OPINI

DPR Tukang Stempel

By M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan Di masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, kedudukan DPR boleh dikatakan lemah. Praktis DPR hanya mengikuti kemauan eksekutif. Predikatnya adalah tukang bubuh cap stempel atas berbagai usulan Pemerintah. Dua partai politik dan satu golongan karya tidak sulit untuk dikendalikan.  Posisi politik DPR di bawah Pemerintahan Jokowi ternyata sama saja. Meski partai politik lebih dari tiga tetap saja terkooptasi oleh eksekutif melalui pola koalisi. Diawali sejak adanya koalisi partai politik untuk dukungan Capres. Setelah terpilih maka ketergantungan partai koalisi kepada Presiden menjadi sangat besar. Transaksi bergeser menjadi aneksasi.  RUU penting yang diajukan oleh Pemerintah tanpa ada perlawanan berarti cepat mendapat persetujuan DPR. Begitu juga dengan Perppu yang praktis tidak ada satupun ditolak, artinya Sidang Paripurna DPR menyetujui Perppu menjadi Undang-Undang.  Perppu Ormas sebagai dasar pembubaran HTI diketuk mudah DPR jadi UU, begitu pula Perppu kebiri, Perppu pimpinan KPK, Perppu informasi akses keuangan, dan Perppu dana pandemi. Yang terakhir ini dikoreksi oleh MK. Perppu tanpa \"genting dan memaksa\"  distempel enteng oleh DPR.  Di tingkat RUU ajuan Pemerintah menjadi UU juga tanpa perdebatan alot apalagi sampai ada \"walk out\" di DPR padahal bagi publik RUU itu kontroversial. Sebagai contoh UU Minerba yang dinilai \"perampokan\" sumber daya alam dan UU Cipta Kerja yang berpihak kepada pengusaha. MK membatalkan dengan syarat. Ada pula RUU inisiatif DPR yang mudah diraba tak lain sebagai \"titipan\" kepentingan Pemerintah seperti RUU Revisi KPK. KPK yang dimandulkan oleh peran besar Dewan Pengawas bentukan Presiden.  Kini DPR siap siap untuk membubuhkan stempel pada RUU IKN yang lebih bernuansa kepentingan Pemerintah ketimbang aspirasi rakyat. Perpindahan Ibu kota Negara yang \"dipaksakan\" ini diprediksi akan disetujui DPR dengan penjaringan aspirasi basa basi.  DPR dikritik publik telah terkooptasi. Puan Maharani dari Fraksi PDIP memimpin Dewan bagai dirigen orkestra dalam menyanyikan lagu berjudul \"setujuuu\". Memang ada satu dua anggota DPR yang kritis, demikian juga Fraksi, hanya saja suara kritis itu tenggelam oleh suara keras dan gempitanya koalisi \"setujuuu\". Belum lagi dengan dimatikannya mikrofon anggota Dewan yang melakukan interupsi.  Rasanya DPR saat ini sedang dimatikan. 

AH dan Pejabat Bejat Lainnya, Kapan Mundur?

Sepertinya Tuhan sedang menelanjangi semua perilaku menyimpang kekuasaan. Bukan hanya korupsi, eksploitasi sumber daya alam, gunungan utang serta keragaman kejahatan institusional dan konstitusional lainnya. Heboh perselingkuhan seorang menteri berinisial AH yang juga ketua umum partai politik besar itu, meyakinkan rakyat, bahwasanya semakin rusak peradaban di negeri Pancasila ini. Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari AGAMA diintimidasi, harta dan jabatan dioligarki, perempuanpun dikangkangi. Kasus asmara terlarang capres itu, seakan menjadi representasi dari perselingkuhan gelap para pejabat senasional. Bagai \"a smooth criminal\" lantunan mendiang Michael Jackson, kini terlihat kasar pada aparatur penyelenggara negara. Pemimpin itu harusnya menampilkan kemuliaan. Amanat yang diemban di pundaknya, selayaknya menuntunnya mewujudkan kebahagiaan rakyat. Setiap pikiran, ucapan dan tindakannya selalu mengedepankan kebaikan, menegakkan kebenaran dan membangun ruang keadilan seluas-luasnya. Bukan sekadar citra, fakta seorang pemimpin itu semaksimal mungkin menghindari perbuatan tercela, hina, dan berakibat buruk bagi kehidupan rakyatnya.  Di beberapa negara yang bahkan dianggap liberal dan sekuler sekalipun, soal-soal profesionalitas, disiplin, dan etika tetap dijunjung tinggi. Penegakan hukum, begitu diikuti oleh tanggungjawab pejabat dan para pemangku kepentingan publik lainnya. Moralitas dan rasa malu, begitu menyelimuti keseharian aktivitas penyelenggaran badan usaha dan pemerintahan.  Negara pun komitmen dan konsisten menjaga kewibawaan hukum dengan cara menindak tegas dan memberi sanksi seberat-beratnya para pelanggar hukum terlebih di kalangan pejabat negara. Mundur dari jabatan, melakukan bunuh diri dan atau mendapatkan hukuman mati, telah menjadi kebiasaan bagi pelaku dan yang dilakukan institusi hukum di beberapa negara terhadap  kejahatan berat. Kenyataan itu menegaskan tidak hanya telah berlangsungnya supremasi hukum semata. Lebih dari itu, ada sikap ksatria yang menunjukkan mentalitas menjunjung harga diri dan martabat seseorang dalam menerima ganjaran ekstrim sekalipun usai melakukan perbuatan jahat atau tercela dalam pandangan hukum dan sosial. Jepang, Cina dll., memang bukanlah negara Indonesia. Bangsa-bangsa seperti mereka memang bukan berideologi Pancasila. Mereka penganut  kapitalisme, komunisme, negara dengan atheisme dan polytheisme. Tapi mereka sangat menjunjung tradisi dan kebudayaan mereka. Mereka kuat menjaga nilai-nilai dan keyakinan mereka. Memajukan rakyatnya dan gigih menghindari kemunduran negara bangsanya. Kesadaran pada hak dan kewajiban rakyatnya mendorong pemerintahnya tegas, menegakkan hukum kepada pelaku-pelaku kejahatan susila, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya. NKRI, sepertinya tak berdaya. Semua kejahatan yang melingkupi proses penyelenggaraan negara. Dibiarkan dan tak ubahnya sebuah keladziman dan serba permisif. Mungkin karena distorsi kebijakan dan penghianatan terhadap rakyat, bangsa dan negara. Memang telah menjadi cermin nasional ketiadaan norma, hukum dan keberadaban di negeri ini. Oligarki dalam wajah korupsi, kejahatan kemanusiaan dan pelbagai konspirasi kebiadaban lainnya telah menjadi trendy dan gaya hidup. Hilang harga diri, martabat dan rasa memiliki kemaluan. Akankah menjadikannya tetap pantas disebut sebagai manusia. Perselingkuhan dalam harta, jabatan dan wanita. Masihkah akan terus dibiarkan berlangsung selamanya? AH bersama gerombolan pejabat bejat lainnya, masihkah punya kehormatan bagi diri dan keluarga, bagi negara bangsa dan agama? Kalau masih punya kemaluan, kapan mundur? (*)

