OPINI
Menguji “Fakta Hukum” Bisnis PCR Luhut dan Erick
Oleh: Mochamad Toha SETELAH sehari sebelumnya sempat ditolak, akhirnya Laporan Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) kepada Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir diterima oleh Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya. Hal itu berdasarkan Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP) bernomor B/5734/XI/2021/SPKT/Polda Metro Jaya tertanggal 16 November 2021. Ketua Majelis ProDEM Iwan Sumule melaporkan Luhut Binsar Pandjaitan dan Erick Thohir dengan sangkaan melakukan perbuatan melawan hukum yakni berbuat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dengan sangkaan Pasal 5 angka 4 junto Pasal 21 dan 22 UU 28/1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKB. Dengan diterimanya laporan terhadap Luhut dan Erick ini, Iwan Sumule mengapresiasi Polda Metro Jaya yang, menurutnya, sangat menerapkan equality before the law atau kesamaan di hadapan hukum. “Kami sangat mengapresiasi Polda Metro Jaya karena telah memperlihatkan bahwa ada kesamaan kedudukan dalam hukum, di depan hukum antara Prodem dan juga bapak Luhut Binsar Pandjaitan,” tegas Iwan Sumule pada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Selasa sore (16/11/2024). Menurut Iwan Sumule, dugaan kolusi dan nepotisme ini didasarkan pada kenyataan bahwa PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) mendapat proyek Polymerase Chain Reaction (PCR). Dalam pandangan Iwan Sumule, Luhut mendapatkan proyek PCR tidak lepas dari adanya kepemilikan saham Luhut dan dugaan keterhubungan dengan Erick Thohir. Apalagi perusahaan itu baru berdiri pada April 2020 atau tak lama setelah pandemi dinyatakan masuk Indonesia. “Luhut sudah akui dia ada di perusahaan yang ada di bisnis PCR. Kami aktivis terluka, karena salah satu poin tuntutan reformasi adalah pemerintahan yang bersih dari KKN,” tutupnya. Menurut Iwan Sumule, unsur KKN dalam praktik bisnis PCR dan swab antigen ini sudah memenuhi ketika Luhut mengakui dirinya memang memiliki saham pada PT GSI. “Pak Luhut sudah mengakui, bahwa ia ada di dalam PT GSI yang mendapat proyek pengadaan PCR. Nah Artinya unsur yang memenuhi KKN itu sudah memenuhi dan jelas,” kata Iwan Sumule. Disamping itu, lanjut Iwan, pihaknya terpaksa melaporkan kedua menteri Presiden Joko Widodo ini lantaran dianggap telah mengkhianati cita-cita perjuangan reformasi. Iwan Sumule mengatakan, cita-cita perjuangan reformasi yang dianggap fundamental ialah menuntut agar penyelenggara negara yang bersih dan terbebas dari KKN. “Makanya kami ke Polda. Kami melaporkan (Luhut dan Erick) soal KKN-nya yang juga merupakan tindakan pidana,” tegas Iwan Sumule. Pertanyaannya sekarang, mungkinkah Polda berani “melanjutkan” laporan Iwan Sumule ini hingga ke Kejaksaan dan Pengadilan? Jika melihat betapa kuatnya “pengaruh” Luhut selama ini, rasanya tidak mungkin! Coba saja lihat reaksi Luhut beberapa waktu lalu saat dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) atas dugaan keterlibatannya dalam bisnis tes PCR. Menanggapi adanya laporan tersebut, Luhut mengaku bahwa dirinya dan KPK justru tertawa melihat laporan tersebut. Ini karena Luhut membantah tegas bahwa dirinya terlibat dalam bisnis tes PCR dan meraup keuntungan dalam bisnis tersebut. “Kita bersoal yang gak penting gitu, ada yang bilang lapor KPK, ya laporin aja wong KPK dan kami juga rapat di kantor, saya sama KPK ketawa-tawa, ya gak masuk akal aja,” kata Luhut, dikutip dari YouTube Deddy Corbuzier. Ia juga mengaku sedih lantaran banyak orang yang justru dengan sengaja memanaskan suasana dengan menyebarkan fitnah keterlibatannya dalam bisnis tes PCR. “Saya sedihnya juga kadang-kadang kita itu gak mendidik anak muda kita untuk berpikir jernih, senang buat gosip yang bikin keruh,” ujar Luhut. Ia juga menegaskan dirinya tidak pernah sama sekali menerima keuntungan dari bisnis tes PCR. Ia bahkan mengaku bahwa sebagai seorang pejabat negara, ia tidak akan mengambil keuntungan diatas penderitaan rakyat. “Saya juga gak habis pikir kalau saya sebagai pejabat negara mau ambil untung dari masalah kemanusiaan, perusahaan saya cukup bagus kok,” kata Luhut. Menurutnya, uang pensiunan tentara dan pendapatannya sebagai seorang pengusaha sudah lebih dari cukup. Luhut menegaskan, ia tidak mungkin berani mengambil keuntungan pribadi di atas misi kemanusiaan. “Cukup lah pensiunan tentara itu lebih dari cukup, cukup, gak perlu (ambil keuntungan), sangat tidak perlu,” tandasnya. Coba tengok data yang ada di KPK atas Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) Luhut. Ia menjadi salah satu pejabat yang harta kekayaannya meningkat selama pandemi Covid-19. Kekayaannya bertambah Rp 67.747.603.287. Dalam laporan pada 24 Maret 2021, total harta kekayaan Luhut mencapai Rp 745.188.108.997. Luar biasa, bukan? Luhut memang pejabat kaya! Luhut juga menduga bahwa adanya kabar dirinya terlibat bisnis tes PCR ini sengaja ‘digoreng’ orang-orang tertentu yang berniat menjatuhkan dirinya. “Saya mau bilang ini ada mungkin orang jahat hatinya, ada mungkin faktor politik, kecemburuan pada kelompok pemerintah keliatan sukses ya banyak faktornya,” ungkapnya. Namun, tampaknya Prima tidak putus asa. Pada Rabu (17/11/2021), Prima kembali mendatangi KPK. Tujuannya untuk menagih soal perkembangan laporan kasus dugaan korupsi terkait bisnis tes usap PCR. Wakil Ketua Prima Alif Kamal mengaku kedatangannya tidak membawa dokumen tambahan ke KPK. Ia hanya menagih hasil telaah maupun kajian yang dilakukan KPK terkait dugaan korupsi bisnis PCR. "Enggak ada tambahan dokumen, kami hanya ingin menagih telaah awal seperti yang mereka janjikan kepada publik," kata Alif Kamal di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (17/11/2021). Alif menyebut, sebelumnya KPK juga telah menyampaikan pernyataannya akan menindaklanjuti bila ada laporan masyarakat terkait dugaan korupsi ini. "Kemarin kan KPK juga kan sudah menyatakan sikap akan mengusut tuntas soal kasus PCR ini," ucap Alif. Alif menyebut menagih perkembangan terkait dugaan korupsi bisnis PCR ini, kata Alif, dilakukannya dengan mengirim surat ke bagian persuratan Direktorat Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK. "Sudah diterima surat kami di bagian persuratan. Semoga tidak lama kami bisa melihat kejelasan soal dugaan bisnis pcr ini," kata Alif. Ketika menyampaikan surat, Alif juga mengaku tidak ada pihak