OPINI

Pembangunanisme Ganjar Versus Pembangunan Manusia Anies-2

Oleh Abdurrahman Syebubakar - Kritikus Sosial Politik Institute for Democracy Education (IDe)  MAZHAB pembangunanisme telah berjalan lama di Indonesia, terutama sejak Orba. Kemudian, menemukan bentuknya yang sangat primitif di era Otoritarianisme Korup (Malevolent Authoritarianism) rezim Jokowi. Selama lebih dari 7 tahun terakhir, tidak ada yang tersisa dari pembusukan rezim Jokowi, mulai dari lesunya pertumbuhan ekonomi, meluasnya korupsi, kemiskinan dan ketimpangan yang makin dalam, meroketnya utang negara, penegakan hukum yang diskriminatif, regresi demokrasi, stagnasi pembangunan manusia, hingga anjloknya tingkat kebahagian, dan meningkatnya ketegangan sosial. Bangsa ini nyaris kehilangan jejak untuk kembali ke cita-cita reformasi. Jalan yang dipilih dengan perjuangan dan pengorbanan segenap komponen bangsa, terutama mahasiswa. Yang pasti, kompas negara ini telah jauh melenceng dari cita-cita  bernegara sebagaimana dinubuahkan para pendiri bangsa.  Mirisnya, mazhab pembangunanisme dengan daya rusak yang dalam dan luas juga dijadikan panduan oleh para kepala daerah. Terlebih kepala daerah dari barisan parpol pendukung pemerintah, seperti Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.  Ganjar Pranowo tumbalkan rakyat kecil atas nama pembangunanisme Dengan DNA politik ekstraktif dan ambisi nyapres 2024, Ganjar pasang badan menjalankan agenda serakah para oligark atas nama Proyek Strategis Nasional. Proyek tambang batu andesit di desa Wadas Jateng menjadi contoh nyata pemihakan Ganjar terhadap kepentingan kekuasaan dan oligarki.  Guna mengamankan proyek triliun tersebut, Ganjar ikut menggerakkan birokrasi dan aparat keamanan _membuldozer_ rakyat desa Wadas yang mempertahankan hak atas tanah mereka sendiri. Ia tega menumbalkan rakyat kecil yang notabene pendukungnya sendiri, demi melayani kerakusan oligarki. Tragedi tersebut telah membongkar topeng licik Ganjar yang selama ini mencitrakan diri sebagai pemimpin yang merakyat. Faktanya, ia tak peduli dengan nasib rakyat. Hampir 10 tahun di bawah kepemimpinannya, Jawa Tengah tidak lepas dari predikat provinsi termiskin di Jawa, dengan rata-rata pendapatan penduduk hanya Rp38,67 juta pada 2021. Angka tersebut merupakan yang terendah se-Pulau Jawa, serta jauh di bawah rata-rata pendapatan per kapita nasional sebesar Rp62,24 juta per tahun (BPS 2022). Seturut dengan itu, angka kemiskinan di Jawa Tengah mencapai 11,25 persen pada September 2021, nomor dua tertinggi di Pulau Jawa, setelah Yogyakarta dengan 11,91 persen, serta berada di atas presentase penduduk miskin nasional yang 9,71 persen (BPS, 2022). Dan sesuai data BPS, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah sebesar 72,16 pada 2021, hanya sedikit di atas IPM Jawa Timur (72,14), namun di bawah Jawa Barat (72,45), Banten (72,72), Yogyakarta (80,22), dan DKI Jakarta (81,11).   Ganjar telah gagal membangun Jawa Tengah, apalagi mau mengurus Indonesia, dengan segudang masalah yang sangat kompleks. Tidak ada yang bisa ditawarkan Ganjar kepada rakyat Indonesia, kecuali pencitraan kosong (gimik politik), tak bermakna. Ia juga tidak memiliki gagasan besar tentang Indonesia masa depan. Minimal, tidak pernah terdengar visi alternatifnya untuk membangun Indonesia di luar sistem dan strategi yang tersedia dalam Peta Jalan (Roadmap) oligarki.  Alih alih melawan oligarki yang merampok hak-hak rakyat, justru Ganjar menjadi kaki tangan mereka sebagai imbal balik sokongan finansial para oligark selama ini kepada patron politik Ganjar yaitu Presiden Jokowi. Pemihakan Ganjar terhadap kerakusan oligarki sekaligus menjadi persekot atau setoran awal politik kepada mereka dalam rangka dukungan modal nyapres 2024.  Penggalan cerita di atas tidaklah berdiri sendiri, namun merupakan kelanjutan dari jejak politik (political track record) Ganjar sejak lama. Sebelum menjabat gubernur Jawa Tengah, nama Ganjar terseret kasus korupsi E-KTP yang merugikan negara tidak kurang dari Rp2,3 triliun. Kasus ini terjadi saat Ganjar menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR RI. Para terpidana kasus mega korupsi tersebut seperti Setya Novanto pernah menyebut Ganjar menerima uang 500.000 dolar AS dari proyek e-KTP. Hal ini dikonfirmasi  Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin ketika bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk terdakwa Setya Novanto (19/2/2018) bahwa  Ganjar menolak diberikan 100.000 dollar AS, tapi mau menerima 500.000 dollar AS. Anehnya, dugaan keterlibatan Ganjar menguap begitu saja. KPK mengaku belum menemukan bukti keterlibatan Ganjar dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP. Dengan nir-prestasi dan rekam jejak politik tersebut, wajar bila Ganjar memoles citra dirinya di medsos menggunakan pendekatan emosional karena itulah kelebihannya untuk menarik simpati publik. Tidak ada hal substansial yang bisa dijual Ganjar dalam gelaran pilpres mendatang.  Bagaimana dengan Anies Baswedan? Beda dengan Ganjar, Anies membangun komunikasi publik, yang sarat makna dan muatan kinerja. Sebab, keunggulan Anies adalah kinerja dan karya yang sudah dikenal publik, yang dibelakannya ada narasi, dan sebelum narasi ada gagasan. Bagi Anies, tidak ada kebijakan dan karya tanpa gagasan. Gagasan, Narasi dan Karya ala Anies sangat kental dengan spirit pembangunan manusia yang dijadikan panglima dalam membangun Ibu Kota selama hampir 5 tahun ini. Dan, Anies berhasil menerjemahkanya ke dalam pilihan kebijakan dan intervensi program yang tepat, melibatkan seluruh lapisan masyarakat, salah satunya melalui gerakan kolaborasi. Gerakan kolaborasi yang dikemas dalam platform Kolaborasi Sosial Berskala Besar (KSBB) mempertemukan berbagai pemilik sumber daya dengan kebutuhan warga. KSBB hadir di seluruh wilayah DKI Jakarta, dan mencakup berbagai sektor, yaitu Pangan, UMKM, Pendidikan, Permukiman, Persampahan, dan Ketenagakerjaan, dengan ratusan kolaborator dari berbagai unsur non-pemerintah, dan lebih dari 100,000 keluarga penerima manfaat.  Spirit pembangunan manusia Anies tidak berhenti di Ibu Kota, namun, merambah ke daerah-daerah lain, seperti kolaborasi dengan para petani di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung. Hal ini tidak saja saling menguntungkan antar daerah serta meningkatkan keberdayaan dan kesejahteraan petani yang umumnya rendah. Tetapi, jika dilaksanakan dalam skala yang lebih luas, skema kolaborasi tersebut membantu mengurangi ketergantungan pada impor pangan, yang pada gilirannya berkontribusi terhadap kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Anies juga melindungi kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan, termasuk warga lanjut usia, perempuan dan anak-anak serta penyandang disabilitas melalui beragam program perlindungan sosial, sebagai bagian dari fondasi pembangunan manusia. Ditambah skema subsidi kebutuhan pokok dan akses gratis terhadap fasilitas layanan publik seperti TransJakarta.  Sementara itu, pembangunan infrastruktur fisik dijadikan faktor pendukung untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendorong pembangunan manusia. Melalui paket kebijakan yang berorientasi pada pembangunan manusia, Anies memfasilitasi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pro-poor dan ramah lingkungan, dengan mengutamakan prinsip keadilan. Anies tidak anti-pemodal, tapi anti ketidakadilan. Ia tidak menolak orang yang berusaha untuk menjadi kaya. Yang ditentangnya adalah kegiatan bisnis yang merugikan kepentingan rakyat banyak dan mengabaikan keadilan sosial.  Tiga belas (13) dari 17 pulau proyek reklamasi di Teluk Jakarta dihentikannya karena terbukti melanggar banyak aturan, mematikan sumber kehidupan nelayan yang notabene rakyat kecil dan mengancam keselamatan lingkungan. Hal ini menjadi bukti keberanian politik Anies melawan episenter oligarki yang mengorbankan kepentingan dan masa depan rakyat banyak. Sebuah perkecualian dalam realitas politik Indonesia yang dikendalikan para taipan oligarkis.  Hasil persenyawaan gagasan, narasi dan karya Anies terekam dalam data BPS (2021) terkait indeks demokrasi yang sangat tinggi, mencapai skor 89,21, jauh melampaui indeks demokrasi nasional sebesar 73,66. Indeks pembangunan manusia (sebagai gabungan indikator ekonomi, pendidikan dan kesehatan) juga tumbuh positif, mencapai 81,11 pada 2021, yang menjadikan DKI Jakarta sebagai provinsi dengan status capaian pembangunan manusia yang sangat tinggi (IPM ≥ 80). Pada saat yang sama, tingkat kemiskinan di Jakarta terus berkurang sebelum COVID-19. Proporsi penduduk miskin di Jakarta pada September 2019 hanya 3.4 persen, turun dari 3.8 persen pada 2017. Dus, perlu digarisbawahi, maha karya Anies Baswedan tidak terletak pada kemegahan bangunan fisik, tetapi lebih pada kualitas pembangunan manusia  Ibu kota. Di balik kemegahan infrastruktur seperti JIS, transportasi modern dan murah, taman-taman kota, JPO, halte, trotoar yang nyaman dan ramah penyandang disabilitas serta lansia, terselip aspek kesetaraan dan persatuan di antara semua warga Ibukota.  Hal tersebut sejalan dengan pikiran Anies bahwa, “persatuan hanya bisa dibangun dan dipertahankan bila ada keadilan. Tidak mungkin bisa membangun persatuan dalam ketimpangan. Keadilan jadi kata kunci yang harus dihadirkan.\" (*)

