OPINI

New Mangkrak Metropolis

Oleh Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan PIDATO yang dipuji oleh pemuja Jokowi adalah singgungan bahwa IKN Penajam adalah New Smart Metropolis. Melihat track record sebelumnya soal hebat dan luar biasanya Esemka atau spektakuler nya Kereta Cepat Bandung Jakarta, nampaknya omongan pak Jokowi sulit untuk dipercaya. New Smart Metropolis berpeluang sama dengan New Mangkrak Metropolis atau bahkan New Bangkrut Metropolis.  Program pindah Ibu Kota Negara bukanlah kemauan rakyat dan bangsa Indonesia tetapi lebih pada kehendak Istana dan lingkungan oligarkhinya. Usulan referendum mengemuka untuk menguji benarkah rakyat menginginkan pindah Ibu Kota Negara ? DPR menyetujui, tetapi semua juga tahu posisi DPR kini dalam relasinya dengan Eksekutif. Proses penetapan UU IKN secara tergesa gesa dan \"asal-asalan\" cukup menjadi bukti.  Mangkrak atau bangkrut adalah prediksi atas dasar pengalaman empirik. Program Pemerintah yang dikritisi rakyat bahkan dicurigai tentu tidak akan nyaman untuk dikerjakan, bahkan dekat pada kegagalan. Apalagi pandemi pun masih sulit untuk diprediksi usainya.  Tahapan krusial, antara lain : Pertama,  pra-konstruksi yang menyangkut perundang-undangan dan rencana pembiayaan. UU yang diproduk dilakukan gugatan ke MK oleh berbagai elemen masyarakat. Sementara rencana pembiayaan hampir 500 Trilyun yang awalnya konon tidak menggunakan dana APBN kini menjadi terbuka. Terasa betapa beratnya kelak pemenuhan pembiayaan IKN baru tersebut.  Kedua, saat konstruksi. Sebagaimana proyek ambisius lain seperti Kereta Cepat Cina yang ternyata belepotan karena waktu yang tidak tepat dan biaya yang terus membengkak, maka pembangunan IKN baru diduga jauh lebih rumit lagi. Agenda \"enak-enakan\" menjual gedung-gedung di Jakarta untuk ikut membiayai sangat tidaklah rasional. Masalah yang dihadapi bukan saja menjadi membangun IKN baru, tetapi persoalan \"bumi hangus\" gedung Pemerintah di Jakarta.  Ketiga, pasca pembangunan IKN maka SDM yang harus dipindahkan membutuhkan ASN berjiwa \"relawan\". Ketika biaya hidup bertambah karena perpindahan yang jauh dan berada di \"daerah baru\", maka dimungkinkan banyak yang enggan pindah dan memilih \"resign\". Merekrut ASN baru bukan solusi. Artinya persoalan akan muncul. Kemudahan fasilitas di Jakarta tidak akan cepat tergantikan dan terbarukan.  Rakyat tidak akan berkontribusi untuk menolong, karena itu bukan kemauannya. Sebaliknya rakyat akan menghukum atas kebijakan bodoh dan sembrono yang berbasis ambisi kepentingan tersebut. Presiden dan oligarki harus siap menerima sanksi. Proyek pindah IKN adalah judi terbesar rezim Jokowi.  Belum lagi jika ternyata Pemerintah tidak mampu membuat IKN \"ramai\" dan \"dinamis\" bahkan akhirnya IKN baru menjadi \"kota mati\" maka sia-sialah pengorbanan dan enerji yang terbuang percuma. Ujungnya Ibu Kota Negara akan kembali lagi ke Jakarta.  \"Ke Jakarta aku kan kembali  Walaupun apa yang kan terjadi\", kata Koes Plus.  Jadi bukan seperti pidato Jokowi  bahwa IKN  baru adalah New Smart Metropolis melainkan bakal menjadi New Mangkrak Metropolis atau New Bangkrut Metropolis.(*)

Percakapan Telpon Itu

Masalahnya bukan pada bisa atau tidak. Masalahnya ada pada hukum agama yang tidak membolehkan. Jadi saya kira tidak ada yang mau menikahkan karena itu melanggar aturan agama.  Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation SUATU siang lagi santai nonton Olimpiade Musim dingin yang sedang berlangsung di China telpon saya tiba-tiba berdering. Nampaknya seseorang dari NJ dengan nomor (908) menelpon. Saya sempatkan angkat telpon karena nampaknya bukan spam. Ternyata seorang perempuan Indonesia.  P (penelpon) S (Saya/Shamsi).  P: Hello, ini pak Imam Shamsi Ali?  S: Iya benar. Maaf dengan siapa?  P: Maaf pak Imam mengganggu waktunya. Nama saya…. dari NJ.  S: Tidak apa. Ada yang saya bisa bantu?  P: Iya pak Imam. Boleh minta tolong? Saya ada sepupu yang mau menikah. Apakah pak Imam bisa menikahkan?  S: Iya, saya kebetulan NY State Officiant (penghulu di New York).  P: Calon isteri sepupu saya itu kebetulan Muslim pak Ustadz.  S: Oh…maksudnya kenapa kalau Muslim? Yang saya nikahkan memang Muslim.  P: Maaf pak Ustadz.. sepupu saya Katolik. Apakah pak Ustadz bisa menikahkan? S: Oh… jadi maksudnya sepupunya Katolik dan ingin menikah dengan wanita Muslimah?  P: Iya benar.  S: Maaf. Agama Islam tidak membenarkan seorang wanita Muslimah menikah dengan pria non Muslim P: Oh ya? Kok diskriminatif begitu? S: Iya.. Maaf, Anda agamanya Katolik?  P: Iya benar.  S: Apakah Anda tidak tahu kalau agama Anda, Katolik, juga tidak membenarkan?  P: Saya kira tidak begitu.  S: Apakah Anda pernah mempelajari agama Anda?  P: Saya rajin ke gereja sih… S: Ke gereja ya ke gereja. Tapi pernahkah Anda belajar agama Anda secara serius?  P: Tidak sih.  S: Ya begitulah. Agama itu perlu dipelajari. Ilmu tentang keyakinan dan agama kita penting.  P: Oh begitu ya.  S: Untuk informasi saja, ternyata agama Anda tidak saja melarang perkawinan antara wanita Katolik dengan pria non Katolik. Tapi memang melarang seorang Katolik, pria maupun wanita, kawin dengan non Katolik. Apakah itu diskriminasi menurut Anda?  P: …. (Diam).  S: Karenanya kalau Anda menilai Islam diskriminatif karena melarang wanita Muslimah menikah dengan pria non Muslim, maka Katolik lebih diskriminatif. Tapi bagi kami itu bukan diskriminasi. Tapi memang itulah ajaran yang menjadi acuan hidup kami.  P: Maaf pak Imam!  S: Iya nggak apa. Saya hanya mau jelaskan bahwa sebuah aturan agama tidak harus dihakimi dengan penghakiman negatif. Tuduhan Diskriminasi misalnya. P: Tapi pak Imam. Apakah ada Imam yang bisa menikahkan?  S: Masalahnya bukan pada bisa atau tidak. Masalahnya ada pada hukum agama yang tidak membolehkan. Jadi saya kira tidak ada yang mau menikahkan karena itu melanggar aturan agama.  P: Oh begitu ya pak Imam.  S: Iya memang begitu.  P: Terima kasih pak Imam. S: Iya… Maaf kalau tidak bisa membantu ya.  Itulah percakapan telpon yang terjadi antara saya dan seorang penelpon siang itu. Semoga ada manfaat yang dapat kita ambil. Insya Allah!  NYC, 13 Februari 2022. (*)

