OPINI

UU IKN Disahkan: Mungkin Sudah Terlambat Selamatkan Indonesia

Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior, Pengamat Sosial-Politik UU tentang Ibu Kota Negara (IKN) sudah disahkan oleh DPR. Itu mereka lakukan dengan cara buru-buru seperti pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law. Pengesahan ini merupakan indikasi betapa dalamnya tancapan kekuasaan para cukong alias oligarki bisnis. Dahsyat! Disahkan dalam sidang paripurna yang berlangsung relatif lancar. Hanya PKS yang menolak. Mungkin kita sudah terlambat untuk menyelamatkan Indonesia dari penguasaan total para cukong dan kaki-tangan mereka yang ada di semua lini. UU IKN yang baru disahkan itu sangat berbahaya. Mengapa berbahaya? Karena memindahkan ibu kota jauh ke Kalimantan sana, sama dengan memindahkan kekuasaan penuh negara ini ke tangan para cukong itu. Semasih di Jakarta pun mereka, oligarki bisnis tersebut, sudah sangat berkuasa. Pindah ke Penajam Paser, maka penguasaan mereka atas Indonesia menjadi sempurna. Pusat kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, dan kekuasaan-kekuasaan lainnya akan bulat seratus persen berada dalam kendali cukong. DPR akan lebih mudah digiring. Begitu juga lembaga-lembaga lain. Baik yang sangat terhormat, terhormat, mau pun yang tidak terlalu terhormat, semuanya berada di dalam “tembok kekuasaan oligarki”. Kelihatannya, inilah tujuan pemindahan ibu kota. Semua pemegang kekuasaan akan berada dalam jangkauan CCTV cukong. Di lokasi baru ini, cukong-cukong lebih mudah mengabsen para ketum partai, para menteri, dan para pejabat tinggi lainnya. Semua mereka berada di satu komplek dan satu atap. Mereka akan sangat jauh dari kebisingan para demonstran. Bisa jadi tidak akan pernah ada lagi aksi-aksi unjuk rasa. Sebab, IKN baru itu nanti pastilah akan dijadikan kawasan ekslusif. Tidak bisa dimasuki para pendemo yang mengganggu penguasa. Aspek yang paling penting untuk kita pikirkan adalah masa depan NKRI. Kita semua perlu kritis: apa urgensi pemindahan pusat pemerintahan dari Jakarta? Mengapa Presiden Jokowi bersikeras harus pindah? Tidak ada satu pun penjelasan yang logis dan dapat diterima. Apalagi dilihat dari kondisi keuangan negara yang sangat parah. Pekerjaan pemindahan yang berbiaya mahal itu menjadi tidak layak diteruskan. Yang dipicu oleh proyek ini adalah kecurigaan dan kekhawatiran tentang masa depan bangsa dan negara. Selama ini banyak orang yang percaya bahwa ibu kota baru dibuat untuk China (RRC). Jika ditengok awal kemunculannya, siapa-siapa yang terlibat, dan situasi politik yang melatarbelakanginya, wajar orang curiga, terutama terhadap China. Negara komunis-ekspansionis ini diduga kuat memiliki agenda terselubung dalam pemindahan ibu kota Indonesia. Pantas dicurigai bahwa Beijing ingin memperkuat kekuasaan di negara ini setelah lokasi ibu kota pindah ke Kalimantan Timur. Kecurigaan ini wajar muncul karena beberapa hal. Pertama, preferensi Jokowi terhadap China. Kedua, China memiliki jutaan ‘receptor’ dan ‘adaptor’ yang membuat mereka bisa cepat membangun kekuatan politik di negara ini. Ketiga, China telah dan akan membelit Indonesia dengan utang-utang tambahan yang sangat diperlukan oleh rezim. Rakyat dan ratusan tokoh bangsa mencemaskan pemindahan ibu kota ke Penajam Paser. Banyak yang mengkhawatirkan kedaulatan negara bisa lepas ke tangan asing, baik dalam arti faktual maupun kontekstual. Bapak-Ibu di DPR yang terhormat. Rakyat paham sepenuhnya apa yang terjadi. Rakyat setiap saat memantau perkembangan. Jangan sangka rakyat bisa dibodohi dan dibungkam begitu saja. Rakyat tahu kedaulatan sedang terancam gara-gara blunder besar kalian. Kalian sedang menyulut perlawanan rakyat.  Kepada rakyat yang empunya negara ini, semoga saja kita belum terlambat untuk melakukan upaya penyelamatan Indonesia. Tapi, bisa jadi kita sudah terlambat. Wallahu a’lam.[]

Anies Menyapa Kebencian Dengan Prestasi

Semakin Anies difitnah dan dibully, semakin publik menaruh simpati dan empati terhadapnya. Semakin Anies direndahkan, semakin tinggi penghargaan yang disandangnya. Begitulah segala siasat dan framing jahat diarahkan ke Anies, figur yang memiliki trah  pahlawan nasional itu,  terus mengaktualisasi diri dengan karakter humanis..Caci maki dan hujatan diresponnya dengan keberhasilan program pembangunan. Anies menyapa  kebencian dengan pelbagai prestasi, penghargaan dan dukungan warga yang bahkan tersebar melampaui batas wilayah Jakarta. Oleh: Yusuf Blegur,  Pegiat Sosial dan Aktivis Yaxasan Human Luhur Berdikari GUBERNUR DKI yang  struktur pengalamannya banyak mengenyam dan mengisi waktunya dengan dunia pendidikan. Tentu saja  mampu membangun kostruksi kepemimpinan yang terencana, terukur dan     memberi solusi bagi permasalahan Kota Jakarta dan warganya.  Berbekal wawasan luas  dan ditempa ujian kepemimpinan dan birokrasi sebelumnya. Anies yang pernah menjadi Rektor Universitas Paramadina dan menteri pendidikan, berhasil melaksanakan program pembangunan yang berbasis ilmu pengetahuan, pemanfaatan teknologi dan menata keharmonisan antara masyarakat dengan ekosistem lingkungan.  Sebagai figur pemimpin yang terus bertumbuh dan berkembang. Anies Risyad Baswedan juga tak luput merawat demokrasi dan interaksi sosial politik lainnya pada ranah publik. Kemampuannya dalam mengelola dinamika warga Jakarta membuat Anies didaulat sebagai pemimmpin yang memiliki kemampuan mendengar suara rakyat dan teguh mewujudkan aspirasi sekecil-kecilnya rakyat jelata. Anies juga membuktikan kebhinnekaan dan kemajemukan bukan sekedar slogan dan narasi simbolik semata. Prinsip-prinsip kesetaraan itu juga dituangkan dalam  pembangunan yang mampu menjangkau semua kalangan tanpa  teehalang oleh sekat  suku, agama, ras dan antar golongan. Pendiri Indonesia Mengajar itu mampu mengelaborasi kepemimpinan dengan  pembangunan yang menyejahterakan dan berkeadilan. Sejauh ini  tanpa dinding oligarki dan jeruji tirani. Jadi yang masih penasaran dengan terus menyimpan dan mengumbar iri dengki terhadap Anies. Sebaiknya segera merekonstruksi kemanusiaannya sendiri. Agar dapat menikmati hidup dengan cara yang sehat dan bahagia tanpa kebencian dan dendam politik kesumat. Jangan jadi seperti kalimat satir, susah lihat orang senang dan senang lihat orang susah. Karena Anies tak akan jatuh seperti sampah hanya karena direndahkan. Begitupun pujian kepada Anies, tak akan membuatnya  bisa bertengger di puncak langit.  Sejatinya Anies hanyalah orang biasa tapi diberikan kesempatan untuk bekerja luar biasa. Kepemimpinan Anies seperti \"given\" bukan hanya untuk mengemban amanah penderitaan  rakyat semata, lebih dari itu memikul tanggungjawab dirinya sendiri di mata Tuhan. Teruslahlah berketetapan hati memajukan kota dan membahagiakan warga Jakarta. Karena baik buruknya  mengurus Jakarta tak ubahnya seperti mengurus Indonesia. Tetaplah Anies menjadi humanis meski dikelilingi dan  dijejali atmosfer antagonis. Anies yang meluas dicintai rakyat, sepertinya memahami makna diksi \'terbentur-terbentur, terbentuk. (*)

