoreskan rasa pedih berupa memori kolektif yang destruktif.  Pemerintah dan DPR terus over confidence, dan jumawa menafikan suara dan aspirasi rakyatnya. Kebiasaan selama ini menganggap bahwa rakyat ini akan terus menerima, diam dan mengalah apapun yang akan mereka paksakan. Salah duga saat ini rakyat sangat peka, bahkan tetap terus pasang telinga dan mengamati keadaan yang sedang dan akan terus terjadi. Dalam pengawasan rakyat muncul putusan MK bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang cacat formil. Bahwa pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tetapi yang muncul noted UU Cipta Kerja dinyatakan “inkonstitusional bersyarat”. Rakyat pun sudah bisa membaca dengan jelas putusan MK yang anomali tersesat di jalan yang terang. Rakyat akan memulai aksi demo menuntut cabut UU Cipta Kerja. Demo besar harus dilakukan karena wakil rakyat memang sudah tidak ada. Jangankan wakil rakyat yang harus mengekspresikan dan memperjuangkan rakyat. Yang terjadi titik balik mereka sudah berselingkuh dengan kekuasaan dan Oligarki. Rakyat sudah siap kalau harus benturan dengan penguasa. Sudah tidak ada waktu rakyat terus diam dan mengalah dalam menghadapi  kekuasaan yang semakin ugal ugalan. Kini trending topic akan disahkannya RKUHP (Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana). Kalau pemerintah nekad bakal menjadi ajang awal lahirnya huru-hara, rakyat terpaksa harus melawan penguasa, ini waktunya. Memang aneh bin ajaib terjadinya tarik ulur antara rakyat dengan mereka yang merasa mewakilinya, yang justru saat ini memiliki otoritas membentuk dan menyesahkan UU. Ditengarai Pemerintah dan DPR lagilagi akan memaksakan RKUHAP yang akan mengancam kebebasan bersuara dan aspirasi rakyat akan dimatikan. Duet maut roh jahat eksekutif-legislatif, sebagai eksekutor UU makin bengis dan kejam, harus di dilawan dan dihentikan. Suara dan aspirasi rakyat diabaikan. Saran berupa pendapat pemikiran jernih dari para pakar dan ahli tata negara betapa bahaya RUU-KUHP tidak digubris sama sekali. Mantra-mantra para sesepuh dan para spiritual untuk mengerem dan mengendalikan roh jahat jangan ugal-ugalan, lumpuh total. Memaknai partisisipasi publik hanya terjadi dari hasil rekayasa pabrikan para begundal bandit-bandit politik negara, rakyat harus menerima dan menelan apapun akibat buruk yang akan terjadi di kemudian hari. Kali ini rezim salah perhitungan akan merasakan akibat dari kesombongan, kekejaman dan angkuhnya seolah-olah semua kebijakan yang melawan rakyat selalu aman. Kali ini akan kena batunya. Pertarungan antara roh jahat rekayasa pembentuk undang-undang yang akan memaksakan kehendaknya, hanya menggunakan senjata kuantitas berbasis data dan fakta absensi anggota DPR yang hadir dalam Rapat Paripurna, sudah lapuk. Masyarakat sipil bertahan pada keutamaan dimensi kualitatif dan kedalaman substansi aspirasi rakyat. Jurang ini makin dalam dan curam, awal benturan harus dimulai dan akan terjadi. Mereka mengira akan berakhir dengan kemenangan roh jahat duet eksekutif dan legislatif akan memenangkan pertarungan tersebut. Kali ini mereka tidak sadar, salah dalam kalkulasi keangkuhan politiknya. Dan, semuanya akan berakhir. Modal nekad dan kedunguan setidaknya menyimpan “hidden agenda” (agenda tersembunyi), bagian yang tidak terpisahkan, harus diakhiri dan rakyat akan membereskannya. Awal semua bencana datang adalah hasil amandemen yang telah mengubah UUD 1945 asli telah membawa bencana kehidupan negara. Jalan keluarnya kembali ke UUD 45 asli, memang akan membawa konsekensi negara saat ini bubar dulu baru ditata kembali, adalah sangat berat. Proses tata kelola negara dan demokratisasi telah tersesat di jalan yang terang. Para pendekar konstitusi yang lahir dari rahim reformasi tampak semakin tak berdaya.  Roh jahat begitu leluasa membajak konstitusi terus menerus terjadi, lepas dari pakem UUD 45 asli yang memang sudah dinistakan, dibunuh dan dibuang. Jalan keluarnya secara alami rakyat akan bangkit melawan, mengusir roh jahat yang sudah tidak bisa diatasi dengan akal sehat dan mantra-mantra pikiran jernih, maka satu satu jalan harus diatasi dengan kekerasan - ambil alih kekuasaan. (*)

Gagasan, Narasi, dan Karya, Prinsip Anies Baswedan (1)

Oleh I. Sandyawan Sumardi - Pekerja Kemanusiaan  Bapak-Ibu dan saudara-saudara yang saya hormati. Terus terang saya tidak tahu persis, mengapa saya diminta untuk memberikan tanggapan melalui diskusi ini, buku \"Anies Baswedan Gagasan, Narasi dan Karya, Menjawab Tantangan Masa Depan Bangsa\", yang ditulis Habib Abdurrahman Syebubakar dan Habib Smith Alhadar, dua sahabat yang saya kenal sejak awal dibentuknya WAG \"Institute for Democracy Education (IDe) - Human Development\" yang didirikan  oleh sahabat saya, almarhum Ivan Hadar, seorang sosiolog yang saya kenal baik, sejak pertengahan tahun 1990-an. Independen Bisa jadi saya diminta ikut bicara dalam diskusi ini justru karena saya bukan politikus.  Saya seorang  pekerja kemanusiaan  biasa, yang independen, yang dalam pergaulan sehari-hari bersikap non sektarian, non-partisan, dalam 20 tahun terakhir banyak mendampingi komunitas-komunitas warga sederhana di kampung kota DKI Jakarta ini.  Saya ingin tetap jadi manusia merdeka, yang dalam Pilkada 2017, saya ekspresikan dengan menjadi seorang Golput.. Maka izinkanlah pada kesempatan ini saya ingin bicara tentang Anies Baswedan lebih sebagai manusia biasa yang sedang berproses dalam kepenuhannya sebagai manusia Indonesia yang berakal, bernurani, beriman,  ketimbang sebagai makhluk politik belaka. Bukankah Anies Baswedan sebagai calon presiden  akhir-akhir ini sedang banyak dibicarakan kesiagaannya untuk bertarung dalam Pemilu 2024 yang masih jauh itu?  Sehingga tanpa sadar kita cenderung memandang/menuntutnya untuk menjadi sosok manusia yang sempurna, mudah bagi kita untuk menyematkan gambaran dirinya yang serba superlatif, atau sebaliknya serba negatif secara total dalam objek buli-bulian.. Saya pun tetap merasa bebas pada awal kepemimpinannya, saya bersama \"Forum Akademisi dan Praktisi Pecinta Kampung Kota\" di mana saya menjadi fasilitator komunikatornya, pernah mengingatkan dan mengkritik Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno. Forum Kampung Kota Mengingatkan Anies-Sandi Akan Janjinya, 15 November 2017 (https://rujak.org/forum-kampung-kota-mengingatkan-anies-sandi-akan-janjinya/). Juga bersama 32 kawan saya terlibat dalam Gugatan Pencemaran Udara terhadap Gubernur DKI, Gubernur Jawa Barat, Walikota Banten dan Presiden RI. (https://www.vice.com/id/article/pkb5xv/pn-jakarta-pusat-menangkan-gugatan-warga-sebut-presiden-jokowi-dan-gubernur-anies-melawan-hukum-soal-kebijakan-polusi-udara) Saya lebih ingin membahas nilai-nilai kehidupan yang diperjuangkan Anies Baswedan. Manusia Anies Baswedan  Saya mengenal Mas Anies Baswedan di tahun 2007 di kantor Kang Mohammad Sobary, ketika saya sedang mencari bantuan untuk menyelenggarakan Festival Budaya Anak Pinggiran (3000-an) Jabodetabek 2007. Waktu itu Mas Anies Baswedan baru diangkat sebagai  rektor Paramadina.  