OPINI
Mahfud Mempermainkan Agama
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan HAMPIR menyerupai Dudung Abdurrahman dalam kaitan do\'a berbahasa Indonesia, Mahfud MD sepakat lebih baik berdo\'a dengan bahasa Indonesia. Ia pun mencontohkan dirinya yang berdo\'a dengan bahasa yang dimengertinya itu. Dapat dipahami jika kaitannya dengan ketidakmampuan berdoa berbahasa Arab, akan tetapi keliru jika persoalannya adalah prioritas. Yang menarik dan mengagetkan adalah ketika Mahfud MD mencontohkan do\'a atau seruan kepada Allah yang konon dilakukan dengan salah atau tidak mengerti. Menurutnya ada yang berdzikir \"Ya kayuku, ya kayumu\" untuk \"Ya hayyu, ya qoyyum\". Benarkah ada yang berdzikir seperti itu, atau hanya diada-adakan Mahfud sendiri ? Ia pun menambahkan \"wolo wolo kuwato\" sesuatu yang tidak relevan dengan do\'a bahasa Arab yang menurutnya tidak dimengerti artinya. Menyatakan \"ya kayuku ya kayumu\" dan \"wolo-wolo kuwato\" adalah mempermainkan agama. Ini tidak pantas tercuitkan oleh seorang Menko yang konon memahami agama. Apalagi ber-statemen beragama dengan enak dan jangan seenaknya. Tanpa disadari sebenarnya Mahfud sedang mempraktekkan beragama seenaknya. Bila dianggap beralasan tentang cuitannya itu, maka sebaiknya disampaikan siapa, dimana, komunitas apa yang berdzikirnya seperti itu. Jangan sampai urusan dialek menjadi substansial. Menyimpangkan fakta untuk mendukung argumen bahwa berdoa dengan bahasa Indonesia itu yang lebih baik. Kita belum lupa pada kalimat pembuka Presiden Jokowi di suatu acara yang salah atau keliru dalam melafadzkan \"laa haula walaa quwwata illa billah\". Allah SWT mengingatkan bagi hamba-Nya untuk tidak menjadikan agama sebagai ajang main-main. Termasuk kalimat dzikrullah atau dalam menyebut asma-Nya. \"(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama sebagai olok-olokan dan senda gurau. Mereka tertipu oleh kehidupan dunia. Maka pada hari (kiamat), Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan hari ini. Mereka mengingkari ayat-ayat Kami\" (QS Al A\'raf 51). Baiknya diperhatikan ayat Al Qur\'an soal pentingnya berhati-hati dalam beragama. Apalagi Pak Mahfudz di cuitannya suka tahajud. Nah habis tahajud baiknya baca Qur\'an, berdoalah dengan do\'a yang ada dalam Al Qur\'an. Hanya maaf, bahasanya Arab. Tetapi itu jauh lebih baik ketimbang pak Mahfud setelah tahajud lalu dengar musik Los Morenos atau nonton wayang kulit Ki Enthus Susmono. Mumpung sedang zamannya minta maaf, Mahfud hendaknya meminta maaf kepada umat Islam atas cuitannya. Sedangkan urusan dengan Allah, biarlah diselesaikan dengan tobatnya. Pakai bahasa Indonesia saja, pak. Siapa tahu diterima. Tapi kalau mau konsisten, maka Pasal 156 a KUHP dan UU ITE bisa juga dikenakan. Pak Dudung saja menyebut Tuhan bukan orang Arab sudah ramai. Nah, yang ini lebih parah. Lebih parah. (*)
Refleksi Syahganda Nainggolan, Memaknai Ulang Kata Provokasi
Terminologi provokasi terus mengalami reduksi. Diikuti diksi ujaran kebenciaan dan sikap permusuhan. Provokasi berdampingan dengan isu intoleransi, radikalis dan fundamentalis sebagai politik subversif rezim. Menuduh semua itu sebagai gerakan makar sembari mempertahankan kekuasaan dengan pelbagai cara. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Betdikari BELUM lama penulis merasakan kebahagiaan saat menerima paket dari kurir jasa pengantar barang. Alangkah senang dan bangganya ketika di rumah, mendapati sebuah buku bertajuk \"Menggugat Indonesia Menggugat\" langsung dari penulisnya, seorang tokoh pergerakan DR. Syahganda Nainggolan. Syahganda Nainggolan melalui bukunya, bukan saja mengingatkan bangsa ini agar jangan sekali-sekali melupakan sejarah (jas merah). Lebih dari itu, salah satu senior aktifis pergerakan nasional itu juga membuka kembali ruang diskursus bagi kesadaran publik terhadap makna perlawanan dan perubahan sosial. Buku \"Menggugat Indonesia Menggugat\", seakan menghadirkan psikopolitik bangsa Indonesia seperti pada masa kolonialisme. Dimana suasana itu tak ada tempat bagi kemerdekaan dan kedaulatan negara bangsa, tidak ada peri kemanusiaan, serta tidak ada kemakmuran, keadilan politik, ekonomi, dan hukum bagi rakyat. Suasananya negeri yang kaya itu hanya diliputi kesengsaraan hidup dan penidasan hampir di semua sendi kehidupan rakyat. Dimana Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI saat itu belum tercetus formal, keadaan rakyat masih diliputi penjajajahan imperialisme dan kolonialisme lama. Perampokan sumber daya alam, eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa itulah, yang kemudian melahirkan salah satu peristiwa monumental, apa yang sekarang dikenang sebagai Indonesia Menggugat oleh Soekarno, sebuah pledoi di hadapan majelis hakim lendraad dalam pengadilan kolonial Belanda tahun 1930 di Bandung. Kejadian bersejarah yang mengguncang kesadaran politik dan membangkitkan keinginan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. Bukan hanya menghentak di dalam negeri, lebih dari itu mampu menggugah perhatian internasional termasuk di negeri Belanda sendiri. Catatan sejarah penting yang heroik itu, seolah-olah terulang kembali setelah 90 tahun berlalu dalam suasana negara Indonesia yang merdeka. Provokasi yang berisi agitasi dan propaganda yang dilakukan Soekarno, yang membuatnya diadili pengadilan kolonial karena dianggap melakukan ujaran kebencian dan sikap permusuhan terhadap penjajahan Belanda. Menjadi \"flashback\" sejarah melalui buku \"Menggugat Indonesia Menggugat\" karya Syahganda Nainggolan. Betapa tidak, Buku ini dituliskan Syahganda Nainggolan saat di dalam penjara. Buku Syahganda yang sedianya menjadi bahan pledoi dalam persidangan hukum karena dianggap melakukan kritik terhadap kebijakan rezim Jokowi, sesuatu hal yang sama yang yang dilakukan Soekarno pada pemerintahan kolonial. Syahganda Nainggolan bersama Jumhur Hidayat, Anton Permana dll., secara substansi harus menghadapi hukum kekuasaan yang tirani dan represi terhadap kesadaran kritis dan