Antara Hati dan Jantung Kau Bertahta

Oleh: Geisz Chalifah - Komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk Pemimpin adalah pemimpi plus N dan N itu adalah nyali.  Namun pemimpin tak hanya punya nyali tapi juga punya cinta. Dia tak hanya berani membuat kebijakan yang melawan kaum pemilik modal, tapi juga berani membela mereka yang terpinggirkan yang lemah secara ekonomi yang tak memiliki akses pada kekuasaan. Yang suaranya tak terdengar, yang disapa hanya ketika saat pemilu tiba. Beberapa waktu lalu  dua berita  ini mengguncang media. Anies Baswedan memimpin sholat jenazah petugas pemadam kebakaran. Anies tak hanya hadir di saat ribuan orang memberi tepuk tangan, Anies juga berkali-kali hadir di tengah keluarga yang sedang berduka. Di tengah ramainya cacian terhadap tiang bendera sederhana yang dipasang oleh masyarakat Penjaringan untuk menyambut Asian Games ramai di media sosial. Mereka mengecam dan menista partisipasi masyarakat Jakarta yg secara sederhana menyambut dengan gembira memasang bendera warna warni dengan tiang bambu. Kaum seolah kelas menengah ngehe, entah lahir di mana, mencela sehabis-habisnya. Seolah tak ada tempat bagi masyarakat sederhaha di kota ini. Mereka mencaci PKL yang berjualan tapi diam membisu terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan kaum pemilik modal.  Tiang bendera dari bambu yang dipasang masyarakat itupun mereka caci. Anies tampil ke depan membela warga sederhana yang ingin ikut bergembira dalam pesta bernama Asian Games. Membuat memo kepada Walikota Jakarta Utara. Dengan tegas mengintruksikan agar bendera dengan tiang bambu yang telah dicabut akibat kecaman di media sosial untuk segera dipasang kembali. Ada hati yang lapang untuk menerima kesederhanaan rakyat yang dipimpinnya. Ada simpati yang dalam pada keluarga yang berduka. Di hari ulang tahunnya di hari Sabtu yang waktunya libur dan menikmati suasana ulang tahun bersama keluarga, Anies meresmikan pembangunan Rumah Susun Kampung Bayam yang ditargetkan selesai pada bulan September lalu bersama Jak Mania mengadakan acara di JIS. Warga kampung Bayam bersuka cita ada janji yang ditunaikan sebagaimana janji yang telah lunas pada warga kampung Akuarium.  Jak Mania kini punya stadion kebanggaan setelah belasan tahun berlalu dengan hampa. Mereka merayakan ulang tahun sang Gubernur di stadion kebanggan warga Jakarta.  Di hari yang sama komunitas Tuna Rungu menunggu di rumahnya selama 4 Jam untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun pada Gubernur yang begitu peduli pada mereka dengan berbagai kebijakan yang menyetarakan setiap orang.  Komunitas Tuna Rungu menunggu dengan sabar karena mereka ingin bertemu sang pemimpin yang tak hanya peduli lewat kata-kata namun nir pemihakan. Tapi pemimpin yang satunya kata dengan perbuatan.  Anies Baswedan tak hanya menjadi Gubernur yang secara formal berada di Balai Kota. Namun dia juga berada diantara hati dan Jantung rakyat jelata. Diantara kaum disabilitas  diantara semua  pemeluk & pemuka agama, apapun agamanya.  Di antara hati  dan jantung warganya yang waras, dia bertahta. (*)

Apa Yang Tidak Dipersoalkan Dari Anies?

