OPINI

Kasus Edy Mulyadi Menunjukkan Besarnya Kekuasaan Oligarki Cukong

Oleh Asyari Usman, jurnalis senior FNN AKHIRNYA Edy Mulyadi (EM) ditahan. Dengan tuduhan ujaran kebencian. Dia dikatakan menghina orang Kalimantan. Edy adalah seorang wartawan yang tak bisa tinggal diam melihat kesewenangan. Dia menentang pemindahan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke Penajam Paser di Kalimantan Timur (Kaltim). Bagi Edy, pemindahan ini adalah langkah sewenang-wenang. Tanpa urgensi yang mengharuskan pindah. Lebih dari itu, Edy menangkap sesuatu yang lebih besar lagi. Dia melihat ancaman terhadap kedaulatan negara di balik pemindahan IKN. Apa yang dia lihat, diakui pula oleh banyak orang termasuk para pemerhati geopolitik dan persaingan internasional. Berawal dari ancaman inilah Edy kemudian berargumentasi bahwa pemindahan IKN ke Kaltim sarat dengan alasan yang tidak rasional. Antara lain dia berpendapat lokasi IKN baru itu terpencil dan sangat jauh. Sampai-sampai Edy menggunakan istilah yang dirasakan menyinggung orang Kalimantan. Inilah yang diangkat sebagai pelanggaran pidana. Dia pun ditahan. Tetapi, apakah sesederhana itu pemicu proses hukum terhadap Edy? Jelaslah tidak. Kekhilapan kecil ini dibesarkan dengan bantuan proyektor milik cukong. Kaki tangan cukong menyimpulkan bahwa Edy Mulyadi sangat “mengganggu” bagi agenda besar mereka. Kalau kasus Edy diproses sesuai standar hukum, maka hari ini juga para buzzer upahan harus masuk penjara. Tak terhitung lagi berapa banyak pelecehan, fitnah, dan uajaran kebencian yang mereka lakukan. Tidak tanggung-tanggung. Mereka menghina agama, menghina dan merendahkan Nabi serta kitab suci, ulama, dlsb. Begitu juga sejumlah petinggi. Termasuk Menteri Sosial Tri Risma yang melecehkan Papua dengan mengancam PNS untuk dipindahkan ke Papua. Tersirat makna bahwa Papua adalah tempat pembuangan. Tapi, Sang Menteri aman-aman saja. Kemudian ada anggota DPR RI, Arteria Dahlan. Dia rasis. Merendahkan orang Sunda. Arteria jelas-jelas mengungkapkan kebenciannya terhadap bahasa Sunda. Ini terkait peristiwa seorang pejabat kejaksaan tinggi Jawa Barat yang menggunakan bahasa Sunda di dalam rapat. Kalau hukum mau ditegakkan seperti terhadap Edy Mulyadi, maka kedua petinggi ini haruslah mengalami perlakuan yang sama. Tapi, tidak demikian halnya. Diskriminasi penegakan hukum ini akan terus terjadi terhadap orang-orang yang berseberangan dengan penguasa. Hari ini, berseberangan dengan penguasa berarti berseberangan dengan oligarki cukong. Sebab, para penguasa adalah kaki tangan cukong itu. Proses hukum terhadap Edy menunjukkan besarnya kekuasaan para cukung. Merekalah yang memegang kendali. Mengapa begitu? Karena “penghinaan” yang dituduhan kepada Edy juga dilakukan oleh banyak orang selama ini. Idiom “jin”-nya pun persis sama. Jadi, kita semua paham. Kasus Edy bukan murni soal pelecehan atau ujaran kebencian. Melainkan soal gangguan terhadap pemindahan ibu kota yang di sekelilingnya ada para cukong rakus pencari untung besar. Mereka ini pula yang pantas diduga akan, sekaligus, menjadi agen penggadaian kedaulatan negara. Sekarang, lewat kasus Edy Mulyadi, para cukong memberikan peringatan kepada rakyat tentang konsekuensi melawan mereka.[]

