OPINI

Rakyat Menggugat Sepak Terjang LBP (3): Pelindung Konglomerat Pengembang Properti Terlibat Dugaan KKN

Oleh Marwan Batubara - IRESS - PNKN DALAM tulisan ke-3 ini dibahas peran Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dalam kasus yang melibatkan sejumlah konglomerat pengembang properti.  Dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta, hampir semua pengembang properti terkemuka mendapat jatah membangun “pulau-pulau” reklamasi. Proyek rekalamasi adalah contoh nyata proyek oligarki kekuasaan di Indonesia. Misalnya, merekalah yang mengusung Ahok pada Pilkada DKI 2017. Karena sarat pelanggaran dan digugat publik, Menko Rizal Ramli menghentikan proyek tersebut. Karena berani menghentikan proyek ini, justru Rizal digusur oligarki. Rizal kemudian digantikan oleh LBP yang bertekad melanjutkan proyek. Kata LBP: \"Iya (tetap lanjut). Tidak ada masalah kok. Kamu kalau temukan ada masalah, tunjukkan, kesalahannya ada dimana\" (11/7/2017). Proyek yang sebelumnya dihentikan Rizal, kembali dilanjutkan LBP. Setelah Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI, proyek reklamasi dihentikan, kecuali 4 pulau (C, D, G dan N) yang terlanjur dibangun secara illegal. Pada 6 September 2018, Anies mencabut izin 13 pulau reklamasi melalui SK No.1409/2018. Mega proyek reklamasi adalah bisnis properti 17 pulau (A s.d M) seluas 70.000 ha (Jakarta Pusat hanya 48.000 ha) oleh puluhan konglomerat dan potensi untung Rp 516 triliun. Nilai sangat besar menjadi alasan mengapa LBP pasang badan untuk bisnis para konglo. Proyek oligarki yang harus berlanjut. LBP pernah mengancam Anies karena penghentian proyek: \"Saya enggak lihat ada alasan, tapi kalau mau disetop, ya, bikin aja situ setop, nanti kalau sudah Jakarta tenggelam atau menurun, tanggung jawab. Jadi, jangan lari tanggung jawab\" (8/5/2017). LBP mengingatkan kewenangan pejabat pemerintah, baik menteri, gubernur, bahkan presiden sekalipun. LBP bilang Anies harus taat aturan dan kewenangan ketika stop reklamasi. \"Jangan anggap jadi Gubernur DKI lantas semua bisa dikerjakan, tidak dapat begitu\" kata LBP.  Pada 24 April 2018 LBP mengingatkan Anies: \"Kalau dia resisten, ya lihat aja. Silahkan ditunjukkan resistensinya dimana. Saya enggak ada urusan. *Tapi jangan bilang macam-macam sama saya, saya kejar siapa pun dia”*. Terkait kepastian investasi LBP bilang: “Ya, secara profesional saya pertanggungjawabkan, siapa pun dia. *Mau siapa dia ngomong ke sini. Jangan asal ngomong aja republik ini dia pikir apa. Emang dia siapa? Ngomong yang benar gitu\"*. Inilah gaya bicara LBP yang arogan! Jawaban Anies: “Justru karena kita menggunakan aturan, maka kita mau tertibkan”. Menurut Anies dalam Pasal 4 Kepres No.52/1995 wewenang reklamasi di tangan gubernur. Yang terjadi sekarang, ada pengembang yang sudah bikin gedung tinggi dan besar tanpa ikut  aturan. Belakangan mereka minta diberi izin karena sudah keluar uang banyak, sudah investasi. Ternyata para pengembang bukan saja melanggar hukum, tapi merusak lingkungan, mengganggu mata pencaharian nelayan dan terlibat suap-menyuap. Hal ini terbukti dalam sejumlah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan Gubernur Anies dan menolak gugatan para pengembang yang izin dicabut. Terbukti ancaman LBP di atas tidak relevan dan tidak valid. Bahkan LBH Jakarta menilai LBP melanggar pinsip GCG, melecehkan pengadilan, serta melindungi mega korupsi yang dilakukan pengembang. Ke depan, karena “kemampuan para pengembang mempengaruhi” pengadilan tingkat lebih tinggi (MA), ditambah peran LBP, bisa saja izin-izin “hidup kembali”. Contohnya izin reklamasi Pulau H konon telah dimenangkan pengembang (3/9/2021). Artinya kepentingan lingkungan, nelayan, akses publik, dan otonomi daerah bisa saja dinihilkan. Oleh sebab itu, rakyat harus melawan upaya oligarki dan LBP yang diduga sarat moral hazard tsb. Proyek Meikarta Terkait proyek Meikarta, LBP memastikan semua perizinan dan kepemilikan tanah Proyek Meikarta tidak masalah. \"Saya tanya Pak James (Riady) mengenai semua masalah perizinan dan kepemilikan tanah. (Dia jawab) semua tidak ada masalah\"(29/10/2017).   Setahun kemudian, meski Lippo terlibat penyuapan, LBP masih membela Lippo Group. Kata LBP: “Saya melihat betapa Pak James Riady mempertaruhkan reputasi Lippo Group membangun kawasan yang sudah dipersiapkan selama 20 tahun” (16/10/2018).  Ternyata, proyek Meikarta bernilai Rp 278 triliun dibangun tanpa izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT), tanpa Amdal, tanpa IMB, melanggar Perda No.12/2011 Tata Ruang Kabupaten Bekasi, UU No.20/2011 Rumah Susun, dan Perda Jabar No.12/2014 Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pertumbuhan. Selain itu Lippo terlibat kasus penyuapan. Berbagai pelanggaran di atas terbukti di pengadilan tipikor. 10 orang masuk penjara, 5 orang dari pemda (termasuk Bupati Bekasi Neneng Hasanah dan Sekda Jabar Iwa Karniwa) dan 4 orang dari Lippo (termasuk Billy Sindoro dan Bartholomeus Toto). Pada 5 April 2020, meski kasus kejahatan pemilik Meikarta sudah terang benderang, LBP masih membela Lippo dengan mengatakan investor yang menanam modal justru menjadi tahanan KPK. Kata LBP: “Karena investor sudah menginvestasikan uang mereka, tapi pemerintah daerah minta ini dan itu. Dan ketika mereka memberikan sesuatu untuk pemda, mereka malah ditangkap KPK yang saya pikir itu hal yang sangat buruk” (5/2/2020).  Faktanya Lippo Group telah membangun properti illegal sesuka hati, seakan berada di atas negara, dan memasarkan produk illegal secara massif. Guna meraih izin Lippo menyuap pejabat. Akibatnya banyak konsumen tertipu karena pelanggaran hukum dan kebohongan. Semua kejahatan telah terbukti di pengadilan. Meski begitu, LBP masih membela Lippo. Wajar jika rakyat menggugat LBP dan juga Jokowi yang mempertahan LBP. Selama ini pemerintahan oligarkis, membuat taipan terlibat korupsi dan penyuapan bisa lolos proses hukum. Pemilik Agung Podomoro Sugianto Kusuma bersama Ahok* lolos jerat KPK walau alat bukti lebih dari cukup. *Berkat perlindungan penguasa oligarkis, terutama LBP, James Riady juga telah lolos dari penjara. Bahkan James Riyadi malah diangkat oleh Pemerintahan Jokowi menjadi anggota Satgas Omnibus Law (10/10/2020). Fatal! LBP berada di garis depan membela dan melindungi pemilik proyek Reklamasi dan Meikarta yang terlibat kejahatan dan KKN. Kedua proyek merupakan pendukung eksistensi pemerintahan oligarki. Karena kedua proyek gagal, sementara para konglomerat yang telah “banyak berkorban” saat pemilu dan pilkada, maka perlu dikompensasi dengan proyek baru. Itulah mengapa Proyek IKN Baru harus jalan! Di samping kompensasi proyek gagal, proyek IKN adalah objek berburu rente BESAR, modus mempertahankan eksistensi oligarki, dan alat memenuhi kepentingan China. Padahal, IKN adalah proyek mercu suar yang sangat tidak layak dibangun. Dalam kondisi negara normal saja proyek IKN tidak dibutuhkan dan tidak layak. Apalagi jika dampak pandemi, keuangan negara yang morat-marit, hutang menggunung, ekonomi bermasalah, kemiskinan meningkat, dan daya beli rakyat semakin menurun. Maka pembangunan IKN semakin tidak layak. Sebagai kesimpulan, terlihat bahwa pelanggaran hukum dan dominasi oligarki sangat mewarnai Pemerintahan Jokowi, di mana salah satu aktor utamanya LBP. Jika tidak segera dihentikan, penyelewengan dan dominasi oligarki akan semakin merusak kehidupan rakyat dan meruntuhkan kedaulatan negara. Rakyat harus bersatu menggugat LBP dan Pemerintahan Jokowi yang melindungi para terduga koruptor proyek Reklamasi dan Meikarta, serta memaksakan proyek IKN yang sarat kepentingan dominasi oligarki dan China.[] Jakarta, 13 April 2022.

