OPINI
NKRI Harga Mati Berubah Menjadi NKRI Harga Obral
Sekarang ini Presiden Jokowi mengadakan pertemuan dengan CEO Corporate Dunia. Biasanya CEO Corporate Dunia yang meminta waktu bisa datang ke Indonesia untuk bertemu Presiden RI. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih REZIM Joko Widodo sekarang bekerja untuk oligarki sehingga orang-orang kaya yang dapat mengatur kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang menguntungkan mereka. Baru pertama kali dalam era Presiden Jokowi para oligarki bisa mengatur arah kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah. Pada zaman Presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri, Oligarki tidak bisa masuk mengatur kebijakan negara. Menurut ahli ekonomi Prof. Rizal Ramli, macam-macam UU pesanan Oligargi antara lain UU Minerba, supaya yang punya konsensi batubara diperpanjang hingga 10 tahun plus 10 tahun. Nilainya pertambahan konsensi otomatis itu, puluhan ratusan miliar dolar. Pesan royalti batubara dikurangi, itu kerugian negaranya puluhan triliun. Pesananan supaya Omnibus Law ada, sehingga kesejahteraan buruh berkurang dan lain-lainnya berkurang. Pertambahan konsensi 20 tahun, itu nilainya ratusan miliar dolar, enggak ada apa-apanya proyek. Proyek itu yang main biasanya pribumi, atau teman non pribumi yang masih naik kelas. Atau pesan UU supaya dihapuskan royalti batubara. Para taipan atau oligarki sekarang ini bisa memesan dan menyiapkan draf UU. Sedangkan Presiden dan para menterinya tinggal menjalani pesanan tersebut. Dalam Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Berdasarkan Pasal 127 ayat (3) hak pengelolaan diberikan selama 90 tahun. Hal pengelolaan ini bisa diberikan hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai (HP). Sedangkan, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) telah mengatur bahwa jangka waktu HGU tersebut diberikan selama 25 atau 35 tahun kepada pemohon yang memenuhi persyaratan. Pada masa penjajahan saja pemberian konsesi kepada perkebunan Belanda hanya 75 tahun. Sekarang UU Cipta Kerja menjadikan HGU berusia 90 tahun, lebih parah dibanding saat kita masih dijajah. Sebab, hak pengelolaan dapat dikonversi menjadi HGU, HGB dan HP bagi kepentingan pemodal. Ketentuan ini merupakan bentuk penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN) dan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Tiba-tiba dengan dalih menciptakan norma baru, hak pengelolaan ini seolah menjadi jenis hak baru yang begitu powerful, yang kewenangannya diberikan kepada pemerintah. Ketimpangan penguasaan tanah akan semakin besar. Kemudian, korporasi besar akan semakin mudah untuk melakukan praktik monopoli karena jangka waktu hak pengelolaan atas tanah yang sangat lama. Ini merupakan cara memutar tersembunyi pemerintah, yang ingin kembali memprioritaskan HGU, HGB, HP untuk investor besar. Di tengah ketimpangan penguasaan tanah akibat.monopoli perusahaan yang sudah terjadi. Bahwa ketentuan soal jangka waktu hak pengelolaan atas tanah bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21-22/PUU-V/2007. Putusan MK itu membatalkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mengatur pemberian HGU selama 95 tahun. Pasal 22 ini telah diputuskan ditolak karena melanggar Konstitusi. Melawan lupa, pada tanggal 30 Juni 2020 lalu Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Presiden Jokowi sedang menyiapkan lahan kawasan industri terpadu di Batang. Jejak digital dari rekaman pidato (bukan memotong dari pidato selengkapnya) terdengar jelas Presiden mengatakan: \"memerintahkan tentang diskon lahan bagi investor, agar para investor datang beramai-ramai ke Indonesia, maka kalau negara lain jual tanah 1 juta kita harus bisa jual di bawahnya 500.000.\" Memang terdengar seolah-olah untuk menciptakan lapangan kerja, hanya sayang tidak jelas tentang jaminan lapangan kerja dengan masuknya investor ke Indonesia. Fakta selama ini investor (China khususnya) datang lengkap dengan tenaga kerjanya. Bahkan menimbulkan disparitas tenaga kerja yang tajam dengan masyakarat di sekitarnya. Tawaran menarik menarik bagi investor tampak tideak dibarengi dengan aspek perlindungan dan prioritas lapangan kerja (kesejahteraan rakyat) dan aspek keamanan negara dari ancaman lain yang membayakan negara. Sekarang ini Presiden Jokowi mengadakan pertemuan dengan CEO Corporate Dunia. Biasanya CEO Corporate Dunia yang meminta waktu bisa datang ke Indonesia untuk bertemu Presiden RI. Sekarang sebaliknya Presiden RI yang minta waktu bisa datang ke Amerika untuk bertemu dengan CEO Corporate Amerika. Menurutnya, pertemuan itu cenderung mengesankan Indonesia mengemis waktu kepada Corporate. Apakah negara sudah sedemikian parah sampai mengemis waktu untuk bertemu? Atau Presiden RI sudah kurang pekerjaan, lalu harus datang menghadap dan meminta waktu agar bisa menghadap CEO Amerika? Menawarkan macam-macam investasi yang bisa diambil dengan harga bersaing, bahkan tidak segan segan menawarkan diskon. Kebijakan rezim mudah terbaca karena selalu memancarkan pesan bahwa kebijakannya bukan hadir dari niat akan mensejahterakan rakyat tetapi hanya karena pesanan Oligargi Kapitalis yang sudah masuk pada pola pikir dan rencana kerja Presiden. Kesan slogan – NKRI Harga Mati – seperti sudah diubah menjadi NKRI Harga Obral. Sementara rakyat yang miskin makin terus bertambah, anjlok sampai ke bawah. (*)
Memerdekakan Gerakan Mahasiswa dan Aktivis