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa GAK perlu kaget! Semua tentang Anies akan selalu disoal. Tentang apa saja. Ini semua akan berhenti jika Anies tidak didorong untuk mencalonkan diri jadi presiden. Anies itu ancaman. Pertama, ancaman buat bisnis gelap. Segelintir orang terlalu kaya di Indonesia merampok uang negara dengan sangat leluasa. Anies terbukti dan akan selalu dianggap berpotensi menjadi penghalang. Kedua, Anies ancaman buat kepentingan politik pihak tertentu. Anies punya kans besar untuk menjadi presiden. Lawan politik akan terus menghalangi dan menjegalnya. Mereka tidak hanya pasang kuda-kuda, tetapi secara sistemik dan masif akan terus menyerang. Satu-satunya serangan yang dianggap paling efektif selama ini adalah \"black campaign\" atau \"fitnah Anies\". Mereka menggunakan pertama, buzzer. Ini orang-orang bayaran dan sangat profesional. Kedua, memanfaatkan pihak-pihak yang kecewa atau membenci Anies. Efek pilkada DKI tahun 2017 masih ada, meski sedikit. Ketiga, kelompok yang tidak suka atau pernah berseteru dengan para pendukung Anies. Mereka disuplai \"berita fitnah dan provokatif\" secara terus menerus.  Dari sini, muncul istilah kadrun, intoleran, radikal, dan stigma-stigma rasis lainnya.  Anies pernah menantang kapada mereka untuk membuktikan dan menunjukkan \"kebijakan mana yang intoleran dan diskriminatif\". Ini tidak akan bisa dibuktikan, karena tujuan mereka memang bukan untuk membuktikan. Semata-mata menjalankan \"strategi fitnah dan privokatif\" untuk tujuan pembusukan dan menjegal Anies.  Secara umum, fitnah kepada Anies ada tiga model. Pertama, model rasis. Mereka menyoal asal usul dan kelompok. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam perpolitikan di Indonesia. Selain melanggar UUD 1945, juga berpotensi menciptakan perpecahan bangsa. Kedua, serangan yang bersifat umum. Misalnya, Anies distigmakan sebagai gubernur gagal dan tidak bisa bekerja. Anies dituduh gak punya prestasi. Jakarta dianggap amburadul selama dipimpin Anies. Semua penghargaan yang diterima Anies dibilang rekayasa.  Fakta yang terjadi justru sebaliknya. Bertolak belakang dengan semua yang dituduhkan.  Ketiga, tuduhan yang bersifat spesifik. Sasarannya lebih detil. Semua kebijakan Anies terus dicari celahnya untuk dijadikan sasaran fitnah. Dalam konteks ini, tim buzzer berbayar harus diakui memang sangat kreatif dalam mendesign fitnah, dan sangat lihai menentukan angle-nya. Benar-benar profesional. Dengan kemampuan inilah mereka dibayar mahal. Silahkan lacak dari mana meme dan video serangan terhadap Anies. Lalu, cari tahu berapa harga mereka.  Reklamasi disegel Anies. Lalu ada yang membuat video dengan konten ruko-ruko di pulau reklamasi yang sudah dibangun oleh pengembang. Ada pesan ke publik bahwa penyegelan pulau reklamasi hanya pencitraan. Padahal, 35 persen pulau reklamasi memang hak pengembang untuk membangunnya. 65 persen pulau reklamasi diambil dan menjadi hak Pemprov DKI. Soal Formula E. Gagal interpelasi di DPRD, ada yang datang ke lokasi untuk mencari gerombolan kambing. Ini memang terlihat konyol. Tanda sudah kehabisan cara. Semua tumpul. Mereka frustasi, sampai kambingpun diajak berpolitik.  Anggaran sumur resapan sebagai program naturalisasi untuk mengurangi banjir tidak disetujui di DPRD. Program sumur resapan distop. Datang seorang tokoh partai terperosok, atau memperosokkan diri, di salah satu sumur resapan. Ini juga terlihat konyol. Manuver yang tidak berkelas.  Interpelasi dan stop anggaran, ini memang permainan kasar dan terkesan arogan. Sekaligus mennjukkan bahwa upaya untuk jegal Anies memang dilakukan dengan all out.  Tahun 2022 berdiri JIS (Jakarta International Stadium). Selain ada larangan nonton final dan soft launchingnya, disoal pula anggaran dan shalat Idul Fitri di JIS. Shalat Id politik lah, memaksa pegawai lah... Kumpulan para kadrun dan Islam intoleran lah... dsb. Bahkan ada yang ribut soal penggagasnya. Anies dianggap tidak berhak klaim itu sebagai karyanya. Dan memang, Anies tidak pernah klaim JIS, juga semua prestasi Pemprov DKI sebagai karya dan hasil kerja pribadinya. Itu kerja kolaboratif yang melibatkan banyak pihak.  Padahal, kalau mau obyektif, sengketa tanah JIS baru selesai Tahun 2020. Design JIS dibuat tahun 2019. Designnya beda dengan design stadion BMW yang dirancang sebelumnya. BMW dirancang untuk menampung 40 ribu penonton. JIS sekarang menampung 80 ribu penonton. Intinya, harus juga diakui, semua ikut andil dan berkontribusi. Gak usah dibentur-benturkan satu dengan yang lain. Bikin gaduh aja.  Any way, semua tuduhan terhadap Anies selalu mendapatkan bukti sebaliknya dengan data dan fakta yang cukup lengkap dan detil. Meski begitu, tuduhan atau fitnah (black campaign) tidak akan pernah berhenti dan akan terus berjalan. Bahkan mungkin akan lebih sistemik dan masif, mengingat jadual pilpres semakin dekat.  Bagi rakyat Indonesia, ini ironi. Sebuah demokrasi yang ternoda, karena didominasi oleh berita hoax dan fitnah. Mental rakyat dirusak oleh segelintir orang yang takut keserakahan  dan ambisi politiknya terganggu jika Anies jadi presiden. Mereka menggunakan isu-isu agama dan ideologi yang sensitif, serta slogan-slogan rasisme untuk jegal Anies. Ini semata-mata hanya bertujuan untuk memproteksi kepentingan mereka saja. Ada sekelompok masyarakat yang awam politik dimanfaatkan oleh mereka untuk ikut nyerang Anies. Kasihan!  Rakyat mesti sadar dengan selalu melihat pada fakta, dan bersikap obyektif. Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan tidak ikut terjebak dalam \"design fitnah\" yang dikelola oleh segelintir mafia itu.  Banjarnegara, 9 Mei 2022