KPK yang meminta untuk memberikan data apapun terkait laporannya itu. “Belum ada permintaan data atau segala macam,” imbuhnya Alif menyebut salah satu alasanya membuat laporan lantaran banyaknya pemberitaan di sejumlah media terkait dugaan Luhut dan Erick berbisnis PCR. "Kami ingin melaporkan desas desus di luar, ada dugaan beberapa menteri yang terkait dengan bisnis PCR terutama kalau yang sudah disebut banyak media itu adalah Menko Marves dan Menteri BUMN, Luhut dan Erick,” kata Alif, Kamis (4/11/2021). KPK sendiri melalui Direktur Penyidikan KPK Setyo Budhianto menyebut laporan dalam bentuk surat yang dilampirkan oleh Prima kini tengah ditindaklanjuti di bagian Direktorat Pengaduan Masyarakat. "Suratnya, berdasarkan pengecekan sudah diterima bagian persuratan tentunya ini akan melalui mekanisme dan akan diterima oleh direktorat dumas dan ditelaah," beberapa waktu lalu. Setyo pun menjelaskan proses penerimaan laporan dari setiap masyarakat. Salah satunya, dengan dilakukan telaah apakah laporan itu merupakan kewenangan KPK. "Pertama penelaahannya tentu terkait kewenangan, apakah informasi itu atau laporan merupakan kewenangan KPK sesuai undang-undang KPK pasal 11. Itu dulu yang penting," ucap Budhi. Nah, seperti halnya laporan Iwan Sumule ke Polda Metro Jaya, kita tunggu saja buktinya di KPK. Penulis Wartawan FNN.co.id
Pernah Ditahan Dua Kali Jumhur Hidayat Tidak Kapok
Oleh: Tjahja Gunawan *) SAYA telah berteman dengan Jumhur Hidayat sejak 1989. Tepatnya sejak dia diadili di Pengadilan Negeri Bandung terkait aksinya bersama mahasiswa ITB lainnya yang memprotes kedatangan Mendagri waktu itu Rudini ke kampus "Gajah Duduk" itu. Akibatnya, dia bersama aktivis mahasiswa ITB lainnya dipecat dari kampus. Tidak hanya itu, Denci panggilan Jumhur Hidayat bersama Fadjroel Rachman, Arnold Purba, Enin Supriyanto, Ammarsjah dan Bambang, juga divonis hukuman tiga tahun penjara. Setiap kali sidang, saya sebagai wartawan baru waktu itu, selalu hadir di PN Bandung di Jl RE Martadinata. Sehingga pertemanan saya dengan mereka terjalin sampai sekarang terutama dengan Jumhur dan Syahganda Nainggolan, aktivis mahasiswa ITB lainnya. Hari Kamis lalu 11 November 2021 lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis aktivis buruh Jumhur Hidayat dihukum penjara 10 bulan. Menurut hakim, Jumhur terbukti melakukan tindak pidana menyiarkan berita tidak lengkap yang berpotensi menerbitkan keonaran. Namun demikian, majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua Hapsoro Widodo menetapkan Jumhur Hidayat tidak perlu ditahan karena dia masih dalam perawatan dokter. Jumhur Hidayat yang juga petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sekaligus wakil ketua umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), terkena kasus pidana setelah ia mengkritik UU Omnibus Law Cipta Kerja di akun Twitter pribadinya @jumhurhidayat pada 7 Oktober 2020. Jumhur, lewat akun Twitter pribadinya, mengunggah cuitan: “UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTORS dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini: 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja. Klik untuk baca: kmp.im/AGA6m2”. Akibat cuitan itu, Jumhur ditangkap dan ditahan oleh kepolisian sejak 13 Oktober 2020. Kekejian dalam Penangkapan Jumhur Seminggu sebelum vonis, saya berkesempatan ngobrol dengan Jumhur Hidayat disela acara deklarasi Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia, pada 28 Oktober 2021. "Gun, isi pledoi gue di PN Jaksel mau diterbitkan LP3ES. Tolong kasih komentar ya. Ntar gue kirim rangkumannya, " kata Jumhur membuka pembicaraan. Saya sampaikan ke Jumhur, gaya Anda menyampaikan pledoi di PN Jaksel maupun dulu saat di PN Bandung ketika menjalani sidang Kasus 5 Agustus 1989, tidak berubah. Jumhur Hidayat seorang orator yang mampu menyampaikan isi pikiran dan gagasannya dengan penuh semangat dan heroik. Sebagai aktivis dan tokoh pergerakan, dia sangat paham dengan berbagai persoalan rakyat. Pilihan kalimat serta diksi yang disampaikan Jumhur senantiasa menggugah pihak lain yang menyimak narasi yang disampaikannya. Di awal penyampaian pledoinya di PN Jaksel, Jumhur Hidayat mengatakan: "Tibalah saatnya pada hari ini, saya selaku terdakwa menyampaikan pembelaan atau Pledoi yang berisi uraian sebab-sebab yang mendorong saya melakukan kegiatan-kegiatan memperjuangkan nasib orang-orang yang kurang beruntung terutama mereka yang kurang beruntung karena adanya sistem dan struktur kekuasaan di mana tempat mereka hidup, membuat mereka tidak bisa banyak berdaya apalagi berdaulat. Ya pledoi ini juga akan menguraikan fakta-fakta penderitaan rakyat yang sedang terjadi saat ini bahkan kepastian kelanjutan penderitaan rakyat di masa depan bila bangsa ini tidak segera menginsyafi bahwa ancaman itu semakin nyata dan terus berjalan sehingga akan menjadikan rakyat ---sebagaimana diingatkan oleh Bung Karno--- hanya sekedar menjadi kuli sementara bangsa Indonesia menjadi bangsa kuli di antara bangsa-bangsa". Dalam pembelaannya itu, Jumhur juga menceritakan peristiwa penangkapan yang menimpa dirinya. "Tuan-Tuan Hakim Yang Mulia, pada tanggal 13 Oktober 2020 sekira jam 06.30 Wib, ketika saya sedang lelap tidur sehabis beribadah sholat subuh, digedor-gedorlah kamar tidur pribadi saya dan istri. Saat saya membuka mata mendengar ribut-ribut, saya menyaksikan istri saya dorong-dorongan pintu dengan orang-orang yang akan menangkap saya yang ternyata dari Badan Reserse Kriminal POLRI. Bahkan ada ucapan 'buka pintunya atau kita dobrak'. Jumhur melanjutkan, "ketika istri saya bilang tunggu karena akan menggunakan hijabnya pun mereka masih tidak mengijinkan. Menyadari saya telah bangun maka istri saya bergegas ke kamar mandi untuk menggunakan hijabnya dan akhirnya bersama-sama saya menyaksikan tindakan puluhan orang itu menggeledah sentimeter demi sentimeter kamar tidur saya dan juga seisi rumah. Walhasil, semua handphone, laptop, ipad milik saya dan anak istri saya termasuk CPU komputer dan juga 5 buah USB disita oleh mereka. Walaupun akhirnya beberapa barang itu dikembalikan karena tidak bisa dijadikan barang bukti namun sampai sekarang masih ada yang belum dikembalikan dan itu sangat penting bagi saya yaitu 5 buah USB berisi dokumen-dokumen usaha saya termasuk karya-karya tulis yang belum diterbitkan". Kepada para hakim di PN Jaksel, Jumhur mengemukakan bahwa istrinya begitu bersemangat