Sebulan kemudian, tepatnya sehari sebelum demo 1104, Jokowi menegaskan penyelenggaraan pemilu tetap dilaksanakan sesuai agenda agar tak ada lagi isu dan spekulasi soal penundaan pemilu atau presiden tiga periode. Oleh: Tamsil Linrung, Anggota DPD RI ANOMALI parah tak henti menggelinjang di depan mata kita. Di saat bangsa memekikkan slogan NKRI harga mati, di saat yang sama Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 sebagai napas dikangkangi begitu saja. Fakta bahwa pernah ada niat sekelompok orang mengubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila, sulit dibantah. Itu sama sulitnya membantah fakta adanya upaya memperpanjang masa jabatan dengan konsolidasi masif di sana-sini. Semua pengkhianatan ini terjadi di depan mata, di tengah-tengah pekik NKRI harga mati itu. Pun dengan demokrasi. Di saat jargon rakyat berdaulat diteriakkan, di saat yang sama terjadi upaya pembungkaman suara-suara kritis rakyat. Terbaru konsolidasi 300 elemen mahasiswa dari 34 provinsi bersama petani, nelayan, buruh, akademisi hingga aktivis 98 di Gedung Pandan Sari, Cibubur, Jakarta Timur mendapat tekanan. Sejak Selasa, 10 Mei 2022, mereka telah berkumpul. Konsolidasi Nasional Rakyat Indonesia ini rencana digelar hingga Kamis, 12 Mei 2022. Sayangnya, di hari H pelaksanaan para peserta tiba-tiba tidak dibolehkan menggunakan gedung Pandan Sari oleh pengelola. Padahal, menurut panitia penyelanggara, semua perijinan telah diurus, sewa gedung juga telah dilunasi. Untungnya, semangat peserta tak surut. Konsolidasi akhirnya dilaksanakan di sekitar luar gedung Pandan Sari dan dalam lorong-lorong penginapan peserta. Agenda tetap berjalan meski tidak dilakukan di dalam ruangan seperti yang direncanakan. Memang, agak sulit membuktikan bahwa tangan-tangan kekuasaan bermain izin penggunaan gedung. Sama sulitnya membuktikan bahwa kekuasaan tidak berada di balik peretasan akun dan nomor whatsapp mahasiswa menjelang demo BEM seluruh Indonesia 11 April lalu. Tapi, menghindari tuduhan publik bahwa tekanan itu dilakukan kekuasaan juga sulit. Sebab, sejauh ini, aparat tidak mengusut tuntas peristiwa tersebut sehingga kita tidak memiliki kesimpulan pasti. Semua berlalu begitu saja. Ingat demonstrasi mahasiswa menolak UU Omnibus Law tempo hari? Narasi Tivi menginvestigasi bahwa itu bukan dilakukan oleh mahasiswa dan buruh. Entah siapa pelakunya, sebab hingga hari ini belum ada titik terang. Suara rakyat seharusnya tidak perlu dibungkam. Pun tidak harus dihalang-halangi. Bukankah Presiden Joko Widodo pernah menyatakan rindu didemo? Maka, biarkan mahasiswa dan aktivis mengonsolidasi pergerakannya. Bila pemerintah merasa benar, jawab saja kritikan mereka dengan data dan fakta. Atau, sesekali buka ruang dialog agar tercipta komunikasi yang sehat. Yang terjadi selama ini, komunikator istana acapkali bertindak super defensif hingga bersikap layaknya buzzer. Mereka yang kritis sering dituding dengki, benci, atau narasi-narasi provokatif lainnya. Negeri ini semakin kehilangan sosok pemersatu. Yang ada, justru keterbelahan rakyat dirawat demi kepentingan politik. Rakyat dibiarkan bertengkar pada isu pinggiran semacam budaya versus Islam, Arab versus Nusantara, agar perhatian tidak berfokus pada kegagalan demi kegagalan pemerintah. Maka, kita memerlukan suara mahasiswa, agar pemerintah dan kita semua kembali menyadari bahwa situasi negara semakin melengceng dari harapan konstitusi. Kita menjadi semakin rapuh. Utang menumpuk, krisis ekonomi mengintai, dan kemiskinan bertambah. Sebelumnya, Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memprediksikan tingkat kemiskinan Indonesia pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81 persen atau setara 29,3 juta penduduk. Sementara survei Litbang Kompas menemukan 7 dari 10 responden kesulitan membeli kebutuhan pokok di awal april 2022 lalu. Ironisnya, kebijakan-kebijakan yang dilahirkan tidak cukup ampuh mengatasi persoalan itu. Sebaliknya, kebijakan yang ditempuh bahkan memperburuk situasi. Sebut saja pemaksaaan pengesahan UU Omnibus Law yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi inkonstitusional atau pengesahan UU Ibukota Negara Baru yang membutuhkan dana super jumbo di belitan ekonomi negara yang tidak stabil. Situasi itu diperparah oleh kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran semisal pembangunan Bandara Kertajati yang sepi peminat namun didera biaya perawatan mencapai enam miliar rupiah, pembangunan rel kereta api Jakarta-Bandung yang pada akhirnya membebani APBN, dan sejumlah pembangunan infrastruktur lainnya yang terancam mangkrak. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap semua itu? Bukannya memikirkan jalan keluar, yang dominan terbaca oleh publik justru aroma politik mempertahankan kekuasaan. Perpanjangan masa jabatan atau penambahan jatah tiga periode seolah menjadi solusi. Padahal, calon pemimpin yang akan diusung tersebut adalah pemimpin yang memimpin di saat semua persoalan di atas terjadi. Kini, harapan kita semua bertumpu pada mahasiswa. Kenapa? Sebab hanya gerakan mahasiswalah yang agaknya mampu mengubah sikap Jokowi. Satu bulan sebelum demo 11 April 2022, menyikapi usulan penundaan pemilu, Jokowi menyatakan siapapun boleh-boleh saja memunculkan wacana penundaan pemilu. Sebulan kemudian, tepatnya sehari sebelum demo 1104, Jokowi menegaskan penyelenggaraan pemilu tetap dilaksanakan sesuai agenda agar tak ada lagi isu dan spekulasi soal penundaan pemilu atau presiden tiga periode. Jokowi bahkan melarang menterinya berbicara soal penundaan pemilu lagi. Padahal, isu penundaan Pemilu telah banyak dikritisi pengamat dan sejumlah politisi nasional. Namun Jokowi bergeming. Dalam sejarahnya, gerakan mahasiswa dan elemen rakyat memang pernah bersatu turun ke jalan menggulingkan rezim orde baru. Barangkali, ada kekhawatiran pemerintah kalau-kalau eskalasi Konsolidasi Nasional Rakyat Indonesia di Cibubur membesar seperti itu. Namun, kalau pemerintah merasa benar dengan kebijakannya selama ini, saya kira tidak perlu takut. Sederhana, kok. Cukup menjawab kritikan dari mereka dengan menjelaskan duduk soal yang sebenarnya. Kalau disumbat, ditekan, atau dihalang-halangi, maka kami akan berada bersama suara rakyat, memerdekakan gerakan mahasiswa. (*)
Pertumbuhan Ekonomi Keropos
