OPINI

Masyarakat Aceh Tempo Dulu Lebih Berkualitas

Banda Aceh, FNN - Masyarakat Aceh tempo dulu lebih berkualitas dibandingkan daerah lain. Beberapa abad lalu, orang Aceh sudah berdagang sampai ke benua Eropa. Demikian disampaikan Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Aceh, Drs. Sahidal Kastri, M.Pd, di sela-sela seminar bertema \"Keluarga Bertanggung Jawab untuk Generasi Berkualitas\" yang dilaksanakan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Aceh dalam rangka Musyawarah Daerah PKBI Aceh ke-XII, Jumat (10/6/2022) di Aula BKKBN Aceh. Kalau dilihat dari sejarah Aceh,  zaman dulu orang-orang Aceh yang berdagang sampai ke Benua Eropa, tentu  bukan orang-orang stunting. Pasti orang pintar karena harus menggunakan bahasa internasional.  \"Buktinya bisa kita lihat sekarang aset orang Aceh di luar seperti di Mekah dan di dalam negeri sendiri seperti emas di Tugu Monas juga sumbangan dari orang Aceh. Tapi itu dulu. Sekarang perlu upaya untuk mengembalikan kualitas orang Aceh seperti dulu,\"  ujar Sahidal. Menurut Sahidal, cerminan masa depan Aceh dapat dilihat dari generasi Aceh masa kini. Jika generasi saat ini baik maka masa depan Aceh ke depan juga akan lebih baik. Oleh karena itu membina generasi berkualitas menjadi hal yang penting dilakukan. \"Tanpa keluarga berkualitas tidak mungkin lahir generasi berkualitas. Dalam Islam sendiri yang dimaksud anak berkualitas itu adalah anak saleh-salehah. Dalam syariat Islam tidak dibenarkan menelantarkan anak keturunan dalam keadaan lemah, baik lemah fisik, pengetahuan, dan ekonomi,\" ungkap Sahidal. Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Daerah PKBI Aceh, Yunus Ilyas dalam sambutannya mengungkapkan, PKBI sebagai salah satu LSM tertua di Indonesia sejak lama sudah bicara soal keluarga. Hanya saja dulu berbicara tentang keluarga berencana. Namun seiring waktu persoalan terus terjadi, sehingga PKBI memandang keluarga tidak saja terencana tetapi juga harus bertanggung jawab.  \"Kita melihat hari ini ada kondisi yang harus diperhatikan, salah satunya soal stunting, kenakalan remaja, dan permasalahan remaja lainnya. Apalagi persoalan Narkoba, hampir tidak ada gampong  (kelurahan/desa) di Aceh yang generasinya tidak terlibat Narkoba,\" ungkap Yunus Ilyas.  Oleh karena itu, menurut Yunus, kondisi ini harus diperbaiki. Maka, melalui seminar ini diharapkan  mampu melahirkan pemikiran yang tajam dan dapat dibawa dalam musyawarah daerah ke 12 PKBI Aceh untuk direalisasikan melalui program-program kerja. Seminar ini menghadirkan tiga orang pemateri, yaitu Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Aceh, dr. Sulasmi, MHSM, Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Aceh, Drs. Sahidal Kastri, M.Pd, dan Sekretaris Pengurus PKBI Nasional, Dra. Josephine R. Marietta, M.PsiT.  Dalam paparan materi, isu yang diangkat mulai dari indeks pembangunan keluarga di Aceh hingga persoalan stunting yang dinilai masih tinggi secara nasional.  (TG)

Indonesia Darurat (4): Keluarkan Dekrit Kembali ke UUD 1945 Asli

Harapan ini sangat tipis terjadi ketika Presiden ternyata juga bagian dari Oligarki. Kalau demikian keadaannya rakyat harus bergerak melakukan People Power atau Revolusi, untuk menyelamatkan Indonesia.   Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SEMUA rakyat harus sadar bahwa UUD 1945 asli telah diganti dengan UUD 2002. Telah mengakibatkan negara oleng dan segera tenggelam. Konstitusi Negara ini telah menyimpang jauh dari tujuan para pendiri bangsa.  Ketua DPD RI (Bung AA LaNyala Mattalitti) mengatakan bahwa: Negara ini telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag bangsa ini. Karena sejak Amandemen Konstitusi tahun 1999 hingga 2002 kita semakin terang- benderang dan tanpa malu-malu lagi menjadi negara yang sekuler, liberal, dan kapitalis. Dan tanpa kita sadari, pandangan hidup dan cara berpikir serta perilaku kita telah berubah secara mendasar, yang merupakan antitesa dari nilai-nilai Pancasila.  Kita telah meninggalkan mazhab ekonomi pemerataan dengan mengejar pertumbuhan PDB yang berbanding lurus dengan tax rasio. Kita telah meninggalkan perekomian yang disusun atas azas kekeluargaan, dan membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar. Sehingga negara memilih melakukan intercept dengan memberikan program BLT-BLT untuk mengatasi kemiskinan, yang celakanya terbukti tidak tepat sasaran. Elemen Civil Society harus menyadari, sudah saatnya Konstitusi kita wajib dikembalikan kepada semangat dan spirit suasana kebatinan para pendiri bangsa. Bahwa Undang-Undang Dasar Naskah Asli 1945. Konstitusi yang sama sekali baru dan sudah tidak nyambung lagi dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan nilai dari watak dasar atau DNA bangsa ini, secara nyata telah membawa negara ke arah kehancuranya. Bahwa persoalan yang kita hadapi adalah persoalan Fundamental. Maka, jalan keluar yang dilakukan juga harus Fundamental. Dan, salah satu persoalan Fundamental tersebut adalah Oligarki Ekonomi yang semakin membesar dan menyatu dengan Oligarki Politik untuk menyandera kekuasaan. Maka jalan keluar Fundamental yang harus kita lakukan adalah akhiri rezim Oligarki Ekonomi dan pastikan Kedaulatan ada di tangan rakyat. Bukan lagi melalui Demokrasi Prosedural yang menipu.  Untuk menghindari keadaan negara makin memburuk, sudah tiba saatnya Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden Kembali ke UUD 1945 Asli. Tinggal kita tunggu saja, apakah Presiden Joko Widodo berani melakukannya atau tidak? Harapan ini sangat tipis terjadi ketika Presiden ternyata juga bagian dari Oligarki. Kalau demikian keadaannya rakyat harus bergerak melakukan People Power atau Revolusi, untuk menyelamatkan Indonesia. Kalau situasi politik dan ekonomi sudah seperti ini, rakyat sudah tidak percaya lagi sehingga bergerak dan melakukan people power, tidak salah akademisi dan pengamat politik Rocky Gerung minta agar Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa bersiap-siap. (*Selesai)

