OPINI

Memeras Rakyat Dengan BPJS Kesehatan

Oleh Abdurrahman Syebubakar - Kritikus Sospol dan Inisiator Majelis Habaib Progresif SESUAI konstitusi, penyediaan layanan sosial dasar seperti layanan kesehatan merupakan kewajiban negara yang diwakili pemerintah dan menjadi hak rakyat untuk mendapatkannya.   Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan layanan kesehatan. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (UUD 1945 Pasal 28H Ayat 1 dan 3).  Lebih lanjut, ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 34 Ayat 2 dan 3, negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.  Jaminan sosial kesehatan sebagai wujud pelaksanaan mandat konstitusi seyogyanya memberikan layanan dan manfaat kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa dipungut biaya, terlepas dari status sosial ekonomi mereka, baik warga miskin maupun non-miskin.  Namun, BPJS Kesehatan mewajibkan setiap orang membayar iuran, kecuali kelompok miskin dan rentan miskin. Apalagi banyak diantara kelompok ini tidak menerima subsidi iuran dari pemerintah. Besarnya iuran jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala (UU No.40 Tahun 2004 tentang JSN). Konsekuensinya, iuran cenderung naik ketika kondisi ekonomi kurang baik dan prioritas anggaran negara diarahkan ke sektor lain terutama infrastruktur fisik.  Dengan kualitas pelayanan kesehatan yang jauh dari optimal, kinerja manajemen BPJS yang kurang baik dan kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan rakyat, dua tahun lalu - pada Januari 2020, pemerintah menaikkan biaya iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen. Kenaikan ini menjadi satu paket dengan kenaikan tarif tol sebagai kado awal tahun buat rakyat dari Presiden Jokowi pada saat itu.  Yang lebih tragis, selain memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan denda kepada peserta yang tidak memenuhi kewajibannya, pemerintah juga menghukum penunggak iuran BPJS Kesehatan dengan sanksi berat - tidak mendapat pelayanan publik, seperti pembuatan SIM, STNK, Paspor, IMB, Sertifikat Tanah dan layanan publik lainnya. Lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, pemerintah mewajibkan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat permohonan jual beli tanah.  Dalam hal ini, negara merampas hak rakyat untuk hidup layak dan bermartabat, terutama rakyat miskin dan kurang mampu. Ibarat jatuh tertimpa tangga pula. Tak ayal, penderitaan (deprivasi) mereka semakin dalam dan luas.  Terlebih penduduk Indonesia yang tergolong kurang mampu, dengan pengeluaran di bawah  Rp.2 juta per bulan, telah mencapai lebih dari 200 juta jiwa. Termasuk di dalamnya kelompok miskin dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan nasional (GK), rentan miskin dengan pengeluaran 1 - 1,5 kali GK, dan kelas menengah baru dengan pengeluaran 1,5 - 3,5 kali GK (World Bank 2019).  Menurut catatan BPS, Garis Kemiskinan pada September 2021 sebesar Rp486.168, -/kapita/bulan.  Dengan adanya pandemi COVID-19, kondisi kelompok tersebut sangat tertekan dengan tingkat penderitaan yang makin dalam. Jumlah mereka (diperkirakan) bertambah akibat hilangnya sumber mata pencaharian dan kesempatan kerja sebagai dampak pandemi. Kondisi kehidupan mereka makin memperihatinkan dengan meroketnya harga kebutuhan pokok dan biaya hidup lainnya.    Sementara, rakyat miskin dan rentan miskin yang menjadi Penerima Bantuan Iuran-Program Indonesia Sehat (PBI-PIS) jumlahnya terbatas, tidak lebih dari 100 juta jiwa, dengan kualitas layanan pas-pasan. Dan masih banyak diantara mereka tidak menerima program subsidi tersebut karena tingginya tingkat kesalahan (inclusion dan exclusion errors) dalam penetapan penerima bantuan. Tidak sedikit pula pemegang kartu PIS yang tidak dapat memanfaatkan layanan BPJS Kesehatan akibat proses yang bertele tele dan rumit.   Dus, pemerintahan Jokowi tidak saja mengingkari hak setiap warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan tanpa dipungut biaya (azas universalitas), sesuai amanat konstitusi tetapi juga memeras dan menghukum mereka dengan mencabut hak-hak konstitusional lainnya. Pelayanan publik adalah hak dasar setiap warga negara yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. Jika tidak bisa dipenuhi, maka sesungguhnya Indonesia telah menjadi negara gagal. (*)

TNI dan Kerancuan Politik Negara (1)

Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembaga bi-kameral. Oleh: Ir. Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila PRESIDEN Joko Widodo menegaskan kepada prajurit Tentara Nasional Indonesi (TNI) agar mendukung kebijakan Politik Negara dan tidak melakukan politik praktis. Rupanya ada kegusaran presiden terhadap TNI. Bukankah di dalam UUD amandemen sudah ada pasal yang mendudukkan presiden sebagai penguasa tertinggi di TNI? Tetapi, tidak seperti biasanya, Presiden seperti ngegas di Rapat Pimpinan TNI dan Polri di Jakarta, Selasa 1 Maret 2022. Pesan Presiden kepada jajaran TNI dan Polri jangan mengundang penceramah radikal, harus menguasai teknologi digital, tidak ikut berdebat soal perpindahan Ibu Kota Negara (IKN), dan disiplin tinggi karena di TNI Polri tak ada demokrasi. UUD Amandemen Pasal 10: “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara”. Bukankah dengan kekuasaan tersebut Presiden mempunyai kekuasaan penuh? Presiden juga menegaskan: Politik TNI adalah politik negara. TNI berpijak pada kebijakan negara. Semua yang dilakukan negara adalah untuk rakyat, kata Presiden Jokowi saat memberikan pengarahan pada pembukaan Rapat Pimpinan (Rapim) TNI 2022, di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur. Menurut Kepala Negara, rantai komando di tubuh TNI hanya satu. Tegak lurus, loyalitas dan ketaatan hanya kepada Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI. Sejak amandemen UUD 1945 memang tidak ada kejelasan terhadap Presiden sebagai Kepala Negara. Indonesia adalah negara hukum. Fungsi Presiden sebagai Kepala Negara tidak ada satu pasal pun di dalam batang tubuh UUD hasil amandemen! Tentu ini menjadi tanda tanya besar: apakah ini sebuah keteledoran para pengamandemen? Tentu saja ini akan berbuntut panjang jika ada yang mempersoalkan, sebab fungsi Presiden dalam penguasaan TNI adalah sebagai Kepala Negara. Maka politik yang dijalankan adalah politik negara. Lagi-lagi kita bertanya-tanya apakah politik negara itu? Apa dan bagaimana keterukurannya? Apakah TNI bisa membedakan mana politik negara dan mana yang bukan? Amandemen UUD 1945 tanpa disadari juga memporak porandakan Politik Negara. Politik Negara di dalam UUD 1945 naskah asli sangat jelas dan terukur dan dituangkan oleh MPR di dalam GBHN, dan Presiden pun harus menjalankan politik negara yang tertuang di dalam GBHN. Maka jika Presiden menyimpang dari GBHN, Presiden bisa dimakzulkan  (diturunkan). Oleh karena Presiden adalah Mandataris MPR, maka di dalam menjalankan pemerintahannya, Presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri maupun politik kelompoknya. GBHN adalah politik negara yang sangat terinci dan terukur, sehingga TNI akan berpedoman kepada GBHN dalam menjalankan tugasnya. Jelas tugasnya menjalankan dan mengamankan politik Negara, sebab GBHN adalah sebuah keputusan Negara yang disusun oleh seluruh elemen bangsa. Menjadi sebuah pertanyaan besar sekarang ini: apakah politik negara itu? Apakah realisasi janji-janji politik Presiden adalah politik Negara? Apakah keputusan pembangunan infrastruktur dengan model B to B yang dilakukan BUMN Indonesia dengan BUMN Negara asing adalah poltik negara? Apakah pertarungan politik di DPR dengan saling menelanjangi soal Freeport adalah politik negara? Apakah keputusan Menteri ESDM dengan memberi ijin Freeport untuk eksport konsentrat (walau itu melanggar UU Minerba) adalah keputusan negara? Dan, apakah pungutan ‘dana ketahanan energi’ di dalam penjualan per liter BBM adalah juga politik Negara? Di mana sebenarnya politik negara itu? Jika kita buka UU TNI dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI pasal 7 ayat (1), Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Kalau kita mendalami UU TNI dalam pasal 7 ayat 1 ini maka timbul sebuah pertanyaan besar bagi kita yang mendalami UUD 1945, pertanyaan yang sangat kritis adalah apakah UUD Amandemen masih bisa dikatakan UUD 1945, mengapa? Sebab secara sistematika sudah berbeda dengan UUD 1945 naskah asli terdiri dari Pembukaan, Batang tubuh, Penjelasan, sedang UUD Amandemen telah menghilangkan sistematikanya, juga UUD amandemen telah berubah 300% dari UUD 1945 naskah asli. Perubahan pasal 1 ayat 2 adalah perubahan terhadap aliran pemikiran Pancasila. Apakah aliran pemikiran itu? Sejak perjuangan para pendiri bangsa telah menyatukan sebuah tekad yang menjadi alat bersama yaitu anti terhadap penjajahan, bahkan di dalam pembukaan UUD 1945 ditulis dengan jelas bahwa penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan maka penjajahan di muka bumi harus dihapuskan. Penjajahan ada karena adanya imperalisme dan kolonialisme yang bersumber dari kapitalisme liberalisme. Semua ini lahir dari individualisme. Rupanya kita semua tidak memahami apa arti penjajahan itu, maka para pendiri bangsa ini telah merancang negerinya dengan aliran pemikiran anti penjajahan yaitu kolektivisme, kebersamaan, gotongroyong, dan Pancasila sebagai antitesis dari bentuk penjajahan. Diamandemennya Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 sesunguhnya merubah aliran pemikiran dari kolektivisme, kebersamaan, kekeluargaan, musyawarah mufakat, Pancasila dengan sistem MPR, diubah menjadi individualisme, liberalisme, kapitalisme, kalah menang, banyak-banyakan suara, kuat-kuatan dengan sistem presidensial. Marilah kita kutib tesis Prof Noto Negoro di dalam Sidang Senat Guru Besar Universitas Gajah Mada dalam sponsor pemberian gelar Doctor Honorriscausa pada Presiden Soekarno … ”Daripada asas politik Negara, bahwa Negara Indonesia “terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia jang berkedaulatan rakjat”, jang ditentukan dalam Pembukaan, udjud pelaksanaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 1 ajat (1), bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, dan pasal 1 ajat (2), bahwa kedaulatan rakjat dilakukan sepenuhnja oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat. Adapun tudjuan Negara, tertjantum dalam Pembukaan, jang nasional (“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah serta memadjukan kesedjahteraan umum dan mentjerdaskan kehidupan bangsa”), pendjelmaannya objektif adalah sebagai di bawah ini. Pertama-tama terkandung djuga dalam pendjelmaan daripada asas kerohanian dan asas politik Negara sebagaimana dimaksudkan di atas, karena kedua asas Negara itu memang dikehendaki untuk mewujudkan atau mentjapai tudjuan Negara. Lain daripada itu terutama untuk tudjuan Negara jang negatif, jaitu keselamatan bangsa dan Negara atau perdamaian, pendjelmaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam Bab IX tentang kekuasaan kehakiman (pasal 24 dan 25) dan Bab XII tentang Pertahanan Negara (pasal 30) serta kekuasaan Presiden dalam pasal 14 untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, dalam pasal 10 atas Angkatan Perag, dalam pasal 11 untuk menjatakan perang, membuat perdamaian dan perdjandjian dengan Negara lain, dan dalam pasal 12 untuk menjatakan keadaan bahaja…” NKRI dengan UUD 1945 naskah asli menganut sistem MPR adalah sistem sendiri, bukan sistem Presidensial. Banyak yang tidak mengetahui mengapa pendiri bangsa ini memilih sistem sendiri, bukan sistem Parlementer maupun sistem Presidensial seperti sekarang. Marilah kita buka dokumen BPUPKI, PPKI untuk bisa mengerti mengapa para pendiri bangsa ini memilih sistem sendiri dalam menentukan sistem bernegara…” Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli 1945 BPUPK dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi sosial, ekonomi dan geografis yang amat kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembaga bi-kameral. Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial. (Bersambung)