Oleh: Gede Sandra - Analis Ekonomi Pergerakan Kedaulatan Rakyat Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tahun 2022 tumbuh 5,01 persen, bila dibandingkan dengan kuartal pertama tahun 2021. Tetapi bila kuartal pertama 2022 dibandingkan terhadap kuartal keempat tahun 2021, hasilnya ekonomi Indonesia justru mengalami kontraksi sebesar negatif 0,96 persen. Berdasarkan lapangan usahanya, industri pengolahan atau manufaktur berkontribusi hanya sebesar 19,19 persen terhadap Produk Domestik Bruto di tahun 2022 ini. Nilai yang sebenarnya kecil untuk ukuran Indonesia ini pun, sialnya juga lebih kecil dari kontribusi pada tahun 2021 yang sebesar 19,25 persen. Bila dibandingkan dengan rata-rata kontribusi industri pengolahan terhadap PDB sepanjang tahun 1968-2004 yang sebesar 28,1 persen jelas capaian tahun ini tidak ada apa-apanya. Atau jangan dibandingkan dengan angka kontribusi sektor pengolahan terhadap PDB negara-negara tetangga saat ini: China 30 persen, Thailand 34 persen, Vietnam 26 persen, dan Malaysia 25 persen. Artinya di Indonesia sebenarnya semakin ke sini semakin berkurang industri manufakturnya, atau terjadi deindustrialisasi. Ini dikonfirmasi oleh data BPS yang lain, yaitu tentang tingkat pengangguran. BPS menunjukkan data bahwa terjadi penurunan persentase penduduk bekerja yang berstatus sebagai buruh/karyawan/pegawai dari sebesar 37,02 persen di Februari 2021 menjadi sebesar 36,72 persen di Februari 2022. Buruh yang menjadi tulang punggung industrialisasi, komposisinya malah berkurang. Sementara terjadi peningkatan persentase penduduk yang bersatus berusaha sendiri. Realitasnya dari buruh industri, kemudian ter-PHK, lalu jadi jaga warung atau kaki lima atau jadi supir ojol. Apalah faedahnya pertumbuhan ekonomi 5,01 persen; Bila dalam periode yang sama tingkat pengangguran hanya berkurang 300 ribu jiwa (dari 8,75 juta di Februari 2021 ke 8,4 juta jiwa di Februari 2022). Indeks keparahan kemiskinan pedesaan meningkat 0,02 poin pada September 2021. Nilai tukar petani (NTP) bulan April 2022 anjlok 0,67 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Upah buruh hanya naik rata-rata 1,12 persen. Dan kasus gizi buruk balita semakin marak di daerah-daerah. Meskipun kontribusi industri pengolahan menurun, tapi kontribusi industri pertambangan dan galian terhadap PDB melonjak dari 7,64 persen ke 10,48 persen. Akibat perang Rusia-Ukraina, harga pasar komoditi pertambangan naik tinggi, terjadilah windfall profit yang dinikmati oleh para taipan batubara. Karena rendahnya royalty, Negara pun bisa dibilang tidak dapat apa-apa dari windfall profit komoditi tambang ini. Kemudian booming kelapa sawit. Negara juga tidak menikmati, malah merugi- karena subsidi-subsidi yang mubazir dalam menstabilkan harga minyak goreng. Rakyat juga bunting karena harga-harga minyak goreng tak kunjung turun, sudah terlanjung menjadi penyumbang inflasi yang terbesar pada bulan April 2022. Sementara petani sawit, yang kita kira akan untung, malah ikut buntung. Harga pembelian tandan buah segar (TBS) sawit anjlok sangat dalam. Jadi lagi-lagi yang untung adalah taipan juga, tapi di bidang sawit. Para taipan batubara dan taipan sawit menari-nari di atas pertumbuhan ekonomi yang keropos. Mereka tidak perlu banyak bayar pajak, duit devisa ekspor tinggal diparkir di wilayah-wilayah surga pajak. Negara Kembali rugi, karena kehilangan potensi pajak dan kestabilan moneter bila devisa ekspor masuk. Tapi kita tidak bisa menerka sampai kapan harga komoditi terus naik. Bila akhirnya masa itu datang, dan ekonomi bakal terkoreksi dalam atau bahkan terkontraksi. Akhirnya terkuaklah betapa memang keropos struktur perekonomian kita, yang masih sangat tergantung naik turunnya harga komoditi ini.***
Manusia dan Kekeluargaan Universal
Adanya perasaan lebih karena ras atau warna kulit itu merupakan bentuk “stupidity” (kebodohan) yang buruk pada sebagian manusia. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation MELANJUTKAN oleh-oleh dari konferensi antar Komunitas agama di Florida Minggu lalu. Surah Al-Hujurat ayat ke-13 ternyata tidak saja menyampaikan esensi kemanusiaan (humanity, fitrah, spiritualitas) saja. Tetapi, sekaligus mengafirmasi kekeluargaan manusia secara universal. Bahwa manusia itu sejatinya tanpa kecuali semua ada dalam satu keluarga kemanusiaan yang universal. Sehingga wajar saja jika ayat-ayat Al-Quran berkali-kali menekankan tentang asal-usul penciptaan manusia itu. Manusia misalnya dalam beberapa kali disebutkan sebagai ciptaan dari tanah (turab, thiin, hama’ masnuun). Atau beberapa kali juga disebutkan penciptaannya dari air yang hina atau air mani (maa mahiin). Di awal Surah An-Nisa Allah menegaskan, penciptaan manusia dari jiwa yang satu (Adam). Sebagian ulama menafsirkan kata nafs wahidah sebagai sumber penciptaan yang sama. Artinya, baik lelaki maupun wanita diciptakan dari “sumber” yang satu (sama). Pada ayat ke-13 Surah Al-Hujurat ini Allah seolah menekankan, sekaligus merincikan asal usul manusia. Bahwa orang tua manusia itu, siapapun dan apapun rupanya saat ini, sama. Semua manusia diciptakan dari satu pria (dzakar: Adam) dan satu wanita (untsa: Hawa). Penekanan ini sesungguhnya menyampaikan beberapa pesan penting. Satu di antaranya adalah pentingnya membangun rasa kedekatan (kekeluargaan) di antara sesama manusia ini. Sadar akan orang tua (ayah dan ibu) yang sama seharusnya membangun rasa kedekatan yang intim di antara manusia itu. Kesadaran persaudaraan universal ini dengan sendirinya akan mengurangi kecenderungan friksi (perpecahan) manusia karena alasan-alasan partikularnya, termasuk karena ras, etnis, warna kulit, budaya bahkan agama. Manusia akan mampu melampaui perbedaan-perbedaan itu untuk merangkul koneksi universalnya dalam rasa kekeluargaan kemanusiaan itu. Perpecahan manusia karena ras (racial divisions) bahkan keangkuhan ras oleh sabagian (rasisme) salah satunya disebabkan oleh kegagalan memahami konsep kekeluargaan universal ini. Adanya perasaan lebih karena ras atau warna kulit itu merupakan bentuk “stupidity” (kebodohan) yang buruk pada sebagian manusia. Bahkan dalam hal beragama sejatinya tidak dipahami sebagai pintu perpecahan dari kekeluargaan universal itu. Keyakinan (faith) dan agama harus dijadikan jalan bagi memperkuat kembali kekeluargaan universal itu. Agama datang untuk mengingatkan kita tentang “commonalitas” yang universal. Satu Tuhan, satu ayah/ibu, dan satu asal penciptaan (tanah liat). Dan karenanya agama selalu menjadi lentera bagi manusia untuk mewujudkan moral strength (kekuatan moral) dalam merajut kebersaman demi membangun dunia yang lebih baik. Bukan sabaliknya, justeru agama dijadikan dasar bagi perpecahan, permusuhan, bahkan peperangan. “Agama menyatukan. Egoisme memisahkan”. Salah satu poin yang saya sampaikan pada ceramah kunci di pertemuan itu. Semoga manfaat! Manhattan, 12 Mei 2022. (*)