Kenapa Demo Saat Ini Selalu Anti Klimaks?

Oleh Raden Baskoro Hutagalung - Forum Diaspora Indonesia SEDARI awal, saya sudah memperkirakan demonstrasi 11 April kemarin akan berakhir anti klimaks. Maksudnya adalah : Out put demo yang seharusnya menyampaikan sebuah aspirasi yang tersumbat melalui jalur politik linear, berakhir tidak sesuai dengan tuntutan demo alias gagal! Malah bonusnya lagi bagi demonstrasi 11 April kemarin, terjadi insiden “pemukulan” terhadap buzzer pemerintah Ade Armando yang total berhasil merebut semua konsentrasi isu, berubah dari substansi tuntutan dan aspirasi jadi pertengkaran “pembugilan” Ade Armando oleh massa pendemo saat itu. Hal ini setidaknya selalu berulang, sejak kepemimpinan Jokowi periode kedua ini. Jangan harap akan kembali terjadi demo akbar atau “mega demo” alias “people power” seperti aksi bela Islam 212 yang mampu menghadirkan 14 juta manusia melumpuhkan Jakarta secara damai. Kenapa ini bisa terjadi? Setiap demo anti klimaks dan pemerintah bagaikan tembok karang yang tak tergoyahkan?. Berikut basis analisisnya. Pertama. Para pendemo saat ini terpecah belah oleh banyak faksi dan orientasi kepentingan. Kalau dahulu ketika aksi 212 fokus dan total pada satu isu yaitu bela Islam dan penjarakan Ahok, saat ini para pendemo terbagi bagi dalam banyak kelompok yang irisan kepentingannya pun sulit untuk disatukan. Seperti dari kelompok Mahasiswa itu sendiri. Ada kelompok BEM SI, ada kelompok BEM Nusantara, adalagi kelompok para kampus elit dan besar, ada lagi kelompok kampus pinggiran namun banyak. Keberagaman faksi dan kelompok ini juga menjadikan keberagaman tuntutan dan orientasi kepentingan. Ada yang cukup datar-datar saja pada isu korupsi. Ada yang respect pada isu ekonomi semata. Ada yang gado-gado, dan juga ada yang memang berdasarkan ideologi perjuangan politik civil society mahasiswa dalam berdemokrasi. Begitu juga kelompok-kelompok di luar mahasiswa. Baik itu dari kelompok buruh-buruh, kelompok emak-emak, kelompok Islam baik itu dari FPI, PA 212, ARM, aktifis LSM, KAMI, dan purnawirawan TNI/Polri.  Masing-masing kelompok, meski mempunyai judul lagu yang sama tetapi tetap terbelah dalam genre lagu yang berbeda-beda. Sehingga, tetap menghasilkan disharmonisasi gerakan yang membuatnya selalu anti klimaks. Masing-masing kelompok dan faksi mahasiswa ini seakan “enggan” bermusyawarah dan berhimpun dalam satu gelombang gerakan bersama-sama. Karena sejatinya, baik isu, substansi permasalahan yang diperjuangkan mereka itu adalah sama. Yaitu perjuangan melawan tentang nilai ketidakadilan, kerusakan pengelolaan negara, dan bagaimana rezim hari ini segera berakhir. Kedua. Secara locus dan tempus (tempat dan waktu) juga tidak serentak. Masing faksi gerakan seolah-olah bergerak sendiri di hari yang berbeda-beda, di tempat  yang berbeda juga. Walaupun tuntutan yang disampaikan selalu sama.   Sehingga, setiap aksi demonstrasi tidak menpunyai “efect kejut” yang kuat terhadap publik dan pemerintah. Ketiga. Para kelompok demonstran dan oposisi ini belum mempunyai yang disebut namanya kekuatan “Hard Power”. Apapun namanya, setiap gerakan harus mempunyai “Hard Power” sebagai senjata “pemaksa” yang ditakuti pihak penguasa. Kekuatan “Hard Power” itu setidaknya ada tiga hal yaitu ; Kekuatan kelompok basis massa yang besar terkonsolidasi, sistematis yang bisa digerakkan setiap saat dimana jumlahnya sudah jutaan tidak ratusan ribu lagi. Selanjutnya dukungan militer aktif plus dengan pasukannya, dan dukungan kuat dan konkrit luar negeri. Nah tiga hal ini yang belum dipunyai oleh para demonstran daj oposisi.  Keempat. Harus kita akui, kelompok Oligharki yang menguasai pemerintah hari ini masih cukup kuat dan terkonsolidasi. Artinya, infrastruktur kekuasaan seperti aparat hukum, inteligent, media, dan logistik uang, menjadi senjata utama rezim dalam menangkal, mencegah, mengembosi, dan memukul setiap gerakan aksi. Mulai dari strategi propaganda isu media, penyekatan arus demo, intimidasi kepada tokoh, penetrasi logistik, infiltrasi ke tubuh kelompok untuk “mengdrive” isi tuntutan dan pola gerakan, hingga menyiapkan pasukan pemukul yang kuat, semua itu efektif dilakukan.  Kelima. Belum munculnya tokoh sentral atau lokomotif perjuangan yang kuat dan mampu menyatukan seluruh komponen perjuangan. Apakah itu berupa figur orang maupun ormas. Setidaknya seperti aksi 212 dengan figur utama perlawanannya Imam Besar Habieb Rizieq Shihab dengan GNPF MUI sebagai payung organisasinya tempat berhimpun. Keenam. Keberhasilan rezim melakukan teror dan intimidasi kepada kelompok oposisi, yang membuat “ciut” nyali kelompok oposisi maupun mahasiswa.  Teror dan intimidasi ini berupa penangkapan aktifis, persekusi dan kriminalisasi bahkan hingga pembunuhan seperti kasus KM 50, termasuk juga aktifis Densus 88 yang setiap saat tersiar beritanya mengenai penangkapan para aktifis Islam. Dan teror serta intimidasi seakan mendapatkan legitimasi hukum dari penguasa. Tak ada HAM, tak ada hukuman bagi para pelakunya. Ketujuh. Dukungan logistik yang sangat lemah kepada kelompok oposisi dan mahasiswa ini. Mau tidak mau, ada istilah ; Uang bukan segalanya, tetapi segalanya dalam sebuah aktifitas gerakan butuh uang. Beda dengan aksi reformasi 1998 yang mendapat dukungan tsunami jutaan dolar Amerika dari asing dan para pengusaha lokal seperti dari (alm) Arifin Panigoro dan kelompok taipan lainnya yang anti Soeharto.  Beda juga dengan aksi 212, yang mendapat dukungan logistik secara suka rela justru dari para pendemo itu sendiri. Namun saat ini, tampak sekali dukungan logistik ini sangat sulit ditambah pukulan ekonomi masa pandemic covid ini yang meluluhlantakkan semua sendi ekonomi.  Justru yang panen uang melimpah adalah para kelompok penguasa hari ini. Makanya mereka leluasa melakukan apa saja, membayar siapa saja, dalam menggembosi semangat perlawanan dari masyarakat. Dari tujuh point di atas itulah kita dapatkan kenapa setiap demonstrasi saat ini selalu berakhir anti klimaks dan boleh dikatakan gagal. Lalu bagaimana cara memperbaikainya ? Ya tergantung kepada semua kelompok oposisi dan mahasiswa itu sendiri. Tujuh point di atas tinggal dibalik, dipahami maksudnya, dan dijalankan bersama-sama. Karena yang dihadapi saat ini adalah kelompok oligharki yang sedang menikmati puncak keemasannya. Dan pasti akan melakukan segala daya upaya untuk mempertahankan kekuasannya. Perth-Australia, 13 April 2022.