Bersyukur Ade Armando, Bukan Anzorov yang Mengeksekusi

Oleh Ady Amar - Kolumnis RADIKAL keluar dari makna sebenarnya. Radikal menjadi kata yang distigma negatif pada kelompok tertentu. Dimaknai kekerasan, dan itu negatif. Istilah radikal terus dimunculkan, tanpa perlu melihat latar belakang mengapa sikap radikal itu muncul. Kekerasan yang disebut radikal itu tidak serta merta muncul begitu saja tanpa sebab. Menjadi radikal, itu ada pemicunya, yang menyebabkan tindakan kekerasan itu muncul. Tapi selalu saja yang dilihat cuma tindak kekerasan, tanpa melihat pemicunya. Radikal dikonotasikan pada seseorang, lebih khusus muslim, dengan istilah sumbu pendek. Menyelesaikan persoalan dengan kekerasan. Itu jika menyangkut keyakinanya diusik, dinodai, dilecehkan. Menyelesaikan dengan tangannya, artinya dengan kekuatannya. Dan itu kekerasan yang tak terbayangkan. Keyakinan yang diyakini lebih berharga untuk dijaga daripada kecintaan pada diri sendiri. Maka, sikap radikal menjadi sulit dinalar. Ia muncul tanpa penghalang nalar. Ia lakukan sebagai pembelaan pada apa yang diyakininya. Resiko yang akan dihadapi sudah tidak lagi dipikirkan. Bersikap keras jika keyakinannya coba dilecehkan-dinodai. Maka, tindak kekerasan atas nama agama, yang muncul di manapun, itu semacam respon pembelaan atas keyakinan. Kasus penyerangan terhadap Ade Armando--jika itu bukan rekyasa pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk maksud-maksud tertentu--itu pastilah ada pemicunya. Punya latar belakang peristiwa, sehingga Ade Armando dibuat babak belur, dihajar ramai-ramai. Dipermalukan dengan ditelanjangi segala. Nalar sempit tidak mungkin bisa menilai tindakan, yang kawan-kawan Ade Armando menyebutnya sebagai tindakan biadab. Kata biadab yang disematkan, itu pun tidak berdiri sendiri. Ada sebab yang menimbulkan apa yang disebut dengan biadab. Sedang yang menimbulkan biadab pastilah perbuatan biadab pula. Atau setidaknya perbuatan nista. Mengolok-olok atau menistakan agama itu biadab. Perlakuan Ade Armando dan kawan-kawannya yang melecehkan agama Islam itu patut disebut biadab. Ujaran penistaan agama, akan memunculkan tindakan balasan yang sukar dinalar. Itulah hukum kausalitas sebab akibat. Jangan hanya dilihat dari peristiwa saat itu terjadi (akibat), tanpa melihat latar belakang munculnya tindakan kekerasan (sebab). Ade Armando itu korban kekerasan yang diciptakannya sendiri. Ia seakan menantang munculnya sikap radikal untuk menghantamnya. Kasusnya dilaporkan, tapi selalu mental tanpa diproses. Ade menjadi semacam manusia terlindungi, kebal hukum. Pantas jika sikapnya jadi jumawa. Dan, \"balasan\" pada Ade Armando pada saat Aksi Demonstrasi Mahasiswa, 11 April, itu menemukan bentuknya. Pengadilan jalanan dilakukan--jika itu bukan kasus yang dibuat mereka yang terbiasa dengan permainan demikian--menemukan momen untuk mengeksekusinya, yang dianggap selama ini kebal hukum. Jika benar pelakunya itu mereka yang merasa agamanya dilecehkan, maka aksi mengeroyok Ade Armando, itu bentuk kemarahan yang sekian lama terpendam. Menemukan waktu yang tepat menghajarnya hingga babak belur. Kekerasan terhadap Ade Armando, itu bukan peristiwa tanpa sebab. Tidak berdiri sendiri. Tapi ada mens rea-nya. Maka, pada saat yang tepat kemarahan itu ditumpahkan, marah agamanya dilecehkan. Bersyukur tidak sampai nyawa Ade Armando itu melayang, layaknya begal sadis yang dihabisi warga dengan sadistis. Akan Muncul Abdullah Anzorov Ia seorang remaja, usianya baru 18 tahun. Abdullah Anzorov namanya. Sejak 6 tahun hijrah dari desa Shalazhi, Chechnya, Rusia. Sudah 12 tahun berada di Perancis. Anzorov dikenal ramah, dan tidak punya riwayat kriminal. Sehingga ia tidak perlu pengawasan sebagai imigran yang bermasalah. Ia tinggal di wilayah Eure, Evreux. Perlu menempuh perjalanan 88 km menuju kota Conflans-Sainte-Henorine. Perjalanan untuk menemui Samuel Paty, seorang Guru Sejarah. Paty sebelumnya memperlihatkan pada murid-muridnya karikatur Nabi Muhammad, yang dimuat surat kabar mingguan satire, Charlie Hebdo. Media kiri yang terbit dari Paris, Perancis. Media yang berlindung di balik kebebasan berekspresi, sehingga tampil mengobrak-abrik kohesivitas antarsesama, dan bahkan sensitivitas agama (Islam). Anzorov menemui guru itu, dan terjadilah peristiwa pemenggalan kepala. Remaja ramah itu bisa melakukan tindakan diluar nalar, itu sulit bisa dilukiskan. Ia lakukan semata membela Nabinya, Muhammad, yang dilecehkan. Dan ia melakukan perbuatan yang Barat tidak dapat memahaminya: memenggal kepala Paty. Anzorov sebelumnya pastilah tidak membaca kitab _ash-Shaarimul Maslul alaa Syaatimir Rasuul_, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dalam kitab itu tertulis pendapat semua mazhab bersepakat, siapa pun yang melecehkan Rasulullah SAW ganjarannya adalah hukuman mati. Bahkan bisa jadi mendengar nama kitab itu pun Anzorov tidak pernah apalagi membacanya. Tapi mampu menggerakkan nuraninya melakukan tindakan yang diyakini bagian dari imannya. Peristiwa ini, (16 Oktober 2020), menggegerkan jagat pemberitaan, tidak saja di Perancis, tapi juga dibelahan dunia lainnya. Bagaimana seorang remaja mampu melakukan perbuatan penghilangan nyawa, yang dianggap sadistis. Tapi bagi Anzorov, apa yang dilakukannya itu sebagai perbuatan mulia. Perbuatan yang memang seharusnya dilakukannya. Jika tidak Anzorov yang melakukan, maka dipastikan akan muncul Anzorov lain yang melakukan dengan cara lainnya. Mustahil ada pemenggalan kepala guru Paty--juga pengeroyokan pada Ade Armando--jika tidak dimulai dengan teror yang mengusik rasa keimanan? Reaksi Anzorov dan juga pengeroyok Ade Armando pastilah bukanlah teror, ia hanyalah ekspresi pembelaan atas keyakinan yang sakral, yang mustahil bisa jadi bahan olok-olok. Meski lalu dibalas dengan kekerasan diluar nalar. Teror Charlie Hebdo, dan lalu peristiwa pemenggalan guru Paty, juga dilakukan Ade Armando dan kawan-kawannya, itulah teror sebenarnya. Teror yang  mengusik kemarahan umat Islam--yang tampil membela agamanya. Charlie Hebdo dengan dukungan rezim Macron, dan Ade Armando dan kawan-kawannya yang serasa kebal hukum, itu bisa disebut sama-sama hidup dalam lindungan rezim. Karenanya, pengadilan jalanan menghajar Ade Armando dilakukan saat momen memungkinkan. Tidak mustahil akan menyusul yang lainnya. Semua berawal dari  keadilan yang tidak ditegakkan dengan sebenarnya. Maka Anzorov-anzorov lain, bisa jadi, akan lahir di bumi pertiwi dengan varian tindakannya. Melakukan tindakan diluar nalar, yang tidak sama-sama diinginkan. Penyesalan selalu datang terlambat. (*)