Anies, Memilih Demokrasi Sejati atau Memenangkan Pilpres 2024?

Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Berdikari Sebagian besar begitu reaksioner terhadap tulisan \"Menakar Perkawinan Politik Anies dan Puan\". Sikap spontan yang apriori dan skeptis itu, menohok menampilkan penolakan Anies berpasangan dengan Puan dalam  pilpres 2024. Meski baru wacana dan upaya penjajakan, tampaknya menjadi penting dan prinsip untuk mengeksplorasi paradigma dan dinamika demokrasi pada umumnya dan pilpres 2024 khususnya. Terlebih agar tidak ada lagi ekspektasi yang berlebihan dan kekecewaan yang dalam seperti yang sudah-sudah. Betapa dalam demokrasi itu, politik ideal adalah satu hal, realitas politik adalah hal lain. Sebagaimana dirilis Kitabullah Al Quran, yang diturunkan ke bumi sebagai petunjuk dan pembeda dalam kehidupan manusia, begitu juga dalam ranah demokrasi utamanya soal politik. Pilpres dan pemilu lainnya tak luput juga dari apa yang disebut dualisme. Dalam demokrasi, keinginan dan kedaulatan rakyat sangat berbeda kenyataannya dengan kepentingan politik tertentu. Sroerti menegaskan betapa berjaraknya antara nilsi-nilai dengan tindakan. Rakyat dihadapkan pada hal-hal yang ideal dan realisme. Pun, umat Islam bisa memilih dan menentukannya dengan konsekuensinya masing-masing, mendorong  Anies menjalankan demokrasi, atau memenangkan pilpres 2024?. Sesungguhnya rakyat Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya, terlalu sering dihadapkan pada kekecewaan dan hampir frustasi saat menghadapi demokrasi yang dibangga-bangggakan dan dianutnya sendiri. Begitu besar ekspekstasi dan cita-citanya, namun hanya keprihatinan yang di dapat dari pemilu ke pemilu. Saban pemilu dan pilpres,  rakyat terutama umat Islam, berujung hanya menjadi sapi perahan dari pesta orang-orang berduit dan berkuasa. Mulai dari partai politik, anggota DPR-MPR, DPD, walikota-bupati, gubernur hingga presiden. Sejauh ini rakyat belum mendapatkan hasil yang terbaik dan memuaskan. Alih-alih memperjuangkan kebutuhan rakyat,  mewujudkan kemakmuran dan keadilan. Produk pemilu yang memiliki legalitas dan legitimasi rakyat itu, justru dipenuhi rekayasa kecurangan dan manipulasi. Selain melahirkan pemimpin yang tiran dan dzolim. Belajar dari pengalaman demokrasi kapitalistik yang sekuler dan liberal yang selama ini  diikuti rakyat. Seharusnya ada kesadaran refleksi dan evaluasi, betapa pemilu yang sarat transaksional dan materialistik itu tidak terus menerus menghianati kedaulatan rakyat. Rakyat menjadi sangat dibutuhkan saat menjelang pemilu. Usai itu hanya ada eksploitasi baik kekayaan alam maupun hak asasi manusia. Rakyat pada akhirnya menjadi korban  penindasan para pemimpin, politisi dan pejabat dari manipulasi pemilu yang di lahirkan dan dibiayai oleh rakyat juga. Semestinya juga ada kesadaran kritis dan perlawanan merubahnya, bahwasanya pilpres dan pemilu-pemilu lainnya telah dibajak oleh oligarki yang mewujud kepemilikan modal dan borjuasi korporasi. Ini bukan semata soal taktis dan strategi, ini juga bukan hanya sekedar esensi dan substansi demokrasi. Lebih dari itu, Anies dituntut untuk menciptakan keselarasan dan keharmonisan, antara kesadaran ideal spiritual dengan kesadaran rasional material. Akankah ada standar nilai yang menjadi landasan  dari sebuah proses dan hasil yang diperoleh. Demikian juga harapan dan keinginan rakyat luas, termasuk umat Islam terhadap figur Anies. Dengan segala persfektif dan sudut pandang yang beragam, dengan aneka obyektifitas dan subyektifitas pada pemimpin yang simpati  dan empati rakyat begitu mewabah luas. Akankah proyeksi politik Anies pada pilpres 2024 teraktualisasi, atau hanya sekedar obsesi?. Selain dalam cengkeraman oligarki, fenomena semua pilpres  juga memunculkan  betapa kepentingan global sangat dominan. Umat Islam seakan tak berdaya dan tak ada pilihan untuk sesungguhnya mewujudkan dan menikmati pilpres 2024  dari proses demokrasi yang sehat, termasuk memilih presiden idamannya.  Rakyat atau umat Islam, haruskah terus menerus larut dan terpaksa merasakan pemilu yang pilu. Memilih demokrasi yang semu atau memenangkan pilpres 2024 dengan segala kelenturan menyikapinya. Anies, sanggupkah mengedepankan moral untuk sejatinya menjadi pemimpin, atau tak lebih dari sekedar boneka kekuasaan oligarki, demi menduduki kursi nomor satu di republik ini. (*)

