OPINI

Kapan Reshuffle Presiden?

Sang presiden baru saja melakukan reshuffle kabinet, sebuah jurus usang menyalahkan kinerja menteri yang notabene sebagai pembantunya. Presiden seperti sedang memainkan lakon, seorang supir yang mabuk dan ugal-ugalan, kemudian menyalahkan kondektur karena kecelakaan pada bis yang dikemudikannya sendiri. Memang  kambing hitam, kambing putih ataupun kambing warna lainnya,  terbiasa untuk dipelihara, dijual dan dipotong untuk dimakan sendiri atau dikurbankan. Oleh: Yusuf Blegur Mantan Presidium GMNI Belum lama ini presiden melakukan pergantian menteri dan pengangkatan wakil menteri di tengah negara yang terus mengalami kemerosotan ekonomi dan politik. Sayangnya, pemilihan menteri baru itu tidak serta-merta menunjukan sosok yang penuh integritas dan dapat  membangun kepercayaan publik. Mengingkari janjinya sendiri, presiden masih mengakomodir representasi partai politik dan mengesankan  kebiasaan bagi-bagi kursi jabatan dan kompromi politik sebagai siasat menghadapi pemilu dan pilpres 2024. Presiden tidak hanya menelanjangi diri sendiri, ia juga membongkar aib dari kerumunan gerombolan politik yang berlindung di balik belenggu konstitusi dan  tirani kekuasaan. Presiden bahkan tidak mampu melihat realitas di depan mata dan sekelilingnya, mana yang bisa bekerja dan mana yang ngga becus meski sekedar menyandang gelar pejabat. Sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, presideh seharusnya mampu membedakan mana orang jujur dan  baik serta mana orang jahat yang bersemayam dalam istana dan institusi negara lainnya. Mirisnya lagi  ketika reshuffle kabinet, menteri barunya selain tidak kompeten dan kapabel, juga dirundung kontoversi dan  polemik. Ada menteri yang masih tersandera kasus pidana korupsi, ada juga yang perwakilan partai politik yang elektabilitasnya 0%. Lucunya lagi banyak menteri lama yang masih bertengger di singgasana kabinet, padahal kinerjanya. buruk, disinyalir terseret kasus korupsi dan banyak melakukan distorsi kebijakan yang ikut memperburuk kondisi negara dan bangsa. Terlebih ada seorang menteri yang kekuasaanya melebihi presiden, menjadi menteri segala urusan dan menentukan semua persoalan rakyat. Menteri senior itu masih kuat bertahan dan  tak ada siapapun yang dapat mengusiknya. Pada akhirnya publik menilai, antara hubungan presiden dengan menterinya,  sangat sumir siapa sesungguhnya yang jadi presiden dan siapa yang jadi pembantunya. Ada seloroh sebagian besar masyarakat, bahwasanya ada menteri yang rasa presiden, ada presiden yang rasa pembantu. Bahkan secara ekstrim ada yang menyebut presiden sebagai boneka atau setidaknya jongos dari kekuatan yang lebih besar, semisal oligarki atau para pemilik modal besar. Dengan tidak adanya korelasi yang signifikan antara pergantian menteri dengan perbaikan kondisi negara dan bangsa, seperti pemulihan ekonomi dan politik, perbaikan kualitas demokrasi, disipin dan keteladanan para pemimpin, tanggap darurat terhadap kesengsaraan dan penderitaan hidup rakyat akibat pandemi serta krisis multi efek yang ditimbulkannya. Membuat rakyat semakin yakin pada satu konklusi terhadap apa yang menyebabkan dan siapa yang paling bertanggungjawab terhadap keterpurukan rakyat, negara dan bangsa selama hampir  dua periode ini. Bukan hanya kalangan oposisi, sebagian besar dari dalam lingkar kekuasaan dan irisannya. Belakangan meski tak bersuara nyaring juga sudah mulai gelisah, menjaga jarak dan saling menyalahkan. Ada keengganan untuk melakukan kritik oto kritik dari para menteri dan pejabat lainnya kepada pimpinannya dalam hal ini sang presiden. Entah karena takut tersingkir dan terlempat dari zona nyaman atau takut tak bisa ikut juga menikmati kue kekuasaan yang menggiurkan. Orang disekelilingnya dan para pendukungnya ramai-ramai berjamaah berlaku asal bapak  senang (abs) dan menjadi penjilat kekuasaan. Ikut secara sadar dan sukarela membenarkan kesalahan atau penyimpangan  yang dilakukan presiden. Kalau sudah seorang presiden yang menjadi sumber dan akar masalah pemerintahan, negara dan bangsa. Maka semua masalah yang sudah bertumpuk-tumpuk dan menggunung, akan menjadi krisis yang terstruktur, sistematik dan masif. Rakyat akam menanggung semua bebannnya dan negara bangsa telah berada diambang kehancuran. Tidak ada pilihan lain dan tak ada solusi kongkrit untuk menyelamatkan Indonesia dan generasi masa depannya, kecuali kemauan dan keberanian rakyatnya sendiri. Tentunya sambil melakukan refleksi dan evaluasi perjalanan  kebangsaan selamai ini. Seluruh  kompomen rakyat  selayaknya mulai menyadari dan mengingatkan  kapan berlangsungnya  reshuffle presiden? (*)

Piagam Jakarta adalah Kompromi Bangsa

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan  TERJADI perdebatan gagasan mengenai dasar negara dalam Sidang BPUPKI 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Kutub besarnya adalah antara konsepsi dasar negara Islam dengan konsepsi netral atau kebangsaan. Sebutan mudahnya antara kubu agamis dengan kubu kebangsaan. Solusi BPUPKI adalah membentuk panitia kecil untuk merumuskan dasar negara yang belum final dan menjadikan dokumen itu sebagai teks proklamasi. 1 Juni adalah hari lahirnya panitia kecil. Sidang BPUPKI ditutup untuk mempersilahkan panitia kecil bekerja.  Komposisi panitia kecil berjumlah 9 (sembilan) orang itu dari kubu agamis (Islam) 4 orang yaitu Prof. A Kahar Muzakir, SH, Abikusno Tjokrosujoso, KH Wahid Hasyim, dan H Agus Salim. Sedangkan kubu kebangsaan juga 4 orang yaitu Ir. Soekarno, Drs Moh Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, dan Mr Moh Yamin. Satu orang Kristen yaitu Mr. A.A Maramis. Pada tanggal 22 Juni 1945 panitia kecil yang dikenal sebagai Panitia Sembilan tuntas menunaikan tugasnya.  Hasil konsensus dengan prosedur yang manis ini menghasilkan apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Dasar negara adalah sebagaimana rumusan Pancasila saat ini. Hanya sila pertama berbunyi \"Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari\'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya\". Prof Soepomo menyebut konsensus itu sebagai \"Perjanjian Luhur\" sedangkan Dr. Sukiman menyebutnya sebagai \"Gentlemen Agreement\". Rumusan Piagam Jakarta inilah yang diamanatkan sebagai teks proklamasi yang harus dibacakan saat kemerdekaan.  Meskipun ada AA Maramis yang beragama Kristen rumusan sila pertama yang ditetapkan 22 Juni 1945 itu tidak dirasakan sebagai masalah. Moh Hatta menulis dalam \"Mohammad Hatta : Memoir\" bahwa \"Mr Maramis.. tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah diskriminasi\". Akhirnya dalam Sidang PPKI 18 Agustus 1945 sebagaimana diketahui \"tujuh kata\" sila pertama Pancasila itu dihapus. Dengan proses penghapusan yang  juga alot dan dramatis bahkan mungkin kontroversial. Namun kubu Islam akhirnya memahami dan dapat menerima \"Ketuhanan Yang Maha Esa\".  Pancasila adalah hadiah dari umat Islam.  Rumusan Pancasila 18 Agustus 1945 telah dinyatakan final sebagai \"konsensus kedua\" setelah 22 Juni 1945. Bangsa Indonesia berpedoman pada rumusan akhir ini.  Masalahnya adalah adapula yang mencoba menarik ke area beda pandangan atau konflik masa lalu yaitu dengan adanya penetapan 1Juni sebagai \"hari lahir Pancasila\" bahkan melalui Keputusan Presiden segala. Hal ini bertautan dengan upaya melemahkan makna Pancasila 18 Agustus 1945 khususnya dalam kaitan dengan sejarah dan peran umat Islam.  Adalah \"bid\'ah politik\" mengangkat 1 Juni dengan melupakan 22 Juni. Hari lahir Pancasila tanggal 1 Juni 1945 masih pro dan kontra. Jika kubu \"kebangsaan\" mendeklarasikan 1Juni 1945  sebagai hari lahir Pancasila, maka kubu \"Islam\" wajib untuk mendeklarasikan 22 Juni 1945 sehagai hari lahirnya Pancasila. Piagam Jakarta adalah kompromi bangsa.  Umat Islam sudah dapat menerima untuk menyelesaikan konflik pandangan dengan menyepakati hari lahir Pancasila adalah 18 Agustus 1945. Akan tetapi jika tetap dipaksakan bahwa lahir dan makna dinisbahkan pada Pancasila 1 Juni 1945, maka umat Islam wajar untuk kembali pada lahir dan makna Pancasila 22 Juni 1945.  Dekrit Presiden Ir. Soekarno 5 Juli 1959 menyatakan :  \"Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut\" Remember Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Bandung, 22 Juni 2022