Milisi Kecoa Kakus

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan HANCUR budaya di era Jokowi. Anak-anak miskin intelektual, rasa, dan iman berjingkrak-jingkrak mentertawakan agama, surga, dan neraka. Lewat lagu yang menggambarkan betapa berantakannya budaya nusantara saat ini. Judulnya \"Ini bukan Arab\". Kasihan anak-anak milisi ini teracuni dan bermental kecoa kakus. Bau dan kotor.  Coba lihat bagian lirik jingkrak-jingkrak seperti orang gila itu.  Ini bukan Arab, ini bukan Arab, bung. Bukan !  Kau paksakan budaya  Tapi ini bukan di Arab di jaman Nabi Cepatlah kau mati, tagih pahalamu di surga Surgamu, nerakaku Ini bukan Arab, ini bukan Arab, bung. Bukan !  Ini bukan Arab, ini bukan Arab. Bukan !  Rasialis, sinis, dan jauh dari agamis adalah fenomena generasi hidup senin kemis.  Sesak nafas bersaturasi rendah. Prihatin pada orang tua yang mengasuh dan mendidik mereka. Mungkin ibunya menangis saat anak-anak itu berjingkrak-jingkrak. Surgamu nerakaku, katanya. Ibunya masuk surga, anaknya di neraka. Untuk menjawab ini, bagus juga balasan lirik itu.  Ini bukan Amerika, ini bukan China, bung. Bukan  !  Kau paksakan budaya Tapi ini bukan Nusantara di jaman PKI dulu Cepatlah kau pergi, tagih janji majikanmu Surga palsumu, nerakamu Ini bukan Amerika, Ini bukan China, bung. Bukan  !  Ini Nusantara ala mu, Nusantara ala mu, bung. Iyaa  !  Pak Jokowi itu anak-anak di negeri pimpinan bapak. Mereka bukan kebanggaan, bukan kebanggaan. Bukan! Betapa rusaknya negeri ini karena mengelola negara seenaknya, hutang besar beban bangsa, jurang sosial menganga, meminggirkan agama dan  jingkrak-jingkrak orang gila. Parah juga menjadi negara kecoa.  Kecoa yang bernama latin Blattodea itu otaknya tidak di kepala, matinya terbalik, dan larinya cepat. Takut oleh aroma lavender, peppermint, kapur barus, dan juga daun salam. Berhabitat lembab dan kotor, penyebar kuman. Rumah atau ruang harus dibersihkan dari kecoa-kecoa berbahaya.  Milisi Kecoa Band adalah band kalang kabut yang merusak moral anak muda. Di jaman Soekarno band model ini masuk kategori \"ngak ngik ngok\". Budaya hedonis yang tidak sesuai dengan semangat kebangsaan \"budaya inperialis\", kata bung Karno.  Bandung, 9 Mei 2022

Pembangunanisme Ganjar versus Pembangunan Manusia Anies - Bagian 1

Oleh Abdurrahman Syebubakar - Kritikus Sospol & Inisiator Majelis Habaib Progresif KENDATI beririsan pada tataran praksis, mazhab pembangunanisme (developmentism) dan pembangunan manusia (human development) berbeda secara diametral pada tataran paradigmatik dengan pilihan kebijakan dan dampak yang berbeda pula.  Pembangunanisme berorientasi pada kemajuan infrastruktur fisik di bawah kendali oligarki dan pemburu rente ekonomi. Rakyat dipandang sebagai obyek pembangunan semata. Kemaslahatan hidup mereka disandarkan pada kemudahan akses terhadap infrastruktur fisik yang ditujukan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, dengan mantra trickle-down effect (efek menetes ke bawah), tingkat kesejahteraan rakyat diasumsikan terkerek secara otomatis.  Dari segi perangkat lunak pembangunan indikator utama pembangunanisme adalah kecerdasan instrumental dan keterampilan teknis-teknokratis sumber daya manusia (SDM) yang bermuara pada produktifitas tenaga kerja. Dengan kata lain, SDM diperlakukan sebagai faktor produksi dan subordinat pertumbuhan ekonomi lewat proyek-proyek infrastruktur mercusuar. Selain itu, motif dan orientasi pembangunanisme, sejalan dengan pendekatan pembangunan SDM, bersifat ekonomistik utilitarian. Dalam praktiknya, SDM (termasuk di dalamnya kalangan intelektual) dijadikan pelayan bagi kepentingan relasi antara penguasa dan pengusaha. Sehingga, yang mendominasi ruang publik adalah kaum intelektual tukang atau intelektual kelas kambing, meminjam istilah Romo Mangun, untuk menggambarkan perselingkuhan akademisi dengan kekuasaan hingga tidak bisa berpikir dan bersikap obyektif.  Dengan demikian, pembangunanisme berjarak cukup jauh dari motivasi pembebasan, (liberating spirit) dan pemberdayan rakyat (people empowerment). Bahkan bersebarangan dengan kedua aspek maha penting tersebut. Ia menelantarkan isu-isu sentral dan fundamental pembangunan, mulai dari demokrasi substantif, lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, kemiskinan, kerentanan dan ketimpangan, corak kelembgaan ekonomi-politik dan kepemimpinan, penegakan hukum, hingga daya rusak oligarki dan korupsi.  Sementara itu, mazhab pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan. Tujuannnya, menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyat untuk menikmati kehidupan yang panjang, sehat, berilmu pengetahuan dan kreatif (Mahbub ul_Haq). Lebih jauh, Amartya Sen (1999), peletak landasan konseptual pembangunan manusia, mendefinisikan pembangunan sebagai kebebasan (development as freedom). Bagi Sen, kebebasan (baik kebebasan positif maupun kebebasan negatif) tidak saja menjadi tujuan utama pembangunan, tetapi juga sarana penting untuk mencapai tujuan-tujuan lainnya.  Pembangunan manusia bertumpu pada rasionalitas substantif yang menembus perkara pokok pembangunan (core issues of development). Dan, pada gilirannya, mendorong lahirnya kebijakan dan kebajikan publik (public virtue) yang bervisi jangka panjang, memberdayakan dan berkeadilan bagi semua, terutama rakyat kecil.  Perbedaan pembangunanisme dan pembangunan manusia mensyaratkan strategi, pilihan kebijakan, pendekatan dan langkah langkah berbeda. Hasil dan dampaknya pun berbeda, bahkan bisa berbanding terbalik jika penekanan strategi dan pilihan kebijakan tertukar diantara keduanya.   Di Indonesia, pembangunanisme berlaku sejak lama, terutama di masa Orba, dan berlanjut pasca reformasi. Kemudian, mengristal dengan karakter yang makin ekstraktif dan brutal sejak Presiden Jokowi berkuasa pada 2014. Kata \'pembangunan\' dijadikan  mantra yang siap membuldozer siapa saja yang menghalanginya, termasuk wong cilik basis pendukung Presiden Jokowi.  Mereka yang mempertahankan dan menuntut hak asasinya atas tanah dan sumber penghidupan yang layak, dianggap melawan pembangunan dan dikriminalisasi. Bahkan menerima tindakan represif aparat negara yang seharusnya mengayomi rakyat. Watak rakus dan laku represif rezim Jokowi atas nama pembangunan tercermin dalam pilihan kebijakannya yang jauh dari semangat pemberdayaan dan pembebasan. Sejumlah peraturan perundang undangan dan proyek infrastruktur mercusuar di era Presiden Jokowi tidak lebih dari turunan Peta Jalan (Roadmap) para taipan oligarkis dalam mengeruk kekayaan Indonesia dan mengeksploitasi sumberdaya rakyat. Sebut saja Omnibus Law, pengebirian KPK, UU Minerba, kereta cepat Jakarta-Bandung, pembangunan Bandar Udara Kertajati, pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan, semuanya atas nama pembangunan, yang bermuara pada kepentingan oligarki dan elit kekuasaan.   Bahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pernah melontarkan pernyataan yang bertentangan dengan tugasnya untuk melestarikan hutan dan lingkungan hidup. \"Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,\" tulis Menteri Siti melalui twitter (3/11/2021). Alih-alih berdampak positif terhadap kesejahteraan rakyat, Peta Jalan Oligarki yang dijalankan atas nama pembangunan justru menguras uang rakyat dan menyebabkan tumpukan utang negara. Konsekuensi logisnya, untuk mengisi kas negara dan bayar utang, selain mengambil utang baru (gali lubang tutup lubang), pemerintah merampas hak-hak dasar rakyat melalui berbagai beleid dan instrumen kebijakan yang tidak masuk akal dan melanggar konstitusi.  Baru baru ini, Presiden Jokowi mewajibkan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat permohonan jual beli tanah. Dalam hal ini, pemerintahan tidak saja mengingkari hak setiap warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan tanpa dipungut biaya (asas universalitas), sesuai amanat konstitusi, tetapi juga menghukum mereka dengan mencabut hak-hak konstitusional lainnya. Pada saat yang sama, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 10% menjadi 11%, harga-harga kebutuhan pokok dan biaya hidup melambung, di saat rakyat terpukul dampak pandemi COVID-19. Tak ayal, rakyat makin sengsara.    Belum lagi menyebut residu sosial, ekonomi dan lingkungan dari proyek-proyek infrastruktur ala pembangunanisme terhadap generasi masa depan Indonesia.  Mirisnya, mazhab pembangunanisme dengan daya rusak yang dalam dan luas juga dijadikan panduan oleh para kepala daerah. Terlebih kepala daerah dari barisan parpol pendukung pemerintah, seperti Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. *  ___________________________ *) Pendekatan pembangunan Ganjar vs Anies dibahas pada bagian II tulisan ini).