Harusnya Demo Itu Tuntutannya Kembali ke UUD 1945 Asli

Jadi, sangat yakinlah kita bahwa UUD 1945 itu dibuat bukan dengan sementara, bukan dengan singkat. Tetapi dengan ijin Allah SWT, hal inilah yang tidak dibaca oleh pengamandemen UUD 1945. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila JIKA saja para Mahasiswa itu dalam demonya menuntut Sidang Istimewa MPR untuk kembali ke UUD 1945 dan menjalankan kembali Ideologi Pancasila maka rakyat dan negara ini akan berdaulat. Jika kembali pada UUD 1945 maka: 1. Keanggotaan MPR tidak hanya DPR dan DPD tetapi ada utusan golongan- golongan termasuk di dalamnya ada golongan TNI dan Kepolisian. Semua elemen rakyat terwakili termasuk Kerajaan dan Kesultanan. 2. Mengembalikan Bangsa Indonesia Asli, yang diamandemen menjadikan Warga negara lebih tinggi. Bangsa Indonesia adalah pemilik negeri ini maka sudah sepantasnya dan seharusnya Presiden ialah bangsa Indonesia Asli. 3. Bumi air dan kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai negara sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tidak boleh ada orang atau swasta menguasai jutaan hektar tanah/lahan, itu melanggar pasal 33. Akibat dari menguasai jutaan hektar tanah penghasil sawit maka secara oligarki, oligopoli, kapitalis, mendikte penguasa terhadap minyak goreng, rakyat mau beli antri sampai ada ibu yang meninggal. Padahal sudah jelas dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Makna yang terkandung dalam ayat tersebut sangat dalam yakni sistem ekonomi yang dikembangkan seharusnya tidak basis persaingan serta atas asas yang sangat individualistik. 2.) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Jadi Minyak goreng, BBM, Gas, Listrik sudah jelas pasal yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Apa yang terjadi sekarang terjadi pelanggaran berat terhadap Konstitusi. Maka seharusnya mahasiswa menuntut dikembalikan ekonomi sesuai pada pasal 33 karena pasal ini masih berlaku. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penggarongan besar-besaran terhadap nikel oleh perusahaan China, tambang- tambang harus ditata ulang seperti kehendak pasal 33 ayat ke-3, kalau tidak ini pelanggaran konstitusi dan harus diadili. 3. Mengembalikan Visi Misi Negara. Sejak UUD 1945 diamandemen Visi Misi Negara telah berubah menjadi Visi Misi Presiden dan Wakil Presiden. Bagaimana ini bisa terjadi sementara Presiden yang menjalankan negara punya visi misi sendiri. Sementara negara sejak didirikan sudah mempunyai Visi Misi Negara yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945. Visi negara: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Misi negara :melindungi  bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.  Visi Misi Presiden dan Wakil Presiden. Visi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia: “Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berdasarkan Gotong Royong” Misi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia: Peningkatan Kualitas Manusian Indonesia; Struktur Ekonomi yang Produktif, Merata dan Berdaya Saing; Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan; Mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan; Kemajuan Budaya yang Mencerminkan Kepribadian Bangsa; Penegakan Sistem Hukum yang Bebas Korupsi, Bermartabat dan Terpercaya; Perlindungan Bagi Segenap Bangsa dan Memberikan Rasa Aman pada Seluruh Warga; Pengelolaan Pemerintah yang Bersih, Efektif, dan Terpercaya; Sinergi Pemerintah Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan. Kesalahan ini yang dilakukan terjadi penyimpangan, bagaimana mungkin di dalam negara ada dua visi misi. Seharusnya Visi Misi Negara diuraikan di dalam GBHN dalam bentuk program program sebagai acuan seluruh politik negara yang menjadi dasar bagi lembaga lembaga negara termasuk TNI/Polri. Kalau ada pertanyaan pada TNI/Polri apa dasar politik negaranya? Apa benar Visi Misi Presiden dan Wakil Presiden sebagai politik negara? Kemudian jika ada pertanyaan pasal berapa di dalam UUD 1945 Presiden sebagai Kepala Negara? Nggak terjawab, ini katanya negara hukum. Rupanya pengamandemen lupa memasukan pasal tentang kepala negara. Dengan tuntutan demo mahasiswa seperti ini maka akan terjadi revolusi kembali ke UUD 1945 Asli. Sebab, semua lembaga negara harus diretoling MPR menjadi MPRS dulu sebelum menjadi MPR definitif. Jika tata ulang ketatanegaraan terjadi maka para oligarki akan lari terkencing- kencing, sebab seluruh yang berbau KKN harus diusut dan diadili. Seluruh penggarongan-penggarongan terhadap kekayaan Ibu Pertiwi harus disita untuk negara dan diadili atas dasar pasal 33 UUD1945. Indonesia dengan UUD 1945 asli dan Pancasila itu memang hebat dan pendiri negeri ini orang-orang hebat. Oleh sebab itu untuk mengembalikan Indonesia jangan setengah-setengah maka bila perlu revolusi seakar-akarnya. Adili korupsi, oligarki, KKN, negara bangsa ini akan bersih maka Keadilan sosial akan terwujud, tidak mungkin keadilan sosial diletakkan pada sistem Liberalisme, Kapitalisme. Hal ini Mahasiswa harus mengerti dan paham tentang negara bedasarkan Pancasila. Ideologi negara berdasarkan Pancasila ya UUD 1945, kemudian diamandemen. Jadi yang diamandemen itu adalah ideologi negara berdasarkan Pancasila dan lucunya semua ormas harus berideologi Pancasila, sementara itu negaranya sudah tidak berideologi Pancasila. Bukannya arti Ideologi itu adalah kumpulan pemikiran atau kumpulan gagasan tentang negara berdasarkan Pancasila, ada di mana itu? Ya ada di batang tubuh tentang kekuasaan, kedaulatan, kehakiman, ekonomi, pendidikan, agama, bela negara, presiden, MPR, DPR, Pemerintah, dll diuraikan semua. Kok diamandemen, terus disetubuhkan dengan Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme. Padahal Pancasila itu anti tesis dari Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme. Pada notulen rapat pada 11-15 Juli 1945 BPUPKI dan rapat PPKI pada 18 Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi sosial, ekonomi dan geografis yang amat kompleks. Karena itu, MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembga bi-kameral. Bentuk MPR sebagai Majelis Permusyawaratan Perwakilan Rakyat dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial. Bung Hatta menyebutnya, sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan Negara, MPR berkedudukan sebagai Supreme Power dan penyelenggara Negara yang tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai Legislative Councils atau Assembty. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR. Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada. Sistem majelis yang tidak bi-kameral dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebagai lembaga permusyawaratan perwakilan. (Sumber: Sistem Negara Kekeluargaan Prof. Dr  Sofyan Efendi). Reformasi dengan Amandemen UUD 1945 telah telah mengkhianati Negara “semua buat semua“. Oleh karena The Founding Fathers mendirikan Negara “semua buat semua“, sistem yang dipilih adalah sistem MPR. Sebab, semua elemen bangsa akan duduk di lembaga tertinggi Negara ini untuk mengelola bersama, memutuskan bersama, dengan cara musyawarah mufakat, Negara ini di tangan rakyat, Kedaulatan tertinggi di tangan rakyat, Rakyatlah yang menentukan pembangunan, rakyatlah yang menentukan kebutuhannya. Oleh sebab itu, rakyatlah yang menyusun Garis Besar Haluan Negara (GBHN), setelah itu dicarilah Presiden untuk menjalankan GBHN. Di sanalah kesinambungan Negara ini bisa terwujud sebab GBHN akan terus berkelanjutan, bukan seperti sekarang ini setiap Presiden menganggap dia punya Negara, dia punya kekuasaan, keputusan Presiden terserah presiden, setiap ganti presiden ganti acara, dan rakyat hanya menjadi Obyek. Masih banyak para politikus dan pengamandemen UUD 1945 yang tidak membaca sejarah dengan benar. Begitu juga umat Islam yang ikut mengamandemen UUD 1945. Padahal UUD 1945 itu adalah UUD yang dalam pembentukannya memohon petunjuk Allah. Cuplikan pidato Bung Karno dalam sidang PPKI. ”Alangkah keramatnja, toean2 dan njonja2 jang terhormat, oendang2 dasar bagi sesoeatoe bangsa. Tidakkah oendang2 sesoeatoe bangsa itoe biasanja didahoeloei lebih doeloe, sebeloem dia lahir, dengan pertentangan paham jang maha hebat, dengan perselisihan pendirian2 jang maha hebat, bahkan kadang2 dengan revolutie jang maha hebat, dengan pertoempahan darah jang maha hebat, sehingga sering kali sesoeatoe bangsa melahirkan dia poenja oendang2 dasar itoe dengan sesoenggoehnja di dalam laoeatan darah dan laoetan air mata. Oleh karena itoe njatalah bahwa sesoeatoe oendang2 dasar sebenarnja adalah satoe hal jang amat keramat bagi sesoeatoe rakjat, dan djika kita poen hendak menetapkan oendang2 dasar kita, kta perloe mengingatkan kekeramatan pekerdjaan itoe. Dan oleh karena itoe kita beberapa hari jang laloe sadar akan pentingnja dan keramatnja pekerdjaan kita itoe. Kita beberapa hari jang laloe memohon petoendjoek kepada Allah SWT, mohon dipimpin Allah SW., mengoetjapkan: Rabana, ihdinasjsiratal moestaqiem, siratal lazina anamta alaihim, ghoiril maghadoebi alaihim waladhalin. Dengan pimpinan Allah SWT, kita telah menentoekan bentoek daripada oendang2 dasar kita, bentoeknja negara kita, jaitoe sebagai jang tertoelis atau soedah dipoetoeskan: Indonesia Merdeka adalah satoe Republik. Maka terhoeboeng dengan itoe poen pasal 1 daripada rantjangan oendang2 dasar jang kita persembahkan ini boenjinja: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatoean jang berbentoek Republik”. Jadi, sangat yakinlah kita bahwa UUD 1945 itu dibuat bukan dengan sementara, bukan dengan singkat. Tetapi dengan ijin Allah SWT, hal inilah yang tidak dibaca oleh pengamandemen UUD 1945. Dengan demikian jihad mengembalikan UUD 1945 adalah sebuah keharusan bagi anak bangsa yang mencintai negerinya. Jika saja Mahasiswa membaca sejarah dengan benar maka menyelamatkan Indonesia omong kosong jika tidak kembali pada UUD1945 dan Pancasila selamat berjuang hari esok adalah hari mu maka bawah lah negeri ini yang lebih baik dan jangan biarkan punah. Warung Kopi Pojok Stasiun Tugu Jogyakarta. (*)