Rakyat Simpati dan Berpihak pada yang Teraniaya

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SEMUA tokoh politik yang layak maju menjadi calon Presiden seperti Gatot Nurmantyo, AA La Nyalla Mattalatti atau Rizal Ramli menghadapi penzaliman politik melalui aturan hukum Presidential Threshold 20 %.  Meski perjuangan belum berakhir namun hingga kini Mahkamah Konstitusi (MK) masih menampilkan diri sebagai bagian dari kezaliman itu. Bersikukuh mempertahankan aturan yang tidak demokratis dan melanggar HAM tersebut.  Tokoh lain yang berpeluang memiliki kendaraan usungan gabungan Partai Politik seperti Gubernur DKI Anies Baswedan juga masih menjadi sasaran dari penzaliman rezim beserta antek-anteknya.  Permainan melalui berbagai framing dilakukan untuk melakukan pembunuhan karakter (character assassination). Upaya jahat dilakukan baik dengan serangan buzzer, menggerakkan KPK, hingga aksi-aksi palsu untuk membangun citra negatif.  Omong kosong jika rezim Jokowi menyatakan Indonesia harus dan dapat maju. Katanya perlu SDM yang berkualitas untuk membangun negeri. Nyatanya tokoh-tokoh berkualitas yang potensial untuk mampu membangun negeri justru dibunuh dan dihancurkan reputasinya dengan segala cara.  Sebaliknya, para pengekor bahkan penjilat terus diangkat dan diorbit. Akibatnya muncul pemimpin karbitan yang tidak berkualitas. Secara faktual sebagian besar Menteri-Menteri Jokowi itu \"under capacity\". SDM payah yang belepotan dalam menunaikan amanat.  Sikap dan perlakuan kepada Anies Baswedan telah menjadi tontotan rakyat akan model atau pola penzaliman. Rendahnya penghargaan atas prestasi Gubernur, demo \'by design\' menuntut mundur, serangan atas kebijakan soal reklamasi,  pembawa sial IKN kata dukun, serta operasi cari-cari kesalahan KPK. Aksi unjuk rasa FPI palsu di Patung Kuda mendeskreditkan Anies Baswedan, demikian juga dengan deklarasi Majelis Sang Presiden yang sepertinya merupakan dukungan fitnah karena secara demonstratif dalam deklarasi di Hotel Bidakara Pancoran itu ada yang mengatasnamakan eks narapidana teroris, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) maupun Front Pembela Islam (FPI).  Rezim bungkam atas kecurigaan publik atas aksi dan deklarasi serta dugaan operasi masif, sistematis, dan terstruktur yang bertujuan menjegal, merusak dan menghancurkan Anies Baswedan. Tuntutan publik untuk pengusutan tidak ada tindak lanjut. Ada pembiaran atas skenario kotor untuk menjegal tokoh potensial.  Meskipun demikian rakyat selalu berpihak pada orang orang yang dizalimi dan pemihakan itu akan ditunjukkan pada waktunya. Rakyat mendukung Soekarno karena kezaliman Belanda yang memenjarakan, rakyat berada di belakang Soeharto atas penzaliman PKI kepada TNI, dan rakyat pun memberi suara penuh kepada SBY  karena SBY dizalimi Presiden Megawati.  Anies dipecat Jokowi tetapi mampu menjadi Gubernur. Kini ia terus digempur, namun jika rakyat berada di belakangnya, maka kelicikan apapun tidak akan membuatnya hancur. Sebaliknya rezim zalim akan babak belur dan cepat terkubur.  Rakyat dapat dipaksa untuk mengalah tetapi rakyat tidak akan bisa selamanya kalah.  Siapapun dia, jika ingin sukses menjadi Presiden dan ingin menjalankan tugasnya dengan baik, maka sebelum menjadi Presiden di Istana haruslah terlebih dahulu menjadi Presiden di hati rakyat.  Hati rakyat adalah sumber kekuatan untuk mendapatkan amanat sekaligus do\'a agar mampu menunaikan amanat itu dengan selamat.  Bandung, 11 Juni 2022

Makzullkan Jokowi!