Ternyata Anies Lebih Soekarnois

Meskipun direkayasa stereotif dengan framing intoleran, radikalis dan fundamentalis. Anies sejatinya seorang Soekarnois, bahkan lebih Soekarnois ketimbang yang mengaku-ngaku, mencari jabatan dan hidup mewah serta berlindung dibalik nama besar Soekarno, sekalipun dibandingkan dengan kalangan nasionalis dan marhaenis itu sendiri. Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI PENTAS politik Indonesia selama beberapa dekade tak bisa dipisahkan dari diksi wong cilik. Selain menjadi variabel penting dalam hajat politik yang berujung capaian kekuasaan. Slogan perjuangan untuk kejayaan rakyat Marhaen itu,  menjadi komoditas paling seksi dan menjual. Betapapun dalam politik praktis, keberadaannya sering tergusur, terpinggirkan dan terabaikan. Keberadaan nasib wong cilik akan terus menjadi polemik dan kontroversi menghiasi negeri, terutama disaat pemerintahan mengabaikan konstitusi dan dikuasai oligarki. Marhaenisme yang sarat historis dan ideologis, menjadi istilah yang akrab dan populer di kalangan nasionalis sekuler dan Islam Abangan. Ajaran yang digali dari pemikiran Soekarno tentang nasib petani bernama Marhaen yang ditemukan di daratan Sunda itu, tetap terjaga tak lekang oleh waktu dan silih bergantinya generasi. Melalui buku politik dan sejarah, pendidikan orang tua dan guru politik, kegiatan eksta universitas serta  otoritas penulisan sejarah oleh rezim kekuasaan tertentu. Membuat ideologi Marhaenisme yang identik dengan  Soekarnoisme itu,  seakan terus membersamai perjalanan politik negara bangsa Indonesia. Bergandengan tangan dengan aliran politik yang menjadi rival atau kompatriotnya seperti kapitalisme,   Marxisme dan bahkan dengan Islam yang  sering pasang surut hubungannya dan kerap berseberangan. Secara empirik, ideologi Marhaen dan penganutnya yang lebih kental disebut dengan kalangan Soekarnois. Secara sistem nilai dan praksis, belum menjadi implementatif  baik pada tataran kebijakan maupun regulasinya. Meskipun terminologi Marhaen secara esensi dan substansi sangat equivalen dengan rakyat jelata, situasi dan kondisi masyarakat yang penekanannya lebih digambarkan miskin, lemah dan tak berdaya. Seperti yang digambarkan Soekarno, Marhaen adalah petani yang hidupnya serba kekurangan bekerja di sawah,  meski dia mempunyai alat-alat produksi sendiri seperti cangkul, arit untuk memotong padi dll. Marhaen berbeda dengan kaum proletar sebagai buruh pekerja pabrik di negara-negara eropa, yang hanya punya tenaga dan keringat  dari badan atau fisik semata. Mungkin inilah yang menjadi pemikiran dan mengilhami Soekarno mencetuskan   Marhaenisme, bahwasanya petani dan para pekerja buruh lainnya,  harus hidup layak dan sejahtera. Sebagai sokoguru revolusi Indonesia, petani buruh dan nelayan merupakan pemilik sah republik, harus memiliki hak dan berdaulat penuh atas negara, terutama  dalam soal pekerjaan dan menafkahi keluarga,  untuk memenuhi kemamuran dan keadilan seperti apa yang telah diamanatkan koleh cita-cita kemerdekaan,  begitu tegas Soekarno. Namun apa yang sesungguhnya terjadi, kaum Marhaen di Indonesia justru lebih sering menjadi korban eksploitasi dari pemilik modal dan  mesin-mesin produksi dari industri yang dikuasainya. Marhaen cuma diperas tenaga dan jiwanya, oleh kapitalisme yang jejaringnya kuat menopang liberalisasi dan sekulerisasi. Rakyat kecil dan tak berpunya lebih sering pasrah menerima pekerjaan sebagai skrup-skrup kapitalisme, menerima upah kecil dari industri besar, hidup berdampingan dengan kemiskinan dan serba kekurangan serta terseok-seok sekedar mempertahankan hidup. Rakyat menjadi pijakan dan memikul beban berat dari pesta-pora borjuasi korporasi dan birokrasi. Sementara para pemilik modal, birokrat dan politisi bersatu bersekongkol jahat mewujud oligarki, sebuah wajah baru dari sifat lama kapitalisme yang sejatinya menjalankan imperialisme dan kolonialisme modern. Para taipan atau cukong bergenetik asing dan aseng itu, berhasil menjadikan para birokrat dan politisi serta kebanyakan  \'stage holder\' menjadi budak oligarki. Berjamaah dan bersekutu melampiaskan hawa nafsu  mengejar materi yang menggerakkan sistem sosial,   menguasai sumber daya alam dan menaklukkan manusia lainnya. Melahirkan watak dan karakter imperium yang terstruktur dan sistemik. Hasilnya, untuk berabad-abad lamanya di negeri ini, hanya ada kerusakan, ketimpangan dan ketidakadilan. Segelintir orang menguasai hajat hidup orang banyak. Kekayaan alam yang berlimpah dimiliki sekelompok orang. Indonesia tak ubahnya memasuki fragmen distorsi konstitusi dan kekuasaan. Negara kaya dalam cengkeraman  kemiskinan, mayoritas rakyatnya beragama dan menganut Pancasila namun dalam represi, penindasan dan penderitaan  berkepanjangan. Hidup sebagai bangsa yang besar tapi kerdil jiwanya, beragama tapi tak Bertuhan dan menjadi manusia yang tak manusiawi. Anies Anak Ideologis Soekarno Saat populasi wong cilik hanya sebatas retorik, agitasi dan propaganda. Kemudian menjadi alat efektif yang murah dan menjangkau luas untuk kampanye dan menumpahkan janji. Ajaran Soekarno itu telah lama menjadi sesuatu yang uthopis dalam politik kontemporer Indonesia. Faktanya, rakyat kebanyakan termarginalkan, bahkan terus menjadi korban eksploitasi rezim kekuasaan, yang tunduk pada kepentingan global baik dari asing maupun aseng. Sebagai pemilik yang menanam benih, melahirjan dan merawat Indonesia, rakyat Marhaen atau lebih luasnya kalangan jelata dan tak berpunya, sering babak belur menjadi bulan-bulanan oligarki. Rakyat tak lagi dapat merasakan Pancasila yang mengayomi, UUD 1945 sebagai konstitusi yang berpihak dan NKRI yang melindungi. Kehidupan rakyat hanya diselimuti dan terbelenggu oleh negara yang paceklik berupa kenaikan harga semua kebutuhan dasar baik bahan pangan dan sembako berupa minyak goreng, gula daging sapi dll.,  maupun kebutuhan sumber energi seperti listrik, BBM dan gas. penderitaan rakyat semakin sempurna ketika pajak ikut naik dan praktek-praktek KKN tumbuh subur dan berkembangbiak. Di negeri ini, rakyat kecil seperti sudah di takdirkan menanggung semua kejahatan dan dosa para pemimpin dzolim yang menjadi musuh rakyatnya sendiri. Sama halnya dengan Soekarno yang menghabiskan masa mudanya dengan pengabdian terhadap bangsa dan negara. Begitupun juga dengan Anies Baswedan,  bahkan dalam dirinya memiliki darah pahlawan nasional,  dari kakeknya AR Baswedan yang merupakan kawan sejawatnya Soekarno.  Bedanya, Soekarno menghabiskan sebagian besar masa mudanya melawan kolonialisme lama, berpidato membakar massa aksi, mengalami penjara dan pembuangan disana-sini. Sedangkan Anies memulai dan memenuhi jam terbangnya dengan dunia pendidikan. Sama-sama berawal dari mahasiswa dan aktifis dalam pergerakan nasional. Baik Soekarno maupun Anies sama-sama mendedikasikan  hidupnya untuk kepentingan rakyat, negara dan bangsa. Sebagaimana telah  diberikan kepercayaan dan mandat sebagai pemangku kepentingan publik, keduanya jauh dari hiruk pikuk kesenangan dan gaya hidup mewah. Waktu  pikiran, tenaga dan seluruh jiwanya dicurahkan agar bagaimana kemerdekaan sebagai jembatan emas itu, bisa dilalui untuk mewujudkan rakyat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Mungkin terlalu banyak untuk melukiskan bagaimana seorang Soekarno dengan segala \"passion\" dan gelora jiwanya dengan segala kelebihan dan kelemahannya untuk bangsa ini. Setidaknya  dalam jaman dan generasi yang berbeda, telah ada penerusnya baik dari anak biologis maupun anak ideologisnya. Begitupun dengan Anies, meskipun bukan anak biologis Soekarno, Anies bisa dibilang memahami sekaligus memiliki kemampuan untuk merealisasikan  pemikiran dan keinginan  Soekarno serta para pendiri bangsa lainnya. Rasanya, Anies menangkap betul kontemplasi Soekarno tentang \"Aku sendiri hidup dalam kekurangan, aku tidak pernah memikirkan uang dan materi lainnya. Tapi apa salahnya aku berusaha membawa rakyatku mendayung ke pulau harapan menuju Indonesia merdeka\",  seperti itu ungkapan Soekarno yang dikisahkan Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Bahkan Soekarno terkadang harus meminjam uang atau dibelikan kawannya ketika membutuhkan keperluan sehari-hari atau sesuatu yang diinginkan, meskipun dia seorang presiden sekaligus pemimpin besar revolusi Indonesia. Anies yang banyak berkecimpung di dunia pendidikan mulai dari Indonesia Mengajar, pernah rektor Universitas Paramadina, menjadi menteri pendidikan  hingga menjabat gubernur DKI Jakarta. Hidup dalam kesederhanaan dengan mengandalkan   gaji dari profesi dosen dan mengeluti dunia akademisi. Menarik dari keduanya yang sama-sama berjuang untuk negara dan bangsanya, ditengah keterbatasan kehidupan pribadinya terutama dari sisi ekonomi. Kedua figur negarawan itu bukan pemimpin yang bergelimpahan harta,  hidup jauh dari ketergantungan pengusaha atau konglomerat yang kini dikenal sebagai oligarki. Kalau Soekarno dikenal karya fisiknya melalui jembatan Semanggi, masjid Istiqlal, stadion Gelora Bung Karno dan patung-patung kota  yang heroik. Maka Anies mengikutinya dengan menjadikan kota Jakarta sebagai kota yang cantik dan penuh estetika, menghadirkan stadion Jakarta Internasional Stadium berskala internasional yang membanggakan, membangun musium sejarah Nabi Muhammad terbesar di dunia di kawasan Ancol yang penting dan bermakna bagi umat Islam dan sirkuit Formula E yang prestisius. Dalam hal kebathinan dan kejiwaan yang mendorong semangat nasionalisme dan patriotisme. Tak kalah dengan Soekarno yang mengagumi sekaligus berani melawan kapitalisme Amerika dan kepentingan kolonialisme global lainnya. Dengan karakter  progressif revolusioner, Anies berani dengan tegas mengentikan proyek reklamasi para cukong di pantai utara Jakarta,  yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan merongrong kedaulatan negara. Anies juga giat merajut kebangsaan dengan menghidupkan  prinsip-prinsip kebhinnekaan dan kemajemukan dalam pergaulan sosial sesama anak bangsa. Soekarno dan Anies seperti dua pemimpin yang ditakdirkan hadir memenuhi panggilan sejarah. Kedua pemimpin itu seakan mengamini aksioma,  tiap pemimpin ada jamannya, tiap jaman ada pemimpinnya.  Terlepas dari behavior keduanya, menjadi dasar dan  prinsip ialah komitmen dan konsistensi Soekarno dan Anies untuk mewujudkan kehidupan rakyat Indonesia yang lebih baik lagi. Sebagai pemimpin yang taat pada konstitusi sebagaimana yang dituangkan dalam Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Ada kesadaran bahwasanya menjadi pemimpin berarti berani hidup menderita. Jalan kepemimpinan adalah jalan penderitaan. Seperti yang diungkap Buya Hamka, pemimpin yang juga kawan sejawat lainnya Soekarno. Anies memang boleh jadi tidak sekapasitas Soekarno dengan segala prestasi dan pelbagai kontroversinya. Akan tetapi perjalanan Anies masih panjang, ia bahkan bisa menoreh catatan sejarah lebih baik dan membanggakan, termasuk jika rakyat memberikan amanah sebagai presiden Indonesia seperti Soekarno. Segala terpaan isu, intrik dan fitnah yang disikapi dengan jiwa besar dan  tak menghilangkan ketenangan dan kesantunan dalam menghadapinya. Membuat Anies sedikit dari pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional dan spiritual selain kecerdasan intelektual. Itu modal fundamental dan radikal yang menandakan ada karakter humanis yang mutlak diperlukan seorang pemimpin, yang dimiliki sedikit orang. Itu saja dulu yang pentung dan mutlak di garis bawahi. Kalau bicara kinerja dan prestasi Anies, biarlah rakyat yang bicara dan menilai sendiri. Terbukti program populis untuk kebanyakan Marhaen,  seperti pembebasan PBB bagi para veteran pejuang, air minum dengan harga terjangkau, perhatian dan dukungan pada masyarakat disabilitas, penataan wajah  kota yang ramah dan penuh estetika,  pembangungan perumahan kampung Aquarium bagi masyarakat tergusur dan tertindas, memudahkan IMB rumah peribadatan dan  upaya hibah untuk kesejahteran pengurusnya,    musium Rasulullah, JIS dan in syaa Allah  sirkuit Formula E dan pelbagai kesuksesan program nasional maupun internasional lainnya, nyata bukan sekedar janji-janji  yang tak ditepati. Begitupun walau berlimpah prestasi dan penghargaan, Anies tetap rendah hati tetap bekerja cerdas dan bekerja keras serta tidak jumawa. Karena siapapun pemimpin dan pejabat, kalaupun berprestasi, itu sesuatu yang wajar dan untuk itu ia mengemban amanat memegang jabatan, terlebih begitu banyak nasib rakyat ditentukan. Seiring waktu dan proses kepemimpinannya ke depan serta keinginan rakyat luas yang menghendakinya menjadi presiden Indonesia. Ternyata Anies lebih Soekarnois. Anies mampu meneruskan semangat dan api nasionalisme dan patriotisme  Soekano yang tak pernah padam.  Ternyata Anies Lebih Soekarnois, melebihi  bahkan dari  kalangan nasionalis dan Marhaenis yang hanya pandai mengumbar kata tapi tak bisa kerja sembari berlindung dan menjual  kebesaran nama Soekarno. (*)