Membantah Opini Arya Wedakarna

Atas dasar apa tuduhan itu muncul? Atas dasar apa menuding mahasiswa ingin mengganti NKRI? Analisisnya bagaimana, buktinya seperti apa? Apa sebenarnya defenisi radikal? Bukankah untuk satu istilah ini saja masih menjadi polemik? Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD MPR RI DARI beberapa kawan, saya menerima potongan video narasi Anggota DPD RI asal Bali Dr. Arya Wedakarna (AWK) melalui whatsapp (WA). Karena video ini dibuat untuk konsumsi publik, maka tanggapan saya ini pun terbuka untuk publik. Narasi AWK begini: “Saudara-saudara, saya Wedakarna, Anggota DPD RI utusan Bali dan juga Sekjen Gerakan Pemuda Marhaenis Indonesia. Terkait dengan isu tentang demo mahasiswa 11 April 2022 besok yang salah satu tuntutannya adalah menurunkan bapak presiden. Sekarang pertanyaannya gampang aja. Kalau presiden Joko Widodo turun, lalu yang gantiin siapa? Kita ini perlu mempertahankan Pak Jokowi, agar cita-cita negara khilafah itu tidak akan pernah terjadi di Indonesia. Yang kita lawan ini kadrun, yang kita lawan ini adalah radikal, yang ingin mengganti NKRI. Dan sasaran tembaknya adalah…” Narasi AWK, sayangnya, terpotong hingga di sana. Potongan video yang saya terima hanya berdurasi satu menit. Namun dari satu menit narasi AWK, telah cukup memberi gambaran perihal pokok pikirannya. Satu menit narasi AWK juga telah cukup membuat banyak telinga Anggota DPD memerah. Sebagian lagi bahkan merasa malu ketika di preambul dia memperkenalkan diri sebagai senator DPD. Kontroversi AWK bukan kali ini saja. Tapi kita tak perlu melebar ke mana-mana, cukup menanggapi narasi satu menit itu. Sanggahan ini penting, agar publik tidak merespon pikiran AWK sebagai pendapat lembaga DPD. Pertama, aksi demo Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) tidak menuntut presiden turun. Kesimpulan AWK terlalu dini dan tendensius. Tuntutan mahasiswa sejatinya merupakan masalah aktual bangsa, yang dipicu oleh ketidakbecusan pemerintah menunaikan tugasnya. Enam tuntutan BEM SI tersebut adalah stabilisasi harga komoditi, tolak penundaan pemilu, kaji ulang UU Ibukota Negara baru, usut mafia minyak goreng, selesaikan konflik agraria, dan tuntaskan janji kampanye Jokowi-Maruf. Memang, di media sosial sempat viral poster turunkan Jokowi. Tetapi media telah mengonfirmasi bahwa poster tersebut hoax dan dibuat oleh orang tak bertanggungjawab. Di banyak pemberitaan lainnya, BEM SI telah memberi bantahan, sembari menegaskan enam tuntutan mereka. Lagi pula, agenda menggulingkan pemerintahan yang sah berpotensi dituding makar sehingga aparat punya alasan kuat untuk membubarkan paksa. Kedua, diksi khilafah tiba-tiba dimunculkan. “Kita,” demikian AWK, “perlu mempertahankan Pak Jokowi, agar cita-cita negara khilafah itu tidak akan pernah terjadi di Indonesia.” Apakah AWK paham sepenuhnya konsepsi khilafah? Kalau belum paham, sebaiknya dipelajari dulu sebelum menarasikannya secara tendensius. Tidak sedikit pihak yang mendefnisikan khilafah. Ayo kita petik saja pandangan versi Menkopolhukam Mahfud MD. Menurut Mahfud, dalam Al-Quran, yang dimaksud khilafah adalah negara yang memiliki pemerintahan. Islam tidak mengajarkan soal sistem. Artinya, negara bisa menentukan sendiri sistem pemerintahannya (Tempo.co, 27 Oktober 2019). Jadi, khilafah bukan ideologi. Khilafah, dalam defenisi Menkopolhukam, justru meniscayakan pengakuan terhadap sistem dan pemerintahan yang berdaulat. Khilafah bercita-cita mewujudkan masyarakat yang makmur dan berkeadilan, yang tidak harus ditempuh dengan mengganti ideologi negara. Semangat khilafah sejatinya tersimpulkan dalam sila-sila Pancasila. Menuju pemahaman komprehensif tentang khilafah, tentu membutuhkan diskusi yang panjang. Bila AWK tidak begitu paham arti khilafah, sebaiknya perbanyak referensi sebelum beropini. Mengutip pendapat Imam Syamsi Ali, dalam konteks negara Indonesia, asal saja konsisten dengan semangat founding fathers yang tertuang dalam falsafah dan dasar negara, sejatinya secara substantif sudah sejalan dengan khilafah. Lebih jauh, asal saja kita mematuhi konstitusi, maka kepatuhan terhadap hukum tertinggi dan turunannya, secara substantif adalah sejalan dengan khilafah. Pertanyannya, apakah penundaan pemilu sesuai dengan konstitusi? Bila tidak, lalu siapa sesungguhnya yang harus kita takuti? Khilafah yang notabene menuntut ketundukan kita terhadap konstitusi atau mereka yang mencoba mengangkangi konstitusi? Ketiga, tentang narasi AWK “yang kita lawan ini kadrun, yang kita lawan ini adalah radikal, yang ingin mengganti NKRI.” Karena pada bagian awal video AWK mengaku menanggapi demo mahasiswa 11 April, maka tidak keliru bila AWK dipandang memersepsikan mahasiswa yang demo sebagai para kadrun dan (kaum) radikalis. Atas dasar apa tuduhan itu muncul? Atas dasar apa menuding mahasiswa ingin mengganti NKRI? Analisisnya bagaimana, buktinya seperti apa? Apa sebenarnya defenisi radikal? Bukankah untuk satu istilah ini saja masih menjadi polemik? Demonstrasi mahasiswa adalah refleksi dari proses demokrasi sekaligus ekspresi kebebasan berpendapat atau menyampaikan kritik terhadap kebijakan yang dipandang keliru. Karena itu, unjuk rasa mahasiswa pada 11 April 2022 sebaiknya tetap kita hormati sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan kepedulian pemuda terhadap problem pokok bangsa. Jangan menutup mata atas kebenaran tuntutan mereka, apalagi menuduh arah perjuangan mahasiswa adalah mengganti NKRI. Ini off side, kecuali Anda memiliki bukti kuat.  Sepanjang sejarahnya, mahasiswa selalu berada di garda terdepan perubahan bangsa. Negeri ini justru harus bangga masih memiliki intelektual muda yang senafas dengan rakyat, yang merasakan dan memperjuangkan persoalan masyarakat. Sebagai wakil rakyat, ada baiknya kita melontarkan narasi yang sifatnya menyemangati, mencerahkan, sekaligus membimbing agar mahasiswa tetap merawat jati diri sebagai agent of change. Bukan malah ikut-ikutan mempertahankan istilah kadrun (tentu versus kampret) yang berpotensi mempertebal keterbelahan. Tuduhan AWK terhadap demo mahasiswa 11 April 2022 sangat serius. Sepantasnyalah Badan Kehormatan DPD RI mengusut, tuduhan ini hoax atau fakta? (*)