mempertahan agar tidak terjadi keributan di kamar tiada lain karena dia ingin melindungi saya yang baru saja menjalani operasi pengambilan kantung empedu dengan pembiusan total selama 5 jam untuk membedah perut saya dengan tiga sobekan. "Ya perut saya masih diperban pada tiga sobekan yang masih berdarah itu karena belum sampai 36 jam saya keluar dari rumah sakit. Saya menyampaikan terimakasih dan rasa bangga yang tiada berhingga kepada istri saya Ali Febyani Prabandari atas keberaniannya menghadapi segerombolan orang pengecut berjumlah sekitar 30 orang hanya untuk menangkap orang seperti saya yang sama sekali tidak memiliki rekam jejak kekerasan," kata Jumhur. Praktek KKN Dulu-Sekarang Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat menjabat menghapus pasal-pasal karet di KUHP yaitu Prof. Jimly Asshidiqie dengan nada geram menulis lewat akun Twitter-nya, @JimlyAs, (16/10/20) "Ditahan saja tidak pantas apalagi diborgol untuk kepentingan disiarluaskan. Sebagai pengayom warga, polisi harusnya lebih bijaksana". Pledoi Jumhur Hidayat setebal 34 halaman itu dibacakan pada 30 September 2021 di PN Jaksel. Pada kesempatan itu, Jumhur Hidayat juga membeberkan praktek KKN yang terjadi di era Orde Baru dan di era reformasi. Pada era Orde Baru, tindakan KKN umumnya terjadi di seputaran kekuasaan eksekutif yang dekat dengan Presiden dan kroninya saja, sementara penerima manfaat dari KKN itu pun masih sangat terbatas. Jumhur menyebut cara KKN seperti itu dengan istilah otoritarian-birokratik-rente. Sementara itu, tindakan KKN yang terjadi sekarang, dilakukan dengan lebih banyak lagi pelaku dan juga tidak terbatas pada sekelompok orang yang berada di sekitar kekuasaan Presiden tetapi juga pada jenjang-jenjang kekuasaan yang lain dan tidak hanya pada cabang kekuasaan eksekutif seperti kementerian, gubernur, bupati dan walikota bersama partnernya dari legislatif DPR dan DPRD melainkan juga yudikatif serta para pengusaha baik yang terpisah atau pun yang menjadi kaki-kaki tangan kekuatan oligarki. Karena itulah, Jumhur menyebut sistem KKN yang terjadi sekarang sebagai konspiratif-birokratik-rente, atau bahasa mudahnya adalah korupsi berjama’ah atau beramai-ramai. Adapun mengenai dana jarahan yang digondol adalah berpuluh-puluh kali lipat dibanding dengan jarahan di era Orba. "Bukankah ini suatu kemunduran atau pengkhianatan terhadap amanat reformasi yang dilahirkan dengan kucuran darah dan air mata?, " ungkap Jumhur Hidayat dalam nada heroik. Menurut data KPK, total korupsi berdasarkan profesi/jabatan selama 2004-2020 mencapai 1207 orang. Dari jumlah tersebut, tertinggi ada di pihak swasta 308 orang (26%), Anggota DPR dan DPRD 274 orang (23%), Eselon I/II/III 230 orang (19%), Lainnya 157 orang (13%), Walikota/Bupati 122 orang (10%), Kepala Lembaga/Kementerian 28 orang (2.3%), Hakim 22 orang (1.8%), Gubernur 21 orang (1.7%) diikuti Jaksa, Pengacara, Komisioner, Korporasi, Duta Besar dan Polisi. Bukankah ini berarti korupsi menjadi sangat semarak? Siapa pun yang punya akal sehat akan mengatakan bahwa untuk lebih tenang melakukan korupsi, maka diubahlah UU KPK agar tidak lagi bertaji dan kemudian agar lebih tenang lagi maka dipecatlah 57 orang terhormat dan berintegritas pegawai KPK dari berbagai suku, agama dan ras yang telah menangkap koruptor-koruptor kakap yaitu melalui Tes Wawasan Kebangsaan yang abal-abal itu. Penguasa seolah tidak lagi memperdulikan gerakan tuntutan dari masyarakat sipil termasuk tuntutan gerakan mahasiswa yang merasa nalar atau akal sehatnya telah terganggu akibat pemecatan pegawai KPK tersebut. Saat ini kita masih menunggu, apakah perjuangan masyarakat sipil melawan kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang dalam banyak hal akan berhasil atau masih harus menunggu bertahun-tahun lagi sampai terorkestranya kemarahan nasional secara serentak. Meskipun fisiknya dipenjara, tapi karakter seperti Jumhur Hidayat akan tetap setia kepada akal pikiran dan demokrasi. Orang seperti Jumhur, akan selalu berteriak menyampaikan berbagai praktek ketidakadilan dan penderitaan yang dialami rakyat luas. Karena itu saya yakin Jumhur Hidayat tidak akan merasa kapok untuk terus memperjuangkan keadilan di negeri ini meskipun dia sudah ditahan dua kali. Jumhur Hidayat sudah mengingatkan tentang kemungkinan terjadinya amuk massa yang bersifat nasional dan berlangsung serentak. Akankah para elite kekuasaan baik di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif diam saja ?. Jangan sampai penjarahan dan kerusuhan sosial seperti tahun 1998 terjadi lagi.**** *) Penulis wartawan senior FNN.
Merebut Kekuasaan Tuhan
Oleh: Yusuf Blegur Entah apa yang terjadi?. Fenomena apa yang kini sedang menggeluti. Dari tahun ke tahun, bulan ke bulan dan keseharian menempuh waktu, kehidupan manusia semakin terasa jauh dari nilai-nilai ideal. Kering spiritualitas dan tandus akan norma moral. Kelaziman yang terjadi merupakan kontradiksi dengan apa yang seharusnya berlaku. Kebutuhan prinsip tercampakkan. Keinginan menjadi idola bagi setiap hati. Apa yang terjadi tak sesuai dengan apa yang diharapkan kemanusiaan. Setiap pikiran, ucapan dan tindakan tidak pernah bertemu seiring sejalan. Begitupun dengan keadaan disekelilingnya, menjadi asing seperti bukan tempat yang layak untuk ditinggali. Semesta alam menjadi tempat yang tidak lagi nyaman. Kemanusiaan tercerabut dari jiwa kebanyakan orang. Ramai beragama, tapi sepi akan kehadiran Tuhan. Kemuliaan akhlak juga semakin berjarak, semakin jauh dan semakin sulit digapai. Peradaban yang dibangun manusia tak seindah harapan dan kemauan Tuhan. Seperti saat Maha Besar dan Maha Kuasa itu berencana menciptakan semua makhlukNya. Mungkin inilah yang sering disampaikan oleh para pengerti dan pencerah keagamaan. Betapa kehidupan dunia mendekati batas-batas akhir. Ada jaman yang menyudahinya. Dunia juga bisa menua, renta dan rapuh untuk menanggung semua beban di dalamnya. Hamparan bumi jika ia bisa membahasa, mungkin saja lebih mengeluh menanggung beban beratnya. Beban puncak yang dipikulnya terutama oleh kehadiran dan pola tingkah manusia. Kelakuan yang aku, yang tak menganggap keberadaan dan kehormatan selainnya. Beragam tipe manusia yang menyesak dunia. Memang tak terbendung berhimpun dan saling menyusup, betapapun luasnya dunia dihadirkan. Karena sejatinya, dunia dan seisinya memang tak seluas penciptanya. Ada manusia yang merebahkan diri mencium bumi