Revolusi Monyet

Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan BERITA lucu tapi mengenaskan ketika anjing-anjing mati dibunuh kumpulan monyet yang marah karena anak seekor monyet mati digigit anjing. Peristiwanya di sejumlah desa Majalgaon dekat Lavool Distrik Maharashtra. Tidak tanggung tanggung 250 anjing mati dibantai.  \"Penguasa\" anjing-anjing yang merasa monyet \"tidak ada apa-apanya\" menganiaya anak primata itu hingga mati. Rupanya menganggap enteng dan sok kuasa itu berakibat fatal. Pembalasan monyet sangat brutal. Anjing-anjing ditangkap dan dibawa ke atas pohon dan bangunan tinggi, lalu dilempar ke bawah. Tentu mati. Tidak tersisa satu anjing pun di desa itu yang hidup.  Manusia yang mencoba melindungi anjing peliharaan dari amuk monyet juga tidak berhasil bahkan ikut terluka. Anak sekolah dikejar monyet, bahkan kampung penduduk juga diserang. Monyet itu serius melakukan balas dendam. Revolusi monyet.  Dunia hewan ini penting untuk menjadi pelajaran. Membunuh bayi monyet itu melanggar HAM, Hak Asasi Monyet. Membangunkan solidaritas komunitas monyet. Anjing dan para pemeliharanya tentu kaget atas perlawanan revolusioner ini.  Penguasa arogan di mana pun apalagi yang gemar membunuh tanpa rasa salah akan berhadapan dengan perlawanan rakyat. Catatan sejarah tentang revolusi yang terjadi di berbagai belahan dunia berbasis pada arogansi dan otorirarian. Rakyat yang merasa tertindas,  terpinggirkan, dan tidak berdaya.  Ketika momentum tiba, maka perubahan itupun terjadi.  Dalam film \"Rise of the Planet of the Apes\" tergambar sebuah revolusi monyet. Caesar yang awal dipelihara manusia kemudian \"dihukum\" untuk kembali ke habitat primata nya. Ia memimpin pemberontakan kepada manusia yang mengungkungnya. Keluar dari kandang dan membuat aksi merusak. Polisi yang mengepung di jembatan dibuat porak poranda.  Ketika merasa dikekang, dibelenggu kebebasan, dipermalukan lewat perilaku manusia yang sewenang-wenang, pemberontakan itu terjadi. Ketakutan dalam diri Caesar dalam sekejap berubah menjadi keberanian dan kekuatan yang mengerikan.  Tagline film cukup menarik \"evolution become revolution\". Kekuatan bersahabat kemudian menjadi menindas dan mengalienasi berubah menjadi sebuah pemberontakan. Revolusi monyet.  Anjing anjing \"penguasa\" dan peliharaan tidak boleh menganggap enteng monyet. Kelak mereka akan dibawa ke tempat tinggi lalu dilempar ke bawah. Mati.  India telah memberi pelajaran. 

Refleksi Akhir Tahun 2021: Konstitusi yang Diingkari, Petaka yang Menghampiri

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya SEBAGAI manusia yang dilahirkan oleh sepasang ayah dan ibu di Republik ini, kita adalah warga negara yang memiliki hak-hak yang dijamin oleh konstitusi. Seperti halalnya ayah ibu kita hidup di negeri ini, halal juga kita hidup di sini, Rumah Kita. Tidak ada satu setanpun yang boleh mengusir kita dari negeri ini tanpa alasan yang konstitusional. Setiap bullying soal pergi dari negeri ini harus dijawab dengan gundhulmu amoh.  Adalah tugas pemerintah yang diberi amanah, melalui konstitusi pula, oleh negara untuk menjamin pemenuhan hak-hak kita itu setelah sekian lama dirampas oleh penjajah. Konstitusi itu adalah pernyataan kemerdekaan bangsa ini. Tanpa konstitusi itu pelindung kita itu maka kehidupan kita sebagai warga negara akan jatuh sebagai budak. Pemerintah boleh saja mengatakan telah menghabiskan banyak anggaran, bahkan dengan berhutang Triliunan Rupiah, tapi tetap saja pemerintah harus mempertanggungjawabkan penggunaannya untuk membebaskan kita dari perbudakan. Pemerintah, atas amanah konstitusi, memiliki hampir semua sumberdaya. Dan, itu cukup jika dikelola dengan benar. Tapi, saat pemerintah berganti, datang dan pergi, ternyata tidak banyak pemerintah yang memiliki kesanggupan dan kompetensi teknis dan moral untuk melaksanakan amanah konstitusi itu, yaitu membebaskan warga negara dari perbudakan, kelaparan, keyatiman tanpa perlindungan, dan kemiskinan. Sudah cukup lama sejak reformasi, warga negara dijadikan sekedar jongos politik melalui pemilu yang nyaris selalu berakhir memilukan. Kemudian warga negara juga dijadikan pula jongos ekonomi untuk secara patuh menjalankan mesin-mesin pabrik milik investor asing, dan aseng dengan imbalan yang tidak seberapa. Berbagai undang-undang dibuat dan ditafsirkan bukan untuk kepentingan warga pemilih, tapi untuk kepentingan segelintir elit yang makin serakah mengumpulkan hampir semua sumberdaya ekonomi dan politik. Hukum pun dipermainkan tajam ke bawah tumpul ke atas. Terkadang juga untuk mengkriminalisasi ulama atau memudahkan seks bebas di kampus. Aparat juga diperkuat untuk makin leluasa menangkap dan memenjarakan warganya sendiri. Maladministrasi publik terjadi dengan skala yang makin luas sehingga membahayakan eksistensi Republik. Sementara itu, berbagai bencana telah memporak porandakan kehidupan masyarakat banyak, menyisakan penderitaan dan kepedihan. Pandemi dijadikan alat untuk melakukan berbagai pembatasan, konon untuk mencegah penularan, tapi terbukti telah merampas kemerdekaan kita. Bahkan ada yang mengambil untung di atas nestapa masyarakat selama pandemi ini. Lingkungan hidup pendukung semua upaya membangun Republik telah semakin rusak oleh ulah tangan manusia. Kualitas air, udara, dan tanah serta laut akibat berbagai pencemaran terus menurun dengan kecepatan yang makin mengkhawatirkan. Anak dan cucu kita mendatang mungkin tidak mewarisi apapun kecuali lingkungan hidup yang rusak, hutang yang menggunung yang merampas kemerdekaan dan memperbudak mereka. Ini tidak bisa diterima. Jika membangun adalah memerdekakan, seharusnya setiap pemerintah berusaha keras dan sungguh-sungguh untuk memperluas kemerdekaan yang awalnya sudah diproklamasikan oleh the founding fathers; Dipertahankan dan dilanjutkan oleh para generasi penerusnya; tidak mempersempitnya dengan membiarkan kekuatan-kekuatan asing nekolimik menjarah negeri, atau bahkan bersekongkol dengan mereka itu. Jika ada gelagat pengingkaran terhadap tugas-tugas konstitusional itu, para patriot bangsa harus siap menempuh jalan yang diilhamkan oleh Pembukaan UUD ‘45 untuk konsisten berjuang mewujudkan mayarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Tugas kita yang mengaku beriman saat ini hanya memantaskan diri agar Allah SWT Tuhan YME mendatangkan kebenaran konstitusi, maka insya’ Allah kebathilan perbudakan akan pergi.   Let us do our best and let Him do the rest. Pamekasan, 18/12/2021.