Oleh M. Rizal Fadillah  - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  CUKUP berani dan hebat serta tepat desakan 100  ulama, habaib dan tokoh Jawa Timur yang diantaranya meminta MPR untuk memakzulkan Presiden Jokowi dalam butir pernyataan \"Mendesak MPR RI melaksanakan Sidang Istimewa dengan agenda pemakzulan Presiden Jokowi\". Pernyataan Aliansi tersebut disampaikan dalam acara yang dilaksanakan tanggal 4 Juni 2022 di Gedung Museum NU Surabaya.  Sesuai konsiderans pernyataan bahwa terlalu banyak masalah yang yang ditimbulkan oleh pemerintahan Jokowi. Dari mulai wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan jabatan tiga periode, rekrutmen keturunan PKI menjadi prajurit TNI, kenaikan tarif dan harga, kebijakan Islamophobia, hingga Plt Kepala Daerah yang bernuansa KKN serta LGBT yang memerosotkan moral bangsa.  Desakan kepada MPR untuk Sidang Istimewa tentu menjadi fenomena menarik. Meningkat dari marak aspirasi yang awalnya mendesak Presiden Jokowi untuk mundur menjadi desakan pemakzulan. Artinya kekecewaan publik semakin besar sehingga memunculkan keberanian untuk mendesak MPR agar melaksanakan Sidang Istimewa dengan agenda pemakzulan Presiden.  Desakan Aliansi Ulama, Habaib, dan Tokoh Jawa Timur tersebut bukanlah tindakan inkonsitusional atau makar tetapi aspirasi yang patut dihargai dan dibaca sebagai bagian dari kekuatan rakyat yang ingin segera terjadi perubahan menuju perbaikan. Membiarkan kekuasaan di bawah pemerintahan Jokowi berlama-lama hanya menyebabkan keterpurukan. Negara harus diselamatkan.  Pola penyelamatan yang dipandang mendesak oleh para ulama, habaib, dan tokoh Jawa Timur ini adalah pemakzulan Presiden Jokowi. Seolah mengingatkan bahwa kondisi negara yang karut marut selama ini disebabkan oleh ketidakmampuan Presiden Jokowi untuk memimpin bangsa dan negara. Ikan busuk mulai dari kepalanya.  Desakan konstitusional seperti ini menjadi bagian dari kehidupan berdemokrasi yang sehat. Praktek ketatanegaraan yang wajar dalam rangka menormalisasi pengelolaan negara. Spiritnya adalah \"demi kemashlahatan umat dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia\".  Sebelumnya ketua DPD RI LaNyalla Mattaliti saat menerima aktivis bulan Mei lalu menyatakan terhadap wacana pemakzulan Presiden ia mempersilahkan dan tidak bisa menghalang-halangi. Baginya itu langkah konstitusional yang ada aturannya, melalui DPR, MK, dan seterusnya.  MPR tentu akan didahului oleh respon atau langkah institusi DPR untuk menindaklanjuti desakan para ulama, habaib, dan tokoh tersebut.  Pasal 7A dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 dapat dijadikan dasar hukum bagi pemakzulan Presiden beserta mekanisme konstituaionalnya.  Semangat pemakzulan ini juga menyiratkan skeptisme para ulama, habaib dan tokoh Jawa Timur bahwa Presiden Jokowi akan mampu mengubah dan memperbaiki kinerjanya serta mengantarkan dan menjamin Pemilu 2024  dapat berjalan lancar, adil, jujur dan demokratis. Pemakzulan dinilai sebagai awal dari perbaikan untuk meyerahkan kembali kedaulatan kepada rakyat sebagai pemilik otentiknya. Setelah lama dibajak, dicuri, atau dikudeta oleh tangan-tangan jahat oligarki. Oligarki penjajah bangsa.  Bandung, 10 Juni 2022

Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawamu Hanyut