Pidato Megawati Hanya Basa Basi Politik’

Pidato Megawati ada benarnya tetapi dari substansi dan praktek kenyataan dalam pemerintahan saat ini – pidato tersebut hanya basa-basi politik. Karena PDI-P dengan Koalisi gemuknya telah mempertontonkan praktek kenegaraan yang keliru dalam sistem presidensial. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KETUA Umum PDI Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri mengatakan, tidak ada sebutan koalisi di Indonesia. Hal ini mengingat sistem tata negara menganut sistem presidensial dan bukan parlementer.  Megawati menilai, cocok penyebutan kerja sama politik dibandingkan koalisi. Hal ini disampaikan di hadapan Presiden Joko Widodo yang menghadiri acara Rakernas PDI-P, Selasa (21/6/2022). “Kalau kerja sama, yes,” kata Megawati dalam Rakernas PDI-P di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Kalau hanya dari definisi bahasa apa bedanya koalisi dengan kerja sama? Koalisi adalah sebuah atau sekelompok persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, yang dalam kerjasamanya, yang masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Hanya dalam praktik yang umum ditemui, pembentukan koalisi dalam sistem pemerintahan presidensial sejatinya merupakan praktik yang salah kaprah. Pembentukan koalisi dan oposisi partai politik (parpol) hanya ada dalam sistem parlementer. Koalisi tersebut memiliki peran yang substansial dan berbeda dalam sistem pemerintahan parlementer, bukan hanya bertujuan untuk memenangkan Pemilihan Umum. Sampai di sini pidato Megawati tersebut ada benarnya, tapi tidak menyentuh substansi dan realitas yang terjadi selama ini.   Untuk apa kalau hanya soal nama (koalisi dan kerjasama) tetapi mengabaikan prakteknya PDI-P sebagai pemenang pemilu lalu sekaligus tampak menempati posisi sebagai leader koalisi gemuk di kabinet selama ini. Kondisi tersebut membuat check and balances dalam sistem pemerintahan presidensial tidak bisa berjalan dengan maksimal bahkan ditengarai lumpuh total, bahkan banyak netizen memberi stigma legislatif hanya sebagai stempel pemerintah. Mengapa tidak masuk pada substansinya bahwa terjadinya koalisi gemuk di kabinet akan merusak tatanan, khususnya peran chek and balance macet total, dan PDI-P via Ibu Megawati harusnya disampaikan dengan jelas dan PDI-P menolak adanya koalisi gemuk dalam kabinet saat ini. Terjadinya kemandulan fungsi pengawasan dari legislatif terhadap eksekutif mestinya disadari oleh PDIP. Karena dalam sistem presidensial, presiden dan anggota parlemen terpilih secara terpisah dalam dua pemilu (legislatif-eksekutif) yang berakibat daulat kuasa antara keduanya relatif sama secara langsung lahir dari rakyat. Oleh karena presiden berposisi cukup kuat, serta dipilih langsung oleh rakyat, tidak ada kewajiban membangun koalisi dalam membentuk pemerintahan. Karenanya, koalisi dalam membentuk pemerintahan nyaris tidak perlu. Jadi urusan koalisi atau kerjasama bukan hanya dibahas menjelang akhir masa jabatan Presiden dan hanya menjelang Pilpres 2024. Sejak awal pemerintahan Jokowi semua partai termasuk PDI-P selalu berebut jabatan menteri. Artinya sebenarnya sangat jelas, tidak ada kebutuhan yang mendasar bagi Presiden sendiri untuk membangun koalisi dalam membentuk pemerintahan, membagi rata jabatan menteri asal asalan dari wakil partai. Tanpa terasa, logika seperti itu sebenarnya merusak kepercayaan publik atas pemerintahan, terlebih atas janji-janji yang selama ini dibahasakan Presiden dengan keinginan membangun kabinet yang zaken. Dan, rongrongan partai untuk meminta jabatan menteri sebenarnya adalah gangguan atas prerogatif itu sendiri. Rasanya penting menjadi perhatian khusus Ibu Megawati bahwa prerogatif Presiden dalam menunjuk menteri-menteri kabinet tidaklah perlu dikaitkan dengan dukungan pada pemilu. Ini sebabnya, mengapa sedari awal sebenarnya kita harus menolak model threshold yang mengada-ada ala presidential threshold. Ibu Megawati harus mengingatkan Ketua DPR RI Puan Maharani yang nota bene putrinya (otomatis kader PDI-P) yang membuat pernyataan meminta semua pihak menghormati aturan ihwal ambang batas presidential threshold. Ia menegaskan PT sudah final dan tidak dapat diubah. “Di DPR revisi undang-undang sudah final tidak akan dibahas lagi, itu sesuai dengan kesepakatan yang ada,” kata Puan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (16/12/2021). Sama sekali tidak ada perlawanan dari anggota dewan semua diam dengan tenang dalam koalisi partai gemuk, partai partai dengan istana. Kalaulah tanpa nama koalisi tedtapi memakai nama kerja sama seperti saat  ambang batas bagi partai atau gabungan partai untuk mengajukan capres atau cawapres atau presidential threshold dipakai dengan seakan-akan menyamakan kepentingan koalisi dalam membentuk pemerintahan dan menjalankan pemerintahan, semua terjebak dalam basa-basa politik belaka. Jebakan logika ini sangat terlihat, sehingga bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.53/PUU-XV/2017 dalam perkara pengujian presidential threshold pun mengikuti tabuhan genderang kepentingan politik ini. Sehingga menyamakan pengajuan syarat menjadi capres dengan cita-cita sistem presidensial. Logika tersebut adalah logika sesat. Hal ini bahkan dibahas secara sangat baik dalam dissenting opinion pada putusan itu. Hakim Saldi Isra dan Suhartoyo mengatakan bahwa rezim ambang batas itu dalam pencalonan yang menggunakan hasil pemilu legislatif sesungguhnya tidak relevan, dan logika mempertahankan dukungan besar pada presiden malah bisa menjadi perangkap menjadi pemerintahan otoriter. Pidato Megawati ada benarnya tetapi dari substansi dan praktek kenyataan dalam pemerintahan saat ini – pidato tersebut hanya basa-basi politik. Karena PDI-P dengan Koalisi gemuknya telah mempertontonkan praktek kenegaraan yang keliru dalam sistem presidensial. Dikutip dari Jurnal Comparative Political Studies, pembentukan koalisi (koalisi partai politik) dalam Pemilihan Umum menyebabkan polarisasi dalam sistem pemerintahan presidensial. Kondisi tersebut membuat check and balances di dalam sistem pemerintahan presidensial tidak bisa berjalan dengan maksimal atau sesungguhnya terjadi kemacetan yang fatal dalam sistem Presidensial. (*)

Kohesi Anies dan Partai Politik

Di Indonesia, kehadiran partai politik tidak bisa dilihat dan dimaknai secara hitam putih. Sebagai kekuatan politik yang mampu membentuk konstitusi, melahirkan para pemimpin nasional dan sistem yang secara masif menggerakan serta  menentukan proses penyelenggaraan negara dan bangsa. Partai politik tak ubahnya seperti sebuah keniscayaan. Kehadirannya menjadi kebutuhan dan begitu digandrungi oleh banyak kalangan, namun tak sedikit yang skeptis dan apriori melihat sikap dan tindak-tanduknya. Oleh: Yusuf Blegur Mantan Presidium GMNI  Rakyat terus mengalami pasang surut hubungannya dengan partai politik. Dari jaman ke jaman, dari pemilu ke pemilu dan dari satu partai politik ke partai politik yang lain. Rakyat seakan abadi menunggu dan menggantungkan nasibnya dengan kebijakan partai politik. Melalui kaki-kaki dan perpanjangan tangannya, nasib rakyat sangat ditentukan oleh kekuatan badan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang selamanya menyusui pada partai politik. Rakyat seakan kekal mengalami fase \"trial and error\" dari partai politik yang sejatinya berorientasi kekuasaan. Ada aksioma yang kuat terjadi dalam iklim sosial  masyarakat kontemporer, politik itu untuk merebut kekuasaan, bukan untuk  mengurus kemakmuran dan keadilan rakyat.   Pun demikian, rakyat seakan menikmati konser dari panggung politik yang dihelat partai politik saat menyajikan harapan, impian dan bahkan uthopia dari upaya mewujudkan negara kesejahteraan. Berjuta kampanye, agitasi dan propaganda termasuk kontrak politik dengan partai politik, menjadi sajian menu simalakama yang tak bisa dihindari rakyat. Rakyat seperti lapar namun kenyang karena menelan mentah-mentah pepesan kosong dari janji-janji politik. Begitupun sebaliknya, rakyat merasa kenyang dengan perasaan dan jiwa yang penuh sesak dijejali  asupan manipulasi dan kamuflase politik, tak urung  kerapkali merasakan penghianatan dari penguasa yang memenangkan hati rakyat.   Memang ada sedikit pengecualian, meski menjadi minoritas, kaum pinggiran dan terseok-seok. Partai politik terkadang ikut membantu persalinan  kebijakan dan beberapa pemimpin yang mampu menghilangkan dahaga rakyat akan capaian kelayakan hidup. Kalaupun itu terjadi dan muncul di permukaan, maka bisa dipastikan akan ada pengawasan dan kontrol yang kuat dan mengikat, bahwasanya tidak ada personifikasi dan insitusional yang tidak dalam pengaruh dan kehendak partai politik. Pada fase ini banyak tokoh dan pemimpin partai politik tidak bisa  menjadi dirinya sendiri dan tergadai oleh mekanisme partainya.   Pendiri dan  kader termasuk petugas partai politik, seperti  mengalami nasib yang sama dengan rakyat saat bersentuhan sekaligus  menjalankan roda  pemerintahan dan program-program pro rakyat. Ada pseudo demokrasi dan oligarki yang mencengkeram dan  membelenggu aspirasi rakyat. Ada parade hawa nafsu yang menjelma menjadi sistem yang menyuburkan kerakusan dan keserakahan pada harta dan jabatan. Rangkaian sistem yang kuno dan klasik yang menamai dirinya dengan  kapitalisme dan komunisme global,  semakin digdaya pada modernitas  dan mampu membonsai Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Bukan ideal Tapi Mampu Merangkul Sebagai seorang figur pemimpin yang terus bertumbuh dengan prestasi dan apresiasi publik. Anies kian kemari terus menuai harapan sekaligus dukungan sebagian besar rakyat. Keinginan dan kehendak rakyat, seolah ingin menasbihkan  Anies sebagai presiden dalam perhelatan pilpres 2024. Sebuah dinamika demokrasi yang patut mendapatkan respek dari semua pihak, karena mau menempuh mekanisme formal dan normatif. Terbersit, dari pilihan mengikuti konstestasi ajang transisi kekuasaan itu, menegaskan Anies sebagai pemimpin yang taat konstitusi termasuk tunduk pada aturan UU pemilu. Anies pada tahap awal sudah dapat melewati aspek fundamental dalam proses pencapresannya. Ia secara eskalatif dan akumulatif terus menuai dukungan rakyat. Setidaknya basis dukungan pemilihnya sudah bisa dihitung dan menghidupkan kompetisi dan rivalitas di antara kandidat capres. Realitas dan kemunculan progesif Anies dalam pilpres 2024 mendatang, tentu saja menimbulkan resonansi dan geliat tersendiri, baik baik dari kalangan partai politik yang mengusung capresnya sendiri maupun partai politik yang berlanggam \'wait and see\' dan masih melakukan penjajakan. Selain hasil survei ada partai politik yang tentunya ingin membangun kompromi dan kesepakatan pada capres tertentu. Fenomena Partai politik dalam menentukan pilihan capres serta upaya memoles dan menjualnya. Harus tetap dilihat sebagai proses politik yang tidak parsial. Selain tingkat elektabilitas  dan akseptabilitas,  partai politik juga tidak berdiri sendiri mengurus capresnya,  terutama terkait pembiayaan kontestasinya baik untuk capresnya  maupun kepentingan partai politik itu sendiri.  Sebagai contoh, partai politik akan mensyaratkan daya dukung capres terkait dana kampanye atau khususnya pembiayaan saksi saat pilpres berlangsung. Juga akan banyak dibebani kebutuhan lain dalam hajatan politik lima tahunan  berbiaya maha besar. Atmosfer capres dan partai politik yang seperti itu, semakin mengokohkan betapa demokrasi di Indonesia terutama pemilu pada umumnya dan pilpres  khususnya, tak bisa dilepaskan dari dominasi dan hegemoni aspek kapitalistik dan transaksional. Wajar saja jika desain, proses pelaksanaan dan hasil dari pemilu maupun pilpres beraroma kental peran para pemilik modal atau yang populer disebut oligarki. Dalam hal ini eksistensi partai politik tak bisa mengelak dari intervensi para borjuasi korporasi dan borjuasi birokrasi. Secara umum publik telah menilai, partai politik cenderung terpolarisasi dan menjadi subkoordinat kelompok \'the have\' pemilik kekuasaan informal tapi signifikan menentukan hajat hidup rakyat. Bagi Anies sebagai capres paling potensial yang jejak rekamnya relatif bersih ketimbang capres lainnya, ditambah dukungan rakyat yang tak terkendali mengidolakannya. Selayaknya Anies mampu membangun komunikasi politik dan meyakinkan kepercayaan publik yang ada pada dirinya kepada partai politik. Betapapun kalau mau jujur menelusuri esensi dan substansinya, partai politik sekarang sedang memasuki masa gamang dan absurd. Partai politik  benar-benar sedang mengalami pergulatan pemikiran dan batin terutama yang menghinggapi para ketua umumnya dan pembisik tingkat dewa di sekelilingnya. Anies yang memiliki harga diri tinggi dan tidak bermental pengemis apalagi hanya untuk kehormatan berlabel status dan jabatan, tentunya akan memiliki tantangan tersendiri jika berhadapan dengan partai politik. Menjadi keharusan dan tak terbantahkan, partai politik menjadi penentu nasib Anies pada capres dalam pilpres 2024, bahkan pada saat bisa atau tidaknya sekedar dalam pencalonan. Baik bagi Anies maupun partai politik, keduanya berhadapan dengan pilihan yang sulit antara mengedepankan  politik realitas atau politik ideal. Mana yang lebih penting dan mendesak untuk diperjuangkan, memenangkan pilpres kemudian mengambil kekuasaan terleb8h dahulu atau teguh memegang prinsip-prinsip demokrasi yang memulakan nilai-nilai, norma dan etika. Menjungjung tinggi kebenaran dan keadilan serta menjaga keberadaban. Atau tak peduli mekipun menjadi pengikut Machiavellis. Sebagai pemimpin yang mungkin saja belum menenuhi kriteria ideal. Anies terbilang mumpuni sebagai pemimpin yang mampu merangkul keberagaman bangsa. Hanya Anies dan partai politik utamanya para ketua umum dan sedikit sinyal dari para pemilik modal yang mampu memainkan domain dan irisan pilpres ke depan. Jika saja tidak terjadi kohesi antara Anies dan partai politik, setidaknya Anies memiliki modal mulia dan terhormat berupa kejujuran d an kerja kerasnya mengangkat harkat hidup orang banyak. Setidaknya, walau tak lolos partai politik Anies menjadi pemimpin yang tinggal menunggu waktu mendapat  legalitas dan legitimasi dari rakyat Indonesia serta yang terpenting menerima mandat dari pemilik kekuasaan yang  hakiki. Wallahu a\'lam bishawab.

Bung Karno, Hamka, dan Teladan Kemanusiaan

Setelah Peristiwa G 30 September 1965, keadaan berbalik. Kekuasaan Bung Karno perlahan tapi pasti digerus. Sedangkan Hamka tampil sebagai salah seorang ulama terkemuka dengan jutaan jamaah. Oleh: Imran Hasibuan, Wartawan Senior AHAD pagi, 21 Juni 1970 itu, Buya Hamka sedang berdakwah di sebuah mesjid di kawasan Tomang, Jakarta, ketika Haji Abdulkarim Oei (Oei Tjeng Hin) – salah seorang sahabatnya yang juga sahabat lama Presiden Soekarno –membisikkan bahwa Bung Karno telah wafat. “Innalilahi wainna ilahi rojiun… Tidaklah salah jika saat demikian saya ingat Soekarno yang dahulu, ikhlas dan bersih. Itulah yang akan disemayamkan secara kenegaraan,” tulis Hamka di majalah Pandji Masjarakat, No. 59 tahun 1970. Seusai berdakwah, Hamka bergegas segera pulang ke rumahnya di kawasan Kebayoran Baru, tak jauh dari Mesjid Agung Al-Azhar. Dari seorang putranya, ia mendapat kabar bahwa pihak Istana Presiden telah menelpon agar Hamka menjadi imam shalat jenazah Bung Karno yang akan digelar malam hari itu juga, di Wisma Yaso. Hal itu didasarkan permintaan Bung Karno sendiri, sebelum ia menghembuskan nafas terakhir. “Suatu keajaiban Illahi! Keinginan saya hendak turut menyembahyangkan sesuai dengan keinginan presiden, bahkan beliau minta saya jadi imam. Saya puas, saya jadi imam menyembahyangkan sahabatku!” tulis Hamka lagi. Masih dalam tulisan yang sama, berjudul “Kepada Sahabatku, Ir. Soekarno”, Hamka menuturkan: “Soekarno adalah orang besar. Sejak masa mudanya, usia 18 tahun dia telah ditumbuhkan Tuhan untuk membangkitkan kesadaran bangsanya, melanjutkan apa yang telah dimulai gurunya: HOS Tjokroaminoto. Seluruh kasih-sayangnya dan hari mudanya dan masa tuanya, telah dikorbankannya untuk membina bangsa ini. Dia telah menggembleng semangat kita dan membina kesatuan kita.” Sejak muda, Hamka telah banyak mendengar sepak-terjang Bung Karno dalam pergerakan kebangsaan. Dalam majalah yang diasuhnya pada 1930-an, Pedoman Masjarakat, yang terbit di Medan, Hamka kerap menampilkan ketokohan Soekarno dan kalangan nasionalis pergerakan. Bahkan, ia pernah menemui Bung Karno di Bengkulu untuk bertukar pikiran tentang soal kebangsaan. Persahabatan itu berlanjut hingga masa-masa awal kemerdekaan. Tetapi, seiring waktu, karena perbedaan sikap politik, mereka kian lama kian berjarak. Pada 1950-an, Hamka terjun lagi ke kancah politik. Ia bergabung dengan Masjumi dan menjadi anggota Konstituante. Ia terlibat dalam debat-debat keras di Konstituante, terutama mengenai dasar filosofis negara. Haruskah Pancasila tetap menjadi dasar filosofis negara? Hamka, sesuai dengan sikap politik Masjumi, berargumen bahwa seharusnya tidak. “Dasar yang asli di tanah air kita… dan pribadi sejati bangsa Indonesia adalah Islam,” katanya, seperti dicatat James Rush dalam kitab “Adicerita Hamka” (2017). Bertentangan dengan klaim Soekarno bahwa Pancasila sudah ada di antara bangsa Indonesia ribuan tahun lalu (kemudian digali Bung Karno pada masa pergerakan), Hamka berkata bahwa “Pancasila tidak mempunyai dasar sejarah di Indonesia”. Pada waktu Proklamasi Kemerdekaan RI, kata Hamka lagi, hanya sedikit yang tahu mengenai Pancasila, sementara “sebahagian besar penduduk Indonesia menganut ‘dasar yang asli’, yaitu Islam”. Islam menggerakkan perjuangan melawan Belanda dan mengilhami para pejuang revolusi. Ketika akhirnya Presiden Soekarno membubarkan Konstituante – karena tak kunjung menemukan titik-temu dalam menentukan dasar negara – Hamka, juga para pemimpin Masjumi, menentang keras keputusan presiden tersebut. Tapi, ketika para pemimpin Masjumi, seperti: Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanudin Harahap – bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Hamka justru tidak mendukung gerakan tersebut. Meski begitu, Hamka peka terhadap keluhan yang menjadi alasan PRRI. Pada 1957, kepada pembaca di Sumatra Barat, ia menulis mengenai “Jawanisasi” Indonesia dan terlalu ditonjolkannya sejarah, bahasa, dan budaya Jawa dalam buku pelajaran sekolah. Di dalam satu tulisan Hamka menyatakan dengan resah bahwa sila pertama Pancasila – Ketuhanan Yang Maha Esa – diberi ilustrasi kepala patung Budha dari Candi Borobudur. Para birokrat Jawa juga menyebar ke seluruh Indonesia dan berperilaku seperti pejabat Belanda zaman dulu yang arogan, mengabaikan adat dan kebiasaan lokal. Hamka menulis, “saya pun takut persatuan bangsa kita ini akan pecah.” Dan jika itu benar terjadi, “sudah dapatlah diketahui apakah salah satu daripada sebabnya”. (Rush 2017: 155) Hamka juga mengecam Demokrasi Terpimpin sebagai “totaliterisme” dan menyebut Dewan Nasional yang dibentuk Soekarno sebagai “partai negara”. Tapi, perlawanan Hamka dan kawan-kawan sia-sia. Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit, yang salah satu isinya adalah kembali ke UUD 1945. Dan Agustus 1960, Presiden Soekarno menyatakan pembubaran Masjumi, juga Partai Sosialis Indonesia (PSI). Kedua partai itupun dinyatakan sebagai partai terlarang. Penentangan terbuka Hamka terhadap Demokrasi Terpimpin Soekarno juga diperlihatkan dengan memuat secara utuh pamflet “Demokrasi Kita” yang ditulis Mohammad Hatta, proklamator kemerdekaan dan Wakil Presiden RI pertama, di majalah Pandji Masjarakat, edisi Mei 1960. Sebagaimana diketahui, dalam pamflet itu Bung Hatta melancarkan kritik keras terhadap perkembangan politik yang terjadi di masa itu. Hatta menulis bahwa tergelincirnya Indonesia ke dalam kedikatoran menggambarkan “hukum besi sejarah dunia”. Akibatnya sudah diduga. Pandji Masjarakat, bersama sejumlah koran –Pedoman, Abadi, dan Indonesia Raya – dibredel pemerintah. Puncaknya, Januari 1964, Hamka ditahan dengan tuduhan berupaya melawan pemerintah. Saat itu usianya 56 tahun, dan mengidap sejumlah penyakit, termasuk diabetes dan wasir kronis. Penahanan atas dirinya, membuat Hamka tak bisa lagi mengikuti masa-masa terakhir pemerintahan Soekarno. Dalam masa penahanan itu, ia manfaatkan untuk menulis sejumlah kitab. Yang paling fenomenal adalah Tafsir Al-Azhar. Dalam konteks ini, penahanan tersebut merupakan semacam “berkah” bagi Hamka. Belakangan, Hamka mencatat bahwa andaikata dia tidak ditahan selama dua tahun lebih, kiranya dia tak bakal menyelesaikan tafsirnya “sampai saya mati”. Setelah Peristiwa G 30 September 1965, keadaan berbalik. Kekuasaan Bung Karno perlahan tapi pasti digerus. Sedangkan Hamka tampil sebagai salah seorang ulama terkemuka dengan jutaan jamaah. Begitu kerasnya sengketa politik yang dialami kedua tokoh tersebut, tapi tak melekangkan rasa kemanusiaan dan persahabatan. Kemanusiaan mengatasi politik. Seperti digambarkan di awal tulisan ini, di akhir hayatnya, Bung Karno berwasiat agar Hamka menjadi imam shalat jenasahnya. Hamka, dengan kebesaran jiwa, menunaikan amanah tersebut. Keteladanan kedua tokoh ini, Bung Karno dan Hamka, selayaknya dicontoh kaum politisi negeri ini. Sekali lagi, kemanusiaan harus mengatasi politik. Jangan sebaliknya: politik menciderai rasa kemanusiaan. (*)

Penataran Pancasila ke-4: Ideologi Pancasila Terurai Pada UUD 1945

Para elit dan pengamandemen UUD 1945 rupanya tidak memahami bahwa pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 mempunyai hubungan yang erat yang tidak bisa dipisahkan Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila KATA Bung Karno, sejarah adalah Kaca Benggala yang harus terus disimak. Agar bangsa dan negara ini tidak melenceng dari cita-cita berdirinya negara Indonesia. Akibat tidak memahami dan mendalami hubungan Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945, tidak memahami apa Ideologi Pancasila, maka diamandemenlah UUD 1945. Sekarang DPR RI mulai ngarang-ngarang menerbitkan UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). UU HIP. Aneh dan janggal. Bagaimana Ideologi Pancasila itu, ya UUD 1945 dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan-nya. Kok mau dibuat UU. Secara herarki bagaimana? Apa bisa UU lebih tinggi dari UUD 1945? Rupanya DPR RI semakin keblinger dan tidak mau membuka dokumen hubungan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Hubungan Pembukaan dan Batang tubuh UUD 1945 itu adalah hubungan sebab-akibat yang tidak bisa dipisahkan atau dipenggal. Karena ada Pembukaan UUD 1945 itulah maka ada Batang Tubuh UUD 1945 dan penjelasannya. Mari kita bahas hubungan Pembukaan dan UUD 1945 asli hasil kajian Prof. Noto Negoro. Kiranya perlu kita simak agar kita tidak kesasar dan tidak mengerti kalau negara sudah dikudeta. Bahkan, TNI POLRI sebagai penjaga Pancasila dan UUD 1945 tidak mengerti. Terus mereka yang lulusan Lemhamnas dan dosen-dosen pengajarnya, apa yang diajarkan selama ini? Kok sampai tidak mengerti tentang ideologi negara Pancasila? Pendjelmaan (pelaksanaan objektif) Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Uraian ideologi Pancasila di dalam batang tubuh UUD 1945. Udjud pelaksanaan objektif mengenai asas kerohanian Negara (Pantjasila) adalah sebagai berikut: 1. Asas “ke-Tuhanan Jang Maha Esa” tersebut dalam Bab XI hal Agama, pasal 29 dari Undang-undang Dasar 1945. 2. Asas “Kemanusiaan jang adil dan beradab” terdapat dalam ketentuan-ketentuan hak asasi warganegara tertjantum dalam pasal-pasal 27, 28 dan 31 ajat 1 dari Undang-undang Dasar 1945. 3. Asas “Persatuan Indonesia” terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 26 tentang warganegara, pasal 31 ajat 2 tentang pengadjaran nasional, pasal 32 tentang kebudajaan nasional, pasal 35 tentang bendera Negara dan pasal 36 tentang bahasa Negara. Diantara pendjelmaan daripada asas “persatuan Indonesia” terdapat satu hal, jang amat penting untuk pada tempat ini dikemukakan. Karena djika hal ini disadari, sungguh akan merupakan dasar bagi tertjapainya realisasi sifat kesatuan daripada Negara dan bangsa. Lambang Negara ditetapkan oleh Pemerintah, dan menurut ketetapan ini “Bhinneka Tunggal Ika” adalah lambang Negara, satu sungguhpun berbeda-beda. Negara Indonesia adalah satu, akan tetapi terdiri dari pulau-pulau jang amat banjak djumlahnja. Bangsa Indonesia adalah satu, akan tetapi terdiri atas suku-suku bangsa jang banjak djumlahnya. Tiap-tiap pulau dan daerah, tiap-tiap suku bangsa mempunjai tjorak dan ragam sendiri-sendiri, beraneka warna bentuk-sifat daripada susunan keluarga dan masjarakatnja, adat-istiadatnja, kesusilaannja, kebudajaannja, hukum adatnja dan tingkat hidupnja. Golongan bangsa jang tidak asli terdiri atas golongan keturunan Tiong Hwa, keturunan Arab, keturunan Belanda dan golongan dari mereka jang berasal dari orang asing tulen. Lebih daripada jang terdapat dalam golongan bangsa Indonesia jang asli, diantara mereka ada perbedaan jang besar dalam segala sesuatu. Sedangkan disampingnja ada perbedaan pula dengan golongan bangsa Indonesia jang asli. Kalau ditambahkan terdapatnya pelbagai agama dan kepertjaan hidup lainnya, maka makin mendjadi besar perbedaan jang terdapat di dalam masjarakat dan bangsa Indonesia. Jang demikian itu disamping daja penarik ke arah kerdja sama dan kesatuan menimbulkan djuga suasana dan kekuatan tolak-menolak, tentang-menentang, jang mungkin mengakibatkan perselisihan, akan tetapi mungkin pula, apabila dipenuhi hidup jang sewadjarnya, menjatukan diri dalam suatu resultan atau sintesa jang malahan memperkaja masjarakat. Di mana dapat, perlu diusahakan peniadaan dan pengurangan perbedaan-perbedaan jang matjam terachir itu. Meskipun dengan harapan, bahwa usaha itu akan tidak berhasil sempurna. Dalam kesadaran akan adanja perbedaan-perbedaan jang demikian itu, orang harus berpedoman kepada lambang Negara “Bhinneka Tunggal Ika”, menghidup-hidupkan perbedaan jang mempunjai daja penarik ke arah kerdja sama dan kesatuan, dan mengusahakan peniadaan serta pengurangan perbedaan jang mungkin mengakibatkan suasana dan kekuatan tolak-menolak ke arah perselisihan, pertikaian dan perpetjahan atas dasar kesadaran akan kebidjaksanaan dan nilai-nilai hidup jang sewadjarnya. Lagipula dengan kesediaan, ketjakapan dan usaha untuk sedapat mungkin menurut pedoman-pedoman madjemuk-tunggal bagi pengertian kebangsaan, ialah menjatukan daerah, membangkitkan, memelihara dan memperkuat kehendak untuk bersatu dengan mempunjai satu sedjarah dan nasib, satu kebudajaan di dalam lingkungan hidup bersama dalam suatu Negara jang bersama-sama diselenggarakan dan diperkembangkan. “Bhinneka Tunggal Ika” adalah merupakan suatu keseimbangan, suatu harmoni jang tentu akan berubah-ubah dalam bentuknja, akan tetapi akan tetap dalam dasarnja, antara kesatuan dan bagian-bagian dari kesatuan, dalam segala matjam hal tersebut di atas, dan djuga dalam hal susunan bentuk dan susunan pemerintahan Negara. 4. Asas “Kerakjatan yang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan/perwakilan” terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 2 ajat (1) tentang terdirinja Madjelis Permusjawaratan Rakjat atas wakil-wakil rakjat, pasal 5 ajat (1) tentang kekuasaan Presiden membentuk Undang-undang dipegang dengan persetudjuan Dewan Perwakilan Rakjat, pasal 6 ajat (2) tentang Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat. Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakjat (pasal 19 sampai dengan 22). Pasal 18 tentang Pemerintah Daerah. 5. Asas “Keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia” terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam Bab IV tentang kesedjahteraan social, perintjiannja terdapat pertama dalam pasal 33 tentang hal susunan perekonomian atas dasar kekeluargaan, tentang tjabang-tjabang produksi jang penting bagi Negara, dan menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oleh Negara tentang bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung di dalamnja dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat; kedua dalam pasal 34 tentang fakir-miskin dan anak-anak jang terlantar dipelihara oleh Negara. Jadi, jelas Ideologi Pancasila teruarai di dalam pasal-pasal UUD 1945. Oleh sebab itu amandemen UUD 1945 yang memisahkan Pembukaan UUD 1945 dengan batang tubuh, sama artinya menghilangkan Ideologi Pancasila. Para elit dan pengamandemen UUD 1945 rupanya tidak memahami bahwa pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 mempunyai hubungan yang erat yang tidak bisa dipisahkan. Asas Politik Negara Indonesia Diamandemen Daripada asas politik Negara, bahwa Negara Indonesia “terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia jang berkedaulatan rakjat”, jang ditentukan dalam Pembukaan, udjud pelaksanaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 1 ajat (1), bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, dan pasal 1 ajat (2), bahwa kedaulatan rakjat dilakukan sepenuhnja oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat. Diamandemennya pasal 1 ayat 2 Kedaulatan di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diamandemen menjadi. Pasal 1 ayat 2 Kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Akibat diamandemennya pasal 1 ayat 2 adalah mengamandemen asas politik negara, susunan Negara Republik Indonesia tidak lagi wujud dari kedaulatan rakyat. Adapaun tudjuan Negara, tertjantum dalam Pembukaan, jang nasional (“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah serta memadjukan kesedjahteraan umum dan mentjerdaskan kehidupan bangsa”), pendjelmaannya objektif adalah sebagai di bawah ini. Pertama-tama terkandung djuga dalam pendjelmaan daripada asas kerohanian dan asas politik Negara sebagaimana dimaksudkan di atas, karena kedua asas Negara itu memang dikehendaki untuk mewujudkan atau mentjapai tudjuan Negara. Lain daripada itu terutama untuk tudjuan Negara jang negatif, jaitu keselamatan bangsa dan Negara atau perdamaian, pendjelmaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam Bab IX tentang kekuasaan kehakiman (pasal 24 dan 25) dan Bab XII tentang Pertahanan Negara (pasal 30) serta kekuasaan Presiden dalam pasal 14 untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, dalam pasal 10 atas Angkatan Perag, dalam pasal 11 untuk menjatakan perang, membuat perdamaian dan perdjandjian dengan Negara lain, dan dalam  pasal 12 untuk menjatakan keadaan bahaja. (*)

Mimpi Pemilu Luberjurdil

Beberapa saat mendatang akan muncul pasangan-pasangan Capres-Cawapres baru, baik yang dipromosikan oleh Parpol, lembaga survei, pengamat, maupun masyarakat akar rumput. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta PEMILIHAN Umum adalah salah satu mekanisme suksesi kepemimpinan untuk menentukan pemimpin penerus secara demokratis. Dalam konteks Indonesia, meliputi pemilihan Calon Presiden, dan Anggota Legeslatif tingkat Pusat dan Daerah. Pemilu di Indonesia dari masa ke masa mengalami dinamika demikian rupa. Dari sisi jumlah partai kontestan dapat dikategorikan menjadi tiga macam. Pertama, Pemilu dengan Kontestan sedikit, terdiri atas tiga partai, yakni Golkar, PPP, dan PDI. Kedua, Pemilu dengan Kontestan sedang, terdiri atas sepuluh partai atau kurang dari itu pada era Orba. Ketiga, Pemilu dengan Kontestan lebih dari sepuluh partai. Tujuan Pemilu di mana pun sama, yakni memilih untuk menentukan calon pemimpin yang terbaik di masa depan. Salah satu tujuan berdirinya partai politik ialah untuk meraih kekuasaan sebagai jalan mengimplementasikan platform-nya. Masing-masing partai peserta Pemilu memiliki visi dan misi tersendiri. Prof. Eka Putra Wirman memetakannya menjadi dua tipe orientasi partai politik, yakni partai idealis, dan partai pragmatis. Dewasa ini partai politik yang bisa disebut sebagai pengusung idealisme ada dua, yakni PDI-P dengan nasionalismenya, dan PKS dengan platform Islam/ syariahnya. Selebihnya bergerak di antara dua sisi, yakni idealisme dan/atau pragmatisme. Mendahului partai-partai lainnya, NasDem di tangan Surya Paloh mengajukan tiga Calon Presiden 2024, yaitu Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo. Dari ketiga Calon Presiden yang dipromosikan, hanya Ganjar Pranowo yang disebut sebagai Kader Partai, yakni PDI-P. Tetapi, sebagaimana telah menjadi rahasia umum, bahwa di samping Ganjar, PDI-P mempunyai kader partai tulen dari rahimnya, yakni Puan Maharani. NasDem dinilai cerdik dan bermain cantik mengusung ketiga sosok yang memiliki basis pendukung tinggi. Surya Paloh pun telah mendeklarasikan partainya konsisten pada nilai yang dijunjung tinggi dalam percaturan Pilpres; “memberikan kesempatan yang sama kepada anak bangsa untuk menjadi pemimpin nasional”; “tidak ingin didikte oleh survei”; “meminta kader untuk tidak tunduk kepada pihak mana pun”. PKS, melalui Presidennya, Ahmad Syaikhu mendeklarasikan bahwa PKS is Not for Sale to Oligarch. Pada pembukaan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) DPP PKS 2022 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Senin 20/6/2022, Ahmad Syaikhu menegaskan, PKS tidak akan digadaikan kepada kelompok oligarki yang mengedepankan money politics demi kepentingan politik, sebab hal itu bisa merusak bangsa Indonesia selamanya. “Faktor penentu kemenangan tidak semata-mata uang yang berlimpah, tetapi justru idealisme kita yang kemudian mendorong kemenangan itu. Pertolongan yang paling sangat menentukan adalah Allah Subhanahu wa Ta\'ala,” ujarnya. Sedangkan PDI-P sebagai partai beridealisme nasionalis yang sedang berkuasa tidak bisa dikatakan jauh dari oligarki. Salah seorang pakar/pengamat politik Dr. Mulyadi (2017) memperkenalkan teori Oligarki Kembar Tiga. Menurut Mulyadi, Politik Indonesia dirusak oleh praktik Oligarki Kembar Tiga: 1) Oligarki Politik (Badut Politik): 2) Oligarki Ekonomi (Bandar Politik); 3) Oligarki Sosial (Bandit Politik). Perubahan tata cara pemilihan presiden, dari oleh wakil rakyat menjadi oleh setiap rakyat membawa konsekuensi tersendiri bagi pemerintah, penguasa, partai politik, maupun rakyat biasa, walaupun pada mulanya pergantian mekanisme Pemilu itu dimaksudkan agar demokrasi Indonesia semakin berkualitas, mantap, dan bermartabat: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Fakta menunjukkan bahwa hasil Pemilu dari waktu ke waktu masih jauh panggang dari api. Untuk mewujudkan Mimpi Pemilu Luberjurdil diperlukan prasyarat tertentu. Pertama, kembalikan hak memilih kepada Wakil Rakyat; Kedua, nol persen-kan Presidensial Threshold; Ketiga, tidak tunda Pemilu; Keempat, para Wasit tidak ikut bermain; Kelima, lembaga-lembaga survei Pemilu diaudit oleh pihak yang berwenang dengan persyaratan dan/atau ancaman sanksi tertentu. Keenam, penerapan sanksi diskualifikasi atas pasangan Calon Presiden yang melakukan pelanggaran berat dalam proses Pemilu; Ketujuh, kurangi durasi masa kampanye Pemilu. Beberapa saat mendatang akan muncul pasangan-pasangan Capres-Cawapres baru, baik yang dipromosikan oleh Parpol, lembaga survei, pengamat, maupun masyarakat akar rumput. Jikalau Nasdem menominasikan tiga Bakal Calon Presiden, Lembaga Cakra Nusantara memprediksi 4 koalisi Capres-Cawapres 2024 dengan 4 pasang Capres-Cawapres alternatif, di samping telah muncul pula altetnatif duet Capres-Cawapres LaNyalla-Puan Maharani, penulis cukup mengusulkan Capres-Cawapres Anies-Sandi. (*)

