OPINI

Matinya Presidential Threshold

 Kini, presidential threshold telah membuka mata kita tentang pangkal semua problematika politik yang terjadi di Indonesia. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD di MPR RI ERA rezim ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold-PT) di tubir jurang. Gerilya elit politik mencari figur untuk diusung dalam kontestasi Pilpres 2024, itu mengindikasikan sistem pemilu berbasis presidential threshold tidak relevan lagi. Tiket milik partai politik terancam kadaluwarsa. Hak eksklusif sebagai pemilik tiket ke gelanggang pilpres, terbukti tak bisa jadi pegangan. Posisi tak digaransi aman. Dinamika politik paling anyar memaksa semua partai memasang kuda-kuda. Menatap Pilpres 2024, koalisi pemerintah pecah. Jagoan yang kemungkinan diusung berbeda. Dalam imajinasi rezim, presidential threshold itu semestinya menguntungkan koalisi pemerintah saat ini. Akumulasi perolehan kursi di DPR sebesar 82 persen, memungkinkan parpol-parpol yang bernaung di bawah atap Istana melenggang dengan mulus ke babak kekuasaan selanjutnya. Namun celaka. Koalisi retak. Langkah tak lagi kompak. Terjadi perbedaan selera soal siapa yang bakal diusung pasca Presiden Joko Widodo. Beberapa menteri telah terang-terangan bermanuver. Mengorganisir relawan dan juga memanfaatkan jabatan untuk tampil menawarkan diri ke publik. Termasuk dilakukan oleh tokoh yang tak punya partai politik. Perbedaan preferensi setelah Jokowi, tak lepas dari kepentingan yang juga tak lagi sama. Joko Widodo sendiri diyakini tidak bakal gegabah taken for granted. Kepentingan terbesar Jokowi setelah lengser nanti, adalah memastikan sosok penggantinya bisa menjamin posisi Jokowi aman secara hukum, dan juga secara politik. Syukur-syukur kebijakannya diteruskan. Dengan kondisi koalisi pemerintah yang kocar-kacir seperti sekarang, bandul politik Jokowi lemah. Sebagai petugas partai, politisi asal Solo ini tidak punya lagi kewenangan mengonsolidasi partai lain. Kecuali atas nama jabatan publik yang melekat di masing-masing pimpinan partai. Jokowi sebagai Presiden. Sampai saat ini, PDIP satu-satunya parpol yang memegang golden ticket. Tiket berstatus akses penuh dan bisa mencalonkan pasangan presiden dan wapres. PDIP meraih 22,26% kursi di DPR. Kendati demikian, elektabilitas Puan Maharani, jagoan partai besutan sang ibunda, masih jauh dari harapan. Sehingga semua analisis memproyeksi Puan akan disodorkan pada posisi calon wakil presiden. Kans Puan lebih terbuka jika menempel pada figur dengan elektabilitas tinggi. Cuma ada tiga nama yang konsisten mengorbit di tiga urutan teratas semua lembaga survei. Yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan juga Ganjar Pranowo. Informasi yang beredar memperlihatkan kedekatan tidak biasa antara Puan Maharani dengan Anies Baswedan. Pertanyaannya, bagaimana nasib partai-partai, pemilik tiket tidak penuh? Sejauh mana petualangan partai-partai itu mengompromikan kepentingan, mencari figur serta ongkos untuk masuk gelanggang. Elit partai kini kasak kusuk mencoba berbagai formula. Kongsi masih teka-teki. Kompromi terus dijajaki agar tiket terpakai. Punya harga, dan tidak kedaluwarsa di gelanggang kontestasi. Di level pimpinan partai pun, tidak ada nama yang mentereng. Paling banter Prabowo Subianto. Tapi patut dicatat, Gerindra bukan pemegang golden ticket. Prabowo masih harus mencari rekan koalisi untuk mengajukan nama dan masuk ke arena. Sementara partai-partai lain tampak inferior. Tidak pede untuk menawarkan kandidatnya. Rasa rendah diri itu tercermin dari minimnya nama elit partai di bursa survei sebagai figur yang dikehendaki rakyat. Memang beberapa ketua umum terus menyodorkan diri melalui sosialisasi masif, tapi elektabilitasnya mentok. Tak pernah beranjak ke angka yang bikin sumringah. Inilah dampak buruk desain pemilu berbasis ambang batas perolehan suara yang diterapkan di Indonesia. Selain membatasi figur pada pilihan-pilihan terbatas, presidential threshold juga menjelma menjadi kuburan bagi partai politik. Pengalaman pemilu sebelumnya, sejumlah partai akhirnya gagal ke Senayan karena tak mampu meraih cottail effect akibat tak memunculkan figur. Malah mengampanyekan figur dari partai lain. Aneh bin ajaib. Kandidatnya menang, partainya ketinggalan. Sebuah paradoks demokrasi yang lagi-lagi timbul karena rezim presidential threshold. Selain itu, presidential threshold berefek pada tidak terbangunnya tradisi politik yang baik. Parpol mandul sebagai dapur kaderiasasi kepemimpinan. Alih-alih menyodorkan kader, parpol malah lebih sibuk mencari figur dari luar, yang kuat dan punya magnet di masyarakat. Presidential threshold mematikan fungsi partai sebagai laboratorium pemimpin bangsa. Pada akhirnya, elit partai terjebak berpikir jangka pendek menjelang pemilu. Memberikan jas kepada figur yang dianggap mampu memenuhi syarat. Terutama uang mahar pembeli tiket yang sudah jadi rahasia umum. Mekanisme ini akhirnya jadi portal bagi oligarki pemilik modal menancapkan pengaruhnya. Ongkos politik yang tinggi untuk kampanye, dan berbagai kebutuhan lain, tidak mungkin bisa dibiayai seorang kandidat. Satu-satunya cara yang memungkinkan proses tersebut berlanjut, adalah dengan membuka “partisipasi” pihak ketiga. Itulah potret partai paceklik figur menghadapi Pilpres 2024, memvalidasi kekhawatiran kita terhadap komorbid presidential threshold. Nasib parpol-parpol papan tengah dan papan bawah kini terancam menggantang asap. Daya tawar melemah. Jika gagal menemukan figur yang tepat, dan dibekali modal popularitas serta sokongan kapital mumpuni, nasibnya bisa terbenam pada pemilu 2024. Status sebagai pemegang tiket ke gelanggang, rupanya serba tanggung dan tak pasti karena urusan ambang batas pencalonan. Bahkan, sangat mungkin di tikungan akhir nanti, ada parpol yang terpaksa menyodorkan tiket gratisan. Demi dapat tempat duduk di dalam gerbong. Dinamika politik yang terjadi tak hanya membuat para elit parpol kerepotan bermanuver dan ketakutan tertinggal kereta, publik juga dibuat lelah dengan aneka drama yang jauh dari kata memperjuangkan kepentingan rakyat itu. Situasi pelik ini semestinya menjadi pembelajaran bagi semua parpol. Kini, presidential threshold telah membuka mata kita tentang pangkal semua problematika politik yang terjadi di Indonesia. Saat perolehan suara masih terbilang tinggi, atau masih punya rekan koalisi, presidential threshold mungkin dianggap hal biasa. Tapi siapa yang berani jamin, pada pemilu mendatang suara partai tak jeblok. Tidak ada yang bisa memaksa partai lain agar tetap mau jalan bareng dalam satu atap koalisi, sementara kepentingnya sudah berubah. Karena itu, perlu langkah berani untuk mendobrak segala kebuntuan ini dengan melakukan gugatan terhadap presidential threshold. Ambang batas pencalonan ini tidak kompatibel dengan demokrasi yang hendak kita bangun. Presidential threshold merusak tatanan dan infrastruktur politik Indonesia. Jakarta 9 Juni 2022. (*)

Indonesia Kini: Ngeri!