Seri Komunisme (6) Anak Cucu PKI

Oleh Dr. Masri Sitanggang -  Ketua Umum Gerakan Islam Pengawal NKRI ANAK cucu PKI menjadi perbincangan panas. Ini gegara Panglima TNI, Jendral Andika Perkasa,  mengunggah video di YouTube, akhir Maret lalu. Video itu berisi rekaman jalannya Rapat Koordinasi Penerimaan Prajurit TNI Tahun 2022. Yang membuat heboh adalah : anak PKI boleh  mengikuti seleksi! Reaksi pun bermunculan. Tak urung mantan Panglima ABRI Jend (Purn) Tri Sutrisno bersuara bernada “protes”. Bahkan ada yang berancana menggugat Panglima TNI.  Setidaknya ada tiga alasan mengapa isi video itu “digugat”. Pertama. Partai Komunis Indonesia (PKI) telah beberapa kali melakukan pemberontakan berdarah dan menimbulkan banyak kekacauan di seluruh wilayah Indonesia. Trauma ini sulit (setidaknya perlu waktu) untuk disembuhkan, terutama di sebahagian kalangan Umat Islam.  Sebab, umat Islam adalah korban utama keganasan PKI dan merupakan front terdepan rakyat melawan PKI.  Kedua. Sejak sekira sewindu  terakhir, berbagai indikasi menunjukkan adanya kebangkitan (PKI) komumis di negeri ini. Tidak sedikit pengamat menilai situasi sekarang mirip dengan situasi menjelang pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965. Rakyat terpecah belah karena adu domba, penistaan agama merajalela, islamofobia menghebat, persekusi dan penangkapan sejumlah tokoh dan ulama, dibenturkannya Pancasila dan agama, adanya upaya gigih menggantikan Pancasila menjadi Trisila-Ekasila, kondisi ekonomi rakyat terpuruk, harga kebutuhan pokok terus melambung dan barang-barang langka. Situasi ini membuat umat Islam sensitif dan waspada komunis. Ketiga. TNI –bersama umat Islam, adalah benteng utama dalam mempertahankan Pancasila dari rongrongan PKI. Dengan diizinkannya anak cucu PKI mengikuti seleksi, dikhawatirkan TNI akan disusupi faham komunis. Malah, telah muncul dugaan bahwa komunis sudah mampu mempengaruhi kebijakan TNI.  Tidak ada keteragan lebih lanjut dari TNI soal isi video itu. Tetapi Soleman Ponto, mantan Kepala Bais, memberi penjasalan tentang mekanisme penerimaan calon anggota TNI yang berlaku selama ini. Dikatakan, dengan serangkaian test yang dilakukan, seorang anak PKI tidak akan bisa lolos. Dia meyakinkan, bahwa yang dibolehkan Andika itu adalah mendaftar sebagai peserta seleksi penerimaan. Itu saja.  Terlepas dari perdebatan boleh tidaknya anak PKI menjadi prajurit TNI,  bagi saya, yang menarik untuk dipertanyakan adalah : Ada apa, sehingga hal yang sensitif ini dipublikasi oleh Andika ? Ini tidak lazim. Selama ini TNI termasuk instansi yang relatif tertutup,  tidak banyak berita kecuali release kegiatan seremonial.   Kalau yang dimaksud Andika adalah (sekedar) boleh mendaftar sebagai peserta seleksi – sebagamai kata Soleman Ponto, maka apa urgensinya untuk di publikasi? Tokh, yang demikian sudah berlagsung berpuluh tahun dan masyarakat pun maklum  dalam keadaan damai.   Begitu juga kalau anak cucu PKI memang dapat diterima dan bukan sekedar ikut seleksi. Seberapa penting dan mendesak masalah ini sehingga harus dipublikasi dengan cara unggah jalannya rapat di saat orang memang sedang waspada komunis? Apalagi, atmosfer Indonesia sedang hiruk pikuk  dengan sejuta persoalan  kehidupan berbangsa dan bernegara. Andika rasanya tidak mungkin tidak tahu kalau mengunggah video tersebut akan menuai respon keras dari masyarakat.  Apa yang diharapkan dari mengunggah video itu ? Tentu  jawaban yang tepat ada di Andika. Yang pasti, telah muncul protes keras dari beberapa kalangan Islam. Entahlah, apakah memang itu yang diharapkan. Siapa yang diuntungkan dari keributan soal anak cucu PKI ini? Dulu, menjelang tahun 1970, tepatnya beberapa tahun setelah G30S/PKI, beredar laporan di media asing dengan judul (kira-kira dalam bahasa Indonesia) ” Bagaimana Enam Juta Muslim Indonesia Beralih Agama ke …”. Setelah ditelusuri, ternyata yang murtad itu adalah orang-orang Islam yang terkait dengan PKI. Di masa pembersihan “sisa-sisa PKI”, tokoh-tokoh Islam tidak sempat memila-memilah keanggotaan PKI. Padahal, yang terlibat itu kebanyakan tidak faham tentang ideologi komunis. Mereka ikut PKI (atau ormas-oramas sayapnya) hanya karena, antara lain : nama besar tokoh yang diusung-usung selain Aidit; ikatan kedaerahan dan rasa senasib sepenanggungan sesama  buruh kebun transmigran zaman kolonial (contoh kasus di Sumut); terkecoh dengan propaganda PKI, misalnya Barisan Tani Indonesia (BTI, salah satu  sayap PKI) disebut sebagai Barisan Tani Islam; terdaftar sebagai penerima atau calon penerima bantuan dari PKI berupa lahan atau alat-alat pertanian; terpaksa karena penguasa di kampung tempat ia tinggal adalah PKI; dan lain lain. Yang pasti, bila ditilik siapa mereka yang terlibat itu, paling tidak 90 per sen beragama Islam.  Tetapi semua diperlakukan sama : bersihkan. Para tokoh umat lupa, bahwa senantiasa ada orang yang menangguk di air keruh, mengambil keuntungan di kekisruhan.  Mereka yang disebut terlibat, yang sebelum pecah G 30 S/PKI terbiasa datang ke mesjid, minta perlindungan ke mesjid. Tapi yang belum terbiasa, tidak berani karena tim perbersih justeru banyak dari kalangan mesjid. Maka ditampunglah oleh kelompok yang menjanjikan jalan “keselamatan”. Jadilah enam juta muslim murtad.  Para pemimpin Islam Indonesia kaget, terperangah ! Ini pukulan berat bagi gerakan Dakwah Islam di tanah air. Betapa tidak, sementara mereka bersemangat melakukan pembersihan,  pihak lain malah menjadikannya sebagai lahan missi pemurtadan. Pihak lain itu panen raya. Di masa Pemerintahan Orde Baru, anak atau cucu keturunan PKI dibatasi masuk perguruan tinggi, ditolak untuk jadi pegawai negeri,  jadi polisi atau tentara apalagi. Bahkan, pegawai negeri yang ketahuan bahwa mertuanya atau saudara kandungnya terlibat PKI, pun harus berhenti.  Keadaan ini memupuk rasa senasib, sepenanggunan dan sependeritaan sekaligus dendam di kalangan anak dan  keluarga PKI. Dengan sedikit saja sentuhan organizer, mereka bisa cepat menyatu dan solid.  