Hancur.... Barongsai menari berpesta pora, beratraksi melibas Reog. Itulah hasil instan reformasi. Oleh : Letjen (Purn) TNI M. Setyo Sularso, Mantan Inspektur Jenderal TNI PANCASILA dan UUD 1945, dibuat oleh Generasi yang merasakan susahnya iuran mendirikan republik. Ketika beliau yang adalah para pejuang menyusun Dasar Negara dan UUD ‘45, bau mesiu masih ada di hidung mereka. Tangannya pun masih bergetar merasakan mengangkat rekannya yang terkapar berlumuran darah, dan bambu runcing juga masih tersandar di kamarnya. Mereka merasakan hidup susah dan dibantai penjajah. Sehingga, paham bagaimana mencari cara untuk mewariskan Republik ini supaya berumur panjang. Jangan bikin susah anak cucu, sehingga demikianlah bunyi UUD 1945. Presiden ialah Orang Indonesia Asli (pasal 6 ayat 1). Sangat disayangkan: Gagal.    Sebagian mereka menyaksikan, jerih payah dan rangkaian perjuangan yang melahirkan TMP (Taman Makam Pribumi) dari Sabang sampai Merauke di- Delete... oleh generasi sesudahnya yang bernafsu memutar jarum Kompas melebihi 360 derajat. Melupakan semboyan: Bangsa yang besar adalah .....! Sangat berbeda,  orang yang pernah berjuang dengan resiko nyawanya, kemudian memimpin negeri (seperti Vietnam) saat ini dengan mereka yang hanya mengambil hasil panen yang bibitnya disemai generasi pejuang.   Hancur.... Barongsai menari berpesta pora, beratraksi melibas Reog. Itulah hasil instan reformasi. Belajar dari keadaan yang ada di sekitar kita hari ini, kedunguan mindset yang sudah terpola dan tanpa terasa menggiring kita memasuki abad Benturan Peradaban, hanya ada satu jalan, dan harus diperjuangkan oleh kaum Bumi Poetra: Kembali ke UUD \'45 Asli! (*)

Perlu Waspada, Bisa Jadi Akan Ada Deklarasi ISIS Dukung Anies

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN  RAKYAT pendukung Anies Baswedan tak perlu gerah. Semua orang sudah paham bahwa para penguasa rakus dan oligarki jahat pasti akan menjegal beliau. Mereka tak akan membiarkan Anies masuk ke Istana dengan mudah. Mereka gunakan segala cara. Termasuklah operasi intelijen untuk mencitrakan bahwa Anies akan duduk di Istana untuk menjalankan agenda radikalisme. Inilah yang terjadi di acara deklarasi yang bertajuk “Majelis Sang Presiden Kami” di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta, pada 8 Juni 2022, kemarin. Ada yang disusupkan ke acara ini. Dengan cara yang sangat pintar. Atau, lebih tepat dengan cara yang sangat licik. Liciknya begini. Gerombolan yang disusupkan itu disuruh membawa bendera Tauhid. Tentu ini sangat dilematis bagi panitia penyelenggara. Bagaimana tidak dilematis! Bendera itu bertuliskan kalimat syahadat. Tampak sangat tercela untuk ditolak pemajangannya di acara itu. Tapi, di sisi lain, oligarki dan para penguasa laknat tahu persis bahwa pemajangan bendera Tauhid itu oleh kaki-tangan mereka adalah salah satu bentuk pencitraan buruk bagi Anies di mata orang-orang yang tidak mengenal beliau dan yang tak paham Tauhid. Bagi orang yang mengerti, mungkin tidak masalah. Salah seorang penyelenggara merasa perlu tegas meminta agar deklarasi dukungan untuk Anies tidak terjebak agenda intelijen. Sampai akhirnya terjadi pertengkaran antara sesama orang Islam. Kedua bendera tersebut ditarik seketika. Peristiwa ini sangat memprihatinkan. Sampai viral pula. Tampaklah bahwa masih ada saja elemen umat Islam yang bersedia dijadikan kaki-tangan intelijen. Inilah yang diinginkan oleh pihak-pihak jahat yang merasa terancam jika Anies menjadi presiden. Kelihatannya, operasi intellijen seperti ini akan terjadi lagi entah di mana. Dalam bentuk yang sama atau versi lain. Para buzzer islamofobik merasa mendapat amunisi untuk kembali menyerang Anies setelah Pak Gub sukses menyelenggarakan balap Formula E. Seperti biasa, kehadiran bendera Tauhid di acara deklarasi di Hotel Bidakara itu digoreng oleh gerombolan buzzer upahan. Umat perlu selalau waspada. Sangat mungkin akan ada pencitraan buruk yang lebih sadis lagi terhadap Anies. Bisa jadi kaki-tangan intelijen lainnya akan mendeklarasikan dukungan untuk Anies atas nama ISIS seluruh dunia. Tidak ada susahnya bagi intelijen untuk membuat rekayasa ini.[]