Hutahaean Memang Lemah

Oleh  M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan AKHIRNYA Ferdinand Hutahaean duduk juga sebagai pesakitan di ruang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Meski mengaku mualaf tetapi KTP Hutahaean masih mencantumkan agama Kristen. Status ini mendasari dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Ketika pegiat twitter ini tak berkutik, ia mencoba berlindung dengan status mualafnya, padahal yang tersinggung berat dan marah atas cuitannya adalah umat Islam.  Cuitan yang membuat keriuhan bahkan keonaran adalah \"Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa,  maha segalanya, Dialah pembela ku selalu. Allahku tak perlu dibela\". Pasal 1 UU No 1 tahun 1946, Pasal 45 A UU ITE, dan Pasal 156 a KUHP telah siap untuk menerkam pegiat medsos eks aktivis Partai Demokrat ini.  Ternyata Allah tidak lemah. Ferdinand lah yang lemah. \"Allahmu ternyata lemah\" katanya,  tapi bukan menohok umat Islam, lalu kepada siapa ? Menjadi makan buah simalakama baginya. \"Allahmu ternyata lemah\" bisa menyinggung umat Kristen juga. Meskipun demikian sudah tepat JPU tetap berpegang pada KTP bahwa Hutahaean adalah Kristen.  Ketika warganet ramai mereaksi cuitannya, maka Ferdinand menghapusnya \"saya hapus biar ga brisik org sprt lu. Ngga diapa2in tapi merasa diapa2in wkwkwk\". Akan tetapi bagi Jaksa Penuntut Umum \"wkwkwk\" itu menjadi bukti kesengajaan ejekan yang dapat menimbulkan keonaran. Memang Hutahaean harus serius bersiap-siap untuk menghuni jeruji besi..wkwkwk.  Meski ia beralasan bahwa cuitannya didasari pada kegamangan pada dirinya sendiri, namun dengan menyudutkan Allah dan dipublikasikan adalah salah besar. Hutahaean memancing \"huru-hara\". Allah ternyata tidak lemah, justru Hutahaean yang kini \"terkulai lemah\". Allah tidak perlu dibela, Hutahaean yang butuh pembela di persidangan..wkwkwk.  Bagi umat dan rakyat Indonesia tidak penting  Hutahaean mau Kristen atau Islam. Rasanya tidak berguna sosok Ferdinand Hutahaean yang gemar nyinyir, berbaju buzzer dan cuat cuit tak bermutu. Kecuali berubah total untuk menjadi orang yang baik dan rendah hati. Faktanya Hutahaean yang biasa menyakiti kini sedang sakit sebagai pesakitan.  Pengadilan hanya ruang sempit untuk mengadili diri, ruang lebar itu ada pada keluasan jiwa sendiri untuk mau belajar membersihkan hati. Bukan pura-pura belajar untuk kemudian lebih pandai menipu kembali.  Selamat menikmati perjalanan mendaki. Anda telah membuat onar dan menista agama.  Tidak penting Muslim atau Kristen. (*)

Pesan Inspirasif Revolusi Mental Kiai Haedar

Tidaklah berlebihan harapan Haidar agar peningkatan kerja sama bilateral Indonesia-Iran maupun Iran-umat Islam Indonesia. Mengapa? Banyakgains (keuntungan)  yang bisa didapat Indonesia maupun umat Islam Indonesia. Oleh: Anwar Hudijono, Tenaga Ahli Gerakan Nasional Revolusi Mental (GRNM) Kemenko PMK “HARAPAN kami Iran akan menjadi kekuatan bersama seluruh negara Islam sebagai representasi dari Islam yang membawa kemajuan peradaban dunia sekaligus menjadi sampel atau uswah hasanah dari peradaban Islam dunia.  “Yang terakhir, kami harapkan khusus dengan Indonesia dan Muhammadiyah, Republik Islam Iran terus meningkatkan kerja sama, baik kerja sama bilateral maupun kerja sama dengan masyarakat Islam indonesia, khususnya dalam dunia pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia.” Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah KH Prof Dr Haedar Nashir menyampaikan hal di atas pada saat mengucapkan selamat Hari Kebangsaan Republik Islam Iran ke-43 pada 11 Februari 2022. Pada arah ke luar (outward), pesan Haedar ini meneguhkan jalinan hubungan yang baik antara Muhammadiyah dengan Iran. Nisbah (titik temu) hubungan Iran-Muhammadiyah adalah pada asas Islam yang berkemajuan. Nisbah inilah yang membuat keduanya tidak pernah terlibat polemik khilafiyah. Sangat sadar polemik khilafiyah dengan topik-topik yang sudah berumur lebih seribu tahun, diulang-ulang sampai mblenger, hanya menguras energi. Membuat Islam menjadi jumud  atau mandek. Islam yang jumud itu ibarat naik dermolen. Bergerak memang tetapi hanya di tempat. Dan yang suka naik dermolen itu biasanya anak-anak. Maka yang hobi polemik khilafiyah itu yang pada dasarnya berada di alam pikiran kanak-kanak meski secara fisik sudah jenggot-jenggotan. Ke arah dalam (inward) Indonesia, khususnya Muhammadiyah, pesan Kiai Haedar ini memberi inspirasi revolusi mental. Membangun kesadaran eksistensial umat Islam Indonesia sebagai bagian dari Islam dunia. Dituntut untuk bisa memberikan konstribusi signifikan terhadap kemajuan pembangunan peradaban dunia yang dirasai, dijiwai, dipandu oleh nilai-nilai Islam.  Pada kesadaran sebagai bagian warga Islam dunia iniah titik lemah umat Islam Indonesia. Adapun dua kesadaran lain yaitu sebagai warga kota dan warga negara, boleh dibilang sudah ciamik alias bagus. Untuk bisa memberikan warna dalam pembangunan kemajuan peradaban dunia dan uswah (contoh) peradaban Islam dunia, tidak bisa sendirian betapapun jumlah umat Islam Indonesia yang merupakan terbesar di dunia.  Kerja sama, sinergi, kolaborasi dengan kelompok-kelompok umat Islam lain di dunia adalah tuntutan perkembangan dunia. Keniscayaan. Kerja sama antar umat Islam itu digambarkan oleh Al Quran surah Shaf ayat ayat 4. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yangg teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” Ayat ini tidak serta merta hanya dipahami tekstual dalam urusan perang. Tetapi secara kontekstual adalah dalam pelbagai aspek kehidupan. Misalnya yang dicontohkan Kiai Haedar, yaitu di bidang pendidikan dan sumber daya manusia. Sektarianisme Dua bidang ini bukan hanya karena memang lahan perjuangan Muhammadiyah, tetapi sejalan dengan lahan revolusi mental. Bukankah revolusi mental itu salah satu arahnya membangun sumber daya manusia unggul level dunia. Tidaklah berlebihan harapan Haidar agar peningkatan kerja sama bilateral Indonesia-Iran maupun Iran-umat Islam Indonesia. Mengapa? Banyak gains (keuntungan)  yang bisa didapat Indonesia maupun umat Islam Indonesia. Iran merupakan negara Islam yang mencatat sangat maju dalam banyak bidang, khususnya sains, teknologi dan pendidikan meski di tengah cekikan maksimal sanksi Amerika. Iran sangat terbuka terhadap umat Islam lain dengan menanggalkan sektarianisme. Padadal sektarianisme inilah biang utama pernyerpih-serpihan umat Islam. Sampai-sampai ulama besar Universitas Al Azhar Mesir Syekh Thantawi yang nota bene-nya dari mazbah Suni menegaskan, “Kemajuan ilmiah yang telah dicapai Republik Islam Iran merupakan kemajuan dunia Islam dan kebanggaan bagi seluruh umat Islam.” Kerja sama khususnya dalam bidang pendidikan, sains, teknologi dan sumber daya manusia umat Islam Indonesia dengan Iran sangat membuka peluang melahirkan manusia dengan teknologi unggul yang dirahmati Allah. Teknologi yang membawa kepada kemaslahatan, kebaikan,  kemakmuran, memuliakan manusia. Bukan teknologi yang membawa kemadlaratan, kerusakan, penjajahan, ekploitasi manusia dan alam. Dalam eskatologi Islam, pada akhir jaman akan terjadi kompetisi antara teknologi yang dijiwai fasad (merusak) dengan teknologi yang dijiwai rahmat. Kompetisi itu diisyaratkan dalam Quran surah Shad 38-40. Rasulullah Sulaiman menggelar kompetisi memindahkan istana Ratu Balqis. Dari golongan fasad diwakili jin Ifrit, merupakan jin terkuat. Dari kalangan manusia beriman diwakili orang yang memiliki ilmi dari kitab. Dalam kompetisi orang beriman yang unggul. Mudah-mudahan pada kompetisi sains-teknologi di akhir jaman, salah satu yang unggul adalah ilmuwan beriman dari Indonesia. Rabbi a’lam. (*)