Tenang, ramah murah senyum, tak banyak bicara, suka mendengar, terbuka,  kalau bicara yang perlu dan efektif saja, respek pada lawan bicara, meski baru dikenal, dan memang percaya diri dan cerdas. Orang Jawa bilang penampilannya \"nyatrio\", seperti satriya Jawa, dari kalangan bangsawan.. Baru dalam Pilkada Jakarta 2017, setelah komunitas warga Bukit Duri yang saya dampingi proses pemberdayaannya selama 17 tahun itu  digusur-paksa pada tanggal 28 September 2016 oleh gubernur DKI petahana Basuki Tjahaya Purnama waktu itu,  Mas Anies sebagai calon gubernur datang ke kampung kami, memberi simpati kepada warga korban gusuran,  sekaligus berkampanye dalam Pilkada 2017. Meski pendekatannya simpatik, tapi waktu itu saya tidak terlalu antusias. Kan semua ini dalam rangka kampanye juga.  Kami masih trauma pada pengalaman kampanye Pilgub 2012, di mana cagub dan cawagub bahkan datang ke Sanggar Ciliwung di kampung kami Bukit Duri 2-3X, minta dukungan Paguyuban Warga Anti Penggusuran (PAWANG). Tapi kemudian ketika gugatan warga Bukit Duri, baik gugatan class action di PN Jakarta Pusat maupun gugatan di PTUN dinyatakan menang, persis sesudah sebulan Anis-Sandi dinyatakan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih,  Gubernur Anies Baswedan mempersilakan kami, warga Bukit Duri korban gusuran, untuk datang ke balaikota.  Bahkan  Gubernur Anies saat itu berjanji kepada kami dan di depan publik, bahwa gubernur DKI, akan menerima putusan itu, dan tidak akan banding. Bahkan Gubernur Anies Baswedan kemudian  bertemu Presiden dan Menteri PU-PR untuk mohon agar pemerintah pusat juga tidak usah melakukan banding terhadap putusan menang warga Bukit Duri.  Waktu itu saya membaca di media dan mendengar sendiri dari Gubernur Anies bahwa sebenarnya Presiden juga sudah menyetujui untuk tidak banding, \"Masa kita mau melawan warga kita sendiri\". Tapi pada kenyataannya, ternyata pemerintah pusat, melalui Kementerian PU-PR tetap melakukan banding sampai di MA, bahkan sampai detik ini, belum ada putusan, terkatung-katung. Legacy Tapi rupanya Gubernur Anies tidak tergantung pada hasil putusan pengadilan. Gubernur Anies memang benar-benar  ingin membantu warga korban gusuran, bukan hanya di Bukit Duri, tapi Kampung Akuarium, Kunir, dlsb.  Gubenur ingin bekerja sama dengan warga korban gusuran, untuk membangun \"Pilot Project\" (proyek percontohan)  pemukiman warga miskin urban di beberapa lokasi di DKI Jakarta,  dengan konsep \"Kampung Susun\", mungkin  sebagai solusi alternatif proyek DP Nol Persen yang kesulitan. Begitulah selanjutnya, kami komunitas warga pinggiran ini ternyata diajak secara pro-aktif  bekerja sama oleh Pemprov DKI, dengan  konsep CAP,  \"Community Action Plan\", yang berprinsipkan partisipasi dan kolaborasi, yang pada dasarnya adalah proses penyadaran dan pemberdayaan, baik untuk komunitas warga sederhana, maupun untuk jajaran Pemprov DKI, karena bagaimanapun ini hal dan pengalaman baru bagi kita semua. Kalau pendekatannya hanya legalitas hukum saja, tak ada terobosan \"kemanusiaan yang adil dan beradab\", tak ada \"political will\" yang kuat dari gubernur dan jajarannya, tak bakal \"Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung bagi warga eks gusuran Bukit Duri\"  itu bakal terwujud. Dan Insya Allah, pembangunan Kampung Susun Produktif Tumbuh Cakung itu sebulan dua bulan lagi bakal rampung. Saya tahu, pembangunan hunian warga sederhana Kampung Susun hanyalah salah satu masterpiece kerja Pemprov DKI 2017-2022. Saya tahu masih ada karya besar  yang besar-besar yang sudah selesai/akan selesai:  - Jakarta International Stadium (JIS), - Formula E/Sirkuit Formula E-Prix Ancol Jakarta, - Tebet Eco Park,  - Flyover Tapal Kuda Lenteng Agung,  - Jalur Sepeda Sudirman Bunderan HI, - Revitalisasi Taman Ismail Marzuki.. Memang harus diakui, dalam praktik, seorang pemimpin demokratis, yang menggerakkan warganya dengan prinsip partisipatif dan kolaboratif secara konsisten dan konsekuen, itu jauh lebih sulit, terkesan lambat, rumit menghadapi barrier dan bagaimana mengatur  birokrasi, mencari dan mengatur sistem pendanaannya, pendayagunaan anggaran  itu dengan manajemen sebaik, seselektif serta  seefektif mungkin sehingga tidak bocor dan betapa  njelimetnya  menyusun aturan-aturan hukum untuk mendukung dan  mengawal proyek-proyek pembangunan itu sampai ke masa depan. Begitulah Mas Anies Baswedan sebagai pemimpin adalah pribadi yang reflektif, berani melakukan diskresi, berani mengambil keputusan berdasarkan  pertimbangan yang komprehensif dan matang. Maka benarlah prinsip yang jadi judul buku ini \"Gagasan, Narasi dan Karya\". Setiap karya di belakangnya ada narasi. Sebelum narasi harus ada gagasan. Tidak ada karya tanpa gagasan. Tidak ada kebijakan tanpa gagasan.. Dan prinsip ini kami saksikan, kami alami  sendiri dalam praksis kerjasama komunitas warga miskin urban, dengan Pemprov DKI dan para \"stake holder\" (para pemangku kepentingan) lainnya.  Saya ingat, 10 tahun lalu, saya mengunjungi Taman Bunga Keukenhof di Belanda yang dikenal di seluruh dunia sebagai salah satu taman bunga terbesar dan terindah di planet ini, yang dibangun pada tahun 1949 oleh calon wali kota Lisse. Lisse  merupakan kota kecil di dekat Amsterdam.  Pada awalnya, calon walikota Lisse itu mengusulkan diselenggarakannya  sebuah pameran bunga agar penanam bunga dari penjuru Belanda dan Eropa, dengan harapan pameran akbar ini akan membantu Belanda, untuk mengembangkan diri  sebagai eksportir bunga terbesar di dunia.  Maka melalui riset profesional  mendalam, dirancangbangunlah Taman Bunga  Keukenhof, di sekitar Kastil Teylingen, Lisse.  Karena prestasi dan legacy ini, ia terpilih sebagai Walikota Lisse. Dan kita tahu, dalam  waktu 50 tahun Keukenhof telah menjadi sebuah taman bunga terbesar dan terindah di dunia.! Dan sejak 2017 sampai sekarang 2022, saya pun menyaksikan seorang gubernur, dengan tekun dan konsisten, sedang bekerja dalam team-work Pemprov DKI bekerjasama dengan DPRD, komunitas-komunitas warga, sebagian besar warga DKI Jakarta, mengarungi segala tantangan dan kesulitan, akhirnya pelan tapi pasti, ternyata melahirkan berbagai \"legacy\" (warisan) yang berkualitas.. Ya sah-sah saja kalau seorang calon walikota, calon gubernur, atau calon gubernur mencalonkan diri/dicalonkan untuk menjadi walikota, gubernur atau Presiden, bermodalkan prestasi/legacy nyata seperti itu. Jadi bukan karena hasil survei-surveian saja, kongkalikong politik demi kekuasaan semata, guyuran  \"money politic\" dari para oligarki, dlsb. (*)