Strategi Politik Rezim Boneka Masih Sama

Politik adu domba seperti ini masih akan terus terjadi dan terulang, nistanya menggunakan tenaga bayaran dengan tampilan kebesaran simbol identitas agama hanya dengan bayaran seratus lima puluh ribu. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih REZIM boneka ini masih memiliki hobi melakukan praktek politik lama dan berbau barbar. Seperti memunculkan demo FPI duplikat terus dimunculkan, demo bayaran mem-framing lawan FPI sebagai ormas terlarang, lawan khilafah dan ujung-ujungnya tolak Capres yang didukung FPI. Tokohnya masih dari para pemain lama, dari gerombolan Oligarki yang tersambung dengan Istana karena panik keruntuhan rezim akan membawa bencana dan petaka bagi rezim oligarki dan para begundalnya. Menghadapi kondisi seperti ini, jangan mengeluh realitas politik murahan ini harus dilawan: Complaining will never solve the problem. Stop complaining and take action (Mengeluh tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Berhenti mengeluh dan segera bertindak). Hadapi dengan berani, hilangkan rasa takut karena: A fear will only make you weak and lose confidence. Ignore the fear and proceed your step (Rasa takut hanya akan membuatmu lemah dan kehilangan kepercayaan. Abaikan (saja) ketakutanmu dan lanjutkan langkahmu). Politik adu domba seperti ini masih akan terus terjadi dan terulang, nistanya menggunakan tenaga bayaran dengan tampilan kebesaran simbol identitas agama hanya dengan bayaran seratus lima puluh ribu. Melelahkan memang, melawan praktek politik yang tidak cerdas dan gentle dalam wacana demokrasi yang sehat atau dengan akal sehat. Justru terus muncul cara cara ortodok dan model barbar politisi boneka sesaat ini. Tetap kita lawan: Actions speak louder than words (apa yang kamu lakukan lebih bermakna daripada sekedar berkata-kata). Konflik dalam bentuk adu domba akan tetap terus terjadi dan malah makin membesar  adalah kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan bisa saja menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja. (Kilman dan Thomas). Kabinet “kerja kerja dan kerja” ke depan hanya akan kerja-kerja-kerja dengan mengadu-domba masyarakat karena ambisi kekuasaan jangan sampai beralih ke tangan kekuatan lain yang akan menganjurkan kemapanan Oligarki yang nyata-nyata telah menguasai negara ini. Konflik politik merupakan jenis konflik yang terjadi karena adanya perbedaan pandangan kepentingan dan pertahankan kekuasan politik  dalam kehidupan politik. Konflik ini terjadi karena rezim boneka bersama oligarki ingin terus berkuasa terhadap suatu sistem pemerintahan. Konflik politik merupakan konflik yang pasti  terjadi saat menjelang pemilu. Pageblug makin parah akibat: The wrong man in the wrong place with the wrong idea and idealism. (Orang yang salah di tempat yang salah dengan ide dan cita-cita yang salah). (*)

Indonesia Darurat (3): Bubarkan Mahkamah Konstitusi!

 Kejahatan pelanggaran konstitusi tersebut dipertontonkan dengan vulgar dan telanjang. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih DEMOKRASI melalui proses Pilpres tersumbat dan hak rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara dikebiri adalah dengan adanya Presidential Threshold 20%. Suara rakyat dihadang dengan Pasal 222 Undang-Undang Pemilu. Jelas-jelas Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai benteng keadilan justru sebagai perampok keadilan. Karena selain melanggar Konstitusi, juga menghalangi terwujudnya cita-cita lahirnya negara ini seperti yang tertulis di dalam “Naskah Pembukaan Konstitusi” kita.  Bergelombang masyarakat sampai lembaga tinggi negara DPD RI mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tersebut semuanya kandas. Kekuatan kekuasaan rezim bersama oligarki seperti begitu kokoh menghadangnya. Khusus DPD RI secara kelembagaan telah mengajukan gugatan ke MK atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal yang kami gugat adalah Pasal tentang Ambang Batas Pencalonan Presiden atau Presidential Threshold.  Ketua DPD RI Bung AA LaNyala Mattalitti, sampai marah dan berkeyakinan, pasal ini adalah Pasal penyumbang terbesar Ketidakadilan dan Kemiskinan Struktural di Indonesia. Karena melalui Pasal inilah, maka Oligarki Ekonomi mengatur permainan untuk menentukan Pimpinan Nasional bangsa ini. Pasal ini telah membatasi munculnya putra-putri terbaik bangsa. Dan, pasal ini telah pula mematikan ruang bagi Partai Politik peserta pemilu untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Karena Pasal ini memaksa parpol untuk berkoalisi dalam mengusung pasangan Capres dan Cawapres. Dan, ini mematikan hak parpol baru untuk mengusung pasangan Capres dan Cawapres, karena adanya kewajiban menggunakan basis suara hasil pemilu 5 tahun sebelumnya. Dan, yang lebih esensi adalah Pasal 222 tersebut sama sekali tidak derivatif dari Konstitusi di Pasal 6A Undang-Undang Dasar kita.    Pasal seperti drakula ini memaksa Partai Politik berkoalisi untuk memenuhi ambang batas, maka yang terjadi adalah Capres dan Cawapres yang akan diberikan kepada rakyat akan sangat terbatas. Di situlah pintu masuk Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik mengatur dan mendesain siapa pemimpin nasional yang akan mereka mintakan suara dari rakyat melalui Demokrasi Prosedural yang kita sebut sebagai Pilpres.  Bisa ditebak secara politik dengan terang benderang Oligargi sekuat tenaga ingin bertahan dan mempertahankan kekuasaan mencengkeram Indonesia. Oligarki Ekonomi inilah yang membiayai semua proses itu. Mulai dari biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun koalisi partai, hingga biaya untuk pemenangan dalam proses Pilpres.  Kejahatan pelanggaran konstitusi tersebut dipertontonkan dengan vulgar dan telanjang. Jadi, wajar juga bahwa sebagai lembaga tinggi negara penjaga konstitusi, DPD RI sampai mengancam apabila MK nanti menolak gugatan DPD RI atas Pasal 222, maka saya katakan di sini bahwa MK telah dengan sengaja memberikan ruang kepada Oligarki Ekonomi untuk menyandera dan ikut mengendalikan negara ini untuk berpihak dan memihak kepentingan mereka. Sehingga sudah sepantasnya Mahkamah Konstitusi dibubarkan. Karena, tidak lagi bisa menjaga negara ini dari kerusakan akibat produk perundangan yang merugikan rakyat dan menjadi penyebab kemiskinan struktural di negara ini. Rezim ini dipengaruhi dan dikuasai oleh kapitalis banci yang merupakan persekongkolan (conspiracy) antara lain, para Taipan, juga korporatokrasi (penghancur lingkungan alam dan sosial), sembilan Barongsai, Oligarchy, Gorilla Betina Merah, dan Neo Colonialism. Mereka bersekongkol untuk berkuasa secara absolut bagi kehancuran bangsa dan NKRI. (*)