Polda Sulut Ungkap Kasus Korupsi Hibah Air Minum Senilai Rp14 Miliar

Manado, FNN - Polda Sulut ungkap kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam Kegiatan Program Hibah Air Minum Kota Bitung bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) Tahun Anggaran (TA) 2017 dan 2018 dengan kerugian negara Rp14 miliar.“Modusnya, tersangka membuat keterangan berupa surat-surat dan rekening fiktif untuk dapat memenuhi kelengkapan persyaratan administrasi sebagai penerima Dana Hibah Air Minum dari Pemerintah Pusat,” kata Kabid Humas Polda Sulut Kombes Pol Jules Abraham Abast, saat memberi keterangan pers di Manado, Selasa (15/2).​​​​​​Kabid Humas Jules Abast didampingi Dirreskrimsus Polda Sulut Kombes Pol Nasriadi dan Kasubdit Tipikor AKBP Iwan Permadi menjelaskan, pengungkapan dan penanganan kasus tersebut berdasarkan Laporan Polisi yang diterima Polda Sulut, pada tanggal 19 April 2021.Dengan TKP di lingkungan PDAM Duasudara Kota Bitung, sekitar tahun 2017 dan 2018. Abast mengatakan, kejadian berawal ketika pada TA 2016 Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR RI mengundang Pemerintah Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia yang bersedia mengikuti Program Hibah Air Minum, dan salah satu Pemerintah Daerah yang bersedia adalah Pemerintah Kota Bitung.“Kemudian Pemerintah Daerah yang bersedia mengikuti program dimaksud, diwajibkan membawa data yang diminta atau persyaratan ke Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR RI, sehingga Pemerintah Kota Bitung melalui Direktur PDAM Duasudara Kota Bitung membuat surat pernyataan bahwa PDAM Duasudara Kota Bitung memiliki idle capacity sebesar 50 liter per detik, yang mana surat pernyataan tersebut merupakan salah satu syarat paling mendasar sehingga dapat mengikuti Program Hibah Air Minum yang diberikan oleh Pemerintah Pusat (Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR RI).\"Namun setelah dilakukan pemeriksaan oleh Ahli Pengairan dari Politeknik Negeri Manado, ternyata pihak PDAM Duasudara Kota Bitung tidak memiliki idle capacity,” katanya.Ia mengatakan kemudian pihak PDAM Duasudara Kota Bitung mencetak semua rekening pembayaran pelanggan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan, karena pelanggan yang namanya tertera pada rekening pembayaran pelanggan merasa tidak pernah membayar pemakaian air minum, dikarenakan air minum dimaksud tidak pernah mengalir/dialirkan.“Pihak PDAM Duasudara Kota Bitung mengirimkan bukti rekening pembayaran pelanggan dimaksud ke pihak Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR RI, yang mana rekening pelanggan tersebut merupakan salah satu syarat, sehingga dana hibah dari Pemerintah Pusat terkait Program Hibah Air Minum dapat ditransfer dari Pemerintah Pusat (Kementerian Keuangan RI) ke Pemerintah Kota Bitung,” katanya.  Sejak awal kegiatan Program Hibah Air Minum, lanjut Abast, jika pihak PDAM Duasudara Kota Bitung tidak memberikan data atau persyaratan yang sebenarnya, maka sudah tentu dana hibah dari Pemerintah Pusat (Kementerian Keuangan RI) tidak semestinya diterima oleh Pemerintah Kota Bitung.Namun tetap dihibahkan karena pihak PDAM Duasudara Kota Bitung telah mengirim seluruh persyaratan yang diminta.“Dan atas perbuatan dimaksud, pihak BPKP RI Perwakilan Sulut melakukan audit investigasi atas permintaan penyidik. Dan atas perbuatan dimaksud pihak BPKP RI Perwakilan Sulut berkesimpulan bahwa, diduga telah terjadi perbuatan melawan hukum dan mengakibatkan kerugian keuangan negara senilai Rp14 miliar sehingga perbuatan dimaksud layak dilakukan proses penyidikan,” kata Abast.Dalam penanganan kasus tersebut, Penyidik Ditreskrimsus Polda Sulut juga telah menyita sejumlah barang bukti yaitu, dokumen berupa fotokopi surat-surat yang merupakan kelengkapan administrasi sehubungan dengan Program Hibah Air Minum.“Kemudian setelah melakukan serangkaian proses penyidikan kepada para terlapor dan saksi, Penyidik Ditreskrimsus Polda Sulut selanjutnya menetapkan tersangka dugaan tindak pidana korupsi ini yaitu, seorang pria berinisial RL (49), pekerjaan karyawan BUMD, warga Madidir, Bitung,” katanya.Terkait kasus dugaan korupsi tersebut, tersangka dikenakan pasal 2 dan/ atau 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke 1-e KUHP.\"Ancaman hukumannya pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan/ atau denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar,” kata Abast.  Sementara itu Dirreskrimsus Polda Sulut Kombes Pol Nasriadi menambahkan, tidak menutup kemungkinan kasus ini juga akan menyeret tersangka lain.“Yang bersangkutan (RL) tidak berdiri sendiri. Tetapi ada tersangka-tersangka lain yang berhubungan dengan perkara ini, contohnya dalam hal ini dari pihak yang memberikan penelitian tentang idle capacity, yang seharusnya tidak mampu 50 liter per detik akhirnya dibuat seakan-akan ada,” kata Nasriadi.Ia mengatakan akan berkembang proses penyidikan ini dengan tersangka-tersangka yang lain, artinya, tersangka yang sudah diamankan satu orang ini nanti akan dikembangkan dengan tersangka-tersangka orang yang melakukan, yang membantu melakukan, dan sebagainya.“Karena kasus korupsi itu tidak mungkin tersangkanya tunggal, pasti ada hal-hal yang ain yang membantu memperlancar korupsi itu dan tersangka lain yang membantu terjadinya korupsi itu, dan kasus ini masih akan berkembang,” kata Nasriadi. (sws)