Perhatikan Apa atau Siapa yang Berkata

Maka, ungkapan yang konon dari Ali bin Abi Thalib yang tampak objektif dan benar, “Perhatikan apa yang diucapkan, bukan siapa yang mengucapkan” mengalami degradasi legitimasi. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta SALAH satu ungkapan yang akhir-akhir ini mengemuka di media sosial dari kalangan aktivis kritis, “Indonesia tidak sedang baik-baik saja.” Di sisi lain muncul kontra narasi membantah pernyataan tersebut. Sebagian, kalau bukan seluruhnya, berasal dari para pendukung penguasa, atau sekurang-kurangnya sebagian dari kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh pemegang kekuasaan di negeri ini. Kedua, pernyataan yang bertolak belakang tersebut tak ayal menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat awam, “Sebenarnya Indonesia sedang bagaimana?” Pertanyaan tersebut wajar juga muncul bila seseorang memperhatikan sepintas lalu perkembangan situasi dan kondisi mutakhir di negeri ini. Harga kebutuhan-kebutuan pokok naik, tarif dasar listrik juga akan naik, minyak goreng langka, polisi menembak polisi, Habib Rizieq Syihab (HRS) bebas bersyarat, pandemi meningkat lagi, dan lain-lain. Salah seorang aktivis mengungkapkan pemikiran sekaligus kegelisahannya demikian. “Dugaan Cara Instrumen Mukidi Mengalihkan issu.” “Ketika tekanan Politik terhadap MUKIDI menguat (akibat kenaikan harga komoditas misalnya), maka  instrumen ini bekerja diatur oleh dirigennya kira-kira begini; Muncul si Nganu yang memainkan Jurus Covid, instansi X memainkan Jurus Teroris, Lembaga Y memainkan Jurus bahaya PKI, dan Kelompok anti Khilafah memainkan Jurus bahaya Khilafah. Yang unik itu kelompok yang ingin perubahan ada sebagian yang ikut menari di gendang tsb. Makanya perubahan gak muncul-muncul. Kira-kira benarkah analisis warung kopi ini, Prof Chirzin?” Saya pun menanggapinya dengan menyajikan data. Pertama, Tribun Banten mengunggah berita bertajuk, “Lagi, Mahfud MD Ingatkan Bahaya Radikalisme di Indonesia: Sudah Menyusup ke Berbagai Sektor!” (Tribunnews/Irwan Rismawan 2022/07/19 19:28). Saya respons, “Mahfud MD Radikal!!!” Kedua, Kompas.com mengunggah laporan, Menteri Bahlil: IKN Harga Mati, Harus Jalan Terus. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menegaskan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara adalah harga mati dan harus terus berjalan. Ia pun menegaskan sudah banyak negara yang menyampaikan minat untuk berinvestasi di proyek IKN Nusantara. Pernyataannya ini sekaligus menepis  pihak yang menyebut proyek IKN sepi investor. “Saya ingin mengatakan bahwa investasi yang akan masuk ke IKN, negara-negaranya itu sudah ada. Tapi kami kan tidak mungkin ngomong setiap hari terus negara ini, negara ini (mau investasi),” ujar Bahlil dikutip dari Antara, Kamis (21/07/2022). “Sudah kayak omong kosong, gitu. Sudah, percaya. Investasi di IKN sudah ada, contoh UEA, Korea, Taiwan, China, banyak,” katanya lagi. (Kompas.com -21/07/2022, 00:06 WIB) Salah seorang pakar ekonomi senior pun komentar, “harga mati” itu nekat, nggak mau dengar aspirasi Rakyat, ya pemerintahan diktatuur.” Saya pun menanggapinya, “Membangun Ibu Kota Negara dengan Utang dari Luar Negeri, marwahnya di mana???” Yang lain pun menimpali, “Investasi asing Pak. Dikira membangun Ibu Kota tuh proyek real estate biasa.” Ketiga, unggahan teman demikian. Ketua KPK = Polisi; Ka BIN = Polisi; Mendagri = Polisi; Ka BNPT = Polisi; Dir Pindad = Polisi; Ka Pramuka = Polisi; Ketum PSSI = Polisi. Kesimpulan kecil saya: Semua Polisi! Kembali ke judul catatan, salah seorang petinggi negeri ini pernah berkata, “Stop impor beras, stop impor gandum, stop impor garam...”, “Ini bukan negeri peraturan...”, “Saya kangen didemo Mahasiswa.” Faktanya bertolak belakang dengan katanya. Maka, ungkapan yang konon dari Ali bin Abi Thalib yang tampak objektif dan benar, “Perhatikan apa yang diucapkan, bukan siapa yang mengucapkan” mengalami degradasi legitimasi. Bahkan salah seorang Guru Besar tafsir Al-Quran senior, ketika berpesan kepada doktor baru bimbingannya mengingatkan, “Kita tidak cukup mengandalkan validitas sesuatu pada apa yang diucapkan, tetapi juga harus memperhatikan siapa yang mengucapkannya.” Kisahnya, pada suatu hari Umar bin Khathab marah besar, dan hampir menghajar seorang sahabat Nabi Muhammad saw yang berujar di depannya, “Saya suka shalat tanpa wudhu; saya suka fitnah; dan saya punya apa yang Allah swt tidak punya.” Ali bin Abi Thalib pun menenangkan Umar, dan membenarkan kata-katanya, karena dia adalah salah seorang sahabat Nabi saw yang terpercaya. Ali pun memintanya bertabayun tentang maksud ucapan yang telah memerahkan telinga Umar. “Aku bershalawat atas Nabi Muhammad tanpa wudhu; harta dan anak adalah fitnah; aku punya istri dan anak, sedangkan Allah swt tidak punya...” (*)

Otak Beton - Merusak Negara

Negara dalam bahaya, karena kepemimpinan yang mencla-mencle serta peran kepemimpinannya yang hanya sebagai pemimpin boneka, dan kemampuannya yang hanya menggunakan pikiran beton. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KAJIAN Merah Putih adalah hasil pemikiran mahasiswa tanpa membedakan tingkat (semester) dan jurusan, hanya bersepakat idenya harus memenuhi standar keilmuan dengan literatur yang dipertanggungjawabkan. Jauh dari kesan formal dan protokoler dan sementara menutup hadirnya para pakar, kecuali dalam kondisi terpaksa. Semata untuk menjaga kebebasan berpikir diantara mereka. Saat mereka berkumpul salah seorang mahasiswa semester 2 dari Perguruan Tinggi Swasta, membuka awal diskusinya dengan mengatakan bahwa: Tidak ada bangsa yang hebat yang tidak terlahir dari seorang pemikir-pemikir yang hebat. Spontan tema tersebut disepakati, dengan santai gayung bersambut. Bangsa Indonesia dilahirkan oleh sebuah pemikir-pemikir hebat yang berbeda pandangan, bagaimana pergulatan pemikiran pada saat itu sangat beragam antara Nasional, Islamis, dan Sosialis, bagaimana kita disuguhkan oleh pergulatan Pemikiran yang dilakukan oleh beberapa tokoh seperti Soekarno, Moh. Hatta, Mohammad Yamin, M. Natsir, Tan Malaka, dan beserta tokoh lainnya. Dialog di atas saat saat Indonesia dalam kondisi yang sangat rumit untuk menentukan arah negara ke masa depan. Pergulatan pemikiran para tokoh bangsa ahirnya menemukan format terbaik untuk menjaga dan menentukan arah tujuan dan perjalanan bangsa ini ke depan. Ruang pergulatan pemikiran yang seharusnya mendapatkan tempat dan kebebasan sebagai keniscayaan sebuah negara akan menapaki sejarah kejayaannya, tiba tiba tertutup oleh oknum pengendali dan pengelola negara dengan munculnya otak beton, otomatis negara dalam kondisi stagnasi dan munculnya banyak masalah yang justru akan membawa negara ke arah kehancurannya. Pondasi kehebatan bangsa ambruk oleh hadirnya pemikiran beton yang sekarang