Ade Akan Semakin Gila?

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan UCAPAN  Ade Armando di RS Siloam ini dikemukakan oleh Waketum PSI Grace Natalie. Menurutnya Ade tidak takut atas peristiwa yang telah menimpanya  bahkan ke depan akan menunjukkan sikap yang lebih gila lagi.  Sadar atau tidak yang dilakukan selama ini oleh dirinya adalah gila.  Meski khawatir juga omongannya itu terlalu berlebihan sebab berita lainnya justru Ade Armando masih dalam perawatan  akibat pukulan pengeroyok. Sekjen PIS Nong Darol Mahmada saat ditemui media menyatakan \"Hasil CT Scan tadi malam menunjukkan bang Ade pendarahan di otak belakangnya. Jadi itu memanjang, mungkin pukulannya terlalu keras dan berkali-kali, bertubi-tubi\" sebagaimana dilansir CNN Indonesia.  Mungkin ia dianggap gila selama ini karena pandangannya kontroversial dan selalu mendapat reaksi publik. Bagaimana tidak, konteks agama yang sensitif pun disentuhnya. Menurutnya stop haji umroh karena pemborosan, hadits itu bukan saja yang dikerjakan Nabi, tidak ada perintah shalat lima waktu dalam Qur\'an, LGBT tidak dilarang. Ditambah soal kadrunisasi dan serangan pada tokoh agama.  Narasi kontroversi adalah komunikasi gila ala Ade Armando.  Secara fisik gila atau schizophrenia itu disebabkan oleh gangguan mental. Cirinya adalah halusinasi yaitu mendengar suara yang tak berbunyi memandang sesuatu yang tidak terlihat, perubahan \'mood\' yang cepat baik semangat, malas, gembira dan sedih. Sulit berfikir, tak peduli diri, gangguan tidur, alienasi, serta gemar melibatkan diri di area bahaya.  Secara agama yang dinamakan gila bukan semata aspek fisik, tetapi lebih pada karakter. Dalam Hadits Riwayat Muslim Nabi memberi pengertian \"orang gila adalah orang yang sombong, memandang rendah orang lain, membusungkan dada, berharap surga sambil bermaksiat, kejelekannya membuat orang tidak aman, kebaikannya tidak diharapkan\". Entah apa maksud Ade Armando yang menyatakan akan semakin gila itu. Jika yang dimaksudkan adalah bahwa ia akan lebih dahsyat dalam menyerang aspek nilai baik budaya, politik atau agama tentu sangat berisiko. Ia akan dipukuli habis-habisan  dan ditelanjangi sebugil-bugilnya oleh rakyat, umat, dan mungkin juga oleh teman-temannya sendiri.   Gila itu multi dimensi ada  gila harta, gila seks, gila gelar, gila pujian, gila pangkat, dan gila kuasa. Orang yang selalu ingin memperpanjang kekuasaan adalah tanda-tanda juga dari kegilaan apalagi kekuasaan itu digunakan untuk mengeruk kekayaan. Keserakahan seperti ini disebut dengan Sindroma Raja Mirdas.  Dalam mitologi Yunani Raja Mirdas yang sudah sangat kuasa terus bermewah dan bermegah-megah demi keluarga dan lingkungan sendiri tanpa memikirkan nasib rakyat. Rakyat membencinya tapi tak berani karena oligarkinya kejam.  Raja rakus itu masih minta kepada dewa untuk diberi kekuatan magis agar segala yang disentuhnya berubah menjadi emas.  Lalu, istana dengan sentuhannya berubah menjadi emas. Kursi, tempat tidur, kereta kencana ya semuanya. Ia bahagia menjadi orang terkuasa dan terkaya. Namun celaka, ketika menyentuh makanan, minuman, dan buah-buahan itupun berubah menjadi emas. Lebih cekaka lagi ketika menyentuh istri yang dicintainya, istrinya itu menjadi emas pula.  Raja meraung-raung merana.  Akhirnya Raja Mirdas menjadi gila dan rakyat pun bersorak gembira.  Nah mas Ade, sebaiknya kini anda fikirkan kesembuhan saja dulu termasuk dari pendarahan otak. Jangan sesumbar akan lebih gila nanti, karena itu adalah sindroma. Foto viral wajah berdarah dan bugil bersempak itu pelajaran yang sangat berharga.  Agama jangan dibawa main-main  untuk sesumbar keangkuhan karena menurut Nabi itu adalah ciri dari orang gila.  Taubat adalah obat dari kegilaan.  Bandung, 13 April 2022

Aksi Mahasiswa Tak Akan Terganggu Peristiwa Ade Armando

Oleh Asyari Usman - Jurnallis Senior FNN, Pemerhati Sosial-Politik SAATNYA kembali ke agenda bela rakyat yang dilancakan mahasiswa. Agenda mulia ini tidak akan terganggu gara-gara pengeroyokan Ade Armando. Ini peristiwa pidana biasa. Polisi yang akan menanganinya. Pengeroyokan ini bukan sesuatu yang signifikan. Para pimpinan mahasiswa sendiri sudah memberikan isyarat bahwa aksi akan berlanjut. Aliansi Mahasiswa Indonesia (AMI) mengatakan aksi besar-besaran akan dilaksanakan pada 21 April. Mahasiswa masih belum mendapatkan jawaban tegas atas tuntutan mereka. Antara lain agar DPR tegas menolak penundaan pemilu dan presiden tiga periode. Mereka juga menutut agar DPR mewakili aspirasi rakyat bukan aspirasi partai. Peristiwa pengeroyokan Ade dalam aksi unjuk rasa di DPR (11/4) membuat perhatian media dan publik teralihkan. Pemberitaan di media utama dan media sosial didominasi oleh laporan-laporan tentang kondisi babak belur Ade, analisis tentang peristiwa itu, dan tindakan kepolisian. Alih perhatian ini sudah cukup. Mahasiswa akan kembali fokus mengawal agar para penguasa tidak melanjutkan upaya untuk memperpanjang kekuasaan Jokowi lewat penundaan pemilu maupun amandemen UUD agar jabatan presiden menjadi tiga periode. Untuk sementara, dalam satu-dua hari ini, babak belur Ade Armando mungkin masih akan menjadi berita utama. Tetapi, ini tidak akan berlangsung lama begitu mahasiswa kembali melancarkan unjuk rasa. Selain soal penundaan pemilu dan tiga periode, mahasiswa hampir pasti akan mempersoalkan kenaikan harga-harga keperluan rakyat yang semakin mencekik saat ini. Tidak mungkin pula aksi mahasiswa akan tidak mempermasalahkan kekuasaan para konglomerat rakus dan cukong-cukong yang selama ini mengendalikan para penguasa eksekutif dan pimpinan partai politik. Isu ini malah lebih urgen lagi. Sebab, bangsa dan negara ini bisa hancur berantakan di tangan oligarki bisnis dan oligarki politik. Mahasiswa sebagai elemen penting bangsa Indonesia wajib berjuang melawan kendali para cukong atas negara. Pembonekaan para pemimpin di tangan cukong harus dihentikan. Sekali lagi, ini sangat mendesak. Harus diprioritaskan agar sambungan antara para cukong dengan para penguasa eksekutif dan parpol bisa diputus secepat mungkin. Pembajakan agenda unjuk rasa mahasiswa oleh peristiwa Ade Armando tidak perlu terjadi. Rencana unjuk rasa tidak boleh tergendala karena babak belur dosen komunikasi Universtas Indonesia ini.[] Medan, 12 April 2022