dengan sujudnya. Sedikit yang seperti ini mampu merendahkan dirinya hingga sejajar dengan tanah, wadah yang menjadi bahan asal wujudnya. Namun tidak sedikit yang lebih suka tetap berdiri menantang dan angkuh dengan sorot matanya. Ingin tetap berbeda, memengaruhi dan terasa istimewa. Ia tak punya waktu walau hanya untuk sekedar merunduk. Banyak yang berusaha menjejakkan kakinya ke bumi. Namun tak sedikit yang menggantung dirinya. Tidak menapak di bumi dan tak mampu terbang ke langit. Ia seperti bergentayangan di jarak atas dan bawah. Tak ada kesadaran untuk memikul maupun terpikul beban sesamanya. Setiap yang di atas menunggu kejatuhannya. Sementara yang di bawah terasa sulit naik, meskipun dengan merangkak dan bersusah payah. Tanpa disadari manusia melayang-layang dan terhempas terombang-ambing tanpa sandaran Sang Khalik. Sekalipun perangai yang mengisi perbedaan tempat itu dipertemukan. Bukanlah suasana yang harmonis dan menyenangkan. Pasti ada rasa sakit, entah bertubrukan, saling menindih atau mengorbankan sesamanya. Penuh pertikaian demi mendapatkan kesenangan dan kepuasannya masing-masing. Manusia terbukti memenuhi sejarah dengan tragedi dan kengerian. Melumuri dunia dengan kekecewaan, frustasi dan yang menyayat hati. Perjalanan hidup terlanjur dipenuhi dengan warna kebiadaban. Pada waktu tertentu, ada kalanya manusia bisa mewujud sebagai hewan yang paling buas dan berbahaya di dunia. Boleh jadi semesta alam mulai menggerutu dengan kelamaan hidup manusia. Panjangnya usia yang hanya menampilkan rasa tak bersyukur dan berisi penuh kemudharatan. Menimbulkan konflik sesama, membuat kerusakan di bumi, gemar menumpahkan darah dan saling membunuh. Tidak jarang yang mengambil posisi dan peran Tuhan. Bertindak ingin dipuja, diikuti kemauannya, dan diagungkan oleh sesamanya. Menampilkan watak paling unggul dan superior. Manusia-manusia dengan keangkuhannya yang sesungguhnya lemah dan tak berdaya, namun ingin merebut kekuasaan Tuhan. Begitulah kenyataannya, luasnya bumi dan segala rezeki yang berlimpah, tak akan cukup menampung besarnya nafsu syahwat manusia. Menyaksikan langsung betapa manusia mulai membosankan, mengecewakan dan memuakkan. Alam seperti menunggu perintah untuk ikut menghukum manusia. Alam memang tak seramah dan sebijak seperti Tuhan Sang Pengatur Segalanya. Mungkin ketidaksabaran alam, karena keterbatasannya yang seperti manusia. Alam bisa sangat reaktif kepada manusia tatkala lingkungannya terusik. Menjelma menjadi bencana yang hanya bisa ditangisi dengan kepiluan yang teramat sangat. Meskipun semua itu tetap dengan permohonan dan ijin pemilik langit dan bumi yamg hakiki. Manusia dan seisi alam, meski bisa bergejolak ia tetap lemah dan tunduk dihadapan Sang Pencipta. Saat ini mungkin saja Tuhan sedang menghitung-hitung apa yang salah dan benar di dunia. Menyiapkan ganjaran baik buruk setiap yang dilakukan mahluknya. Bisa saat ini, bisa kelak kemudian "punish and reward" itu dieksekusi. Dalam tubuh saat menghirup napas kehidupan, saat memasuki alam kematian dan bahkan pada masa tatkala semua dibangkitkan. Namun Tuhan yang Esa, sungguh penuh kasih dan penuh kasih sayang terhadap semua makhluknya. Betapapun manusia membuat kerusakan dan berlaku dzolim di dunia. Kekuatan Tauhid itu tetap maha bijaksana dan menjadi hakim yang adil. Sampai manusia melampaui batas, mengabaikan dan merebut kekuasaan Tuhan. Serta lupa diri dirasuki mabuk kekuasaan dan mulai menuhankan dirinya. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.
Mimpi Bubarkan MUI
By M Rizal Fadillah Di antara khayalan untuk bisa mengecilkan umat Islam oleh kelompok Islamofobia, sekuler, liberalis dan komunis di era Jokowi adalah membubarkan MUI. Mimpi sambil ngelindur dan bicara ngelantur. Berjalan miring terlalu banyak minum. Berkumpul di cafe buzzeria d'amplopia. Berkhayal sukses untuk membubarkan kelompok radikal, kadrun, dan perongrong negara. Para Kyai intoleran dan tukang kritik yang dianggap buta atas kemajuan dan kehebatan negara di bawah kepemimpinan Presiden jenius produk dari suara kardus. Bahagia bahwa MUI telah dihancurkan oleh akal bulus ditambah dukungan fulus. Mimpi tinggal mimpi, MUI bukan FPI atau HTI yang menjadi organisasi keagamaan yang dianggap tidak berdampak atas pembubarannya. MUI itu merepresentasi hampir semua organisasi kemasyarakatan Islam, ulama serta cendekiawan. Pembubaran dipastikan berimplikasi luas. Implikasi atau konsekuensi pembubaran yang patut diperhitungkan dan menjadi kesulitan kelompok yang berkumpul di cafe buzzeria d'amplopia, yaitu : Pertama, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat adalah KH Ma'ruf Amin yang tidak lain merupakan Wakil Presiden RI. Tokoh NU yang berpengaruh. Demikian juga dengan Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar adalah tokoh NU pula. Kedua, membubarkan MUI sama saja dengan keharusan untuk membubarkan wadah serupa dari agama lain seperti DGI, MAWI, PHDP, dan Walubi. MUI sebagai wadah umat mayoritas saja dapat dibubarkan apalagi yang lain. Akan terjadi kekacauan atas eksistensi keberagamaan beserta kelembagaannya. Ketiga, MUI sebagai wadah yang merepresentasi berbagai ormas Islam memiliki jalinan akar rumput yang kuat, karenanya reaksi besar dari potensi kekuatan Islam tidak akan terhindarkan. Gelombang besar aksi menjadi suatu keniscayaan. Keempat, kewenangan Pemerintah untuk membubarkan juga tidak ada. MUI bukan organ Pemerintah. Dibentuk berdasarkan musyawarah Ulama, Zu'ama, dan Cendekiawan Muslim dari unsur NU, Muhammadiyah, SI, Perti, Al Washliyah, MA, MDI, GUPPI, PTDI, Al Ittihadiyah, utusan kerohanian AD, AU, AL, Polri serta tokoh perseorangan pada tanggal 26 Juli 1975. Kelima, MUI bukan badan, lembaga, komisi negara yang "dibentuk dengan undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang" sebagaimana diatur dalam UU No 11 tahun 2012. Meskipun demikian Fatwa MUI telah menjadi sandaran untuk berbagai lembaga keuangan syariah termasuk Dewan Syari'ah Nasional. Begitu juga dengan sertifikasi halal. Pembubaran akan berdampak pada produk hukum. Sebagai "Quasi Autonomous Non Governmental Organization (quANGO)" maka tidaklah mudah untuk membubarkan MUI. Karenanya dengan alasan bahwa ada anggota pengurus yang ditangkap dengan tuduhan terorisme, lalu menjadi dasar untuk pembubaran, adalah mengada-ada. Isu dan desakan itu adalah mimpi-mimpi dari para pembenci Islam yang mengira tidak akan mendapat perlawanan. Bila Pemerintah berani membubarkan MUI dengan berbagai alasan buatan, maka bukan mimpi lagi jika ternyata Pemerintah kini yang justru akan dibubarkan oleh umat Islam. *) Pemerhati Politik dan Keagamaan