Hukum Milik Penguasa dan Penguasa Adalah Hukum
Tuntutan keadilan telah berubah menjadi anomali dan barang langka, lepas dari pengawalan dan kepastian hukum, selain hukum rimba. Mana yang kuat akan melahap yang lemah. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih RASANYA bangsa ini sedang memasuki sebuah era kelam. Eksistensi etika mengalami pembunuhan secara perlahan tapi pasti. Tanpa ada yang merasa kehilangan. Tidak ada lagi kepedulian akan “hilangnya” Pancasila, sebagai sumber dari segala sumber etika yang mengawal penegakan hukum. Meminjam ucapan Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, Earl Warren, “In civilized life, law floats in a sea of ethics” (dalam kehidupan yang beradab, hukum mengapung di atas samudra etika). Hukum itu sebagai sesuatu yang hanya dapat tegak. Berlayar, bergerak di atas etika. Etika adalah landasan bagi hukum. Dan hukumpun mengapung di atas samuderanya. Hukum itu tak mungkin tegak dengan cara yang adil, jika air samudera etika tidak mengalir atau tidak berfungsi dengan baik. Apa masih diperlukan penataan untuk mengembangkan infrastruktur etika jabatan-jabatan publik dan etika profesional yang berbasis pada etika sosial, yang berfungsi dengan baik dalam mengendalikan perilaku ideal warga masyarakat? Tumbuh dan berkembangnya “rule of law” diperlukan basis sosial yang luas bekerjanya sistem etika sosial dalam masyarakat. Jika hukum diumpamakan sebagai kapal, sementara etika itulah samuderanya, “maka kapal hukum tidak mungkin dapat berlayar mencapai pulau keadilan, jika air samuderanya (etika itu) kering dan tidak berfungsi”. Gagal dan banyaknya anomali hukum di Indonesia, sangat mungkin etika berbasis nilai nilai Pancasila sebagai sumber hukum telah menguap dan mengering. Dipertontonkan dengan terang-terangan pencari keadilan yang berlawanan dengan penguasa pasti kandas. Jangankan sampai proses di pengadilan pada tahap pelaporan sudah ditolak dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Ratusan mungkin ribuan pencari keadilan terakhir sebagai contoh indikasi kuat kebohongan Big Data yang dimainkan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) itu mental ketika dilaporkan ke Bareskrim. Dalam kasus E-KTP yang melibatkan pejabat negara dan kasus hukum para Buzer, hukum tak kuasa menyentuhnya. Anehnya pejabat dan politisi yang menyimpan kasus hukum, sementara bebas dari jeratan hukum dan harus rela dirinya dijadikan budak penguasa, seperti pedati hanya bisa bergerak atas kendali penguasa. Saat ini kasus jadi-jadian Habib Rizieq Shihab (HRS) sudah terjadi, kemudian menyusul kasus jadi-jadian yang menimpa wartawan senior FNN Edy Mulyadi. Jelas sekali semua sebuah rekayasa, kasus hukum yang direkayasa. Hebatnya lagi penegak hukum masih suka-suka melanggar hukum. Gagasan pembentukan pengadilan etik untuk penyelenggara yang terindikasi melanggar hukum mengambang, bahkan dimentahkan oleh putusan MK di pertentangan dengan ide “Peradilan Etik” dengan mempertentangkannya dengan “Peradilan Hukum”. Terkait akibat relasi iparan Ketua MK Anwar Usman dengan Presiden Jokowi, begitu juga benturan kepentingan dalam komunikasi publik dalam urusan pribadi vs jabatan, makin menjadi-jadi. Urusannya menjadi campur-aduk tanpa etika sama sekali. Belakangan ini, tidak sulit menemukan munculnya berbagai pernyataan atau hasil kajian pakar hukum yang menyebutkan, sekarang ini etika sosial dan moralitas berbangsa kita justru sedang mengalami anomali, keadaan seolah tanpa norma. Ditengarai akhlak bangsa merosot karena kebebasan yang tidak terkendali. Bahkan, negara ditengarai sedang menuju ke bentuk tirani dan diktator. Bagaimana hendak mengharapkan hukum tegak dengan adil, jika sistem norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan kualitas dan integritas perilaku kita sebagai warga masyarakat. Yang menjadi masalah dewasa ini – yang banyak dikeluhkan masyarakat – bahwa lembaga negara yang yang mengatur etik, yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bukan berbasis UUD 1945, faktanya hanya dapat dikatakan sebagai state auxiliary organ. Diantaranya lembaga negara yang berada di bawah kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, atau merupakan lembaga negara independen. Sifatnya lebih berposisi ad-hoc, tidak bergigi atau ompong tak bergigi Pelanggaran hukum oleh para pejabat negara terbalut kabut tebal dengan budaya ewuh pakewuh sesama sejawat. Hukum belum merupakan suatu komitmen nasional yang mengikat, dengan longgar bisa ditransaksikan antar mereka. Hukum masih sebagai aksesoris yang bisa ditawar, tidak memiliki aroma “kemuliaan” yang mengharuskan lahirnya kepatuhan kolektif terhadap hukum. Etika pada dasarnya lebih luas daripada hukum. Setiap pelanggaran terhadap hukum, kebanyakan adalah pelanggaran juga terhadap etika. Akan tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Etika lebih luas, bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial bagi bekerjanya sistem hukum. Akan dibawa ke mana perahu besar – bangsa besar ini – yang bernama Indonesia, akan dilayarkan oleh pemimpinnya yang menjadi nakoda di atas samudera yang airnya tidak mengalir. Adakah kepastian perjalanan perahu besar ini ke tempat tujuan dapat tercapai, yang saat ini masih hanya impian dari mimpi di siang bolong. Ibarat sedang berlayar di bawah kendali pemimpin negeri yang mengatur negara dengan suka-suka dan telah menggeser elemen etika sebagai dekorasi demokrasi musiman belaka, proses hukum di Indonesia tidak akan bisa berfungsi normal. Tuntutan keadilan telah berubah menjadi anomali dan barang langka, lepas dari pengawalan dan kepastian hukum, selain hukum rimba. Mana yang kuat akan melahap yang lemah. Perdagangan hukum yang jelas melanggar hukum telah melembaga menjadi budaya baru: sarana jual-beli paket hukum transaksional, sudah menjadi komoditas perdagangan bebas dan terbuka, tidak ada lagi etika. Dalam terjemahan bebas, kata Prof. Mahfudz MD, persoalan keadilan hukum hanyalah soal mencari pasal-pasal yang diinginkan. Bukan pasal yang memiliki kepastian mengikat untuk tegaknya keadilan. Sampai kapan ini terjadi, tanyakan kepada rumput yang bergoyang. Kata Prof. Salim Said, pejabat negara sudah tidak takut lagi pada pelanggaran sumpah jabatan yang beresiko hukum, karena Tuhan saja sudah tak ditakuti. Ketika hukum sudah milik penguasa dan penguasa adalah hukum. (*)