Politik Perselingkuhan

Boleh jadi, kasus hubungan gelap Ketua Umum Partai Golkar yang juga menjabat menteri pada kabinet Jokowi,  dengan seorang perempuan bernama Rifa Handayani. Merupakan fenomena-fenomena perselingkuhan yang bisa terjadi juga pada ketua umum partai yang lain. Bedanya, yang terjadi pada Airlangga Hartanto terlanjur muncul ke publik dan membuat geger seantero republik. Lepas dari persoalan politik atau tidak. Sementara kalaupun benar terjadi  pada pimpinan atau kader parpol berbeda, mungkin masih bisa  ditutup-tutupi dan belum terungkap. Disembunyikan dengan rapi, serapi-rapinya seperti kasus korupsi dan kebobrokan lainnya. Meski akhirnya akan terbongkar juga. Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari DI TENGAH-tengah maraknya kasus korupsi dan blangsaknya penyelenggaraan negara, publik dikagetkan oleh munculnya berita tak sedap yang menimpa anak dari Ir. Hartarto Sastrosunarto yang menjadi menteri era ORBA dan salah satu orang kepercayaan Soeharto. Pucuk pimpinan partai Golkar sekaligus Menteri Koordinatir Bidang Ekonomi pemerintahan Jokowi. Kali  ini tersandung bukan soal korupsi,  tapi tentang hubungan  asmara ilegal yang mendera capres 2024 dari partai Golkar itu. Menarik, selain korupsi, skandal perempuan juga bisa ikut menyeret pejabat.  Selama kepemimpinan Jokowi, sepertinya partai Golkar  bersaing ketat dengan PDIP. Persaingan yang hebat bukan hanya soal pencapresan, melainkan juga dalam melahirkan kader yang terlibat kasus korupsi dan distorsi kebijakan politik lainnya. Sebut saja korupsi bansos atau setidaknya di kementerian sosial, kader kedua partai itu terakhir cukup menonjol. Beda halnya dengan PDIP yang masih bisa menyembunyikan Harun Masiku yang menjadi mata rantai yang hilang dari kasus korupsi. Partai Golkar justru gagal menyimpan dalam-dalam aib selingkuh ketua umumnya. Harta, Tahta dan Wanita Publik masih belum lupa, saat partai Golkar juga sempat tercoreng skandal perselingkuhan Yahya Zaeni dan Eva Mariam.  Kader Golkar yang menjadi anggota DPR saat itu, tak tanggung-tanggung, Yahya Zaini saat itu pengurus DPP Partai Golkar yang membawahi bidang kerohanian. Memori pada Yahya Zaini mengingatkan kesadaran publik, bahwa perselingkuhan di partai Golkar bukan pertama kali terjadi dan yang kini menyeret Airlangga Hartanto, seorang kader terbaik Golkar yang menjadi menteri sekaligus capres potensial.  Selain trend korupsi, kasus birahi terlarang kerap kali menyelimuti pejabat di jajaran eksekutif dan legislatif. Menggelayuti pesohor dari kader-kader partai politik besar di negeri ini. Tak sedikit pejabat dan pemimpin yang tersungkur karena kemolekan seorang wanita. Mungkin inilah konsekuensi logis dari  sistem politik yang memisah relasi agama dari negara. Sekulerusasi dan liberalisasi membentuk mental dan pikiran para penyelenggara tercerabut dari nilai spiritual. Dahaga akan moralitas. Kering pada  asupan agama. Bukan hanya pada pejabat dan pemimpin, bahkan rakyat juga terkontaminasi penghambaan pada materi dan kebendaan lainnya. Manusia terlebih di Indonesia kini terjangkiti penyakit yang menjadi pandemi permanen, berupa wabah cinta dunia dan takut mati. Sungguh mulia agama Islam dan menjadi kebenaran yang hakiki.  Jauh sebelumnya melalui Kitabullah Al Quranul Karim, Allah Subhanallahu wa Ta\'ala mewanti-wanti, mengingatkan dan menegaskan. Bahwasanya ujian pada manusia itu sungguh berat. Ia bisa hadir dalam serba kekurangan dan kemiskinan. Ia juga bisa hadir dalam keberlimpahan dan kekayaan. Begitupun juga keberadaan harta, tahta dan wanita. Kesemuanya atau salah satunya, tanpa pengendalian moral dan keimanan. Begitu dahsyat menjadi kekuatan yang menghancurkan. Bukan hanya hubungan keluarga dan karir semata. Anugerah sekaligus amanat itu jika mengalami distorsi, juga mampu menggerus negara dan bangsa. Bahkan tak luput pada kerusakan peradaban manusia.  Sejatinya, nyanyian Rifa Handayani akan syahdu menghentikan tour konser pencapresan Airlangga Hartanto di perhelatan pilpres 2024. Suara solo perempuan cantik itu, seakan membangunkan paduan suara rakyat. Bahwasanya, seorang Airlangga Hartanto lebih seksi dan menantang menjadi pemimpin sekaligus figur bagi keluarga. Menunaikan kewajiban membangun keluarga yang sakinah mawadah wa rohmah, ketimbang mengurus kemaslahatan negara. (*)  