Pemerintah Kabupaten Kupang Bertekad Raih Opini WTP

Kupang, FNN - Pemerintah Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur bertekad meraih opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan RI Perwakilan NTT pada 2022.\"Kami akan berupaya meningkatkan kualitas laporan keuangan Pemerintah daerah dalam mencapai WTP TA 2022,\" kata Bupati Korinus Masneno di Oelamasi, Selasa (15/2).Penegasan itu disampaikan Bupati Korinus Masneno dalam rapat bersama Kepala Badan Keuangan Daerah Propinsi NTT serta Tim Anggaran Pemerintah Daerah Kabupaten Kupang.\"Penilaian opini WTP sesungguhnya merupakan mimpi yang belum pernah dicapai Kabupaten Kupang. Waktu lalu, tim BPK sudah mengeluhkan soal aset di Kabupaten Kupang, namun sudah diberikan solusi dari tim BPK agar bisa diselesaikan bersama,\" kata Bupati Korinus MasnenoBupati Korinus Masneno mengatakan persoalan aset yang belum beres menjadi kendala bagi daerah itu dalam meraih opini WTP setiap tahun hanya bisa pada tahap Wajar Dengan Pengecualian (WDP).Bupati Kupang berharap kedatangan tim dari Badan Keuangan Provinsi NTT bisa memberikan solusi dalam menyelesaikan masalah terkait aset pemerintah.Sementara itu Kepala Badan Keuangan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur, Zakharias Moruk menegaskan kehadiran tim Badan keuangan Setda NTT dalam rangka target kinerja, karena ditargetkan pada 2022 seluruh kabupaten di Provinsi berbasis kepulauan ini harus bisa meraih opini WTP termasuk Kabupaten Kupang.\"Apa yang disampaikan Bupati Kupang karena persoalan aset sehingga daerah ini belum bisa menuju opini WTP, sehingga persoalan aset harus menjadi fokus utama untuk segera diselasikan,\"tegasnya.Zakharias Moruk menuturkan agar TAPD di Kabupaten Kupang bisa bersama-sama tim badan keuangan Setda TT untuk mendukung dalam mencari solusi permasalahan ini.Ia berharap semua persoalan data-data aset harus dikomunikasikan dengan tim aset dan BPK untuk dicarikan solusi dalam menyelesaikan persoalan aset.Zakharias Moruk menegaskan, pemerintah Provinsi NTT bekerja sama dengan Kejati mengenai seluruh aset bergerak seperti kendaraan dinas para pensiunan atau pejabat ditarik kembali dan dilelang secara terbuka.Hal seperti itu menurut Zakharias Moruk perlu dilakukan di Kabupaten Kupang bersama dengan Kejaksaan Negeri.Zakharias Moruk optimis Kabupaten Kupang mampu keluar dari Wajar Dengan Pengecualian.\"Kita akan membedah permasalahan mana yang belum disepakati BPK. mohon dukungan dan kerja sama semua pihak yang terkait sehingga persoalan aset ini bisa terselesaikan dengan baik,\" tegasnya. (sws)