Ancaman Terbesar Itu Bernama “Takut”
Yang lebih berbahaya lagi ketika ketakutan karena ketidak tahuan itu juga termotivasi oleh rasa superioritas dan keangkuhan. Perasaan lebih dan angkuh inilah ketika ada pihak lain yang menonjol akan menjadi ancaman baginya. Sehingga ketakutan itu biasanya akan berujung pada kebencian bahkan tidak jarang kekerasan. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation TULISAN ini masih lanjutan oleh-oleh dari pertemuan tahunan interfaith di University of North Florida. Sebuah perhelatan antar Komunitas agama yang cukup ber-prestise. Karena selain dihadiri oleh banyak tokoh agama; Yahudi, Kristen, Islam, Sikh, Hindu bahkan Baha’i, juga dihadiri oleh banyak akademisi dari Universitas North Florida dan pejabat pemerintahan setempat. Pelaksana utama (main organizer) acara ini adalah the Interfaith Center of North Florida, sebuah non profit yang aktif dalam mengedukasi masyarakat Amerika tentang hubungan antar agama. Menariknya tanpa saya ketahui beberapa anggota Board dari organisasi itu adalah teman yang telah lama tidak ketemu lagi. Salah satu di antaranya adalah professor Lucinda Mosher, yang saat ini menjadi guru besar di International University Connecticut (formerly known as Hartford Seminary). Beliau adalah salah seorang yang saya kenal di kota New York sejak 2002 lalu. Bahkan ketika beliau sebagai professor di Fordham University beliau meminta saya sebagai dosen tamu (visiting professor) di kelas beliau saat itu beberapa semester. Selain Lucinda juga ada Professor Perfez Ahmed yang dikenal luas di kalangan akademisi keuangan Amerika. Beliau adalah professor of finance (keuangan) di Universitas North Florida. Tapi juga mantan penasehat (senior advisor) di pemerintahan Barack Obama. Beliau bertindak sebagai moderator di acara ini. Saya menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan “common humanity” dan bagaimana pijakan bersama (common ground) itu dapat menjadi motivasi bersama untuk membangun dunia yang lebih baik. Dunia yang aman, makmur dan tentunya tentram dan berkeadilan. Satu di antaranya yang saya tekankan pada acara ini adalah betapa ketakutan (fear) itu menjadi sumber ketakutan yang paling dominan dalam hidup manusia. Manusia kerap ketakutan (fearful) tentang banyak hal. Sehingga dengan sendirinya ketakutan itu menjadi sesuatu yang menakutkan. Ada banyak penyebab kenapa banyak orang yang ketakutan. Ketakutan bisa terjadi karena terjadi “social shifting” (perubahan sosial) yang menjadikan sebagian merasa terancam. Perubahan itu bisa dalam nilai sosial. Misalnya dominasi kultur mengalami perubahan. Dari European cultural dominance menjadi Asian atau African misalnya. Pastinya mereka yang telah berada pada zona nyaman budaya Eropa akan mengalami perasaan terancam. Social shifting ini juga mencakup perubahan demografi masyarakat. Dari dominasi etnis tertentu misalnya menjadi dominasi etnis lain. Dalam kasus Barat meningginya rasisme dan white supremacy disebabkan salah satunya karena dominasi Eropa mulai tergeserkan. Hal ini tentunya merambat kepada perubahan budaya, termasuk agama. Hal lain yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang mengalami ketakutan adalah karena faktor masa lalu. Saya menyebut ini dengan “phobia history” (historical phobia). Umat Islam termasuk yang terjangkiti penyakit ini. Sehingga kemajuan orang lain dalam kehidupan dunianya menjadi momok yang menakutkan, seolah penjajahan itu kembali hadir. Dengan kemajuan Islam di Barat juga menjadikan sebagian dunai Barat mengalami hal yang sama. Ada bayang-bayang kekebangkitan khilafah Bani Umayya yang pernah berkuasa di Spanyol. Juga seringkali dihantui oleh kebangkitan Ottoman Empire yang pernah hampir menguasai seluruh Eropa. Bahkan hal aneh di Slovakia misalnya anda tidak diperkenankan menyebut kopi Turki dengan Turkish Coffee. Mereka tetap menjadikan kopi Turki sebagai kopi khusus. Tapi kata Turkish jangan disebut karena meninggalkan trauma masa lalu (Ottoman) . Kopi Turki pun lebih dikenal dengan “special coffee”. Berbagai faktor lainnya (tujuh faktor) saya sampaikan secara rinci. Tapi semua faktor-faktor itu diperkuat oleh retorika sebagian politisi yang memakai sentimen agama untuk kepentingan politiknya. Agama kerap kali hanya menjadi gandengan. Agama tidak diposisikan sebagai “moral guidance” dalam melakukan aktivitas politiknya. Selain itu media juga menjadi sumber ketakutan yang destruktif. Media seringkali tidak bertanggung jawab dan memblow up (menyebarkan) hal-hal yang hanya menambah ketakutan dan kemarahan masyarakat. Sisi negatif dari Komunitas agama pastinya selalu menjadi konsumsi yang seksi. Sementara sisi positifnya sering terabaikan begitu saja. Dari sekian faktor ketakutan (fear factor) yang saya sampaikan itu faktor terbesar sesungguhnya ada pada faktor “ignorance” (ketidak tahuan). Betapa ketidak tahuan seseorang kerap melahirkan kecurigaan, ketakutan bahkan kebencian tanpa mengetahui penyebabnya (why)? Ketakutan yang disebabkan oleh ketidak tahuan itulah yang dikenal dengan phobia. Phobia didefenisikan sebagai “irrational fear” (ketakutan irasional). Takut padahal tidak tahu kenapa takut. Inilah ketakutan yang paling berbahaya. Apalagi kalau ketidak tahuan itu dibumbui oleh “perasaan” atau pretendi mengetahui (pretend to know). Yang lebih berbahaya lagi ketika ketakutan karena ketidak tahuan itu juga termotivasi oleh rasa superioritas dan keangkuhan. Perasaan lebih dan angkuh inilah ketika ada pihak lain yang menonjol akan menjadi ancaman baginya. Sehingga ketakutan itu biasanya akan berujung pada kebencian bahkan tidak jarang kekerasan. Dalam pemaparan saya sampaikan banyak contoh phobia yang pernah terjadi, khususnya dalam konteks kehidupan antar Komunitas di Amerika Serikat. Contoh-contoh itu menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk melakukan langkah-langkah maksimal untuk menguranginya. Satu di antara langkah untuk mengurangi phobia yang ditawarkan Al-Quran adalah “ta’aruf”. Sebuah kata yang saya istilahkan sebagai “nourishment to our diversity” (pupuk keragaman) masyarakat dalam dunia yang semakin plural dan interdependent. NYC Subway, 11 Mei 2022. (*)