Capres Independen: Solusi Gaduh Presidential Threshol

Kita tentu tidak ingin negeri ini gaduh berkepanjangan. Tetapi, bisa dipastikan pula  kita juga tidak ingin membiarkan aturan yang nyata-nyata mengangkangi demokrasi menjadi kenikmatan segelintir kelompok, dan pada saat yang sama menginjak-injak hak warga negara lain. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD di MPR BUKANNYA semakin baik, pascareformasi negara malah semakin rusak. Hutang menumpuk, demokrasi ambruk, ekonomi hancur, hukum tebang pilih, kohesivitas sosial merenggang, oligarki mekar, dan negara terkesan didikte asing. Di satu sisi pidato pemimpin bangsa menggelorakan semangat kemajuan, namun di sisi lain realitas acapkali memunggunginya. Mahasiswa sampai menggelari presiden kita The King of Lip Service, raja pembohong. Kualitas bangsa memang ditentukan oleh mutu kepemimpinan. Apa yang ada sekarang, itulah buah dari pilihan kita. Tetapi pilihan rakyat tidak terlepas dari cara kita membentuk sistem pemilihan presiden.  Jika sistemnya hanya memungkinkan memilih A atau B (dan maksimal C), rakyat tiada opsi kecuali memilih golput (golongan putih) yang justru semakin menyesatkan. Pangkal soalnya ada pada aturan presidential threshold atau syarat ambang batas pengajuan calon presiden oleh partai politik. Saban menjelang pemilu, aturan ini ramai digugat di Mahkamah Konstitusi. Itu adalah sinyal bahwa presidential threshold penuh anomali, tidak adil, dan bahkan tidak relevan. Hanya sepekan, sudah empat pihak yang mengajukan gugatan  presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK). Penggugatnya berbagai pihak, dari kalangan oposisi seperti Presidium KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), Gatot Nurmantyo hingga petinggi partai pendukung pemerintah Ferry  Yuliantono, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Dua kolega saya di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Fachrul Razi dan Bustami Zainudin, juga ikut menggugat.  Sebelumnya, presidential threshold telah beberapa kali digugat ke MK, antara lain oleh ekonom senior Rizal Ramli dan Faisal Basri, mantan Pimpinan KPK (Komisi Pemberatasan Korupsi) Busyiro Muqoddas dan Bambang Widjojanto, Ketua Partai Idaman H. Rhoma Irama, Waketum Partai Gerindra Habiburokhman, pakar komunikasi politik Effendy Ghazali, dan beberapa lainnya. Namun, gugatan mereka dimentahkan MK. Di luar mereka yang berperkara di MK, tidak sedikit organisasi masyarakat sipil yang meminta presidential threshold dihapus atau menjadi nol persen. Sebut saja KNPI (Kominte Nasional Pemuda Indonesia) dan  Perludem. Sejumlah partai juga menyuarakan penolakannya, seperti PAN, Demokrat dan PKS. Ketua KPK, Firly Bahuri menyatakan pemberlakuan Presidential Threshold berpotensi besar memicu korupsi, sementara mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono setuju nol persen. Pun, tidak sedikit pakar hukum tata negara menentang presidential threshold.  Dinamika itu menegaskan, ada problem mendasar pada aturan ambang batas pencalonan presiden. Plus-minusnya telah menjadi diskursus berpuluh tahun, sehingga dengan mudah kita temui di media massa. Saya sendiri telah beberapa kali menulis soal ini. Kini, yang mendesak dilakukan adalah mencari jalan keluar. Secara hukum, menggugat ke MK adalah solusi paling popular.  Ada solusi lain jika presiden menginginkan. Presiden bisa berinisiatif menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang)) sebagaimana tuntutan Ketua Dewan Kehormatan petinggi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan.  Memang, dilemanya cukup ruwet. Perppu menuntut “kegentingan yang memaksa” sehingga debat soal indikator situasi genting dipastikan akan alot. Lagi pula, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri sering menyatakan, Jokowi adalah petugas partai. Sementara PDIP  menolak dihapuskannya presidential threshold. Kolega saya di Badan Pekerja MPR, yaitu politisi PDIP Hendrawan Supratikno bahkan memandang angka ambang batas pencalonan presiden idealnya 30 persen, lebih tinggi 10 persen dari yang berlaku saat ini. Jika Perppu tidak memungkinkan, solusi lainnya bisa diinisiasi DPR. Namun, agaknya sulit berharap lebih ketika presidential threshold telah membuai dan membuat nyaman partai-partai besar.  Saking sulitnya, anggota DPR sendiri bahkan menyerukan agar masyarakat sipil, pers, hingga mahasiswa ramai-ramai mengepung senayan. Seruan ini diajukan oleh Fadli Zon, anggota DPR dari Fraksi Grindra. Kita tentu tidak ingin negeri ini gaduh berkepanjangan. Tetapi, bisa dipastikan pula  kita juga tidak ingin membiarkan aturan yang nyata-nyata mengangkangi demokrasi menjadi kenikmatan segelintir kelompok, dan pada saat yang sama menginjak-injak hak warga negara lain. Konstitusi menjamin setiap warga negara berhak dipilih dan memilih. Lalu apa solusinya? Mantan Pimpinan DPD, Laode Ida beberapa saat lalu menuliskan gagasan jalan tengah di salah satu media. Menurut Laode, aspirasi presidential threshold tidak realistis jika dikaitkan dengan representasi politik di Indonesia. Mengapa? Karena parpol yang tidak memiliki kursi di parlemen dipandang legitimatif mengusung pasangan calon presiden. Laode lalu mengusulkan agar, pertama, parpol yang masuk parliamentary threshold otomatis sudah memiliki legitimasi hukum dan legitimasi rakyat untuk mengusung capres. Kedua, dengan melihat basis dukungan fraksi di MPR yang berarti DPD sebagai salah satu fraksi di MPR pantas dan legitimat untuk mengusung capres/cawapres. Gagasan itu cukup rasional dan menarik didiskusikan. Namun, semakin 1aspiratif penyelenggaraan pemilu, tentu akan semakin berkualitas. Oleh karena itu, perlu upaya membuka saluran seluas-luasnya bagi partisipasi anak bangsa yang merasa punya kemampuan memimpin negeri.  Dalam perspektif itu, selain opsi capres/cawapres dari fraksi-fraksi di MPR (DPR dan DPD), layak dipertimbangkan opsi tambahan ketiga yakni  Capres/Cawapres Independen. Capres Independen memungkinkan warga bangsa yang merasa siap dan mampu memimpin negeri mendapatkan salurannya.  Hal-hal teknis menyangkut kualifikasi, syarat, dan ketentuannya bisa dibicarakan dan diperketat melalui aturan perundangan. Bobotnya tentu harus sebanding dengan mereka yang maju melalui fraksi di MPR. Yang jelas, Capres independen meluaskan partisipasi politik rakyat dalam Pemilu.  Hal tersebut bukan tab. Sebab, dalam pemilihan kepala daerah, keabsahan calon kepala daerah independen telah kita sepakati. Lalu, kenapa hal yang sama tidak dilakukan dalam kontestasi kepemimpinan nasional? Bukankah substansinya sama? Jika saluran partisipasi rakyat diperluas, silahkan parpol mengatur presidential threshold setinggi mungkin. Sebab, problem utama presidential threshold adalah mengebiri hak warga negara yang ingin maju, namun tidak mendapatkan dukungan parpol. Hal itu dapat dipecahkan melalui Capres independen.