Anies Tidak Serupa Angin Surga
Oleh Ady Amar *) SEORANG kawan jurnalis senior, yang mangkal di istana di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bercerita bahwa ia tidak perlu susah-susah mengedit laporan untuk medianya, bahkan sampai titik koma pun seolah Pak SBY sudah memberinya. Pak SBY jika bertutur runtut, dengan narasi yang mudah dipahami, meski terkadang perlu memberi penekanan satu-dua kata dengan bahasa asing, tapi tetap tidak berlebihan. Dan dengan intonasi yang terjaga. Sambil sesekali tangan terkadang digerakkan sebagai penekanan pada apa yang disampaikan. Pendengar dibuatnya terkagum, dan juru warta pun merasa dimudahkan. Tidak banyak pejabat yang bisa menyamai SBY, yang ada malah sebaliknya gagap dan acap mengulang-ulang persamaan satu kata sambil berpikir keras kalimat apa selanjutnya yang bisa keluar dari mulutnya. Bersyukur Pak SBY punya pesaing yang jika bicara pun runtut menyejukkan dan penuh optimisme, bahwa tidak ada yang tidak mungkin bisa dikerjakan. Ia lah Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, yang bisa disejajarkan dengan Pak SBY dalam hal berkomunikasi dengan baik. Pagi ini, Jumat (19/11) video DISWAY Pak Dahlan Iskan (DI) dikirim seorang kawan. Pastilah video itu beredar luas. Tamu istimewa Pak DI adalah Anies Baswedan. Wawancara khusus berkenaan dengan proyek yang sedang digarapnya, yang nyaris selesai sempurna. Itu tentang Jakarta International Stadium (JIS). Stadion sepak bola bertaraf internasional sebentar lagi akan dinikmati warga Jakarta khususnya, dan terkhusus klub Persija. Ini proyek yang sudah lama dijanjikan calon kepala daerah dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta. Janji demi janji telah disampaikan, yang tanpa realisasi. Hanya sekadar janji pada masa kampanye, tanpa bisa diwujudkan. Pantaslah saat Anies Baswedan maju sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta (2017), berpasangan dengan Sandiaga Uno, saat janji pembangunan stadion buat Persija itu dimunculkan, warga Jakarta, khususnya pecinta klub Persija perlu sampai mengatakan, apakah ia benar akan mewujudkannya. Tentu dengan ketidakpercayaan tingkat tinggi. Itu hal wajar. Pantas saja pada janji kampanyenya itu jika Anies-Sandi dianggap cuma lip service semata, sebagaimana janji-janji kampanye calon kepala daerah sebelumnya, yang sekadar janji tanpa pemenuhan atas janjinya. Maka, Anies secara diam-diam mengerjakan proyek prestisius itu. Ia menceritakan detail jalannya pembangunan stadion itu, bahan yang digunakan, teknik pengerjaannya, dan hal lainnya, dan itu spektakuler. Beberapa kali Pak DI tidak bisa menahan untuk tidak menampakkan kekaguman pada apa yang disampaikan Pak Anies, akan hadirnya sebuah stadion bertaraf internasional. Artinya, seratus persen berstandar FIFA, dari awal perencanaan sampai ujung penyelesaian pembangunannya. Memang tidak semua dialog Pak DI dengan tamu-tamu istimewanya saya ikuti. Dari beberapa yang saya ikuti, baru kali ini Pak DI mendapat tamu istimewa, yang ia tidak perlu harus memutar otak mengulik pertanyaan pada tamunya dalam-dalam. Pak Anies bisa menyelami apa yang ingin ditanya tuan rumah, dan memberikan jawaban yang diperlukan. Pak DI memberikan tamu yang satu ini kebebasan untuk terus berbicara, tanpa ia harus memotong di sana-sini seperti biasanya, sehingga menjadi tidak tahu mana tuan rumah dan mana tamunya. Pak DI ikhlas tampil sebagai pendengar yang baik, dan memberi tamunya kebebasan berbicara. Sehingga yang muncul sikap kekaguman Pak DI yang ekspresif yang tidak bisa ditahannya. Itu karena Anies dalam menceritakan pekerjaan teknis pembangunan JIS itu dengan runtut sejak awal sampai stadion itu nyaris selesai dikerjakan. Cukup dua-tiga pertanyaan diajukan, dan sang tamu memberi jawaban memuaskan. Sesekali Pak DI menimpali saat Anies memberi penjelasan bagaimana moda transportasi yang ada akan tersambung dengan JIS. Baik bus, LRT dan lainnya. Di mana yang tidak jauh dari stadion akan bertengger stasiun kereta api. Lalu Pak DI menimpali, bahwa itu sama dengan stadion Chelsea. Di mana ia dari hotel tempat ia menginap menuju stadion itu cukup naik kereta api. Di mana menuju stadion ia hanya cukup berjalan kaki. Anies Baswedan mampu melepaskan "kutukan" ketidakpercayaan warga pada Gubernurnya, yang dari waktu ke waktu cuma menghadirkan janji tanpa bukti. Anies mematahkannya dengan menepati janji menghadirkan stadion sepak bola megah dan prestisius, yang bisa disandingkan dengan stadion-stadion manca negara ternama lainnya. Pak DI juga dibuat tercengang, bahwa pada bulan Desember 2021, artinya sebulan lagi, akan bertanding beberapa klub raksasa dunia U-20, antara lain Juventus, Real Madrid, Barcelona... setidaknya 3 klub sepak bola dunia itu disebut Anies yang membuat Pak DI takjub, tanpa mampu membendung kekagumannya. Pada menit 14:47, ada pertanyaan Pak DI tampak menggoda, dan tidak biasanya ia masuk wilayah sensitif, meski disampaikan dengan canda. Pak Anies menjawabnya pun dengan tertawa dan tetap cool optimistik. Begini tanya Pak DI: "Saya pantas gak, saya khawatir bahwa pertandingan bulan depan itu tidak dapat ijin. Pantas gak saya berpikir jangan-jangan gak dapat ijin." Anies menjawab, "Mudah-mudahan kalau situasinya terkendali seperti sekarang... (belum selesai Anies menjawab tuntas), Pak DI memotong, "Bukan karena covid, tapi ini soal karena ada nama Pak Anies Baswedan di sana." Sambil tertawa Anies menjawab, "Mudah-mudahan tidak..." Sekelas Pak DI, yang begawan media, itu pun perlu menanyakan akan kekhawatirannya. Ia pantas khawatir, bahwa pertandingan ekshibisi di JIS itu akan gagal dilaksanakan. Dan itu politis. Publik luas pun mafhum, bahwa nama Anies Baswedan itu momok menakutkan bagi mereka yang tidak siap menyambut perhelatan Pilpres 2024 itu dengan fair. Karenanya, sebisa mungkin kerja-kerja Anies Baswedan ingin dijegal dengan berbagai cara. Formula E bisa jadi pembenar akan kekhawatiran itu, yang terus diserang tak henti. Berharap akan gagal dilaksanakan. Mereka terus bekerja untuk menggagalkan perhelatan yang digagas Pak Anies dan Pemprov DKI. Segala cara sudah dicoba dan akan terus dicoba. Kekaguman Pak DI yang tidak bisa disembunyikan, itu juga kekaguman kita, terutama mereka yang masih bisa melihat semuanya dengan hati dan nalar sehat. Namun, jika masih ada pendengung yang setelah stadion JIS itu terwujud, dan masih juga mencaci Anies Baswedan, itu hal wajar. Kerja sebagai pendengung mestilah tetap bisa melihat Anies Baswedan dengan buruk. Itu tugas pokoknya. Mereka dibayar untuk itu. Ya biarkan saja... (*) *) Kolumnis