Nyalakan Api Revolusi

Pilpres saat ini tidak akan bisa melepaskan diri dari budaya transaksi politik jual-beli partai dan suara, magnet kendalinya tetap oleh Oligarki, dengan kata lain, sampai pada penentuan kemenangan untuk setiap Capres pada 2024 harus tunduk dengan bandar hitam Oligarki. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih TIKET Pilpres 2024 saat ini dalam realitas kuasa politik masih ada di tangan para  cukong hitam Oligarki. Ada Pilpres 2024 sekarang atau kapanpun jika Pilpres berlangsung, gerombolan cukong hitam Oligarki berpotensi sebagai pemenangnya. Gerombolan mereka telah mempersiapkan segala cara dan bentuk kecurangan agar bisa memenangkan Pilpres 2024. Mereka ingin rezim penguasa tetap saja sebagai bonekanya Oligarki adalah kelompok kecil yang mempengaruhi, bahkan menentukan kebijakan negara. Oligarki terdiri dari dua kelompok, yaitu elit penguasa dan pengusaha papan atas, yang memiliki sumber finansial sangat besar dan bisa membeli semua instrumen politik untuk kepentingan politik dan ekonominya. Penguasa dan pengusaha – ekonom senior Rizal Ramli menyebutnya sebagai PengPeng – ingin mengamankan kepentingannya ke depan. Secara hukum aman, kepentingan politik berkelanjutan, dan nasib bisnis para pengusaha terjaga, bahkan berkembang. Paska upaya rekayasa perpanjangan masa jabatan atau masa jabatan Presiden tiga periode ada perlawanan dari rakyat. Cukong hitam Oligarki harus berpikir ulang super hati-hati untuk memilih dan memenangkan calon Presidennya pada Pilpres 2024. Calon Presiden yang menjadi pilihannya dalam pemilu nanti pasti harus dalam radar kendalinya. Untuk mempertahankan kepentingan politik dan bisnis mereka, salah kalkulasinya yang terjadi bisa sebaliknya. Saat ini Oligarki dipaksa untuk bersikap realistis, mereka akan merapat dan memberi dukungan kepada calon yang potensial menang. Siapapun calon yang harus dimenangkan, bagi cukong hitam Oligarki, mutlak harus menjaga dan mengamankan kepentingan mereka – adalah aman secara hukum, politik dan ekonomi. Jika mereka salah atau terlambat mengambil langkah yang tepat, maka ini akan menjadi bumerang bagi masa depan mereka, baik masa depan politik maupun masa depan ekonomi. Bahkan, resiko hukum menjadi bayang-bayang ancamannya. Sejak awal sudah dirancang koalisi partai gemuk (non PKS dan Partai Demokrat) kekuatan politik telah mencapai 82 %. Seandainya bisa dipertahankan oleh oligarki, itu artinya Pilpres 2024 saat ini sudah selesai. Inilah yang kini sedang dimainkan Muhaimin Iskandar (PKB) ditengarai setelah menjadi pion Luhut Binsar Pandjaitan untuk perpanjangan masa jabatan gagal di tengah jalan. Dalam rumor politik, Muhaimin juga gagal membuka lapak jualan partainya untuk Capres pada Pilpres 2024. Paska tuntutan bergelombang Yudisial Review Presidential Threshold (PT) 20 % menjadi 0 % semua dirontokkan (ditolak MK) – penentuan Capres harus mentaati PT 20 %, maka kendaraan partai adalah menjadi persyaratan mutlak bagi semua Capres. Koalisi besar yang saat ini masih dalam kendali oligarki berpotensi akan pecah dengan mulai muncul Capres Puan Maharani, Prabowo Subianto, Muhaimin Iskandar (adalah kader dari pemilik partai). Sementara, AA LaNyalla Mahmud Mattaliti, Ganjar Pranowo, Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan (non partai). Terkait dengan partai akibat PT 20 % gagal menjadi PT 0 % – adalah hanya para tataran peluang bagi partai untuk buka lapak bagi Capres yang mau membeli partainya untuk maju Capres 2024 – otomatis berpotensi koalisi besar partai di pemerintahan bisa retak dan bubar. Pilpres saat ini tidak akan bisa melepaskan diri dari budaya transaksi politik jual-beli partai dan suara, magnet kendalinya tetap oleh Oligarki, dengan kata lain, sampai pada penentuan kemenangan untuk setiap Capres pada 2024 harus tunduk dengan bandar hitam Oligarki. Sampai di sini harus dipahami bagaimana caranya agar setiap Capres pada Pilpres 2024 bisa lepas dari genggaman Oligarki. Menghancurkan peran oligarki rasanya mustahil dengan cara-cara konstitusional yang semuanya ditolak rezim boneka saat ini. Satu satunya jalan keluar adalah dengan kekuatan People Power dan atau Revolusi untuk mengatasi kebuntuan tersebut. Maka seruan Kobarkan dan Nyalakan Revolusi jangan di maknai semata perbuatan makar tetapi itu adalah jalan keluar untuk menyelamatkan Indonesia. (*)

