Terang Baru Setelah Gelap Istana

Mengukur Nafas Gerakan Mahasiswa Indonesia, GELORA Takls Edisi #43, Rabu, 20 April 2022

Kita semua ingin tahu, nafas Pak Luhut (Luhut Binsar Pandjaitan) sepanjang apa sih? Nafas Erick Thohir sepanjang apa? Nafas Luthfi (Muhammad Lutfhi) sepanjang apa? Nafas Muhaimin (Muhaimin Iskandar) sepanjang apa?

Oleh: Rocky Gerung, Pengamat Politik dan Akademisi

SEBENARNYA tak perlu dipertanyakan panjangnya nafas gerakan mahasiswa. Dengan sendirinya itu akan terjawab. Berkali-kali orang meragukan gerakan mahasiswa bahwa mahasiswa sudah bisa dibeli dan segalam macam. Disogok beasiswa, amplop, iya itu sebagian saja.

Tapi, nafas utama mahasiswa adalah nafas rakyat. Jadi, tidak mungkin ada keraguan bahwa nafas mahasiswa itu pendek. Nafas gerakan mahasiswa itu panjang karena tersambung dengan nafas rakyat. Nafas rakyat itu panjang karena tersambung dengan nafas zaman.

Nafas zaman itu panjang karena tersambung juga dengan nafas alam semesta. Jadi, gerakan mahasiswa itu nafasnya di-backup oleh alam semesta. Itu kira-kira yang perlu saya terangkan terlabih dahulu.

Yang perlu kita tanyakan, nafas kekuasaan cukup panjang enggak? Jangan-jangan dua minggu lagi semua ventilator di negeri ini dipakai oleh kekuasaan. Dan, itu sebenarnya lebih penting kita bicarakan.

Kita semua ingin tahu, nafas Pak Luhut (Luhut Binsar Pandjaitan) sepanjang apa sih? Nafas Erick Thohir sepanjang apa? Nafas Luthfi (Muhammad Lutfhi) sepanjang apa? Nafas Muhaimin (Muhaimin Iskandar) sepanjang apa?

Jangan-jangan sudah pakai ventilator semua mereka. Karena mereka semua itu punya komorbit. Kalau gerakan mahasiswa itu jelas tak ada komorbitnya. Dan, sejarah memanggil gerakan ini untuk selalu datang pada saatnya itu.

Jadi, kalau tadi kita mau bahas fungsi dari gerakan mahasiswa, itu bukan fungsi yang tiba-tiba bisa diajukan sebagai hal yang sifatnya tentatif karena keadaan darurat, tidak.

Gerakan mahasiswa ini semacam, bukan variabel lagi, tapi faktor, konstanta dalam semua gerakan sosial. Jadi itu yang penting saya terangkan dulu, tidak perlu dipertanyakan panjangnya nafas gerakan mahasiswa. Lebih dari itu.

Yang kita ingin tahu sebenarnya adalah potensi pergerakan mahasiswa ini, di dalam dua hari terakhir ini kan bahwa ditangkapnya Dirjen Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan, lalu ada komisaris perusahaan swasta segala macam, itu harus dibaca sebagai semacam sogokan bahwa seolah-olah dengan ditangkapnya tokoh-tokoh ini yang mempermainkan izin ekspor itu selesailah tuntutan mahasiswa soal minyak goreng.

Tidak begitu. Tidak bisa dilihat seperti itu. Ya Dirjen sih kita mau lihat, tapi Dirjen kan tidak punya kemampuan untuk mengambil keputusan. Dirjen itu pelaksana teknis dari Menteri. Lalu, menterinya kemana. Tidak sekalian saja dalam persoalan ini ya dibuka semua dong?

Lalu ada pertanyaan lagi, kenapa yang menangkap itu Kejaksaan, bukan KPK atau Polisi. Ini semua pertanyaan yang terarah kepada semacam kesimpulan bahwa Istana ini masih mau “tukar tambah”.