Interfaith dan Islamophobia - 01

Al-Qur’an menegaskan berkali-kali dengan makna seperti ini: “siapa yang berkeinginan maka hendaklah beriman. Dan siapa yang berkeinginan hendaklah mengkafiri”. Atau dengan bunyi: “sesungguhnya Allah akan memberikan Hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki”. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation TULISAN ini adalah intisari dari sebuah ceramah yang pernah saya sampaikan di sebuah forum pertemuan Imam di ICNA Convention beberapa tahun lalu. ICNA atau Islamic Circle of North America adalah satu dari beberapa organisasi Islam Nasional di Amerika. Saat itu saya khusus diminta menyampaikan ceramah dengan tema: “The role of interfaith in combating Islamophobia in US”. Saya tuliskan dalam bahasa Indonesia untuk kemanfaatan luas bagi yang memahaminya. Insya Allah tulisan ini akan bersambung dalam beberapa seri ke depan. Harapan saya semoga tulisan ini memperjelas hal yang belum jelas. Terlebih lagi bagi mereka yang tidak pernah terlibat tapi cenderung menghakimi. Pada tulisan ini saya memilih memakai kata “interfaith”, bukan dialog antar agama. Walaupun sesungguhnya dua terminologi itu semakna. Hanya saja kata “Dialog” antar agama bisa saja disalah pahami oleh sebagian seolah agama-agama disejajarkan bahkan disamakan. Lazimnya Dialog itu hanya terjadi antara dua hal yang setingkat. Antara dua Jenderal misalnya. Seorang prajurit rendahan tidak bisa berdialog dengan seorang jenderal. Karena prajurit rendahan pastinya hanya menunggu perintah atau instruksi dari sang Jenderal. Karena interfaith terasa lebih sesuai. Apalagi kata ini juga telah menjadi sebuah terminologi yang pepuler di kalangan praktisi interfaith. Apa Interfaith Itu? Kata interfaith masih sering disalah pahami oleh sebagian orang. Biasanya yang memahami salah tentang interfaith ini adalah orang-orang yang berada di salah satu dari dua kubu ekstrim dalam pemahaman beragama. Ada ekstrim kanan dan ada juga ekstrim kiri. Ekstrim kanan salah paham karena memang ketidak tahuan semata atau minimal kesalah pahaman yang berujung kepada pengharaman. Alasan yang sering disampaikan adalah karena Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya. Seringkali juga interfaith dipahami oleh mereka secara salah sebagai penyamaan atau bahkan penyatuan agama-agama (religious unification). Atau biasa juga dicurigai jika interfaith itu adalah ajang “penggerogotan” iman. Sebaliknya ekstrim kiri adalah mereka yang memang menjalankan apa yang dituduhkan oleh ekstrim kanan. Interfaith bagi ekstrim kiri adalah \"menyamakan atau menyatukan\" semua agama-agama (unification of religions). Biasanya pemahaman mereka dibangun di atas asumsi jika semua agama itu sesungguhnya sama, menuju ke satu tujuan yang sama. Yaitu menuju kepada Tuhan yang satu. Yang berbeda hanya cara dan jalan semata. Karenanya dalam pandangan mereka sesungguhnya kebenaran agama itu bersifat relatif dan tidak absolut. Pandangan ekstrim kiri akhir-akhir ini menguat dengan sebuah konsep penyatuan agama-agama samawi dengan nama agama Ibrahim (Abrahamic Faith). Konsep ini telah mendapat penolakan dari tokoh-tokoh agama dunia, termasuk dari Syeikh Al-Azhar. Dalam pandangan saya kedua pendapat di atas adalah paham ekstrim dan berbahaya. Ekstrim kanan berada dalam rana keangkuhan beragama, bahkan mengarah kepada karakter takfiri. Yaitu sikap yang dengan mudah mengkafirkan sesama Muslim yang tidak sependapat. Sementara ekstrim kiri juga berbahaya karena mereduksi agama-agama ke ruang relatif, yang bisa diubah dan dicelup sesuai kehendak hawa nafsunya. Sehingga agama tidak lagi pada posisi menunjuki atau mengatur. Tapi agama diarahkan dan diatur sesuai kecenderungan hawa nafsu manusia. Karenanya perlu dipahami jika interfaith bukan bertujuan menggadaikan agama. Bukan pula untuk menyatukan agama-agama. Interfaith juga tidak dimaksudkan minimal pada pemahaman saya sebagai Muslim untuk menggerogoti iman penganut agama masing-masing. Interfaith hanya akan dipahami secara benar ketika seseorang memiliki pemahaman yang benar tentang agamanya di satu sisi. Dan juga memiliki pemahaman yang benar tentang realita dunia (lingkungan sekitar) di sisi lain. Interfaith dan Al-Qur\'an Secara literal kata interfaith (al-hiwaar baena al-asyaan) memang tidak akan pernah ditemukan dalam Al-Quran. Tapi secara makna dan konteks akan ditemukan berbagai ayat-ayat yang mendukung kegiatan interfaith ini. Jika kita lihat secara dekat dan jeli ayat-ayat Al-Quran akan kita dapat ragam ayat yang mengarah kepada pemaknaan kegiatan interfaith dan interaksi antar pemeluk agama yang ragam. Beberapa pemaknaan itu dapat kita lihat seperti berikut. Pertama, dalam Al-Qur’an komunikasi dan relasi antar manusia tidak terhalangi oleh perbedaan keyakinan atau agama. Bahwa keyakinan agama yang dianut adalah pilihan setiap orang berdasarkan kesadaran (atau di luar alam sadar) masing-masing orang. Oleh karenanya Islam dengan tegas menggariskan: \"tiada paksaan dalam agama\" (Al-Baqarah). Bahkan ditegaskan \"bagimu agamamu dan bagiku agamaku\" (Al-Kafirun). Oleh karena agama adalah pilihan masing-masing manusia, maka manusia sebagai makhluk sosial tidak seharusnya terhalangi untuk membangun relasi dan kerjasama dalam hal-hal yang menjadi \"common interest\" (kepentingan bersama dalam kemanusiaan). Kedua, agama Islam adalah agama yang membuka diri untuk membangun relasi, persahabatan, dan kerjasama dengan siapa saja. Bahkan Allah memerintahkan umat ini untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada siapa saja, selama relasi, persahabatan dan kerjasama itu tidak merendahkan dan merugikan. Allah menegaskan dalam Al-Qurab: \"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dan tidak mengusir kamu dari negeri kamu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil\" (Al-Mumtahanah: 8). Ketiga, dalam agama Islam ruh kebajikan (al-ihsan) tidak terbatasi oleh batas-batas keyakinan. Tapi menyeluruh untuk seluruh manusia dan makhluk lainnya. Ayat-ayat kebaikan (ihsan) misalnya dimaksudkan sebagai kebaikan universal: \"Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu\" (Al-Qashas: 77). Memahami kebaikan (ihsan) yang bersifat universal ini tentunya juga sejalan dengan semangat Islam sebagai agama yang membawa kasih sayang (rahmah) universal dan tanpa batas: \"dan tidaklah Kami mengutus kamu (wahai Muhammad) kecuali sebagai kasih sayang ke seluruh alam (rahmatan lil-alamin)\". Maka dengan sendirinya membangun dialog, komunikasi, relasi dan kerjasama adalah realisasi atau aktualisasi langsung dari Islam yang bersifat \"rahmatan lil-alamin\" itu. Keempat, Al-Quran mengakui  persaudaraan universal manusia (ukhuwah basyariyah). Dan karenanya segala upaya harus dilakukan untuk menjaga keutuhan persaudaraan kemanusiaan itu. Al-Qur\'an menegaskan: \"Sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari seorang lelaki (Adam) dan seorang wanita (Hawa), lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (ta\'aruf). Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah mereka yang paling bartakwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal\" (Al-Hujurat: 13). Dalam dunia modern yang bersifat global saat ini, terjemahan yang paling tepat, yang sejalan dengan sikon dunia kita dari kata “ta’aruf” adalah \"relasi antar komunitas yang ragam\" itu. Dan itulah hakikat dari interfaith. Karenanya “interfaith” dapat dimaknai sebagai  proses untuk saling mengenal (ta’aruf) diantara manusia dengan segala keragaman latar belakangnya. Baik latar belakang suku, budaya, tradisi, maupun keyakinan agamanya. Kelima, agama Islam walaupun diakui secara teologi (keimanan) oleh umat Islam sebagai \"satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah\" (Ali Imran) bukan berarti pengingkaran terhadap eksistensi agama-agama lain. Kenyataannya Al-Quran mengakui “eksistensi” agama-agama lain. Surah Al-Kafirun menegaskan itu: “bagimu agamu dan bagiku agamaku”. Pada poin ini saya harus pertegas bahwa mengakui eksistensi agama lain tidak berarti mengakui “kebenaran” agama tersebut. Sebuah agama boleh saja eksis walau tidak benar menurut pandangan penganut agama lain. Islam misalnya oleh penganut Kristiani pastinya tidak benar karena mengingkari Jesus sebagai anak Tuhan atau Tuhan. Keenam, bahwa salah satu ajaran yang mendasar dalam agama Islam adalah pengakuan akan wujud atau eksistensi keragaman (diversity) dalam ciptaan Allah. Termasuk keragaman umat dengan keragaman keyakinannya. Allah menegaskan: “Dan kalaulah Tuhanmu berkehendak maka dia jadikan manusia menjadi satu Umat”. (Hud: 118). Dengan kata lain, keragaman dalam pandangan Islam, termasuk keragaman dalam agama dan keyakinan, selain dipandang sebagai bagian dari penciptaan yang alami (thabiat al-khalq), juga merupakan amanah teologi Islam. Mengakui keragaman itu adalah bagian dari akidah umat ini. Ketujuah, Islam juga dengan tegas menegaskan bahwa keputusan untuk seseorang memeluk atau meyakini sebuah agama adalah hak sepenuhnya. Hak sepenuhnya di sini tentu ada pada dua sisi. Hak orang itu untuk memeluk agama atau keyakinannya. Tapi juga dalam pandangan Islam, Hidayah itu memang sepenuhnya ada di tangan Allah SWT. Al-Qur’an menegaskan berkali-kali dengan makna seperti ini: “siapa yang berkeinginan maka hendaklah beriman. Dan siapa yang berkeinginan hendaklah mengkafiri”. Atau dengan bunyi: “sesungguhnya Allah akan memberikan Hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki”. Dengan demikian adanya agama dan keyakinan lain yang dianut atau diyakini oleh orang lain merupakan konsekwensi dari kesadaran akan hak pribadi ini. Sehingga dengan sendirinya interfaith menjadi Urgen sekaligus pembuktian bahwa masalah pilihan agama dan keyakinan adalah pilihan pribadi. Dan pilihan pribadi itu tidak seharusnya menghalangi manusia untuk berinteraksi dan kerjasama. Lalu bagaimana Rasulullah SAW mengaktualkan makna-makna ayat di atas pada zamannya?  New York, 1 Februari 2022. (Bersambung)  