Pilpres 2024 - Sudah Selesai
Perubahan ajaib tersebut tidak akan terjadi kecuali dengan kekuatan besar dari pemilik kedaulatan negara melakukan people power untuk memaksa penguasa merubah kembalikan proses Pemilunya yang jujur dan adil. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih MENURUT Linda Lee Kaid (2007), iklan politik adalah proses komunikasi di mana seorang sumber (biasanya kandidat dan atau partai politik) membeli atau memanfaatkan kesempatan melalui media massa guna meng-exposure pesan-pesan politik dengan sengaja untuk mempengaruhi sikap, kepercayaan dan perilaku politik khalayak. Iklan sendiri dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk komunikasi yang terdiri atas informasi dan gagasan tentang suatu produk yang ditujukan kepada khalayak secara serempak agar memperoleh sambutan baik. Iklan berusaha untuk memberikan informasi, membujuk dan meyakinkan (Sudiana, 1986:1). Usulan majunya seorang Capres pada Pemilu 2024 selama ini hanya mengandalkan iklan dan atas dasar survei terhadap masyarakat yang dilakukan oleh pihak tertentu. Permainan ulang iklan dan rentalan lembaga survei hanya akan memecah fokus masyarakat, serta memicu kegaduhan di tengah isu-isu penting, semua atas arahan sponsornya. Bahwa cara tersebut adalah jualan isu murahan, dipaksakan, tetapi masih berjalan efektif di masyatakat agraris dan masa mengambang apalagi pekat dan berjalannya politik transaksional di negara miskin atau negara berkembang. Celakanya kebohongan yang diajarkan terus menerus di kemudian hari akan dianggap sebagai sebuah kebenaran (by: Lenin - Bapak komunis Uni Soviet). Jadi, kebohongan iklan dan survei yang dilancarkan secara terus menerus bisa berpengaruh kuat pada masyarakat pemilih yang akan terlibat dalam Pilpres serentak yang akan datang Terekam bahwa: “Biaya Pemilu Pemilu Februari 2024 dan Pilkada serentak November 2024 diperkirakan Rp 110 triliun, jauh lebih besar dari biaya Pemilu 1999 dipercepat dari 2002, hanya Rp1,3 trilliun” tidak ada jaminan akan terlaksana Pemilu yang jujur dan adil dan jaminan akan menghasilan pemimpin-pemimpin hebat. Demikian dikatakan tokoh nasional Rizal Ramli pada akun Instagram pribadinya @rizalramli.official, Ahad, 8 Mei 2022. Keterlibatan oligarki dan Bandar Pemilu sejak Pemilu 2014 makin menguasai semua proses ranah tata laksana politik kita dan Pemilu serentak hanya mainan mereka untuk melahirkan pemimpin-pemimpin kelas boneka yang hanya bermodalkan pencitraan. Kondisi Pemilu/Pilpres diperparah dengan dikuncinya Presidential Threshold (PT) 20 %. Ini Pilpres partai politik bukan Pilpres rakyat, peluang buka lapak partai-partai jualan suara partainya untuk para Capres yang akan maju pada laga Pilpres 2024. Sedangkan akal sehat bisa menerka dengan kalkulasi setiap Capres harus memiliki modal pribadi Rp 50-60 trilliun rupiah adalah mustahil. Suka tidak suka harus mempertimbangkan mengiba pada para bandar politik Oligarki. Rekayasa lanjut adalah permainan di KPU, anggotanya adalah wakil Ormas sangat jelas kendali ada di penguasa dan Bandar politik Oligarki. Artinya, kecurangan perolehan suara untuk kemenangan Capres dari Bandar Politik itu sangat mudah direkayasa. Pemilu serentak dan khususnya Pilpres 2024 sesungguhnya saat ini sudah selesai siapa yang akan menjadi Presiden boneka selanjutnya. Bahkan untuk hasil Pemilu untuk Gubernur, Bupati, Walikota, dan anggota DPR sudah bisa ditebak hanya akan dikuasai para pemilik modal besar. Lagi-lagi tidak akan lepas dari para Bandar Politik Oligarki. Pertanyaan apakah gambaran buruk Pemilu serentak 2024 benar-benar akan terjadi. Jawabannya ya akan terjadi, kalau tidak ada perubahan ajaib secara total tentang perangkap instrumen UU Pemilu dan perangkat aturan Pemilu lainnya. Perubahan ajaib tersebut tidak akan terjadi kecuali dengan kekuatan besar dari pemilik kedaulatan negara melakukan people power untuk memaksa penguasa merubah kembalikan proses Pemilunya yang jujur dan adil. Hentikan proses pembodohan rental survei abal-abal, iklan yang menyesatkan dan hancurkan semua kekuatan Bandar Politik yang akan memenangkan Presiden boneka lanjutan yang akan merusak dan menghancurkan negara. (*)
Edy Mulyadi yang Tidak Layak Diadili
Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan BEGITU mudahnya rezim memilih seseorang untuk diadili atau dihukum. Betapa sulitnya juga untuk mengadili dan menghukum orang pilihan lainnya. Hukum bermata terbelalak dengan timbangan yang berat sebelah. Simbolnya bukan dewi keadilan membawa pedang dan timbangan tetapi raksaksa menyeringai membawa gada besar dengan manusia kerdil sebagai pesakitan. Edy Mulyadi adalah manusia pilihan yang dihadapkan pada rasaksa bengis itu. Untuk kesalahan yang tidak jelas bahkan tanpa salah yang layak diadili apalagi dihukum. Hanya karena menyebut IKN baru sebagai tempat jin buang anak untuk menggambarkan lokasi yang jauh dan masih sepi. Tidak berkorelasi dengan penistaan suku atau kelompok manapun. Edy sendiri adalah jurnalis yang tentu saja faham bahwa pemberitaan dan pernyataannya itu bagian dari publikasi media yang masuk dalam ranah kompetensi UU Pers. Tidak serta merta dapat dibawa ke ranah pidana. Pemaksaan seperti ini menegaskan terjadinya kriminalisasi atas aktivis. Lebih jauh publik mengaitkan dengan sikap kritis Edy terhadap berbagai peristiwa dan kebijakan termasuk soal pemberitaan atas pembunuhan enam laskar FPI di KM 50. Sebelum test area itu diobrak abrik dan dibantai habis oleh pihak-pihak yang ketakutan bahwa perbuatan jahatnya nyata dan beralat bukti. Edy Mulyadi ditahan dan dinyatakan sebagai tersangka dengan delik yang dituduhkan sebagai ujaran kebencian yang berpotensi menimbulkan keonaran. UU 1 tahun 1946, UU ITE dan aturan KUHP diancamkan kepadanya. Ketentuan ini berhadapan dengan kritik dan kebebasan berpendapat yang dilakukan dan didalilkan Edy Mulyadi. Menjadi teringat dengan kasus sumir lain HRS yang dituduhkan hampir sama atas perbuatan \"menyatakan dirinya sehat\" setelah pemeriksaan di RS UMMI Bogor. HRS diganjar hukuman 2 tahun oleh MA yang sebelumnya 4 tahun di Pengadilan