selalu digencarkan oleh Rezim saat ini. Rezim saat ini tidak mengelompokkan negara atas pemikiran komprehensif sesuai tujuan negara dan dukungan para pemikir hebat. Akibat hadirnya otak beton, berpikir serba pragmatis kekinian dengan hanya mengandalkan hutang, dan melahirkan manusia transaksional dalam kehidupan yang makin liberal otomatis menarik masuknya kekuatan lain dengan mudah menguasai negara saat ini dengan hadirnya Oligarki, bebas berbuat apa saja dengan kekuatan finansialnya. Dibangun dengan semangat dan modal hutang, berakibat terhadap sektor pembangunan yang semestinya fokus menunjang kesejahteraan rakyat semua berantakan. Pemimpin kita saat ini otaknya mengecil atau memang kecil “ocil”, otak kecil. Bagaikan “Ocil” konteks hewan besar yang berotak kecil adalah Dinosaurus, tepatnya Dinosaurus Stegosaurus. Berbadan besar dengan bobot 7 ton, tinggi 4 meter, panjang 9 meter namun otaknya hanya sebesar bola golf. Maka Stegosaurus yang hanya menggunakan otot ini menjadi bengis asal nabrak nabrak, dan berjalan tanpa arah. Problem bangsa kita bukan kemunduran dalam segi ekonomi tapi dalam segi berpikir karena masalah ekonomi pasti akan teratasi jika bangsa ini sudah berpikir secara gemilang. Kondisi saat makin sulit ketika semua pemikiran cemerlang bahkan Perguruan Tinggi ditutup dalam kontribusi pemikiran untuk pembangunan selain harus nurut dengan pola dan keinginan penguasa yang dikendalikan Oligarki. Salah satu upaya kekuatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara harus bertindak dan bergerak untuk mengembalikan porsi kebebasan para pemikir bangsa mengembalikan kiblat bangsa yang sudah melenceng sangat jauh, harus dikembalikan adalah menciptakan dan berinvestasi agar terlahir kembali ruang kebebasan bagi para pemikir-pemikir anak bangsa yang hebat. Kita melihat hari ini literasi bangsa kita sangat jauh dari negara-negara lain yang sangat menghargai lahirnya para pemikir cerdas dan gemilang. Rezim ini hanya menghargai para otak beton sebagai pekerja jalan tol, dan jenis infrastruktur dan lainnya. Pikiran pendek dan sesat itu karena memang karena kapasitasnya pemimpin negara ini sangat minim dari kecerdasan dan pengalaman mengelola yang jauh dari standar minimalis. Negara dalam bahaya, karena kepemimpinan yang mencla-mencle serta peran kepemimpinannya yang hanya sebagai pemimpin boneka, dan kemampuannya yang hanya menggunakan pikiran beton. Keadaan makin parah akibat The wrong man in the wrong place with the wrong idea and idealism (Orang yang salah di tempat yang salah dengan ide dan cita-cita yang salah), kata seorang mahasiswa menutup diskusi dengan nada sinis. (*)

Politik Hukum Bola Pimpong

Kasus Joshua sudah menjadi sorotan masyarakat, tragedi KM 50 hingga kini masih menyisakan rasa sedih, marah dan kejahatan pembunuhan kejam oleh rezim yang tidak akan bisa dihapus/dilupakan oleh waktu. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih ORANG nomor satu di Indonesia Presiden Joko Widodo dua kali melontarkan peringatan kepada Mabes Polri. Jokowi menegaskan bahwa kasus kematian Brigadir Joshua atau Brigadir Nopryansyah Yosua Hutabarat harus dibuka seterang-terangnya. Jokowi juga memerintahkan agar jangan sampai ada yang ditutup-tutupi dan harus dibuka kepada publik. Penegasan itu disampaikan Presiden Jokowi di sela-sela kunjungan kerjanya di Pulau Rinca, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Kamis (21/7/2022). “Saya kan sudah sampaikan. Usut tuntas, buka apa adanya. Jangan ada yang ditutup-tutupi, transparan. Sudah!” tegas Jokowi. Penegasan tersebut memberi kesan psikologis selama ini ada kasus kematian yang oleh kepolisian tidak dituntaskan. Adalah kasus/tragedi berdarah KM 50, berlanjut sidang pengadilan dagelan yang menyisakan kasusnya tetap gelap gulita. Peristiwa berdarah KM 50 harusnya diusut tuntas dengan terang benderang. Anomali proses hukum tersebut terus membayangi pikiran Presiden Jokowi selama ini maka minimal sekedar mengurangi beban pikiran itu langsung intervensi kasus Brigadir Joshua agar di buka apa adanya. Toh tidak ada kaitannya dengan urusan dan terkait politik dengan kekuasaan. Kasus Joshua sudah menjadi sorotan masyarakat, tragedi KM 50 hingga kini masih menyisakan rasa sedih, marah dan kejahatan pembunuhan kejam oleh rezim yang tidak akan bisa dihapus/dilupakan oleh waktu. Kasus Brigadir Joshua dan Ferdy Sambo akan dituntaskan dengan transparan atau tidak itu urusan internal kepolisian. Tidak akan bisa menutupi atau dijadikan tukar-guling untuk menutupi kekejaman tragedi KM 50 dan tragedi (menurut Arief Budiman, Ketua KPU saat itu) total ada 894 petugas KPPS yang meninggal dunia. Politik bola pompong itu tak lebih sekedar mainan belaka. Presiden akan mencopot Kapolri atau tidak, rakyat khususnya umat Islam hanya ingin mencopot Presiden kalau tragedi KM 50 tetap gelap gulita. (*)

Makna Pelukan Kapolda Metro Jaya

Berarti di sini masih ada yang “ditutupi”. Apakah benar ada pelecehan pada Putri. Atau, jangan-jangan Putri dan Bharada E itu adalah “saksi kunci” dari suatu rahasia kejahatan yang juga diketahui oleh Brigadir Joshua? Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) FADIL Imran adalah sosok yang diminta publik dipecat dari jabatannya sebagai Kapolda Metro Jaya? Benang merahnya adalah bahwa pada Jumat malam itu (8/7/2022) Irjen Ferdy Sambo menelpon Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Heru Susianto.  Ferdy Sambo cerita apa yang terjadi di rumah dinas Duren Tiga 46 Jakarta Selatan itu. Kombes Budhi datang ke lokasi. Setelah tahu kondisi mereka lalu menyusun skenario bagaimana mengamankan Ferdy Sambo. Logikanya sebagai Kapolres yang berada di jajaran Polda Metro Jaya, tentunya Kombes Budhi pasti koordinasi dengan atasannya, yakni Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran. Mungkinkah Kapolres berani bertindak tanpa petunjuk atasannya? Artinya, dari Kapolda Metro Jaya sampai dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebetulnya hari Jum\'at itu pun paham apa yang terjadi di rumdin DT-46 itu. Bukan tidak mungkin, selain kepada Kombes Budhi, Ferdy Sambo bisa saja menghubungi Fadil Imran dan juga Jenderal Listyo untuk minta “petunjuk”. Sejak itulah, diduga sudah terjadi pula “koordinasi” diantara mereka. Setidaknya, sebagai atasan langsung, baik Ferdy Sambo maupun Fadil Imran pasti minta petunjuk dari Jenderal Listyo. Namun, secara struktural, kasus ini diserahkan langsung kepada Kapolda Jaya karena terjadi di wilayahnya. Jadi, secara teknis pun, Fadil Imran bisa langsung “mengawasi” kasus yang diduga melibatkan Ferdy Sambo. Sehingga, bukan tidak mungkin, terkait dengan kasus DT-46 ini, Fadil Imran melakukan intervensi. Apalagi kedekatan antara Fadil Imran dengan Ferdy Sambo itu tampak saat keduanya berangkulan ala teletabis ketika