Kemanusiaan di Usia Senja

Hidup memang tidak memberi kemewahan untuk menjaga kebenaran. Atau memberi kebebasan untuk memilih antara yang benar dan salah. Hidup sering membawa seorang berada di persimpangan jalan. Saat menjadi pilihan sulit antara menyelamatkan hidup  atau kehormatan. Oleh Yusuf Blegur,  Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari BEGITU banyak orang menganggap pekerjaan adalah terkait soal rezeki. Kelayakan pekerjaan hanya dapat diukur dan diakui dari seberapa tinggi status sosialnya. Orang kemudian ramai memburu pekerjaan yang berujung kepada kepemilikan harta dan jabatan. Persfektif hidup yang kemudian menjadi budaya itu, menempatkan  materi dan kebendaan lainnya menjadi standar pengakuan dan penghargaan  pada setiap orang. Harta dan jabatan perlahan menjadi tujuan hidup. Alih-alih menjadikan pekerjaan sebagai harga diri dan tanggung jawab kepada Tuhan. Pekerjaan justru dijadikan simbol keangkuhan, arogansi dan alat penindasan, meski hanya sekedar skrup-skrup kapitalisme dan menjadi sampah materialisme. Soal-soal harga diri dan martabat, tak ada kolerasi yang signifikan dengan prinsip-prinsip dan nilai. Hanya ukuran kekayaan yang boleh dibilang sebagai syarat menentukan drajat seseorang. Bukan pada menghadirkan Tuhan dalam segala aktifitas dan apapun pekerjaannya. Terutama pada saat agama dianggap sebagai candu masyarakat. Menempatkan agama sebagai penghalang kebebasan, sebagai penghambat ekspresi dan pantangan mencicipi nikmat duniawi. Secara masif dan eskalatif, mayoritas  tersekap dalam kanal besar kapitalisne dan modernitas. Orang miskin yang minoritas merupakan penyakit sosial yang rendah dan harus dieliminasi. Sementara orang  kaya menjadi cita-cita  dan keharusan bagi yang memujanya. Jadilah  populasi manusia sebagai konunitas hewan paling ganas yang memburu dan memangsa kemanusiaan. Perangkap kehidupan memang tersebar hampir di setiap jalan. Ada yang menjajakan kenikmatan dan semua pesona mengumbar birahi. Meskipun menyimpan lubang hitam  yang dalam, sekelebat  pandangan terlihat menarik dan menggoda. Begitu menggebu keinginan merasakan atau  memilikinya, maka nasehat dan peringatan dianggap kebisingan. Budak Nafsu Jalan menyusuri kejayaan status sosial terlanjur ramai dan penuh sesak. Bukan hanya hiruk pikuk dan penuh kegaduhan, keserakahan dan nafsu menguasai tumbuh kembang secara global. Sedikit orang yang mau dan mampu menjejaki jalan kesunyian dan lorong-lorong kesadaran. Memaknai kesendirian dalam keramaian. Begitu juga kearifan bersama dalam mengelola ambisi pribadi. Saat pasar raya kepentingan tak mampu lagi menampung hasrat setiap orang, maka benih-benih perseteruan mulai membuncah. Dalam suasana itu, keharmonisan dan  keselarasan semakin tergusur. Setiap orang mulai abai pada kebersamaan meski berada dalam suasana menyatu. Bersuara lantang  dalam  senandung persatuan dan kesatuan, namun tak memaklumi perbedaan yang hakiki. Ketika sudut pandang berjarak, mengatasinya lebih sering dengan menggagas friksi dan distorsi. Dinamika geliat kebhinnekaan dan kemajemukan ternoda dilumuri dengan premis kebencian dan permusuhan. Sejatinya manusia berperang dengan pasukan nafsu dan amarah sebagai panglimanya. Konflik dalam lintasan vertikal dan horisontal, menjadi transaksi sosial yang tak memiliki batasan kejenuhan. Malah menjadi modul dan strategi kekuasaan. Perselisihan dan pertarungan sesama dijadikan sarana memperoleh kekayaan dan jabatan. Lupa dan meremehkan dampak dan ongkos sosial yang begitu besar untuk memulihkannya. Adanya yang memerintah dan diperintah, juga kehadiran pemimpin yang memegang amanat dan rakyat yang manut dan tak berdaya. Begitu ada gejala penyimpangan kekuasaan. Tanpa memiliki visi kekuasaan  sebagai alat untuk mendesain dan mengkreat idealisme. Maka yang terjadi hanyalah sekedar subyek dan obyek. Pelaku dan korban, sebagaimana potret realitas penguasa dan rakyat yang tertindas. Sayup-sayup terdengar di kedalaman sosial masyarakat kecil dan lemah. Derita mereka yang teraniaya, terusir dan tergusur. Rakyat yang mengidap kedzoliman rezim harus menyimpan amarah yang tersekat. Dalam gelombang luka dan  duka haru biru. Sembari terus mengikuti arus jaman dan pesarnya perubahan. Sejatinya kemanusiaan telah memasuki fase yang ringkih, dalam interaksi kepada sesama, terhadap semesta alam dan keyakinan Ketuhanannya. Kebenaran dan keadilan semakin tercerabut dari setiap jiwa. Orang menjadi begitu egois dan menganut Machiavellis. Manusia yang berakal dan beretika tak ubahnya menjadi hewan kanibal. Manusia seperti telah kehilangan kemanusiaannya sendiri. Bagai ruh  bergentayangan mencari wadah lahiriah yang ideal. Berusaha menemukan jasad yang tangguh tempat berlindung komitmen dan konsistensi pada nilai-nilai. Terlebih saat manusia semakin sulit  membedakan batasan yang benar dan salah. Ketika materi dan kebendaan lainnya menjadi tujuan, dan hakekat kemanusiaan menjadi ilusi dan basa-basi. Terlebih saat kemanusiaan berada di usia senja keberadaban. (*)