Menyebut Buzzer Sebagai Aktivis Fitnah

Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari Para buzzer-buzer itu mungkin saja menganggap rezim ini berkuasa selamanya. Menikmati bayaran secara ekonomi dan dilindungi kekuasaan untuk jangka waktu yang lama. Mabuk dan terlena merusak tatanan nilai baik sosial,  moral, dan agama. Buzzer-buzzer istana itu merasa nyaman mengais rupiah dengan cara fitnah dan membakar konflik sosial. Mereka tak sadar, tak ada pesta yang tak berakhir. Mereka lupa, sejatinya mereka berada  dalam penantian hukuman sejarah dan pengadilan rakyat. Saat dimana kekuasaan rezim tak mampu lagi melindungi dirinya, apalagi diri mereka sendiri. Banyak cara orang menjalani hidupnya. Mulai dari memilih aktifitas dan pekerjaan, menggeluti hobi hingga menjalani relasi dan interaksi sosial. Semuanya itu menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi pribadI yang berkolerasi  dengan keluarga, masyarakat, negara dan bangsa. Pada titik dan momen tertentu seseorang bisa menentukan hidupnya seberapa besar pengaruh dirinya pada sistem sosial yang ada. Menjadi orang biasa pada umumnya, orang berjiwa besar atau orang dengan pikiran kerdil dan picik sekalipun. Bercita-cita memberi kemaslahatan atau menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat. Ia bisa menentukan untuk menjadi pahlawah atau penghianat. Menjadi pemenang atau pecundang. Seperti kata orang bijak, \'jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan  apa yang telah engkau berikian pada negara\'. Menjadi manusia yang membangun atau menghancurkan negara. Ketika seseorang berada dalam strukur sebuah sistem baik di lingkungan pemerintahan atau  sektor swasta. Tentunya akan menghadapi kondisi dan dinamika yang berbeda, baik pada  hubungan personal,   menyikapi peraturan yang berlaku maupun menghadapi tantangan pekerjaan dan lingkungan yang ada. Begitu juga dengan orang yang menginginkan tetap berada di luar sistem.  Menjadi lebih bebas, tanpa tekanan dan target tertentu. Dapat berimprovisasi sesuai dengan imajinasi dan keinginannya sendiri. Baik yang berada dalam \'comfort zone\' maupun wilayah \'survivel\", keduanya sama-sama  dituntut untuk memiliki  kemampuan lebih menyangkut adaptasi, kreatifitas dan inovasi serta kemampuan membangun inter relasi baik terhadap sesama,  tanggung jawab pekerjaan dan dalam menyikapi lingkungannya. Di luar kedua pilihan itu. Seiring trend digitalisasi yang menghasilkan kemudahan dan keberlimpahan informasi. Ada aktifitas dan pekerjaan yang dikenal sebagai pendengung atau lebih populer disebut buzzer atau influencer. Kecenderungan aktifitas yang membuat, mengembangkan sekaligus mengelola informasi. Deskripsi atau narasi yang dibangun bisa berupa  produk pemikiran atau gagasan yang orisinil atau melakukan diskursus terhadap isu atau wacana yang sudah berkembang. Eksplorasi ide itu bisa mewujud sebuah tesis atau antitesis. Bisa juga menjadi kritik dan otokritik. Pada tema-tema tertentu pembahasannya bisa berlandaskan ilmiah bisa juga hanya sekedar debat kusir. Dalam ranah  dan akses terhadap kepentingan ekonomi dan politik. Peranan dan manuver para buzzer terkadang mengalami banyak penyimpangan. Tampilnya buzzer kuat menjadi alat agitasi dan propaganda bagi kepentingan kelompok tertentu. Bahkan dalam rangka membangun komunikasi yang masif dan membentuk opini publik yang luas. Buzzer pada akhirnya sering dipergunakan oleh  kekuasaan. Bagi rezim, menciptakan dan memelihara buzzer menjadi salah satu instrumen dalam pencapaian tujuan politik tertentu. Sementara bagi para buzzer, aktifitasnya tidak lebih dari soal-soal ekonomi. Bertransformasi sebagai alat penghidupan.  Buzzer-buzzer berbayar yang  bergerilya dan menjelajahi komunikasi massa secara aktifitasnya. Bekerja fokus merancang, merekayasa dan menyebarkan informasi. Termasuk melakukan disinformasi jika diperlukan. Mereka dituntut efektif dan piawai melakukan kamuflase dan manipulasi informasi. Termasuk melontarkan hujatan, pelecehan, penistaan dan penghinaan pada target politik mereka.  Buzzer-buzer berbayar anggaran besar ini, bersuara  lantang tanpa malu, abai kesantunan  dan tuna keberadaban. Mereka tak peduli apapun dampak dan resikonya. Betapaun aktifitas mereka penuh fitnah, melakukan pembelahan sosial, dan beepotensi memicu disintegrasi nasional. Anti dan Menjadi Musuh Sosial Media mainstream dan media sosial beberapa tahun belakangan ini diramaikan dengan kehadiran orang-orang seperti Ade Armando, Denny Siregar, Ade Permana (Abu Janda), Eko Kunthadi, dll. Kemunculan mereka yang lebih sering berkicau di media sosial, diidentifikasikan publik sebagai buzzer. Mereka juga dikenal sebagai buzzerRp atau   buzzer berbayar. Tidak tanggung-tanggung secara terbuka, ada penegasan aktifitas mereka dibiayai APBN. Maklum, keberadaan dan eksistensi  para buzzer ini marak  mengiringi pilpres baik periode 2014 dan 2019. Buzzer-buzzer ini seperti menjadi sub koordinat dari pemerintahan yang dihasilkan pilpres yang dianggap  paling tidak demokratis, penuh rekayasa dan memecah-belah bangsa. Polarisasi akibat pilpres itu masih menyala-nyala hingga saat ini. Perangai buzzer, khususnya Ade Armando, Denny Siregar, Abu Janda dan manusia-manusia sejenisnya. Dianggap publik sudah melampaui batas-batas dan kepantasan. Terutama dalam soal etika, moral dan nilai-nilai keagamaan.  Mereka seakan tidak lagi bisa mengelola otak dan mengatur mulutnya. Ade Armando cs, seperti mengalami cedera pemikiran yang parah. Orang-orang yang demi urusan perut semata, dapat mengabaikan harga diri dan martabatnya. Layaknya manusia yang miskin ahlak dan menantang Tuhan. Merasa kebal hukum dan dilindungi rezim. Para buzzerRp ini angkuh dan jumawa bersilat lidah dan mengumbar permusuhan dan kebencian. Selain menjadi budak sekaligus pengecer program sekulerisasi dan liberalisasi agama, khususnya Islam. Buzzer-buzzer hina ini nekat merendahkan para ulama, tokoh bangsa,   para intelektual dan akademisi negeri ini. Merasa paling pintar dan tahu banyak soal negara ini, sesungguhnya para buzzer ini sedang mempertontonkan kemunafikan dan kehinaan dirinya sendiri. Berbangga karena didukung pejabat dan bersama para pendukung rezim. Buzzer terus menyakiti  rakyat yang nyata-nyata telah menjadi korban kekuasaan rezim tirani.  Pada akhirnya roda sejarah yang akan menentukan di titik mana kehadiran dan eksistensi para buzzer ini berhenti dan lenyap dengan sendirinya. Bersama rezim yang selama ini menjadi tempat bergelayutnya. Atau kelak,  buzzer-buzzer akan dimakan dirinya sendiri. Oleh karma yang menjadi buah pikiran, ucapan dan tindakannya. Suatu saat gelombang fitnah yang disemburkannya akan tragis menerjang dan melumat sendiri para buzzer.  Hingga saat itu terjadi, rakyat hanya bisa prihatin dan berupaya  mengingatkan untuk bertobat kepada  para buzzer,  aktifis fitnah itu. (*)      