Negeri. Hukum yang dipaksakan untuk melumpuhkan lawan politik. Soal \"tempat jin buang anak\" bukan frasa ujaran kebencian itu ungkapan biasa untuk menggambarkan daerah yang jauh dan sepi. IKN baru yang memang masih dalam keadaan demikian. Apalagi terbukti beberapa waktu lalu di tempat ini dilakukan ritual mistik dipimpin oleh Presiden RI Jokowi. Upacara kendi pasir serupa dengan \"buang jin\". Tapi semua menyadari proses peradilan terhadap Edy bukanlah proses hukum tetapi proses politik. Sehingga berlaku adagium siapa berkuasa dapat bertindak apa. Negeri ini sudah tercoreng moreng oleh kasus-kasus politik di ruang pengadilan. HRS, Syahganda, Anton Permana, Jumhur, Kivlan Zen, dan lainnya menjadi contoh. Pembebasan aparat atas pembantaian 6 laskar FPI di ruang pengadilan juga bentuk dari operasi penyelamatan politik. Edy Mulyadi tidak layak diadili, tidak ada kejahatan yang dilakukannya. Sementara penjahat asli masih berkeliaran dimana-mana apakah penista agama, koruptor, atau penghianat bangsa. Penjual kedaulatan negara itu pengisi ruang Istana. Bebas berkelana ke Singapura, Australia, Eropra, Amerika ataupun China. Edy menjadi bagian dari martir demokrasi, pejuang kebebasan berpendapat, serta aktivis media yang bersuara apa adanya. Edy mewakili aspirasi yang tersumbat. Berjalan lurus di lorong kegelapan kekuasaan. Melabrak fatsoen basa-basi atas ancaman tirani dan oligarki yang selalu sembunyi. Selamat berjuang, selamat membela kebebasan dan kemerdekaan untuk berpandangan beda. Berbasis keyakinan bahwa rezim sedang terperosok di lubang kezaliman. Kritik Edy Mulyadi atas IKN baru yang tidak layak dan dipaksakan adalah benar. Edy Mulyadi benar. (FNN.co.id) Bandung, 11 Mei 2022
Ayat dan Mayat, Black Campaign yang Terus Dilesakkan
Oleh Ady Amar - Kolumnis FITNAH memang keji. Bahkan lebih keji dari pembunuhan. Itu kata agama (Islam). Jika logika agama yang dipakai, maka semestinya penyebar fitnah diganjar hukuman lebih berat dari hukuman bagi si pembunuh. Tapi mustahil itu diterapkan. Fitnah ditebar seolah itu hal biasa. Bahkan tanpa konsekuensi hukum. Memfitnah itu menjadi hal biasa. Lumrah. Tidak jadi persoalan serius. Menjadi serius jika fitnah mengena pada pejabat yang kebetulan \"berkuping tipis\", dan tengah berkuasa. Fitnah lalu bisa ditarik pada kasus hukum. Di era media sosial tanpa sekat, fitnah menjadi menu sehari-hari. Bisa dumunculkan kapan saja. Terutama pada pejabat atau bahkan personal yang memang dibidik untuk dihancurkan nama baiknya. Maka, gelontoran fitnah--dan itu masuk black campaign-- jadi andalan menghabisi siapapun yang dianggap lawan politiknya. Seolah orang boleh menjatuhkan lawan politik dengan berbagai cara, bahkan dengan black campaign. Sulit hal itu bisa dicegah, dan seakan tidak ada perangkat hukum bisa mencegahnya. Terutama bagi yang berlawanan dengan rezim. Melaporkan tindakan fitnah, itu menjadi sulit ditindaklanjuti. Sekadar laporan diterima tanpa ada kelanjutan memprosesnya secara hukum. Tumpul. Memilih tidak melaporkan lalu jadi pilihan untuk dipilih, setelah tidak ditemukan pilihan lain bisa dipilih. Membiarkan saja fitnah itu menggelinding tanpa kesudahan. Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, jadi arus utama langganan fitnah. Anies memilih membiarkannya. Tidak sekalipun ia mencoba melawan fitnah dengan melaporkan pada pihak berwajib. Anies mengharuskan bertelinga tebal dengan cara tidak menggubrisnya. Memilih diam jadi pilihannya. Mengabaikan mereka yang memang bekerja untuk itu. Dibayar untuk mempengaruhi opini publik, dan itu membicarakan Anies dengan tidak sebenarnya. Opini ingin dibentuk dengan mencoba mengaburkan karya-karya Anies membangun Jakarta. Menjatuhkan Anies pastilah tanpa nalar, dan itu yang terus-menerus dilesakkan. Nalar publik ingin dikotori oleh opini fitnah yang dilempar begitu saja. Seperti menjejalkan makanan yang tidak layak pada bayi yang sedang bertumbuh. Jahat, memang. Fitnah Usang yang Terus Diangkat Menjual \"Ayat dan Mayat\" adalah salah satu fitnah yang terus ditebar. Pastilah itu masuk kelompok black campaign. Sekalipun Anies tidak terbukti pernah mengatakan sebagaimana yang dituduhkan. Pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, istilah itu dimunculkan dan terus dilestarikan sampai sekarang. Upaya menggiring opini publik, seolah kemenangan Anies Baswedan dalam Pilkada DKI--mengalahkan petahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)--itu dengan menggunakan \"Ayat dan Mayat\". Memenangkan Pilkada seolah Anies mengusung politik identitas pada isu-isu keislaman. Dengan cara menakut-nakuti muslim dengan \"ayat dan mayat\", dan itu untuk memilihnya sebagai sesama muslim. Tidak memilih Ahok yang non muslim. Meski sekalipun Anies tidak pernah melakukan hal itu, tetap saja fitnah \"ayat dan mayat\" terus diangkat. Memang tidak menutup kemungkinan jika ada ulama/kyai/pemuka agama, saat di majelis-majelisnya, dan itu pada jamaahnya, memberi tausiah agar memilih pemimpin yang muslim. Seperti hal itu juga dilakukan para pendeta/pastor/pemuka agama diluar Islam, agar memilih pemimpin yang seiman. Itu hal biasa, yang berpijak pada ajaran agamanya. Tidak ada yang salah. Black campaign \"ayat dan mayat\" terus dilesakkan, itu memang hal yang disengaja. Menganggap efektif mampu menggerus elektabilitas Anies, yang anehnya tidak beringsut mengecil, tapi tetap kokoh teratas--dari berbagai lembaga survei politik. Anies jual \"ayat dan mayat\", fitnah usang, yang tanpa dilihat efektivitasnya mampu mempengaruhi publik. Menganggap rakyat bodoh, itu ibarat melakukan pekerjaan serasa berhasil diawalnya, yang tidak mustahil akan berkesudahan dengan hasil berkebalikan. Rakyat punya parameternya sendiri dalam menilai. Tidak bisa dicekoki pernyataan yang diulang-ulang, tanpa bisa dibuktikan. Nalar publik jangan dipaksa mempercayai berita fitnah usang yang terus diberitakan. Sulit bisa menemukan kerja Anies yang bisa dilihat sebagai bentuk pelanggaran, maka pilihan menebar berbagai berita fitnah akan terus dilakukan dengan tingkat intensitas tinggi dan kejam--setidaknya sampai 2024--itu sekadar untuk upah recehan yang tidak seberapa. Duh, kasihan. (*)
Hepatitis Misterius “Pesanan” Microsoft?