bertemu pada Rabu (13/7/2022). Jadi, apa makna rangkulan tersebut? Semua ada benang merahnya. Maka, tidak adil kalau Kapolri tidak memecat Kapolda. Tak elok jika hanya memecat Kadiv Propam, Paminal, dan Kapolres Metro Jakarta Selatan. Presisi Kapolri tengah diuji dengan rangkulan Fadil pada Ferdy itu. Secara etika, tak elok menunjukkan keakraban keduanya di muka, apalagi sampai divideokan segala. Apakah Fadil hanya ingin menunjukkan kepada penyidik adanya kedekatan diantara keduanya, sehingga secara psikologis secara tidak langsung bisa mempengaruhi penyidikan? Atau bahkan, mungkin juga Fadil Imran pernah “dibantu” Ferdy Sambo saat Polda Metro Jaya menangani kasus “KM-50” yang menewaskan 6 laskar FPI. Ketika itu nama Fadil Imran disebut-sebut terlibat dalam kasus KM-50 yang kondisi jasad korbannya “mirip” Brigadir Joshua, banyak luka di tubuhnya. Sehingga, sebagai Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo saat itu punya wewenang untuk menentukan siapa saja yang terlibat dalam kasus KM-50 itu. Sehingga, nama Fadil Imran pun tetap aman hingga kini berkat “jasa” Ferdy Sambo. Tanda-tanda bahwa Ferdy Sambo akan dicopot itu sebenarnya sudah terlihat pada Senin (18/7/2022), dia menangis di pelukan Fadil Imran. Meski saat itu Fadil Imran menyatakan, itu hanya kunjungan biasa, kunjungan dari seorang senior kepada juniornya, kunjungan “seorang kakak kepada adiknya”. Dalam video berdurasi 24 detik yang tersebar di grup awak media itu, tampak Fadil dan Ferdy berpelukan. Irjen Ferdy Sambo tak kuasa menahan air mata. Fadil juga tampak mencium kening Irjen Ferdy Sambo. Irjen Fadil Imran mengatakan pelukan itu bentuk dukungan terhadap Ferdy Sambo atas kasus baku tembak sesama polisi di DT-46. “Saya memberikan support kepada adik saya, Sambo, agar tegar menghadapi cobaan ini,” kata Fadil saat dikonfirmasi, Kamis (14/7/2022). Ferdy Sambo ini memang angkatannya lebih muda dibanding Fadil Imran yang liting Akpol 91, seangkatan Kapolri. Sementara Ferdy Sambo angkatan Akpol 94. Sehingga dia sekarang ialah Jenderal termuda di Mabes Polri untuk level bintang dua. Menyusul tewasnya Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat di rumdin Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, pihak keluarga Brigadir Joshua melalui advokat  Kamarudin Simanjuntak meminta Kapolri untuk mencopot Ferdy Sambo dari jabatannya sebagai Kadiv Propam Polri. Setelah Ferdy Sambo dicopot, menyusul kemudian pencopotan Brigjen Hendra Kurniawan dari jabatan Paminal Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri. Hendra Kurniawan diduga mengetahui latar belakang tewasnya Brigadir Joshua. Dia pula yang disebut-sebut melarang pihak keluarga Brigadir Joshua untuk membuka peti matinya. Bersamaan dengan pencopotan jabatan Paminal Divpropam, Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto, juga dinonaktifkan menyusul Irjen Ferdy Sambo. Bagaimana dengan Fadil Imran? Hingga tulisan ini dibuat, masih aman-aman saja. Jabatannya sebagai Kapolda Metro Jaya tetap dipegangnya. Padahal, dia diduga kuat “terlibat” dalam upaya menutup-nutupi dugaan ada keterlibatan Ferdy Sambo dalam pembunuhan Brigadir Joshua tersebut. Sebagai bawahan langsung Kapolda, tidak mungkin Kombes Budhi begitu saja bergerak ke rumdin DT-46 tanpa “petunjuk” dari Fadil Imran, sehingga keluar narasi janggal seperti yang disampaikan versi polisi selama ini.     Narasi janggal yang tetap dipertahankan Polri adalah bahwa terjadi pelecehan pada istri Irjen Ferdy Sambo, Ny. Putri Chandrawati, pada Jum’at (8/7/2022) di kamar pribadi Ferdy Sambo. Ini diperkuat dengan alat bukti rekaman CCTV yang sebelumnya dinyatakan “hilang” dan baru ditemukan. Dengan demikian, berarti polisi tetap bertahan dengan narasinya bahwa telah terjadi pelecehan seksual atas Ny. Putri yang dilakukan oleh Brigadir Joshua. Apa benar? “Tetapi, sudahlah. Pada akhirnya toh kita musti dimulai penelitian ini. Apakah betul ada pemerkosaan? Apakah betul ada pelecehan seksual?” kata pengamat politik Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Selasa (19/7/2022). Kalau Mabes Polri tetap bertahan dengan narasi terjadi pelecehan atas Putri, justru memperkuat dugaan, yang nembak Ferdy Sambo sendiri. Ini diawali dengan cekcok antara Putri dengan Ferdy terkait skandal istrinya dengan Brigadir Joshua. Jika ditemukan ada banyak luka di tubuh Brigadir Joshua dapat dipastikan Ferdy marah besar, yang kemudian langsung menembaknya. Entah berapa kali tembakannya. Sehingga, Brigadir Joshua tidak mungkin bisa melawan. Setelah Brigadir Joshua terbunuh, dipastikan Ferdy panik dan menghubungi atasan dia untuk “minta petunjuk”. Itu yang menyebabkan bagaimana mereka menutup rapat kasus ini sampai 3 hari. Selama 3 hari itu, apapun bisa dilakukan Ferdy maupun tim Polri. Termasuk mengganti decoder CCTV di sana. Bisa jadi juga, dari sinilah mereka kemudian membuat rekayasa. Skekario disusun. Keluarkan pernyataan Humas Polri sesuai arahan atasan mereka. Diduga kuat, penembakan ini dilakukan dari jarak “sangat dekat”. Hal ini bisa dilihat dari luka tembak yang ada di tubuh Brigadir Joshua. Keterangan Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, Senin (11/7/2022) menyebutkan, Brigadir Joshua tewas setelah terjadi baku tembak dengan Bharada E di rumdin Duren Tiga 46 Jakarta. Peristiwa “tembak-tembakan” tersebut terjadi pada Jum’at (8/7/2022). Tapi, pihak Polri baru merilisnya, Senin (11/7/2022). Jasad Brigadir Joshua dibawa ke Jambi, Sabtu (9/7/2022). Dan, baru dimakamkan, Senin (11/7/2022). Adapun baku tembak itu terjadi sekitar pukul 17.00 WIB. “(Penembakan) itu benar telah terjadi pada hari Jumat 8 Juli 2022. Kurang lebih jam 17.00 atau jam 5 sore,” kata Brigjen Ramadhan di Mabes Polri. Belakangan tersiar kabar, Putri Chandrawati dan Bharada E, sudah meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Mereka minta perlindungan dari siapa? Toh, Brigadir Joshua sudah tewas. Berarti di sini masih ada yang “ditutupi”. Apakah benar ada pelecehan pada Putri. Atau, jangan-jangan Putri dan Bharada E itu adalah “saksi kunci” dari suatu rahasia kejahatan yang juga diketahui oleh Brigadir Joshua? Kita tunggu saja keberanian Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkapnya, seperti perintah Presiden Joko Widodo. (*)

Aku Hanya Punya Cinta

Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Hidup memang tak selalu memberikan kebahagiaan pada yang memiliki keyakinan, apalagi cuma sekadar kekayaan. Sama halnya dengan perjuangan yang tak akan pernah mudah  bagi yang  ingin memulai dan melewatinya. Begitupun halnya kehidupan dunia yang tak akan pernah memberikan kemewahan bagi yang menjaga kebenaran. Terkadang tak semua orang sanggup memetik  kehormatan dan kemuliaan karena begitu  tingginya untuk diraih, terlebih sembari menampuk beban kesengsaraan, kemiskinan, penghinaan dan segala macam rasa dicampakan dalam hidupnya. Seperti halnya dengan perseteruan yang abadi, klasik dan akan mengobarkan api peperangan sepanjang peradaban manusia. Diferensiasi antara kebenaran dan kejahatan tak akan pernah luput menghiasi perjalanan hidup manusia, baik secara personal, komunitas maupun sebagai bagian dari suatu negara bangsa sekalipun. Dalam fase tertentu, setiap orang akan berada pada persimpangan jalan untuk  memilih apa yang diyakininya atau apa yang menjadi tuntutan kebutuhan hidupnya. Tak bisa dihindari setiap yang punya hati dan jiwa akan berhadapan dengan situasi dan kondisi antara memenuhi  cita-cita dan harapannya atau hanya sekedar mengikuti realitas sosial. Bagi individu yang sehat dan normal, suatu saat akan terbentur pada tembok besar, menjadi pengikut setia kesadaran ideal spiritual atau larut terbawa arus kesadaran rasional materiil. Selain berkecamuk pergulatan hidup yang akan menentukan sekaligus memaksanya untuk berada dalam barisan yang hak atau yang batil. Perjalanan hidup juga selalu menyediakan ruang bagi bersemayamnya rasa kasih sayang, cinta dan keadilan. Porsi penting sisi-sisi humanisme  itu menyeruak seiring sejalan pada kehidupan kesehariaan. Terkadang tampil memesona dan menggairahkan dalam panggung-panggung keharmonisan dan keselarasan. Namun sering juga terlihat begitu memilukan dan menyayat hati pada saat terseret konflik pada sesama. Warna itu begitu eksotis menyimpan keindahan sekaligus sisi-sisi gelapnya yang menjadi bumbu-bumbu kehidupan, yang terkadang menggelayuti dinamika antar sesama, persahabatan dan keluarga serta menempel kuat terutama dalam organisasi dan interaksi sosial lainnya yang lebih luas. Kebahagiaan, kesenangan dan kenyamanan  bercampur-aduk menyatu dengan kekecewaan, frustasi dan penderitaan berkepanjangan. Boleh jadi setiap orang  pasti berhadapan dengan hitam putih dan beragam warna-warni kehidupannya. Kehidupan memang tak sekedar mementaskan yang benar dan salah atau juga yang baik dan buruk. Ada suasana yang menonjolkan kompetisi, keunggulan, dan kebanggaan, disamping tak terbantahkan ada yang terjerembab dan dikucilkan.  Menjadi lebih menarik tatkala bagaimana melihat pilihan-pilihan hidup dan proses serta konsekuensi yang dijalaninya. Ada yang menjadi pemenang ada juga yang menjadi pecundang. Bahkan ada juga yang \'survive\' mengambil posisioning di tengah-tengah,  di antara kenyataan-kenyataan  mainstream itu. Masing-masing memiliki kekhasan dan keunikan mengambil \"way of life\" nya berdasar selera dan tujuannya. Pada perasaan-perasaan yang merasa  superioritas itu pada akhirnya berujung dominasi dan hegemoni atas segala sesuatu. Lambat-laun mewujud dan berwajah kekuasaan yang menjadi tirani bagi berseminya semua yang ideal dalam kehidupan manusia. Distorsi dan daya rusaknya menimbulkan perasaan terpinggirkan, terbuang dan ada dalam ketiadaan. Termasuk tak ada lagi tempat bagi kemanusiaan, cinta dan kasih sayang. Hubungan sosial itu hanya dipenuhi perselingkuhan, penghianatan dan dusta yang tak berkesudahan. Cinta Buta Dalam kesempatan ini penulis berkesempatan membagi sedikit kisah cintanya, berharap positif terutama pada semua entitas sosial. Semoga bisa menjadi kisah yang menyegarkan yang bisa menjadi pelajaran dan dapat  diambil hikmahnya bagi banyak orang. Kisah Ini menceritakan pengalaman cinta yang menggeliat di tengah-tengah aktifitas sosial dan politik. Empiris yang menggandeng kehidupan pribadi dan organisasi, di dalamnya ada mozaik persahabatan, keluarga dan korelasinya dengan negara. Sebuah kisah  yang \'excited\' dilengkapi  haru-biru,   bagi yang mengalaminya begitu kental berkesan dan mengguncang jiwa. Ada kebahagiaan  sekaligus juga dilingkupi penderitaan dan yang mengenaskan. Perasaan disanjung dan dihargai juga dihina dan diabaikan, kuat begitu menyatu. Penulis sejatinya berasal dari lingkungan keluarga yang terbatas, kalau tidak mau disebut dalam serba kekurangan. Meskipun berlatar dari keturunan nenek-moyang  yang cukup dihormati dan disegani, keluargaku praktis tergolong pas-pasan secara ekonomi, setidaknya kondisi itu  bisa dijumpai pada keadaan generasi orang tuaku. Meskipun demikian dengan kekurangan ekonomi Bapak-Emakku biasa aku memanggilnya, alhamdulillah hampir semua anak-anaknya dapat menyelesaikan pendidikan sarjananya. Sebagai anak kedua dari enam bersaudara, sejak kecil , aku dianggap anak yang paling berbeda dari yang lainnya. Berbeda karena kenakalannya yang luar biasa juga mungkin prestasinya yang tak biasa. Selain sejak kecil sering bikin ulah yang membuat Bapak-Emakku senewen, aku dianggap istimewa karena meskipun jarang belajar dirumah, aku  langganan rangking satu saat SD, dan sering masuk tiga besar sejak SMP dan SMA. Pada akhirnya aku menjadi faktor penting dan berpengaruh yang signifikan membentuk eksistensi keluarga termasuk Bapak-Emakku beserta anak-anaknya yang lain. Ketika muda terutama  sejak SMA, aku sempat menjadi ketua OSIS dan Pemred Majalah Sekolah. Aku juga beruntung bisa berkesempatan mengenyam pendidikan nasionalisme di Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) di bawah pimpinan Hj. Rachmawati Soekarno Putri. Uniknya, berbarengan dengan itu, di lingkungan rumah aku menjadi ketua karang taruna RW dan ketua remaja mushalla yang gandrung mengadakan kegiatan peringatan hari besar Islam dan pengajian dengan para ustad, kyai dan habaib yang cukup vokal menentang orde baru. Dua aktifitas kecil-kecilan  yang secara Ideologis dianggap cenderung bertentangan,  yaitu Soekarnoisme dan Pan Islamisme, namun secara taktis dan strategis memiliki kesamaan karena menentang rezim Soeharto. Kegiatan kepemudaan yang religius itu memang penuh tantangan sekaligus menyenangkan, karena ada ghiroh melawan distorsi kekuasaan seperti dalam rezim sekarang ketika dituduh radikal, intoleran, politik identitas serta semua stempel anti Pancasila dan NKRI. Kecintaanku pada Islam tak terbendung lagi terlebih saat memasuki bangku kuliah. Sejak awal aku langsung menjadi aktifis Masjid kampus Ar-Roofi namanya, kemudian  tidak beberapa lama bergabung di GMNI  dan Lembaga Pers Mahasiswa serta menjadi Ketua Senat Mahasiwa Perguruan Tinggi (SMPT). Jadilah mungkin saja  aku sedikit mahasiswa  di Indonesia, menjadi aktifis masjid yang berlatar GMNI, sebuah organisasi yang dianggap sekuler dan liberal yang  berseberangan dengan entitas Islam. Dengan sukacita dan bergairah, aku menjalani masa muda dengan cap aktifis 98 sambil tetap menekuni hobi sepak bola di Liga Mahasiswa dan bermain catur. Seperti dalam istilah pergerakkan, duniaku saat itu tak luput dari buku, pesta dan cinta. Sosial dan  politik menambah daftar  kesukaan kegiatan selain olahraga, meskipun agak berbeda dimensinya, beresiko dan sedikit berbahaya.  