Menakar Perkawinan Politik Anies dan Puan

Bukankah ekstraksi politik itu, bagaimana mengelola kepentingan untuk mencapai tujuan? Begitupun dengan upaya menyandingkan Anies dan Puan. Anies Baswedan memiliki kekuatan kultural yang direpresentasikan bukan hanya sekedar dari animo dan antusias semata, juga oleh euforia psikopolitik rakyat terhadap figurnya. Sementara Puan Maharani, tak bisa dipungkiri diusung kekuatan struktural yang bukan sekedar partai politik melainkan pada keyakinan ideologi, kader dan basis massa. Oleh: Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Berdikari KEMUNGKINAN menjodohkan Anies dengan Puan, merupakan pilihan politik yang sekilas tidak  populer. Kasat mata cenderung melahirkan resistensi baik dari kalangan anasir lawan politik praktis maupun pada kedua kubu pendukungnya. Dalam persfektif ideal, figur keduanya mempunyai aspek-aspek kepribadian bercorak differensial, seperti resan minyak ke minyak resan air ke air. Keduanya relatif berbeda baik secara behavior maupun irisan politiknya.  Akan tetapi, bagaimanapun disparitas yang muncul terkait figur Anies dan Puan, terlepas kelebihan dan kelemahan dua pemimpin muda politik itu, secara esensi dan substansi, kekuatan yang menyokong Anies dan Puan tak bisa menghindar dari kebutuhan politik yang realistis dan rasional. Selain elaborasi kepentingan dan akomodasi pragmatis entitas politik lain tentunya, lingkaran Anies dan Puan sama-sama dituntut untuk berjalan sesuai \'on the  track\' dan meraih tujuan, atau asyik berpetualang dan berselancar dengan dinamika politik yang \'absurd\'. Mekanisme formal dalam UU Pemilu dan Pilpres, membuka ruang bagi PDIP dan siapapun yang akan mengusung dan menjadi partisipan dukungan capres Anies, berpotensi untuk menjajaki pasangan Anies-Puan mengikuti kontestasi Pilpres 2024. Secara normatif, PDIP yang kuat dan aman dalam ranah konstitusional termasuk kemungkinan lolos electoral treshold dan presidential treshold. Proyeksi ke depan memungkinkan PDIP menjadi salah satu pemain kunci yang menentukan pusaran dan konstelasi Pilpres 2024, jika mau menggandengkan Anies dan Puan. Seandainya saja pasangan Anies-Puan telah menjadi kesepakatan politik dan ditawarkan ke publik, besar kemungkinan resonansi dan polarisasi dukungan akan meluas mencapai relasi dan sinergi dengan partai politik, organisasi massa dan keagamaan serta komponen pendulang suara lainnya. PDIP relatif tak akan menghadapi kendala berarti untuk menggalang partai politik berakar nasionalis untuk menopang Anies-Puan. Demikian juga Anies, yang sejak awal mendapat simpati dan empati umat Islam, berpeluang meraup dukungan dari partai politik berlandaskan Islam.  Mahligai pasangan politik Anies dan Puan pada akhirnya tidak hanya menjadi perkawinan politik taktis strategis menghadapi Pilpres 2024, kedua sejoli politik itu berpotensi mengembalikan roh dan jiwa nasionalisme religius yang sejauh ini mengalami porak-poranda dalam penyelenggaraan negara. Ada kebutuhan yang urgen menyangkut bangunan spiritual kebangsaan yang telah rusak akibat dominannya politik kekuasaan ansih. Bagaimana negara berdaulai dalam bidang politik, memiliki kemandirian dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, akan menjadi tantangan sekaligus keniscayaan tersendiri bagi pasangan Anies dan Puan saat memimpin NKRI nantinya. Terlebih realitas negeri kekinian, dalam cengkeraman kuku-kuku tajam dan cakar oligarki.  Memang terlalu sederhana dan terkesan naif membahas kohesi politik Anies dan Puan, untuk dijadikan sebagai titik tolak dan poros perubahan bangsa menjadi lebih baik. Mengingat begitu kuatnya kapitalisme global yang mengusung liberalisasi dan sekulerisasi ke hampir semua sendi kehidupan rakyat, negara dan bangsa. Situasi dan kondisi rakyat terlanjur dalam terpuruk, menghirup udara kapitalisme global yang masif. Rakyat Indonesia menjadi begitu gandrung mencintai materi dan kebendaan lainnya, mengikuti jejak langkah para pemimpin, pejabat dan tokoh-tokoh sosial dan keagamaan yang sangat mencintai dunia dan kekuasaan. Anies dan Puan sekonyong-konyong harus merubah dari awal dan seperti baru, ketika ingin melakukan perubahan Indonesia menjadi jauh lebih baik. Terutama ketika distorsi penyelenggaraan negara oleh oligarki, telah menyebabkan luka yang dalam  dan kerusakan fatal pada kehidupan kebangsaan yang tak mudah diperbaiki. Pada akhirnya terbesit harapan rakyat Indonesia, bahwasanya perkawinan politik Anies dan Puan tidak saja sebagai upaya membangun keluarga yang \"Sakinah mawadah warahmah\" bagi bangunan rumah tangga politik keduanya, lebih dari itu menjadi kebutuhan yang prinsip akan hadirnya implementasi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang diselimuti negeri yang \"Baldatun thoyyibatun warobbun ghafur\". Tidak sekedar mewariskan darah kepahlawanan dari sang kakek AR Baswedan, begitupun dengan trah Soekarno dan ayahnya Taufiq Kiemas yang bijak dan seorang begawan politik. \"Chemistry\" pasangan politik Anies dan Puan merupakan keniscayaaan yang bukan mustahil menjadi babak awal bagi budaya baru politik Indonesia. Menjejaki kontestasi pilpres 2024 yang sebentar lagi dihelat, meminjam istilah orang Maluku dan Indonesia Timur lainnya, Anies-Puan itu \"seng ada lawan\". Semoga. (*)