Matinya Presidential Threshold

 Kini, presidential threshold telah membuka mata kita tentang pangkal semua problematika politik yang terjadi di Indonesia. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD di MPR RI ERA rezim ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold-PT) di tubir jurang. Gerilya elit politik mencari figur untuk diusung dalam kontestasi Pilpres 2024, itu mengindikasikan sistem pemilu berbasis presidential threshold tidak relevan lagi. Tiket milik partai politik terancam kadaluwarsa. Hak eksklusif sebagai pemilik tiket ke gelanggang pilpres, terbukti tak bisa jadi pegangan. Posisi tak digaransi aman. Dinamika politik paling anyar memaksa semua partai memasang kuda-kuda. Menatap Pilpres 2024, koalisi pemerintah pecah. Jagoan yang kemungkinan diusung berbeda. Dalam imajinasi rezim, presidential threshold itu semestinya menguntungkan koalisi pemerintah saat ini. Akumulasi perolehan kursi di DPR sebesar 82 persen, memungkinkan parpol-parpol yang bernaung di bawah atap Istana melenggang dengan mulus ke babak kekuasaan selanjutnya. Namun celaka. Koalisi retak. Langkah tak lagi kompak. Terjadi perbedaan selera soal siapa yang bakal diusung pasca Presiden Joko Widodo. Beberapa menteri telah terang-terangan bermanuver. Mengorganisir relawan dan juga memanfaatkan jabatan untuk tampil menawarkan diri ke publik. Termasuk dilakukan oleh tokoh yang tak punya partai politik. Perbedaan preferensi setelah Jokowi, tak lepas dari kepentingan yang juga tak lagi sama. Joko Widodo sendiri diyakini tidak bakal gegabah taken for granted. Kepentingan terbesar Jokowi setelah lengser nanti, adalah memastikan sosok penggantinya bisa menjamin posisi Jokowi aman secara hukum, dan juga secara politik. Syukur-syukur kebijakannya diteruskan. Dengan kondisi koalisi pemerintah yang kocar-kacir seperti sekarang, bandul politik Jokowi lemah. Sebagai petugas partai, politisi asal Solo ini tidak punya lagi kewenangan mengonsolidasi partai lain. Kecuali atas nama jabatan publik yang melekat di masing-masing pimpinan partai. Jokowi sebagai Presiden. Sampai saat ini, PDIP satu-satunya parpol yang memegang golden ticket. Tiket berstatus akses penuh dan bisa mencalonkan pasangan presiden dan wapres. PDIP meraih 22,26% kursi di DPR. Kendati demikian, elektabilitas Puan Maharani, jagoan partai besutan sang ibunda, masih jauh dari harapan. Sehingga semua analisis memproyeksi Puan akan disodorkan pada posisi calon wakil presiden. Kans Puan lebih terbuka jika menempel pada figur dengan elektabilitas tinggi. Cuma ada tiga nama yang konsisten mengorbit di tiga urutan teratas semua lembaga survei. Yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan juga Ganjar Pranowo. Informasi yang beredar memperlihatkan kedekatan tidak biasa antara Puan Maharani dengan Anies Baswedan. Pertanyaannya, bagaimana nasib partai-partai, pemilik tiket tidak penuh? Sejauh mana petualangan partai-partai itu mengompromikan kepentingan, mencari figur serta ongkos untuk masuk gelanggang. Elit partai kini kasak kusuk mencoba berbagai formula. Kongsi masih teka-teki. Kompromi terus dijajaki agar tiket terpakai. Punya harga, dan tidak kedaluwarsa di gelanggang kontestasi. Di level pimpinan partai pun, tidak ada nama yang mentereng. Paling banter Prabowo Subianto. Tapi patut dicatat, Gerindra bukan pemegang golden ticket. Prabowo masih harus mencari rekan koalisi untuk mengajukan nama dan masuk ke arena. Sementara partai-partai lain tampak inferior. Tidak pede untuk menawarkan kandidatnya. Rasa rendah diri itu tercermin dari minimnya nama elit partai di bursa survei sebagai figur yang dikehendaki rakyat. Memang beberapa ketua umum terus menyodorkan diri melalui sosialisasi masif, tapi elektabilitasnya mentok. Tak pernah beranjak ke angka yang bikin sumringah. Inilah dampak buruk desain pemilu berbasis ambang batas perolehan suara yang diterapkan di Indonesia. Selain membatasi figur pada pilihan-pilihan terbatas, presidential threshold juga menjelma menjadi kuburan bagi partai politik. Pengalaman pemilu sebelumnya, sejumlah partai akhirnya gagal ke Senayan karena tak mampu meraih cottail effect akibat tak memunculkan figur. Malah mengampanyekan figur dari partai lain. Aneh bin ajaib. Kandidatnya menang, partainya ketinggalan. Sebuah paradoks demokrasi yang lagi-lagi timbul karena rezim presidential threshold. Selain itu, presidential threshold berefek pada tidak terbangunnya tradisi politik yang baik. Parpol mandul sebagai dapur kaderiasasi kepemimpinan. Alih-alih menyodorkan kader, parpol malah lebih sibuk mencari figur dari luar, yang kuat dan punya magnet di masyarakat. Presidential threshold mematikan fungsi partai sebagai laboratorium pemimpin bangsa. Pada akhirnya, elit partai terjebak berpikir jangka pendek menjelang pemilu. Memberikan jas kepada figur yang dianggap mampu memenuhi syarat. Terutama uang mahar pembeli tiket yang sudah jadi rahasia umum. Mekanisme ini akhirnya jadi portal bagi oligarki pemilik modal menancapkan pengaruhnya. Ongkos politik yang tinggi untuk kampanye, dan berbagai kebutuhan lain, tidak mungkin bisa dibiayai seorang kandidat. Satu-satunya cara yang memungkinkan proses tersebut berlanjut, adalah dengan membuka “partisipasi” pihak ketiga. Itulah potret partai paceklik figur menghadapi Pilpres 2024, memvalidasi kekhawatiran kita terhadap komorbid presidential threshold. Nasib parpol-parpol papan tengah dan papan bawah kini terancam menggantang asap. Daya tawar melemah. Jika gagal menemukan figur yang tepat, dan dibekali modal popularitas serta sokongan kapital mumpuni, nasibnya bisa terbenam pada pemilu 2024. Status sebagai pemegang tiket ke gelanggang, rupanya serba tanggung dan tak pasti karena urusan ambang batas pencalonan. Bahkan, sangat mungkin di tikungan akhir nanti, ada parpol yang terpaksa menyodorkan tiket gratisan. Demi dapat tempat duduk di dalam gerbong. Dinamika politik yang terjadi tak hanya membuat para elit parpol kerepotan bermanuver dan ketakutan tertinggal kereta, publik juga dibuat lelah dengan aneka drama yang jauh dari kata memperjuangkan kepentingan rakyat itu. Situasi pelik ini semestinya menjadi pembelajaran bagi semua parpol. Kini, presidential threshold telah membuka mata kita tentang pangkal semua problematika politik yang terjadi di Indonesia. Saat perolehan suara masih terbilang tinggi, atau masih punya rekan koalisi, presidential threshold mungkin dianggap hal biasa. Tapi siapa yang berani jamin, pada pemilu mendatang suara partai tak jeblok. Tidak ada yang bisa memaksa partai lain agar tetap mau jalan bareng dalam satu atap koalisi, sementara kepentingnya sudah berubah. Karena itu, perlu langkah berani untuk mendobrak segala kebuntuan ini dengan melakukan gugatan terhadap presidential threshold. Ambang batas pencalonan ini tidak kompatibel dengan demokrasi yang hendak kita bangun. Presidential threshold merusak tatanan dan infrastruktur politik Indonesia. Jakarta 9 Juni 2022. (*)