Omicron Bergentayangan di Tengah Gonta-Ganti Kebijakan

Oleh Gde Siriana, Direktur Eksekutif INFUS dan Penulis Buku \"Keserakahan di Tengah Pandemi Melalui Menteri Kesehatan Budi Gunadi, Pemerintah Indonesia telah mengkonfirmasi ada satu virus Corona varian Omicron masuk ke Indonesia. Ada satu orang pasien di Wisma Atlit, seorang pekerja kebersihan, yang terkonfirmasi positif Covid-19 varian Omicron pada 15 Desember lalu. Pemerintah dilaporkan memutuskan untuk mengunci atau lockdown Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Jakarta. Langkah yang diambil pemerintah dengan penguncian Rumah Sakit sesungguhnya sudah diatur dalam UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 56 menyebutkan bahwa karantina rumah sakit dilakukan setelah dibuktikan berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium telah terjadi penularan penyakit. Pasal 57 mensyaratkan rumah sakit yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh Pejabat Karantina Kesehatan, serta seluruh orang, barang, dan/atau hewan yang berada di rumah sakit yang dikarantina tidak boleh keluar dan masuk rumah sakit. Sedangkan pasal 58 menjelaskan tentang kewajiban pemerintah, bahwa selama dalam tindakan karantina rumah sakit, kebutuhan hidup dasar seluruh orang yang berada di rumah sakit menjadi tanggung jawab Pemerintah pusat dan/atau Pemerintah Daerah. Jika ditarik sedikit ke belakang, pada 19 November 2021, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyampaikan kepada masyarakat bahwa pemerintah akan memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Level 3 di seluruh Indonesia pada 24 Desember 2021 - 2 Januari 2022. Dijelaskannya, masyarakat tetap dapat merayakan Nataru namun dengan menaati aturan-aturan yang berlaku. Tujuan kebijakan tersebut untuk mengatur mobilitas masyarakat pada Nataru agar gelombang ketiga pandemi Covid-19 tidak terjadi. Jadi ini bisa dianggap ini merupakan antisipasi atau tindakan pro-aktif pemerintah. Merespons kebijakan pemerintah pusat tersebut, maka acara International Youth Championship, yang bakal menghadirkan bintang-bintang sepakbola dari FC Barcelona, Real Madrid, dan Atletico Madrid batal digelar di Bali 2-9 Desember dan Jakarta 9-11 Desember 2021. Bahkan pada 2 Desember 2021, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga menerbitkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 1430 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3 Covid-19, yang sejak 6 Desember lalu diunggah di situs resmi Pemprov DKI. Tetapi yang membuat masyarakat dan juga pemerintah daerah kaget adalah pada 7 Desember 2021, pemerintah pusat memutuskan untuk mengubah skema PPKM Level 3 selama periode libur Natal dan Tahun Baru (Nataru). Skema tersebut diubah menjadi pengetatan syarat perjalanan. Keputusan itu disampaikan Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Jenderal TNI (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan. Konsekuensinya, bukan hanya Gubernur DKI yang merevisi Kepgub PPKM Nataru, tetapi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian juga harus mencabut Inmendagri Nomor 62 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 Pada Saat Natal Tahun 2021 dan Tahun Baru Tahun 2022 dengan menerbitkan Instruksi Mendagri Nomor 66 Tahun 2021. Ini bukan kali pertama terjadi Menteri senior berbicara saling bertentangan, padahal bersumber dari pemberi arahan yang sama, yaitu presiden. Pada 16 Juli 2021 di Yogyakarta, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan Presiden Joko Widodo telah memutuskan memperpanjang penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat hingga akhir Juli 2021. Menurut Muhajir, Presiden Jokowi, kata Muhadjir, juga menyampaikan bahwa keputusan memperpanjang PPKM darurat ini memiliki banyak risiko. Tetapi pada 17 Juli 2021, pernyataan berbeda disampaikan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang mengatakan pemerintah mengambil pilihan sulit terkait PPKM darurat, oleh karena itu, keputusan belum bisa ditentukan langsung. Dari dua peristiwa tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen krisis pemerintah dalam menanggulangi pandemi tidak banyak belajar dari kegagapan merespon pandemi sebelumnya. Dari indikator 4T Manajemen Krisis pemerintah yang pernah penulis sampaikan dalam artikel sebelumnya yaitu Tanggap, Terstruktur, Teratur dan Terukur ternyata masih belum berjalan baik. Siapa yang berwenang menyampaikan informasi, apakah kebijakan sudah sudah diputuskan dengan indikator-indikator yang teratur dilakukan (testing, tracing treatment) dan terukur (capaian dan cakupan vaksinasi, herd immunitiy, serta kesiapan pengawasan pada akses keluar-masuk negara dan mobilitas warga). Sangat jelas bahwa kebijakan yang belum matang sudah disampaikan kepada masyarakat dan semestinya disampaikan langsung oleh Menteri Kesehatan, atau setidaknya oleh Ketua Gugus Tugas Covid-19 karena prioritas dalam pemberlakukan PPKM menyangkut kesehatan masyarakat. Di dalam buku “Keserakahan Di Tengah Pandemi: Tinjauan Kritis Kepemimpinan Populis-Otoriter dan Oligarki di Indonesia”, penulis menarik kesimpulan bahwa ketidakpercayaan publik merupakan konsekuensi dari tidak tanggap dan lemahnya leadership presiden Jokowi merespon pandemi, yang bisa dilihat salah satunya dari tumpang-tindih dan gonta-ganti kebijakan yang membingungkan masyarakat. Di banyak negara dengan pemimpin populis seperti Presiden AS Donald Trump, Presiden Brazil Bolsonaro, PM India Narendra Modi, dan Presiden Filipina Duterte, memiliki kecenderungan yang sama, yaitu memiliki optimis yang tidak berdasar science (misalnya terlalu dini menyatakan pandemi akan berakhir atau ekonomi akan bangkit), kepemimpinan yang ‘plin-plan’, dan tidak jujur pada angka-angka statistik. Banyak ahli pandemiolog di Eropa dan AS menyatakan bahwa badai Omicron sedang terjadi di sana disebabkan oleh 3 hal, yaitu: capain vaksinasi di sekitar 70% atau kurang, efikasi vaksin yang turun saat menghadapi serangan varian Omicron, serta lemahnya mitigasi atau mengendurnya pelaksanaan protokol kesehatan. Seharusnya ini menjadi perhatian besar pemerintah mengingat capaian vaksinasi kedua di Indonesia belum sebanyak di AS atau Eropa. Juga masih perlu dibuktikan efikasi vaksin Sinovac terhadap Omicron, yang mana paling banyak digunakan dalam vaksinasi di Indonesia. Apakah capaian-capaian itu telah berhasil membentuk imunitas komunal di atas 70%? Meskipun banyak ahli menyatakan varian Omicron tidak memberikan dampak separah varian Delta, bukan berarti pemerintah dapat meremehkannya, karena serendah apapun dampaknya pada kesehatan masyarakat tetap akan berdampak memperlambat pemulihan ekonomi. Jangan terulang ketika di bulan Juli 2021 pemerintah bingung akan memperpanjang PPKM darurat atau tidak, justru yang terjadi rumah sakit collaps. Begitu juga dengan akhir tahun ini, ketika pemerintah sibuk bergonta-ganti aturan dan kebijakan, virus Omicron justru sudah bergentayangan di sekitar kita. (*)