Tiga Kelompok Jenderal Calon Pangkostrad

Jakarta, FNN - \"Pimpinan TNI mau pilih Panglima Kostrad berasal dari mana? Profesional, lulusan Akmil terbaik, atau yang dekat dengan Presiden Jokowi?” kata Selamat Ginting di Jakarta, Rabu (19/1/2021).  Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengungkapkan, ada tiga kelompok calon kuat panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Pertama, kelompok jenderal profesional dan berpengalaman di Kostrad. Kedua, kelompok jenderal lulusan Akademi Militer (Akmil) terbaik. Ketiga, kelompok jenderal yang terkoneksi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sedangkan kelompok keempat adalah kelompok di luar ketiganya. “Pimpinan TNI mau pilih Panglima Kostrad berasal dari mana? Profesional, lulusan Akmil terbaik, atau yang dekat dengan Presiden Jokowi?” kata Selamat Ginting di Jakarta, Rabu (19/1/2021). Profesional dan Berpengalaman Menurut Selamat Ginting, kelompok pertama, adalah Mayor Jenderal (Mayjen) Achmad Marzuki (55 tahun) dan Mayjen Agus Suhardi (56,5 tahun). Keduanya bertugas di Kostrad selama sekitar 23 tahun. Marzuki abituren (lulusan) Akmil 1989, saat ini sebagai Asisten Teritorial (Aster) Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Sedangkan Agus Suhardi, abituren Akmil 1988-A, saat ini sebagai Panglima Kodam Sriwijaya di Sumatra Selatan. “Marzuki sebelum menjadi Aster KSAD, adalah Panglima Kodam Iskandar Muda di Aceh. Ia pernah menjadi Inspektur Kostrad, Panglima Divisi Infanteri (Divif) 3 Kostrad. Dua kali dengan pangkat mayjen menduduki jabatan di Kostrad,” ujar Selamat Ginting yang berpengalaman meliput di lingkungan militer selama lebih dari 25 tahun. Marzuki, lanjutnya, mengawali karier militernya pada 1990 di Batalyon Infanteri (Yonif) 503 Brigade Infanteri (Brigif) 18, Divif 2 Kostrad.  Ia termasuk perwira tinggi Angkatan Darat yang paling banyak tugas operasi tempurnya sekitar 12-13 kali. “Marzuki sangat layak menjadi Panglima Kostrad dengan beragam tugas dan jabatannya di Kostrad. Profesional dan berpengalaman,” ungkap Ginting. Ada pun Agus Suhardi, hanya pada saat pangkat mayor, dia tidak sempat bertugas di Kostrad. Selebihnya ia malang melintang di Kostrad. Ia mengawali dinas militernya pada 1989 di Yonif Lintas Udara (Linud) 501, Brigif 18, Divif 2 Kostrad.    “Pernah menjadi komandan peleton, komandan kompi, dua kali menjadi komandan batalyon, asisten operasi Divif 1, komandan Brigif Linud, Kepala Staf Divif 1 dan Divif 2 sampai Panglima Divif 2 Kostrad. Namun, Agus Suhardi kalah banyak dalam tugas operasi dibandingkan Marzuki. Jadi, Agus Suhardi juga sangat layak menjadi Pangkostrad. Profesional dan berpengalaman pula,” jelas Ginting. Lulusan Terbaik Kelompok kedua, menurut Selamat Ginting, adalah perwira tinggi lulusan Akmil terbaik. Ada dua orang, yakni Mayjen I Nyoman Cantiasa (54,5 tahun), lulusan terbaik Akmil 1990 dan Mayjen Teguh Pudjo Rumekso, lulusan terbaik Akmil 1991. Mayjen Cantiasa, kini menjadi Panglima Kodam Kasuari di Papua Barat. Sedangkan Mayjen Teguh Pudjo (54 tahun), saat ini sebagai Panglima Kodam Mulawarman di Kalimantan Timur. Cantiasa yang berasal dari Korps Infanteri Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pernah tugas di Kostrad sebagai komandan peleton dan komandan kompi di Yonif Linud 328 Brigif 17, Divif 1 Kostrad. “Usai bertugas di Yonif 328 Kostrad, Cantiasa malang melintang tugas di Kopassus hingga menjadi Komandan Jenderal Kopassus. Jadi, Cantiasa juga punya peluang menjadi Pangkostrad,” ujar Selamat Ginting. Ada pun Mayjen Teguh Pudjo, lanjut Ginting, memang belum pernah bertugas di Kostrad. Namun bukan berarti dia tidak punya peluang. Jenderal Dudung Abdurachman, misalnya, belum pernah tugas di Kostrad, namun bisa menjadi Pangkostrad. Begitu juga dengan sejumlah pangkostrad lainnya. “Teguh Pudjo adalah perwira spesialis intelijen tempur. Ia pernah menjadi Komandan Pusat Kesenjataan Infaneri serta Komandan Pusat Penerbang Angkatan Darat. Ia tetap punya pelaung menjadi Pangkostrad.” Koneksi Presiden Jokowi Selamat Ginting mengungkapkan, kelompok ketiga adalah jenderal yang terkoneksi dengan Presiden Jokowi karena pernah menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Jokowi. Mereka adalah Mayjen Agus Subiyanto (54,5 tahun) dan Mayjen Maruli Simanjuntak (52 tahun). Agus Subiyanto, abituren Akmil 1991 dari Infanteri Kopassus, pertama kali terkoneksi dengan Jokowi, saat ia menjadi Komandan Kodim di Solo, Jawa Tengah pada 2009-2011. Saat itu Jokowi masih sebagai Walikota Solo. Ia kembali terkoneksi dengan Jokowi sebagai Komandan Paspampres pada 2020-2021. Kini ia menjadi Panglima Kodam Siliwangi di Jawa Barat. Agus Subiyanto pernah tugas di Kostrad pada 2011 sebagai Wakil Asisten Operasi Divisi Infanteri 2/Kostrad. Di Kopassus, antara lain pernah menjadi Komandan Batalyon 22 Grup 2 Kopassus dan Kepala Penerangan Kopassus. “Ia masih tergolong lulusan muda, yakni abituren Akmil 1991 bersama Mayjen Teguh Pudjo. Peluang Mayjen Agus Subiyanto besar, karena dia darah biru istana. Presiden Jokowi tentu berkepentingan Panglima Kostrad adalah orang yang dikenalnya dengan baik,” ungkap Ginting. Sedangkan Mayjen Maruli Simanjuntak merupakan calon Pangkostrad paling muda. Abituren Akmil 1992 dari Korps Infanteri Kopassus ini pernah menjadi Komandan Detasemen Tempur Cakra pada 2002. Detasemen ini merupakan gabungan Kopassus dan Kostrad. Selebihnya, Maruli lama bertugas di Kopassus. Antara lain sebagai Danyon 21 Grup 2/Sandi Yudha (2008-2009), Komandan Sekolah Komando Pusdikpassus (2009-2010), Wakil Komandan Grup 1/Para Komando (2010-2013), Komandan Grup 2/Sandi Yudha (2013-2014), serta Asisten Operasi Danjen Kopassus (2014). Ia tergolong perwira tinggi yang paling lama terkoneksi dengan Presiden Jokowi. Bisa dilihat dari sejunlah jabatan yang harus dekat dengan keluarga Jokowi. Antara lain sebagai Komandan Grup A Paspampres (2014-2016), Komandan Korem di Solo (2016-2017), Wakil Komandan Paspampres pada 2017-2018. Selain itu Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kasdam) IV/Diponegoro (2018), serta Komandan Paspampres (2018-2020). “Kini Maruli menjadi Panglima Kodam Udayana sejak November 2020. Dari track record terkoneksi dengan Presiden Jokowi, maka Mayjen Maruli darah biru sekali. Dia calon paling favorit dan paling popular untuk menjadi Pangkostrad dibandingkan calon lain,” ungkap Ginting. Strategis Sementara kelompok keempat, bukan kelompok yang diprediksi untuk menjadi pangkostrad. Mereka ini adalah para panglima Kodam maupun mantan panglima Kodam, khususnya dari Korps Infanteri. Dalam sejarah Kostrad, seluruh panglimanya berasal dari Korps Infanteri.   Antara lain Mayjen Muhammad Nur Rahmad, dan Mayjen Ainurrahman. Keduanya abituren Akmil 1988-A. Saat ini Mayjen Nur Rahmad sebagai Kepala Staf Kostrad. Sebelumnya menjadi Panglima Kodam Tanjungpura (2019-2021), serta Asisten Pengamanan KSAD (2017-2019). Sedangkan Kepala Staf Kostrad sebelumnya, yakni Mayjen Ainurrahman juga pernah menjadi Panglima Divif 1 Kostrad. Kini sebagai Asisten Operasi KSAD. Sayangnya, Ainur belum pernah menjadi Panglima Kodam. Siapa pun Presidennya, tentu sangat berkepentingan dengan Panglima Kostrad. Kostrad merupakan satuan militer terbesar di TNI.  Kostrad sebagai komando utama TNI merupakan satuan pemukul strategis. Memiliki sekitar 40-an batalyon tempur, bantuan tempur, dan bantuan administrasi.  (*)