gerakan moral, yang sejatinya rezim yang dihadapi memiliki watak yang sama dengan rezim kolonial. Pemerintahan berkuasa yang serta merta menjastifikasi dan mudahnya memberi stempel provokasi pada setiap kesadaran kritis dan upaya merefleksikan sekaligus mengevaluasi distorsi penyelenggaraan negara. Ujaran kebencian dan sikap permusuhan terhadap pemerintah selalu menjadi senjata andalan rezim kekuasaan menindak aktifis pergerakan sebelum bengis mengesksekusinya. Provokasi Musuh Oligarki Berbungkus ujaran kebencian yang dituduhkan kepada Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dlsb., terutama pada persoalan omnibus law. Sejatinya apa yang dilakukan Syahganda cs. merupakan propaganda melawan praktek-praktek ketidakadilan dan kesewenang-wenangan kekuasaan. Sama halnya dengan yang telah dilakukan oleh para pahlawan dan pendiri bangsa dalam pergerakan pejuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka semua adalah orang-orang yang dianggap provokator, menyebarkan sikap permusuhan dan kebencian terhadap pemerintah kolonial yang berkuasa saat itu. Begitupun Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat Anton Permana dan semua yang mewakili gerakan penguatan demokrasi dan semua kebaikan bagi negara bangsa. Termasuk dari kalangan representasi dan kekuatan Islam seperti Imam Besar Habib Rizieq Syihab, Habib Bahar Smith dan para ulama kritis lainnya. Mereka semua yang pada prinsipnya mewakili aspirasi rakyat dan membawa kepentingan umat Islam, harus menghadapi kejahatan oligarki. Sebuah sistem dan pesonifikasi yang menguasai negara dan melakukan hal yang sama dengan penjajahan. Oligarki yang tampil dalam wajah birokrasi, politisi dan borjuasi korporasi mewujud kolonialisme dan imperialisme modern saat ini. Bagi rezim kekuasaan, kesadaran kebangsaan dan sikap kritis dari Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat serta semua kalangan yang memiliki ruh dan jiwa nasionalisme. Pastilah ditempatkan dan diperlakukan sebagai orang-orang yang melakukan ujaran kebencian dan sikap permusuhan pada rezim kekuasaan. Namun oleh kehendak sejarah, rakyat dan kebutuhan negara bangsa dalam mencapai cita-cita proklamasi kenerdekaan Indonesia. Mereka merupakan provokator yang mencerahkan, membangun kesadaran terhadap kedzoliman dan penindasan dari kaum penjajah. Provokasi berisi agitasi dan propaganda itulah yang mampu merasuki kesadaran nasionalisme yang sekarang kalah dan tunduk oleh oligarki. Seperti itulah tokon dan pendiri bangsa seperti Soekarno, M Hatta, Tan Malaka, Syahrir, M Yamin, Soetomo dll. dituduh provokator oleh pemerintahan kolonial Belanda. Inilah provokasi terbaik yang pernah ada dan terlahir kembali, setelah provokasi pendiri bangsa yang melahirkan kemerdekaan Indonesia. Sebuah provokasi yang berisi makna hakiki untuk apa sebuah negara bangsa sebagaimana tujannya didirikan. Provokasi yang membangkitkan kesadaran akan pentingnya melawan imperialisme dan kolonialisme dalam wujud oligarki. Sikap dan tindakan yang pernah diwariskan oleh para pahlawan dan syuhada yang menyebabkan Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI menjadi alasan semua berhimpun dan menyatu sebagai sebuah negara bangsa. Menjadi perekat kuat yang merangkai Indonesia dalam khebinnekaan dan kemajemukan untuk mengarungi bahtera kehidupan bersama perahu besar yang bernama NKRI. Kini, setelah mengalami pergeseran makna dan tujuan serta politisasi dan kriminalsasi. Ketika neo kolonialisme dan imperialisme itu berwujud oligarki. Provokasi menjadi stempel paling mematikan dari setiap kesadaran kritis dan perlawanan. Meski provokasi telah dimanipulasi dan direkayasa menjadi makna baru pula, dari upaya klasik mengusir penjajajahan dan penindasan di muka bumi. Akankah provokasi mengalami \'renesains\' sebagai upaya melakukan pencerahan dan pembebasan bagi seluru rakyat Indonesia?. Dengan segala resiko pergerakan yang sama yang meneteskan air mata, menumpahkan keringat dan bahkan mengalirkan darah. Seperti slogan dan simbol yang kental mewarnai pergerakan kemerdekaan Indonesia di masa lalu. Dalam gelora semangat nasionalisme dan patriotisme. Saat Pekik perjuangan Merdeka atau Mati, dan Allahu Akbar berkumandang membahana di seantero republik. Bangkitlah provokasi yang bermakna, hidupkan agitasi dan propaganda demi kemerdekaan yang sesungguhnya dan demi keberadaban sejati sebuah negara bangsa. Pada akhirnya apa yang menjadi provokasi berisi agitasi dan propaganda yang mengobarkan sikap permusuhan dan kebencian terhadap kolonialisme. Oleh Soekarno menjelma menjadi \"Trilogi\" penggerak massa. Soekarno mampu menghentak dan menyihir rakyat pada saat itu dengan menggambarkan kejayaan masa lampau, menggambarkan ketertindasan bangsa saat itu dan membangun harapan akan gilang-gemilangnya nasa depan Indonesia. Dengan itulah Putra Sang Fajar itu menjadi narator ulung sekaligus provokator berbahaya bagi neo kolonialisme dan imperialisme. Ya, soekarno memang seorang agitator dan propagandis penentang menentang sistem yang mengidap kapitalisme. Dalam realitas dan faktual saat ini, mampukah semua gerakan kritis dan kesadaran kebangsaan bangkit dari keterpurukan dan kenistaan NKRI?. Sanggupkah bangsa ini menghadapi dan melawan kekuasan oligarki?. Atau setidaknya dapat mendorong gerakan kesadaran kritis dan perlawanan serta mampu berselancar dengan delik dan perangkap logika hukum kekuasaan. Menggugat oligarki dengan mampu menghindari tindakan kekuasaan reaksioner yang menopangnya. Buku Syahganda Nainggolan \"Menggugat Indonesia Menggugat\", memang bukan hanya layak dan penting dibaca. Lebih dari itu, menjadi perenungan batin berujung titik balik dan momentum kebangkitan bangsa Indonesia. Agar dapat keluar dari krisis dan cengkeraman Oligarki yang menjadi anak kandung imperialisme dan kolonialisme modern. Selain melakukan refleksi sekaligus evaluasi terhadap pemaknaan ulang provokasi di negeri ini yang bisa menghidupi kekuatan progresif revolusioner. Wallahu alam bishawab. (*)
Ganjal Planowo
Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN ANAK-anak yang masih cadel lidah akan menyebut Ganjar Pranowo menjadi “Ganjal Planowo”. Pada saat ini, sebutan cadel untuk gubernur Jawa Tengah itu sangatlah tidak disukai. Sebab, bisa diartikan sebagai pertanda alam yang menyuramkan. Insiden kekerasan di Desa Wadas dengan unjuk kekuatan (show of force) sekala penuh oleh pihak Kepolisian, akan membuat sebutan cadel “Ganjal Planowo” itu bisa menjadi kenyataan. Yaitu, rencana (Plan-owo) Pak Ganjar untuk ikut Pilpres 2024 bakal ter-Ganjal. Dengan meminjam keistimewaan “licencia puitica”, Ganjal Planowo berarti terganjal plan-nya –alias rencananya. Plan adalah bahasa Inggris untuk “rencana”. Ganjar memang sedang dilanda masalah besar. Warga Wadas yang dulu mendukung, hari ini melihat kader PDIP itu tidak seperti yang ia tunjukkan lewat senyuman lebar, senyuman ramah nan mempesona. Ganjar yang mereka kenal merakyat dan selalu berbicara tentang rakyat kecil, sekarang terasa berbeda kontras. Bagaikan ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyuman lebar itu. Sesuatu yang bisa sangat mengejutkan. Salah satu yang terungkap pasca-tindakan represif aparat kepolisian pada 8 Februari 2022 itu adalah SK Gubernur No 590/20 Tahun 2021 tertanggal 7 Juni 2021 tentang penetapan lokasi tanah untuk proyek Bendungan Bener. SK ini menjadikan Desa Wadas sebagai tempat pengambilan batu andesit untuk bendungan. Warga menggugat SK itu. Tapi, Gubernur menang di PTUN. Kemudian, Ganjar diminta untuk menangguhkan eksekusi SK itu, namun tidak dipenuhi. Ganjar kelihatannya tidak menduga kalau warga Wadas yang menentang tambang andesit itu melancarkan perlawanan keras. Boleh jadi Pak Gub yakin semua orang bisa dikendalikan dengan berbagai cara, termasuklah cara represif. Dia keliru. Tidak menyangka akan ada kelompok masyarakat yang sungguh-sungguh tidak ingin alam dirusak, dan sungguh-sungguh akan melawanO9didih). Dan inilah yang terjadi ketika aparat kepolisian bersenjata lengkap dikerahkan ke Wadas. Banyak yang ditangkap. Bermunculan laporan tentang gertakan, intimidasi, penangkapan, dan bahkan penyiksaan. Ganjar meminta maaf. Namun, warga Wadas tak sudi. Mereka tampaknya luka berat. Ada semacam prasasti penindasan Ganjar di desa ini. Kita mungkin akan menyaksikan episode lanjutan dari tragedi Wadas. Ucapan cadel “Ganjal Planowo” yang semula hanya candaan, bisa jadi akan sangat serius.[]
Machbub Djunaedi Mau Berasa Ngomong
Oleh Ridwan Saidi, Budayawan SUATU pagi di tahun 1976 saya ada keperluan. Ketika mau bedug lohor saya pulang, Mak kata, Itu ada surat dari Machbub, pagi tadi dia kesini. Ternyata Machbub Djunaidi ex Ketua PWI pagi pagi sudah ke rumah saya di Sawah Besar, foto atas. Wan, yang keluar pagi- pagi tukang bubur ayam. Itu surat Machbub, rupanya dia jengkel pagi-pagi ke rumah saya, saya sudah pergi. Kenapa Machbub jengkel? Dia bilang beromong bukan cuma soal komunikasi, tapi juga seni. Ngomong itu mesti berasa. Kata Machbub Seorang tua berumur bilang ke saya yang dia sejak dulu hampir selalu mengikuti ceramah M. Natsir walau tak paham sepenuhnya, tapi suara Pak Natsir itu empuk. Ini yang harus ditingkatkan, kualitas komunikasi. Bagi pegiat politik dan aktivis, mau pun pejabat. Untuk berasa ngomong saya ada beberapa teman dekat, antara lain pelukis Iwan Aswan bin Naseh anak Kebon Siri. Ia tamatan IKJ . Tiap hari ia terus melukis saja, ada yang pesan atau tidak. Beberapa karyanya dikoleksi museum dalam negeri dan luar. Tapi saya tau dalam situasi yang sulit ini bagainana Iwan menjalani hidup yang berat. Seberat apa pun, katanya, kreativitas tak boleh berhenti. Meningkatkan kualitas politik dengan meningkatkan kualitas komunikasi. Nonton orang marah2 di ruang publik sungguh meletihkan. Apa berpolitik jaman sekarang memang mesti begini? (*)
HPN ke-37, Sebuah Perayaan Ngawur dan Sekenanya?
Oleh Bambang Tjuk Winarno, Koresponden FNN Jawa Timur JURNALIS itu berurusan dengan kenyataan. Jurnalis bukan amtenar, juru tulis rezim. Jurnalis juga bukan anjing, lari ngalor atau ngidul mengejar arah lemparan tulang. Wajibnya, jurnalis menjadi suluh penuntun dikegelapan. Karenanya, jurnalis senantiasa bergerak mendekat disaat yang lain lari menjauh. Sampai pada Tahun 2019 Dewan Pers mencatat terdapat 47.000 media massa yang terverifikasi. Sayangnya, dari jumlah itu jurnalis sejati cuma ada di TEMPO, FNN, TV ONE dan platform indonesialeaks. Jurnalis saat ini, jangankan ngurusi pihak lain (bangsa dan negara), ngurusi dirinya sendiri saja gak becus! Kita mengulik sebentar, mumpung masih hangat, tentang Hari Pers Nasional (HPN). Disebut hari Pers (merujuk suasana ulang tahun) artinya kan hari lahirnya wartawan (jurnalis), ya? Entah literasi dari mana, penentuan lahirnya jurnalis disebut pada 9 Februari Tahun 1985. Sehingga saat ini usia jurnalis baru menginjak angka 37 tahun. Penentuan itu didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Sedangkan ide dan usulannya diawali dari Kongres ke-28 PWI, yang berlangsung di Padang, Sumatera Barat, pada 1978. Sementara, wadahnya jurnalis (organisasinya para wartawan) yang dinamai Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sudah dibentuk jauh tahun sebelumnya, yakni Tahun 1946. Coba kita logika, masuk akal gak ini? Jadi pengertiannya kan begini, wadahnya (PWI) ada lebih dulu ketimbang yang diwadahi (HPN). Ekstrimnya begini, PWI ini seperti Tuhan. Dia tahu bahwa kelak bakal ada yang diwadahi. Lah, iya kalau ternyata memang ada yang diwadahi. Jika gak ada? Wadah itu akan mewadahi apa? Oke lah kita mikir simplistik. PWI ada duluan gak apa apa, toh akhirnya wartawannya juga ada kemudian. Jadi benar adanya. Ok. Akan tetapi mindset seperti itu salah dan menyimpang. Itu berfikir tidak sistematik. Output nya ngawur dan tumpang tindih. Menyiasati ketimpangan barangkali lebih elegan jika cukup begini saja, PWI dibentuk pada 1946. Berikutnya diadakan ulang tahun PWI. Anggapannya, wartawan sudah ada sebelum PWI ada. Jadi gak perlu lagi menentukan kapan