Dan, yang harus kita persoalkan adalah sampai mana penangkapan ini akan memulihkan kembali kepercayaan publik. Jadi, ini seolah-olah Presiden Joko Widodo akan cicil tagihannya itu mulai dari soal tiga periode, lalu soal minyak goreng, sehingga emak-emak senang karena sudah ditangkap, bukan soal itu.

Tapi orang tidak lagi percaya dengan apa yang sudah dilakukan oleh presiden. Mahasiswa menganggap, buat apa sih masih ada pidato-pidato seolah-olah nanti semua akan tertangani. “Jokowi: The King of Lip Service”

Selama BEM UI belum mencabut plakat “Jokowi: The King of Lip Service” maka orang menganggap, semua yang diucapkan presiden, itu cuma tipu muslihat saja. Jadi, itu yang lebih penting kita bahas, situasi psikologis Istana sekarang ini semacam apa itu.

Saya membayangkan, setiap kali ada buka puasa di GELORA semua orang  akan datang karena ada arus perubahan. Ada gelombang zaman yang sedang bergolak. Dan gelombang di situ akan berselancar gerakan mahasiswa, buruh, dan rakyat serta macam-macam seperi LSM.

Karena ada narasi alternatif. Istana tidak mau mendengar narasi alternatif, kan? Itu intinya mengapa ada pembicaraan politik hari-hari ini di luar Istana.

Sementara di Istana kalau buka puasa semua orang akan melihat, yang buka puasa tinggal Pak Jokowi dan Pak Luhut berduaan. Karena tidak ada isi yang mau dibahas, itu karena semua orang menganggap, sebaiknya saya direshufle deh, supaya tidak ada beban.

Kita bayangkan psikologinya seperti itu. Ada satu polarisasi antara mereka yang menunggu momentum 21 April, dan ada yang berharap supaya dipecat presiden supaya lepas bebannya. Jadi, ini soalnya.

Dan besok, 21 April 2022, kenapa gerakan mahasiswa tidak menghormati Ibu Kartini, mending kita rayakan Peringatan Ibu Kartini. Pakai kebaya dan bicara tentang hal-hal konseptual daripada turun ke jalan lagi. Banyak yang bicara sinis pada gerakan mahasiswa.

Tapi saya mau pastikan bahwa Ibu Kartini pun mau mendorong anak-anaknya untuk kesetaraan manusia. Karena Ibu Kartini lah yang memulai konsep emansipasi.

Jadi, akhirnya, besok akan muncul “Terang Baru Setelah Gelap Istana”. Kita analisis, menjadi: “Habis Gelap Istana Terbitlah Terang Gelora Junto Terang Mahasiswa”.

Ini saya anggap lebih produktif yang perlu kita bahas. 

Sekali lagi, tetapi di belakang kita masih ada problem ekonomi. Betul kata Pak Anis (Anis Matta) dan teman-teman mahasiswa tadi. Ada problem struktur ekonomi, betul itu. Jadi, kalau dibilang dengan minyak goreng problemnya selesai, enggak.

Masih ada minyak yang lain. Pertalite, minyak BBM itu yang sampai sekarang kita tidak tahu bagaimana presiden selesaikan itu. Karena presiden sendiri, pemerintah, berhutang pada Pertamina sebesar Rp 90 triliun. Pertamina juga berhutang pada publik karena dia ngeluarin SUN (Surat Utang Negara), dan dia harus banyar, mungkin Rp 40 triliun yang dia harus bayar.

Sekarang kita tidak tahu dalam 2 minggu ke depan, bisa enggak ada bensin di SPBU-SPBU. Bisa enggak ada elpiji 3 kg itu di rumah emak-emak itu. Semua itu menyangkut kepentingan paling dasar dari rumah tangga, yaitu bagi emak-emak. Ibu Kartini adalah emak-emak, jadi pasti Ibu Kartini akhirnya merestui juga. Kalau Ibu Kartini masih hidup, dia pasti ikut demo itu.

Karena Ibu Kartini pemakai gas elpiji. Jadi, sekali lagi, ini momentum untuk menghasilkan ulang Indonesia. Ini yang sering kita sebut “Ketakterhindaran Sejarah”. Dan itu tidak mungkin disogok lagi dengan semacam.

Mungkin nanti malam presiden akan datang dan bilang Pertamina beres-beres saja, karena kita sudah keluarin tagihannya Rp 50 triliun. Orang bertanya, lo koq 40 triliun, utang Anda Rp 90 triliun. Ambil dong dari IKN, tapi presiden kan tidak mau batalkan IKN.

Ini akan cost fire. Ini akan berpotongan dengan dunia internasional. Dunia itu kan sudah menyebutkan bahwa Indonesia ini negara yang gagal. AS sendiri belum pernah dalam sejarahnya, Deplu AS juga mengeluarkan data detail tentang Pelanggaran HAM di masa Presiden Jokowi.

Lengkap. Sampai mahasiswa yang ditangkap. Kasus KM-50 diucapkan. Itu artinya ada sesuatu yang serius. Kita enggak tahu apakah faktor ini akan mempercepat kejatuhan presiden. Jadi, kalau presiden jatuh itu bukan karena gerakan mahasiswa an sich, tapi karena juga ada isu global HAM. Dan semua itu juga karena faktor yang dipersiapkan oleh alam. Semacam Sunnatullah.

Atau hukum sosiologi bahwa semua hal akan tiba pada masanya. Nah, itu yang kita tunggu pada 21 April 2022. Tapi nanti ada juga 20 Mei 2022. Semua titik itu nanti dipakai oleh semua gerakan mahasiswa.

Dan, pada saatnya semua gerakan mahasiswa itu akan terakumulasi menjadi gelombang rakyat. Itu bahayanya. Bukan hahaya buat kita. Buat kita sih enak saja.

Yang paling konyol kini adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani mulai pajakin semacam tempurung kelapa. Sudah kacau itu. Jadi sumbernya benar-benar sudah tidak ada. Tempurung kelapa pun, industri yang paling sederhana itu dipajakin.

Kenapa tempurung kelapa yang dipajakin, ya karena gak mungkin Sri Mulyani itu pajakin “tempurung kepala” dari buzzer-buzzer yang kosong isinya itu kan? Kita mengerti sekarang, akhirnya pemerintah gak mungkin lagi untuk pinjam, gak mungkin lagi naikin batas defisit karena dilarang undang-undang. Jadi,  naikin pajak seperti hal-hal yang elementer.

Saya beri ilustrasi, dulu dalam sejarah Prancis ada seorang Menteri Keuangan, dan karena bingung bagaimana menghasilkan uang karena anggaran Prancis sudah habis dipakai perang, lalu menteri ini keliling desa, termasuk keluar masuk dusun, di mana ada sandal jepit baru, dia kenain pajak. Pajak sandal jepit.

Kalau melihat ada gagang pintu baru, maka gagang pintunya dikenai pajak. Karena dia tidak tahu harus ambil uang darimana lagi untuk membiayai APBN Prancis itu.

Pers Prancis pada waktu itu sangat jengkel dengan kelakuan menteri itu. Lalu oleh koran Prancis, dia digambarkan hitam-putih dalam bentuk silhouette. Nah, nama menteri itu Ètienne de Silhouette. Kata silhouette itu datang dari nama menteri yang goblok ini.

Apakah ini akan menjadi Sri “Silhouette”? Kita tunggu saja Kongres Rakyat Indonesia yang dipelopori oleh mahasiswa. (*)

Catatan: Materi disampaikan dalam GELORA Talks Edisi #43, Rabu, 20 April 2022, dengan tema Mengukur Nafas Gerakan Mahasiswa Indonesia.

 

340

Related Post