Ruhut Menjadi Kribo

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan LHO bukankah Ruhut saat ini berambut tipis kok menjadi kribo ? Ya, tapi ini bukan persoalan fisik apalagi urusan rambut melainkan sifat dan sikap. Maksudnya adalah bahwa Ruhut Sitompul sedang mengikuti dan mendukung pandangan Zein Assegaf alias Habib Kribo. Karena dengan menyamakan diri inilah maka Ruhut menjadi Kribo. Ucapan tidak bermutu dan ketakutan sendiri Zein Assegaf alias Zein Kribo berkaitan dengan kekhawatiran bahwa Anies Baswedan akan menjadi Presiden pada Pilpres 2024. \"Negara akan hancur\", kata Kribo he hee hancur apanya. Halusinasinya terus muncul \"gerakan radikal akan tumbuh subur jika Anies jadi Presiden\" Kribo menggigil ketakutan hebat.  Kribo berteori dan mulai menghasut eh memotivasi \"Besok kalau anda mau pilih Presiden, pilih yang didukung Jokowi. Istilah kalau jaman Nabi, Kira-kira yang awam ini kita ikut orang yang bener. Siapa sekarang kita punya orang bener. Siapa kita punya Presiden terbaik? Adalah Jokowi\". Ga jelas maksudnya apakah Jokowi disamakan dengan Nabi? Pikiran kriting eh kribo seperti itu yang diamini dan dipuji Ruhut.  \"Aku kasih nilai 100 waspada, waspada  waspadalah NKRI harga mati. Pancasila Ideologi  Negara Indonesia tercinta yang harus terusss kita lestarikan. Syukron Habieb Kribo. Merdeka\", kata Ruhut Sitompul.  Belum juga  masuk tahapan Pilpres namun Ruhut dan Kribo sudah gemetaran. Mungkin sejawat lainnya seperti Denny Siregar dan Abu Janda juga mengalami penyakit yang sama. All out berusaha untuk menghancurkan Anies Baswedan yang dianggap lawan. Rupanya  kubu mereka tidak siap untuk berkompetisi secara sehat. Maklum bisanya hanya pintar sembunyi di ketiak kekuasaan.  Kolam cebong bergolak hebat. Jokowi melemah cengkeramannya. Partai koalisi tidak lagi solid karena masing-masing mencari posisi untuk 2024. Oposisi justru semakin kuat. Buzzer belingsatan dan berkomentar ngawur. Maklum panik. Ya contohnya Habib Kribo dan Ruhut itu.  Jika Anies atau lainnya dari kubu non-Jokowi menjadi Presiden, maka terbayang wajah-wajah kecut para buzzer sedang menggali kuburannya sendiri. Kasihan.  Habib Kribo ini adalah wajah kribo pemikiran keagamaan. Konon Syi\'ah? Aneh keturunan Arab justru membenci Arab. Sangat dangkal pemahaman keagamaannya. Masa si Kribo pernah menyamakan Asmaul Husna dengan Trinitas dan mendalilkan pelacur lebih ibadah di depan Tuhan karena melacur itu mencari makan. Kribo dan teman temannya gemar meneriakkan Kadrun kepada umat Islam. Persis seperti PKI dahulu menyerang umat dengan  sebutan Kadal Gurun (Kadrun). Para buzzer dan penista agama itu lupa bahwa perilaku memberi status dan melecehkan itu sama saja dengan deklarasi bahwa dirinya adalah Qirdun atau monyet.  Ingatlah ketika menyebut orang sebagai Kadrun anda adalah Qirdun. Allah mengutuk Yahudi menjadi Qirdun alias monyet karena mereka melanggar Syari\'at berebut ikan di hari Sabtu. Nah, baiknya para buzzer itu sadar bahwa melecehkan dan mempermainkan agama dan umat beragama adalah melanggar syari\'at. Dan kutukan masyarakat atas perilaku seperti itu adalah Qirdun. Monyet.  \"Kuunuu qirodatan khoosi-iin\" Jadilah kalian kera-kera yang hina--QS Al Baqarah 65.   *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan   Bandung, 8 Mei 2022

Istana Makin Terjepit dan Berantakan

Perpecahan di istana tidak bisa dibendung dan Presiden tidak mampu lagi untuk mengendalikan dan meredam, maka saat ini istana dalam keadaan tidak menentu. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SAAT ini situasi Istana terus mengalami goncangan pertengkaran perebutan pengaruh kekuasan antara Oligarki (Kapitalis), Komunis, dan Koalisi Partai Gemuk, semakin tajam. Sejak Joko Widodo naik tahta sebagai Presiden dengan sahamnya masing- masing, mereka merasa telah memiliki hak kendali istana dengan agenda keuntungan politik dan ekonomi dalam proses kelola negara, yang selama ini tidak disadari oleh Presiden pada saatnya akan membawa bencana, baik bagi diri Presiden dan kerusakan pada tata penyelenggara dan kelola negara. Presiden terlalu over confidence dengan segala kapasitas dan keterbatasannya, setelah merasa mampu mengendalikan TNI/Polri, akan terjaga dari segala bentuk gangguan yang akan terjadi. Jelas, itu benar-benar meremehkan dan mengabaikan bahwa mandat kekuasaannya adalah amanah rakyat. Arah politik luar negeri yang melenceng dan lebih tergantung kepada China adalah petaka awal terseret pada hutang yang tak terkendali. Janji-janji akan memperkuat ekonomi mandiri menguap karena terbuai dengan mudahnya mendapatkan uang pinjaman (hutang) yang makin tak terkendali. Pada saat bersamaan oligarki yang selama ini ditahan rezim sebelumnya tidak bisa masuk langsung ikut campur tangan mengatur kebijakan negara, dibuka pintu lebar-lebar masuk sampai membabat, menguasai, dan mengendalikan, bahkan dengan politik tangan besi merubah dan membuat UU sesuai dengan syahwat kepentingan kelompoknya. Kesempatan komunis untuk bangkit kembali telah diberikan nafas, ruang dan kesempatan bebas melakukan kongres lima tahunan menyusun langkah dan strategi bisa eksis kembali tanpa pengawasan sama sekali. Kader-kader PKI bebas lalu-lalang di istana, bahkan sudah bisa masuk pada semua instrumen kekuasaan, dan celakanya masuk pada internal TNI dan POLRI. Partai politik yang telah kering arah perjuangan dari basis nilai Pancasila dan UUD 45 - semua larut berpacu untuk mendapatkan pundi-pundi kekuasaan dan sampai terjadinya tragedi DPR hanya sebagai stempel pemerintah. Dendam kusumat Komunis kepada umat Islam memiliki peluang emas untuk melampiaskan dendamnya dan mereka diberi kekuasaan seperti tanpa batas oleh Presiden. Rentetan kejadian tersebut, semua kekuatan poskonya di Istana, sampailah pada puncak menjelang akhir masa jabatan kedua Presiden segera berakhir terjadilah keributan, semua berhitung arah politik dan ekonominya dari segala kemungkinan yang akan terjadi. Muncullah rekayasa perpanjangan masa jabatan Presiden dan/atau masa jabatan Presiden untuk tiga periode. Dengan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai “komandan” menjalankan proses politiknya. Datanglah tekanan dari China bahwa rekayasa di atas tidak boleh gagal. Karena kalau sampai gagal akan mendatangkan resiko politik dan ekonomi yang berbahaya. Rezim oligarki yang selama ini tampak tanpa hambatan menerjang apapun keinginannya selalu lancar, dan semua lawan politik yang menghalanginya langsung diambil, tangkap dan penjarakan. Tiba-tiba saja dikejutkan adanya perlawanan rakyat yang melakukan perlawanan. Pertengkaran di istana makin tajam, keretakan makin lebar setelah sebagian besar partai koalisi menolak perpanjangan masa jabatan/jabatan Presiden 3 periode. PDIP melihat gelagat kalau memaksakan diri akan terjadi revolusi dan perang saudara mengambil jarak dengan Presiden sekalipun selama ini diakui sebagai petugas partainya. Perpecahan di istana tidak bisa dibendung dan Presiden tidak mampu lagi untuk mengendalikan dan meredam, maka saat ini istana dalam keadaan tidak menentu.  Akhirnya, tercium juga oleh media asing The Economist bahwa Jokowi tengah menghadapi resiko politik dan ekonomi yang disebutnya sebagai Twin Risk atau resiko kembar. Resiko politik yang disebutkan oleh The Economist, yaitu berasal dari kalangan internal. Partai pendukungnya yang menolak amandemen konstitusi tersebut yang memungkinkan dia untuk memperpanjang masa jabatannya. Media tersebut memperingatkan bahwa Jokowi bisa terancam dijatuhkan oleh rakyat. “Bila tidak hati-hati mengelolanya, The Economist memperingatkan Jokowi yang naik ke tampuk kekuasaan atas dukungan dari masyarakat di kelompok populis maka dia juga bisa dijatuhkan karena kemarahan rakyat yang dulu mendukungnya”. Politik istana terasa semakin, terjepit, terpecah dan berantakan. Kemana arah negara selanjutnya ini terpulang pada pemilik kekuasaan yaitu rakyat. Rekayasa mencegah agar tidak terjadinya revolusi semua sudah terlambat dan revolusi akan terjadi di Indonesia - sebagai kekuatan yang akan menyelamatkan Indonesia Kajian Merah Putih memberikan catatan bahwa tidak lebih dari enam bulan, kekuatan alam dan langit akan bertindak menghancurkan kezaliman yang selama ini terjadi di Indonesia. Dan Indonesia akan kembali damai, tenang, arah negara akan di kembalikan ke tujuan negara sesuai arah tujuan negara yang termuat dalam UUD 1945. (*)