lahirnya wartawan (kalau gak bisa atau kesulitan). Seperti begini misalnya, pada Tahun 02 para abang becak se DKI Jakarta membentuk paguyuban abang becak. Cukup. Gak perlu cetuskan lahirnya profesi abang becak, jika disebut Tahun 03. Disini terbayangkan bahwa sebelum dibentuk wadah, memang sudah ada sosok tukang becaknya. Kan begitu? Sudah begitu, setiap perayaan HPN selalu PWI yang tampil di kepanitiaan. Mulai hajatan tingkat nasional sampai daerah. Lucunya, setiap perayaan HPN oleh PWI umumnya selalu berlangsung di ruang ruang pemerintahan. Sumber dana perayaan pun dicurigai berasal dari pemerintah (pusat mau pun daerah). Loh, yang berulang tahun ini sebenarnya wartawan atau kah pemerintah? Jika enggan dipandang miring (soal pendanaan), lantas dari mana biaya itu didapat para wartawan untuk perayaan ulang tahun? Apabila benar sumber dana berasal dari donatur, lalu bagaimana jurnalis bisa bersikap independen? Apakah tidak mungkin sikap jurnalis pada akhirnya seperti ungkapan di atas, lari ngalor lari ngidul mengejar arah lemparan tulang belulang? Tentang lahirnya jurnalis, berbagai sumber menyebut, pada pemerintahan Hindia Belanda sudah ada penerbitan (koran). Namanya Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen, yang terbit perdana 7 Agustus 1744 berkantor di Jakarta. Masih dalam suasana penjajahan, berturut turut muncul penerbitan lain. Diantaranya, Java Government Gazeete, di Jakarta pada Tahun 1812. Kemudian, Bataviasche Courant yang diganti menjadi Javasche Courant, terbit di Jakarta Tahun 1829. Lalu, Bintang Timoer (Surabaya Tahun 1950), De Locomotief (Semarang Tahun 1851), Bromartani (Surakarta Tahun 1955), Bianglala (Jakarta Tahun 1867) dan Berita Betawie (Jakarta Tahun 1874). Akan tetapi surat kabar- surat kabar tersebut, hemat saya, tidak bisa menjadi rekomendasi sebagai lahirnya Pers Indonesia. Sebab, koran koran itu dimiliki dan dikendalikan orang Belanda, yang tentu untuk kepentingan Belanda. Nah, baru pada Tahun 1907 terbitlah Medan Prijaji di Bandung, Jawa Barat. Surat kabar berbahasa Melayu yang didirikan Tirto Adhi Soerjo itu benar benar diawaki dan dikendalikan bangsa Indonesia asli. Untuk memastikan penentuan lahirnya Pers Indonesia, tentu perlu kinerja sejarawan, tokoh Pers dan pihak lain terkait. Meski Medan Prijaji belum tentu menjadi surat kabar pertama Indonesia (sbg rujukan lahirnya Pers), namun sekurang kurangnya itulah yang bisa diinventarisir. Bila secara serampangan kita memilih Medan Prijaji (1907) sebagai rujukan lahirnya Pers Indonesia, berarti HPN harusnya adalah yang ke-115 bukan ke-37 seperti saat ini. ***
Indomaret Tutuplah Sendiri
Oleh M. Rizal Fadillah , Pemerhati Politik dan Kebangsaan KETIKA bangunan minimarket \"Indomaret\" yang sudah diingatkan berkali-kali dibangun tanpa izin (PBG) tetapi tetap saja beroperasi, maka masyarakat akan semakin geram. Kegiatan usaha di Jalan Cihampelas 149 Bandung tersebut didirikan di atas lahan penghancuran Masjid \"Nurul Ikhlas\" yang merupakan bangunan Cagar Budaya. Semestinya pemilik Indomaret sadar bahwa tokonya itu dioperasikan di atas penghancuran Masjid. Sebelum ada penutupan paksa berdasar hukum, maka sebaiknya Indomaret menutup sendiri usahanya. Bahwa ada sengketa kepemilikan lahan antara PT KAI dengan Ahli Waris biarlah berjalan sendiri sesuai prosedur hukum yang berlaku. Masing-masing berjuang sesuai dengan keyakinan akan haknya. Akan tetapi mendirikan bangunan tanpa izin dan berusaha bebas di atas lahan dari penghancuran bangunan Masjid Cagar Budaya adalah perbuatan yang melecehkan agama, budaya, dan hukum. Pelecehan Agama Menghancurkan tempat ibadah tanpa prosedur keagamaan jelas melecehkan agama. Masjid \"Nurul Ikhlas\" telah terdaftar sebagai Masjid resmi di Kementrian Agama dengan No ID 01.4.1320.02.000025 terletak di Jl Cihampelas 149 Bandung. Kini pihak Indomaret mencoba membuat Masjid \"pengganti\" yang belum selesai namun pelecehannya adalah masjid Indomaret ini disimpan tersembunyi dibelakang toko Indomaret. Dahulu Masjid Nurul Ikhlas berada di posisi strategis di depan yang langsung berhadapan dengan Jalan Cihampelas. Akan tetapi apapun itu, menghancurkan Masjid adalah pelecehan agama. Pelecehan Budaya Sebagai Cagar Budaya sebagaimana Peraturan Daerah Kota Bandung No. 7 tahun 2018 Masjid Nurul Ikhlas harus dijaga dan dilestarikan, bukan dirusak. Penetapan status Cagar Budaya tentu atas dasar penelaahan seksama dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dan sebagai peringkat/tipe C maka Masjid Nurul Ikhlas berasal dari bangunan zaman Belanda yang telah ada penambahan atau perubahan nuansa budaya Sunda pada bagian-bagian ornamennya. Penghancuran Cagar Budaya adalah pelecehan budaya. Pelecehan Hukum Cagar Budaya dilindungi oleh hukum. Adalah pelecehan hukum untuk mengabaikan aturan-aturan hukum. Pelanggaran hukum bersanksi pidana atau administrasi. Tulisan pakar hukum, advokat, dan dosen UNPAS Melani, SH MH di HU Pikiran Rakyat berjudul \"Perobohan Masjid BCB\" mengingatkan bahwa berdasarkan Pasal 105 UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, maka \"actor intellectual\" perobohan Masjid Nurul Ikhlas sangat layak untuk segera dilakukan penyidikan dan diseret ke meja Pengadilan. Ancaman pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima belas tahun dan atau denda paling sedikit 500 juta dan paling banyak 5 Milyar. Mengingat hal ini merupakan persoalan serius, maka sewajarnya Walikota Bandung dan juga Gubernur Jawa Barat serius, peduli dan ikut \"terjun\" untuk menangani kasus yang dapat dikualifikasi pelecehan agama, budaya, dan hukum yang dilakukan oleh pemilik Indomaret dan atau PT KAI tersebut. Pemerintah Kota harus tegas dan tidak boleh takut atau pandang bulu. (*)
Hamdani Laturua Seperti Anak TK, Nasdem Maluku Dapat Komut PT Dok Mayame
Oleh Rimbo Bugis Ambon FNN – Prilaku Politik Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem Maluku Hamdani Laturua belakangan ini terlihat seperti Anak Sekolah Taman Kanak-Kanak. Sama sekali tidak memperlihatkan kematangan sebagai politisi senior untuk ukuran Maluku. Padahal Hamdani ini sudah lebih dari sepuluh tahun menjabat sebagai Ketua DPD Nasdem Maluku. Untuk kurun waktu yang begitu lama, harusnya Hamdani Laturua tampil sebagai politisi yang matang. Tampil dengan narasi dan literasi segar, bagaimana membangun Maluku yang kaya dengan sumberdaya alam ini, supaya tidak masuk katagori provinsi termiskin nomor empat di Indonesia. Tidak lagi bersikap kekanak-kanakan seperti anak TK. Kebiasaan yang menonjol dari prilaku anak TK adalah kalau menginginkan sesuatu kepada kedua orang tuanya, maka itu harus bisa dipenuhi. Kalau keinginan tersebut tidak dipenuhi, maka biasanya anak TKI bersikap ngambek. Misalnya, tidak mau makan, tidak mau pergi sekolah, tidak mau pergi mengaji, atau tidak mau ikut sekolah minggu. Kamis kemarin (09/02/2022), beredar beberapa media Online di Maluku pernyataan Ketua DPW Nasdem Maluku Hamdani Laturua bahwa “Nasdem menang dalam di berbagai Pilkada di Maluku. Kami menang di pilkada Gubernur, Bupati dan Walikota, tetapi rasa kalah. Kami menang, tetapi kami marasa kalah. Itu kenyataan yang terjadi hari kepada Partai Nasdem di Maluku. Ya sudah, semua itu kami evaluasi untuk sikap kami ke depan”. Pernyataan tersebut disampaikan Hamdani Laturua ketika meresmikan kantor DPD Partai Nasdem Maluku Tenggara. Sikap Ketua DPD Nasdem Maluku itu terkesan seperti anak TK yang sedang ngambek kepada orang tuanya. Sikap tersebut bisa saja menimbulkan dugaan dan tasiran di masyarakat Maluku kalau Partai Nasdem mungkin saja menginginkan sesuatu dari Gubernur, Bupati dan Walikota yang diusung Partai Nasdem. Namun keinginan Partai Nasdem itu tidak mendapat respon poasitif dari Gubernur para Bupati dan Walikota. Tidak bersikap seperti anak TK kala saja Hamdani dan Nasdem Maluku ingat-ingat lagi kepada keputusan politik yang dibuat sendiri menjelas Pilkada 2019 lalu, yaitu “Politik Tanpa Mahar”. Artinya, Nasdem tidak menginginkan imbalan apa-apa, kecuali calon yang diusung menang di pilkada untuk memastikan tata kelola pemerintahan di Maluku umumnya dapat berjalan dengan baik dan benar. Pemerintahan yang bermanfaat untuk masyarakat. Tata kelola pemerintahan yang mengutamakan peningkatan pelayanan kepada rakyat maluku, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, makan, perumahan dan pemukiman yang layak. Kerana seperti itu tujuan kita berebangsa dan bernegara. Bitulah perintah dari konstitusi UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut menjaga ketertiban dunia. Dengan mengusung tagline “Politik Tanpa Mahar”, maka Partai Nasdem telah berhasil mengais keuntungan di masyarakat berlipat-lipat. Sebab hanya Partai Nasdem sebagai satu-satu partai politik yang mengusung tagline “Politik Tanpa Mahar”. Kalau sudah menyatakan tanpa mahar, maka tidak embel-embal “menang pilkada, tetapi merasa kalah”. Karena sikap itu mainannya anak-anak yang masih duduk di bangku TK. Sebagai partai politik yang merasa diri paling restorasi di Indonesia (restorasi lainnya di dunia hanya ada pada restorasi meji di Jepang, eranya Kaisar Meji), harusnya Partai Nasdem bertugas di garda terdepan mengawal pemerintahan di Maluku bekerja sesuai mekanisme yang berlaku. Semangat pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clin and goverment). Restorasi itu ada untuk memastikan kalau pemerintahan yang hanya berpihak kepada kepentingan rakyat. Bukan pemerintahan yang berpihak kepada partai politik. Lain halnya kalau Ketua DPD Nasdem Maluku Hamdani Laturua tidak atau belum membaca atau belum memahami itu menifesto dan buku putih restorasi Nasdem, sejak masih menjadi Ormas Nasdem sampai dengan Partai Nasdem. Kalau Hamdani sudah membaca manifesto dan buku putih Nasdem, maka tidak perlu bersikap ngambek seperti anak TK. Sebaliknya, Nasdem Maluku harusnya tampil berdiri paling depan dengan membabawa narasi dan literasi segar bagaimana caranya mengaluarkan maluku dari peringkat empat termiskin di Indonesia? Karena kemiskinan yang terjadi Maluku itu, bukan disebabkan kemiskinan kultural, tetapi kemiskinan struktural. Kemiskinan yang terstruktur akibat dari kebijakan pemerintah pusat yang tidak berpihak kepada Maluku untuk maju dan berkembang. Apa saja gagasan yang ditawarkan Nasdem Maluku untuk mempercepat dan merealisasikan Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan Ambon New Port (ANP) di Maluku? Apa dan bagaimana kalau Blok Gas Abadi Basela beroperasi manfaat ekonominya dapat dinikmati sebesarnya-besarnya di Maluku? Misalnya, dari total biaya pengerjaan fisik Blok Masela senilai Rp U$ 20 miliar dollar, setara dengan Rp 290 triliun itu, bagaimana agar dua pertiga atau separuh dari nilai uang tersebut berputar di Maluku, sehingga meningkatkan ekonomi rakyat Maluku? Sebagai catatan bahwa sudah ada kader Partai Nasdem Aziz Latar yang diangkat Gubernur Maluku menjadi Komisaris itu perusahaan patungan antara PT Dok Perkakapalan Waiyame dengan perusahaan perkapalan di Surabaya. Posisi Aziz Latar di perusahaan petungan tersebut sebagai Komisaris Utama. Tidak semua partai politik yang mengusung Pak Murad Ismail di Pilkada Gubernur 2019 lalu dikasih jabatan seperti Partai Nasdem. Kalau Ketua Nasdem Maluku tidak bersyukur dapat Komut PT Dok Maiyame, sehingga ngambek seperti anak TK, maka dikhawartirkan bisa menyulitkan posisi Nasdem di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 nanti. Perlu diingat, kalau Ketua Hamdani Laturua itu sudah tiga kali calon sebagai anggota DPRD Provinsi. Namun masih gagal untuk lolos ke karang panjang. Dua kali calon dari Nasdem, dan satu kali dari Partai Bulan Bintang (PBB). Kalau masih tetap juga ngambek seperti anak TK, maka bisa-bisa nanti tidak bakal lolos lagi ke karang panjang. Sangat disayangkan, apalagi kalau sampai berdampak juga kepada kader-kader Nasdem yang lain di DPRD Kabupaten dan Kota. Semoga bermanfaat dan menjadi bahan evaluasi agar tidak lagi self and the ton. Penulis adalah Ketua DPP Ikatan Pemuda Muhammadiyah.
Bendungan Bener Membendung Aspirasi
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan PERISTIWA pengerahan aparat Kepolisian yang berlanjut dengan penangkapan dan penahanan warga yang menentang penambangan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener di Purworejo Jawa Tengah telah menjadi berita terhangat. Kekerasan Wadas ini konon menjadi evaluasi Istana. Elemen masyarakat mengecam keras penanganan represif dalam kasus ini. Kementerian PUPR dan Pemerintah Daerah Jawa Tengah turut mendapat sorotan. Proyek Bendungan Bener membutuhkan batu andesit dan justru penambangan batu andesit inilah yang menjadi masalah. Masyarakat Wadas berkeberatan atas proyek penambangan yang dikhawatirkan akan merusak lingkungan. Ribuan aparat Kepolisian disiapkan untuk \"pengawalan\" pengukuran tanah. Diawali dengan membuat tenda di Kaliboto belakang Polsek Bener. Mengepung warga Wadas men-\"sweeping\" dan mengejar hingga area Masjid. Alasannya ada masa pro dan kontra. Biasa, argumen standar. Pemerintah semestinya mendengar aspirasi yang \"bener\" dari warga Bener yang keberatan atas penambangan quarry atau batu andesit yang dinilai merusak lingkungan tersebut. Pemaksaan kehendak dengan mengerahkan aparat merupakan tindakan sewenang-wenang. Menuduh provokasi atas aksi perlawanan telah menjadi budaya buruk dari kaum otoritarian. Bermula dari SK Gubernur Jateng No. 590/20 tahun 2021 tentang Pembaharuan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener tanggal 7 Juni 2021. Masyarakat memprotes hingga menggugat ke PTUN. Namun sayangnya proses pengukuran tetap dilakukan. Hal ini memicu warga melakukan perlawanan. Dua Ormas besar baik PB NU maupun PP Muhammadiyah melalui lembaga hukumnya memprotes dan mengecam perlakuan represif dan intimidatif aparat kepada warga Wadas. Sementara Pemerintah melalui keterangan Menkopolhukam bertekad untuk tetap melanjutkan agenda pengukuran dan lainnya. Itikad baik \"hanya\" membebaskan warga yang ditahan. Penjelasan Pemerintah yang tetap \"ngotot\" untuk melanjutkan proyek tanpa upaya mencari solusi, tidak akan meredakan ketegangan dan perlawanan. Merasa tak ada hukum yang dilanggar, Pemerintah sepertinya akan \"jalan terus\". Sebaliknya warga melalui kuasa hukumnya menyatakan bahwa proyek itu melanggar hukum. Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan Proyek Strategis Nasional (PSN) harus dihentikan. Karenanya proyek Bendungan Bener di Desa Wadas ini juga harus dihentikan. Tuntutan warga Wadas cukup beralasan yakni cabut SK Gubernur, dialog dengan masyarakat, libatkan warga setempat, serta pelihara lingkungan hidup. Ingat bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Undang-Undang Lingkungan Hidup mengatur bahwa pemanfaatan lingkungan harus memperhatikan tiga aspek, yakni berkelanjutan proses serta fungsi lingkungan hidup, keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup, serta keselamatan mutu hidup dan masyarakat. Inilah yang dikhawatirkan warga Wadas yaitu pelanggaran atas Undang-Undang Lingkungan Hidup. Lingkungan yang dirusak. Kepercayaan kepada Pemerintah sebagai pemangku amanah yang mampu memelihara lingkungan hidup sangatlah rendah. Kebijakan dan prakteknya sering bersifat eksploitatif bukan kemakmuran rakyat banyak. Pemerintahan yang terlalu banyak janji dan terlalu banyak juga ingkar janji. Aspirasi \"bener\" warga Wadas dibendung oleh proyek Bendungan Bener. Proyek itu dikerjakan dan diproteksi dengan cara yang tidak bener. (*)
Makna Penting Pelaporan Dugaan KKN, TPPU dan Suap Dua Anak Presiden Jokowi
Oleh Nanang Djamaludin, Penggagas Klub Literasi Progresif (KLiP) PELAPORAN dugaan tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dua anak Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangareb, sehubungan relasi bisnis keduanya dengan grup bisnis yang diduga terlibat pembakaran hutan, menyentak perhatian publik secara nasional tepat sejak sebulan lalu. Pelaporan ke KPK itu dilayangkan Ubedilah Badrun (Ubed), aktivis 98 cum inteletual organik pengajar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pasca pelaporan hukum itu, langsung saja pro-kontra pun muncul, Banyak pihak yang mengapresiasi langkah Ubed itu sebagai bagian dari langkah untuk membuktikan apakah negara ini memang kaffah sebagai negara hukum yang menjadi spirit konstitusi, atau justru sekadar negara kekuasaan yang seolah-olah negara hukum yang menggunakan hukum sebagai tameng bagi agenda-agenda busuk kekuasaan demi keberlangsungan kepentingan akumulasi, eksplotasi dan ekspansi segelintir pihak semata. Pernyataan sikap pun dikumandangkan dan diskusi-diskusi pun digelar oleh pelbagai kalangan masyarakat, tak terkecuali para eksponen Aktivis 98 gabungan pelbagai organ, untuk mendukung pelaporan hukum dugaan korupsi, pencucian uang dan suap oleh anak presiden. Di media sosial pun tagar “Save Ubedillah Badrun” dan “Lindungi Pelapor Korupsi” menjadi trending topic pasca pelaporan Ubed ke KPK . Selain ada yang mengapresiasi, tentu ada saja pihak yang kontra terhadap pelaporan hukum yang dibuat Ubed. Sehingga Ubed pun dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Jokowi Mania dengan persangkaan memberi keterangan palsu atau fitnah. Sebuah pelaporan sumir tentunya, bahkan cuma jadi bahan tertawaan publik, mengingat si pelapor yang melaporkan Ubed itu bukanlah korban. Dan lagi menurut UU Perlindungan Saksi dan Korban, pelapor seperti Ubed tidaklah dapat dituntut secara hukum lewat pidana ataupun perdata. Malah perkara pokoknya yang harus dikedepankan. Dua minggu setelah pelaporan oleh Ubed, KPK memanggilnya untuk meminta penjelasan dan mengkrarifikasi laporannya. Pada kesempatan itu pun KPK menerima berkas-berkas dokumen tambahan dari Ubed. Dan tepat sebulan pasca pelaporan itu, publik menanti, apakah pelaporan Ubed dipandang layak untuk proses lebih lanjut ke tahapan-tahapan yang lebih maju, atau justru diparkir dahulu di lemari pengarsipan KPK. Tentu semua itu tergantung pada keberanian dan keseriusan KPK menindaklanjuti pelaporan Ubed itu Wake up calling Pelaporan hukum Ubed ke KPK terhadap Gibran dan Kaesang, duet milenial dimana kode-kode genetik Presiden Jokowi tercetak langsung di tubuh dan sifat keduanya, sungguh merupakan salah satu kepeloporan penting dari tahapan yang cukup panjang di arena penegakkan hukum terhadap keluarga presiden. Itu.dilakukan Ubed di tengah terus berlangsungnya proses sakralisasi kekuasaan sosok presiden, terutama oleh sirkel-sirkel yang.dekat dan mendekat pada kekuasaan. Apalagi sejak awal sudah dicitrakan, bahwa sosok presiden saat ini adalah rezimnya “orang baik’ maka dianggap mustahil ia dan lingkaran keluarganya melakukan tindakan KKN. Sebuah penyematan citra yang lebay, jika tidak mau disebut serampangan Proses sakralisasi kekuasaan presiden itu semakin menguat dengan terserapnya sekitar 80 persen kekuatan parpol-parpol borjuasi di parlemem ke dalam koalisi penopang kekuasaan hari ini. Di mana mereka begitu leluasa nya mempertontonkan praktik berbagi kue-kue kekuasaan untuk dinikmati diantara sesama mereka. Langkah hukum Ubed itu menjadi bagian sumbangsih berharga yang disadari atau tidak memotivasi dan memompa moral perjuangan bagi elemen-elemen gerakan progresif untuk tetap speak up, bersikap dan bertindak lantang, jujur dan berani melawan korupsi . Ini penting mengingat masih terus jebloknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Skor IPK Indonesia dari tahun ke tahun langganan di bawah angka 50, dari skala 0-100. Skor 100 berarti bebas dari korupsi, dan skor 0 menandakan sebuah Negara yang sangat korup, Tahun 2021 lalu Indonesia berada di skor 38. Sehingga angka di bawah 50 sebagaimana langganan diraih Indonesia menandai para koruptor masih cukup leluasa bergentayangan menghisap uang rakyat. Terlebih ketika kepercayaan publik belum lagi pulih usai beberapa tahun sebelumnya anjlok. Pemicunya, terlihat benderang politik penegakkan hukum penguasa pasca revisi UU KPK. Tudingan publik bahwa revisi itu sebagai bagian dari upaya pelemahan KPK. Sekalgus wujud nyata serangan balik aliansi gerombolan perampok kekayaan negara. Ubed dan tim kuasa hukumnya mengambil langkah melaporkan dugaan KKN anak Presiden, ketika yang terus berlangsung adalah tren melambungnya angka kemiskinan pada lapisan terbesar rakyat. Seiring melebar dan dalamnya tingkat kesenjangan di tengah masyarakat. Serta bertambah buncitnya kekayaan para pejabat dan para pemilik korporasi yang liat menempel di tubuh kekuasaan politik. Kualitas kehidupan rakyat pun kini semakin terpukul mundur jelang memasuki tahun ketiga Pandemi Covid-19 yang seakan tak kunjung usai ini. Dari riset lembaga Oxfam diperoleh data bahwa 4 orang paling kaya di Indonesia kekayaannya setara dengan kekayaan 100 juta jumlah orang miskin. Berdasarkan data lembaga riset Internasional kredibel, Credit Suisse, pada tahun 2020 orang dewasa Indonesia dengan kekayaan 1 juta dollar AS (sekitar 14,3 milyar rupiah) atau lebih berjumlah 171.740 orang. Di tahun yang sama, orang dewasa berkekayaan 100 juta dollar AS (sekitar 1,43 triliun) rupiah atau lebih hanya berjumlah 417 orang. Jumlah 417 orang itu merupakan penjumlahan dari kelompok orang berkekayaan 100 juta dollar AS hingga kelompok yang berkekayaan di atas 500 juta dollar AS (7,1 triliun rupiah). Kelompok warga dengan kekayaan 1-5 juta dollar AS, lalu 5-10 juta dollar AS, lalu 10-50 juta dollar AS, kemudian 50-100 juta dollar AS, lalu 100-500 juta dollar AS, dan kelompok super tajir mlintir berkekayaan di atas 500 juta dollar AS berturut-turut berjumlah 150.678 orang, 12.403 orang, 7.616 orang, 626 orang, 367 orang, dan 50 orang. Sementara sebagian besar penduduk, ratusan juta orang tentunya yang mencapai 83 persen populasi orang dewasa di Indonesia, memiliki kekayaan rata-rata hanya 10 ribu dollar AS (143 juta rupiah) ke bawah saja.. Di saat rata-rata dunia dari orang berkekayaan di atas 100 ribu dollar AS (1,43 milyar rupiah) berjumlah 10,6 persen, maka di Indonesia cuma terdapat 1,1 persen saja. Data-data itu cukup mengonfirmasi betapa brutalnya tingkat kemiskinan dan kesenjangan di antara sesama warga negara di negeri Pancasila ini. Kita pun tahu saat ini adalah masa-masa ketika semakin liarnya tabiat penguasa dalam memroduksi beragam kebijakan yang memayungi syahwat busuk segelintir pihak pemilik kapital. Untuk memasilitasi eksploitasi terhadap rakyat secara lebih brutal lagi. Bahkan bisa jauh lebih kesetanan lagi dalam mengeruk SDA serta lingkungan yang berefek pada lonjakan derita rakyat dan kerusakan ekologis yang kian parah. Revisi UU MInerba, Revisi UU KPK, mengesahan UU Omnibus Law, dan terakhir pengesahan UU IKN merupakan contoh sempurna liarnya tabiat rezim kali ini. Semodel dengan tabiat kekuasaan rezim Suharto. Laksana anggur, inilah anggur Suharto dengan botol kemasan berbeda. Saat ini merupakan masa-masa dimana kian terlatihnya aparatus kekerasan negara mempraktekkan refresifitas barbar terhadap perlawanan rakyat di pelbagai daerah yang mempertahankan hak-haknya yang dirampas. Tak ubahnya mereka juru gebuk andalan pemilik kapital. Mereka itu kompeni, menurut istilah seorang kawan, yaitu komplotan penjaga investor. Penyerbuan, pemukulan dan penahanan sewenang-wenang aparat di Desa Wadas Jateng kepada warga yang menolak tambang pada 8 Februari alu. Dan refresifitas yang dialami warga Pegunungan Kendeng sebelumnya. Itulah sekedar sedikit contoh dari banyaknya lokasi konfik dimana negara melalui aparatus kekerasannya mengambil posisi berhadapan dengan rakyatnya sendiri di pelbagai daerah yang kemudian menjadi titik-titik api. Aparat sepertinya menikmati, atau malah sudah kecanduan, dalam mempertontonkan kebengisannya terhadap rakyat desa maupun masyarakat adat pada banyak konflik berlatar perampasan lahan maupun berlatar ekstraksi tambang. Bukankah rakyat yang harusnya dilindungi ketika mereka berjuang mempertahankan hak-haknya dan ruang hidupnya yang dirampas eskpansi kapital. Saat inilah jamannya ketika kalangan yang mendaku maupun dianggap sebagai intelektual kampus maupun intelektual publik lebih banyak yang bungkam cari aman. Bahkan tak sedikit yang memilih menjulur-julurkan lidah membersihkan noda-noda nazis di tubuh rezim, meski harus mematikan sensitivitas etik diriya terhadap praktik-praktik eksploitasi bar-bar yang memanfaatkan ruang-ruang hukum maupun demokrasi culas yang disediakan penguasa. Di masa inilah kecenderungan pers secara umum fungsi kritisnya terasa semakin melemah. Bukannya berada di sisi advokasi pada rakyat yang kian tertindas, tapi kadar khitahnya itu tergerus hingga jatuh menjadi sekedar influencer bagi kebijakan-kebijakan rezim yang menyengsarakan rakyat, sambil terus menjadi juru rias bagi bopeng-bopeng penguasa. Di periode administrasi rezim saat ini pulalah ternak-ternak peliharaan penguasa, bernama BuzzerRp, bertingkah dan bersuara ngawur di media sosial. Dengan pesan-pesan menyesatkan, mengelap-elap tuannya agar kinclong di tengah defisit tak terperi kualitas kepemimpinannya. Muara menjijikan para BuzzerRp itu adalah menciptakan pembelahan sosial di tengah masyakat. Sambil tentunya berharap terus dapat memungut sisa-sisa kue dan remehan jorok kakak pembina meski yang dipakai adalah anggaran negara yang notabene uang rakyat. Dengan pelaporan Ubed ke KPK, disertai data-data valid dan fakta-fakta relevan itu, menjadi semacam wake up calling bagi kita semua pendamba pemerintahan amanah, penggandrung keadilan dan demokrasi substansial. Bahwa jika ditemukan tendensi kuat ke arah penyimpangan, penyalahgunaan dan tindak pidana yang melibatkan kekuasaan politik tertinggi dan keluarganya, usah lelah dan bosan mengkritisi. Atau jika datam dan fakta memang kuat, laporkan saja agar diuji melalui proses hukum. Maju terus kawan Ubed bersama rakyat pendamba keadilan dan demokrasi substansial. Subur, subur, suburlah selalu gerakan-gerakan progresif! di tanah air. (*)
Ilusi Megaproyek Tanpa Urgensi
Intervensi asing adalah diskursus yang tak boleh diabaikan begitu saja. Di tengah ambisi pembangunan IKN, perusahaan asal Tiongkok berkeinginan membangun pabrik semen di Kalimantan Timur. Bisa ditebak, pabrik ini bakal menjadi suplier utama pembangunan IKN. Oleh: Tamsil Linrung, Anggota DPD RI POLEMIK pindah Ibukota Negara (IKN) terus bergulir. Proyek ambisius itu ditengarai cacat formil, cacat prosedural, dan miskin aspirasi rakyat. Sejumlah pihak memutuskan menempuh langkah hukum, menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di ruang sidang Gedung MK, perdebatan yang bakal mengemuka tentu berbasis akademis dan berbasis hukum. Di ruang sidang MK, akan terjadi adu narasi disertai bobot yang sarat edukasi kepada publik. Situasinya dapat dipastikan kontras dengan silat lidah di kanal-kanal medsos (media sosial). Dimana persoalan cenderung meluber kemana-mana. Ditunggangi sentimen di luar subtansi persoalan. Bias, atau dikaburkan kasus-kasus pelaporan ke polisi. Perkara jin buang anak, misalnya. Bila ingin menyelami subtansi, setidaknya ada tiga pertanyaan mendasar yang harus dijawab. Pertama, apa urgensi IKN pindah? Kedua, dana untuk konsolidasi pemindahan IKN dari mana? Ketiga, siapa yang diuntungkan atas pindahnya IKN? Kita mulai dari pertanyaan pertama, apa urgensi IKN pindah? Jawabannya tidak ada. Memang, ada banyak argumentasi yang dapat diajukan guna mendukung IKN pindah. Bobotnya kira-kira setara dengan jumlah narasi yang menolak. Namun, berbicara soal urgensi, ceritanya menjadi lain. Saat ini negara dalam keadaan sulit. Ekonomi ambruk, APBN 2022 ditetapkan defisit sebesar Rp868 triliun atau 4,85% terhadap Produk Domestik Bruto. Belum lagi pertumbuhan ekonomi yang terus melambat, pandemi Covid-19 yang menunjukkan tren meninggi, bunga hutang luar negeri yang terus menggerogoti saku negara, sejumlah pembangunan infrastruktur yang mubazir, dan lain sebagainya. Kondisi tersebut tentu menjadi masalah fundamental bagi pemindahan IKN yang membutuhkan pembiayaan lebih dari Rp 466 triliun. Dari sudut pandang ini, tidak ada urgensi pemindahan IKN. Urgensi didefenisikan sebagai keharusan yang mendesak. Urgensi tidak saja menyangkut penting atau tidak penting, tetapi juga tepat atau tidak tepat dalam konteks momentumnya. Kita tidak melihat alasan keterdesakan dalam konteks IKN. Sebaliknya, negara seharusnya sangat berhati-hati mengeluarkan kebijakan, khususnya kebijakan yang memerlukan konsolidasi dan pembiayaan tinggi. Rakyat sesungguhnya bisa merasakan situasi itu. Hasil survei Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), sebanyak 61,9 persen rakyat Indonesia tidak setuju IKN Pindah. Alasan paling dominannya, mereka mengkhawatirkan kocek negara yang bakal digelontorkan untuk pembiayaan IKN. Sudah sumbernya ambigu, alirannya pun berpotensi bermasalah. Terkait dengan itu, kita menjajaki pertanyaan kedua. Dari mana dana pembiayaan IKN diperoleh? Ini yang membingungkan, sebab dalam situasi ekonomi mencekik, pemerintah sepertinya memaksakan kehendak. Untuk perkara sebesar dan semasif pemindahan IKN, rancangan UU-nya bahkan digodok hanya dalam tempo 42 hari. Karena negara dalam keadaan ekonomi yang sulit, maka sumber pembiayaan diumumkan secara gagap, berubah-ubah dan tidak tegas. Dulu, Presiden Jokowi mengatakan pembiayaan IKN tidak akan membebani APBN. Belakangan, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI 4 Februari 2020 Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, dari Rp 466 triliun total dana pembangunan IKN, sebanyak Rp 89 triliun menggunakan APBN. Angka itu lalu berubah lagi. Dalam situs resmi IKN, rincian kebutuhan anggaran pembangunan ibu kota negara secara keseluruhan disebut mencapai Rp 466 triliun. Sumber dananya akan ditopang oleh APBN sebesar 53,5 persen dan 46,5 persen sisanya menggunakan dana lain-lain yang bersumber dari kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), BUMN, serta swasta. Data ini lalu dibantah lagi oleh Suharso Monoarfa disusul hilangnya data tersebut dalam situs resmi IKN. Dinamika itu menunjukkan pemerintah tergagap menyediakan sumber dana pembiayaan IKN. Sementara prospek sumber dana non-APBN seperti KPBU, investasi swasta, dan BUMN tidak pernah dirinci secara detail. Kecenderungan ini bahkan menjadi bukti kalau pihak swasta sesungguhnya tidaklah begitu berminat berinvestasi di IKN, kalau iya mestinya porsi APBN berkurang dan porsi KPBU yang lebih meningkat. Patut dicurigai justru yang ada keinginan melakukan bancakan dari dana APBN. Padahal, dana APBN sebesar itu akan lebih bermanfaat bila dipakai untuk memenuhi kebutuhan dasar warga seperti kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Kini, pertanyaan tersisa adalah siapa yang diuntungkan oleh pembangunan IKN? Wacana IKN dipenuhi desas-desus. Ini terjadi karena pemilihan Penajam Paser Utara (PPU) sebagai lokasi IKN Nusantara minim partisipasi publik, sebagaimana juga terjadi dalam pembahasan UU IKN yang super kilat itu. Pemilihan PPU bahkan tidak ditemukan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Padahal, sangat penting membahas hal ini sehingga masyarakat dapat memahami secara jernih. Akibatnya, spekulasi tak bisa dihindarkan seiring beredarnya sejumlah data terkait IKN di tengah masyarakat. Terhadap 256.000 hektar lahan IKN, misalnya, ternyata dominan dimiliki oleh hanya segelintir elit Jakarta. Meski bentuknya HGU (Hak Guna Usaha) dan merupakan lahan milik negara, tetapi tetap saja perlu kompensasi tertentu bila negara ingin mengambilnya kembali. Demikian juga dengan luka alam akibat pertambangan. Menurut catatan JATAM Kaltim, terdapat 94 lubang tambang yang berada di kawasan IKN. Setelah mengeruk bumi, tanggung jawab melakukan reklamasi dan pasca tambang seharusnya ada pada korporasi. Tetapi, tanggung jawab itu berpotensi menjadi tanggungan negara dengan hadirnya proyek IKN. Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) memperkirakan sedikitnya 20.000 masyarakat adat akan menjadi korban proyek IKN. Intervensi asing adalah diskursus yang tidak boleh diabaikan. Di tengah ambisi pembangunan IKN, perusahaan asal Tiongkok berkeinginan membangun pabrik semen di Kalimantan Timur. Bisa ditebak, pabrik tersebut bakal menjadi suplier utama pembangunan IKN. China juga diduga akan menyuplai listrik IKN Nusantara. Spekulasi yang muncul mengarah pada keterlibatan perusahaan China Power pada PLTA Sungai Kayan. Kepala Staf Presiden Moeldoko pernah menyebut PLTA Sungai Kayan adalah salah satu penyuplai listrik IKN. Kini, perjuangan rakyat yang menolak IKN berlabuh di Mahkamah Konstitusi. Kita berharap MK selalu jernih. Tidak turut terjebak pada ilusi yang coba diopinikan seolah IKN sarat urgensi. (*)