Natal, Tahun Baru, dan Imlek Tepat Waktu

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan HARI ini Imlek dan kalender pun merah menandakan hari libur. Bukan persoalan turun hujan tetapi kebebasan merayakan imlek tanpa ada pengunduran hari libur sebagaimana dahulu terjadi pada Tahun Baru Hijriyah dan Maulid Nabi. Hari Natal dan Tahun Baru juga \"tepat waktu\" antara perayaan dengan liburnya padahal saat itu pandemi masih berlangsung bahkan ada ancaman varian baru Omicron.  Pada Iedhul Adha 2021 umat Islam mengalami pembatasan ketat. Satgas membuat Surat Edaran No 15 tahun 2021 yang berisi pembatasan mobilitas masyarakat, pembatasan peribadatan, kegiatan keagamaan ditiadakan, pembatasan silaturahmi yang diarahkan virtual, hingga pembatasan kunjungan tempat wisata.  Ketika Luhut Binsar Panjaitan meramalkan bahwa Covid 19 akan meningkat pada bulan Februari Maret maka komentar nyinyir muncul yang mengaitkan peningkatan  itu dengan pelaksanaan puasa umat Islam. Berujung nantinya pembatasan ibadah Tarawih, Iedul Fitri, dan tentu saja mudik. Meski keterkaitan itu belum tentu benar namun telah terbentuk praduga negatif yang menjadi \"common sense\" umat  Islam.  Keadilan adalah persoalan utama dan yang kurang dimiliki Pemerintah. Semestinya libur Natal, Tahu Baru, dan Imlek diundur juga untuk menghindari kerumunan sekaligus wujud dari sikap konsisten dalam membangun kewaspadaan menghadapi pandemi Covid 19. Dibuat juga aturan pembatasan yang cukup ketat. Budaya waspada harus tetap dipertahankan.  Dengan Natal, Tahun Baru, dan Imlek lolos-lolos saja wajar akhirnya publik, khususnya umat Islam, mencurigai adanya diskriminasi perlakuan dalam kontek keagamaan. Apalagi digembor-gemborkan Covid 19 akan terus semakin meningkat. Lalu bergerak menuju gerbang peribadahan umat IsIam, Ramadhan dan Iedul Fitri.  Covid 19 yang awal muncul dari Wuhan Cina rupanya masih berlanjut episodenya. Hanya di Indonesia terus memakan korban hingga peribadahan agama-agama. Agama Islam tidak terkecuali. Bahkan kini terancam kembali. Kebijakan politik mengatasi pandemi tidak boleh bersifat diskriminatif.  Jika diskriminatif, maka umat wajar jika beranggapan bahwa Covid 19 memang ditunggangi dan sarat akan kepentingan pragmatik baik kepentingan bisnis maupun politik.  Natal, Tahun Baru, dan Imlek tepat waktu. (*)

Meski Kita Pancasila, Mengapa Kalian Benci Islam?

Tak cukupkah keringat kami teteskan?. Tak cukupkah air mata kami tumpahkan?. Tak cukupkah darah kami mengalir?. Tak terlihatkah oleh kalian,  tubuh-tubuh ini berdiri tegak dengan bahu yang kekar menopang Pancasila, UUD 1945 dan  NKRI. Rasanya, semua jiwa raga telah kami serahkan untuk selama-lamanya Indonesia tercinta. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam?. Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari BADAI intrik dan fitnah telah kami lalui. Jeruji besi sering membelenggu kami. Tak terhitung kain kafan menyelimuti saudara-saudara kami. Apa yang kurang yang telah kami berikan pada kalian?. Tapi mengapa kalian  membenci kami umat Islam?. Seperti air hujan yang membasahi dan matahari yang menyinari bumi. Begitu juga cinta kami menyirami dan menghangatkan pertiwi. Kami telah bersumpah  menjaga persada Indonesia, sampai kami berkalang tanah. Tapi mengapa kalian  membenci kami umat Islam?. Lahir batin kami sudah tercabik-cabik dan terkoyak. Kenapa pesantren kami kalian satroni?. Kenapa masjid-masjid kami kalian tandai?. Tak cukupkah hanya pada kami, kenapa harus lingkungan kami juga kalian usik?. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam?. Kami masih punya catatan sejarah dan kalian semua tahu itu. Keringat dan darah kami mengucur deras saat persalinan  bayi republik ini. Lewat asuhan dan pengayoman kami, NKRi tumbuh sehat, besar dan gagah hingga saat ini. Tak cukup sekedar waktu, tenaga dan harta yang kami punya yang kami berikan.   Kasih sayang dan cinta kami untuk negeri ini tak pernah surut sepanjang jaman. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam?. Kami juga pernah dikhianati. Saat kami harus bergandengan tangan, berangkulan dan menerima ideologi lain bersama kami demi keutuhan bangsa ini. Kami masih ingat namanya NASAKOM, sehingga kami harus bisa menerimanya. Tapi tak seperti sekarang ini, kami begitu amat sangat dimusuhi.  Kurang apa lagi kami menjaga kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa ini?. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam?. Terkadang kami menahan rasa sakit dan harus mengabaikannya. Melihat penderitaan saudara-saudara seiman kami nun jauh di seberang lain dunia. Tapi  kami  tak bisa menyamakan itu dengan kami di negeri sendiri, meski kami membatin. Kami terus bertahan, tanpa  yang seharusnya layak  kami terima. Kami bergeming meski terasa menyesakkan. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam? Cukup, cukup, cukup sudah. Kami tak bisa menerima lagi. Kami tak bisa terus seperti ini. Kami dididik menjunjung kesabaran  yang tiada batasnya. Tapi bukan seperti ini juga. Sampai hari ini, kami masih menjadi sasaran penjara dan kematian. Kalau kalian tak berubah, kami akan mengadu. Kami akan mencari tempat bersandar dan meminta ampun serta keselamatan. Memohon  perlindungan dan pertolongan hanya kepada Allah azza wa jalla. Cukuplah Allah sebagai penolong kami. Hanya itu yang dapat kami lakukan. Hanya itu yang terbaik buat kami. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam? Kami tak ingin kekayaan yang berlimpah di negara ini. Apalagi sampai mengambil hak yang lain. Kami tak ingin memiliki dan  menguasai semua itu.  Kami juga tak ingin diperlakukan istimewa, sehingga mengabaikan yang lain. Bukan materi dan kebendaan  yang kami inginkan yang menjadi tujuan kami. Tapi mengapa kalian membenci kami umat Islam? Kami hanya ingin keadilan. Kami hanya ingin kedamaian. Kami hanya ingin beribadah menjalankan syariat, sama seperti kalian menjalankan agama dan keyakinannya. Kami  ingin kesetaraan dan respek  dalam pergaulan semua. Kami ingin ada persaudaraan diantara kita, dalam satu napas kebangsaan. Menerima dan diterima sebagai sesama anak bangsa. Kami hanya ingin yang sepantasnya dan sewajarnya. Kami tak minta lebih dari semua itu. Kami Islam, kami nasionalis dan kami bersama yang lainnya, menjadi segala kebaikan buat negara bangsa Indonesia. Jadi, mengapa dan mengapa?. Meski kita  Panca Sila, tapi mengapa kalian benci Islam? *) Tulisan ini didedikasikan teruntuk semua anak bangsa yang masih bersetia dan menggandrungi Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI. Dengan ketulusan cinta dan kasih sayang, utamanya untuk aktifis pergerakan, para pejuang dan syuhada yang menukarkan kebebasan  dan seluruh jiwa raganyanya, dengan keberlangsungan negara bangsa Indonesia. Tabiik.