Pihak organizer, oleh keluarga PKI, dijadikan tumpuan harapan dan tempat bersandar. Maka, saksikanlah bagaimana sebuah partai cilik, kurus kerempeng, tiba-tiba menjadi gemuk setelah reformasi. Mereka panen raya. Kenapa anak cucu PKI tidak masuk Partai Islam? Pertanyaan ini memang membuat sedih. Tetapi apa boleh buat, masih banyak tokoh umat, apalagi petinggi partai, yang menilai bahwa anak PKI adalah PKI. Anak seorang komunis adalah komunis dan itu adalah musuh. Jika pun tidak sampai sedemikian rupa, tetapi dalam prakteknya, Isu anak PKI dijadikan alat pemukul dalam persaingan internal partai sehingga anak PKI tidak akan pernah nyaman di Partai Islam. Kembali ke soal video Andika. Protes  sebagian kalangan Islam terhadap Andika soal anak cucu PKI ini, sesungguhnya bisa dibaca sebagai   pernyataan “bermusuhan” dengan anak cucu PKI. Atau, penegasan kembali sikap permusuhan itu : tidak ada maaf untuk anak-anak PKI. Jadi, disengaja atau tidak, video ini telah membenturkan sebagian kalangan Islam dengan keturunan PKI; menjauhkan anak cucu PKI dari dakwah Islamiyah. Entah  sampai keturunan ke berapa pula nanti ini akan berlanjut. Maka umat Islam semakin berkeping keping. Sudahlah dibentrokkan satu sama lain atas dasar organisasi, dibenturkan pula berdasarkan aliran pemikiran dan faham (seperti misalnya Aswaja dan Salafi); lalu sekarang diadu berdasarkan nasab : Islam anak santri vs Islam anak PKI.   Bagi pihak tertentu, ini jelas menguntungkan. Ini adalah bahagian dari upaya mempertahankan soliditas dan kesetiaan 16.38 persen (berpedoman pada perolehan suara PKI pada Pemilu 1955)  dari penduduk Indonesia  atau sekita 44  juta anak cucu PKI –yang nota bene 90 persen adalah beragama Islam. Di samping, tentu sja, membuat umat Islam tetap lemah karena terbelah-belah, bermusuhan satu dengan lain. \"Ikrimah bin Abu Jahal akan datang ke tengah-tengah kalian sebagai Mukmin dan Muhajir. Karena itu, janganlah kalian menghina ayahnya. Sebab memaki orang yang sudah meninggal berarti menyakiti orang yang hidup. Padahal hinaan itu tidak terdengar oleh orang yang sudah meninggal”. Begitu pesan Rasulullah saw kepada para sahabat ketika Ikrimah ingin menemui Rasullah untuk bersyahadat.  Abu Jahal adalah dedengkot kafir Quraisy yang sangat keras memusuhi Rasulullah saw. Ikrimah,  adalah putra sekaligus tangan kanan Abu Jahal dalam memerangi dan menyiksa orang-orang mukmin. Tetapi lihatlah, ketika Ikrimah menyatakan masuk Islam, Rasulullah tidak ingin ada sahabat yang mengungkit-ungkit, atau mengait-ngaitkan, kejahatan Abu Jahal di depan Ikrimah. Bahkan Rasulullah berdoa untuk kebaikan Ikrimah.  Terbukti Ikrimah memberi andil besar bagi dakwah Islamiyah. Dialah prajurit yang berteriak bagai halilintar –menyeru prajurit untuk bergabung bersamanya menjadi pasukan berani mati,  di saat tentara Islam diliputi rasa cemas karena dikepung oleh  setengah juta tentara Romawi di Yarmuk. Sampai-sampai Khalid bin Walid, Panglima Perang Tentara Islam, sangat khwatir dan langsung  mendekati Ikrimah berusaha untuk mencegah agar Ikrimah tidak mengorbankan diri. Tetapi Ikrimah berkata : \"Biarkan aku mengambil keputusan ini wahai Khalid. Engkau telah lebih dahulu melakukan banyak kebaikan bersama Rasulullah. Sedangkan Aku dan Ayahku adalah orang yang paling keras menentang Rasulullah. Biarkan Aku menebus kesalahan masa laluku. Dahulu aku memerangi Rasulullah dalam berbagai peperangan, apakah hari ini aku harus lari dari kepungan Romawi ? Hal ini tidak boleh terjadi.\" Ikrimah dengan 400 tentara Islam  berani mati menerabas kepungan hingga pasukan Romawi kocar-kacir dan berhasil dipukul mundur. Seusai perang, Ikrimah tergeleletak bersimbah darah di tengah korban yang bergelimpangan. Masih sempat bertemu Khalid bin  Walid sebelum ia menghembuskan nafas terakhinyra.  Dapatkah kita ambil pelajaran dari sepenggal sejarah ini ? Tidakkah ada keinginan menjadikan anak cucu PKI menjadi Ikrimah-Ikrimah zaman sekarang ? Atau, setidaknya, tidakkah kita mengizinkan mereka untuk mengikuti jejak Ikrimah? Sebahagian orang ada yang beralasan demi kewaspadaan dan strategi menghindari serangan pihak lain. Entahlah, apakah orang yang berkata begini lebih hebat strateginya dari pada Rasulullah saw yang menempatkan mantan musuh besar Rasullulah Umar Bin Khattab sebagai salah satu sahabat yang paling dipercaya, Khalid bik walid menjadi Panglima Perang dan Ikrimah seperti telah dikisahkan. Partai politik Islam, atau gerakan Dakwah Islamiyah, macam apa pula yang akan dibangun bila justeru menyelisihi Allah dan Rasulullah-Nya ?  “Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.” Begitu Alah mengatakan dalam Albaqarah 134 setelah di ayat sebelumnya diterangkan bagaiman Nabi Yakub mendidik anaknya dengan tauhid (sebagai contoh generasi terdahulu yang baik). Kemudian diulang pada Albaqarah 141 setelah diterangkan pada ayat sebelumnya tentang orang yang mengajak kepada keyakinan Yahudi atau Nasrani (sebagai contoh generasi terdahulu yang salah). Allah menegaskan, bahwa setiap generasi tidak dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan generasi sebelumnya (baik atau pun buruk). Anak tidak dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dikerjakan olrang tuanya.    Jika Allah saja pun tidak minta pertanggungjawaban seorang anak atas apa yang diperbuat orang tuanya, maka layakkah seorang yang mengaku beriman  menghukun sesorang karena dosa orang tuanya?  Komunisme itu paham, bukan organisasi dan bukan pula nasab. Orang bisa saja menjadi komunis tanpa harus terdaftar sebagai  anggota organisasi komunis seperti PKI,  atau tidak pula harus berasal dari keturunan orang tua komunis. Jadi, jangan salah sangka. Orang berfaham (lebih tepat berideologi) komunis bisa berada di organisasi apa saja –mulai dari organisasi sosial kemasyarakatan, profesi , keagamaan sampai organisasi partai politik. Begitu juga soal nasab, anak seorang yang alim bisa tumbuh jadi seorang komunis dan sebaliknya anak seorang komunis tidak otomatis komunis. Oleh sebab itu,  untuk mengetahui seseorang berfaham komunis atau bukan, yang perlu dilakukan adalah test mental ideologi. Bukan berdasakan keturunan.  Sikap pandang hidup seseorang (komunis atau bukan) dibentuk oleh pengajaran. Ajaran apa yang lebih intens diterima, lebih lama digeluti, lebih banyak memenuhi pikiran. Kalau itu adalah komunis, jadilah ia berpandangan komunis. Sampai ada ajaran lain yang dapat mematahkan ajaran yang menjadi pandangan hidupnya itu, barulah ia akan berubah.  Di sinilah arti penting dakwah. Mengisi secera intens pikiran dan hati manusia sehingga dipenuhi ajaran Islam. Membogkar pikiran keliru manusia (komunis) dan menggantikannya dengan ajaran Islam.  Wallhu a’lam bisshawab. Ya Allah, Zat yang menguasai segala yang ada di lagit dan di bujmi;  berilah kekuatan lahir bathin kepada anak-cucu PKI menghadapi cobaan berat ini. Ampuni kekliruan-kekeliruan kami. Satukan hati orang-orang beriman dalam kasih sayang-Mu. Mudahkan jalan bagi mereka untuk menjadi Ikrimah-Ikrimah yang akan membela dakwah yang mulia ini. Amin.  Medio April 2022

Menag Yaqut Dendam Kesumat Pada Umat Islam?