Anies: Arus Perbaikan vs Arus Penghancuran

Upaya ini tidak ringan. Oligarki penjahat bisnis dan oligarki penjahat politik siap menghadang. Merekalah yang saat ini sedang mengatur strategi untuk menggagalkan Anies. Segala cara akan dilakukan. Oleh: Asyari Usman, Jurnalis, Pemerhati Sosial-Politik BANYAK yang mulai gelisah bahkan putus asa. Anies Baswedan semakin kuat. Medan magnetnya makin luas. Akumulasi dukungan tak terhitung lagi. Hari-hari ini semakin banyak partai politik (parpol) yang menunjukkan interest. Mereka ikut-ikutan menjadi relawan Anies. Mendekat dan merasa nyaman bersama Pak Gubernur. Mereka tahu Anies bukan figur yang disukai para konglomerat hitam. Mereka pun paham Anies tak punya modal besar. Tapi, begitulah rupanya panggilan nurani yang paling dalam. Panggilan untuk Indonesia yang lebih baik. Tanpa rekayasa, Anies kini menjadi ikon harapan untuk merealisasikan perbaikan dan kemajuan Indonesia. Perbaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilandaskan pada keadilan untuk semua. Keadilan sosial dan keadilan hukum. Dari sinilah kemajuan bersama untuk semua itu bisa berawal. Keteladanan top-down sangat diperlukan. Ini tidak tergantikan. Hari ini, keteladanan dari atas itulah yang absen. Dan absen sudah terlalu lama. Untuk situasi dan kondisi Indonesia saat ini, keteladanan top-down itu hanya bisa diperankan oleh figur pemimpin yang memiliki empat syarat primer: integritas, kapabilitas, kapasitas, dan bebas dari tangan oligarki. Empat syarat ini kelihatan ringan. Tetapi, sesungguhnya figur itu tidak ada andaikata Anies Baswedan tidak pada posisi ideal dan krusial sebagai gubernur DKI. Figur yang itu-itu juga memang banyak. Yaitu, figur-figur yang siap menyempurnakan kehancuran Indonesia. Anies sekarang ini menjadi pusat perhatian orang-orang yang serius ingin Indonesia menjadi kuat tanpa pembelahan. Tidak ada orang yang sehat akal tidak ingin Anies menjadi presiden. Alhamdulillah, tak terasa Anies membentuk mainstream (arus besar) perubahan yang didambakan. Ini berlangsung secara alamiah. Bukan karena desain. Apalagi desain kotor. Anies sebagai arus besar perubahan harus diperkuat dan dipertahankan. Semua kelompok sipil yang properbaikan tanpa diminta akan berkumpul dan mengawal jalan Anies menuju kursi presiden. Upaya ini tidak ringan. Oligarki penjahat bisnis dan oligarki penjahat politik siap menghadang. Merekalah yang saat ini sedang mengatur strategi untuk menggagalkan Anies. Segala cara akan dilakukan. Mereka punya sumber dana tak terbatas. Bisa membeli dan membayar apa saja, siapa saja. Bahkan, pantas dikhawatirkan tentang keamanan dan keselamatan Pak Gubernur. Sebab, mereka itu merasa berhak melakukan apa saja. Jadi, hari ini kita berkesempatan untuk mengenali pertarungan di depan yang sangat berat dan menentukan. Yaitu, pertarungan antara arus perbaikan versus arus penghancuran. Rakyat Indonesia, bukan Presiden George Bush Jr, lebih berhak mengatakan “You are either with us, or against us”. Kalian bersama kami, atau musuh kami. Kalian mau menegakkan keadilan atau terus merusaknya. (*)