Sensititivitas vs Literasi Beragama

Jika selama ini Ade Armando dengan terang-terangan melakukan penghinaan kepada agama dan pemeluk agama kenapa masih saja berkeliaran, bahkan mengaku dilindungi? Oleh: Imam Shamsi Ali, Putra Kajang di Paman Sam SEBUAH peristiwa menjadi viral dari acara demontrasi mahasiswa se-Indonesia di Jakarta kemarin. Pemukulan atau kekerasan terjadi kepada seorang aktivis media sosial, Ade Armando, yang didahului dengan cekcok mulut dengan beberapa pihak, termasuk dengan emak-emak yang hadir. Saya memakai kata “salah satu” karena peristiwa yang ‘terkecam’ ini sudah sering kita saksikan. Beberapa kali demonstrasi ada-ada saja yang menjadi korban, bahkan nyawa pun hilang begitu mudah dan murah. Hanya saja kali ini dibuat berbeda. Berita-berita media, termasuk media mainstream nampak tidak terlalu peduli dengan ‘substansi’ tuntutan mahasiswa. Hampir semuanya mengarah kepada kekerasan yang menimpa Ade Armando. Saya kemudian menjadi terheran-heran, bahkan kebingungan. Selama ini ketika terjadi kekerasan, baik kepada rakyat biasa, mahasiswa, bahkan kepada polisi itu sendiri, rasanya biasa-biasa saja. Tapi Ade Armando kok heboh sedunia? Siapa dan apa kelebihan, dan sebenarnya apa yang sedang diperankan Ade Armando? Sekali lagi saya tegaskan, jika saya menentang kekerasan apapun. Siapapun dan apapun yang dilakukan oleh seseorang, termasuk Ade Armando, harusnya direspon melalui kanal hukum dan aturan maupun etika akhlak yang ada. Dalam sebuah tatanan masyarakat yang memiliki pemerintahan sah, warga tidak diperbolehkan main hakim sendiri. Dan, karenanya saya menyerukan agar pelaku maupun ‘otak pelaku’ harus segera ditangkap untuk mempertanggung jawabkan perlakuannya. Namun, pada saat yang sama saya juga ingatkan hendaknya setiap peristiwa menjadikan kita mampu melakukan introspeksi dan perenungan. Sebenarnya kenapa sebuah peristiwa itu terjadi? Apa penyebab dan motivasinya? Di saat itulah harusnya kita bisa menemukan bahwa pada alam semesta ini ada hukum ‘sebab akibat’. Adanya reaksi karena disebabkan oleh aksi yang mendahului. Jika kita mengikuti sepak terjang Ade Armando dalam beberapa tahun terakhir pastinya memang banyak yang terhentak sensitifitasnya. Dari opini yang jelas menentang “dasar-dasar keyakinan dan praktek agama” hingga ke kata-kata merendahkan dan menghina pemeluk agama tertentu. Dan lebih mengherankan lagi agama itu adalah agama yang diakui sebagai agamanya sendiri. Dari Syariah itu tidak ada, saya Muslim tapi tidak percaya Syariah, azan itu panggilan biasa, Al-Quran itu bisa dibaca dengan cara Minang, Sunda, Jawa, dan lain-lain. Dari sholat lima waktu tidak diperintahkan dalam Al-Quran, hingga usulan menghapuskan Haji dan Umrah karena hanya memiskinkan Umat. Bahkan dengan kasar menuduh orang Islam dungu karena banyak mikirin selangkangan. Semua itu dan banyak lagi yang lain menjadi bagian dari “insensitifitas” Ade Armando dalam menyampaikan opini-opini yang diakuinya itu sebagai opini keagamaan. Sebenarnya tidak saja tidak sensitif kepada agama dan Umat ini. Tetapi, sekaligus menggambarkan “illiterasi” (kejahilan/kebodohan) Ade Armando dalam memahami agama. Sekaligus kejahilan dan kebodohannya dalam mengkomunikasikan ide-ide nyelenah binti tersesat dan menyesatkan itu. Padahal ditenggarai sebagai ahli komunikasi. Hal yang ingin saya tekankan kali ini adalah mengingatkan pentingnya semua pihak untuk menumbuh suburkan dua hal. Satu, Urgensi menumbuhkan “religious sensitivity”. Yaitu membangun rasa sensitif dan kepedulian rasa (sense) terhadap agama dan rasa beragama orang lain. Dua, lebih dari sekedar sensitif, seseorang yang berakal itu akan berusaha membangun religious literacy (literasi beragama). Yaitu berusaha memahami agama dan rasa beragama orang lain. Dalam bahasa Al-Qur’an inilah yang disebut dengan “lita’arafu” atau mengenal dan memahami (Surah 49:13). Hal penting lainnya yang diingatkan oleh peristiwa semacam ini adalah urgensi penegakan hukum secara serius dan merata. Jika selama ini Ade Armando dengan terang-terangan melakukan penghinaan kepada agama dan pemeluk agama kenapa masih saja berkeliaran, bahkan mengaku dilindungi? Itulah yang saya maksud dan sebut pernyataan baru-baru ini, bahwa ketika sense of justice hilang pastinya akan menimbulkan keresahan publik. Ketika rasa keadilan hilang, maka akan timbul keresahan (ketidak amanan) di tengah masyarakat. Pada akhirnya apa yang menimpa Ade Armando juga menunjukkan bahwa kita tidak selalu hidup dalam dunia maya. Ada masanya akan menjadi dunia nyata. Dunia nyata itulah yang dirasakan oleh Ade Armando setelah sekian lama terbuai oleh pelukan dunia mayanya. Tapi ingat, setelah dunia nyata saat ini akan ada dunia nyata yang pasti lagi. Dunia di mana segalanya akan hadir kembali dan dipertanggung tawabkan. Masalahnya yakinkah Ade Armando dengan itu? Allahu a’lam! NYC Subway, 12 April 2022. (*)