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN, Pemerhati Sosial-Politik KEBETULAN atau tidak, faktanya Menag Yaqut terus saja menjadikan umat Islam sebagai target. Beberapa hari yang lalu Kemenag mengumumkan moratorium (penghentian) pemberian izin untuk PAUD Quran (PAUDQU) dan Rumah Tahfiz Quran (RTQ). Kenapa ya Pak Yaqut seperti dendam sekali pada Islam dan umat Islam? Tampaknya, kalau tidak tiap bulan buat kebijakan anti-Islam, beliau mungkin tak bisa tidur nyenyak. Ketua MUI Prof Anwar Abbas, pertengahan Maret baru lalu, sempat menyatakan kekesalannya terhadap tindak-tanduk Yaqut. Menurut Anwar, yang direcoki Yaqut selalu Islam. Soal toa masjidlah, soal suara azan yang disamakan dengan gonggongan anjinglah, dan sekarang penghentian pemberian izin pendidikan Quran untuk anak usia dini. Juga penghentian izin rumah tahfiz. Tidak heran kalau kaum muslim menilai Yaqut sedang menjalankan agenda islamofobia. Alias, anti-Islam. Banyak orang mengatakan dia tak suka Islam. Apa iya Yaqut tak suka Islam? Kalau ditelisik rekam jejak mantan panglima Banser NU ini, ada benarnya. Dia suka kontradiksi kalau berkomentar tentang Islam atau umat Islam.  Sebaliknya, dia bangga Banser menjaga rumah ibadah non-Islam. Dia merespon dengan sepenuh hati kalau diminta ceramah di rumah ibadah non-Islam. Ini semua atas nama toleransi. Seolah-olah umat Islam selama ini tidak paham dan tidak menunjukkan toleransi. Saat ini, program andalan Yaqut adalah menghadirkan Paus Paulus ke Indonesia. Untuk apa? Anda sudah bisa tebak. Antara lain untuk menunjukkan kontradiksi tadi itu. Sekalian memperkuat pikiran islamofobik yang mungkin telah lama menumor di dalam kepalanya. Terakhir, mengapa semua ini menggumpal di benak Yaqut Cholil Qoumas? Kalau Anda ingin jawaban singkat, bisa seperti ini: bahwa Yaqut bisa jadi punya dendam kesumat pada umat Islam.[] MEDAN, 18 April 2022

Perlukah Fatwa Mati untuk Pendeta Saifudin?

Oleh  M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SEMAKIN lama diberi kebebasan di Amerika Saifudin Ibrahim alias Abraham ben Moses semakin ngawur dan gila. Omongan pendeta abal-abal ini semakin tidak terkendali. Terakhir dia ngoceh soal Puasa Ramadhan yang katanya ngaco begitu juga dengan wanita haid yang boleh tidak puasa. Ngaco juga menurutnya.  Kepolisian Republik Indonesia yang sudah menetapkan status Tersangka dan telah membuat Red Notice atas orang buronan ini (DPO) diharapkan untuk segera dapat menangkap dan memproses hukum dengan bantuan Interpol. Semakin cepat semakin baik.  Di tengah stress dirinya ia masih sempat berteriak-teriak menyerang keyakinan umat Islam. Dari sisi manapun apakah sosial, politik, budaya, atau keagamaan itu sendiri pernyataan bahwa puasa ramadhan dan larangan puasa wanita haid itu ngaco, merupakan pernyataan yang salah, tidak berdasar, dan sangat menistakan.  Saifudin menjadi contoh dalalam Al Qur\'an sebagai wujud syetan dari kalangan insan. Atas ocehan Saifudin kita harus berlindung kepada Allah dan segera menindak atau menghukumnya. Desakan kepada Kepolisian adalah hal yang wajar. Pendeta palsu ini harus dihentikan kebebasannya.  Bila terus saja ia menghinakan agama Islam, maka lembaga keumatan di Indonesia harus segera bertindak. MUI dan atau organisasi keagamaan Islam lainnya segera mengeluarkan Fatwa Mati atas Saifudin Ibrahim. Umat Islam sedunia khususnya yang ada di Amerika akan ikut membantu meringkus penjahat ini. Fatwa Mati adalah kekuatan moral bagi kepedulian umat Islam dimanapun mereka berada.  Ia mulai mencari perlindungan dengan menjilat Jokowi. Dia yakin akan bebas hukum. Dalam kaitan aksi-aksi menolak penundaan Pemilu dan perpanjangan 3 periode Abraham menyatakan \"Jangankan tiga periode, 300 tahun juga saya dukung Jokowi\". Si Abraham ben Moses ini memuji Jokowi sambil menonjok SBY dengan memfitnah bahwa di masa kepemimpinannya rakyat itu susah. Belajar jadi buzzer pula  si kunyuk ini.  Ruang gerak dan kebebasan Saifudin harus dipersempit. Menjengkelkan sekali  mendengar omongannya. Kemenhukham beribu alasan tidak memblokir akun Saifudin, sementara Interpol belum jelas progres penangkapannya. Untuk kepentingan publik kiranya Kepolisian Republik Indonesia menjelaskan tahapan dan upaya penangkapan tersangka DPO Saifudin Ibrahim alias Abraham Moses tersebut.  Nampaknya Fatwa Mati mungkin bisa menolong.  Bandung, 18 April 2022

Skenario Dadakan Menjerat Anies

 Oleh Yarifai Mappeaty - Pemerhati masalah sosial politik, tinggal di Makassar. Ade, begitu Ade Armando disapa, kini masih terbaring di rumah sakit, sebagai akibat pengeroyokan yang dialaminya pada 11 April 2022 lalu, pada aksi demonstrasi mahasiswa menentang penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode. Mari do’akan agar lekas sembuh.   Peristiwa itu sudah berlalu sepekan. Tetapi masih tetap saja ada yang tertinggal, tak kunjung berlalu dari benak kita. Yaitu, adanya upaya paksa untuk mencoba mengaitkan Anies Baswedan dengan kasus pemukulan Ade. Hal itu coba dilakukan oleh sekelompok kecil orang yang sangat membenci Anies.  Bermula ketika Ade hadir di tengah-tengah massa demonstrasi di depan gedung MPR/DPR Senayan untuk memberi dukungan, katanya. Tetapi, alih-alih memberi dukungan, Ade malah mengumbar narasi perpecahan yang terjadi di kalangan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI). Coba simak lagi wawancaranya, bagaimana ia memulai mengangkat narasi perpecahan itu, kemudian terus diulang-ulang dengan wajah yang tampak sangat prihatin. Tak heran kalau banyak yang lantas curiga bahwa misi Ade sebenarnya, jangan-jangan bukan hadir memberi dukungan, tetapi justeru untuk melemahkan, bahkan untuk mematikan perjuangan mahasiswa.  Mungkinkah kecurigaan itu masuk akal? Mungkin saja. Sebab, dibolak-balik bagaimanapun, Ade  tetap saja  dikenal sebagai buzzer istana. Bahkan dimandi tujuh samudera sekalipun, tak lantas membuat publik percaya bahwa Ade punya agenda yang berbeda dengan rezim Jokowi. Bagaimana mungkin Ade tiba-tiba berseberangan? Kira-kira begitu yang ada di benak publik kala itu. Terbukti, saat melakukan wawancara, ia diteriaki oleh massa. Antara lain,  emak-emak, yang kemudian diduga men-trigger terjadinya pemukulan terhadap dirinya. Apa yang terjadi selanjutnya? Seperti yang kita saksikan, Ade babak belur dikeroyok sampai nyaris telanjang. Beruntung masih ada sempak hitam yang tampak sudah melorot di bawah pinggang menutupi, sehingga rahasia kelelakiannya tidak terkuak dengan sempurna. Tak lama berselang setelah Ade dibawa pergi, muncullah skenario dadakan untuk menjerat Anies sebagai sosok di balik pengeroyokan Ade. Mula-mula beredar screen shoot yang berisi ajakan mengeroyok Ade yang bersumber dari grup whatsapp “Nusantara 98”.  Belakangan diketahui bahwa chat provokasi itu berasal dari nomor milik seorang bernama Ari Supit. Benar saja, semenjak itu terbangun opini bahwa pengeroyokan Ade, tidak terjadi secara insidentil, tetapi direncanakan oleh pihak tertentu. Hanya masalahnya, mengaitkan grup whatsapp “Nusantara 98” dengan Anies, sangat sulit dicarikan pembenarannya. No enggagement. Apa lagi dengan sosok Ari Supit yang ternyata pernah bekerja di istana, jelas-jelas bukan sosok yang pro Anies. Sehingga mem-framming Anies sebagai sosok dibalik pengeroyokan Ade dengan modus ini, sangat tidak logis alias jauh panggang dari api. Kalau begitu ganti modus. Buat grup whatsapp yang tampak memiliki keterkaitan langsung dengan Anies. Tak lama, beredarlah screen shoot yang bersumber dari grup whatsapp “Relawan Anies Apik 4”. Chat provokasinya persis sama seperti di grup whatsapp Nusantara 98. Tetapi dasar amatiran yang konyol. Kenapa chat provokasinya tidak dibuat berbeda, ha?! Editlah sedikit sehingga tidak persis sama. Dengan begitu publik tidak curiga kalau semua itu diskenario oleh kelompok yang sama. Siapa? Yah, sekelompok kecil orang yang tak pernah berhenti untuk mencelakai Anies. Namun tak kurang amatirnya adalah Grace Natalie yang membangun premis dari kekonyolan itu. Relawan Anies Apik 4 adalah pendukung Anies Baswedan. Sedangkan anggota Relawan Anies Apik 4 terlibat dalam pengeroyokan Ade.  Dengan premis itu, dengan diksi yang bertenaga, ia berusaha mem-framming Anies Baswedan berada di balik pengeroyokan Ade. Sungguh tendensius dan terlalu bernafsu mengait-ngaitkan Anies dengan babak belurnya Ade Armando.  Saya menyebut Grace Natalie tendensius karena ia tidak fair. Mestinya juga ia menyoroti habis-habisan grup whatsap Nusantara 98. Terlebih pada sosok Ari Supit yang diketahui pernah bekerja sebagai asisten staf khusus presiden (IDN Times). Jelasnya, sosok ini punya akses di istana. Sekali lagi, mengapa Grace Natalie tak melakukannya? Bahkan, belakangan Grace Natalie menolak mengakui frammingnya terhadap Anies. Apakah ia takut dilaporkan ke polisi? Karena mungkin ia menyadari kalau kali ini, pada situasi seperti ini, dirinyapun tak kebal hukum. Yang pasti, chat provokasi yang beredar setelah peristiwa pengeroyokan Ade Armando terjadi, menunjukkan sebuah bukti kuat adanya skenario jahat yang dibuat secara mendadak untuk mencelakai Anies. Makassar, 18 April 2022