Itulah cinta, apalagi jika sudah menjiwai. Entah anugerah, entah hidayah atau mungkin juga sudah panggilan takdir. Atau juga itu sebuah kesalahan dan kekeliruan memilih jalan hidup, aku sendiri tidak pernah tahu sampai sekarang dan tak pernah sedikitpun menyesalinya. Usia muda dan menyandang gelar aktifis memang plus minus, penuh kontroversi dan menimbulkan polemik terutama di kalangan keluarga sendiri dan para sahabat. Sayangnya, aku lebih memilih rasa kalau tak pantas disebut ideal,  ketimbang aspek rasional. Mengikuti kata hati dan kenyamanan hidup meski tak bergelimang harta, jabatan dan fasilitas. Faktor warisan pendidikan dari Bapakku serta tokoh-tokoh ideologis sangat berpengaruh membentuk  pikiran dan watakku yang cenderung anti kemapanan. Aku mengambil keputusan penting dalam hidup untuk tidak masuk dalam sistem atau \"inner circle\" kekuasaan hingga sekarang. Meskipun penawaran itu,  baik jabatan maupun pendidikan lanjutan kerapkali datang mulai dari presiden hingga seorang walikota atau bupati, aku bergeming bersetia pada komitmen dan konsisten untuk tetap berada di luar \"comfort zone\" terutama  pada pemerintahan maupun korporasi. Aku lebih memilih mewakafkan diri sebagai Pekerja Sosial Masyarakat (PSM)  yang telah digeluti lebih dari 20 tahun dan  menjadi penulis yang masih asal-asalan dan compang-camping literasinya. Maklum saja background pendidikannya cuma teknik sipil bukan sastrawan atau budayawan apalagi  jurnalis. Sebagai orang yang tidak punya status sosial dalam ukuran formal dan normatif. Imej dan penghargaan dari luar begitu beragam, ada yang suka dan ada yang tidak suka. Ada yang menaruh simpati dan empati, namun tak sedikit yang antipati. Meskipun demikian keadaannya, aku tak pernah pesimis dan  putus asa terutama  dalam soal rezeki dan masa depan. Betapapun sekuler dan liberalnya pemikiran, aku tetap menjungjung  jiwa religius yang haqul yakin bahwasanya jodoh, rezeki dan maut adalah ranahnya Ilahi. Termasuk kemuliaan dan kehinaan pada  manusia merupakan ketentuan Tuhan. Bersandar pada keyakinan spiritual,  bahwa tak ada ada sehelai daun pun yang jatuh dari pohonnya selain karena kehendak Allah. Betapapun manusia memainkan perannya, skenario akhir tetap digariskan Sang Pencipta. Aku tumbuh dewasa tidak kaya juga tidak miskin namun puas  hidup seadanya.  Menempel kuat dalam dada rasa bersyukur atas nikmat Tuhan selama ini. Kadang sering memberi namun tak jarang diberi, mungkin ini makna dari kata silaturahmi yang memperpanjang umur dan menambah rezeki. Pergaulan sosial dan politik membawa aku menemukan sisi lain betapa soal-soal kerezekian itu sesuatu yang ghoib, seberapa besar  manusia berdaya-upaya meraihnya. Aku silih berganti menjejaki kaki di lapangan \"grassroot\" sambil sesekali berkunjung ke  lingkungan para tokoh, elit dan pemimpin. Membangun relasi sosial tanpa batas, tanpa kelas dan tanpa trah. Tentunya dengan meninggalkan kesan dan pesan serta jejak rekam yang beragam, secara subyektif dan obyektif pula. Bagaimanapun berkesempatan membangun interaksi dan jejaring sosial itu, juga merupakan harta dan aset yang tak ternilai yang ikut membantu menopang perjalanan hidup. Aku yang tergolong rakyat jelata berusaha tetap qonaah dan menjaga kebersihan hati menerima anugerah sekaligus ujianNya. Sebagai orang yang akrab dengan keterbatasan dan sudah lama membunuh keinginan menjadi kaya, aku merasa nikmat Allah tak pernah berhenti dan putus-putusnya, terutama nikmat keimanan, kesehatan, keluarga dan memiliki habitat sosial yang menyenangkan. Aku bersyukur menjadi jembatan membantu adik-adikku menyelesaikan sarjananya dari program beasiswa atau perhatian relasiku. Aku bersyukur menjadi wasilah rahmat Allah dapat membangun rumah Emak-Bapakku meski aku beserta  istri dan anak-anakku belum memiliki rumah sendiri. Aku bersyukur menjadi penghubung keluarga Bapakku, keluarga Emakku dan keluarga istriku untuk berangkat menjalanjan  umroh meskipun aku beserta istri dan anak-anakku belum  terpilih beribadah di Mekah tempat paling mulia  mulia dan yang  menjadi pusat peradaban manusia. Aku bersyukur dalam kapasitas sebagai Pekerja Sosial Masyarakat  banyak membantu dan berbagi bersama orang-orang  penyandang masalah kesejahteraan sosial.  Rasa syukur dan kepuasan batin karena kebesaran Allah karena  yang tepah menjadikanku  perantara untuk membahagiakan keluarga Emak-Bapakku, sahabat  dan orang lain, meski kehidupan keluargaku sendiri masih diliputi serba  kekurangan. Sesungguhnya aku bersyukur atas apa yang menjadi pengalaman dan sekarang sedang berlangsung, sembari melakukan refleksi, intropeksi dan evaluasi untuk memperbaiki kehidupan mendatang. Pun demikian, perjalanan hidup aku dan keluarga bukan tanpa kendala dan masalah. Bahkan beberapa kali dalam beberapa fase kehidupan,  aku mengalami pasang surut dan bahkan penderitaan hidup yang menyesakkan dada. Kehilangan respek, tak mendapat penghargaan,  tak dihormati dan mendapat penghinaan juga selalu mengiringi  perjalanan hidup. Antara harapan dan keinginan tak selalu selaras dengan apa yang didapatkan. Begitulah kehidupan, ia begitu penuh dengan warna layaknya manusia dan alam,  seperti kemajemukan dan khebinnekaan rakyat Indoneia serta  pelangi yang muncul pada waktu tertentu. Sewaktu era reformasi sebelum peristiwa 98, aku sempat mengalami intrik dan isu  bahwasanya aku sebagai aktifis pergerakan  merupakan agen BAIS dan BAKIN.  Rumor itu berkembang usai aku memukul seorang Mr. Tong Djoe taipan kenamaan asal Singapura, karena konglomerat etnis Cina itu  mendzolimi Bapakku. Karena peristiwa itu, sampai-sampai seorang Juanda tokoh intelejen yang sempat dikenal publik sebagai pembisik Gus Dur semasa presiden, berusaha keras menemuiku. Jauh setelah bergulirnya era reformasi, aku dan keluargaku kembali diuji melawan kekuasaan saat keponakan balita perempuanku Falya Rafani Blegur usia 1, 3 tahun,  harus meregang nyawa akibat mal praktek RS. Awal Bros. Perlawanan hukum keluargaku harus kandas ketika menghadapi RS. Awal Bross yang notabene komisaris dan direksinynya adalah para jenderal pensiunan dan aktif. Keluarga menolak uang suap ratusan juta rupiah dan masalah itu menjadi viral sebelum membahananya kasus Jesica kopi sianida. Masih banyak lagi hambatan ketika aku mengambil hak sebagai warga  negara harus berhadapan dengan politisasi birokrasi dan lainnya, hingga saat ini. Menjelang pilpres 2019, giliranku menjadi korban kriminalisasi ketika saat itu aku mengambil sikap melawan rezim dan berusaha membongkar kasus pungutan liar yang cukup besar pada Program Sistematika Tanah Langsung (PTSL)  atau program pemutihan sertifikat yang dulu dikenal masyarakat  sebagai PRONA. Bahwa program PTSL yang dikampanyekan presiden RI Jokowi dengan pembagian sertiifikat tanah gratis  tidak sepenuhnya