Indonesia Kini: Ngeri!

Oleh Dr. Masri Sitanggang - Ketua Umum Gerakan Islam Pengawal NKRI SEMUA bagian bangunan negeri ini sudah digrogoti rayap korupsi, menunggu ambruk atau diambil alih pihak lain. Masihkah bisa diselamatkan dengan cara-cara prosedural biasa ? Mahfud MD bingung, LaNyalla pesimis.  Mahfud MD kehabisan  kata untuk menggambarkan kondisi Indnesia kini. Ia cuma bisa bilang : “mengerikan”. Padahal  ia seorang guru besar, pakar di bidang Hukum Tata Negara, pernah jadi Ketua Mahkamah Konstitusi dan  sudah malang melintang  di jabatan politik negeri ini. Pastinya, dengan back ground seperti itu, sudah ratusan judul buka pula ia baca. Lazimnya, perbendaharaan dan tutur kata serta gaya bahasa seseorang sebanding dengan bahan bacaannya. Mahfud bukanlah type pembaca  komik Dora Emond atau Sincan. Oleh karena itu, mengejutkan bila Menko Polhukam ini kehabisan kata untuk menggambarkan Indonesia kini.    Tentu bukan Mahfud yang salah. Kondisi Indonesia memang sudah sangat sulit dilukiskan dengan kata. Terlalu panjang kata –yang memiliki nilai rasa mengerikan, dirangkai untuk bisa menjelaskan  Indonesia now. Itu artinya, keadaan sesungguhnya bukan lagi mengerikan, melainkan : “Udah ngeri kali”, bahasa orang Medan.  agar negara ini bisa maju, menurut Mahfud, pemimpin yang muncul setelah Jokowi, haruslah pemimpin yang bisa menyatukan, menjaga keseimbangan dan merekatkan.  “Nggak kayak sekarang, waduh mengerikan saya lihat,” katanya. Korupsi sudah tidak terkendali dan itu ada di semua sektor, begitu kata orang Madura ini. Parlemen, pengadilan, birokrasi dan para pengusaha semua bekerja dengan cara-cara itu. Apa tidak ngeri ?  Bagaimana mungkin rakyat bisa menyatu, merekat dan seimbang kalau pengelola negara sudah bekerja dengan cara-cara korupsi ? Yang ada, adalah kecemburuan sosial karena tercipta jurang lebar dan dalam antara kaya dan miskin.  Yang ada, adalah rasa kebencian kaum papa yang terdzalimi terhadap arogansi dan kesewenangan penguasa dan pengusaha serta orang berpunya. Itu alamiayah. Sementara bagi pengelola negara yang korup,  suasana itu bahkan dikehendaki karena dapat memberikan keuntungan tersendiri. Parlemen (legislatif), birokrasi-pemerintah (eksekutif) dan pengadilan-penegak hukum (yudikatif) –yang dalam teori politik modern adalah pilar tegaknya negara hukum, negara demokrasi– sudah  sama-sama bekerja degan cara-cara korupsi. Bagaimana membayangkan sebuah negara yang demikian ? Mungkin lebih cocok digambarkan sebagai sebuah pasar tradisional yang dikuasai oleh para preman atau pun bandit. Di situ hukum, kekuasaan dan keadilan adalah milik para preman dan bandit ditambah pengusaha bermodal kuat.  Janganlah  berharap ada belas kasih di situ. Apalagi keadlilan sosial. Cari makanlah sendiri-sendiri dan bersainglah sekuatmu (tapi jangan coba-coba saingi pedagang bermodal kuat kalau tidak ingin dicampakkan dari pasar itu) . Setiap orang adalah pesaing bagi orang lain.  Homo homo ni lupus kata Plautus : manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, saling terkam. Awas, jangan telat bayar macam-macam pajak upeti pada para penguasa.  Apalagi membangkang. Maka, Ian Antono dan Taufiq Ismail benar :  “Dunia Ini Pangung Sandiwara”. Lagu yang bawakan Rocker Indonesia, Ahmad Albar, di tahun 78, mungkin dapat menggambarkan prilaku pengelola negara seperti ini. Setiap orang dapat satu peranan. Ada peran wajar dan peran berpura pura. Ada yang jelas menampakkan kebanditannya, ada pula yang menutupinya dengan pencitraan yang mengesankan. Yang terakhir ini, selalu berteriak “Pancasila dan NKRI harga mati”, “demi rakyat, bangsa dan negara” atau teriakan lain yang senada dengan itu. Tetapi, bagaimana punj uga, kalau pengadilan –yang mestinya menjadi benteng penegakan hukum, sudah bekerja dengan cara-cara korupsi, dipastikan akan sangat sulit  beraharap keadilan  dari yang mulia tuan hakim.  Gedung pengadilan tak lebih dari theater tempat pementasan drama sandiwara atau dagelan. Tempat mafia hukum dan cukong  menyusun skenario, menentukan ending cerita, memiliih dan mengarahkan pemeran utama –para jaksa dan hakim, agar sandiwara persidangan enak dinikmati. Agar bisa bikin penonton terbahak-bahak, atau mabuk kepayang. Kalau ada yang tidak puas, itu salah dia sendiri: kenapa tidak pesan (bayar upeti tentunya) sekenario ? Di panggung sandiwara ini, “ceritanya mudah berubah” : kasus yang sama putusan bisa berbeda.  Kalau legislatif sudah bekerja dengan cara-cara korupsi, masihkah bisa berharap akan lahir undang-undang yang pro rakyat dari anggota dewan yang terhormat ? Setiap pasal dalam setiap RUU ada harganya. Itu tak mungkin terbeli oleh rakyat yang –karena himpitan ekonomi, diminta untuk makan keong sebagai pengganti daging dan dua buah pisang pengganti nasi serta memasak dengan cara merebus saja.  Oleh sebab itu, lahirnya sebuah UU lebih  sering atas dorongan –dan karena itu untuk kepentingan,  pengusaha dan penguasa. Rakyat dan segala propertinya justeru jadi komuditas, barang dagangan. Ibarat sumber daya alam (bukan lagi sumber daya manusia), rakyat dan propertinya dieksploitasi para bandit untuk memperkaya  diri. Dan, seperti juga sinetron, seringkali undang-undang harus kejar tayang, harus segera disahkan sesuai pesanan. Para anggota dewan yang terhormat pun khusuk  dalam sidang marathon untuk kemudian :  “tok”, “tok”, “tok”. Palu berbunyi tepat dini hari, ketika rakyat tenggelam di lelap malam.   Kalau sudah begini, masihkah rakyat boleh berharap parlemen  melakukan pengawasan terhadap prilaku dan kenerja pemerintah yang juga bekerja dengan cara-cara korupsi  ? Heh, hepeng do mangatur nagaraon, kata orang kami Batak : uang lah yang mengatur negara ini. Jaganlah berharap macam-macam. Kalau eksekutif sudah bekerja dengan cara-cara korupsi, maka para birokrat sesungguhnya adalah pelaku bisnis. Bisnis kotor, pastinya. Bisnis para preman dan bandit. Bisnis para penghisap darah. Mengambil hak orang lain secara bathil. Menguras kekayaan rakyat dan negara untuk kekayaan pribadi. Dengan cara maling yang bersembunyi di balik undang-undang atau bisa juga terang-terangan merampok gaya begal.  Bagi pelaku bisnis, wilayah Indonesia yang luas berserta penduduk yang ramai dan kekayaan alam yang melimpah adalah pasar sekaligus aset dagangan. Terlalu naif bila mengeluarkan kebijakan atau aturan yang tidak menghasilkan rupiah untuk bekal anak cucu. Semua tindakan, harus menambah pundi-pundi.     