Indonesia Kehilangan Ideologi Pancasila

Tidak ada artinya Bung Karno, Bung Hatta sebagai Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia manakala UUD 1945 sudah diganti dengan UUD 2002 yang tidak ada kaitannya dengan Proklamasi dan Pancasila. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila MASIH ingat dalam pikiran penulis ketika Ketua MPR akan menggalakkan Penataran 4 Pilar Kebangsaan untuk menangkal isu ideologi Transnasional Khilafah. Begitu semangatnya ketika isu ideologi transnasional yang mereka tunjuk Khilafah. Yang lebih aneh ideologi transnasional itu hanya Khilafah. Padahal negara ini sejak diamandemennya UUD 1945 telah mengganti ideologi negara Pancasila dengan ideologi transnasional Individualisme, Liberalisme, dan Kapitalisme. Tapi penguasa dan elit politik gak ribut, nyaman-nyaman saja dengan ideologi transnasional tersebut. Ketua MPR gak menggebu-gebu untuk melakukan Penataran 4 Pilar Kebangsaan. Ada hal yang kurang mendapat perhatian kita semua sebagai anak bangsa tentang sistem negara berideologi Pancasila dengan negara yang berideologi liberalisme kapitalisme hasil amandemen UUD 1945. Saat Amandemen UUD 1945 banyak rakyat tidak mengetahui sesungguhnya amandemen yang telah dilakukan sejak tahun 2002 telah mengubah negara Proklamasi 17 Agustus 1945, dari negara berdasarkan Pancasila menjadi negara yang berdasar liberalisme, kapitalisme. Ternyata amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945 berimplikasi pada perubahan sistem ketatanegaraan, berubahnya negara berideologi Pancasila menjadi sistem Presidensial yang dasarnya individualisme, liberalisme, dan kapitalisme. Kita perlu membedah perbedaan negara bersistem MPR berideologi Pancasila dan Negara dengan sistem Presidensial berideologi individualisme, liberalisme, kapitalisme agar kita semua paham dan mengerti telah terjadi penyimpangan terhadap ideologi Pancasila. Sistem MPR adalah kolektivisme, kekeluargaan, basisnya elemen rakyat yang duduk sebagai anggota MPR yang disebut Golongan Politik diwakili oleh DPR, sedang Golongan Fungsional diwakili Utusan Golongan-golongan dan Utusan Daerah. Tugasnya merumuskan politik rakyat yang disebut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Setelah GBHN terbentuk barulah dipilih Presiden untuk menjalankan GBHN. Oleh sebab itu, presiden adalah mandataris MPR. Dan Presiden di masa akhir jabatannya mempertangungjawabkan GBHN yang sudah dijalankan. Presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri atau politik golongannya apa lagi Presiden sebagai petugas partai, seperti di negara komunis. Demokrasi berdasarkan Pancasila adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan. Pemilihan Presiden dilakukan dengan permusyawaratan perwakilan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan, artinya tidak semua orang bisa bermusyawarah yang dipimpin oleh bil hikmah. Hanya para pemimpin yang punya ilmu yang bisa bermusyawarah, karena permusyawaratan bukan kalah menang bukan pertarungan tetapi memilih yang terbaik dari yang baik. Pemilihan didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan, nilai persatuan Indonesia, Permusyawaratan perwakilan yang bertujuan untuk Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan semua hasil itu semata-mata untuk mencari ridho Allah atas dasar Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Perbedaan Ideologi Sistem presidensial basisnya Individualisme. Maka kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara, kuat-kuatan, pertarungan, dan kalah-menang. Yang menang mayoritas dan yang kalah minoritas. Demokrasi dengan cara-cara liberal, kapitalis, membutuhkan biaya yang besar menguras dana rakyat untuk tahun 2024 dibutuhkan 110,4 triliunan rupiah untuk memilih pemimpin pilkada, pileg, dan pilpres. Dengan sistem pemilu yang serba uang bisa kita tebak maka menghasilkan para koruptor, hampir 80% kepala daerah terlibat korupsi, dan yang lebih miris korupsi seperti hal yang lumrah di negeri ini. Begitu pula petugas KPU-nya, juga bagian dari sistem korup, kecurangan bagian dari strategi pemilu. Demokrasi bisa dibeli geser-mengeser caleg, memindakan suara adalah bagian dari permainan KPU. Ini bukan isapan jempol bukannya sudah dua anggota Komisioner KPU yang dipecat karena terlibat permaian uang. Dalam sistem Presidensial, Presiden yang menang melantik dirinya sendiri dan menjalankan janji-janji kampanyenya. Kalau tidak ditepati janjinya ya harap maklum. Artinya di akhir masa jabatan presiden bisa tidak mempertangung-jawabkan kekuasaannya. Bagaimana sistem presidensial ini mampu menggulung ideologi Pancasila, sementara BPIP mencoba bermain-main dengan ideologi Pancasila yang disetubuhkan dengan individualisme, liberalisme, kapitalisme entah apa yang ada di pikiran Megawati Soekarnoputri dan punggawa di BPIP, sudah jelas mana mungkin keadilan sosial diletakan pada sistem liberalisme kapitalisme jelas bertentangan dengan Pancasila. Bukankah Pancasila itu antitesis dari individualisme, liberalisme, kapitalisme? Para elit politik dan Pemerintah serta para pengamandemen UUD 1945 telah mengkhianati ajaran Pancasila sebagai prinsip berbangsa dan bernegara. Mari kita resapi apa yang telah diuraikan oleh para pelaku sejarah pembentukan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar bernegara. Jadi, mengganti rumusan Pancasila yang ada di RUU HIP bisa dikatakan tindakan makar. Sebab dengan sengaja Pancasila diubah, diperas-peras menjadi Trisila, Eka Sila, dan Gotong Royong. Ini sudah masuk delik makar! Bagi yang paham Tata Negara pasti mengerti istilah “die Stuferordnung der Recht Normen” oleh Hans Nawaisky, yaitu hirarki susunan suatu aturan: 1. Staatsfundamental norm; 2. Staatsgrundgesetz Formell gesetz; 3. Formal Gesetz; 4. Verordnung & Autonome Satzung. (1) Staatsfundamental norm adalah norma fundamental suatu negara dan Indonesia mempunyai Pancasila. Yang namanya fundamental tak boleh diubah… mengubah sama artinya meruntuhkan negara tersebut. (2) Staatsgrundgesetz adalah konstitusi suatu negara, dalam hal ini UUD 1945. (3) Formal Gesetz adalah Hukum Formil dalam bentuk Undang-Undang. (4) Verordnurn adalah Aturan Pelaksana dari Undang-Undang. Dan kita tahu tupoksi DPR dan Presiden hanya membentuk UU, tidak bisa membentuk UUD 1945, apalagi mengubah Staats Fundamental Norm yaitu Pancasila. Dengan demikian maka RUU HIP yang materinya dapat disimpulkan berupaya mereduksi dan mengubah sila Pancasila, secara tak langsung dapat dianggap sebagai bentuk makar pada Pancasila. Hans Kelsen berkata “suatu norma tidaklah berlaku bila dibuat bukan oleh lembaga yang tidak berwenang”. Jelas upaya mengubah Pancasila sekalipun dengan kamuflase RUU Haluan Ideologi Pancasila dapat dikatagorikan sebagai upaya mengubah Dasar Negara agar terkesan legal, dan mengubah Dasar Negara bisa dipidana. Pelanggaran hukum yang terjadi adalah (bukan) mendefinisikan Pancasila tapi membuat norma baru bernama Trisila, Ekasila, dan Gotong royong. Berdasarkan kepada ide-ide yang dikemukakan oleh berbagai anggota dalam kedua sidang paripurna Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan (BPUPKI). Kemerdekaan Indonesia itu tersusunlah Pembukaan UUD 1945, di mana tertera lima azas kehidupan bangsa Indonesia yang terkenal sebagai Pancasila. Pembukaan UUD 1945 itu adalah pokok pangkal dari perumusan pasal-pasal berturut-turut dalam 16 (enambelas) Bab, 37 pasal saja ditambah dengan Aturan Peralihan, terdiri dari 4 (empat) pasal dan Aturan Tambahan. Berhubung dengan masih berkecamuknya Perang Pasifik atau pada waktu itu disebut Perang Asia Timur Raya, karena telah tercapai mufakat bahwa UUD 1945 didasarkan atas sistim kekeluargaan maka segala pasal-pasal itu diselaraskan dengan sistim itu. Negara Indonesia bersifat kekeluargaan, tidak saja hidup kekeluargaan ke dalam, akan tetapi juga keluar, sehingga politik luar Negeri Indonesia harus ditujukan kepada melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan segala bangsa, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi segala bangsa. Oleh sebab itu politik luar negeri adalah non block , bukan block China negara komunis. Ketetapan MPR XXV Tahun 1966 melarang ajaran komunis kok partai politik mengirim kadernya pada partai komunis China, jelas ini adalah pelanggaran terhadap Tap MPR XXV Tahun 1966. Jadi jelas amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan oleh elit politik dan dijalankan sampai sekarang merupakan pengkhianatan terhadap Pancasila, terhadap negara Proklamasi dan terhadap para pendiri bangsa. Tidak ada artinya Bung Karno, Bung Hatta sebagai Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia manakala UUD 1945 sudah diganti dengan UUD 2002 yang tidak ada kaitannya dengan Proklamasi dan Pancasila. Banyak yang tidak sadar bahwa ideologi negara Pancasila telah diganti dengan ideologi transnasional individualisme, liberalisme, dan kapitalisme. Untuk memperdalam kajian ideologi Pancasila tentu kita harus mengerti apa itu hakekat, sifat, tujuan, dan tugas negara di dalam ketatanegaraan. Dengan mengerti hal tersebut, maka kita menjadi paham apa itu ideologi Pancasila. Cuplikan Tesis Prof Dr Noto Nagoro “Soal Sifat Manusia Sebagai Dasar Kenegaraan”. Di dalam pembukaan terdapat unsur-unsur yang dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam hal soal-soal pokok itu. Pembukaan mulai dengan pernyataan “bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Hak akan kemerdekaan yang dimaksudkan adalah daripada segala bangsa, bukannya hak kemerdekaan daripada individu, dan untuk mempertanggung-jawabkannya lebih landjut, bahwa “pendjadjahan di atas dunia harus dihapuskan” juga bukan hak kemerdekaan individu yang dipergunakan sebagai dasar, akan tetapi “perikemanusiaan dan perikeadilan”, kedua-duanya pengertian dalam arti abstrak dan hakekat. Jangan sekali-kali lalu timbul anggapan, bahwa di dalam pernyataan hak kemerdekaan bangsa daripada pembukaan itu tidak ada tempat bagi hak kebebasan perseorangan. Tidak demikian halnya, akan tetapi perseorangan ditempatkan dalam hubungannya dengan bangsa, dalam kedudukannya sebagai anggota bangsa dan sebagai manusia dalam kedudukannya spesimen atas dasar atau dalam lingkungan jenisnya (genus), ialah “perikemanusiaan”. Sebaliknya bukan maksudnya juga untuk menyatakan bahwa perseorangan adalah seolah-olah anggota bangsa, melulu penjelmaan jenis, akan tetapi seraya itu djuga merupakan diri sendiri dan berdiri pribadi. Pemakaian “perikemanusiaan” juga sebagai alasan untuk menghapuskan penjajahan, lagipula termasuknya sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam asas kerohanian negara menunjukkan, bahwa dikehendaki untuk menjadikan unsur kesesuaian dengan hakekat manusia itu sebagai pokok sendi bagi negara, dan hakekat manusia adalah makhluk yang bersusun dalam sifatnya, ialah individu dan makhluk sosial kedua-duannja. Terkandung di dalam unsur-unsur pembukaan itu tidak hanja hal negara didasarkan atas pokok pikiran bersendi pada dan terdiri atas manusia yang mempunjai sifat individu dan makhluk sosial kedua-duanya, akan tetapi djuga tidak menitikberatkan kepada salah satunya. Yang dikehendaki bukan negara yang bersusun individualistis, atomistis, mechanis atau sebaliknya negara yang bersusun kolektif atau organis, sebagai kesatuan total yang menyampingkan diri daripada manusia perseorangan. Akan tetapi yang dimaksud ialah negara yang bersusun dwi-tunggal, kedua-duanja sifat manusia sebagai individu dan makhuk sosial terpakai sebagai dasar yang sama kedudukannya. Pentingnya arti daripada soal sifat manusia dalam hal merupakan dasar kenegaraan, tidak perlu dipertanggungjawabkan lagi, sebagaimana diketahui sudah menjadi pendapat umum, bahwa itu mempunjai arti yang menentukan dalam hal-hal pokok kenegaraan, sepertinja sudah disinggung-singgung di atas tadi menentukan hakekat, sifat daripada negara sendiri, djuga menentukan susunan, tujuan dan tugas bekerjanya negara, kedudukan warga negara dalam negara dan hubungannya dengan negara, begitu pula susunan pemerintahan negara. Kesimpulan yang didasarkan atas unsur-unsur jang terdapat dalam Pembukaan tadi, ternyata sesuai dengan dan memperoleh penegasan resmi sebagaimana dimuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II nomor 7. Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian Negara persatuan, Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi, negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara menurut pengertian “pembukaan” itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar negara jang tidak boleh dilupakan”. Selanjutnya dikatakan, bahwa “pokok yang ketiga yang terkandung dalam “pembukaan” ialah Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakjatan dan permusjawaratan/perwakilan. Oleh karena itu, sistem Negara yang harus terbentuk dalam UUD harus berdasar atas kedaulatan rakyat yang berdasar atas permusyawaratan/perwakilan. Dengan dihilangkannya penjelasan UUD 1945 maka telah dihilangkannya pokok pikiran ke-3 pembukaan di mana sistem negara berdasarkan Permusyawaratan perwakilan diganti dengan banyak-banyakan suara kalah menang pertarungan banyak banyakan suara. Sehingga terjadi benturan antara Pancasila dengan ideologi transnasional individualisme, liberalisme, kapitalisme, dalam bentuk pilsung, pilkada, pilpres. Jelas bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Amandemen telah menghilangkan ideologi negara berdasarkan Pancasila .Seharus nya MPR mengatakan dengan tegas Ideologi Pancasila telah diganti dengan ideologi transnasional individualisme, liberalisme, dan kapitalisme. Bagaimana menurut Anda? (*)

IKN Baru: Mengumpan NKRI Siap Dimangsa China!

Oleh karenanya dengan rasa hormat saya kepada negara, adalah tidak bijak kita memindahkan IKN Baru ke Kaltim. Hal yang paling menyakitkan atau hal yang paling mendalam, saya tidak tahu mekanisme yang dipakai pemerintah, dan tiba-tiba Joko (wi) memerintahkan kita pindah kesana. Tidak bisa begitu!! Oleh Letjen TNI (Purn.) Marinir Suharto, Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) SAAT saya masih di ABRI, setiap tahun kita selalu memperbaiki apa yang kita sebut dengan Kontigensi Nasional, yaitu kontingensi tentang ancaman dari luar. Khusus ancaman yang terkuat yang selalu kita waspadai itu ancaman dari utara. Sehingga kita membuat laut Natuna, Kepulauan Riau, dan Kalimantan adalah leading war commander atau komandan perang kita terdepan untuk menghadapi ancaman dari utara.  Dengan demikian pada saat ibu kota negara (IKN) akan dipindahkan ke Kalimantan (Kalimatan Timur, Kaltim), justru ini menjadi pertanyaan yang paling besar. Apakah betul IKN ini harus kita masukkan kepada Theatre of War, harus kita masukan kepada garis depan pertahanan kita. Saya terbuka di sini, dan selalu melihat \"ancaman dari utara, ancaman dari China, ancaman dari Komunis\". Yang sampai sekarang masih menjiwai kami dari ABRI untuk bertahan supaya republik ini tidak jatuh ke dalam genggaman Komunis.  Sehingga apabila Kaltim termasuk dari bagian Theatre of War, maka adalah tidak bijak kalau IKN kita pindahkan ke Kaltim, karena ini sudah masuk garis depan. Kita masih ingat bagaimana Belanda menguasai Indonesia? Untuk menguasai Indonesia kuasai seluruh Jawa. Untuk menguasai pulau Jawa, kuasailah Batavia, itulah konsep yang dipakai. Tapi itu bukan tanpa perhitungan. Oleh karenanya saya juga sangat heran apabila ini kita majukan ke dalam mandala perang ibu kota. Ibu kota ini adalah sebetulnya markas komando untuk melawan ancaman dari luar. Dan di abad informatika/IT ini, markas komando negada dimanapun bisa yang penting aman. Ditempatkan di Papua pun tidak masalah, karena semua prasarana untuk mendukung itu ada.   Oleh karenanya dengan rasa hormat saya kepada negara, adalah tidak bijak kita memindahkan IKN Baru ke Kaltim. Hal yang paling menyakitkan atau hal yang paling mendalam, saya tidak tahu mekanisme yang dipakai pemerintah, dan tiba-tiba Joko (wi) memerintahkan kita pindah kesana. Tidak bisa begitu!! Kalau kita menganut Pancasila dan UUD 1945 yang asli, Presiden itu adalah mandataris daripada MPR. Sehingga apapun yang dia kerjakan atas perintah MPR, karena di situlah sebetulnya kedaulatan bangsa ini, kedaulatan rakyat di sini.   Tapi apa lacur kita lihat sekarang empat kali amandemen, justru MPR dimandulkan, dibancikan sebanci-bancinya. Oleh karenanya saya dating ke kantor bapak Ketua DPD. Mari bersama-sama kita bangkitkan, kita fungsikan kembali MPR ini.  Agar supaya kedepan suara rakyat itulah suara yang dijalankan, itulah suara yang harus kita junjung. Bukan kita ikuti suara seorang kepala negara. Dia hanya mandataris dari pada MPR. Khusus untuk pindah IKN ke garis depan, sulit bagi kami terima dan itu tidak bijak, sangat tidak bijak. Saya kira cukup pidato saya ini, terima kasih. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. (Disampaikan saat Audiensi PNKN dengan Pimpinan DPD RI, Maret 2022). (*)