Rakyat Harus Bicara Politik

Oleh Abdurrahman Syebubakar,  Majelis Habaib Progresif MULAI dari melonjaknya harga bahan pokok, gas elpiji, tarif listrik dan jalan tol hingga menggunungnya utang luar negeri dan pemindahan ibu kota oligarki adalah produk politik para politikus melalui proses politik.  Pertimbangan dan kepentingan politik menentukan lahirnya produk politik. Langsung maupun tidak langsung, produk politik berdampak terhadap kehidupan seluruh rakyat dan kelak menentukan nasib anak cucu kita.  Dan perlu dicatat, para politikus yang melahirkan produk politik lahir dari rahim rakyat melalui pemilu lima tahunan. Proses politik ini terjadi di lingkup entitas politik bernama negara bangsa yang melahirkan para politikus untuk mengatur urusan politik.  Jangankan dalam relasi kepentingan dan kebijakan publik, kondisi keseharian kita tidak lepas dari politik. Seperti kata Aristoteles bahwa \"manusia berhubungan dengan manusia lain dalam relasi politik\". Dalam buku \"Politics\" nya, sang Filsuf Yunani ini mengungkapkan, \"man is by nature a political animal\", manusia pada hakekatnya adalah makhluk politik.  Agama sekalipun, yang di dalamnya menyangkut urusan pribadi dan hubungan transendental manusia dengan tuhan-nya, tidak luput dari politik. Baik politik dalam arti terbatas, untuk mempengaruhi orang lain agar mengikuti ajaran agama yang diyakini, maupun kaitannya dengan upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan politik atas nama (syiar dan tegaknya) agama di ruang publik.  Mahatma Gandhi (1922), bapak pendiri India pernah bernubuah: “Aku tidak bisa membagi sebuah pekerjaan apakah itu sosial, ekonomi, politik, dan religius murni ke dalam kompartemen yang kedap air. Semuanya terkait dan saling mempengaruhi. Aku tidak tahu ada sebuah agama yang berpisah dari aktivitas manusia [termasuk politik]” Semua agama bisa tegak dan menyebar ke sembarang tempat berkat politik. Islam, misalnya, sejak kehadirannya 14 abad silam, selalu bersentuhan dengan masalah politik, meskipun tidak ada kesepakatan tentang konsep dan rumus politik, terutama dalam hubungannya dengan agama.   Terlepas dari keterbelahan dalam memaknai hubungan Islam dan politik, politik Islam adalah politik adiluhung (virtuous politics) yang bertujuan menghadirkan rahmatan lil ‘aalamin (keberkahan bagi seluruh alam semesta) dengan strategi ‘amr ma’ruf nahi mungkar (menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran).  Kendati diperhadapkan dengan realitas semesta politik dengan dampak luas bagi kehidupan rakyat, kini dan mendatang, sebagian warga tidak peduli dengan politik (a-politik). Bahkan mengaku alergi membicarakannya (anti-politik).  Padahal, menghindar dari obrolan politik adalah politik. Sikap diam merupakan simbol persetujuan terhadap apapun yang dilakukan oleh para politikus. Silence implies consent (diam adalah persetujuan), kata para ahli komunikasi politik.    Perlu digarisbawahi, bicara politik tidaklah identik dengan meraih dan mempertahankan kekuasaan atau jabatan. Bicara politik juga bukan barang mewah yang menjadi hak prerogatif politikus, pun kaum terpelajar dan para aktivis. Tapi, hak yang melekat pada diri setiap warga negara yang dijamin konstitusi.  Dalam banyak kasus, mereka yang enggan bicara politik adalah manusia-manusia pragmatis, atau lebih buruk lagi, kaum oportunis, yang hanya mementingkan kepentingan dan kenyamanan diri sendiri. Kamus kehidupan mereka tidak mengenal kosa kata tanggungjawab moral dan sosial kendati berasal dari kalangan terdidik dan status sosial ekonomi mapan.  Barisan pendukung militan dari politikus yang sedang berkuasa juga seringkali menghindar dari perbincangan politik. Sebab, tidak ingin mendengar suara sumbang tentang penguasa idola mereka.  Sebaliknya, mereka bersemangat menceritakan dan menyebar berita tentang prestasi dan kehebatan sang penguasa idola. Pun dengan senang hati mereka menyimak cerita tentangnya, asalkan tanpa cela.  Seperti halnya kelompok oposan, menjadi pendukung penguasa juga pilihan politik. Politik status quo.  Bagi pendukung penguasa, politik yang benar hanya politik versi penguasa. \"The king can do no wrong,\" penguasa tidak bisa dan tidak boleh salah. Kelompok ini hanya \"mengizinkan\" ruang publik diisi perbincangan politik ala penguasa. Selainnya, tabu bagi mereka.  Padahal, penguasa, entah presiden atau kepala daerah, adalah produk politik, yang sesak dengan urusan politik. Campur aduk antara politik kebajikan (good politics) dan politik nista (bad politics).  Untuk memperoleh kekuasaan, penguasa berpolitik. Kesehariannya dalam mengelola, mempertahankan dan memperluas jangkauan kekuasaan juga politik. Bahkan, seringkali menghalalkan segala cara sesuai nubuat Niccolo Machiavelli, arsitek realisme politik abad renaisans asal Italia. Presiden masuk gorong-gorong, ternak kodok, melepas burung, mancing pakai sendal jepit, lempar sembako dari dalam mobil, berswafoto di lokasi bencana, semuanya aksi politik. Tepatnya politik pencitraan.  Akhirul kalam, it\'s all about politics. Politik meluber ke segala penjuru secara dinamis. Dus, rakyat tidak bisa dan tidak perlu menghindar dari perbincangan politik. (*)

Legislator Kotim Prihatin Guru Ditangkap Mengedarkan Narkoba

Sampit, FNN - Anggota Komisi III DRPD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah, Riskon Fabiansyah mengaku prihatin mengetahui ada seorang guru yang ditangkap karena diduga mengedarkan sabu-sabu.\"Kami sangat menyayangkan tentunya dengan kejadian kasus salah satu oknum tenaga pendidik kita yang terlibat masalah narkoba. Guru tentunya mempunyai beban moril untuk memberikan suri tauladan yang baik untuk murid-muridnya, baik dari sisi akidah maupun akhlak. Bukan sebaliknya,\" kata Riskon di Sampit, Rabu.Politisi muda Partai Golkar menilai, kejadian ini menjadi peringatan bagi dunia pendidikan di Kotawaringin Timur. Ini menunjukkan bahwa bahaya narkoba sudah mulai masuk ke sendi pendidikan.Jika tidak dicegah dan ditangani serius, tidak menutup kemungkinan ke depan akan ada siswa atau siswi yang bisa menjadi korban narkoba juga.Riskon menyambut baik keinginan Bupati Halikinnor yang memerintahkan Dinas Pendidikan sebagai pemangku kepentingan pembinaan dunia pendidikan secepatnya bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional dan Polres Kotawaringin Timur untuk melakukan tes urine kepada tenaga pendidik.Langkah ini sebagai upaya pencegahan bahaya narkoba, khususnya di kalangan tenaga pendidik. Hal ini dianggap penting karena tenaga pendidik berperan penting dalam mendidik dan membentuk karakter generasi muda.Untuk jangka panjang, Riskon menyarankan Dinas Pendidikan memasukkan mata pelajaran pilihan tentang bahaya narkoba dalam kurikulum sekolah. Tujuannya sebagai pencegahan dini dengan memberi pemahaman kepada pelajar tentang bahaya narkoba.\"Itu bisa dilakukan bekerja sama dengan pemangku kepentingan terkait seperti BNN, Polres, LSM Sikat Narkoba yang konsen di bidang sosialisasi bahaya narkoba sebagai bentuk pencegahan penyebaran narkoba di Kotim, khususnya dunia pendidikan,\" demikian Riskon.Sementara itu, Satuan Reserse Narkoba Polres Kotawaringin Timur menangkap 10 orang diduga terlibat peredaran narkoba di Sampit, salah satunya adalah DS (46) yang diketahui berstatus aparatur sipil negara (ASN) bertugas sebagai guru di sebuah sekolah di Kecamatan Cempaga.\"Dia berperan sebagai sub bandar, berarti ada bandar di atasnya. Ini masih kami dalami kasusnya untuk ditelusuri lebih jauh,\" kata Kapolres AKBP Sarpani.Ada tujuh kasus yang diungkap dalam 18 hari terakhir dengan tersangka sebanyak 10 orang, terdiri dari tujuh laki-laki dan tiga perempuan. Total barang bukti yang disita 86,27 gram senilai Rp172. 540.000.Sepuluh orang tersangka tersebut adalah S (54), I (49), HW (45), M (40), MK (40), M (45), S (52), H (45), MSA (29) dan DS (46). Tersangka S dan H merupakan suami istri, sedangkan DS merupakan guru. (sws)

Jusuf Wanandi Menyibak Tabir CSIS?