Dahsyat, Stok Kesabaran Umat Islam Itu Tanpa Batas
By Asyari Usman BANYAK yang mengatakan bahwa kesabaran itu ada batasannya. Nah, benarkah premis ini? Sama sekali tidak benar. Khususnya bagi umat Islam Indonesia. Bagi umat di sini, kesabaran itu tidak punya batas. Unlimited! Stoknya jauh melebihi ‘output’. Inilah keistimewaan umat Islam di negara ini. Kemarin-kemarin umat mengeluarkan kesabaran satu gunung, misalnya, besok-lusa masih ada belasan gunung lagi yang siap digelontorkan. Dahsyat sekali. Sebesar apa pun kezaliman yang dilakukan terhadap umat, dipastikan tidak akan ada reaksi marah. Sudah jelas-jelas banyak umat Islam yang dibunuh, kesabaran menjadi tumpuan. Tidak akan terjadi kerusuhan. Paling-paling reaksi yang muncul dalam bentuk konferensi pers, seminar, diskusi, dlsb. Fenomena yang luar biasa ini pantas kita syukuri. Kesabaran umat yang tidak terbatas itu adalah aset yang tak ternilai dengan ukuran apa pun. Para penjahat, penzalim, perampok, penggarong, pengkhianat, tahu persis tentang kesabaran yang tak pernah habis itu. Mereka manfaatkan itu untuk merealisasikan semua cabang nafsu angkara mereka. Islam dihina dan dipojokkan, umat dibantai, ulama dikriminalisasikan. Jangan khawatir. Sejauh ini tetap disambut dengan kesabaran. Kekayaan rakyat dijarah oleh perampok lokal dan asing, selalu aman. Macam-macam penipuan sosial-politik, lumrah dibiarkan dengan kesabaran. Hebat umat Islam. Banyak yang berterima kasih. Mereka senang sambil menari-menari di atas kesabaran yang tak terbatas itu. Nah, bersabar tanpa batas itu kelemahan atau kekuatan? Kalau merujuk ke ayat 200 surah Aali Imran, bersabar dan memperkuat kesabaran adalah pintu menuju kejayaan. Artinya, kesabaran ‘unlimited’ itu adalah kekuatan. Tetapi, ada tapinya, umat ini disuruh siap siaga! Sabar tapi siap siaga. Siap siaga yang dibangun di atas ketakwaan. Di sini ada masalah serius. Sabar, iya. Tapi tidak ada yang siap, konon pula siaga. Padahal, inilah syarat mutlak yang tercantum di ayat 200 itu. Bisa muncul dugaan sampingan. Yaitu, umat ini sebetulnya sedang menginfakkan kesabaran tak terbatas dengan stok bergunung-gunung, atau mereka masih seperti dulu-dulu juga. Tertindas layu, dilindas kuyu. Sebagaimana dulu umat dibantai di Tanjungpriok, Talangsari, dll. Yaa ayyuhalazina amanu ishbiru wa shabiru wa rabithu, wattaqullaha la’allakum tuflihuun. {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [آل عمران : 200] “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” 19 November 2021 (Penulis wartawan senior FNN)
Goyang MUI
Oleh Ady Amar *) JIKA ada tikus di gudang beras BULOG, maka menghabisi tikus itu tidaklah dengan gudang itu mesti dibakar. Memiliki pikiran membakar gudang, jika pikiran itu ada, pastilah pikiran itu muncul dari orang tidak waras. Eko Kunthadi dikenal sebagai buzzer. Menjadi buzzer itu pilihan hidupnya. Jalan takdirnya. Tidak ada masalah dengan pilihannya itu. Adalah ia, yang coba menggoyang MUI dengan usulan pembubaran Ormas yang lahir 1975, yang telah menjadi tenda besar umat Islam. Ditangkapnya 3 ulama oleh Densus 88 (16 November), seorang di antaranya anggota MUI, Dr. Ahmad Zain An-Najah. Salah satu anggota Komisi Fatwa MUI. Ditangkapnya itu, menjadi pintu masuk buat Eko dan kelompoknya menyoal perlunya MUI dibubarkan. Usulan pembubaran itu masuk kategori usulan yang muncul dari orang tidak waras, yang coba "membakar" institusi MUI, dengan usulan pembubarannya. Usulannya itu lebih dahsyat dari membakar gudang BULOG. Jadi ketidakwarasannya itu bernilai kuadrat. Eko mencoba mengangkat buzzer sekelasnya, yang tidak bekerja cuma nyasar personal yang berseberangan dengan rezim. Meski hasil kerjanya dan kelompoknya selama ini tidak bisa dibilang berhasil, kecuali piawai tebar dusta dan fitnah. Terpenting buat mereka ada kebisingan dalam jagad pemberitaan. Maka, Eko Kunthadi nekat mengusulkan pembubaran MUI, dan itu karena satu anggota MUI yang ditangkap Densus 88 itu diduga sebagai teroris. Masih dugaan yang itu belum pasti kebenarannya. Mereka yang ditangkap itu dikenal sebagai ulama moderat, yang tidak tampak jejaknya sebagai teroris. Semua memang tidak bisa dilepaskan dari kekritisan beberapa pengurus MUI yang aktif mengkritisi rezim, jika ditemukan hal yang tidak semestinya. Itu hal wajar, bagian dari dakwah yang tidak terlepas dari nahi munkar. Orang bahkan bisa menarik "kekurangajaran" seorang Eko Kunthadi, yang itu tidak terlepas dari saat MUI di bawah kepemimpinan Ketua Umum KH. Ma'ruf Amin--saat ini menjadi Wakil Presiden--yang ikut "berperan" memenjarakan seorang Basuki Tjahja Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta, karena kasus penistaan agama. Sepertinya dua sebab itu yang melatarbelakangi usulan pembubaran MUI itu: adanya beberapa pengurus MUI yang kritis terhadap rezim, dan dendam lama atas dipenjarakannya si penista agama. Tampaknya itu saja _sih_. Usulan pembubaran MUI itu bagian dari skenario, tidaklah ujug-ujug asal usul. Profesor Henry Offside Sejak kemarin beredar meme dari Allahyarham Ustadz Tengku Zulkarnain, yang berdialog dengan Kiai Ma'ruf Amin, yang saat itu sebagai Ketua Umum MUI. Ustadz Zul, saat itu menjabat Wakil Sekjen MUI. Begini katanya: Saya Pernah Berkata di Kantor MUI pada Yang Mulia Yai Ma'ruf Amin, "Saya khawatir Yai, Sekarang HTI Dibubarkan, Besok FPI, Terakhir MUI Dibubarkan." Beliau Memandang Wajah Saya. Kemudian Berkata, "Kita LAWAN...!" Kemudian Saya Berkata, "Saat Itu, Apa Tidak Terlambat?" Beliau Diam. Ternyata apa yang diprediksi Ustadz Zul, menemui kebenaran. Setidaknya setelah HTI dibubarkan. FPI di akhir Desember 2020 pun dibubarkan... Setelah itu, muncul "serangan" terhadap MUI dengan wacana pembubarannya. Penyerangan terhadap MUI sepertinya sistemik. Sampai Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum, Prof Henry Subiakto pun perlu tampil. Profesor satu ini usilnya _gak_ pernah berhenti, layaknya ia bisa disebut punya kerja sampingan sebagai buzzer. Setidaknya, cuitannya itu khas buzzer. Ia membagikan tangkapan berita