sesuai kenyataan, ada kebohongan saat di banyak kota kabupaten, prosesnya pembuatan sertifikat ada pembiayaan berkisar antara 2-7 juta tiap sertifiikat. Bayangkan dan pikirkan saja tiap kota kabupaten membuat mengajukan sertifikat ribuan dan menghasilkan uang pungutan liar ratusan miliar tidak masuk kas negara, uang sebesar itu dan  baru dari satu kota atau kabupapten saja. Sama dengan yang lain, sebagai aktifis yang tidak pernah kehilangan ruh pergerakan, sikap kesadaran kritis  terhadap distorsi kekuasaan memang penuh resiko, membuat rezim gemar membungkam perlawanan dan melakukan kriminalisasi. Kini menjelang pilpres 2024 selain agitasi dan propaganda yang berusaha menciptakan pembusukan dan pembunuhan karakter, aroma itu menyengat menyelimutiku. Aku yang sudah lama mengambil sikap oposisi terhadap rezim dan kebetulan mengambil pihan politik mendukung capres tertentu. Harus menghadapi bukan saja tuduhan dan fitnah dari sesama aktifis pergerakan, bahkan kini sudah mulai mendapat \'warning\', pembatasan dan sedikit resistensi dari tim yang capresnya aku dukung sepenuh hati dan jiwa. Ketika aku sedang dalam persiapan deklarasi relawan capres, beredar info yang menyatakan  ada kecenderungan  statemen sekaligus ultimatum bersifat  represi psikologis,  jika aku muncul akan menyebabkan polarisasi dan berakibat mendegradasi capres yang didukung. Dipikir-pikir benar juga, mengingat kandidat capres yang kugadang-gadang, capres potensial untuk menang sekaligus potensial disingkirkan dalam pilpres 2024. Betapapun semua keadaan yang demikian itu, yang membuat aku dianggap sebagai penipu dan penjahat bahkan oleh kawan-kawan seperjuangan sendiri. Kriminalisasi dari tuduhan dan vonus hukuman kejahatan dan penipuan yang tak pernah aku lakukan. Aku  tak gentar sedikitpun, aku tak mundur sedikitpun dan aku tak mau menyerah dalam langkah gerak perlawanan terhadap siapapun rezim yang bedebah. Pembusukan, pembunuhan karakter, dan kriminalisasi tak akan mampu  meredam gejolak darah juangku. Cintaku pada kemanusiaan, cintaku pada tanah airku dan cintaku pada keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia, tak akan luntur digerus usia, waktu dan jaman. Api itu tak akan pernah padam, pengabdian itu sejatinya tanpa titik akhir. Kalau Ghandi pernah berkata\" My nationalism is humanity\" dan diikuti Soekarno dengan ungkapan \" My nationalism is also humanity\". Maka selayaknya seluruh  rakyat Indonesia juga memiliki kemanusiaan yang membebaskan negara dan bangsanya dari penindasan dan ketidakadilan. Maka aku akan menjadi skrup-skrup nasionalisme, menjadi jamaah dari masa aksi yang bersedia menumpahkan keringat dan darah untuk Ibu pertiwi tercinta dari nekolim berupa oligarki. Sebuah cinta dari seorang  anak bangsa, cinta yang dapat membunuhku meskipun negara menjadi senjatanya. Aku memang mencintai umat Islam dan seluruh warga negara bangsa yang kini hidup begitu memprihatinkan. Tak akan pernah habis cintaku pada republik ini walaupun itu hanya cinta buta. Meskipun bertepuk sebelah tangan, wahai negaraku tercinta  yang telah dibajak oligarki dan para penghianat bangsa.  Selamanya cinta itu ada dan  tak pernah berkurang sedikitpun.  Betapapun  di negara ini yang ada dan  tersisa hanya cinta dan rakyat hanya punya mimpi tentang keadilan dan kemakmuran. Seperti impianku juga, mimpi dari seorang yang hanya punya cinta. Munjul, 23 Juli 2022.

Mengukur Kebijakan “Spekulatif” BI Pertahankan Suku Bunga

Kebijakan moneter BI seperti digambarkan di atas mengandung risiko cukup besar, sulit terukur, dan bisa dikatakan mengandung unsur “spekulatif”? Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) BANK Indonesia (BI) pertahankan tingkat suku bunga acuan di 3,5 persen pada bulan Juli ini. Meskipun inflasi tahunan (total) sampai dengan Juni 2022 sudah mencapai 4,35 persen. Bahkan inflasi pangan mencapai 9,1 persen. Namun demikian, tingkat inflasi tersebut tidak membuat BI khawatir.  Karena BI lebih mempertimbangkan tingkat inflasi INTI, yang menurut BI masih sangat rendah. Hanya 2,65 persen. Karena itu, BI tidak menaikkan suku bunga acuan. Inflasi INTI adalah komponen inflasi dengan pergerakan persisten, artinya tidak termasuk komponen inflasi yang bersifat fluktuatif seperti pangan dan energi (yang bisa tiba-tiba naik dan turun).  Sebelumnya, awal minggu ini, BI menjual SBN (Surat Berharga Negara) di pasar sekunder senilai Rp390 miliar, untuk mengurangi jumlah uang beredar, dan tentu saja untuk menekan inflasi (INTI). Artinya, BI berpendapat, inflasi INTI yang merambat naik ke 2,65 persen disebabkan jumlah uang beredar meningkat. Meskipun masih sangat rendah, BI berpendapat inflasi INTI harus ditekan, melalui pengetatan uang beredar. Tetapi, untuk inflasi NON-INTI, yaitu inflasi pangan dan energi, sepertinya BI tidak bisa berbuat banyak, menyerahkan global untuk mengatasinya.  BI sangat paham dampak dan konsekuensi dari bauran kebijakannya ini. BI berpendapat ekonomi Indonesia mampu menghadapi konsekuensi tersebut. Pertama, kurs rupiah akan menghadapi tekanan cukup serius. Karena perbedaan suku bunga di AS dan Indonesia menjadi sangat kecil, sehingga dapat memicu arus dolar keluar dari Indonesia. Apalagi kalau suku bunga the FED naik lagi pada awal minggu depan, maka arus dolar bisa lebih deras lagi mengalir ke luar negeri. Rapat dewan gubernur the FED akan diselenggarakan pada 26-27 Juli mendatang. Kedua, penjualan SBN sebesar Rp293 miliar sepertinya hanya kebijakan basa-basi saja. Jumlah ini sangat tidak signifikan. Hanya untuk pengaruhi faktor psikologis pasar saja. Kecuali kalau kebijakan ini akan berlanjut terus, dan menjadi signifikan. Maka, dampaknya, pertumbuhan ekonomi akan tertekan. Kebijakan penjualan SBN ini terlihat tidak konsisten. Kalau BI menganggap inflasi INTI masih rendah, seharusnya BI tidak perlu memperketat uang beredar, yang akan membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Kalau kebijakan ini hanya untuk pengaruhi faktor psikologis pasar saja, maka kebijakan ini tidak berarti sama sekali dalam melawan inflasi (INTI). Kebijakan moneter BI seperti digambarkan di atas mengandung risiko cukup besar, sulit terukur, dan bisa dikatakan mengandung unsur “spekulatif”? Sepertinya BI sangat yakin jumlah cadangan devisa cukup besar untuk bisa memenuhi arus dolar keluar dari Indonesia, tanpa mengganggu kurs rupiah. Artinya, BI sangat yakin intervensi kurs rupiah akan efektif, dapat menahan kurs rupiah di sekitar Rp15.000. Apakah keyakinan ini akan menjadi kenyataan? Bagaimana konsekeunsinya kalau meleset? Apakah kebijakan BI masih bisa beradaptasi tepat waktu terhadap perubahan ekonomi global yang sangat cepat? Kalau meleset agak jauh, mungkin bisa berakibat fatal bagi perekonomian Indonesia: Kurs rupiah dan cadangan devisa bisa tergelincir. (*)