Oleh Nuim Hidayat, Anggota MIUMI dan MUI Depok DALAM buku Jusuf Wanandi, ‘Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998’ (Penerbit Buku Kompas, 2014), banyak fakta yang terungkap tentang hubungan CSIS dengan 20 tahun pemerintahan Soeharto. Meski buku ini banyak memuji Benny Moerdani, tapi peristiwa-peristiwa monumental yang diungkap Jusuf menarik disimak.  Jusuf menceritakan dalam bukunya bahwa setelah meninggalkan Benny dan CSIS, pada 1998, setelah lengser dari kepresidenan, Soeharto bertemu lagi dengan Benny. Pertemuan itu terjadi atas jasa Tutut, pada 15 Desember 1998 di rumah Sigit, belakang jalan Cendana, Jakarta. Di dalam pertemuan itu Soeharto bertanya kepada Benny tetang apa yang terjadi sebenarnya pada dirinya. Mengapa ia dilengserkan dan seterusnya. Benny menceritakan semuanya. Ia bercerita selama satu setengah jam—semua hal yang Benny simpan sejak pertemuan terbuka terakhir mereka, lebih dari 10 tahun yang lalu. “Bapak sekarang tahu, karena Bapak tidak percaya pada kami,” jawab Benny maksudnya ABRI. “Kami adalah dasar dari kekuasaan Bapak, tetapi kemudian Bapak tidak lagi percaya pada kami, dan malah lebih percaya kepada Habibie dan ICMI. Dan semua pembantu yang Bapak percayai—Harmoko, Ginanjar Kartasasmita, Akbar Tanjung—ternyata pengkhianat. Ini salah besar. Lihat apa yang terjadi. Militer pun sekarang sudah semakin ‘hijau’ (dalam arti perwira non-muslim atau yang kurang ‘saleh’ tidak lagi mendapat kesempatan) di bawah Feisal Tanjung. Karena Bapak tidak percaya kepada saya, Bapak juga tidak percaya kepada ABRI, walaupun kami selalu mendukung Bapak. Dan setia,” tulis Jusuf. Jusuf melanjutkan kisahnya: “Soeharto terdiam. Namun ketika Benny menyebut nama jenderal ‘dicurigai’, ia mengambil pena dan kertas dan membuat catatan.” Benny mengatakan bahwa “lima dari sepuluh Pangdam adalah hijau. Bapak tidak bisa mengandalkan mereka.”  Mereka berdua berdamai. Soeharto menyempatkan melayat ke rumah Benny dan membaca doa di depan jenazahnya ketika Benny mendahuluinya. Daftar itu, Benny menceritakan kepada kami kemudian, diberikan kepada Wiranto yang ketika itu menjabat sebagai Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan di bawah kepemimpinan Habibie. Ketika daftar itu sampai ke tangan Wiranto, ia tidak perlu didorong lagi. Dalam waktu satu bulan, kelima nama yang terdapat dalam daftar milik Benny akhirnya diganti.” (halaman 388)  Jusuf Wanandi, kakak kandung Sofjan Wanandi, adalah pendiri koran The Jakarta Post. Ia mengakui kedekatan hubungannya dengan Daoed Joesoef, Benny Moerdani, Jacob Oetama dan Fikri Jufri. Tentang Daoed Joesoef, diceritakan: “Daoed Joesoef, Ketua Dewan Direktur selama lebih dari 30 tahun, adalah pemikir strategis utama kami. Setelah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di bawah Soeharto, ia kembali dengan lebih yakin mengenai pentingnya peran yang dimainkan CSIS sebagai think tank bagi bangsa dan masyarakat. Ia masih terus menulis dan berceramah mengenai masalah-masalah strategis.” Jusuf mengakui bahwa di awal pemerintahannya Soeharto tidak dekat dengan Islam. “Selama 20 tahun pertama pada masa kekuasannya, Soeharto sangat hati-hati untuk tidak membiarkan Islam menjadi kekuatan politik. Di akhir tahun 1980-an, Presiden Soeharto membuang pendirian ini dalam rangka menggalang dukungan untuk menyingkirkan ABRI sebagai penopang utama kekuasannya. Perubahan inilah yang kelak membawa kejatuhan Soeharto.” Kelompok CSIS (Centre for Strategic and International Studies) yang diakui Jusuf Wanandi sebagai kelompok China dan Katolik, memang sejak 1988 sangat kecewa kepada Soeharto yang meninggalkan CSIS. Tokoh pendiri CSIS ini menyatakan: “Pada Maret 1988, tidak lama setelah kabinet baru terbentuk, Presiden Soeharto memutuskan segala hubungan dengan CSIS yang sudah terjalin begitu lama. Memo yang saya tulis yang mengusulkan agar ia mendelegasikan wewenang eksekutif menjadi korban dari perebutan kekuasaan yang lebih luas. Presiden Soeharto memang sudah tidak peduli kepada kami, tetapi kejatuhan Benny Moerdani setelah Sidang MPR 1988 telah menentukan nasib kami.” (halaman 340) Lebih lanjut Jusuf menyatakan: “Dari sebuah lembaga yang dianggap ‘dekat’ dengan Soeharto dan think tank yang memberi legitimasi pada kekuasaannya, yang dikelola oleh ‘keturunan Tionghoa dan Katolik’, kini menjadi lembaga yang menentang Soeharto. Setelah 20 tahun, saya sadar bahwa saya tidak lagi dalam posisi menasihati Soeharto mengenai apa yang terbaik bagi kepentingan negara. Awalnya kami terkejut ketika mendengar bahwa para menteri diperintahkan untuk tidak lagi berhubungan dengan kami. Beberapa jenderal yang dekat dengan kami juga mulai menjaga jarak. Mereka juga dilarang memberikan proyek bisnis kepada adik saya Sofjan. Jenderal Tjokropranolo juga pernah diperingatkan oleh Soeharto mengenai hal ini ketika ia menjabat sebagai Panglima Kostrad. Kami juga dilarang untuk diundang pada pembukaan KTT APEC pada tahun 1994 dan KTT Non Blok pada tahun 1992.”  Benny Moerdani yang dianggap tokoh-tokoh Islam sebagai musuh utama tahun 1980-1990an, selain CSIS, kecewa besar terhadap Presiden Soeharto yang mencopotnya sebagai Panglima ABRI dan Panglima Kopkamtib. Pak Harto memindahkan posisi Benny menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan yang ‘sedikit kekuasaannya’ pada Maret 1988. Presiden mengangkat Feisal Tanjung sebagai Panglima ABRI. Jusuf Wanandi memberi catatan tentang Benny yang ingin terus memegang kekuasaan di negeri ini: “Selain itu, ada beberapa kendala yang harus diatasi Benny. Salah satunya adalah agama yang dianutnya: memang pencalonan itu bisa terjadi, tetapi sebagai umat Katolik, tidak mungkin ia menjadi presiden. Benny tak akan mengubah kepercayaannya. Benny sangat jelas pendiriannya mengenai keimanannya. Saya ingat, dalam suatu acara makan malam bersama Benny, hadir Harry Tjan, saya, dan sejumlah redaktur senior yang berkawan dekat dengan Benny, seperti Jacob Oetama dari Kompas dan Fikri Jufri dari Tempo. Fikri mungkin sudah terpengaruh oleh anggur merah sambil menangis berkata kepada Benny, ‘Mengapa Pak Benny tidak menjadi muslim? Kami akan memilih Bapak menjadi presiden republik ini.’ Yang lain terdiam mendengar ucapan Fikri. Kami sudah mengenal Benny dengan baik, tetapi dia temperamental dan tidak dapat ditebak. Benny memandang Fikri dan berkata, ‘Memangnya saya semurah itu melepas kepercayaan saya hanya untuk mengejar jabatan? Tidak akan pernah’.”  CSIS sebagai think tank Soeharto sejak akhir tahun 1960 sampai 1988, sebagaimana sering diungkap para tokoh Islam, bukanlah ungkapan yang mengada-ada. Jusuf Wanandi dalam bukunya ini mengakuinya. Ia mengatakan terus terang: “Meski demikian, sampai akhir tahun 1980-an kami di CSIS cukup nyaman dalam hubungan kami dengan Soeharto. Kami adalah sebuah think tank yang memberikan masukan kepada presiden. Kami bukan bagian dari pemerintah, tetapi kami mempunyai hubungan khusus yang memberikan kami akses dan perlindungan. Ketika Benny Moerdani menjadi Panglima ABRI, ia menjadi orang terkuat nomor dua di negeri ini. Ia menjadi pelindung kami setelah Ali Moertopo meninggal. Peran saya dan kawan-kawan senior di CSIS antara lain adalah menulis memo kepada Presiden Soeharto, pekerjaan yang saya dan kolega saya telah lakukan sejak tahun 1971.” (halaman 313)  Ketika Benny digeser menjadi Menhankam, di saat yang bersamaan Soeharto menyatakan kepada kabinetnya: “Saya tidak mau ada hubungan apapun lagi dengan CSIS dan saya perintahkan kalian juga demikian.” Menanggapi pemutusan hubungan Soeharto dengan CSIS (dan beralih ke Habibie dan ICMI) ini Jusuf Wanandi menyatakan: “Bagi saya ini menandakan awal dari berakhirnya Orde Baru. Bukan karena ia mencampakkan kami, melainkan karena Presiden Soeharto tampaknya sudah kehilangan arah.” (lihat halaman 295-296)  CSIS yang merupakan lembaga pemikir yang pro-Barat, mengakui bahwa mereka punya kerja sama dengan RAND Corporation, lembaga think tank berbasis di California, Amerika Serikat, yang dikenal anti Islam militan. “RAND Corporation sangat membantu CSIS,” terang Jusuf. Meski ia tidak mungkin meniru sepenuhnya RAND, Jusuf menyatakan, “Namun, kekuatan intelektual, proses penelitian dan pengawasan, pendekatan dan kerja sama kolektif dan studi interdisiplin yang diterapkan RAND Corporation sangat mengesankan dan saya ingin menerapkannya di CSIS.” Jusuf dan kawan-kawannya di CSIS, memainkan partai Golkar untuk menguasai politik di Indonesia. “Satu-satuya cara kami mendukung Golkar, kami tegaskan, adalah kalau kami yang mengelola panitia pemilu Golkar sehingga kami dapat memilih calon yang ditampilkan dalam pemilihan dan tidak mengandalkan kader yang ada yang umumnya lemah. Soeharto setuju. Ali Moertopo memberikan kepada saya untuk melaksanakannya. Ia memberi saya sebuah gedung di sebelah gedung lain yang kelak menjadi kantor CSIS untuk mengelola Badan Pengendalian Pemilu (Bappilu) Golkar. Saya menyeleksi 50 orang dari kelompok aktivis sebagai penghubung Golkar di daerah. Pada Maret 1971, Pak Ali memberi kami modal untuk menerbitkan harian Suara Karya untuk menyebarluaskan pesan-pesan Golkar. Penerbitan perdana terjadi tiga hari kemudian, persis pada hari Supersemar. Tidak tahu bagaimana caranya, dengan Sumiskum sebagai penerbit dan Rahman Tolleng, sebelumnya redaktur Mingguan Mahasiswa di Bandung, sebagai pemimpin redaksi, kami berhasil meluncurkannya.” Kedekatan Ali Moertopo dengan kelompok Katolik CSIS, karena sejak awal ia tidak suka kepada Islam atau syariat Islam. Pada Sidang MPRS 1968, Ali Moertopo menyarankan kepada Soeharto agar menolak GBHN yang dirumuskan MPRS yang dipimpin oleh Jenderal Nasution dan Subchan. Ali dkk. berhasil melobi Soeharto yang ‘baru mengenal politik’ saat itu.  “Pak,” demikian kata Ali Moertopo, ”Bapak tidak bisa menerima usulan Badan Pekerja karena semuanya dibuat oleh Nasution dan oknum ABRI berhaluan kanan. Bapak tidak bisa menerima ini karena dalam konsep-konsep tersebut diselipkan perumusan penerapan syariah Islam.” Ali mengutip contoh pasal mengenai hak asasi manusia yang melarang orang beralih agama. Jika ini dimasukkan ke dalam GBHN, berarti UUD kita berlawanan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang salah satu pasalnya menjamin kebebasan untuk beralih agama.” (lihat halaman 113) [] Kini lakon yang sama dengan orang yang berbeda namun semuanya adalah kader Beni Murdani yaitu Luhut panjaitan, Hendroprijono, dan beberapa jendral merah tua berkuasa saat ini bersama Jokowi. (*)