Maka, “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia” adalah mimpi. Yang akan nyata adalah melindungi mereka yang punya uang, siapa pun dia : bangsa Indonesia maupun bukan.  Melindungi  “seluruh tumpah darah Indonesia” juga mimpi. Memang, laut, gunung dan hutan serta pulau-pulau itu masih ada di wilayah Idonesia –karena tidak bisa dipindahtempatkan, tapi mungkin penguasanya sudah entah siapa.  “Memajukan kesejahteraan umum”, pastilah juga mimpi. Mana ada begal yang berpikir untuk kesejahteraan orang lain?  Mencerdaskan bangsa ? Heeemmm..., ini yang ngeri-ngeri sedap. Bagi para bandit, penghisap darah, orang-orang cerdas adalah ancaman. Apalagi cerdas dan berani. Maka bandit-bandit berupaya mengebiri dunia pendidikan. Bukan saja membuat biaya pendidikan jadi mahal, mereka berusaha mencengkeramkan cakarnya di lembaga-lembaga pendidikan agar bsa menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Tetapi repotnya ketika berhadapan dengan  lembaga pendidikan yang sukar didikte karena sifat kemandiriannya. Untuk yang ini, perlu jurus dewa mabok : menohok dengan radikul-radikul.  Mungkinkah para maling dan penjarah kekayaan negara dapat “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”? Jauhlah panggang dari api. Niat untuk itu saja pun dipastikan mereka tidak punya. Sebab, perilaku  jahat (korupsi-maling-rampok) dan niat baik (mewujudkan keadilan sosial) adalah dua hal yang berlawanan secara diametral. Pelaku kejahatan (koruptor-maling-rampok), pada saat yang sama, tidak mungkin adalah pelaku kebaikan (berniat) mewujudkan keadilan sosial. Sebaliknya, seorang yang berniat baik (mewujudkan keadilan sosial), pada saat yang sama, tidak mungkin mau melakukan kejahatan (korupsi-maling-rampok).  Tidak mungkin seorang yang beradab sekaligus adalah  biadab,  atau sebaliknya.  Jadi kalau penegak hukum, parlemen dan birokrasi sudah bekerja dengan cara-cara korupsi, ditambah lagi para pengusahanya juga demikian, lengkaplah sudah kerusakan negeri ini. Bagaimana lagi mendiskripsikannya ? Kita terpaksa setuju dengan Mahfud, hanya  ada satu kata: mengerikan! Hilanglah sudah harapan akan Indonesia Adil dan Makmur. Pupuslah sudah cita-cita Indonesia merdeka yang dengan susah payah dirumuskan para pendiri bangsa dalam pembukaan UUD 1945 –dan susah payah pula kita camkan sejak duduk di bangku Sekalolah Dasar. Indonesia sudah seperti bangunan  yang semua bagiannya digrogoti rayap, menunggu ambruk atau diambil alih pihak lain.   Bagaimana memperbaiki keadaan ini? Mahfud pun bingung. \"Kayaknya memang perlu satu terobosan. Kalau teori klasik, seperti di Amerika Latin biasanya muncul kudeta. Ini negara mau hancur, saya ambil, dan memang ada teorinya. Teori Plato 2.500 tahun lalu mengatakan, kalau demokrasi sudah menjadi anarkis memang harus muncul apa yang disebut strong leader, pokoknya babat saja dulu, daripada negaranya hancur.\" Begitu kata  Mahfud. Atau, mungkin juga seperti di Pililipa yah, People Power : kekuatan rakyat memaksa penguasa dzalim turun? Bila dikuasi para bandit, demokrasi pastilah anarkis. Dalam situasi seperti ini, melalui demokrasi prosedural normal, sulit mengharapkan munculnya  pemimpin yang berani jujur (shiddiq –kata-katanya dapat dipercaya),  mampu menunaikan tugas yang diembankan dengan baik dan tidak menyalahkangunakan kekuasaan (amanah), dapat mengambil keputusan yang tepat dengan cepat (fathanah)  dan senantiasa menyampaikan kebenaran sebagai pengajaran bagi rakyatnya (tabligh).  AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD RI, juga pesimis. Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu –berkenan ambang batas pencalonan Presiden, menjadi penghalang munculnya pemimpin harapan rakyat. Ini dinilai sebagai  pasal penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia. “Itu menjadi pintu masuk bagi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik untuk mengatur dan mendesain pemimpin nasional yang akan mereka ajukan ke rakyat melalui Demokrasi Prosedural yang disebut sebagai Pilpres,”kata LaNyalla. Tentu yang dicalonkan adalah sosok yang memihak kepentingan mereka.  Selain melanggar Konstitusi, menurut LaNyalla UU produk parlemen ini menghalangi terwujudnya cita-cita negara seperti tertulis di dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itulah DPD RI secara kelembagaan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Pasal 222 Undang-Undang Pemilu yang dibuat oleh para anggota dewan yang terhormat itu.   Masalahnya adalah, bukankah Mahkamah Konstusi juga adalah bagian dari peradilan Indonesia –yang kata Mahfud telah bekerja dengan cara-cara korupsi ? Mungkinkah oligarki (penguasa dan pengusah korupsi) itu membiarkan gugatan yang mengganggu kepetingan mereka dikabulkan ? Entahlah, mudah-mudahan saja nurani para haki MK diterangi cahaya hidayah.  Tetapi yang pasti, jalur itu –Judicial  Reviw mengikuti prodedur hukum dan perundang-undangan, sudah  ditempuh oleh banyak orang yang masih memelihara moralitas, yakni orang-orang tidak ingin cara parlemen jalanan. Harapannya,  agar  semua pihak taat pada –-dan mau menegakkan, hukum dan perundang-undangan. Perhatikanlah, sepanjang ada Mahkamah Konstitusi, di masa pemerintahan sekarang inilah yang terbanyak Judicial Reviw.  Tapi hasilnya? Para moralis pengaju Judicial Reviw   menumpahkan kekecewaannya di berbagai media.  LaNyala tampaknya telah menyadari resiko ini.  Karena itu ia memberi warning keras. Katanya begini : “Mahkamah Konstitusi nanti menolak gugatan DPD RI atas Pasal 222, maka saya katakan di sini, bahwa Mahkamah Konstitusi telah dengan sengaja memberi ruang kepada Oligarki Ekonomi Sehingga sudah sepantasnya Mahkamah Konstitusi dibubarkan. Karena tidak lagi menjaga negara ini dari kerusakan akibat produk perundangan yang merugikan rakyat dan menjadi penyebab kemiskinan struktural di negara ini.” Ngeri memang. Bayangkan,  DPD RI –yang semua anggotanya dipilih rakyat bukan atas dasar aliran politik, secara kelembagaan menggugat hasil kerja  DPR RI yang tidak memihak kepentingan rakyat. Apa yang akan terjadi bila MK menolak dan MK pun tidak pula bubar? Mudah-mudahan Mahfud sudah menemukan terobosan dan LaNyalla sudah siap dengan langkah lanjutan.  Wallahu a’lam bisshawab