Demo Mahasiswa Akhirnya Lebih Viral Berita Ade Armando Digebukin

Dengan Tuntutan Demo kembali ke UUD 1945, maka rakyat akan berdaulat melalui elemen bangsa yang duduk di MPR. Kemudian merumuskan politik rakyat yang disebut GBHN. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila MENGIKUTI Demo mahasiswa 11 April baik secara live dan berbagai potongan jalannya demo yang sedang berlangsung dan berbagai isu yang tersaji begitu mengharu-biru. Bagaimana tidak, bukan ormas underbow partai politik yang bisa dipecah-pecah, BEM pun dipecah menjadi lima. Ada BEM SI ada dua BEM SI. Ada BEM Nusantara, juga ada dua BEM Nusantara. Dan ada Aliansi BEM. Sukses memecah-belah mahasiswa sehingga tuntutan demo pun tidak bisa didengar Masyarakat. Skenario untuk mengkambing-hitamkan Mahasiswa dengan kekerasan dengan lakon Ade Armando gagal menstikma demo mahasiswa anarkhis. Dari lemahnya BEM yang bisa dipecah-pecah menunjukan bahwa ada banyak kepentingan yang memfaatkan mahasiswa untuk memperlemah kebersamaan, dan rupanya tidak mengkristalnya isu tuntutan yang disuarakan dan seakan hambar, tidak membumi karena isu yang dibangun tidak pada akar masalah. Ambil contoh minyak goreng. Kalau hanya meminta harga diturunkan mudah bagi oligarki untuk menurunkan. Seharusnya tuntutan itu lebih pada akar masalah. Misal, tuntutan Kembali ke UUD 1945 dan Pancasila segera diadakan Sidang Istimewa MPR untuk kembali ke UUD 1945 asli dan demonya ke Gedung MPR, pasti akan ribut. Sebab, akan kembali pada Pasal 33 UUD 1945,maka tidak boleh ada swasta menguasai jutaan hektar tanah untuk sawit, harus kembali dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Soal Agraria juga begitu, seluruh konsensi tanah yang dikuasai swasta harus dikembalikan pada negara. Bahkan sejak Proklamasi diikrarkan, maka detik itu juga tidak ada lagi tanah milik penjajah, harus kembali pada NKRI. Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Mengapa sampai detik ini masih ada sertifikat egendowm, sertifikat Belanda? Seharunya sudah diserahkan pada NKRI dalam tempo sesingkatsingkatnya. Dengan Tuntutan Demo kembali ke UUD 1945, maka rakyat akan berdaulat melalui elemen bangsa yang duduk di MPR. Kemudian merumuskan politik rakyat yang disebut GBHN. Oleh sebab itu presiden menjadi mandataris MPR, tidak seperti sekarang ini memindahkan Ibu Kota Negara tidak minta persetujuan rakyat sebab rakyat tidak berdaulat. Kedaulatan di tangan partai politik, yang jadi sumber korupsi itu adalah partai politik dengan model pemilu berbiaya tinggi. Sekarang saja butuh Rp 86 triliun dan hanya menghasilkan para koruptor. Sebaiknya Mahasiswa melakukan konsolidasi, sehingga lagi menjadi satu yang kompak tuntutan jangan banyak-banyak. Segera geruduk gedung MPR minta Sidang Istimewa kembali pada UUD 1945 asli dan Pancasila. Selamat berjuang, masa depan ada di tanganmu. Hari ini kamu menentukan menjadi bangsa yang besar atau bangsa kuli di negeri sendiri. Pojok Stasiun Tugu, Jogjakarta. (*)

Pelihara Oligarki Pejabat Kaya Raya, Rakyat Kere

Oleh La Nyalla Mattalitti - Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI Para pendiri bangsa telah menyusun redaksi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dengan sangat cermat. Sebab Pasal tersebut, dalam naskah asli UUD 1945, ditulis dalam Bab Kesejahteraan Sosial. Artinya sangat jelas, bahwa orientasi perekonomian bangsa ini mutlak dan wajib mensejahterakan rakyat. Apalagi salah satu cita cita nasional bangsa ini adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu tertulis dengan sangat jelas pada Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3), bahwa norma dari penguasaan negara terhadap sumber daya alam didasarkan kepada kedaulatan negara. Karena sumber daya alam harus dikuasai negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat. Konsepsi ini sama dan sebangun dengan konsepsi Islam dalam memandang sumber daya alam. Dalam Islam, komoditas kepemilikan publik atau Public Good ini meliputi air, ladang atau hutan milik negara, serta api, yaitu energi baik mineral, batubara, panas bumi, angin, maupun minyak dan gas. Semua itu harus dikuasai Negara. Bahkan dalam hadist Riwayat Ahmad, diharamkan harganya. Artinya tidak boleh dikomersialkan menjadi Commercial Good. Seperti tertulis dalam Hadit Riwayat Ahmad, yang artinya; “Umat Islam itu sama-sama membutuhkan untuk berserikat atas tiga hal, yaitu air, ladang, dan api dan atas ketiganya diharamkan harganya.” Jadi, jelas bahwa air, hutan, dan api atau energi itu merupakan Infrastruktur penyangga kehidupan rakyat, yang tidak boleh di komersialkan atau dijual ke pribadi-pribadi perorangan yang kemudian dikomersialkan menjadi bisnis pribadi. Contoh konkrit dalam perspektif di atas adalah bagaimana Sahabat Usman bin Affan berusaha membeli sumur air milik seorang Yahudi di Madinah saat itu, yang kemudian setelah dibeli, dia gratiskan airnya untuk seluruh penduduk Madinah. Sehingga sampai hari ini sumur itu dikenal dengan nama sumur Usman. Karena memang komoditas publik itu harus dikuasai Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. Pertanyaannya, bukankah Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam mineral? Dimana di dalamnya terdapat emas, perak, timah, tembaga, nikel, bauksit, pasir besi dan lain-lain. Bukankah Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam batubara? Bukankah belasan juta hektar hutan di Indonesia telah berubah menjadi perkebunan sawit? Tapi mengapa Lembaga Internasional OXFAM yang meneliti tentang ketimpangan sosial dan gap kekayaan menyatakan bahwa harta dari empat orang terkaya di Indonesia, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang miskin di Indonesia. Dan OXFAM juga mencatat, sejak Amandemen Konstitusi tahun 2002 silam, jumlah milyoner di Indonesia telah meningkat 20 kali lipat. Tapi kenapa ratusan juta penduduk Indonesia tetap kere?  Pasti ada yang salah dengan sistem atau metode yang dipilih oleh bangsa ini dalam mengelola kakayaan yang diberikan oleh Allah kepada bangsa ini. Indonesia itu punya dua pilihan dalam sistem ekonomi. Pertama, sistem ekonomi untuk memperkaya negara dan rakyatnya. Atau, kedua, sistem ekonomi untuk memperkaya oligarki pengusaha yang juga penguasa. Kedua opsi ini tinggal dipilih oleh bangsa Indonesia. Oligarki yang diperkaya memang akan bisa membiayai Pilpres dan menjadikan seseorang sebagai presiden. Tetapi setelah itu, semua kebijakan negara harus menguntungkan dan berpihak kepada mereka. Pilihan kedua itulah yang terjadi di Indonesia, terutama sejak Amandemen Konstitusi 2002 yang menghasilkan sistem Pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung. Sehingga lahirlah bandar-bandar atau cukong pemberi biaya Pilpres dan Pilkada. Akibatnya, sumber daya alam negara ini kita berikan kepada mereka dengan skema hak Kelola Tambang dan hak Konsesi Lahan. Negara hanya mendapat uang Royalti dan Bea Pajak Ekspor ketika mereka menjual mineral dan hasil bumi kita ke luar negeri. Menurut catatan Saudara Salamudin Daeng, pemerhati masalah energi, disebutkan bahwa hasil produksi Batubara nasional mencapai 610 juta ton atau senilai 158,6 miliar dolar atau dalam rupiah menjadi 2.299 triliun rupiah. Jika dibagi dua dengan negara, maka pemerintah bisa membayar seluruh utangnya hanya dalam tempo tujuh tahun lunas. Produksi Sawit sebanyak 47 juta ton atau senilai 950 triliun rupiah, maka jika dibagi dua dengan negara, maka pemerintah bisa gratiskan biaya Pendidikan dan memberi gaji Guru Hononer yang layak. Mungkin masih ada sisa dana untuk gratiskan minyak goreng untuk masyarakat kurang mampu. Itu baru dari dua komoditi, Batubara dan Sawit. Bagaimana yang lain. Coba kita lihat datanya. Masih menurut catatan Salamudin Daeng, Indonesia merupakan produsen Tembaga ke-9 terbesar di dunia. Urutan pertama produsen Nikel terbesar di dunia. Urutan ke-13 produsen Bauksit di dunia. Urutan ke-2 produksi Timah di dunia. Urutan ke-6 produksi Emas di dunia. Urutan ke-16 produksi Perak di dunia. Urutan ke-11 produksi Gas Alam di dunia. Urutan ke-4 produsen Batubara di dunia. Urutan pertama dan terbesar di dunia untuk produksi CPO Sawit. Urutan ke-8 penghasil kertas di dunia. Urutan ke-22 penghasil minyak di dunia. Urutan ke-2 produsen kayu di dunia, dan lain sebagainya. Dan Indonesia masih memiliki cadangan besar yang meliputi Gas Alam, Batubara, Tembaga, Emas, Timah, Bauksit, Nikel, Timber, dan Minyak, serta kekayaan hayati dan biodiversitas yang besar. Tapi coba kita lihat berapa Dana yang masuk ke Negara dari Royalti dan Bea Ekspor dari Sektor Mineral dan Batubara. Dari tahun 2014 hingga 2020, berdasarkan data di Kementerian ESDM, Dana yang masuk dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor Minerba, setiap tahunnya tidak pernah mencapai 50 Triliun Rupiah. Kecuali di tahun 2021 kemarin, dimana harga Batubara dan sejumlah komoditi Mineral mengalami kenaikan drastis, sehingga tembus 75 Triliun Rupiah. Itu adalah angka yang disumbang dari sumber daya alam Mineral dan Batubara. Artinya sudah termasuk Emas, Perak, Nikel, Tembaga dan lain-lain. Padahal hasil produksi Batubara nasional saja mencapai 2.299 triliun rupiah. Jadi kembali kepada kita. Mau memilih sistem ekonomi yang memperkaya negara atau memperkaya oligarki. Tinggal kita putuskan. Tidak ada yang tidak bisa. Kedaulatan negara adalah mutlak dalam mengatur dan mengelola suatu negara yang merdeka. Karena kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi negara untuk secara bebas melakukan kegiatan sesuai kepentingannya, selama tidak melanggar kedaulatan negara lain. Dan karena itu, dalam hukum internasional kedaulatan memiliki tiga aspek, yaitu; yang pertama, kedaulatan yang bersifat eksternal, yaitu hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungan dengan negara lain atau kelompok lain, tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain. Yang kedua, kedaulatan yang bersifat internal, yaitu hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga, cara kerja dan hak membuat aturan dalam menjalankan. Yang ketiga, kedaulatan teritorial, yang berarti kekuasaan penuh yang dimiliki negara atas individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah itu. Baik yang ada di darat, laut maupun udara. Jadi sekarang tergantung dari leadership kita. Apakah pemimpin kita mau ‘memelihara’ dan ‘dipelihara’ oleh Oligarki, sehingga tinggal duduk manis dapat saham dan setoran. Atau memikirkan saat dia dilantik dan membaca sumpah jabatan yang diucapkan dengan menyebut nama Allah. Jika memilih duduk manis dan terima setoran serta punya saham untuk anak cucu dan cicit, ya kita akan terus menerus berada dalam situasi seperti hari ini. APBN defisit. Kemudian ditutupi dengan Utang Luar Negeri. Lalu rakyat disuap dengan BLT-BLT untuk sekian puluh juta rakyat dan seterusnya. Meskipun tidak ada satu pihak pun yang bisa mengecek angka itu di lapangan.  Oleh karena itu, kita harus berani bangkit. Harus berani melakukan koreksi. Bahwa Sistem Ekonomi Pancasila, yang disusun sebagai usaha bersama untuk kemakmuran rakyat, yang sudah kita tinggalkan itu, mutlak dan wajib untuk kita kembalikan. Tanpa itu, negeri ini hanya akan dikuasai oleh Oligarki yang rakus menumpuk kekayaan, dan rakyat akan tetap kere. (*)