sebuah media online tahun 2015. Judulnya, "MUI: Sudah Waktunya Densus 88 Dibubarkan". Lalu ia menuliskan: "Ini kecenderungan umum. Maling tidak suka pada polisi. Koruptor tidak suka dengan KPK. Musuh negara tidak suka dengan tentara. Teroris tidak suka pada Densus 88," kata Prof. Henry dalam postingan Twitternya (17/11). Tampak Prof. Henry menggiring opini, bahwa sudah sejak lama teroris tidak suka Densus 88. Dan "teroris" itu jelas dikesankan sebagai institusi MUI. Mari kita lihat jejak digital, mengapa muncul judul berita, MUI menginginkan pembubaran Densus 88. Pernyataan itu bukan resmi dari MUI, tapi dari Ustadz Tengku Zulkarnain. Sepertinya itu spontanitas, disampaikan pada latar belakang sebuah peristiwa, dimana ia memberi tanggapan berkenaan dengan Aksi Densus 88 yang mendobrak pintu Pesantren Tahfizul Qur'an al-Mukmin, Malang, yang membuat histeris santri yang sedang menghafal al-Qur'an. Penyerbuan pada pesantren itu, karena disinyalir salah satu pemiliknya adalah tersangka ISIS. Meski demikian, menurut Ustadz Zul, tindakan itu tidak bisa dibenarkan. "Oknum-oknum di tubuh Densus 88 sudah lama disinyalir sangat anti pada Islam dan umat Islam. Sudah waktunya Densus 88 dibubarkan," ucap Ustadz Zul. Tapi berita lawas itu coba diframing Prof. Henry, sehari setelah Densus 88 melakukan penangkapan terhadap 3 orang, yang salah satunya adalah anggota Komisi Fatwa MUI. Pernyataan Prof. Henry itu tendensius, sama dengan ia mencoba menggiring opini, bahwa MUI itu Teroris. Pernyataannya itu jahat, masuk kategori fitnah. Sadar atau tidak, ia telah menempatkan diri bagian dari mereka yang menghendaki pembubaran MUI. Prof. Henry Subiakto jelas ada di posisi offside. Banyak pihak yang _ngeman_ statusnya yang sebagai Guru Besar itu. Tapi tampaknya, ia sudah nyaman berada di sana, sekolam bersama. (*) *) Kolumnis
Quo Vadis Teroris Sebenarnya?
Oleh: Yusuf Blegur Di tengah kisruh dan amburadulnya penyelenggaraan negara, rakyat kembali disuguhi aksi penangkapan terduga teroris. Menariknya, tindakan cepat Densus 88 menyasar beberapa ulama dan tokoh-tokoh Islam, saat beberapa kasus yang termasuk kategori extra ordinary crime lainnya seperti korupsi, persekongkolan pembunuhan, perusakan lingkungan dll. Kejahatan-kejahatan sistematik dan terorganisir yang membahayakan kehidupan rakyat, negara dan bangsa itu, terkesan ditutup-tutupi dan lambat penanganannya. Teror, teroris dan terorisme justru seperti menjadi hak prerogatif umat Islam. Islam cenderung disematkan menjadi rahim subur dari faham intoleransi, radikalis dan fundamentalis serta banyak lagi framing jahat yang berisi justifikasi negatif dan stereotip. Semua aspek historis dan keberlangsungan nilai-nilai yang menegaskan peran serta, sumbangsih dan kebesaran Islam yang menyebabkan NKRI masih berdiri tegak hingga saat ini. Seperti terdengar sayup-sayup dan nyaris tak berarti, saat negara dinilai memaksa menghadirkan dan berhadapan dengan teroris. Tindakan pencegahan dan penanganan terhadap teroris yang mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2018. Mengusik keingintahuan publik terutama dikalangan umat Islam. Bahwasanya, siapakah teroris yang sesungguhnya?. Di manakah di negara ini teroris berada?. Tak luput juga terbesit rasa penasaran, apakah yang sudah dilakukan negara dalam menghadapi teroris yang nyata dan tampak di depan mata?. KONTROVERSI dan polemik penangkapan Ustad Dr. Farid Ahmad Okbah, Ustadz Dr. Ahmad Zain An Nazah dan Ustadz Dr. Anung Al-Hamat. Bukan saja seketika mengagetkan dan mengundang tanda tanya publik. Lebih dari itu menimbulkan persoalan psikis, kegelelisahan, dan menjadi teror bagi umat Islam. Pasalnya, penangkapan yang langsung diteruskan dengan tersangka teroris. Melibatkan beberapa orang yang notabene pegiat dakwah sekaligus menjabat Ketua Umum Partai Dakwah Indinesia (PDRI) dan anggota Komisi Fatwa Majelis Umat Islam. Selain menjadi representasi kelembagaan umat Islam yang penting dan strategis. Salah seorang diantaranya juga pernah berinteraksi dengan presiden RI belum lama berselang. Peristiwa penangkapan mereka yang dianggap terafiliasi dengan teroris. Sejatinya menjadi indikasi adanya masalah serius dan membahayakan pemerintahan. Masalah-masalah prinsip terkait lemahnya pertahanan keamanan negara, rapuhnya ideologi Panca Sila dan keberlangsungan NKRI. Seandainya saja Polri melalui Densus 88, telah bertindak dengan benar dan profesional. Publik patut memberi respek dan apresiasi. Apapun yang dilakukan aparatur keamanan terkait deteksi dini, pencegahan dan penanganan bahaya teror, teroris dan terorisme layak mendapat dukungan luas dari seluruh elemen bangsa. Namun hal itu tidak serta merta menghapus imej sinis dan sikap pesimis publik. Penanganan teroris di Indonesia terlanjur dimaknai dengan kedalaman apriori dan skeptis khususnya oleh umat Islam. Islam yang oleh persfektif global distempel sebagai agama kekerasan dan teroris, berimplikasi dieksploitasi sebagai komoditi politik pertahanan keamanan, politik anggaran dan politik pengalihan isu dalam skala nasional. Dilain sisi kejahatan-kejahatan yang sebangun dan linear dengan teroris. Seperti perampokan kekayaan sumber daya alam dan uang negara, penyimpangan demokrasi, penghancuran ekosistem lingkungan dan pelbagai kejahatan institusi negara yang yang mengorbankan rakyat. Terus-menerus mengalami pembiaran dan mencapai fase "colatelal damage'. Negara terkesan menjadi ambigu dalam mengangkat dan menyelesaikan permasalahan extra ordinari crime tersebut. Mirisnya lagi, dalam upaya penegakan hukum termasuk dalam menindak teroris guna menyelamatkan negara. Sebagian aparatur keamanan dihinggapi perilaku yang justru menebar teror itu sendiri. Rakyat secara terbuka mengalami maraknya kejahatan perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan serta semua yang merugikan kepentingan publik yang dilakukan banyak aparat keamanan. Kontradiksi dalam tubuh aparat ketika menjalankan tugas dan fungsinya, seperti menebar teror di hadapan rakyat. Rakyat dan negara sudah mengalami fase dimana akal sehat dan jiwa sudah tidak sanggup lagi mengenali siapa teroris yang sesungguhnya. Kalaupun tahu dan menyadarinya, cukup dengan menelan ludah, memakan batin dan rasa kemanusiaannya. *Distorsi Intelejen dan Lemahnya Sistem Pertahanan Negara* Alih-alih memetakan wawasan kebangsaan dengan pemahaman geografis, geopolitis dan geostrategis. Pemerintah justru