Joseph Suryadi Tak Senasib Samuel Paty

Oleh Ady Amar, Kolumnis  Joseph Suryadi jadi berita. Bukan berita baik, justru sebaliknya. Tidak perlu mengetahui apa agamanya, dan karenanya tidak perlu ada kemarahan yang coba disasarkan pada agama yang dianutnya. Apa yang dilakukan pastilah bukan perintah agamanya. Tidak sedikit pun ada hubungan dengan agamanya. Sebelumnya, ia pribadi yang tidak dikenal, kecuali oleh komunitasnya. Ia bukan siapa-siapa. Mungkin ia ingin terkenal lalu melakukan laku konyol. Joseph Suryadi sudah ditangkap dan dipenjarakan. Ulahnya pastilah membuat keluarga kecilnya merasa menjadi tidak aman. Bahkan etnisnya pun jadi bahan cercaan, meski ulahnya sedikitpun tidak boleh ditautkan pada etnisnya. Joseph \"bermain\" tunggal, seorang diri. Karenanya, tidak ada sangkut paut dengan orang sekelilingnya. Awal mendengar postingan kurangajarnya, belum sampai melihat postingannya, hati rasa mendidih. Jika bertemu dengannya sebelum kepolisian menangkapnya, pastilah ingin juga memperlakukannya seperti Ali Radhiyallahu Anhu ketika itu, membanting untuk menghabisi si yahudi tengil yang menghina Nabi Shalallahu Alaihi Wa Salam. Bisa jadi banyak pula yang berpikir sama, karena kegeraman, ingin main hakim sendiri.      Joseph Suryadi pastilah orang bodoh yang nekat memasuki wilayah sensitif agama dengan membuat karikatur menghina Nabi Muhammad dan Sayidah Aisyah Radhiyallahu Anha. Mungkin ia \"berguru\" pada Charlie Hebdo, mingguan kiri Paris, Perancis, yang kerap menampilkan karikatur Nabi, yang lalu menimbulkan reaksi keras dari kelompok yang memuliakan Nabinya.  Charlie Hebdo memang kerap menghina Nabi dengan karikatur jahatnya, itu bersandar atas nama kebebasan berekspresi. Tentu itu tidak bisa diterima. Menggambar Nabi saja yang baik-baik tidak diperbolehkan, apalagi dengan mengolok-olok dengan karikatur penghinaan/pelecehan. Joseph Suryadi tersadar setelah postingan karikatur busuknya itu mengundang reaksi. Lalu ia melakukan adegan lapor pada polisi, bahwa ia kehilangan ponselnya. Tuturnya, ada orang iseng memakai ponselnya untuk mengupload karikatur yang tidak ia buat. Tentu polisi punya cara menerima setiap laporan yang masuk, dan lalu mengumumkan bahwa kehilangan ponsel itu cuma akal-akalan untuk tidak menjeratnya sebagai pelaku, tapi korban. Samuel Paty Charlie Hebdo, media yang mengagungkan kebebasan berekspresi. Seolah semua boleh dilakukan. Tampil membombardir kohesivitas hubungan antarsesama, dan bahkan sensitivitas agama (Islam). Serasa tidak ada kapok-kapoknya, beberapa kali Charlie Hebdo menerima balasan penyerangan pada awak redaksinya. Tidak sedikit yang meregang nyawa oleh mereka yang merasa Nabinya dilecehkan. Rezim Macron tampak tidak berkehendak \"mematikan\" media itu. Dalilnya, itu bagian dari ekspresi kebebasan. Tapi anehnya, saat sang istri dibuatkan karikatur bagai nenek sihir, ia marah. Sejak tahun 2006 setidaknya, Charlie Hebdo memuat karikatur kontroversial, yang awalnya mengambil dari surat kabar Denmark, Jylands-Posten. Dan terakhir di tahun 2020 peristiwa terulang, yang itu menyebabkan terpenggalnya kepala Samuel Paty. Saat mengajar murid-muridnya di kelas, pada sekolah Conflans-Sainte-Honorive, Paty memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad, yang dimuat Charlie Hebdo. Aksinya itu menyebar di jagat pemberitaan. Maka, Anzorov pemuda yang masih 18 tahun perlu mendatanginya. Ia tinggal di wilayah Eure, Evreux, menempuh perjalanan 88 km untuk menemui Paty. Lalu terjadilah pemenggalan kepala itu. Abdullah Anzorov, pemuda