Presiden Yang Tahu Diri dan Yang Tidak Tahu Diri

Saat ini pun, kita tahu Durna-nya siapa. Dia yang menggosok-gosok agar ada perpanjangan atau amandemen terhadap UUD 1945 lagi agar periode bisa ditambahkan. Oleh: Dr. Tifauzia Tyassuma, Akademisi dan Pakar Epidemiologi SAYA Teringat Peristiwa turunnya Soeharto sebagai Presiden. Setelah Pak Harto menyelesaikan Periode ke-5-nya. Sebetulnya beliau sudah ingin lengser, sudah sepuh, dan sudah menyelesaikan PELITA-nya yang ke-5. Sudah berhasil membuat rakyat sehat, selamat, dan bahagia, secara relatif. Ada korupsi-korupsi juga, tentulah, tapi tidak vulgar. Semua rapi di bawah meja. Tidak membuat rakyat merasa bagaimana-bagaimana. Pada waktu itu juga beliau sudah mempersiapkan penggantinya, seseorang yang sudah lama diperhatikan, dibimbing, dimentoring: BJ Habibie. Tetapi ada orang terdekatnya, orang yang paling dipercayainya, seorang Durna, yang membisiki, bahwa: “Rakyat masih menghendaki Bapak jadi Presiden”. Jadilah. Pak Harto naik lagi masuk periode ke-6. Dan gagal menyelesaikan tugasnya sebagai Presiden dengan gemilang. Turun karena ia dilengserkan dengan menyedihkan. Dan menjadi catatan sejarah yang tidak akan hilang. Seperti Pendahulunya. Presiden Soekarno. Yang turun secara menyedihkan gara-gara mengamandemen UUD 1945, yang menjadikannya Presiden Seumur Hidup. Durnanya yang membisiki dia bahwa Rakyat yang menghendaki. Hanya Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden yang menyelesaikan Periode kepresidenannya dengan mulus. Dua kali menjabat, 10 tahun persis. Dan selesai masa jabatan pada masa kegemilangan. Seandainya pada waktu itu beliau ingin mengubah amandemen pun sesungguhnya bisa, karena semua kekuatan ada di bawah kendalinya. Tetapi tidak dilakukan Pak SBY. Dari lubuk hati kecil saya yang paling dalam, sesungguhnya pada 2019 kemarin, saya ingin sekali beliau maju lagi, mencalonkan diri lagi jadi Presiden. Karena Amandemen UUD 1945 mengizinkan untuk itu. Selesai masa jabatan. Diganti orang lain. Lalu maju lagi. Sangat boleh. Ternyata beliau tidak berkehendak. Ibu Ani Yudhoyono sakit kanker, yang mungkin membuat beliau tak punya semangat lagi, walau sebetulnya masih memungkinkan. Pada 2024, sesungguhnya di lubuk hati saya yang paling dalam lagi, saya ingin Pak SBY maju lagi jadi Presiden. Usia beliau pada 2024 insya’ Allah 75 tahun. Masih lebih tua Joe Biden yang jadi Presiden di usia 78 tahun. Saya akan lebih dari bersedia mendukung beliau. Tetapi saat ini beliau sakit Kanker. Saya tidak sampai hati. Kesehatan beliau paling utama. Penyakit kanker memberi kesempatan kepada siapapun untuk mempersiapkan husnul khatimah. Itu lebih baik dari pak SBY. Jadi sebetulnya, orang yang paling jahat, adalah Durna-Durna di sekitar Penguasa Tertinggi. Saat ini pun, kita tahu Durna-nya siapa. Dia yang menggosok-gosok agar ada perpanjangan atau amandemen terhadap UUD 1945 lagi agar periode bisa ditambahkan. Dia, Durna itu yang paling berkepentingan, kepentingan pribadinya. Masih belum puas mengisi perutnya sampai ke leher dengan harta bertumpuk-tumpuk. Mungkin sampai meledak perutnya baru dia puas. Kini, dia menghilang, sementara. Kambing hitam-kambing hitam dikeluarkan agar dia bisa tiarap menghindari sambitan mahasiswa, dan pelorotan celana oleh rakyat. Biarlah yang mengalami dipelorotin celananya si tumbal, bukan dia. Saat ini, sejenak saya tidak peduli kepadanya. Saya ingin bicara dengan Presiden Jokowi. Enough is enough, Pak! Menjabat dua kali saja babak belur begini. Apa yang mau diraih lagi sih? Anak mantunya sudah pada jadi Pejabat. Anak-anak semua dapat jatah Komisaris ini itu, dan suntikan modal puluhan miliar. Pensiun Presiden juga tidak tanggung-tanggung, Rp 250 miliar ditambah lagi rumah di Menteng, Patrajasa, atau Kebayoran silakan pilih, harga kisaran Rp 200-250 miliar juga. Tinggal dua tahun ini. Bekerjalah semampunya walau tidak mampu juga sih. Tetapi, jangan bikin aneh-aneh, bikin rakyat tambah jengkel. Jangan banyak cakap, bikin rakyat tambah geram. Dan jangan terlalu banyak cengengesan. Bikin rakyat yang pilu karena minyak goreng, BBM, dan sembako yang harganya naik gila-gilaan, akan semakin naik pitam. Diam-diam saja, main-main sama cucu di Istana Bogor sambil bikin konten, sepedaan kek, mainan rusa kek, atau mainan kodok di kolam. Pokoknya jangan bikin rakyat puasanya batal saja. (*)