Menikmati Cak Imin

Oleh Ady Amar Kolumnis  Cak Imin nama bekennya, nama merakyat khas Jawa Timuran, yang diawali dengan Cak. Bermakna orang yang lebih tua. Muhaimin Iskandar, nama lengkapnya. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang tak tergoyahkan. Bahkan Cak Imin mampu tidak saja menggoyahkan, tapi mementalkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Dewan Syuro PKB. Sejarah mencatat perseteruan yang menggelinding hingga ke pengadilan itu dengan baik. Dan, Cak Imin jadi pemenangnya. Orang sekelas Gus Dur, yang mantan Presiden RI ke-4, saja bisa dipentalkan. Maka bisa disimpulkan Cak Imin memang politisi beneran, bukan kaleng-kaleng. Selalu berhitung cermat dalam menakhodai PKB. Saat NU dipimpin KH Said Aqil Siradj, hubungan dengan NU seperti tidak berjarak. Sepuluh tahun Kyai Said memimpin NU, tidak sekalipun riak-riak muncul mengoreksi PKB. Pun sebaliknya. Harmonis. Lalu NU beralih ke tangan anak muda NU, yang dianggap penerus Gus Dur, KH Yahya Cholil Staquf, hasil Muktamar ke-34, Lampung (2021). Mulai riak-riak muncul dengan pernyataan, bahwa NU tidak mendukung salah satu partai. Artinya, PKB bukan dianggap satu-satunya partai kaum nahdliyyin. Kyai Yahya sepertinya coba \"mengganggu\" eksistensi Cak Imin di PKB. Mulai saur manuk antara pengurus NU dan PKB menyeruak ke ruang publik. Ada ketegangan ditimbulkan. Kyai Yahya dengan caranya seolah ingin menyudahi kekuasaan Cak Imin di PKB. Setidaknya itu yang tampak. Bukan Cak Imin jika tidak percaya diri. Ia yakin suara PKB tidak mungkin bisa digembosi NU struktural. Barikade dibuatnya. Ia kumpulkan ratusan kyai ternama asal Jawa Timur di Surabaya, seolah ia memperlihatkan bahwa tidak ada yang tampak beda perlakuan kyai NU, yang punya basis massa riil tetap berdiri tegak lurus bersama PKB. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Langkah Cak Imin itu disampaikan sebagai isyarat bahwa ia tak gentar. Tidak saja pada internal NU struktural, tapi pada eksternal NU--istana dan itu Presiden Jokowi--bahwa PKB tetap solid di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar. Pekan-pekan ini kita disuguhi langkah Cak Imin yang percaya diri menapak menuju RI-1, atau setidaknya RI-2. Maka, manuver ia tampakkan. Ia rangkul Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang itu seperti mempertemukan air dan minyak. Sambutan PKS terbuka pada PKB. Tidak cukup sampai di situ koalisi ingin dibangunnya. Dirangkulnya pula Partai Demokrat. Tiga partai politik berkoalisi, dengan nama yang \"menggigit\", Koalisi Semut Merah. Berkumpulnya tiga partai itu sudah cukup memenuhi ambang batas presidential threshold. Belum sempat PKS dan Demokrat merancang langkah berikutnya, _eh_ Cak Imin sudah melangkah menemui Prabowo, Ketua Umum Partai Gerindra, di Jalan Kertanegara. Diumumkanlah, bahwa PKB berkoalisi dengan Gerindra. Geleng kepala dibuat Cak Imin, dengan begitu cepatnya dalam hitungan hari ia pindah ke lain hati. Cak Imin seolah menegaskan adagium, tak ada yang abadi dalam politik kecuali kepentingan. Langkah Cak Imin seperti langkah main-main, seperti tidak serius. Publik suka tidak suka disuguhi manuver akrobatik politik tidak biasa, yang sulit bisa dimengerti.  Fatsoen politik seperti tidak jadi pegangan Cak Imin. Suka-sukanya ia lakukan, meski itu di luar kepatutan. Cak Imin menikmati gaya politiknya untuk dipahami sebagaimana adanya. Apakah serius Cak Imin dengan langkah menuju RI-1-nya itu, meski hasil lembaga survei elektabilitasnya masih di bawah. Serius tidaknya, itu ditentukan oleh banyak hal. Dan, pastinya perjalanan masih jauh. Pertanyaan susulannya, seriuskah Prabowo akan berpasangan dengannya, itu pun masih belum bisa dilihat saat ini. Jika elektabilitas Cak Imin masih tidak beranjak menaik, maka mustahil Prabowo akan bersanding dengannya. Itu jika Prabowo tidak ingin dikenang sebagai capres abadi, yang selalu gagal menghuni istana. Seriuskah Cak Imin menuju RI-1, itu setidaknya disampaikannya di hadapan Wisuda Santri PP Al-Yasini, Pasuruan. Katanya, \"Saya sudah bosen  jadi pembisik presiden. Sudah 20 tahun saya sebagai pembisik. Sudah waktunya saya menandatangani sendiri.\" Istilah \"menandatangani sendiri\", itu bermakna ia bisa langsung mengambil kebijakan. Karenanya, ia minta dukungan dan doa para santri dan kyai yang hadir di sana. Luar biasa Cak Imin ini. Ia punya kepercayaan diri di atas rata-rata politisi lainnya. Waktu dua tahun menuju 2024 pastinya ia akan maksimalkan kerja politiknya untuk mengerek elektabilitasnya. Jagat pemberitaan diramaikan Cak Imin dengan manuvernya, yang sepertinya tak henti-henti dan sepertinya akan berpanjang-panjang. Namanya juga usaha, mengadu peruntungan, maka langkah manuvernya itu sah-sah saja. Waktu yang akan menentukan. Melihatnya tidaklah perlu kita bergumam seolah ia tak tahu diri. Cak Imin amatlah tahu dengan apa yang diikhtiarkannya. Manuver yang dilakukan Cak Imin, itu cuma panggung depan yang dipertontonkan pada khalayak, untuk konsumsi bersama. Sedang panggung belakang, itu misteri yang cuma bisa dilihat dengan analisa politik tidak sederhana. Bahkan perlu waktu untuk mengurai apa yang sebenarnya dimainkan seorang Cak Imin dengan PKB-nya. Manusia Cak Imin tampil selalu ceria, yang khas jika terbahak mulutnya terbuka nganga hingga separo wajahnya tertutupi, itu akan terus menghiasi hari-hari politik negeri ini. Maka tidaklah perlu serius melihat manuver Cak Imin itu, nikmati saja. (*)