Pers Nasional Masih Punya Masa Depan Jika Segera Menyesuaikan Diri

Kasus mutakhir peristiwa Wadas. Setengah  mati pemerintah melalui sebagian pers menyangkal tragedi kemanusiaan itu. Percuma. Fakta peristiwanya telanjang membuktikan memang begitu. Melalui media sosial, video aksi kekerasan aparat di Wadas menjadi konsumsi publik. Percuma polisi membantah. Catatan Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. ADA lima poin yang cukup menjelaskan mengapa program migrasi televisi (TV) dari analog ke digital tidak akan menjadi isu seksi bagi rakyat. Jika boleh saya katakan,  tidak punya korelasi kuat dengan produk jurnalistik. Pers Nasional masih punya masa depan jika segera berubah, segera menyesuaikan diri dengan  kaidah- kaidah baru media digital. Mayoritas warga net sudah lama beradaptasi dengan kehidupan digital dan global. Pertama, sepuluh tahun tahun lalu,  saat pemerintah menetapkan migrasi televisi (TV) analog ke digital,  smartphone belum lahir. Waktu itu, kita pun membayangkan proyek nasional itu berat. Berat bagi tenaga kreatif dan awak newsroom. Ibarat lompatan jauh dari kultur layar tancap ke kelas bioskop sinepleks 21.  Cacat-cacat teknis yang bisa dimaklumi di medium layar tancap akan menjadi masalah besar dan serius di mata sebagian besar masyarakat  yang sudah terbiasa  menonton di bioskop sineplek 21. Atau mengikuti berita dari siaran TV global yang sudah mudah diakses masa itu. Sound yang cempreng dan gambar yang bintik- bintik   akan menjadi kendala besar bagi penonton menyesuaikan diri dengan tontonan sekelas layar tancap.  Kedua, perkembangan teknologi informasi yang pesat 10 tahun terakhir, yang produknya antara lain, smartphone, mengantarkan masyarakat lebih cepat familiar dengan teknologi digital sebelum pemerintah memutuskan migrasi TV tahun ini. Terjadi saat masyarakat telah menemukan kembali kedaulatannya bebas memilih program hiburan maupun berita. Rakyat yang berdaulat  (lewat) jari-jari tangannya cepat menemukan program-program yang dia butuhkan dan sukai. Dalam konteks program news atau berita, mereka mau yang isinya \" daging\" semua,  sesuai fakta  peristiwa yang disajikan secara akurat, berimbang dan obyektif. Itu substansinya. Sedangkan saluran digital berubah posisi. Hanya saja, kemasan lebih bersifat teknis yang aroma bisnisnya tidak bisa dielakkan. Menurut rekan Apni Jaya Putra, sahabat saya yang pakar televisi, migrasi TV digital bakal menciptakan infrastruktur internet yang akan semakin baik karena akan ada digital dividend. Katanya, itu perlu  peran serta pers dalam melaksakan fungsi kontrol sosial. Kembali ke netizen. Perkembangan selanjutnya, tidak hanya mengkonsumsi, warga net pun memproduksi  informasi yang melalui risetnya, disukai rakyat luas dengan memanfatkan momentum masyarakat yang mulai membelakangi layar kaca. Mereka sering menangkap basah ada pemilintiran substansi berita. Wartawan malas atau kurang waktu mengidentifikasi duduk perkara suatu peristiwa sebelum menyiarkan suatu berita. Mereka hanya asyik meliput sumber bicara menghabiskan durasi. Lewat gadgetnya, warga net 24 jam berselancar di dunia maya. Sekalian meninggalkan kultur menonton televisi. Yaitu menonton TV bersama-sama di satu tempat dan waktu tertentu yang diatur bagian programming. Secara kualitatif terhadap produk pers, sekali lagi mereka fokus  pada substansi. Selamat tinggal talkshow yang sumbernya itu- itu saja. Yang selalu bertengkar dan membuat gaduh,  bahkan urusan remeh-temeh. Ada yang menyadari pertengkaran malah menjadi selling point bagi satu media untuk mengejar rating. Maka, yang tampil pun yang kuat bertengkar saja. Kuat mencaci. Atau saling caci. Ini jelas mengabaikan etika pers dan karena abai memperhatikan kompetensi sumber berita. Belakangan berita kriminal perkotaan yang menjadi domain Harian Pos Kota zaman dulu, kini jadi menu TV sehari-hari. Menghabiskan durasi berjam-jam. Kita tahu itu maksudnya membidik segmen penonton masyarakat bawah yang masih setia menonton TV. Supaya ditonton sekeluarga, berita kriminal seperti itu disajikan dalam siaran digital pun sulit dipakai mengajak segmentasi masyarakat  menengah supaya berpaling. Artinya, program TV digital tidak terlalu penting. Yang penting ketika berbicara masa depan pers adalah hasil kerja wartawan yang sepenuhnya mematuhi kode etik jurnalistik. Yaitu berita akurat, obyektif berimbang, jujur dan terpercaya. Itu mahkota pers yang masyarakat  selalu tagih dari wartawan platform apa pun. Ketiga, data terakhir, 200 juta orang Indonesia telah terhubung dengan internet (secara global 4.46 M). Itu mengkonfirmasi telah terjadi disrupsi, goyahnya posisi media televisi. Secara kuantitatif, jumlah pengguna internet di Tanah Air saja lebih banyak dari pemilih Pemilu 2019. Atau lebih kurang  80 persen penduduk Indonesia. Jauh di atas 60 juta  pemirsa   yang diperebutkan media-media televisi konvensional lokal maupun nasional. Fenomena di media sosial semakin menggairahkan setelah melahirkan miliuner-miliuner, seperti Deddy Corbouzier, Raffi Ahmad, Atta Halilintar, Ria Richis, Baim Wong, yang jika diakumulasi subscriber mereka total menguasai hampir 100 juta pengguna internet. Melebihi akumulasi jumlah gabungan penonton seluruh  stasiun televisi dan pembaca media cetak maupun online. Meskipun perolehan kue iklan Rp 168 triliun masih didominasi televisi,  fenomena media sosial itu jelas merupakan ancaman serius yang menuntut perubahan mendasar insan pers dan televisi. Saya sudah berkali-kali dalam tulisan mengingatkan kawan wartawan segera berubah, berbenah, mengkaji ulang politik pemberitaannya, gencar berinovasi, kalau tidak mau tinggal nama. Keempat, fenomena medsos telah menjadi isu nasional dunia pers Indonesia hari- hari ini. Sudah tiga kali momen Hari Pers Nasional membahas itu secara serius. Informasi produk netizen yang  mendominasi ruang publik, menjadi sumber  ancaman bagi keberlangsungan  pers dan industrinya. Juga dianggap mengganggu kelangsungan penyelenggaraan negara. Pada Hari Pers Nasional di Kendari, 9 Februari 2022, pemerintah dan pers, resmi berkolaborasi kembali setelah reformasi.  Pertemuan antara media pers yang tergerus audiensnya pembaca/pendengarnya dengan pemerintah yang merasa kewibawaannya dirongrong warga net, seperti pertemuan mangkok dan tutupnya yang lama terpisah. Akan tetapi, kolaborasi itu berpotensi mengabaikan pagar api yang mutlak ditegakkan institusi pers. Seakan lupa sumber hukum wartawan adalah Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang sejak reformasi telah menutup akses campur tangan dari pihak pemerintah.  Tidak ada makan siang gratis. Sebagian wartawan masih trauma praktik penguasa di masa Orde Lama dan Orde Baru. Pengalaman puluhan tahun dikooptasi penguasa masih membekas. Media sosial bukan tanpa cela. Banyak produk mereka yang berbahaya. Masih banyak netizen yang tidak memahami etika berkomunikasi di ruang publik. Masih banyak informasi didasari kebencian. Paling mengerikan,   kalau netizen bekerja mendapatkan nafkah dari konten yang memecah-belah bangsa. Saya hanya hormat pada warganet yang murni melakukan kontrol dengan cara militan dan jujur.  Saya membayangkan itu akan menjadi kekuatan pers alternatif di masa depan. Sekarang memang masih bergerilya  di bawah tanah, menerima risiko sumpah serapah, padahal keberadaan mereka diakomodasi dalam UU Pers. Buka Pasal 17 yang mengatur Peran Serta Masyarakat. Mereka (netizen itu) mempunyai jaringan luas  membuat semua dinding punya mata dan telinga. Itu yang paling berharga di alam demokrasi, meski itulah yang sering dinilai oleh penguasa sebagai merongrong kewibawaan pemerintah.  Memang celaka jika  warga net memergoki pemimpin yang tidak satu kata dengan perbuatan. Kelima, fakta-fakta empirik itu menurut saya menjadi salah satu alasan masyarakat berpaling dari media mainstream  ke produk netizen di media sosial. Skandal penyalahgunaan kekuasaan, perampokan uang negara, praktik mafia hukum,  yang relatif sensitif  dan sering tidak disentuh oleh media mainstream, diangkat oleh netizen. Pers media mainstream baru menyusul meramaikan setelah isu menjadi trending topic. Kasus mutakhir peristiwa Wadas, Jawa Tengah. Setengah  mati pemerintah melalui sebagian pers menyangkal tragedi kemanusiaan itu.  Percuma. Fakta peristiwanya telanjang membuktikan memang begitu. Melalui media sosial, video aksi kekerasan aparat di Wadas menjadi konsumsi publik. Percuma polisi membantah. Secara audio visual  polisi yang menangkap warga yang tanahnya mau diambil paksa. Terbukti, esoknya dilepas sendiri setelah berbagai elemen masyarakat memprotes keras. Sebagai gongnya, permintaan maaf berulang-ulang Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Kabar terbaru kini  ada kegiatan bakti sosial bagi-bagi sembako bagi penduduk di desa itu. Untung Ganjar Pranowo pemain medsos, sehingga tahu karakter warga net. Apalagi sebagai kandidat Presiden 2024. Ganjar tahu persis, tabu  jika pemimpin tertangkap tangan netizen berbohong.  Lima point di atas saya kira cukup menjelaskan mengapa program migrasi tv dari analog ke digital sekarang tidak akan menjadi isu seksi bagi masyarakat. Jika boleh saya katakan, tidak punya korelasi kuat dengan produk jurnalistik. Pers Nasional masih punya masa depan jika segera berubah, segera menyesuaikan diri dengan  kaidah- kaidah baru media digital. Mayoritas warga net sudah lama beradaptasi dengan kehidupan digital dan global. Ingat 200 juta pengguna internet, (bisa dibaca) sebanyak itu sudah menikmati pergaulan secara global. Menonton dan menyimak sebuah peristiwa secara real time dari tempat kejadian perkara sebelum disiarkan oleh media mainstream. Jangan pernah mengulang reportase liputan live \"teroris\" di Mabes Polri tempo hari. Narasi yang dramatis dan menggebu-gebu hanya jadi cemoohan dan cibiran pemirsa. Narasi melaporkan peristiwa  penyerbuan teroris di markas polisi, tetapi gambarnya tidak mendukung. Yang tampak hanya ada satu perempuan di sana dalam posisi tidak berbahaya seperti disebut dalam narasi wartawan. Kita yang  mengikuti reportase peristiwa itu secara live, merasa wartawan melecehkan nalar publik. Padahal, reportase  itu diambil dari kamera petugas Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Humas Mabes Polri) yang di-relay oleh TVNews. Dan, petugas menembak tewas terduga pelaku yang posisinya tidak membahayakan aparat. Peristiwa tersebut membuat  Kepala Kepolisian RI (Kapolri) malu. Sejak hari  itu, ia melarang anak buahnya menyiarkan secara live operasi penangkapan. Berbagai peristiwa besar yang disiarkan media mainstream  selalu memicu kecurigaan berbau \"intervensi\" terselubung  otoritas di news room. Logikanya sederhana. Sebanyak 90 persen pemilik media di Tanah Air adalah politisi atau pengusaha yang menjadi bagian dari oligarki dalam pemerintahan. Sudah \"bersepupu\" dengan penguasa. Pers mainstream rasanya sulit di masa depan jika prinsip kerjanya masih seperti itu.  Walaupun dengan saluran super digital.   Disampaikan dalam acara Webinar Migrasi Siaran TV Digital Menuju Pers Masa Depan, Senin,  14 Februari 2022.    