Beringas, Minoritas Menindas Mayoritas

Tudingan politik identitas yang dialamatkan ke umat Islam,  terus digiring sebagai momok yang menakutkan. Selain sebagai gerakan intoleran, politik identitas itu kerap dianggap mengancam kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa.  Sejalan dengan itu, tirani minoritas terus menunjukkan superioritasnya pada mayoritas. Segelintir orang dan kelompok yang sesungguhnya  juga menjadi bagian dari politik identitas, bebas melenggang menguasai hajat hidup orang banyak dengan kekuasaannya terhadap negara dan kekayaan sumber daya alam di dalamnya. Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari BUKAN hoax apalagi fitnah adanya  berita tentang lahan di Indonesia dikuasai tidak lebih dari 1% penduduk. Selain pengelolaan sumber daya alam dan produksi-produksi kebutuhan pokok rakyat. Pemilik modal perorangan dan dalam bentuk korporasi itu, bahkan mampu menggeser peran negara. Pemerintah dan fungsi regulasinya telah diambil mesin-mesin kapitalisme dalam wujud perusahaan transnasional maupun multinasional. Konstitusi berikut aparatur pemerintahan   telah dibeli dan menjadi cabang-cabang kekuatan industri borjuasi korporasi. Kepemilikan modal besar mampu melemahkan eksistensi negara, untuk selanjutnya melumpuhkan kekuatan rakyat. Demokrasi dilumpuhkan, institusi-intusi negara dan kelembagaan politik  telah menjadi alat sekaligus tameng birokrat dan pengusaha. Taipan-taipan itu menggandeng pemerintahan dan kemudian menjadi oligarki  yang membajak Indonesia. Kesadaran kritis dan gerakan perlawanan semakin tak berdaya. Rezim kekuasaan yang ditunggangi mafia ekonomi dan politik, melancarkan represi dan atau fasilitas berupa harta   dan jabatan. Rakyat terbelah, sebagian turut mengekor pada kekuasaan dan tunduk pada pengusaha pengendali pemerintahan. Sebagian besar lainnya pasrah dan sedikit yang menentangnya secara sporadis dan parsial. Itupun kalau masih bisa selamat dari rezim. Pemimpin-pemimpin intelektual dan agama tiarap dan mencari jalan aman dengan melakukan kompromi pada kekuasaan. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri dalam keterbatasan menghadapi kesulitan ekonomi, tekanan kebijakan politik rezim  dan mulai merasakan kesulitan hidup.  Rakyat mulai kehilangan semangat persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa. Konflik horisontal terus menghantar ke jurang disintegrasi sosial. Semakin komplit penderitaan rakyat banyak, hidup dalam kemiskinan dan terpecah-belah. Semua itu umat Islam yang paling merasakannya. Politik Adu Domba dan Maraknya Penghianatan Sebagai rakyat mayoritas, umat Islam selalu menjadi korban eksploitasi. Selain sistem yang membatasi umat Islam secara syariat dan sosial. Keberadaan umat Islam juga sejak dulu sudah mengalami politisasi dan menjadi korban kebijakan rezim. Bukan hanya termarginalkan, umat Islam juga intens  dilanda proses deislamisasi. Tak cukup stigma dan stereotif, umat Islam terus menjadi target pembunuhan karakter dan kriminalisasi. Tidak hanya dari distorsi kebijakan dan aparat institusi tertentu, umat Islam khususnya para ulama rentan dari  penganiaan dan kebiadaban  pembunuhan, dari  operasi oknum aparat  intelejen maupun intitusi negara.  Tidak hanya dalam kehidupan internasional, di negerinya sendiri nasib umat Islam begitu memprihatinkan. Umat Islam secara ekonomi telah menjadi pasar yang menggiurkan bagi kepentingan global, dalam ranah politik ditempatkan sebagai potensi kekuatan yang harus ditaklukan dengan pelbagai cara.  Dalam koridor hukum, syariat Islam menjadi momok sekaligus musuh yang dianggap berbahaya bagi ideologi-ideologi dunia yang menganut materialisme dan kebebasan tanpa batas. Sekulerisasi, liberalisasi dan tumbukan-tumbukan atheisme menjadi belenggu sekaligus benteng kokoh bagi kebangkitan dan kejayaan umat Islam baik di Indonesia khususnya maupun umat Islam di dunia pada umumnya. Umat Islam yang mayoritas, secara peran politik, ekonomi dan hukum  belum bisa beranjak dari aspek kuantitas menuju kualitas. Entitas keagamaan yang pernah mengalami masa-masa jejayaan dunia itu. Kini terus mengalami kemerosotan aqidah dan ghiroh Islam. Terus diperdaya dan dalam keterpurukan yang amat dalam. Telalu jauh umat Islam terperosok dalam lubang dekadensi moral keislaman dan banyaknya penghianatan dari dalam yang sejatinya menjadi musuh umat Islam juga. Rasanya memang tragis dan mengenaskan pada apa yang terjadi yang dialami umat Islam. Dunia seperti memusuhinya tanpa pernah berhenti sebelum benar-benar hancur dan hilang dari muka bumi. Kalangan kafirun  anti Islam,  para munafikun dan fasikun dari umat Islam sendiri,  berkolaborasi merusak umat Islam. Begitupun di bumi dalam helaan nafas  Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI,  dimana umat Islam menjadi rahim yang melahirkannya. Umat Islam, seperti jasad yang tanpa ruh di dalamnya. Umat Islam bukan tidak punya panduan hidup sebagaimana adanya Al Quran dan hadis. Namun ia lebih nyaman  menyukai dan gigih menjalani cara hidup yang jauh dari Al Quran dan hadis itu sendiri. Umat  Islam  banyak tapi sesungguhnya sedikit. Umat Islam memiliki persatuan atau ukuwah, tapi sesungguhnya tercerai-berai. Umat Islam kuat tapi sesungguhnya lemah. Kenyataan-kenyataan ini yang harusnya menjadi kesadaran umat Islam, untuk kembali kepada Al Quran dan sunah agar selamat di dunia dan akhirat. Termasuk bagaimana menghadapi situasi yang dialami umat Islam di Indonesia saat ini. Tercabik-cabik dan terkoyak, karena beringasnya  minoritas menindas mayoritas. (*)

Anggota DPR RI Desak Perusahaan Non Esensial Segera Terapkan "WFH"

Jakarta, FNN - Anggota Komisi IX DPR Elva Hartati mendesak perusahaan non esensial segera menerapkan sistem bekerja dari rumah atau work from home (WFH) oleh karena kasus positif COVID-19 semakin meningkat.   Elva Hartati dalam keterangannya diterima di Jakarta, Senin, mengatakan per Minggu, 30 Januari 2022, kasus aktif COVID-19 mencapai 61.718 setelah ada penambahan kasus sebanyak 9.163.   Ia meminta kenaikan kasus tersebut harus menjadi perhatian semua kalangan, termasuk juga dari dunia usaha. \"Presiden Joko Widodo telah mengimbau dengan sangat jelas bahwa bagi pekerja yang bisa menerapkan \'WFH\' segera melaksanakan, mengingat kasus positif COVID-19 meningkat dengan terus meningkatnya transmisi lokal varian Omicron,\" ujarnya. Elva menyampaikan kebijakan pemerintah sudah jelas bahwa hanya sektor esensial saja yang masih bisa beroperasi normal dengan protokol kesehatan ketat. \"Komisi IX mendukung seluruh program safety net untuk siap dilaksanakan membantu masyarakat yang terdampak,\" ucapnya.  Dia mengatakan Komisi IX DPR melaksanakan rapat kerja dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Satgas COVID-19 pada dua pekan lalu untuk memitigasi gelombang ketiga COVID-19. Komisi IX DPR mengusulkan agar pemerintah menjadikan data bed occupancy rate (BOR) atau tingkat keterisian tempat tidur untuk pasien COVID-19 di rumah sakit atau ICU sebagai patokan dalam memutuskan pelaksanaan PPKM. \"Kami masih yakin hanya dengan pengendalian pandemi dari sisi kesehatan dapat mendorong pemulihan ekonomi secara maksimal,\" katanya. Menurut Elva pemerintah telah menyiapkan berbagai langkah mitigasi pengendalian pandemi di bidang kesehatan yang juga memikirkan keberlangsungan dunia usaha. Beroperasinya 11 sektor bidang usaha esensial menjadi salah satu langkah solutif agar seluruh denyut perekonomian terus berlanjut sembari memastikan pandemi terkendali. \"Kami meminta dunia usaha sedikit bersabar sembari mendukung penuh upaya pemerintah dan parlemen mengendalikan pandemi sehingga perekonomian dapat pulih kembali,\" ujarnya. Sedangkan Anggota Komisi IX DPR Saniatul Lativa mengingatkan bahwa peningkatan kasus COVID-19 sekarang lebih banyak dari transmisi lokal. \"Jika perusahaan tetap mempekerjakan karyawannya, maka harus dipastikan bahwa karyawannya aman dari Omicron dan aman dari transmisi lokal penularan Omicron,\" imbuh Saniatul. Meski demikian, dia mengatakan sementara penambahan kasus COVID-19 di Indonesia paling terkendali dibandingkan lima negara lain di Asia, India, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Berdasarkan data ourwordindata.org, kasus COVID-19 baru yang dikonfirmasi per 1 juta penduduk terlihat grafik penambahan kasus di Indonesia dominan landai.Dia melanjutkan per 26 Januari 2022, angka konfirmasi positif di Indonesia sebesar 13,27 per 1 juta penduduk. Menurut dia, hal itu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura dengan konfirmasi positif sebesar 825,80 per 1 juta penduduk.Begitu juga dengan Filipina sebesar 233,71 per 1 juta penduduk, India sebesar 220,71 per 1 juta penduduk, Malaysia sebesar 121,19 per 1 juta penduduk, dan Thailand sebesar 110,20 per 1 juta penduduk.\"Namun, pemerintah dalam hal ini Kemenkes RI harus tetap menyediakan fasilitas di rumah sakit, terutama tempat tidur perawatan agar disediakan secara maksimal,\" ujarnya. (mth)

Shin Berharap Proses Naturalisasi Pemain Keturunan Dipercepat

Jakarta, FNN - Pelatih Tim Nasional Indonesia Shin Tae-yong berharap proses naturalisasi empat pemain keturunan Indonesia bisa dipercepat agar mereka dapat memperkuat skuad \"Garuda\" mulai tahun 2022.\"Saya berharap naturalisasi itu dipercepat. Saya akan sangat berterima kasih kepada pemerintah Indonesia dan PSSI jika itu bisa dilakukan,\" ujar Shin, dikutip dari keterangan PSSI yang diterima di Jakarta, Minggu (30/1) malam.PSSI tengah mengusahakan naturalissi empat pemain yaitu Sandy Walsh, Jordi Amat, Mees Hilgers dan Ragnar Oratmangoen.Sandi Walsh (26 tahun) berposisi sebagai bek kanan dan berkewarganegaraan Belanda. Sekarang dia memperkuat klub Liga Belgia KV Mechelen.Lalu Jordi Amat (29 tahun), bek tengah klub Liga Belgia KAS Eupen dan saat ini memegang paspor Spanyol.Mees Hilgers merupakan bek tengah berumur 20 tahun yang berkarier di klub Twente FC di Liga Belanda. Dia berstatus sebagai warga negara Belanda.Warga Belanda lain, Ragnar Oratmangoen yaitu pemain sayap klub Go Ahead Eagles di Liga Belanda yang baru berusia 23 tahun.Andai semua proses tuntas dan menjadi WNI, mereka dapat langsung memperkuat skuad \"Garuda\" karena memiliki garis keturunan Indonesia dan belum pernah memperkuat timnas senior di negaranya saat ini.Dari pihak PSSI, upaya naturalisasi mereka dipimpin oleh anggota Komite Eksekutif Hasani Abdulgani.Hasani sempat mengunggah pernyataan di media sosial Instagramnya @hasaniabdulgani yang menyatakan harapan naturalisasi dapat dilakukan maksimal April 2022.\"Apabila terjadi, Insyaallah pemain tersebut bisa bermain di kualifikasi Piala Asia, Juni mendatang. Target Ketua Umum PSSI adalah para pemain keturunan tersebut dapat membela timnas di babak kualifikasi Piala Asia dan Piala AFF 2022,\" tulis Hasani. (mth)     

Kemerdekaan Jiwa

Negara begitu terbuka  menyediakan ruang dan waktu bagi setiap kesadaran. Pada Jiwa yang hidup, tak akan pernah lepas dari domain dan irisan negara. Sebagian besar mengambil peran sebagai aktifis, sebagian kecil memilih jalan sebagai pejuang. Aktifis pergerakan lebih banyak meniti karir  politik dan ekonomi, ikut menikmati kue kekuasaan, sementara  pejuang menyusuri jejak langkah idealisme, berujung penjara atau kematian. Sama-sama memiliki keyakinan dan membangun catatan sejarahnya masing-masing. Oleh Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari KEDUANYA seperti serupa tapi tak sama. Memiliki perbedaan yang sangat tipis, meski prinsip dan mendasar. Dituntun oleh  eksistensi yang berbeda, dinamika kelompok-kelompok perubahan itu,   sering hadir dan dinilai dalam keragaman sudut pandang. Proses dan cara menikmati hasilnya,  sering menunjukkan betapa masing-masing memiliki motif dan keinginan sendiri. Pertemuan keduanya kerapkali tidak bisa dihindarkan, saat  yang satu berada dalam kekuasaan dan yang lainnya berada di luar sistem. Apa yang dulu diperjuangkan dan dilawan bersama, kini menjadi sebaliknya. Sebagian menjadi barisan  pendukung kekuasaan, sebagian lagi mengambil sikap oposisional. Kesadaran krisis dan kesadaran makna pada setiap orang, menuntunnya pada pilihan-pilihan dan tujuan hidupnya. Pada satu ketika perjalanan akan membawanya menemukan sebuah persimpangan, menuju jalan rasional atau jalan pengabdian. Jalan mainstream yang ramai juga  penuh sesak karena menawarkan peluang dan fasilitas hidup berlimpah. Atau jalan kesunyian yang sering dianggap terbelakang dan jauh dari penghormatan. Betapa bengisnya kehidupan, karena menawarkan  kehormatan pada orang yang berharta dan memangku jabatan walau dipenuhi kemunkaran. Sementara kehinaan dan pandangan rendah manusia, terus menghinggapi kesahajaan dan yang memilih hidup sederhana meski mengusung kebenaran dan keadilan. Seoertinya tak ada tempat dan kesempatan hidup bagi kemiskinan. Tanpa disadari, sifat mengagungkan materi dan kebendaan itu membangun podasi kapitalisme yang kokoh, yang dideklarasi sebagai musuh bersama. Melawan Hasrat Memiliki Dunia Seringnya terjebak dan gagal menciptakan keseimbangan  di antara kesadaran rasional materil dan kesadaran ideal spiritual. Membuat banyak orang mengambil pilihan lebih karena tekanan dan tuntutan hidupnya. Berada pada   wilayah nyaman, menjadi tempat yang banyak dibanjiri orang.   Berbondong-bondong mengejar status sosial, sangat bergantung dan membutuhkan pengakuan publik. Terkadang mengambil jalan pintas, menjadi pilihan yang terbaik dalam mencapai tujuan. Sikap ini cenderung lebih suka menerima dan mengambil sesuatu dari negara atau orang lain. \"Jangan tanyakan apa yang telah negara berikan untukmu, tapi tanyakanlah apa yang telah engkau berikan untuk negara\". Boleh jadi kata-kata bijak itu,  menjadi kegelisahan dan reaksi pada keadaan yang demikian. Sementara di luar itu, saat keberanian  bergumul dengan nilai-nilai spiritual. Gandrung menelusuri kedalaman hakekat dan hubungan sosial dan tresedental. Menjalani hidup  dengan melepaskan semua potensi yang ada dan  dimilikinya untuk khalayak. Mewujudkan  penyerahan dirinya bagi kemanusiaan dan Ketuhanan. Telah menjadi pilihan yang tidak populer,  tidak realistis bahkan dianggap gila. Mentalitas ini yang  enggan digeluti orang, karena memiliki banyak keterbatasan dan seringnya  ketiadaan dalam ukuran materi. Menjadi terasing karena tidak menjadi tempat orang menghamba, meminta dan mengemis. Kehadiran anak istri dan keluarga lainnya semakin mengokohkan  kehadiran dan pengakuan akal sehat.  Seiring waktu, suasana batin dan keinginan juga akan berubah. Rela meninggalkan komitmen dan konsistensinya pada daya juang. Hal-hal yang terkait  idealisme menjadi lebih kecil dan terbatas, dari negara dan bangsa bergeser untuk orang-orang terdekat yang dicintai. Pengabdian kepada sesama dan kepada Tuhan, lebih banyak muncul sebagai kata-kata mutiara. Sama halnya moralitas dan agama yang indah dan mudah terdengar, namun sulit mewujud dalam laku. Banyak yang kemudian menjadikan revolusi baik diri dan  negara bangsa sebagai sesuatu yang tabu, karena harus terpaksa berhadapan dan berjuang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagai bagian dari rakyat yang tercerahkan. Aktivis pergerakan baik sebagai sekedar aktivis semata maupun sebagai pejuang. Keduanya sama-sama memiliki kesalehan sosial dan ketrampilan sosial. Mengemban amanat penderitaan rakyat yang tak mudah dipikulnya. Meskipun banyak mengeluarkan waktu, tenaga bahkan biaya yang tidak sedikit. Harus berhadapan dengan realitas, menjadi nilai-nilai yang berbeda atau seperti kebanyakan orang pada umumnya. Menjadi aktivis pergerakan yang telah mendarah-daging dalam hidupnya,  namun tetap dapat berkompromi dengan keadaan. Pada pilihan berat,  harus menanggung perihnya menjadi pejuang yang terkadang harus mengabaikan dirinya dan  menumpahkan darahnya sendiri. Di satu sisi  mengikuti kehendak bersama, seiring sejalan meski dengan  keakuan. Di lain sisi hidup menggenggam idealisme dalam kesendirian. Aktivis pergerakan dan pejuang yang sesungguhnya, mungkin akrab dengan dilema. Bertahan  dalam keterbatasan atau tak sanggup lagi hidup sengsara. Masih ada pilihan untuk menjadi ofortunis atau setia pada perjuangannya. Biarlah sejarah yang akan mencatat hitam putihnya. Menjadi pahlawan dan dihujat sebagai  penghianat. Menerima kekalahan idealisme sebagai pecundang  atau teguh berkarakter memiliki kemerdekaan jiwa. (*)

Selamatkan Masjid

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Keagamaan ANEH jika kita harus membahasakan selamatkan masjid, akan tetapi hal itu nampaknya akan menjadi kenyataan dan cukup beralasan. Isu radikalisme telah menjadi senjata kaum imperialis untuk melumpuhkan umat Islam dengan menduduki benteng pertahanan umat yaitu masjid. Dimulai dengan pola pemetaan. Serangan pada masjid di manapun hanya dapat dan tega dilakukan oleh kaum komunis dan imperialis.  Diawali dengan pemetaan Pesantren dimana BNPT telah melakukan pemetaan dengan mengungkap bahwa 198 Pesantren telah terafiliasi dengan jaringan teroris. Luar biasa konklusinya. Soal kriteria dianggap tidak penting hanya persepsi sendiri seperti karet yang ditarik ke kiri dan ke kanan bukan kriteria berdasar peraturan perundang-undangan. Padahal diksi terorisme itu diatur ketat oleh Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.  Berprasangka bahwa masjid dan pesantren adalah sarang radikalisme dan terorisme adalah pandangan sesat, jahat dan berbahaya bagi kesatuan bangsa dan negara. Wujud dari gerakan sekulerisasi dan de-islamisasi yang ingin menghancurkan sendi -sendi keagamaan dan kebersamaan. Mencurigai, memetakan, dan mengontrol kegiatan masjid adalah sikap intoleran, radikal, bahkan teror. Terorisme negara.  Wajar sekali jika MUI dan DMI dan Ormas Islam mereaksi atas agenda ini. Karena ada kebijakan berbau Islamophobia yang menempatkan umat Islam sebagai \"musuh negara\" dan hal ini tidak masuk akal. Ingin membangun negara yang mayoritas umat Islam bukan dengan  menggali potensi maksimal umat Islam tetapi justru memusuhi dan memecah belah. Sekali lagi model seperti ini hanya dapat dilakukan oleh penguasa politik komunis dan imperialis.  Pemerintah Jokowi harus mengevaluasi cara pandang negatif terhadap umat beragama, umat Islam khususnya. Mengubah dari menempatkan umat Islam sebagai \"musuh\" menjadi sekurang-kurangnya \"teman\" jika tidak mampu menjadikan sebagai \"dirinya\". Pemerintah Jokowi jangan membuka peluang dinilai sebagai pemerintah yang anti Islam. Anti Ormas Islam, anti Pesantren dan Anti Masjid.  Jika tidak mengubah pola dan kebijakan politik bahkan terus \"membombardir\" umat Islam dengan isu intoleran, radikal, bahkan terorisme, maka umat Islam wajar jika harus merapatkan barisan untuk menghadapi potensi pecah belah dan konflik vertikal horizontal.  Dikhawatirkan agenda tertunda MUI \"masirah kubro\" akan menjadi terealisasi. Menyerang masjid sudah memasuki ruang yang paling sensitif.  Stop pemetaan masjid. Selamatkan masjid. (*)

Kepolisian Indonesia dari Masa ke Masa 1945-2022

Oleh Natalius Pigai, Aktivis HAM KEPOLISIAN Indonesia dari 1945-1959 adalah era transisi. Tanggal 29 September 1945 R.S. Soekanto ditetapkan oleh Presiden sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Tugas utama R.S. Soekanto adalah “mengubah mental kepolisian yang bermental kolonial. Menyatukan seluruh fungsi kepolisian yang terpecah-pecah pada masa Hindia Belanda.  Soekanto memulai tugas Sebagai Kapolri dari “modal nol\". Tidak punya kantor dan tidak punya staf. Secara formal tidak mempunyai wewenang karena melanjutkan Hoofd van de Dienst der Algemene Politie. Wewenang kepolisian ketika era Seokanto yang terpecah-pecah dianggap berlaku. Bahkan kondisi ini berlangsung sampai era Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan hingga era Orde Lama. Kapolri Soekanto digantikan oleh Soekarno Djojonegoro. Pada era ini dimulainya pembangunan institusi Polri dan terjadinya konflik regional, yang dimulai dari tahun 1959-1963. Era ini juga sebagai perubahan nama, penguatan prinsip Polri dan terjadinya konflik regional. Kepolisian massa kepemimpinan Soekarno Djojonegoro menadai beberapa peristiwa penting.  Pada era Soekarno Djojonegoro itu, Kepolisan Negara bergabung dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di tahun 1960. Selain itu, empat (4) janji prajurit kepolisian, \"Catur Prasetya\" diikrarkan pada tanggal 1 Juli 1960. Setahun kemudian pada tahun 1961 Catur Prasetya resmi dijadikan sebagai pedoman kerja kepolisian Indonesia, selain Tribrata sebagai pedoman hidup.  Kepolisian Indonesia juga berubah nama menjadi Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI). Terjadnia konflik Irian Barat dengan Belanda dan pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII), APRA dan lain-lain.  Setelah Soekarno Djojonegero berakhir, Polri dipimpin Soetjipto Danoekoesoemo dari tahun 1963-1965. Pada eranya Soetjipto Danoekoesoemo lahirlah Lembaga Pendidikan Polisi dan KUHP 1963-1965. Selain itu, beberapa peristiwa penting seperti Kepala Kepolisian Negara yang disebut Menteri Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak). Lahir juga Sekolah Staf dan Komando Angkatan Kepolisian (Seskoak) di Lembang Bandung yang didirikan tahun 1965 di era Soetjipto Danoekoesoemo. Adanya pemberlakuan KUHP Tentara, (Hukum Acara Pidana (HAP) Tentara. Selain itu diberlakukan juga Kitab Undang-Undang Darurat Tentara (KUDT) yang berlaku untuk semua anggota Polri.  Setelah rerakhirnya Soetjipto Danoekoesoemo di tahun 1965, naiklah Kapolri R. Soetjipto Joedodihardjo, yang menjabat dari tahun 1965-1968. Era kepemimpinan Kapolri R. Soetjipto Joedodihardjo ini penuh dengan gejolak politik. Sebab pada era inilah terjadinya masa transisi dari kekuasaan Orde Lama (Orla) ke Orde Baru (Orba).  Pada 1965, Presiden Soekarno melantik Raden Soetjipto Joedodihardjo menjadi Menteri/Pangak Republik Indonesia diubah menjadi Kementerian Angkatan Kepolisian (Kemak). Perubahan ini sehubungan dengan keluarnya Keputusan Presiden 27 Maret 1966 tentang susunan Kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi (Dwikora III). Namun namanya berubah lagi menjadi Depak menyusul pembentukan organisasi Kabinet Ampera.  Struktur organisasi kepolisian beberapa kali berubah karena kondisi dan situasi politik ketika itu agak memanas. R. Soetjipto Joedodihardjo menjabat Kapolri sampai dengan tahun 1968. Setelah itu, di tahun yang sama Presiden Soeharto mengankat Hoegeng Iman Santoso sebagai Kapolri menggantikan R. Soetjipto Joedodihardjo.  Hoegeng yang terkenal sebagai polisi paling bersih itu menjabat sebagai Kapolri dari tahun 1968-1971. Hoegeng berhasil merubah wajah polisi menjadi yang jujur dan cemerlang di panggung dunia internasional. Kapolri Hoegeng Iman Santoso melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut struktur organisasi Polri. Struktur organisasi polisi baru, yang terkesan lebih dinamis dan komunikatif.  Berdasarkan Keppres Nomor 52 Tahun 1969 Kepala Polisi berubah nama menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Kepemimpinan Hoegeng muncul Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional seperti International Criminal Police Organization (ICPO). Hal itu ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.  6. Era 1974-1977 Pendirian Samsat Dan Narkotika Kapolri Widodo Budidarmo adalah ketika Polri sepakat mendirikan Kantor Bersama 3 Instansi (Samsat) di wilayah hukum Polda Metro Jaya menjadi cikal bakal Samsat. Pada masa itu pula pemerintah mengeluarkan UU Nomor 9 tentang Narkotik pada tanggal 26 Juli 1976.  7. Era Polri Melahirkan KUHAP 1978-1982 Prof Dr. Awaloedin Jamin menjabat Kapolri selama empat tahun, dari tahun 1978 sampai tahun 1982 melahirkan KUHAP UU No. 8 Tahun 1981 sebagai hasil karya bangsa Indonesia sendiri disahkan DPR-RI. KUHAP sebagai pengganti Het Herziene Inlandsh Reglement (HIR), hukum acara pidana produk kolonial Belanda yang dianggap telah usang dan tidak manusiawi. Polri berperan aktif menyumbangkan pokok-pokok pikiran untuk materi KUHAP baru itu. 8. Era1982-1986 Anton Soejarwo Melanjutkan Tugas Pokok dan Fungsi Kepolisian. Melaksanakan Pola Dasar Pembenaan Polri 9. Era 1986-1991 Mochamad Sanoesi Pola Dasar Pembinaan Polri & Kamtibmas. Ketika menjabat Askamtibmas Kasum ABRI, Sanoesi Polri menyusun Strategi Pembinaan Kamtibmas. Naskah inilah yang kelak menjadi embrio dari Optimasi dan Dinamisasi. Strategi Opdin sebagai benang merah kelanjutan dari kedua Strategi Kapolri sebelumnya, yaitu \"Pola Dasar Pembenahan Polri\" oleh Kapolri Jenderal Pol DR Awaloedin Djamin MPA, dan \"Rencana Konsolidasi dan Fungsionalisasi (Rekonfu)\" oleh Kapolri Jenderal Pol Anton Soedjarwo. 10. Era 1991-1993 Kunarto Melanjutkan Tupoksi Polri. 11.Era 1993-1996 Banurusman. Melanjutkan Tupoksi. 12.Era1996-1998 Pembentukan Unit Reaksi Cepat (URC) Kapolri Dibyo Widodo untuk melayani dengan cepat segala keluhan masyarakat muncullah gagasan pembentukan satuan Unit Reaksi (URC), dimana setiap ada laporan dari masyarakat, dalam tempo singkat satuan Polri segera tiba di tempat kejadian. Kehadiran URC di TKP dengan cepat pertama-tama adalah pengamanan TKP dengan memberikan pita kuning bertanda \"DILARANG MELINTAS GARIS POLISI\" sehingga semua data, baik berupa sidik jari maupun bukti-bukti yang lain belum terjamah oleh orang lain. 13.Era1998-2000 Roesmanhadi Melanjutkan Tupoksi 14 .Era 2000-2000 Rusdiharjo Melanjutkan Tupoksi 15.Era 2000-2001 Bimantoro Melanjutkan Tupoksi 16.Era 2001-2001 Chaerudin Ismail Melanjutkan Tupoksi 17.Era 2001-2005 Penguatan Anti Terorisme Era Kapolri Da’i Bachtiar, pada 15 Oktober 2002 mengumumkan bahwa hasil penyelidikan para penyelidik Indonesia pada lokasi kejadian Bom Bali 2002 telah berhasil menemukan bekas bahan peledak. Menghasilkan UU Anti Terorisme. 18.Era 2005-2008 Berantas Perjudian Kapolri Sutanto telah memutus dan berantas perjudian yang masif dan menghentikan perjudian di seluruh Indonesia. 19.Era 2008-2010 Hendarso Daruri: Melanjutkan Tupoksi 20.Era 2010-2013 Timur Pradopo: Melanjutkan Tupoksi 21.Era 2013-2015 Soetarman: Melanjutkan Tupoksi 22. Era 2015-2015 Badrodin Haiti: Melanjutkan Tupoksi 23. Era 2016-2019 Melanjutkan Tupoksi Melalui Promoter Pada massa kepemimpinan Tito Karnavian institusi polisi bertugas melaksanakan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) sebagaimana amanat negara berdasarkan UU Kepolisian. Pelaksaan Tupoksi dilakukan melalui konsep Profesional, Modern dan Terpercaya (Promoter). 24. Era 2019-2020 Idham Asis Melanjutkan Tupoksi 25. Era 2021-Sekarang Listyo Sigit Prabowo: Setelah 75 Tahun Wajah Polisi Berubah Dengan Berbagai Inovasi dan Prestasi Wajah Polisi Berubah dengan berbagai Inovasi dan Prestasi setelah 70 Tahun Indonesia merdeka. Melalui Konsepsi Presisi (Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan). Di bawah pimpinan Listyo Sigit Prabowo Kepolisian muncul sebagai institusi penegak hukum yang humanis dan emansipastoris. Kepercayaan masyarakat terhadap Polri semakin meningkat berdasarkan survei yang dilakukan beberapa Lembaga diantaranya Lembaga Kajian Strategi Kepolisian (LEMKAPI) menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat dari tahun 2016 sampai dengan 2021 semakin meningkat yakni 86,3%, dan menurut Cyrus Network dimana tingkat kepercayaan masyarakat di tahun 2021 diangka 86,2%. Hasil survey ini menujukkan wujud nyata dari keberhasilan dan transformasi polisi yang presisi. Berbagai inovasi yang telah dilakukan antara lain melalui kebijakan restorative justice, penghormatan terhadap hak asasi manusia, pelaksanaan pembangunan dalam melaksanakan penugasan tambahan pemerintah telah merebut kepercayaan masyarakat. Berikut adalah sederet inovasi dan prestasi yang diraih institusi polisi sejak tahun 2021 yakni melalui 16 program prioritas Kapolri dan 8 Komitmen Kapolri: 1. Tranformasi Organisasi a. Pengembangan dan Penguatan Struktur dan Pengembangan Densus menjadi Bintang 2 dan Direktur Bintang 1. b. Pengembangan Struktur Brimob, c. Mengembangkan Pelayanan Pusdokkes sampai di tingkat desa d. Pengembangan Struktur Baru di Bareskrim yakni Unit pelayanan korban perempuan dan anak. e. Pengembangan dan Pengubahan Tipe Polsek 2. Transformasi Personalia a. Mengurangi Kesenjangan Gender b. Memberikan jabatan perwira tinggi kepada perempuan yang kompeten untuk memegang jabatan high risk. c. Rekrutmen pro aktif. Misalnya lulusan Santri, merekrut personil polri dari pedalaman, OAP. d. Penanganan Pandemi: Rekrutmen Dokter dan Perawat dalam rangkah Akselerasi Vaksinasi e. Meningkatkan Kualitas SDM dengan mengirimkan 700 personil untuk kuliah dan pelatihan di luar negeri. f. Kegiatan Integrasi TNI/Polri dalam semua level g. Pemberian Penghargaan sebanyak 3.100 kepada 2.900 anggota  h. Pemberian Punishment secara Tegas dan Terukur i. Pemberian fasilitas rumah serta menyiapkan anggota menghadapi purna tugas 3. Pengembangan Teknologi Kepolisian a. Menyiapkan Satu Big Data Polri melaui Satu document centre b. Prediktif Policing melalui Artifisial Intelijen c. Pengembangan Sarana dan Prasarana Teknologi dan Informasi d. Pengembangan Puslitbang Polri dan mendapat akreditasi level sinta 5 4. Transformasi di Bidang Oprasional a. Menyiapkan Bos (Binmas Online System) b. Monitoring pemanfaatan dana desa melalui Online c. Penegakan hukum di bidang lalu lintas melaui ETLE (Electronic Trafic Law Enforcement). d. Bencana hadir di tengah rakyat; Kebakaran hutan membentuk satgas dan menempatkan teknologi asap Digital Nasional. e. Maping atau Monitoring melalui alat Digital (sudah menjadi role model di dunia) f. Operasi untuk tanggulangi kebakaran hutan g. Berbagai operasi penanggulangan covid-19. 5. Penegakan hukum a. Telah terjadi penurunan 19,3% atau 53.360 perkara. Tingkat penyelesaian terjadi peningkatan sebesar 6,1%. b. Polri merubah pola dengan pendekatan Restorative Justice khususnya masalah biasa yang menimbulkan rasa ketidakadilan. c. Kejahatan terhadap perempuan dan anak dengan mengembangkan subdit Perlindungan Anak dan Perempuan menjadi Direktorat sendiri. d. Transnasional polri berhasil selesaikan perkara sebesar 2.601 kasus. e. Kejahatan cyber lintas negara. Pelaku meretas 71.000 akun di 43 negara. f. Polemik UU ITE khususnya pasal karet dengan mengeluarkan Surat Edaran Kapolri. g. Aplikasi virtual policy untuk preemtif dan preventif. Tidak seperti dulu yakni “tangkap baru cari barang bukti”. h. Narkoba, pengungkapan 2,5 ton narkoba.28,423 T i. Pemberantasan Korupsi dengan merekrut 43 eks pegawai KPK. j. Terorisme 370 tersangka yg diamankan dengan cara preemtif. Sudah ungkap 7 DPO termasuk Ali Kalora yang tersisa hanya 4 orang di Poso. k. Soft Approach di Papua: Bimas Noken, Tifa, Koteka, Kasuari. l. Penugasan Polhukam; Tim Pungli selamatkan Rp. 325 M. Penangkapan OTT Pungli 11 Ribu. m. Pinjaman Online Illegal. n. Pemberantasan Mafia Tanah o. Ruang pengaduan melalui Satgas Pangan untuk control agar semua distribusi, stabilitas harga terjaga. p. Petugas covid polri 61 Ribu orang. q. Pemulian Ekonomi Nasional dengan mengaktifkan Satgan PEN r. Merevitalisasi SP2HP Berbasis Online. 6. Transpormasi Pelayanan Publik. a. Disabilitas; Aksesibilitas, Hak dan Juga kesetaraan b. Pelayanan teknologi informasi melalui Telp 001 c. Soal Transportasi melalui elektronik d. Pemantapan komunikasi PolriTv, Polri Radio dan lainnya e. Keterbukaan Kebebasan berekspresi; lomba mural pestival dan yang menang adalah yang kritik Polri f. Lomba Orasi menghormati kebebasaran ekspresi 7. Tansformasi di pengawasan a. Leadership, Teknis dan Etik. b. Propam Presisi c. Aplikasi Dumas Polri untuk Handling Complaint d. Mural dan tuntutan publik mendapat perhatian maka jika polri ada yang salah maka mesti pecat e. Kegiatan PON f. Kegiatan MT GP g. Kegiatan G20  (*)