Hancur-Hancuran Pindah Ibu Kota Negara

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan AKHIRNYA DPR mengetuk palu persetujuan untuk UU Ibu Kota Negara baru di Kalimantan Timur. Banyak pihak menilai pengesahan RUU ini tergesa-gesa, dipaksakan, dan sama sekali bukan untuk kepentingan rakyat. Pemerintahan Jokowi sangat berambisi dan telah sukses menaklukan DPR. Hanya Fraksi PKS yang masih bersikap beda. Fraksi yang merdeka dan memiliki martabat. Waspada akan akibat buruk  dari perpindahan itu bagi rakyat, bangsa, dan negara.  Negara ini memang sudah hancur-hancuran dimana kedaulatan rakyat sudah dihabisi. Rakyat hanya sekedar untuk diatasnamakan. Wakil Rakyat mati kutu di depan Pemerintah. Teriakan keras pada persidangan hanya pencitraan semata. Perpindahan Ibu Kota Negara hampir dipastikan tidak menyerap aspirasi rakyat. Bahkan rakyat telah terang-terangan ditelikung mentah-mentah. DPR berubah menjadi Dewan Perwakilan Rezim.  Rakyat berhak marah atas kongkalikong Pemerintah dengan DPR dalam upaya menggoalkan Undang-Undang yang sarat dengan kepentingan. Kejahatan terberat adalah membunuh Ibukota lama dan berspekulasi dengan ibukota baru. Spekulasi soal sumber dan kondisi keuangan, spekulasi kemampuan untuk memindahkan pegawai pemerintahan, spekulasi mengenai status sosial penduduk Ibu Kota Negara baru, dan yang paling berbahaya adalah spekulasi tentang keamanan Ibu Kota Negara tersebut.  Rakyat dipaksa patuh dan menuruti keputusan Pemerintah yang diberi stempel oleh DPR. Ini adalah cara mengelola negara khas kolonial. Penguasa yang memaksa dan berwajah penjajah. Rakyat pribumi ditempatkan sebagai budak yang harus taat. Pertanyaan mendasar adalah untuk siapa Ibu Kota Negara baru itu  ? Siapa yang mampu membeli tanah dan membangun rumah dan gedung-gedung  disana ? Siapa yang mampu membangun jaringan usaha di area yang benar-benar baru ? Pribumi atau pendatang kah  ? Etnis apa mereka itu?  Jokowi tentu tahu jawaban pasti dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dan demi itulah ia berjuang untuk memenuhi ambisinya. Ibu Kota Negara adalah proyek besar yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Tidak ada hubungan signifikan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dan bangsa Indonesia. Bahkan sebaliknya dapat menjadi ruang perampokan kekayaan negara. Lahan subur untuk menanam pohon korupsi dan kolusi. Aset negara yang terjual atau tergadaikan.  DPR terus melanjutkan kebiasaan buruk dalam membuat UU sebagaimana UU KPK, Minerba, Perpu Pandemi, hingga UU Cipta Kerja. Diam-diam, minim masukan publik, masa bodoh atas reaksi rakyat, serta hanya berorientasi pada kepentingan korporat dan oligarkhi. UU dibuat untuk merugikan rakyat.  Kini UU IKN sama juga, bahkan lebih parah. Pemerintah Jokowi dan DPR bergabung bersama mengabaikan dan membohongi rakyat. Pindah Ibu Kota Negara dianggap sama dengan kucing memindahkan anak-anaknya. Menggigit leher si anak yang tak berdaya.  Rakyat bisa dibohongi satu atau dua kali, akan tetapi tidak bisa dibohongi selamanya. Ada momen saat ia mampu untuk berdiri dan menunjukkan kedaulatannya. (*)