Herry Wirawan Pemerkosa 13 Santriwati Dihukum Penjara Seumur Hidup

Bandung, FNN - Terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwati, Herry Wirawan, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Selasa, 15 Februari 2022. Majelis hakim berpendapat tidak ada unsur yang dapat meringankan hukuman bagi Herry Wirawan atas apa yang dilakukannya serta dampak yang timbul dan dialami oleh para anak korban. \"Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara seumur hidup,\" kata Ketua Majelis Hakim Yohannes Purnomo Suryo di PN Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa, sebagaimana dikutip dari Antara. Herry mendengarkan secara langsung putusan tersebut di hadapan majelis hakim. Di ruang persidangan Herry melepas rompi tahanan dan memakai kemeja berwarna putih. Herry dinyatakan bersalah karena telah melakukan pemerkosaan terhadap 13 santriwati hingga di antaranya mengalami kehamilan dan melahirkan. Hakim pun berpendapat yang sama dengan jaksa bahwa perbuatan Herry itu merupakan kejahatan yang sangat serius. Herry dinyatakan oleh hakim bersalah sesuai Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama. Adapun sebelumnya Herry dituntut hukuman mati oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Namun dengan berbagai pertimbangan hakim, Herry divonis hukuman seumur hidup. Hakim menilai dengan hukuman itu, Herry dan para korban tidak akan bertemu kembali dan mencegah timbulnya trauma dari para korban. (MD).