“Kami tidak tahu kapan yang berikutnya akan tiba, atau apakah itu flu, virus corona, atau penyakit baru yang belum pernah kami lihat sebelumnya,” sebut Bill Gates. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN KEMENTERIAN Kesehatan RI menyebut, penyakit Hepatitis Akut (Misterius) yang belum diketahui penyebabnya tersebut telah dilaporkan lebih dari 20 negara, termasuk Indonesia. Dalam kurun waktu 2 pekan hingga 30 April 2022, 3 anak di DKI Jakarta meninggal setelah mendapatkan perawatan secara intensif di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Penyakit peradangan hati ini pertama kali ditemukan di Inggris Raya pada 5 April 2022. Sejak saat itu, dilaporkan terjadi peningkatan kasus di Eropa, Asia, dan Amerika. WHO selanjutnya menetapkan penyakit Hepatitis Akut sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) pada 15 April 2022. Penyakit Hepatitis Akut menyerang anak usia 0-16 tahun, paling banyak anak usia di bawah usia 10 tahun. Virus ini sangat berbahaya, beberapa anak telah dilaporkan meninggal, bahkan 17 dari 170 anak dengan Hepatitis Akut itu membutuhkan transplantasi hati. Sampai saat ini belum diketahui pasti penyebab Hepatitis Akut. Penyebabnya bukan virus hepatitis A, B, C, D dan E. Dugaan awal berasal dari Adenovirus 41, SARS CoV-2, virus ABV dll. Adenovirus umumnya menular melalui saluran cerna dan saluran pernafasan. Cara menularnya diduga dari droplet, air yang tercemar dan transmisi kontak. Gejala awal Hepatitis Akut tersebut adalah gangguan gastrointestinal seperti sakit perut, mual, muntah, diare. Gejala dapat berlanjut dengan air kencing berwarna pekat seperti teh, BAB putih pucat, kulit dan mata kuning, bahkan sampai penurunan kesadaran. Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah Hepatitis Akut pada anak? Tetap tenang, jangan panik. Kebersihan diri dan lingkungan berperan penting dalam mencegah infeksi Hepatitis Akut pada Anak. Rutin cuci tangan pakai sabun, masak makanan hingga matang, hindari kontak dengan orang sakit, terapkan etika batuk dan disiplin prokes COVID-19 seperti pakai masker serta jaga jarak. Tingkatkan kewaspadaan diri dengan mengetahui lebih dalam gejala Hepatitis Akut. Apabila anak mengalami satu dari gejala hepatitis Akut, disarankan segera dirujuk ke fasyankes terdekat untuk mendapatkan penanganan medis lebih lanjut. Jangan menunggu sampai mata anak kuning atau bahkan sampai penurunan kesadaran. Karena kondisi Hepatitis Akut sudah berat, kemungkinan untuk menyelamatkan pasien sangatlah tipis. Menurut Dr. Tifauzia Tyassuma, Epidemiolog dan Peneliti, bila merujuk dari hal di atas, adanya KLB Hepatitis Misterius atau Akut yang dalam 1 bulan menyebar di 12 negara dengan jumlah kasus sebanyak 169. Beberapa diantaranya itu berakhir fatal, tampaknya kita harus bersiap untuk terjadinya Interseksi Pandemi, yaitu Pandemi Covid yang belum berakhir dan Pandemi Adenovirus yang baru dimulai. Dari catatan kasus maka Hepatitis Misterius ini memiliki CFR (Case Fatality Rate) sebesar 10%, equal dengan Covid awal dengan virus Corona tipe WIV1 yang menyerang dunia dalam kurun Desember 2019 sampai dengan Juli 2020 yang kemudian diikuti varian-varian hasil mutasi dengan CFR lebih rendah. “Apakah ada kaitannya dengan Vaksinasi Covid yang diberikan pada anak-anak usia 0 sampai dengan 16 tahun sebagai susceptible population pada kasus Hepatitis Misterius ini?” Beberapa laporan yang telah disampaikan Para Peneliti yang hasil simpulan sementaranya adalah: “Antara Vaksinasi Covid dengan kejadian Hepatitis Misterius ini, sangat mungkin berkorelasi, dan hampir tidak mungkin sebuah koinsidens atau kebetulan belaka,” ujar Dokter Tifauzia. Secara mudah kita bisa mengkomparasikan dengan kejadian-kejadian yang terjadi pada tahun-tahun lalu: Januari - Desember 2019: No Vaks Covid - No Hepatitis Misterius; Januari - Desember 2020: No Vaks Covid - No Hepatitis Misterius; Januari - Desember 2021: Vaks Covid Adult - No Hepatitis Misterius; Januari 2022 - April 2022: Vaks Covid for Children - Hepatitis Misterius existed. Apakah simpulan ini confirmed? “Perlu dibuktikan lagi secara lebih tajam dengan penelitian-penelitian dengan sample size lebih luas di negara-negara yang sudah memberlakukan Vaksinasi Covid kepada anak-anak,” ungkap Dokter Tifauzia. Bagaimana seharusnya kita bersikap? Pemerintah seharusnya tanggap. Segera hentikan Proyek Vaksinasi Covid, lakukan pengkajian dan penelitian. Lindungi nyawa rakyat. “Bukan malah sibuk menangkis dan menyangkal seakan-akan malah menjadi jubirnya Pabrik Vaksin, bukan pasang badan membela rakyat,” tegas Dokter Tifauzia. Ringkasan kasus seperti dilansir Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sebagai berikut: 5 April 2022 Inggris Raya menemukan kasus hapatitis akut sebanyak 10 kasus pada anak. Mereka dirawat di rumah sakit. Tidak ditemukan virus hepatitis A-E dalam pemeriksaan laboratorium. Pada 8 April 2022 dilakukan penelitian lebih lanjut, ditemukan 74 terjangkit, 8 diantaranya menjalani transplantasi hati. Hingga 11 April 2022 tak ditemukan kematiaan hepatitis akut. Sejak 21 April, berbagai negara melaporkan kasus ini, seperti Irlandia, Spanyol Amerika, Israel dengan variasi jumlah kasus dan usia anak antara 0 tahun sampai dengan 3 tahun. Menyusul kemudian Jepang, Kanada dan Mei 2022 ditemukan di Singapura. Gejala dan Tanda Hepatitis Misterius: Penurunan kesadaran, demam tinggi, warna urine gelap, kuning, sakit seluruh persendian, mual, muntah, nyeri perut, lesu, hilang nafsu makan dan diare. Hepatitis Microsoft? Sebelumnya, seperti dilansir Radar Aktual (May 3, 2022), Bos Microsoft, Bill Gates membeberkan prediksi wabah Covid-19 bukan terakhir yang melanda bumi. Bill Gates menyebut bakal ada serbuan wabah 10 kali lebih ganas dari Covid-19. Bill Gates menyebut, akan lebih banyak merenggut nyawa manusia. Padahal Pandemi Covid-19 telah begitu dahsyat dampaknya bagi populasi manusia. Selain kesehatan, sektor ekonomi dunia pun dibuat porak poranda. “Kami tidak siap untuk pandemi berikutnya, pandemi ini lebih buruk, bisa 10 kali lebih serius,” kata Bill Gates dilansir dari laman Entrepreneur, mengutip ArahKata.com pada Selasa, 3 Mei 2022. Bill Gates meminta pemimpin dunia khususnya negara-negara maju untuk bersiap menindaklanjuti kemungkinan pandemi berikutnya. Ia juga meminta negara di dunia segera melindungi warganya dengan upaya apapun yang bisa dilakukan, termasuk membuat vaksin dan kebutuhan medis. Kenyataannya, kata dia, bahwa Covid-19 bukan pandemi terakhir. Muncul lagi varian-varian berikutnya, misalnya varian Delta. “Kami tidak tahu kapan yang berikutnya akan tiba, atau apakah itu flu, virus corona, atau penyakit baru yang belum pernah kami lihat sebelumnya,” sebut Bill Gates. Yang menjadi pertanyaan, mengapa Bill Gates begitu yakin adanya “pandemi lebih buruk” yang bakal muncul? Adakah kaitan antara pernyataan Bill Gates itu dengan munculnya Hepatitis Misterius ini? Apalagi pernyataan itu keluar sebulan sebelum WHO menyebut sebagai KLB pada 15 April 2022. Hepatitis sendiri merupakan peradangan organ hati. Organ ini adalah adalah organ vital yang berfungsi memproses nutrisi, menyaring darah, dan melawan infeksi. Peradangan hati dapat mempengaruhi fungsi organ ini, dan tingkat keparahan penyakit dapat bervariasi tergantung pada penyebabnya. Sementara beberapa jenis hepatitis hanya memberikan dampak ringan dan tidak memerlukan pengobatan intensif, bentuk lain dari penyakit ini bisa menjadi cukup kronis dan berakibat fatal. (*)