Presidenku Kehilangan Rasa Malu

Peribahasa  \"Nila setitik rusak susuk sebelanga\" mungkin tak cukup lagi menggambarkan suasana batin presiden yang terkenal   cuek dan planga-plongo ini. Namun pesan moral keagamaan \"Jagalah dirimu dan  keluargamu dari api neraka\", akan terasa lebih pas menusuk tajam relung-relung jiwanya. Sang presiden tak lagi dapat berkilah, \"Saya ndak tahu\" atau \"Kok saya yang ditanya\". Terutama ketika  rakyat pada akhirnya terusik dan punya rasionaliasasi sendiri menjawab rasa keingintahuannya. Sambil membatin,  menghela napas dan berujar dalam hati, presidenku telah kehilangan rasa malu. Tak punya rasa malu lagi  untuk 2 periode, 3 periode atau mungkin untuk selamanya. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari. MUNGKIN hanya pembangunan infra struktur yang bisa dinilai sebagai satu keberhasilan meski menjadi polemik dan kontroversi. Sebabnya, beberapa proyek jalan tol dan pembangunan jalur kereta api cepat Jakarta Bandung dinilai terlalu banyak masalah. Selain  setelah jadi langsung  dijual murah, beberapa yang sedang dikerjakan terancam mangkrak. Program berbiaya besar dan sarat utang  yang menjadi proyek mercusuar rezim itu, dipenuhi kongkalikong bisnis rente dan korupsi.  Selebihnya, hampir sebagian besar program pembangunan baik saat dikampanyekan dalam pilpres maupun ketika direalisasikan. Bisa dibilang tidak sesuai harapan dan kenyataannya. Justru bukan komitmen dan konsisten dalam menepati janji, presiden malah banyak mengeluarkan kebijakan ironi. Membuat rakyat mengalami kesengsaraan  hidup yang berkepanjangan. Bahkan, saat masih diliputi pandemi sekalipun. Presiden yang  dipundaknya nasib seluruh rakyat dipertaruhkan. Memang terlihat sibuk kerja. Masalahnya kerja apa dan untuk siapa?. Pembangunan untuk kemakmuran dan keadilan rakyat atau hanya semakin membesarkan para cukong dengan korporasi borjuasinya?. Pemimpin untuk negara kesejahteraan atau rezim kekuasaan yang otoriter dan represif. Kerja-kerja Memalukan Alih-alih menghasilkan pembangunan dengan kinerja yang memuaskan. Pemerintahan justru tampil dengan perilaku yang banyak bicara sedikit kerja. Saking banyaknya  bicara ketimbang kerja, keseharian rezim ini selalu diwarnai omong kosong, tidak ilmiah  dan penuh kebohongan. Segunung janji-janji terlontar saat kampanye, namun dimanipulasi setelah menjabat presiden. Janji memberantas korupsi, janji Esemka, janji stop impor, janji bank tani, janji ingin dikritik dan kangen didemo dan masih banyak lagi janji yang bagi rakyat hanya  sebuah mimpi. Seperti lidah tak bertulang, bukannyamenepati menepati janji, presiden dan para pembantunya malah rajin beretorika yang lain. Gegara rezim ini, negara terus mengeluarkan biaya besar untuk semua yang tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat. Konstitusi dipakai untuk melanggengkan kekuasaan dan sebesar-besarnya merampok uang rakyat. Buat yang mengejar harta dan kedudukan, silahkan bergabung menjadi bagian dari oligarki. Sementara yang  menentang tinggal pilih kriminalisasi atau mati. Mumpung selagi  masih punya jabatan  dan kewenangan. Oligarki tumbuh semakin besar dan kuat mencengkeram rakyat hingga tunduk dan tak berdaya. Pengaruhnya mewabah menjangkiti wilayah eksekutif dan legislatif pemeeintahan. Tampil  dengan bahasa dan perilaku kekuasaan, jadilah pemerintahan yang sekarape dewe dalam mengelola negara. Rezim yang menjadi boneka bagi para cukong dan menjadi monster bagi rakyatnya. Faktanya, pemerintahan menjadi representasi gerombolan elit tanpa  harga diri dan martabat. Terutama presidennya, pun tak lagi memiliki simpati dan empati bagi setiap persoalan rakyat  dan krisis  kebangsaan.  Omnibus law yang memalukan karena inkonstitusional bersyarat, UU IKN yang dipaksakan  dan maraknya KKN di lingkungan pemerintahan . Merupakan contoh nyata dari tidak sedikit masalah negara yang vulgar menunjukkan betapa rezim ini dalam kebobrokan menahun.  Semua kebijakan pemerintahan yang dilandasi dan menjadi motif membangun dinasti kekuasaan yang  tirani dan  pengumpulan sebanyak-banyaknya harta haram jadah. Hanya mengembangbiakan populasi dari ternak oligarki. Habitatnyapun hanya dipenuhi dan sesak dengan para penjilat, penghianat dan penista agama. Tidak cukup KKN menghiasi lingkungan istana, kementeriaan hingga pemerintahan daerah dan dalam partai politik. Negara  kini diguncang dengan   aroma busuk KKN yang melibatkan keluarga presiden. Pelaporan Ubedilah Badrun seorang dosen  sekaligus aktifis 98,  ke KPK terkait dugaan korupsi yang dilakukan Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep yang merupakan putra-putra presiden. Semakin mengokohkan rentetan daftar hitam kebohongan presiden yang terlanjur dijuluki publik \"The King Of Lip Service\". Stempel tukang bohong terhadap janji-janji politik  tentang kejujuran dan keadilan semakin sempurna takala disinyalir kasus Korupsi menjerat keluarganya sendiri. Presiden seperti ditampar dan terasa kehilangan muka keseluruhan. Rasa malu yang terus menyelimuti, betapapun citra diri dipoles dengan susah payah dan ongkos yang mahal.  Peribahasa  \"Nila setitik rusak susuk sebelanga\" mungkin tak cukup lagi menggambarkan suasana batin presiden yang terkenal   cuek dan planga-plongo ini. Namun pesan moral keagamaan \"Jagalah dirimu dan  keluargamu dari api neraka\", akan terasa lebih pas menusuk tajam relung-relung jiwanya. Sang presiden tak lagi dapat berkilah, \"Saya ndak tahu\" atau \"Kok saya yang ditanya\". Terutama ketika  rakyat pada akhirnya terusik dan punya rasionaliasasi sendiri menjawab rasa keingintahuannya. Sambil membatin,  menghela napas dan berujar dalam hati, presidenku telah kehilangan rasa malu. Tak punya rasa malu lagi  untuk 2 periode, 3 periode atau mungkin untuk selamanya. (*)

Nampol Giring, Semacam Anies Berguru pada H. Agus Salim

Oleh Ady Amar, Kolumnis ANIES Baswedan, jika ditilik intelektualitasnya, tentu di atas rata-rata. Bahkan dianggap kecerdasan sempurna. Manusia seperti Anies di negeri ini cukup banyak. Bisa dilihat dalam beragam kepakaran. Tapi satu hal kelebihan Anies lainnya ada pada kualitas emosionalnya (emotional equality). Tidak banyak yang menyamainya. Setidaknya belum tampak ada yang menyamainya. Bolehlah disebut bahwa penilaian ini subyektif. Tidak masalah. Tapi silahkan tunjukkan tokoh politik yang punya kualitas emosi menyamai Anies Baswedan. Anies dikuyo-kuyo mereka yang tidak menyukainya, entah oleh sebab apa, tiap waktu. Mereka melihat Anies dengan sikap yang sudah terbentuk dengan penilaian buruk. Anies tampak tidak ada baik-baiknya. Karya dan, karenanya berjibun penghargaan didapat, itu tidak menyurutkan pandangan dalam melihat Anies sedikit bergeser lebih baik. Jika saja kritik yang dilempar itu konstrukrif, dan itu pada pencapaian kerja-kerjanya, tentu itu nutrisi. Tapi yang disasarkan pada Anies cuma ungkapan tidak sepatutnya, cenderung fitnah. Tak ketinggalan umpatan rasis dihunjamkan. Menjadi miris melihat Ketua Umum PSI, Giring Ganesha, yang di acara ulang tahun ke-7 partainya, dan di hadapan Presiden Joko Widodo (Jokowi), sempat-sempatnya mengatakan Anies sebagai gubernur pembohong. Umpatan penuh kebencian. Sepertinya ia tidak merasa sungkan di hadapan Jokowi melakukan hal di luar kepatutan. Memang sih tidak disebut nama Anies Baswedan di sana. Tapi saat Giring \"menggiring\" dengan sebutan menteri pecatan. Maka jelas pidato politiknya itu merujuk pada Anies Baswedan. Dunia serasa sudah terbalik, bagaimana mungkin mantan rektornya--Anies pernah sebagai Rektor Universitas Paramadina--itu disebutnya pembohong. Jika ditanya, Anies berbohong pada hal apa, pastilah Giring akan gelagapan bisa beri bukti. Dalam bahasa agama Giring ini su\'ul adhab tidak punya adab. Anehnya, pidato politiknya yang berapi-api, yang penuh caci maki dan fitnah, itu tanpa isi. Nggedabrus. Dan sepertinya Jokowi asyik mendengarkan pidato macam itu. Karena tampak sesekali ia terkekeh dibuatnya. Giring berhasil menghibur Jokowi, meski dengan cara mengumpat Anies. Seperti sebuah penegasan, mengapa seorang Anies Baswedan mesti diperlakukan demikian. Nampol Elegan dan Cerdas Ada lagi adegan susulan yang dibuat Giring. Sidak melihat persiapan arena balap mobil Formula E, di Ancol. Ia perlu sampai buat video. Seolah laporan pandangan mata. Mengabarkan bahwa ia sedang sidak, dan tidak menemukan adanya pembangunan sirkuit balap. Ia cuma menemui lumpur dan beberapa ekor kambing.  Bahkan adegan ia terperosok lumpur pun diabadikan. Berharap bisa jadi bahan buli Anies. Tambahnya, ia tidak menemukan pekerja atau adanya alat-alat berat di lokasi. Padahal perhelatan dilaksanakan bulan Juni 2022. Lihat polanya bisa buat geleng kepala. Mengapa ia mesti repot-repot melakukan--pakai istilah--sidak segala. Halu seolah ia pejabat. Lagian, bukannya PSI tidak setuju adanya balap Formula E itu. Mengapa mesti repot-repot sidak segala. Sebagai politisi Giring tampak mentah, dan jam terbangnya memang baru seuprit. Video \"sidaknya\" itu bukannya mendapat simpati, tapi justru kebalikan yang didapat. Sumpah serapah netizen. Narasi meletakkan kata \"sidak\" tidak pada tempatnya, bisa jadi senjata makan tuan: emang loe sapa? Halu seorang Giring jadi pejabat beneran, jadi bahan bulian dengan sadisnya. Tak sepatah kata pun narasi muncul dari Anies menanggapi sidak-sidakan itu. Tapi cukup direspons pejabat terkait, yang mengatakan bahwa sirkuit akan mulai digarap awal Februari. Giring kecele. Hebatnya Anies \"membalas\" Giring dengan candaan. Ya cukup dengan candaan yang cerdas, elegan, menghibur. Publik pun menilai cukup nunjek. Tampak kualitas emosi seorang Anies menuntun intelektualitasnya dengan terukur. Maka, kreativitas menjadi penting dihadirkan. Sebuah video yang dibuat tidak sampai semenit: Dua anak muda nongkrong sambil bermain gitar. Sebuah lagu \"Biarkan\", yang pernah dipopulerkan Giring saat masih bergabung dengan band Nidji. Lalu muncullah seseorang mirip \"Anies Baswedan\"--diperankan Anies Baswedan--menghampiri dua remaja itu sambil mengatakan, Eh mas... mas... ini waktu bekerja. Jangan menyanyi di sini. Dua anak muda itu langsung ngeluyur sambil mengucap maaf dan awas kejeblos, Pak! Anies membuat pesan pada anak muda kapan waktu bekerja, dan kapan waktu santai. Dan lagu yang dinyanyikan dan lalu dihentikan, itu jelas sasarannya. Pesan syantik Anies, tanpa hati terluka. Itulah kecerdasan intelektual yang beriringan dengan emosi yang terjaga. Dan, Minggu malam (16/Januari), Anies hadir di Jakarta International Stadium (JIS). Acara check sound system. Beberapa kali artis band diundang untuk hal yang sama. Sebelumnya, grup band Padi. Kali ini yang diundang grup band Nidji, tentu minus Giring. Band Nidji versi baru. Tampil dengan vokalis barunya. Mengundang Nidji, publik mengatakan, ini juga tampolan Anies yang elegan dan cerdas. Senin paginya (17/Januari), lewat Instagram pribadinya @aniesbaswedan  mengunggah tampilan grup band Nidji. \"Spektakuler! Melihat penampilan band Nidji saat uji coba sound system JIS semalam, sambil inspeksi 93% ketuntasan pembangunan stadion. Musiknya menggelegar, suaranya merdu, tidak ada sumbang-sumbangnya.\" \"Suara merdu, tidak ada sumbang-sumbangnya\", itu narasi elegen dan cerdas. Narasi menampol, yang tidak perlu pakai gaya orator ngotot tanpa isi. Memang hak Anies sebagai pendengar yang merasakan bahwa suara vokalis Nidji, yang malam itu tampil, suaranya merdu, tidak ada sumbang-sumbangnya. Satire H. Agus Salim Mengajarkan Anies mengingatkan pada H. Agus Salim saat menerima hinaan tentang jenggotnya yang diserupakan kambing. Namun, ia bisa mengembalikan cacian untuk membungkam mereka yang mencacinya. Melihat Anies Baswedan, sepertinya ia belajar dari H. Agus Salim. Atau memang pada tahapan tertentu, tahapan kolaborasi cantik antara intelektualitas dan emosi, maka seseorang mampu menghadirkan sikap berkualitas. Baiklah sedikit kisah tentang H. Agus Salim patut dihadirkan di sini. Ia yang kebetulan memakai jenggot, model jenggot yang diserupakan kambing. Maka pada rapat Syarikat Islam (SI), saat itu SI pecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, diketuai HOS Cokroaminoto dan H. Agus Salim, dan kelompok kedua dalam bayang-bayang direbut anak-anak muda pimpinan Muso. Saat tampil memberikan sambutan pada sebuah acara SI, maka muncul suara dari barisan belakang embek... embekk... (suara khas kambing dari kelompok Muso). H. Agus Salim berdiri di podium dengan tenang, dan lalu ia bertanya pada panitia yang mengundangnya, \"Apakah selain manusia yang diundang, adakah ikut diundang gerombolan kambing, karena saya mendengar suara kambing mengembek\". Sejak itu tidak lagi terdengar suara mengembek-embek. H. Agus Salim berhasil membungkam mereka yang tidak suka dengannya dengan intelektualitas yang dibimbing kualitas emosi yang baik. Ia disebut kambing yang mengembek-embek, ia pun mampu membaliknya dengan menyebut yang mengembek-embek itu tak ubahnya binatang kambing. (Memang ada beberapa versi tentang kisah H. Agus Salim dan Kambing ini. Tapi substansinya sama, kemampuan H. Agus Salim menjinakkan \"gerombolan kambing\"). Anies tampaknya memakai gaya satire H. Agus Salim, meski bisa jadi tanpa disadarinya. Bisa dilihat dari video saat mengusir dua remaja yang menyanyikan lagu yang pernah dipopulerkan Giring, saat masih bersama band Nidji. Itu satire keren. Tapi pada kesempatan lain, mengundang band Nidji untuk menyimbolkan tidak ada masalah apa-apa dirinya dengan grup band itu. Maka, ia perlu mengapresiasi formasi baru band Nidji, dengan satire berkelas: suaranya merdu tidak ada sumbang-sumbangnya. Tampaknya gaya komunikasi model satire yang makjleb itu terus akan dipakai Anies. Efektif untuk membungkam mereka yang tidak pernah menghormati politik akal sehat. (*)