Oleh Dr. Masri Sitanggang - Ketua Umum Gerakan Islam Pengawal NKRI SEMUA bagian bangunan negeri ini sudah digrogoti rayap korupsi, menunggu ambruk atau diambil alih pihak lain. Masihkah bisa diselamatkan dengan cara-cara prosedural biasa ? Mahfud MD bingung, LaNyalla pesimis.  Mahfud MD kehabisan  kata untuk menggambarkan kondisi Indnesia kini. Ia cuma bisa bilang : “mengerikan”. Padahal  ia seorang guru besar, pakar di bidang Hukum Tata Negara, pernah jadi Ketua Mahkamah Konstitusi dan  sudah malang melintang  di jabatan politik negeri ini. Pastinya, dengan back ground seperti itu, sudah ratusan judul buka pula ia baca. Lazimnya, perbendaharaan dan tutur kata serta gaya bahasa seseorang sebanding dengan bahan bacaannya. Mahfud bukanlah type pembaca  komik Dora Emond atau Sincan. Oleh karena itu, mengejutkan bila Menko Polhukam ini kehabisan kata untuk menggambarkan Indonesia kini.    Tentu bukan Mahfud yang salah. Kondisi Indonesia memang sudah sangat sulit dilukiskan dengan kata. Terlalu panjang kata –yang memiliki nilai rasa mengerikan, dirangkai untuk bisa menjelaskan  Indonesia now. Itu artinya, keadaan sesungguhnya bukan lagi mengerikan, melainkan : “Udah ngeri kali”, bahasa orang Medan.  agar negara ini bisa maju, menurut Mahfud, pemimpin yang muncul setelah Jokowi, haruslah pemimpin yang bisa menyatukan, menjaga keseimbangan dan merekatkan.  “Nggak kayak sekarang, waduh mengerikan saya lihat,” katanya. Korupsi sudah tidak terkendali dan itu ada di semua sektor, begitu kata orang Madura ini. Parlemen, pengadilan, birokrasi dan para pengusaha semua bekerja dengan cara-cara itu. Apa tidak ngeri ?  Bagaimana mungkin rakyat bisa menyatu, merekat dan seimbang kalau pengelola negara sudah bekerja dengan cara-cara korupsi ? Yang ada, adalah kecemburuan sosial karena tercipta jurang lebar dan dalam antara kaya dan miskin.  Yang ada, adalah rasa kebencian kaum papa yang terdzalimi terhadap arogansi dan kesewenangan penguasa dan pengusaha serta orang berpunya. Itu alamiayah. Sementara bagi pengelola negara yang korup,  suasana itu bahkan dikehendaki karena dapat memberikan keuntungan tersendiri. Parlemen (legislatif), birokrasi-pemerintah (eksekutif) dan pengadilan-penegak hukum (yudikatif) –yang dalam teori politik modern adalah pilar tegaknya negara hukum, negara demokrasi– sudah  sama-sama bekerja degan cara-cara korupsi. Bagaimana membayangkan sebuah negara yang demikian ? Mungkin lebih cocok digambarkan sebagai sebuah pasar tradisional yang dikuasai oleh para preman atau pun bandit. Di situ hukum, kekuasaan dan keadilan adalah milik para preman dan bandit ditambah pengusaha bermodal kuat.  Janganlah  berharap ada belas kasih di situ. Apalagi keadlilan sosial. Cari makanlah sendiri-sendiri dan bersainglah sekuatmu (tapi jangan coba-coba saingi pedagang bermodal kuat kalau tidak ingin dicampakkan dari pasar itu) . Setiap orang adalah pesaing bagi orang lain.  Homo homo ni lupus kata Plautus : manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, saling terkam. Awas, jangan telat bayar macam-macam pajak upeti pada para penguasa.  Apalagi membangkang. Maka, Ian Antono dan Taufiq Ismail benar :  “Dunia Ini Pangung Sandiwara”. Lagu yang bawakan Rocker Indonesia, Ahmad Albar, di tahun 78, mungkin dapat menggambarkan prilaku pengelola negara seperti ini. Setiap orang dapat satu peranan. Ada peran wajar dan peran berpura pura. Ada yang jelas menampakkan kebanditannya, ada pula yang menutupinya dengan pencitraan yang mengesankan. Yang terakhir ini, selalu berteriak “Pancasila dan NKRI harga mati”, “demi rakyat, bangsa dan negara” atau teriakan lain yang senada dengan itu. Tetapi, bagaimana punj uga, kalau pengadilan –yang mestinya menjadi benteng penegakan hukum, sudah bekerja dengan cara-cara korupsi, dipastikan akan sangat sulit  beraharap keadilan  dari yang mulia tuan hakim.  Gedung pengadilan tak lebih dari theater tempat pementasan drama sandiwara atau dagelan. Tempat mafia hukum dan cukong  menyusun skenario, menentukan ending cerita, memiliih dan mengarahkan pemeran utama –para jaksa dan hakim, agar sandiwara persidangan enak dinikmati. Agar bisa bikin penonton terbahak-bahak, atau mabuk kepayang. Kalau ada yang tidak puas, itu salah dia sendiri: kenapa tidak pesan (bayar upeti tentunya) sekenario ? Di panggung sandiwara ini, “ceritanya mudah berubah” : kasus yang sama putusan bisa berbeda.  Kalau legislatif sudah bekerja dengan cara-cara korupsi, masihkah bisa berharap akan lahir undang-undang yang pro rakyat dari anggota dewan yang terhormat ? Setiap pasal dalam setiap RUU ada harganya. Itu tak mungkin terbeli oleh rakyat yang –karena himpitan ekonomi, diminta untuk makan keong sebagai pengganti daging dan dua buah pisang pengganti nasi serta memasak dengan cara merebus saja.  Oleh sebab itu, lahirnya sebuah UU lebih  sering atas dorongan –dan karena itu untuk kepentingan,  pengusaha dan penguasa. Rakyat dan segala propertinya justeru jadi komuditas, barang dagangan. Ibarat sumber daya alam (bukan lagi sumber daya manusia), rakyat dan propertinya dieksploitasi para bandit untuk memperkaya  diri. Dan, seperti juga sinetron, seringkali undang-undang harus kejar tayang, harus segera disahkan sesuai pesanan. Para anggota dewan yang terhormat pun khusuk  dalam sidang marathon untuk kemudian :  “tok”, “tok”, “tok”. Palu berbunyi tepat dini hari, ketika rakyat tenggelam di lelap malam.   Kalau sudah begini, masihkah rakyat boleh berharap parlemen  melakukan pengawasan terhadap prilaku dan kenerja pemerintah yang juga bekerja dengan cara-cara korupsi  ? Heh, hepeng do mangatur nagaraon, kata orang kami Batak : uang lah yang mengatur negara ini. Jaganlah berharap macam-macam. Kalau eksekutif sudah bekerja dengan cara-cara korupsi, maka para birokrat sesungguhnya adalah pelaku bisnis. Bisnis kotor, pastinya. Bisnis para preman dan bandit. Bisnis para penghisap darah. Mengambil hak orang lain secara bathil. Menguras kekayaan rakyat dan negara untuk kekayaan pribadi. Dengan cara maling yang bersembunyi di balik undang-undang atau bisa juga terang-terangan merampok gaya begal.  Bagi pelaku bisnis, wilayah Indonesia yang luas berserta penduduk yang ramai dan kekayaan alam yang melimpah adalah pasar sekaligus aset dagangan. Terlalu naif bila mengeluarkan kebijakan atau aturan yang tidak menghasilkan rupiah untuk bekal anak cucu. Semua tindakan, harus menambah pundi-pundi.     Maka, “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia” adalah mimpi. Yang akan nyata adalah melindungi mereka yang punya uang, siapa pun dia : bangsa Indonesia maupun bukan.  Melindungi  “seluruh tumpah darah Indonesia” juga mimpi. Memang, laut, gunung dan hutan serta pulau-pulau itu masih ada di wilayah Idonesia –karena tidak bisa dipindahtempatkan, tapi mungkin penguasanya sudah entah siapa.  “Memajukan kesejahteraan umum”, pastilah juga mimpi. Mana ada begal yang berpikir untuk kesejahteraan orang lain?  Mencerdaskan bangsa ? Heeemmm..., ini yang ngeri-ngeri sedap. Bagi para bandit, penghisap darah, orang-orang cerdas adalah ancaman. Apalagi cerdas dan berani. Maka bandit-bandit berupaya mengebiri dunia pendidikan. Bukan saja membuat biaya pendidikan jadi mahal, mereka berusaha mencengkeramkan cakarnya di lembaga-lembaga pendidikan agar bsa menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Tetapi repotnya ketika berhadapan dengan  lembaga pendidikan yang sukar didikte karena sifat kemandiriannya. Untuk yang ini, perlu jurus dewa mabok : menohok dengan radikul-radikul.  Mungkinkah para maling dan penjarah kekayaan negara dapat “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”? Jauhlah panggang dari api. Niat untuk itu saja pun dipastikan mereka tidak punya. Sebab, perilaku  jahat (korupsi-maling-rampok) dan niat baik (mewujudkan keadilan sosial) adalah dua hal yang berlawanan secara diametral. Pelaku kejahatan (koruptor-maling-rampok), pada saat yang sama, tidak mungkin adalah pelaku kebaikan (berniat) mewujudkan keadilan sosial. Sebaliknya, seorang yang berniat baik (mewujudkan keadilan sosial), pada saat yang sama, tidak mungkin mau melakukan kejahatan (korupsi-maling-rampok).  Tidak mungkin seorang yang beradab sekaligus adalah  biadab,  atau sebaliknya.  Jadi kalau penegak hukum, parlemen dan birokrasi sudah bekerja dengan cara-cara korupsi, ditambah lagi para pengusahanya juga demikian, lengkaplah sudah kerusakan negeri ini. Bagaimana lagi mendiskripsikannya ? Kita terpaksa setuju dengan Mahfud, hanya  ada satu kata: mengerikan! Hilanglah sudah harapan akan Indonesia Adil dan Makmur. Pupuslah sudah cita-cita Indonesia merdeka yang dengan susah payah dirumuskan para pendiri bangsa dalam pembukaan UUD 1945 –dan susah payah pula kita camkan sejak duduk di bangku Sekalolah Dasar. Indonesia sudah seperti bangunan  yang semua bagiannya digrogoti rayap, menunggu ambruk atau diambil alih pihak lain.   Bagaimana memperbaiki keadaan ini? Mahfud pun bingung. \"Kayaknya memang perlu satu terobosan. Kalau teori klasik, seperti di Amerika Latin biasanya muncul kudeta. Ini negara mau hancur, saya ambil, dan memang ada teorinya. Teori Plato 2.500 tahun lalu mengatakan, kalau demokrasi sudah menjadi anarkis memang harus muncul apa yang disebut strong leader, pokoknya babat saja dulu, daripada negaranya hancur.\" Begitu kata  Mahfud. Atau, mungkin juga seperti di Pililipa yah, People Power : kekuatan rakyat memaksa penguasa dzalim turun? Bila dikuasi para bandit, demokrasi pastilah anarkis. Dalam situasi seperti ini, melalui demokrasi prosedural normal, sulit mengharapkan munculnya  pemimpin yang berani jujur (shiddiq –kata-katanya dapat dipercaya),  mampu menunaikan tugas yang diembankan dengan baik dan tidak menyalahkangunakan kekuasaan (amanah), dapat mengambil keputusan yang tepat dengan cepat (fathanah)  dan senantiasa menyampaikan kebenaran sebagai pengajaran bagi rakyatnya (tabligh).  AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD RI, juga pesimis. Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu –berkenan ambang batas pencalonan Presiden, menjadi penghalang munculnya pemimpin harapan rakyat. Ini dinilai sebagai  pasal penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia. “Itu menjadi pintu masuk bagi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik untuk mengatur dan mendesain pemimpin nasional yang akan mereka ajukan ke rakyat melalui Demokrasi Prosedural yang disebut sebagai Pilpres,”kata LaNyalla. Tentu yang dicalonkan adalah sosok yang memihak kepentingan mereka.  Selain melanggar Konstitusi, menurut LaNyalla UU produk parlemen ini menghalangi terwujudnya cita-cita negara seperti tertulis di dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itulah DPD RI secara kelembagaan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Pasal 222 Undang-Undang Pemilu yang dibuat oleh para anggota dewan yang terhormat itu.   Masalahnya adalah, bukankah Mahkamah Konstusi juga adalah bagian dari peradilan Indonesia –yang kata Mahfud telah bekerja dengan cara-cara korupsi ? Mungkinkah oligarki (penguasa dan pengusah korupsi) itu membiarkan gugatan yang mengganggu kepetingan mereka dikabulkan ? Entahlah, mudah-mudahan saja nurani para haki MK diterangi cahaya hidayah.  Tetapi yang pasti, jalur itu –Judicial  Reviw mengikuti prodedur hukum dan perundang-undangan, sudah  ditempuh oleh banyak orang yang masih memelihara moralitas, yakni orang-orang tidak ingin cara parlemen jalanan. Harapannya,  agar  semua pihak taat pada –-dan mau menegakkan, hukum dan perundang-undangan. Perhatikanlah, sepanjang ada Mahkamah Konstitusi, di masa pemerintahan sekarang inilah yang terbanyak Judicial Reviw.  Tapi hasilnya? Para moralis pengaju Judicial Reviw   menumpahkan kekecewaannya di berbagai media.  LaNyala tampaknya telah menyadari resiko ini.  Karena itu ia memberi warning keras. Katanya begini : “Mahkamah Konstitusi nanti menolak gugatan DPD RI atas Pasal 222, maka saya katakan di sini, bahwa Mahkamah Konstitusi telah dengan sengaja memberi ruang kepada Oligarki Ekonomi Sehingga sudah sepantasnya Mahkamah Konstitusi dibubarkan. Karena tidak lagi menjaga negara ini dari kerusakan akibat produk perundangan yang merugikan rakyat dan menjadi penyebab kemiskinan struktural di negara ini.” Ngeri memang. Bayangkan,  DPD RI –yang semua anggotanya dipilih rakyat bukan atas dasar aliran politik, secara kelembagaan menggugat hasil kerja  DPR RI yang tidak memihak kepentingan rakyat. Apa yang akan terjadi bila MK menolak dan MK pun tidak pula bubar? Mudah-mudahan Mahfud sudah menemukan terobosan dan LaNyalla sudah siap dengan langkah lanjutan.  Wallahu a’lam bisshawab

India Harusnya Menjadi Pasien Pertama Resolusi "Combat Islamophobia"

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  SETELAH Sidang Umum PBB yang menetapkan 15 Maret sebagai \"International Day to Combat Islamophobia\"  maka di bulan Juni ini ada negara yang menampilkan diri sebagai negara Islamophobia. Itu adalah India. Juru Bicara Partai Bharatiya Janata (BJP) Nupur Sharma menjadi penyebab India dihajar kecaman, ia telah menghina Nabi Muhammad SAW. BJP adalah Partai berkuasa pimpinan Narendra Modi yang dikenal sangat anti Islam. Modi kini menjadi PM India.  Islamophobia Pemerintahan Modi ditunjukkan dengan sikap melarang hijab di sekolah dan universitas, membuat UU Kependudukan anti Islam (Citizenship Ammandement Act), seruan pemimpin Hindu untuk bunuh umat Islam, membakar dan menghancurkan masjid, ancaman kepada penyembelih sapi, menghina Nabi dan lainnya. Narendra Modi adalah penjahat kemanusiaan yang saat menjadi Menteri Utama Gujarat saja telah membantai 1000 muslim.  Resolusi PBB 15 Maret 2022 patut dibuktikan daya cengkeramnya. India sebagai anggota PBB telah melakukan pelanggaran bersikap Islamophobia. Tidak cukup dengan mengecam atau mengutuk, tetapi perlu memberi sanksi. Mulai dengan menyeret Modi ke International Criminal Court atau lembaga Peradilan Internasional lainnya. Pelaku genosida tidak boleh dibiarkan bergerak bebas.  India pun dapat dikenakan sanksi pemutusan hubungan diplomatik, pengurangan bantuan, boikot ekonomi, hingga pengucilan pergaulan internasional berdasarkan putusan badan peradilan PBB International Court of Justice (ICJ). Resolusi dapat bertransformasi menjadi kebiasaan internasional (customary internasional law).  Narendra Modi dan Partai Bharatiya Janata adalah radikalis dan rasis. Membawa India bersikap anti Islam yang hal ini nyata-nyata melanggar Resolusi PBB. Indonesia bersama negara OKI harus membawa kejahatan kemanusiaan Modi dan partainya ke Mahkamah Internasional.  India pantas menjadi pasien pertama resolusi to combat Islamophobia, selanjutnya China atas pembantaian Uyghur, dan tentu saja \"raja Islamphobia\" zionis Israel yang terkutuk itu. Harus segera diselesaikan. Hapus Israel dari peta dunia.  Bandung, 9 Juni 2022

Indonesia Darurat (2): Poros Perubahan Akan Musnahkan Penjajah Oligarki

Persoalan bangsa ini bukanlah soal pemerintah hari ini. Atau soal Presiden hari ini. Tetapi persoalan bangsa ini adalah Oligarki telah menjelma menjadi penjajahan bangsa Indonesia. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih OLIGARKI kini sudah muncul sebagai penjajah gaya baru. Perlu ditegaskan bahwa Kedaulatan Rakyat itu sebagai inti kedaulatan negara. Karena rakyat adalah pemilik negara ini sudah diinjak injak seenaknya. Cita-cita hakiki dari lahirnya negara ini adalah untuk mewujudkan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” disikat habis menjadi milik sekelompok kapitalis oligarki. Sejak era Reformasi, khususnya sejak Amandemen Konstitusi tahun 1999 hingga 2002, kedaulatan rakyat lumpuh total. Berubah menjadi kedaulatan prosedural dan kedaulatan seremonial melalui Pemilu, dengan kendali oligarki Amandemen dengan dalih untuk memperkuat dalam sistem presidensiil dan memperkuat posisi perlemen, khususnya DPR RI, hanya sulapan dengan kekuatan hipnotis mengubah konsep kedaulatan yang seharusnya: Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat. Menjadi: Dari Rakyat, Oleh Partai Politik, dan Untuk Oligarki.  Amandemen yang sudah menyimpang jauh dari apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini, harus dihadapi dengan tegas, setelah peringatan melalui jalur konstitusi kandas. Koreksi terhadap peraturan perundang-undangan yang lahir itu tidak dalam semangat memberi manfaat kepada rakyat. Tapi sebaliknya, memberi manfaat kepada segelintir orang atau kelompok. Bahkan yang lebih kejam lagi, justru menyengsarakan rakyat, harus segera dicabut dengan kekuatan rakyat. Harus disampaikan langsung kepada seluruh stakeholder bangsa Indonesia ini, mendesak untuk diberi pencerahan bahwa perjalanan bangsa ini sudah menyimpang jauh dari kiblat bangsa, kita koreksi. Harus kita perbaiki, untuk Indonesia yang lebih baik.  Poros Perubahan tidak berpikir tentang next election, tapi berpikir tentang next generation. Saat ini hampir semua persoalan yang dihadapi dan dirasakan oleh rakyat, yaitu terjadinya ketidakadilan dan kemiskinan. Ini adalah persoalan Fundamental bangsa Indonesia. Disebut Fundamental, karena penyebabnya juga Fundamental. Sehingga penyelesaiannya juga harus Fundamental. Ini tidak bisa kita atasi dengan pendekatan yang kuratif dan karitatif. Harus Fundamental. Dari Hulunya, bukan di Hilir.   Ketidakadilan terjadi karena negara ini telah terkungkung oleh Oligarki Ekonomi yang telah menyatu dengan Oligarki Politik yang menyandera kekuasaan. Dan kemiskinan terjadi karena kemiskinan yang struktural, dampak dari ketidakadilan tersebut.  Konsolidasi elemen Civil Society mutlak diperlukan sebagai bagian dari kesadaran kita sebagai bangsa, bahwa Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik adalah musuh utama Kedaulatan Rakyat.  Persoalan bangsa ini bukanlah soal pemerintah hari ini. Atau soal Presiden hari ini. Tetapi persoalan bangsa ini adalah Oligarki telah menjelma menjadi penjajahan bangsa Indonesia. Baru pernah terjadi dalam era Pemerintahan Presiden Joko Widodo, Oligarki Ekonomi ini diberi ruang seluas-luasnya. Apalagi masuk ke dalam kekuasaan, maka sama saja dengan kita memberikan kepada Sosok Sangkala atau Buto yang rakus untuk berkuasa.  Menjadi raja di Nusantara, mengatur dan mengendalikan kebijakan negara. Bebas menguasai sumber daya alam untuk memperkaya diri dan kelompok mereka. Hanya Empat orang di Republik ini, tetapi kekayaannya sama dengan 100 juta rakyat. Ini keterlaluan! Dan keterlaluan itu melahirkan ketidakadilan dan wabah kemiskinan dimana mana.  Poros Perubahan telah menempuh jalan konstitusi untuk menyelamatkan Indonesia, tetapi rezim bersama oligarki sudah bebal dari peringatan rakyat. Jalan satu satunya penjajahan Oligarki harus dimusnahkan dengan People Power atau Revolusi untuk mengembalikan negara ke jalan konstitusi sesuai UUD 1945 Asli. Kekuatan dan perjuangan moral Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Lintas Provinsi yang bergabung dengan Poros Perubahan untuk “Selamatkan Indonesia”. (*)

Penataran Pancasila ke-2: Indonesia Merdeka Dasarnya Apa?

Padoeka toean Ketoea jang moelia! Saja hanja mengatakan, bahwa sebagai hasil kompromis itoe jang diperkoeatkan oleh Panitia poen tjoema dari “bagi pemeloek-pemeloeknja” diboeang, maka itoe berarti moengkin diartikan jang tidak ada orang Islam dan mewadjibkan mendjalankan sjari’at Islam. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila KEMUDIAN bergulirlah perdebatan di BPUPKI untuk menjadikan teks “Piagam Jakarta” menjadi Pembukaan UUD 1945, yang kemudian membuang tujuh kata dalam Mukadimah berbunyi ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menurut kemanusiaan yang adil dan beradab. Cuplikan Rapat Besar pada tanggal 14 – 7 – 2605. Rapat moelai poekoel 15.00. Hadikoesoemo IIN: Padoeka toean Ketoea jang terhormat! Assalamu’alaikoem warahmatullahi Wabarakatuh! Di dalam segala keterangan toean Syusa tadi hanja satoe, perkara jang ketjil sekali, jang akan saja minta ditjaboet atau dihilangkan, ialah saja mengoeatkan voorstel Kijai Sanoesi dalam pemboekaan di sini, katanja dengan kewadjiban oemat Allah S.W.T., bagi pemeloek-pemeloeknja perkataan itoe soeatoe keterangan dari Kijai Sanoesi, tidak ada haknja dalam kata-kata Arab, menambahkan djanggalnja kata-kata. Djadi tidak ada arti, tjoema menambahi djanggal, menambahi perkataan jang koerang baik, menoendjoekkan pemetjahan kita. Saja harap soepaja “bagi pemeloek-pemeloeknja” itoe dihilangkan sadja. Itoe saja masih ragoe-ragoe, bahwa di Indonesia banjak perpetjahan-perpetjahan dan pada prakteknja sama sadja. Itoe saja mempoenjai pendapatan mengoeatkan permintaan Kijai Sanoesi. Sekianlah. Radjiman Kaityo: Boleh saja minta Syusa mendjawab oesoel toean Hadikoesoemo. Soekarno IIN: Padoeka toean Ketoea, kami panitia perantjang mengetahoei, bahwa anggota jang terhormat Sanoesi minta mentjoret perkataan “bagi pemeloek-pemeloeknja” dan sekarang ternjata, bahwa anggota jang terhormat Hadikoesoemo minta djoega ditjoret. Tetapi kami berpendapat, bahwa kalimat-kalimat ini seloeroehnja jaitoe berdasar kepada ketoehanan. Seodahlah hasil kompromis di antara 2 pihak jang dengan adanja kompromis perselisihan di antara kedoea pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen. Ini soeatoe kompromis jang berdasan memberi dan mengambil. Bahkan kemarin di dalam panitia soal ini ditindjau lagi dengan sedalam-dalamnja di antara lain panitia diantaranja toean Wachid Hasjim dan Agoes Salim. Kedoea-doeanja pemoeka Islam. Pendek kata inilah kompromis jang sebaik-baiknja. Djadi panitia memegang tegoeh akan kompromis jang dinamakan oleh anggota jang terhormat Moh. Yamin “Djakarta Charter” jang disertai dengan perkataan toean anggota jang terhormat Soekiman, Gentleman agrement, soepaja ini dipegang tegoeh di antara pihak Islam dan kebangsaan. Saja mengharap padoeka toean jang moelia, rapat besar soeka membenarkan sikap panitia itoe. Hadikoesoemo IIN: Toean Ketoea, sesoedah saja djoega membilang sangat terima kasih kepada panitia jang telah membikin kompromi jang menoeroet perkataan begitoe, tetapi saja masih koerang senang. Jaitoe di sini kalau kita pandjangkan, tadi kita menghatoerkan alasan jang enteng. Tetapi roepanja alasan enteng ini, karena entengnja tidak diterima. Sekarang saja akan menghatoerkan alasan jang lebih berat, jaitoe: saja masih ingat waktoe di Amerika diadakan wet hoekoem inoeman keras. Roepanja oemat Islam Indoensia memoedji dengan adanja wet, sehingga pada waktoe saat dimoesjawaratkan kepada Boedi-Oetomo, jaitoe jang tjerita kepada saja ialah almarhoem Gondo, Raden Mas Pandji, apakah namanja jang dari Pakoealaman, jaitoe apakah memoeaskan, seoempamanja di Indonesia ini diadakan larangan, wet larangan minoeman keras oentoek orang-orang Islam sadja? Karena hoekoem itoe roepanja tjoema oentoek orang-orang Islam sadja, Boedi-Oetomo waktoe itoe merasa dihina. Kalau diadakan wet jang begitoe, itoe merasa dihina, dan ini jang dari saja sendiri: djikalau boenji atau kata-kata itoe berarti di sini akan diadakan doea peratoeran, satoe oentoek oemat Islam dan jang satoe lagi oentoek jang boekan Islam. Itoe saja kira di dalam satoe negara, tetapi saja peonja permintaan, prakteknja barangkali nanti sama sadja, rasa-rasanja koerang enak, saja kira sama sekali lebih tidak apa-apa. Soekarno IIN: Padoeka toean Ketoea jang moelia! Saja hanja mengatakan, bahwa sebagai hasil kompromis itoe jang diperkoeatkan oleh Panitia poen tjoema dari “bagi pemeloek-pemeloeknja” diboeang, maka itoe berarti moengkin diartikan jang tidak ada orang Islam dan mewadjibkan mendjalankan sjari’at Islam. Radjiman Kaityo: Ini soedah diremboek 2 kali oleh Ketoea Panitia. Toean Hadikoesoemo, apa masih memegang tegoeh? Hadikoesoemo IIN: Masih memegang tegoeh. Radjiman Kaityo: Djadi saja maoe tanja, sidang ini, bagaimana pendapatannja, apa diterima Panitia? Hadikoesoemo IIN: Jang dikemoekakan oleh Panitia tadi dikatakan, itoe tidak bisa kedjadian. Sebab kalau pemerintah soenggoehpoen mendjalankan kewadjiban semata-mata, pemerintah tidak bisa mendjalankan sjari’at Islam. Pemerintah tidak boleh memeriksa agama. Djadi kalau saja, tidak. Radjiman Kaityo: Toean-toean, tentang hal apa jang dimadjoekan oleh toean Hadikoesoemo itoe ada perselisihan sedikit, sebetoelnja banjak, sapa harus distem sadja? Distem sadja, karena ini saja kira tidak begitoe perloe sekali distem. Apakah diminta berdiri sadja? Abikoesno IIN: Padoeka toean Ketoea, sebagaimana jang telah diterangkan oleh toean Ketoea daripada Panitia ini, maka apa jang termoeat di sitoe ialah boeah kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Kalau tiap-tiap daripada kita haroes misalnja jang membentoek kompromi itoe, kita dari golongan Islam haroes menjatakan pendirian, tentoe sadja kita menjatakan, ialah sebagaimana harapan toean Hadikoesoemo. Tetapi kita soedah melakoekan kompromi, soedah melakoekan perdamaian dan dengan tegas oleh padoeka toean Ketoea dari Panitia soedah dinjatakan, bahwa kita haroes memberi dan mendapat. Oentoek mengadakan persatoean djanganlah terlihat di sini tentang soal ini dari steman, nanti ada tanda jang tidak baik boeat doenia loear. Kita harapkan soenggoeh-soenggoeh, kita mendesak pada segenap golongan jang ada dalam Badan ini soedilah kiranja kita mengadakan soeatoe perdamaian. Djanganlah sampai nampak pada doenia loear, bahwa kita dalam hal ini adalah perselisihan faham. Sekianlah! (tepoek tangan). (*)

Negara Bukan-Bukan

Sekarang, di tengah-tengah deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara, kedaulatan rakyat yang makin menghilang, hutang yang menggunung, saya khawatir ketika melihat banyak Budi-Budi yang suka menjawab “Bukan (Urusan) Saya”. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts SUATU ketika seorang tokoh ditanya apakah Republik ini negara agama. Dia bilang bukan, walaupun konstitusi menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang  Maha Esa. Apakah Republik ini negara sekuler? Dia jawab bukan. Saat Prof. Kaelan dari UGM mengatakan bahwa sejak amandemen ugal-ugalan atas UUD 1945, maka bangsa ini sudah murtad dari Pancasila, maka benar kesimpulan yang menyatakan bahwa Republik ini bukan negara Pancasila, jika bukan negara bukan-bukan. Upaya para elit parpol yang bakal tergusur dari Senayan dalam Pemilu 2024 untuk memerangi politik identitas baru-baru ini merupakan bukti mutakhir bahwa memang Republik ini diseret para elitnya untuk menjadi negara tanpa identitas. Sejak Donald Trump muncul sebagai calon presiden negara bukan-Pancasila, sederetan perempuan mengaku di depan publik bahwa mereka semua pernah dilecehkan secara seksual olehnya. Ini kemudian oleh media disebut “Gerakan Saya Juga”, atau Me Too Movement. Ini menunjukkan ada fenomena sosial di mana wong cilik memberanikan diri untuk melawan kekuatan pengaruh seorang tokoh. Saat aktris Amber Heard dinyatakan kalah dalam gugatan pencemaran nama baik aktor Johny Depp baru baru ini, beberapa pengamat mengatakan bahwa “Gerakan Saya Juga” telah mengalami kemunduran serius. Sayang kehidupan berbangsa dan bernegara kita selama ini gagal membangun masyarakat cerdas yang berani mengambil tanggungjawab, sehingga yang terjadi bukan “Gerakan Saya Juga”, tapi yaitu sebuah budaya “Bukan Saya”, sebuah Not Me Culture.  Ini boleh diilustrasikan dalam kasus remaja Budi berikut. Suatu ketika Budi ditanya Pak Amir guru Sejarahnya di sekolah. “Siapa penandatangan teks Proklamasi Kemerdekaan?\" Budi menjawab “Bukan saya, pak”. Jengkel, pak Amir bertanya lagi. “Budi, dengar baik-baik, siapa yang menandatangani teks Proklamasi ?”. Mulai merasa ketakutan, Budi menjawab lagi. “Sungguh bukan saya, pak Amir,” ujar Budi. Jengkel sekaligus heran, kemudian pak Amir memutuskan menelpon Ibu Budi saat istirahat siang. “Bu, Budi anak ibu kurang belajar. Tadi pagi saya tanya siapa yang menandatangani teks Proklamasi Kemerdekaan malah dijawab bukan dia. Ini bagaimana, Bu?” Ibu Budi menjawab “Memang bukan Budi yang menandatanganinya. Bapak jangan memfitnah anak saya, dong. Saya curiga jangan-jangan malah pak Amir sendiri yang menandatangani.” Sekarang, di tengah-tengah deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara, kedaulatan rakyat yang makin menghilang, hutang yang menggunung, saya khawatir ketika melihat banyak Budi-Budi yang suka menjawab “Bukan (Urusan) Saya”. Di saat suara kritis masih terdengar sayup-sayup ditelan buzzing narratives para infleuencers, Saya harap bangkit “Gerakan Saya Juga” di mana makin banyak warga negara tua atau muda, sipil atau militer, intelektual atau awam yang sadar untuk segera mengambil alih tanggungjawab meluruskan kembali kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga Republik Indonesia tidak terus terpuruk menjadi negara gagal. Jika tidak, maka Republik ini niscaya akan jatuh menjadi “negara bukan-bukan”. Malang, 8 Juni 2022. (*)

FPI Reborn atau PKI Reborn?

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  DEKLARASI palsu oleh FPI palsu untuk dukungan palsu telah terjadi di Monas yang awalnya di Patung Kuda. Peserta yang konon  dibagi uang 150 ribu per orang banyak yang merasa tertipu atau terjebak. Bendera FPI dibagikan dan dikibarkan secara demonstratif. Pidato \"penggerak\" berisi dukungan kepada Anies Baswedan untuk Presiden 2024. Terbongkar nyata bahwa itu adalah massa FPI buatan atau jadi-jadian.  Fitnah keji dimainkan Eddy sang koordinator, siapa dan bagaimana harus diusut mulai dari sini. Atau mulai dari yang minta maaf viral di video. Mudah sekali untuk melacak aksi ini apalagi bagi institusi setingkat Kepolisian yang sudah sangat profesional. Problem klasiknya adalah adakah kemauan politik untuk itu? Kasar sekali permainan politik di negeri ini, tidak menampilkan wajah negara berkemanusiaan yang adil dan beradab. Lebih berwarna machiavelisme. Menggambarkan betapa rendahnya moral dan peradaban bangsa. Memfinah dan merekayasa sepertinya menjadi hal yang biasa. Diketahui oleh masyarakat pun tidak membuat bersalah, malu apalagi berdosa.  Buzzer bersorak serasa mendapat batu loncatan untuk memframing bahwa Anies didukung \"organisasi terlarang\" FPI padahal tidak ada putusan hukum yang menetapkan FPI sebagai organisasi terlarang, tapi ya itulah suka-suka saja. Setelah kedok terbongkar buzzer kini menjadi terbujur. Mau ngoceh apa lagi. Buzzer tuh memang tak pernah berfikir pakai otak tapi pake \"bujur\". Berpolitik fitnah adalah kriminal. FPI yang tak bersalah terus dihabisi dengan segala cara. Tokohnya di penjara dengan tuduhan sumier dan mengada-ada, anggota laskar dibunuh keji, kegiatan dihalangi, organisasinya pun akhirnya dibubarkan. Semua itu dipastikan akan tergores sebagai catatan hitam dari kezaliman rezim saat ini.  Lucu juga komentar netizen katanya jika FPI asli pasti akan dilarang untuk melakukan aksi, dibubarkan, bahkan mungkin ditangkap. Akan tetapi untuk aksi FPI yang bebas mengibarkan bendera dan dikawal oleh aparat, maka dipastikan itu adalah FPI palsu. Jadi ternyata bukan hanya ada tukang gigi palsu, tukang perhiasan palsu, atau tukang rambut palsu tetapi juga ada tukang demo palsu dan tukang bikin organisasi palsu.  FPI dibenci dan ditakuti tapi kadang juga dibutuhkan. Peristiwa sandiwara patung kuda dan monas kemarin adalah bukti bahwa FPI memang dibutuhkan. Sekurangnya untuk melakukan gerilya politik bernuansa fitnah. .  Hayo usut biang keladi aksi dukungan palsu tersebut. Buktikan ini bukan rekayasa institusi resmi. Tapi kerja kelompok yang ingin mengacaukan negara dengan jalan fitnah dan adu domba. Buzzer yang berteriak serempak apakah ikut terkecoh atau memang menjadi bagian dari disain jahat untuk memdedkreditkan FPI dan Anies Baswedan?  FPI itu awalnya Front Pembela Islam yang berubah menjadi Front Persaudaraan Islam. Hal ini untuk menjaga semangat da\'wah dan persaudaraan umat dan sesama anak bangsa.  Kini tangan-tangan tidak bertanggungjawab mencoba meminjam FPI dan menjadikan langkahnya sebagai Front Pemfitnah Islam, atau Front Penipu Indonesia. Patung Kuda dan Monas dikotori oleh para pendemo tipu-tipu.  FPI reborn atau PKI reborn? Bandung, 8 Juni 2022

Maju atau Mundur Pindah IKN? (2)

“Pendekatan nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional haruslah digali dengan berbagai pendekatan teori-teori dalam bidang ilmu hukum, khususnya hukum tata negara,” beber Zainal Arifin Mochtar. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta   DALAM beberapa kasus, dijumpai kondisi ketika ibu kota suatu negara tidak dapat menghadirkan fungsi-fungsi ibu kota tersebut. Misalnya, ibu kota yang lama dianggap menjadi sumber perpecahan dan secara geografis rentan terhadap bencana alam, sosial, ataupun serangan militer. Maka dari itu, beberapa negara di dunia memutuskan untuk memindahkan lokasi ibu kotanya dengan harapan ibu kota baru dapat lebih baik daripada ibu kota sebelumnya. “Namun Vadim Rossman mengingatkan bahwa dapat saja pemindahan ibu kota dilakukan karena adanya \'hidden political agenda\', misalnya dalam rangka memperkuat kekuatan politik suatu rezim,” beber Prof Susi. Rossman mengemukakan tiga bentuk hidden political agenda yang mungkin terjadi yakni: 1) mengasingkan atau memarginalisasi gerakan protes; 2) Homogenisasi etnis penduduk ibu kota, dan; 3) pemindahan ibu kota ke wilayah asli penguasa. IKN sering kali merupakan pusat dari gerakan masyarakat sipil dan tempat bergejolaknya protes dari masyarakat, bahkan sejarawan Inggris Arnold Toynbee menyebut ibu kota sebagai \'the powder kegs of protest\'. Hal tersebut pernah terjadi di Prancis pada 1871, ketika terjadi protes besar-besaran di Paris. “Pemerintah Prancis memindahkan ibu kota sementara ke Versailles untuk menghindari protes. Begitu pula dengan Myanmar, pemerintah otoriter di sana memindahkan IKN dari Yangon ke Naypyidaw karena Kota Yangon merupakan pusat gerakan dari para biksu yang kerap memprotes pemerintah,” kata Prof Susi menguraikan. Stafsus Mensesneg menyebut Pemerintah tancap gas Pindah IKN meski UU IKN digugat. Agar pemindahan ibu kota benar-benar dilakukan untuk kepentingan negara dan bangsa, terdapat sejumlah pertanyaan yang dibuat oleh Vadim Rossman, yakni: 1. Di mana lokasi yang paling aman untuk dijadikan ibu kota negara; 2. Di mana lokasi yang paling efektif secara ekonomi dan administratif untuk mencapai tujuan negara; 3. Di mana lokasi yang dianggap paling adil bagi berbagai kelompok masyarakat; 4. Lokasi mana yang paling organik, autentik, dan sesuai dengan identitas dan kedaulatan bangsa yang diwakili oleh negara. “Mengingat fungsi fundamental ibu kota negara bagi sebuah bangsa, proses pembuatan keputusan untuk memindahkan ibu kota harus mencerminkan \'fundamental decision of a nation\'. Hal tersebut juga sebagai bentuk pencegahan agar tidak terjadi pemindahan ibu kota negara yang hanya dilatarbelakangi oleh hidden political agenda,” tegas Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD, yang menyelesaikan S2 dan S3-nya di The University of Melbourne. Judicial Review itu diajukan oleh Poros Nasional Kedaulatan Rakyat (PNKR). Selain itu, judicial review ini juga diajukan oleh banyak kalangan dan kelompok masyarakat. Dari sopir angkot, guru, pensiunan BUMN, Jenderal TNI (Purn), tokoh agamawan, hingga profesor. Ketua Departemen Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Zainal Arifin Mochtar menyatakan UU Ibu Kota Negara (IKN) sedikitnya melanggar tiga cacat. Salah satunya cacat moralitas konstitusional. Apa alasannya? “Melihat fakta hukum yang ada bahwa proses pembentukan UU IKN yang dilakukan secara cepat (fast track), yang mana proses pembentukannya dilakukan secara \'tergesa-gesa\' atau \'ugal-ugalan\' telah banyak melanggar aspek prosedural (by pass law-making procedures) dan/atau dilakukan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi perwakilan dan demokrasi partisipasi,” kata Zainal Arifin Mochtar. Hal itu disampaikan dalam keterangan ahli dalam sidang judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana tertuang dalam paper yang didapat detikcom dari kuasa hukum pemohon, Ahad (22/5/2022). Zainal Arifin Mochtar memaparkan sejumlah poin kekurangan dan cacat dalam pembentukan UU IKN itu. “Proses legislasi seperti ini memenuhi kriteria sebagai praktik abuse of the legislation process. Dengan demikian, proses pembentukan UU IKN adalah inkonstitusional prosedural,” tegas Zainal Arifin Mochtar. Selain itu, Zainal Arifin Mochtar menyatakan, melihat fakta hukum minimnya partisipasi publik dalam proses pembentukan UU IKN, sudah sebaiknya Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa para pembentuk undang-undang, DPR bersama pemerintah, telah melakukan pelanggaran konstitusional. Sebab, tidak menjalankan kewajiban konstitusionalnya untuk menfasilitasi dan/atau membuka ruang partisipasi publik secara luas dan secara khusus kepada masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap pemindahan Ibu Kota Negara. Dampak pemindahan IKN ke pemerataan ekonomi sangat kecil. Kesalahan UU IKN lainnya adalah proses pembentukan UU IKN, secara formal maupun material, telah melanggar prinsip nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional. Baik yang sudah dirumuskan dalam konstitusi maupun nilai-nilai konstitusional yang hidup (living constitution). Menurut Zainal Arifin Mochtar, konstitusionalitas proses pembentukan UU bukan hanya menyangkut persoalan prosedural (konstitusionalitas formil) dan substantif (konstitusional material) saja. Tetapi konstitusionalitas pembentukan suatu undang-undang dapat dilihat lebih dari perspektif tersebut, termasuk mencakup nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional yang tersirat di dalam konstitusi (UUD 1945). “Pendekatan nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional haruslah digali dengan berbagai pendekatan teori-teori dalam bidang ilmu hukum, khususnya hukum tata negara,” beber Zainal Arifin Mochtar. Pendekatan ini dapat dijadikan dasar penilaian apakah undang-undang tersebut konstitusional atau inkonstitusional. “Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengawas dan pelindung konstitusi (konstitusionalitas), dapat melakukan penegakan supremasi hukum melalui proses pengujian konstitusionalitas dengan pendekatan nilai-nilai konstitusional dan moralitas konstitusional untuk menilai konstitusionalitas suatu undang-undang,” terang Zainal Arifin Mochtar. Sebagaimana diketahui, judicial review itu diajukan oleh Poros Nasional Kedaulatan Rakyat (PNKR). Selain itu, judicial review ini juga diajukan oleh banyak kalangan dan kelompok masyarakat. Dari sopir angkot, guru, pensiunan BUMN, Jenderal TNI (Purn), tokoh agamawan, hingga profesor. Jadi, apakah pindah IKN maju atau mundur, Rakyatlah yang paling berhak menjawabnya. (*)

Maju atau Mundur Pindah IKN? (1)

“Berdasarkan pendapat tersebut, IKN tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan saja, akan tetapi berfungsi pula sebagai manifestasi identitas bangsa,” ucap Prof Susi. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta RENCANA pindah Ibu Kota Negara pertama kali digulirkan oleh Presiden Jokowi dalam Sidang Paripurna DPR RI 2019. Jokowi memohon ijin kepada DPR yang mulia untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Utara Kalimantan. Ibarat kata, DPR kehilangan kesempatan untuk meminta pendapat Rakyat, apakah permohonan pindah Ibu Kota Negara Republik Indonesia diterima atau ditolak. Muncullah tanggapan masyarakat luas tentang rencana pindah Ibu Kota Negara tersebut. Tampaknya Pemerintah telah menindaklanjuti rencana pindah Ibu Kota Negara tersebut dengan berbagai langkah, termasuk membuat sayembara desain pembangunan Ibu Kota Negara, hingga Presiden meletakkan batu pertama pembangunan kawasan Ibu Kota Negara di titik 0 Km sekaligus mendeklarasikan namanya Ibu Kota Negara Nusantara, dengan upacara setor tanah dan air dari seluruh provinsi NKRI, tidak terkecuali DKI, yang disatukan dalan Kendi Nusantara. Penetapan nama IKN Nusantara itu saja mengundang pro-kontra, termasuk menyangkut asal muasal istilah Nusantara. Di satu sisi, dalam sejarahnya Nusantara adalah sebutan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang meliputi daratan Singapura hingga Thailand. Di sisi lain, istilah Nusantara dipersempit untuk menyebut kawasan Ibu Kota Negara yang notabene berbau Jawa sentris, padahal maksud pindah Ibu Kota Negara itu sendiri untuk pemerataan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan menggeser konsentrasi penduduk dan peredaran uang dan kesejahteraan dari pulau Jawa pada umumnya, dan dari Jakarta pada khususnya. Kembali ke permulaan, pertama, bahwa pindah Ibu Kota Negara adalah mungkin, tetapi apakah tidak harus dengan persetujuan Rakyat melalui Referendum? Kedua, pertimbangan/motif/tujuan pindah IKN, untuk apa atau siapa? Jika tujuannya untuk menghindari banjir dan gempa bumi, ternyata banjir dan gempa bumi melanda kawasan tersebut juga. Ketiga, keputusan pindah IKN ke Kalimantan sudah direspons para pakar dari berbagai sisi yang kesimpulannya: lokasi itu sangat tidak layak, tetapi tetap diputuskan. Haruskah upaya pemindahan Ibu Kota Negara didukung? Keempat, salah satu keberatan pindah IKN adalah pembiayaan yang amat sangat tinggi sekali, dan berjangka panjang, hingga tahun 2045, sedangkan kondisi riel keuangan Negara berutang tinggi (7.000 triliun), akankah upaya pemindahan IKN diteruskan? Kelima, UU IKN sedang dalam gugatan, mengapa Presiden tetap dan telah melakukan langkah-langkah strategis berkenaan dengan penyelenggaraan dan pengelolaan IKN? Apakah tidak lebih bijaksana bila proses pengembangan dan pembangunan IKN Nusantara tersebut dihentikan, hingga perkaranya selesai? Tentang utang negara, Misbakhun, Anggota  DPR RI menulis, “Utang Kita Sebenarnya 17.500 Triliun.” Jumlah tersebut melebihi 100 persen dari PDB kita yang mencapai 15.600 triliun. Di atas adalah total utang pemerintah dalam rangka pembiayaan APBN. Utang menutup defisit pembiayaan APBN. Sejak era rezim ini, UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, dimulainya utang menggunakan mekanisme SBN (Surat Berharga Negara), State Treasury Bond yang lebih dikenal sebagai SUN (Surat Utang Negara). Era utang bilateral, multi lateral, dan utang kepada lembaga donor berkurang sangat tajam prosentasenya seiring dengannaiknya volume APBN kita, sehingga besaran defisit naik, dan jumlah surat utang makin membesar. SBN atau SUN diserap oleh pasar dan pembelinya bisa perbankan nasional, dana pensiun, lembaga asuransi, BPKH, LPS, BI dan siapa pun yang perlu investasi di government bond, baik asing maupun nasional. Apakah angka Rp 7.014,58 triliun tersebut sudah merupakan total utang pemerintah? Secara matematika tanggung jawab pemerintah masih belum. Ada 2 komponen perhitungan utang di luar utang pembiayaan APBN yang belum dihitung dalam struktur komponen utang pemerintah, yaitu: (1) contingency debt (utang yang menjadi tanggung jawab negara), seperti utang BUMN. Jumlah utang BUMN saat ini hampir mencapai Rp 6.000 triliun. (2) utang dana pensiun yang saat ini masih menggunakan metode beban langsung di APBN, padahal secara aktuaria dana pensiun ini harus dibuatkan pencadangan khusus sebagai beban biaya pensiun untuk ASN, TNI, dan Polri. Perkiraan jumlah beban utang pensiun mencapai sekitar Rp 4.500 triliun. Kedua item di atas tidak pernah masuk dalam perhitungan neraca keuangan negara. Padahal secara best practices di seluruh dunia, ketika menghitung neraca keuangan negara itu masuk dalam hitungan government debt. Kalau poin utang pembiayaan untuk APBN, contingency debt, dan utang dana pensiun dihitung semuanya masuk dalam neraca keuangan negara, maka total utang kita bisa mencapai 7.000 + 6.000 + 4.500 = Rp 17.500 triliun. Jumlah tersebut melebihi 100 persen dari PDB kita yang mencapai Rp 15.600 triliun. Padahal menurut UU Nomor 17 Tahun 2003, batas utang atau ratio debt kita maksimal 60% dari PDB. Pengelolaan negara secara serampangan dengan hutang yang besar bakal jadi beban dan bom waktu yang akan meletus menjadi krisis maha dahsyat lebihi krismon 97/98. Seorang penulis mengajukan pertanyaan, “Sampai Kapan?” Kita sedang menghadapi 4 hal berat. Pertama, gelembung nilai tukar rupiah terhadap US dolar. Nilai tukar yang ada sekarang adalah nilai semu. Sebab, ada doping berupa pinjaman dana dari luar negeri dalam US dolar yang terus-menerus masuk. Nilai tukar sebenarnya jauh di bawah yang ada sekarang. Pertanyaannya, sampai kapan doping itu bisa terus dilakukan? Kedua, gelembung utang. Untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur, seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, mega proyek kereta cepat, dan lainnya, pemerintah mengambil pinjaman dari luar negeri. Akibatnya, utang makin menumpuk. Bila ditambah dengan utang-utang BUMN dengan skema B to B, jumlah utang itu sudah lebih dari Rp 10.000 triliun. Beberapa di antaranya, mulai bulan Maret lalui, sudah jatuh tempo. Bagaimana membayarnya? Ketiga, gelembung mega korupsi. Baru saja terbongkar mega korupsi di sejumlah lembaga keuangan non-bank, seperti Jiwasraya dan Asabri. Masih ada beberapa lagi yang mengalami keadaan serupa. Total kerugian bisa mencapai Rp 150 triliun. Hal ini membuat lembaga-lembaga itu mengalami kesulitan ketika tiba kewajiban membayar kepada para nasabahnya. Keempat, gelembung unicorn. Saat ini tengah terjadi persaingan dahsyat di antara perusahaan-perusahaan e-commerce untuk bisa menjadi pemenang. Untuk itu, mereka tak segan menggelontorkan dana sangat besar untuk promosi melalui pemberian aneka diskon. Istilahnya bakar uang. Tentu, tidak semua bisa menjadi pemenang. Kehancuran yang kalah akan membawa implikasi kelesuan ekonomi yang lebih dalam. Profesor Unpad singgung Hidden Political Agenda dalam Pemindahan IKN. Guru besar Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD membeberkan berbagai alasan pemindahan ibu kota negara (IKN) di berbagai negara di belahan dunia. Ada yang berdasarkan alasan keamanan, tapi juga ada alasan politis menjauhkan rakyat dengan penguasa. Maksud itu disebutnya sebagai agenda politik terselubung atau \'hidden political agenda\'. “Ibu kota negara sering kali merupakan pusat dari gerakan masyarakat sipil dan tempat bergejolaknya protes dari masyarakat. Bahkan sejarawan Inggris Arnold Toynbee menyebut ibu kota sebagai \'the powder kegs of protest\'. Maka dari itu, menurut ahli politik Jeremy Wallace, pemerintah otoriter akan menggunakan pemindahan ibu kota negara sebagai taktik segregasi dalam rangka mengasingkan gerakan masyarakat sipil yang awalnya berpusat di ibu kota negara yang lama, sehingga menjadi berjarak jauh dengan pusat pemerintahan yang berada di ibu kota yang baru,” kata Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD. Prof Susi Dwi Harijanti menyitir pendapat Vadim Rossman, yakni tugas utama IKN dunia. Dengan kata lain, IKN mewakili citra ideal dari suatu negara dan merupakan miniatur dari sebuah negara. Ahli sejarah Andreas W Daum berpendapat bahwa terdapat empat fungsi ibu kota bagi sebuah negara, yakni: (1) fungsi administrasi; (2) fungsi penunjang integrasi bangsa; (3) fungsi simbolisasi bangsa; dan (4) fungsi pelestarian nilai, budaya, dan sejarah bangsa. “Berdasarkan pendapat tersebut, IKN tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan saja, akan tetapi berfungsi pula sebagai manifestasi identitas bangsa,” ucap Prof Susi. Menurut Vadim Rossman, agar fungsi ibu kota sebagai penunjang integrasi bangsa dapat terwujud secara optimal, ibu kota harus dihasilkan melalui kompromi dari elemen-elemen bangsa yang terdiri atas etnis, agama, dan suku yang berbeda. Hal tersebut akan membuat ibu kota menjadi alat pemersatu dari perbedaan-perbedaan yang ada dalam suatu bangsa. “Montesquieu menggambarkan pula ibu kota sebagai kota yang menciptakan \'general spirit\' bagi sebuah bangsa,” tutur Prof Susi. (*)

Indonesia Darurat (1): Presiden Harus Keluarkan “Supersemar” Lanjutan

Nuansanya akan hampir sama kembalinya negara RIS ke NKRI. Sehingga, pelaksanaan Pemilu mendatang sudah kembali pada jalur konstitusi sesuai UUD Asli. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih APABILA dalam kondisi negara ini terus memburuk dan terancam disintegrasi, demi alasan keamanan dalam negeri dan ancaman invasi asing, Presiden Joko Widodo harus segera untuk mengeluarkan semacam “Supersemar”. Ya. Surat Perintah Pemulihan Keamanan dan Atasi Ancaman Asing. Sebagai jaminan keamanan negara tetap terkendali dari bahaya dan ancaman negara yang makin membesar. Presiden Jokowi bisa aman, serahkan Surat Pemulihan Keamanan tersebut ke Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, sekaligus sebagai Penguasa Transisi. Dalam kondisi darurat seperti ini, dan jalan cepat tinggalkan jalan konstitusi lewat Triumvirat adalah sebuah rezim politik yang didominasi oleh tiga orang penguasa, yang masing-masing disebut triumvir (jamak: triumviri). Jalan Triumvirat ketiganya berkedudukan sama di atas kertas, tetapi dalam kenyataan hal ini jarang terjadi. Cara ini memang dapat digunakan untuk menggambarkan suatu negara dengan tiga pemimpin yang berbeda, yang semuanya mengklaim sebagai pemimpin tunggal. Pendapat dari beberapa tokoh Poros Perubahan, sistem dan proses melalui Triumvirat terlalu lama dan juga sangat rawan perpecahan dan campur tangan Oligarki yang terang benderang telah menjadi musuh rakyat. Rakyat sudah pada puncak kemarahannya untuk melawan karena Indonesia harus bersih dari kekuasaan Oligarki. Panglima TNI bisa ambil alih untuk terapkan atau memberlakukan Darurat Militer (bukan Darurat Sipil, dengan alasan untuk atasi keamanan dalam negeri dan ancaman asing), sehingga Panglima punya landasan hukum. Contoh paling tampak, sudah adanya infiltrasi asing yang menyaru sebagai TKA China. Mereka sudah membuat perkampungan eksklusif yang orang di luar kelompoknya akan sulit masuk. Mantan Kepala BIN Sutiyoso mengaku khawatir dengan TKA China yang terus berdatangan ke Indonesia. Menurut Sutiyoso, TKA China berpotensi semakin bertambah banyak yang datang dan memilih tinggal hingga menjadi mayoritas di Indonesia. Sebelumnya, Sutiyoso mengungkapkan kekhawatiran bahwa WNA dari TKA China tidak akan kembali ke negaranya dan justru menetap di Indonesia. Ia khawatir Indonesia akan seperti Singapura yang semula dipimpin Perdana Menteri orang Melayu, namun saat ini dipimpin oleh China. Menurutnya, tidak masalah pengusaha atau investor dari negara mana saja, akan tetapi harus tenaga ahli yang jumlahnya dua atau tiga orang dan bukan justru ribuan. Jika melihat sudah adanya ancaman TKA China seperti itu, tidaklah salah jika ini sudah masuk kategori Darurat Militer. Karena, mereka secara de facto telah menguasai sebagian wilayah teritorial NKRI yang bisa membahayakan warga di wilayah yang “diduduki” TKA China tersebut. Panglima TNI yang menjabat sebagai Penguasa Darurat bisa seperti perjalanan penerima mandat sejenis “Supersemar” yang saat ini dengan proses konstitusi berjalan dalam kondisi darurat. Penguasa Darurat bisa menjelma sebagai Presiden Transisi yang memiliki atau mempunyai  kewenangan untuk membentuk Kabinet Darurat. Angkat orang-orang potensial dan profesional untuk menjabat menteri. Satukan para tokoh reformasi jilid dua, yang memiliki integritas, jujur, dan profesional: gabungan dari tokoh sipil dan militer untuk mempercepat atau benar-benar mampu mengamankan Pilpres 2024 tanpa keterlibatan tangan hitam Oligarki. Dalam Kabinet Darurat ini tidak perlu ada Wapres (seperti saat BJ Habibie gantikan Soeharto). Presiden Darurat dengan mandat rakyat segera keluarkan Dekrit Kembali ke UUD 1945. Sepanjang sejarahnya, UUD 1945 itu telah mengalami 4 kali amandemen atau perubahan dalam kurun waktu dari 1999 hingga 2002 yang dilakukan dalam Sidang Umum maupun Sidang Tahunan MPR. Rangkaian pelaksanaan amandemen UUD 1945 seperti dikutip dari buku Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945? (2019) karya Taufiequrachman Ruki dan kawan-kawan bisa dibaca berikut ini: 1. Amandemen Pertama UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Umum MPR 14-21 Oktober 1999; 2. Amandemen Kedua UUD 1945 dilakukan di Sidang Tahunan MPR 7-18 Agustus 2000; 3. Amandemen Ketiga UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 1-9 November 2001; 4. Amandemen Keempat UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 1-11 Agustus 2002 Amandemen UUD 1945 menjadi salah satu sebab rusaknya tata kelola negara. Dan, batalkan semua UU yang terbukti merugikan rakyat dan negara. Segera proses secara hukum mereka yang terlibat dalam 4 kali Amandemen UUD ’45 tersebut.   Tarik juga kekuatan dari Ketiga Matra (Darat, Laut, dan Udara) masuk dalam Kabinet Darurat ini untuk jaga kekuatan TNI tetap kompak menyelamatkan Indonesia. Nuansanya akan hampir sama kembalinya negara RIS ke NKRI. Sehingga, pelaksanaan Pemilu mendatang sudah kembali pada jalur konstitusi sesuai UUD Asli. Gagasan ini hanya sekedar wacana dari banyak opsi kalau keadaan negara terus memburuk, karena terjadinya gelombang Revolusi atau People Power. Kemungkinan munculnya gerakan People Power atau Revolusi tersebut jangan dimaknai makar atau menentang pemerintah yang sah. Sebab apapun dalilnya kedaulatan negara ada di tangan rakyat. Dan, semua yang akan terjadi akibat dari tata kelola rezim sendiri yang sudah jauh menyimpang dari kiblat bangsa. Dan rakyat hanya ingin menyelamatkan Indonesia. (*)