Mega Dibayangi Kudeta Merangkak, Prabowo Nguber Layangan Putus

Oleh: Arief Gunawan, Mantan Wartawan APA yang terjadi dengan PDIP kalau Ganjar jadi presiden?  Atau misalnya Jokowi lanjut tiga periode? Kalau ini terjadi, dinasti politik Sukarno katanya bisa hancur.  Ganjar besar kemungkinan jadi ketua umum. Sedangkan Jokowi jadi ketua dewan pembina.   Reshuffle 15 Juni kemarin ternyata juga verleden wind belaka. Angin lalu, kata orang Belanda. Kagak ngaruh, kata wong cilik. Karena tak bertujuan memperbaiki ekonomi & kinerja kabinet.  Apa sebenarnya yang terjadi dengan Megawati di balik drama reshuffle itu ? Di tengah munculnya kabar istana sedang mempersiapkan boneka baru untuk dijadikan calon presiden, dan akan menjadi kompetitor bagi Puan di Pilpres 2024?  Mega, seperti halnya sang bapak, kini dilukiskan ibarat sedang menghadapi creeping coup d’etat (kudeta merangkak) dari petugas partainya sendiri, dan kadernya yang Gubernur Jawa Tengah. Mega seperti halnya juga SBY sama-sama sedang memikirkan nasib sang anak di kontestasi politik 2024.  Dengan siapa Puan berpasangan? Prabowo yang sebelumnya digadang-gadang bakal diduetkan dengan Puan kini terkesan panik, sehingga Cak Imin,  yang diibaratkan seperti layangan putus oleh tokoh nasional Dr Rizal Ramli, terpaksa dikejar. Meski Imin tak pernah nyangkut di daftar unggulan lembaga survei. Ini karena Prabowo resah dengan wacana “pertunangan” Puan-Anies yang lumayan kencang menggelinding. Meski kemungkinan Mega tak setuju pada “pertunangan” ini, karena alasan chemistry dan ideologis dengan Gubernur Jakarta itu.  Faktor Jusuf Kalla juga jadi hitungan Prabowo,  karena Jusuf Kalla disebut-sebut gencar melobi Mega melalui seorang pensiunan aparat supaya menduetkan Puan dengan Anies. Maklum Jusuf Kalla punya peran besar mengongkosi Anies waktu naik jadi gubernur. Prabowo juga galau lantaran Anies bisa mengalahkannya. Selain kini ada kesan kuat di masyarakat yang umumnya jenuh dengan kiprah menteri pertahanan itu. Alasan lain, Prabowo perlu mendekati PKB dan PKS, karena Gerindra tak cukup modal untuk memenuhi ambang batas Presidential Treshold 20 persen. Bagaimana peluang Anies di Partai Nasdem asuhan Surya Paloh? Secara emosional Surya Paloh disebut-sebut sebenarnya kurang sreg dengan Anies karena perbedaan faham. Namun Paloh lihai memainkan kunci, sehingga terkesan tampil seperti King Maker. Karena itu SBY merasa perlu sowan untuk bertemu Surya Paloh, sebab ingin menduetkan AHY dengan Anies. Situasi ini sebenarnya terbalik, karena SBY menyia-nyiakan potensinya untuk menjadi King Maker. Apalagi sebenarnya jumlah kursi Demokrat di parlemen lebih besar dari Nasdem. Yang menarik, beredar pula rumor salah seorang perempuan petinggi NU dari trah ningrat kaum Nahdliyin sudah mewanti-wanti supaya Nasdem tak mendukung Cak Imin jadi capres. Kalau ini dilakukan dukungan NU terhadap Nasdem bisa berantakan. Lepas dari Megawati yang sedang dilanda oleh creeping coup d’etat yang dilakukan petugas partai dan kadernya sendiri, secara umum dalam waktu belakangan ini negeri ini memang seperti sedang memasuki musim semi kudeta (spring coup). Yang dikudeta tiada lain ialah konstitusi. Mulai dari dipertahankannya Presidential Treshold 20 persen yang tidak ada di dalam Undang-undang Dasar ‘45 dan berkembangnya keinginan anasir oligarki untuk memplintir konstitusi demi memperpanjang masa jabatan presiden. Musim semi kudeta jauh dari suasana musim semi yang sesungguhnya, yang lazimnya indah dimana kembang-kembang bermekaran, tunas-tunas tumbuh dalam hangatnya matahari. Musim semi kudeta yang berkembang belakangan ini merupakan pertanda akan munculnya malapetaka besar bagi negeri. *****

Koalisi Koalisian

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  MENANDAI suatu kepalsuan dengan pengulangan kata ditambah akhiran an. Begitu kita diajarkan saat belajar di Sekolah Dasar. Burung itu asli tetapi burung-burungan itu palsu. Orang tentu asli tetapi orang-orangan adalah orang palsu yang biasa dijadikan pengusir burung di sawah. Presiden-Presidenan artinya Presiden palsu.  Kini dua tahun menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden, Partai-partai mulai melakukan kerjasama untuk mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden. Namanya Koalisi. Diawali dengan Deklarasi Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari 3 Partai Politik yaitu Partai Golkar, PAN dan PPP. Isunya hendak mencalonkan Ketum Golkar Airlangga sebagai Capres.  Ketum PKB Muhaimin Iskandar menyatakan siap bergabung dalam KIB tetapi dengan syarat Capres nya adalah Muhaimin alias Cak Imin, sang Ketum. Anggota KIB tertawa terbahak-bahak dan menganggap Cak Imin itu sedang lucu-lucuan. Datang terlambat alias \"masbuk\" eh ujug-ujug ingin jadi Imam. Mabuk kalee.  KIB itu juga koallisi-koalisian buktinya setelah PAN masuk Kabinet melalui reshuffle ternyata untuk mengajukan Capres KIB harus menunggu arahan Jokowi dulu. Lho buat apa bikin Koalisi kalau ujungnya masih nunggu petunjuk Jokowi-Jokowi juga. Ketiga Partai ini sudah menjadi Koalisi partai pendukung Jokowi bersama PDIP, Gerindra dan lainnya.  Jadi Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) itu bersatu untuk sekedar membangun koalisi-koalisian. Koalisi palsu.  PKB dan PKS bersilaturahmi lalu berkoalisi. Mengusung Cak Imin dan Anies Baswedan. Namanya Koalisi Semut Merah. Mungkin mau membuat gatal dunia perpolitikan dan menggigit-gigit. Gak taunya belum juga bertemu serius antara keduanya, Ketum PKB sudah berkhianat dengan menyatakan siap berpasangan dengan Menkeu Sri Mulyani. PKS  digigit oleh semut merah PKB. PKS hanya bisa membalas dengan gigit jari. Cak Imin telah pergi ke lain hati.  Syukurin cintanya ditolak. Sri Mulyani tidak bersedia. Sang play boy politik segera cari pasangan baru. Pergilah ke Kertanegara menemui Prabowo. PKB klaim Koalisi telah terbentuk namanya Koalisi Indonesia Raya (KIR). Kata Cak Imin lebih jelas KIR daripada Koalisi Semut Merah. Gilanya, PKB malah ingin Cak Imin Capresnya he he  Rupanya Koalisi jadi tren menuju 2024 meskipun semua Koalisi itu sebenarnya hanya bagian dari penjajagan-penjajagan. Tidak begitu manfaat bagi rakyat bahkan terkesan penggiringan yang bernuansa pembodohan. Rakyat dibawa ke ritme kemauan dan kepentingan pragmatik partai politik bukan kepentingan rakyat. Apalagi untuk membantu keluar dari beban yang sangat berat.  Di tengah hiruk pikuk koalisi-koalisian, negara sebenarnya berada dalam keterpurukan ekonomi, hukum, dan politik. Ideologi pun tergerus. Demokrasi yang babak belur. Tidak jelas arah pemerintahan ini. Pemerintah lumpuh dan sudah tidak bisa bekerja ajeg lagi. Program utama kini adalah menyelamatkan kepentingan masing-masing baik golongan, kroni, partai, maupun keluarga.  Kesemrawutan ini harus dihentikan, pembusukan tidak boleh dibiarkan, kedaulatan rakyat segera pulihkan, keangkuhan robohkan, para pengkhianat dan penjarah kekuasaan harus segera dihukum.  Koalisi-koalisian adalah deklarasi seolah-olah negara adalah milik mereka.  Mereka yang merasa berhak untuk menjarah habis-habisan segala isi negara.  Koalisi-koalisian adalah dukungan untuk memperkokoh kekuasaan oligarki.  Penjajah yang menyamar dan berbahasa demokrasi. Sambil mengangkangi birokrasi dan aparat keamanan negeri.  Kulihat ibu pertiwi//Sedang bersedih hati Air matanya berlinang//Mas intan nya terkenang Hutan gunung sawah lautan//Simpanan kekayaan Kini ibu sedang lara//Merintih dan berdo\'a Di saat ibu pertiwi sedang bersedih kalian malah sibuk koalisi-koalisian, menipu rakyat semesta.  Sungguh tega dan tidak punya rasa.  Bandung, 21 Juni 2022