asal Chechnya, Rusia. Sejak usia 6 tahun ia bersama orang tuanya bermukim di Perancis. Pemuda yang dikenal ramah, dan tidak punya riwayat kriminal, itu bisa melakukan tindakan eksekusi pada penghina Nabinya. Anzorov pastilah tidak pernah membaca kitab karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ash-Shaarimul Maslul alaa Syaatimir Rasuul. Dimana dalam Kitab itu tertulis pendapat semua madzhab yang sepakat, siapa pun yang melecehkan Nabi Muhammad, maka ganjarannya pidana hukum mati. Meski tidak membaca Kitab itu, ia melakukannya bersandar pada iman. Konsep yang sama sekali tak difahami non-muslim. Charlie Hebdo di Paris, Perancis. Dan Samuel Paty, seorang guru yang di dalam kelas memperlihatkan karikatur penghinaan Nabi Shalallahu Alaihi wa Salam. Ulahnya ter- publish. Dan muncul kemarahan muslim, khususnya di Perancis, seolah tertebus oleh tindakan Anzorov. Joseph Suryadi tak senasib Samuel Paty yang harus terpenggal kepalanya. Beruntung ia langsung diselamatkan dengan dipenjarakan. Kasusnya wajib diangkat ke pengadilan, dan hukuman setimpal perlu diberikan. Semua kita sama-sama jadi saksi, apakah keadilan bisa ditegakkan atau tidak. Itu agar tidak perlu muncul Anzorov lainnya yang mengambil alih peran jadi eksekutor jalanan. (*)

Dagelan Of The Year

By M Rizal Fadillah Menuju akhir tahun 2021 berbagai refleksi biasa dilakukan baik ekonomi, budaya, hukum, politik dan lainnya. Tokoh-tokoh berpengaruh dinominasikan untuk predikat \"man of the year\". Intinya peristiwa atau tokoh yang menonjol di tahun itu. Salah satu yang perlu diangkat dan dinobatkan untuk tahun ini adalah \"dagelan of the year\". Ada tiga nominasi untuk dinobatkan pada akhir tahun ini, yaitu : Pertama, dagelan aksi Dudung Abdurrahman. Jenderal yang saat menjabat Pangdam Jaya mengkudeta Satpol PP untuk menurunkan baliho HRS dan saat menjadi Pangkostrad dengan gagah berani mengobrak abrik diorama Soeharto, Nasution, dan Sarwo Edhi. Penumpas G 30 S PKI berhasil ditumpas Dudung. Terakhir saat menjadi KSAD pembunuh prajurit TNI dan gerakan separatis Papua dihimbau untuk  dirangkul dan \"mereka saudara\". Saudara Dudung adalah teroris, separatis, dan makaris.  Kedua, dagelan Putusan MK yang membatalkan aturan omnibus law UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lucu ada putusan bersyarat.  Dibatalkan tetapi harus diperbaiki dua tahun. Batal tapi tetap berlaku. Demi investasi dan khidmah pada pengusaha peran banci dimainkan di panggung hukum. Hukum pesanan yang berkualitas abal-abal.  Butuh berdemo terhadap Putusan MK model ini.  Ketiga, dagelan persidangan kasus KM 50. Sejarah hukum buruk yang dipertontonkan kepada dunia. Pelanggaran HAM berat pembunuhan politik diadili lewat proses sumier. Kejahatan kemanusiaan sistematik yang mudah dibaca publik dimain-mainkan dalam kepura-puraan Pengadilan. Tersangka \"hanya\" dua orang Polisi, tetap aktif sebagai Polisi, penyidiknya Polisi dan saksi sebagian besar Polisi. Advokat membela Polisi. Pengadilan seperti ini didisain sebagai pabrik yang dapat menimbulkan polusi. Polusi politik yang mengacak-acak hukum.  Di antara tiga nominasi di atas, hari-hari berjalan bagi para juri untuk menetapkan mana yang layak diberi gelar \"dagelan of the year\". Bukan mustahil ketiga-tiganya akan menjadi juara bersama.  Bukan mustahil pula apabila tiba tiba juri memutuskan secara \"out of the box\" yakni predikat \"dagelan of the year\" jatuh kepada penanggungjawab negeri : Presiden RI  !  *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan