Untuk Menyelamatkan Negara, TNI Harus Segera Bersikap!

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.

Begitu pula untuk anggota DPRS dan MPRS baik dari unsur TNI-Polri semua harus bersih dari anasir oligarki. DPRS dan MPRS harus diisi oleh orang-orang profesional dan akademisi yang juga bersih dari pengaruh Oligarki.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

CARUT-marut di Indonesia telah masuk pada masalah yang fundamental dan harus diatasi secara fundamental pula. Yaitu Oligarki Ekonomi yang semakin membesar dan menyatu dengan Oligarki Politik yang juga telah menyandera kekuasaan. Ganasnya Rezim Oligarki Politik dan Ekonomi ini sudah mentok untuk diatasi dengan cara cara prosedural konstitusional.

Saat ini semua rekayasa demokrasi prosedural telah masuk perangkap tipuan. Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, contohnya, justru menjadi “perampok keadilan”.

Dengan pasal ini Oligarki Politik dan Oligarki Ekonomi justru bisa mengatur permainan untuk menentukan Pimpinan Nasional bangsa ini. Dan, yang lebih esensi adalah Pasal 222 tersebut sama sekali tidak derivatif dari Konstitusi di Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945.   

Rezim Oligarki harus diakhiri dan dihentikan, jalan keluarnya dengan revolusi rakyat atau people power. Ini konstitusional kalau rakyat menghendaki. Dalam keadaan darurat ekonomi semua bisa terjadi termasuk menunda Pilpres 2024. Sinyalnya terlihat saat Presiden Joko Widodo bermanuver dan kasak-kusuk ojo kesusu terkait dengan Pilpres 2024.

Sinyal akan terjadinya krisis pangan dan ekonomi sudah diwanti-wanti oleh Presiden Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menkeu Sri Mulyani. 

Kalau dapur emak-emak sudah nggak bisa lagi berasap, dia akan keluar bawa panci lalu digendang-gendang, rakyat pasti akan marah dan keluar melawan pemerintah, sebagai solusi mencari jalan keluar dari kesulitan hidupnya.

Lonceng people power itu mulai dari dapur rumah tangga yang tidak berasap lagi. People power, terjemahnya itu kedaulatan rakyat, bukan makar. Gerakan dapur tidak ngebul pasti akan nyeret menjadi gerakan Revolusi Rakyat.

Kalau itu terjadi, maka semua berantakan dan itu akan menghasilkan social unresh (keresahan sosial). Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa harus bersiap-siap untuk menghadapi situasi paling buruk bersama Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Jangan ada lagi wacana yang mencoba menyeret-nyeret Jenderal Andika dalam ranah perpolitikan.

Bukan tidak mungkin, peristiwa serupa seperti tahun 1998 juga bakal terjadi. Perlu diingat, pada 1998 Presiden Soeharto bisa jatuh salah satunya berawal dari dapur yang macet disamping alasan politik lainnya, hampir sama dengan keadaan saat ini yang justru lebih parah.

Sebenarnya, semua ini berawal dari ketidakmampuan Presiden Jokowi untuk menerangkan ke publik bagaimana daya beli, bagaimana inflasi, bagaimana stagflasi, problem kesulitan pangan, energi dan rakusnya Oligarki yang terjadi saat ini.

Inilah yang menyebabkan kita yang cinta NKRI harus membangun satu blog baru untuk mencegah jangan sampai kekacauan dan arogansi di kalangan elit ini merembet ke rakyat.

Jika social unresh terjadi, demi menyelamatkan negara, Panglima TNI punya kewajiban dan kewenangan untuk “mengambil-alih” kekuasaan, kemudian ia ditetapkan oleh MPR menggantikan Presiden yang mandatnya sudah dicabut rakyat melalui people power.

Adalah tugas TNI menyelamatkan NKRI dari keterpurukan ekonomi dan krisis politik yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan. Termasuk juga, potensi ancaman dari luar (terutama China) yang sudah mengirim pasukannya untuk masuk ke Indonesia dengan kamuflase TKA China.  

Apabila benar terjadi people power itu bisa menjadi landasan hukum bagi TNI untuk bergerak dan mengambil langkah penyelamatan tersebut. Perlu diingat, “metode” serupa ini sebenarnya pernah terjadi dalam lintasan sejarah kita.

Sejarah bisa berulang dalam bentuk lain, seperti saat lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) dari Presiden Soekarno ke Pangkostrad ketika itu, Mayjen TNI Soeharto, yang mengakhiri people power dengan membubarkan DPR dan MPR.

Kemudian, membentuk DPRS dan MPRS yang akhirnya melantik Pangkostrad itu sebagai Pejabat Presiden RI menggantikan Bung Karno pada 1967 hingga terselenggaranya Pemilu 1971. Krisis 1965 (G30S/PKI) yang menyebabkan Bung Karno harus lengser. Kemudian Pak Harto naik, peristiwa sejarah ini dapat terulang kembali.

Pak Nasution yang selamat dari PKI, akhirnya jadi Ketua MPRS yang melantik Pak Harto sebagai Pejabat Presiden. Setelah sebelumnya DPR dan MPR telah dibubarkan sebgaai konsekuensi dari penyerahan untuk pemulihan keamanan kepada Pangkostrad Mayjen Soeharto.

Kemudian dibentuklah DPRS dan MPRS. DPR-MPR dibubarkan karena peran dan fungsinya, sudah tidak lagi menjadi wakil rakyat, tetapi telah menjelma "mewakili pemerintah".

Panglima TNI yang sudah menerima mandat “mengambil alih kekuasan” bisa segera membubarkan kabinet dan menyusun kabinet darurat menempatkan tokoh nasional untuk membantu pemulihan, ketertiban, dan menyelamatkan negara.

Menunjuk tokoh yang memiliki kompetensi negarawan, misalnya Jenderal Purn Gatot Nurmantyo sebagai Ketua MPRS, Rizal Ramli sebagai Wapres mendampingi Andika Perkasa untuk memulihkan ekonomi negara.

AA LaNyala Mattalitti ditempatkan sebagai Ketua DPRS. Prabowo Subianto bisa ditugaskan sebagai Ketua DPAS. Anies Baswedan mungkin lebih cocok menempati posisi Mendagri.

KSAL Laksamana TNI Yudho Margono diangkat sebagai Panglima TNI. Jabatan Kepala BIN diserahkan kepada KSAU Marsekal Fajar Prasetyo menggantikan Budi Gunawan. Semua pejabat menteri dan setingkat menteri harus bebas dari anasir oligarki.

Begitu pula untuk anggota DPRS dan MPRS baik dari unsur TNI-Polri semua harus bersih dari anasir oligarki. DPRS dan MPRS harus diisi oleh orang-orang profesional dan akademisi yang juga bersih dari pengaruh Oligarki.

Itu dilakukan setelah Andika Perkasa sebagai pejabat Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 asli. Tugas segara melaksanakan Pemilu dan Pilpres secepatnya, sesuai rambu-rambu Konstitusi UUD 1945 asli.

Jangan terkejut. Gambaran di atas adalah hanya sebuah pikiran alternatif dari segala kemungkinan terburuk yang terjadi. Tentu harapan kita rezim saat ini benar-benar menyadari ada situasi genting yang bisa meledak setiap saat.

Reshuffle Kabinet bukan jawaban. Karena rezim masih “terikat kontrak” dan tidak akan bisa dari Oligarki serta kekuatan asing yang selama telah merusak dan menjerumuskan negara dengan utang yang menumpuk. (*)

476

Related Post