Kasus Anton Permana dan Wajah Penegakan Hukum di Indonesia

Oleh Hafid Abbas - Komisioner dan Ketua Komnas HAM RI ke-8 (2012-2017) BARU saja saya membaca postingan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 H dari Anton Pernama yang sudah terkirim sejak di hari Idul Fitri, 2 Mei 2022 lalu. Dituliskan di postingan itu: “seiring lantunan takbir di hari yang fitri, terangkat doa terbaik, semoga Allah SWT memberikan kebaikan, kesehatan, keberkahan, keluasan rezeki dan kemudahan dalam setiap urusan kita, dunia dan akhirat. Atas segala khilaf dan salah, kami memohon maaf lahir dan batin…”    Ketika membaca postingan itu, saya merasa terbebani karena mengapa tidak membaca pesan itu lebih awal sehingga tidak begitu telat saya meresponnya. Saya kemudian membayangkan keadaan Anton Pernama yang sudah hampir dua tahun terakhir ini terjerat dengan satu kasus hukum.  Anton Permana yang dikenal sebagai penulis dan pengamat sosial politik, dan Alumni PPRA Lemhannas RI Tahun 2018, ditangkap polisi pada pukul 24.00-02.00 WIB dini hari, Selasa, 13 Oktober 2020. Ia dijemput paksa oleh polisi di rumah saudaranya di daerah Rawamangun, atas dugaan pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena petugas yang menjemputnya berasal dari Direktorat Tindak Pidana Siber, Bareskrim, Mabes Polri (Antara, 13/10/2022). Sejak ditangkap, Anton sudah menjalani kasus hukumnya selama hampir 19 bulan, dan telah menjalani 64 kali proses persidangan di Pengadilan, dan hingga saat ini belum ada keputusan apa pun apakah ia bersalah atau tidak.  Pada 27 Mei 2021, setelah menjalani masa tahanan selama 7,5 bulan di Bareskrim Mabes Polri, Anton mendapatkan penangguhan penahanan setelah mendapatkan jaminan dari belasan tokoh terkemuka di negeri ini, antara lain: Refly Harun, Jimly Asshiddiqie, Said Didu, Rocky Gerung, Laode Masihu Komaluddin, dan lainnya.  Masa persidangan yang sudah berlangsung 64 kali itu adalah satu proses panjang yang tentu amat melelahkan. Anton yang berdomisili di Batam bersama anak dan isterinya, persidangan yang berlangsung di Jakarta, tentu persidangan itu sendiri sudah satu bentuk penghukuman yang amat berat.  Berdasakan realtias dan pertimbangan atas kasus Anton, dari perspektif HAM, berikut ini adalah sejumlah bukti-bukti empris atau best practices yang dapat dijadikan masukan komparatif bagi pihak-pihak terkait.  Pertama, di Norwegia, 23 Juli 2011,  Anders Behring Breivik, usia 32 tahun melakukan aksi terorisme dan pemboman gedung di pusat Pemerintahan di Oslo yang menewaskan 8 orang, dan kemudian pelaku melarikan diri ke Pulau Utoya, sekitar 30 km dari Oslo dan kemudian berhasil lagi melakukan pembunuhan massal yang telah menewaskan lebih 90 orang, umumnya anak usia belasan tahun yang tengah berkemah di pulau itu.  Tragedi berdarah ini dinilai oleh Pemerintah Norwegia sebagai kejahatan kemanusiaan terburuk di Norwegia sejak Perang Dunia Kedua. Anders Behring Breivik, dijerat dengan undang-undang anti terorisme, untuk mendapatkan hukuman terberat menurut undang-undang Norwegia.  Meski demikian, esensi penghormatan HAM terhadap Anders sebagai manusia, ternyata Polisi hanya memerlukan waktu delapan minggu untuk menuntaskan penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut. Dapat dibayangkan bagaimana kasus yang menimpa Anton Permana yang terlihat tidak seberat dengan kasus Anders di Norwegia, namun penanganannya terlihat jauh lebih rumit dan sudah berlangsung hampir dua tahun dan telah menjalani sidang perkara sebanyak 64 kali.  Keistimewaan Norwegia, hukum tidak diintervensi oleh kekuasaan politik. Proses hukum yang dijalani Anton sungguh tragis, dan terlihat tidak menjunjung tinggi prinsip-prinsip pemajuan dan perlindungan dan hak asasi manusia yang bersifat universal.  Kedua, pada Helsinki Accords (1975) terdapat \"Guidelines for Cooperating in the Fields of Economics, Science and Technology, and of the Environment,\" yang merekondasikan agar dihilangkan semua hambatan yang membatasi seseorang mengemukakan pendapat  dan melakukan perjalanan ke dalam dan ke luar negeri bagi kepentingan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi: exchanges and visits as well as other direct contacts and communications among scientists for consultation, lecturing, and conducting research (including the use of laboratories or libraries); international and national conferences, symposia, seminars, courses, and other meetings of a scientific and technological character, involving the participation of foreigners; and  participation in international scientific and technological cooperation programs, such as those of the United Nations Economic Social Council or other international institutions. Bahkan pada 1997, Komisi HAM PBB menerbitkan satu working paper yang menegaskan perlunya impunitas bagi para Ilmuwan terhadap hak atas kebebasan berpendapat dan  berpindah (the rights of free movement). Dalam working paper tersebut dinyatakan: ‘’travel restrictions, by limiting the ability of scientists and scholars to visit or communicate with their colleagues in other countries, violate the principle of free association, and the right to receive and disseminate information.’’  Kelihatannya alasan mengapa para ilmuwan dan pengamat seperti halnya Anton Pernama  mendapat perhatian khusus dari masyarakat internasional dan PBB, tidak lain adalah karena untuk mengenang dan menghormati pengorbanan Sokrates dan Galileo Galilie.  Pada suatu hari di tahun 399 SM, Pengadilan Athena menjatuhkan hukuman mati kepada Socrates karena berani berpendapat berbada dengan Raja. Demikian juga Galileo Galelie yang dibatasi kebebasannya, dicekal dan bahkan menjalani tahanan rumah  seumur hidup,   hingga meninggal pada 1642 karena berani berbeda pendapat dengan otoritas Gereja Roma yang menganggap bahwa bumilah titik pusat tata surya.  Pengorbanan Socrates dan Galileo Galelie dinilai sudah lebih dari cukup betapa darma kekuasaan memangkas kebebasan gerak dan kebebasan berpikir para ilmuwan. Menarik apa yang telah diungkapkan William Ewart Gladstone, “We look forward to the time when the power of love will replace the love of power. Then will our world know the blessing of peace.’   Karenanya, jika Anton bersuara berbeda dari suara penguasa, semestinya tidak ditanggapi secara berlebihan. Indonesia sebagai negara Anggota PBB, semestinya juga tunduk pada ketentuan internasional dalam perancangan, pembentukan dan penerapan hukumnya.  Kita sungguh mendambakan suatu masa kekuatan atau kekuasaan cinta (the power of love) akan menggantikan cinta kekuasaan (love of power). Jika itu terwujud dunia kita akan mengetahui indahnya kedamaian.     Semoga negeri kita yang telah memilih jalan demokrasi sejak lebih dua dekade silam merupakan pilihan terakhir, the point of no return, dan semoga semua undang-undang kita dapat memenuhi standar HAM, bukan standar mereka yang menyembah pada kekuasan dengan menindas yang lemah, yang akhirnya jalan demokrasi dan supremasi hukum yang telah kita pilih di penghujung abad ke-20, akan hanya jadi bayang-bayang fatamorgana yang indah belaka, yang akhirnya  berujung pada otoritarianisme.  Akhirnya, menarik direnungkan tuturan William Scott Downey, seorang ilmuwan dan pengamat peradilan AS di abad ke-20, “Law without justice is a wound without a cure” – Hukum tanpa keadilan bagai luka yang tidak akan pernah sembuh.  (*)