malah asyik bermain api dengan cenderung merekayasa dan mengelola isu teroris yang mengalihkan persoalan riil banjir Sintang Kalbar dan kroni bisnis PCR saat rakyat kelojotan pandemi. Jangankan bersiap menghadapi proxy war, perang asimetri dan Chemical, Biological, Radio Active and Explosive (CBRE). Rezim kekuasan terlihat panik sekedar menghadapi melorotnya dinamika demokrasi dan menukiknya pertumbuhan ekonomi nasional. "Power tend to corrupt - absolutely power, absolutely corrupt". Adagium itu terasa menggejala dalam tata kelola negara yang dijalankan pemerintahan sekarang ini. Kekuasaan yang semakin otoriterian dan diktatorian, pada akhirnya membuat negara menjadi begitu represif dan menggunakan tangan besi dalam menjalankan roda pemerintahan. Terlebih kepada anasir-anasir kekuatan yang dianggap mengancam dan membahayakan kepentingan kekuasaan. Institusi dan kelembagaan negara dibuat semakin berjarak dengan dinamika rakyat. Ketidakmampuan mengelola geliat dan respon rakyat terhadap penyelenggaraan negara. Membuat kekuasan semakin kalut dan kalap menyikapi tuntutan rakyat. Suara-suara rakyat yang substansinya merupakan aspirasi kritis dari upaya refleksi dan evaluasi negara dan kebangsaan. Selalu ditempatkan sebagai ujaran kebencian, agitasi dan propaganda yang merongrong ideologi, mengancam kedaulatan dan membahayakan keberadaan negara dan bangsa. Aspirasi rakyat yang tidak sesuai selera kekuasaan, senantiasa dianggap oposisi dan musuh kepentingan pemerintah. Semua bahasa dan tindakan yang tidak masuk dalam skenario kekuasaan dianggap sebagai potensi gangguan stabilitas dan keamanan negara. Kekuasaan dengan mudahnya menempelkan identifikasi dan klasifikasi perbuatan menghasut, tindakan makar dan gerakan teroris dan semua yang bertentangan dengan penyimpangan kekuasaan (abuse of power). Kegagalan kepemimpinan dan bangunan sistem pertahanan negara. Secara otomatis diikuti hancurnya kebijakan strategis dari petugas dan badan intelejen negara. Menyebabkan negara menjadi ajang unjuk kekuatan dan kekuasaan rezim semata. Fungsi dan peran intelejen hanya diberlakukan sebagai alat kekuasaan bukan sebagai alat negara. Hasilnya dapat dilihat dan dirasakan langsung ada pembajakan negara, ada manipulasi negara yang dilakukan kekuasaan. Rezim pemerintahan yang menjadi boneka oligarki, hanya bekerja mempertahankan dan membangun kesinbungan kekuasaan semata. Rezim kekuasaan secara kasat mata dapat dilihat dari praktek-praktek penyelenggaran negara yang tunduk pada kekuatan asing, namun begitu bengis dan dzolim pada rakyatnya sendiri. Membunuh demokrasi dan mengangkangi syariat Islam guna menyempurnakan kekuasaan tiran. Perilaku rezim yang menjadi representasi sekaligus sub-koordinat dari kapitalisme dan komunisme global. Pada hakekatnya merupakan perwujudan wajah baru yang modern dari kolonialime dan imperialisme. Sejatinya, baik kapitalisme dan komunisme global. Menjadikan Islam sebagai kekuatan yang menghalangi dan mengancam kepentingan kedua ideologi itu yang berasal dari produk pemikiran dan nafsu syahwat manusia. Islam akan terus diberondong dengan senjata liberalisasi dan sekulerisasi sepanjang berlangsungnya kehidupan dunia. Sembari terus memuntahkan amunisi intoleran, radikal dan fundamental bagi Islam dan semua kepentingan syariat serta aqidah umat yang mengikatnya. Termasuk memicu pelatuk teroris yang ditembakan ke umat Islam. Begitupun dengan isu teroris yang kadung menjadi senjata andalan kekuasaan dalam memberangus musuh politiknya. Setelah gagal dengan narasi intoleran, radikal dan fundamental. Seiring liberalisasi dan sekulerisasi, isu teroris terkadang dirasa penting dan efektif melemahkan umat Islam. Di lain sisi, negara dan aparatur keamanannya sering gagap dan gagal menghadapi teror, teroris dan terorisme di Maluku (RMS) dan di Papua. Meskipun masih termasuk wilayah dalam negeri, pemerintah begitu serba permisif dan lemah terhadap pemberontakan dan makar baik di Maluku maupun di Papua. Saking terafiliasinya wilayah Maluku dan Papua dengan dunia internasional. Rezim kekuasan melunak, sehingga harus mengganti istilah teroris dengan gerakan kelompok kekuatan bersenjata (KKB). Dilain sisi masih dalam NKRI, Densus 88 begitu spartan dan terukur terhadap persangkaan teroris terhadap para Ulama dan pemimpin Islam yang tak seia-sekata dengan rezim. Perhatian Densus 88 begitu detail dan fokusnya hingga sampai ke kotak amal dan pohon sawit. Berbeda dengan perlakuan terhadap Papua yang tak terurus. Jadi, harusnya rakyat keseluruhan sudah bisa memahami sebenar-benarnya apa dan siapa teror, teroris dan terorisme, yang kerapkali dialamatkan ke agama Islam dan umatnya. Setidaknya bisa membedakan mana yang menjadi kemurnian jihad fisabilillah, mana ketulusan perjuangan yang menuntut keadilan sosial serta mana yang terafiliasi dan menjadi sumber penciptaan teror, teroris dan terorisme baik di dunia dan di Indonesia. Tentunya sambil merenung dan bertanya pada rumput yang membisu. Mungkinkan aparatur pemerintah justru telah menciptakan teror?. Apakah sistem politik telah mengusung kekuatan teroris?. Atau bisakah negara telah melahirkan terorisme bagi rakyatnya sendiri dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari
Densus 88 Alat Politik Islamophobia
By M Rizal Fadillah JIKA dihimpun data tentang penanganan terorisme di Indonesia maka hampir seluruhnya "prestasi" Densus 88 ini berhubungan dengan umat Islam, baik organisasi, atribut, isu, aktivis maupun tokoh yang disasar. Terakhir Munarman Sekretaris FPI, Ustad Farid Oqbah Ketua Umum PDRI, DR. Ahmad Zain An Najah Anggota Komisi Fatwa MUI, dan DR. Anung Al Hamat Dosen Universitas Ibnu Khaldun. Cara menggerebek Densus 88 dinilai tidak layak, semestinya jika niat baik bukan karena sensasi, ketiganya dapat dipanggil oleh pihak Kepolisian dengan panggilan hukum. Demikian juga dengan Munarman yang Advokat terkenal. Wajar akhirnya orang mempertanyakan kinerja Densus 88, institusi penegak hukum atau alat kepentingan politik. Islamofobia yang menjadi sorotan dari kepentingannya. Anggota DPR Fraksi Gerindra Fadli Zon menyarankan agar lembaga berbiaya besar ini sebaiknya dibubarkan saja. Islamofobia tidak boleh menjadi basis kerja Densus 88. Masyarakat membandingkan tidak bekerjanya Densus menangani KKB Papua yang nyata-nyata teroris. Terorisme yang membahayakan bangsa dan negara. Sehingga muncul ejekan Densus itu beraninya hanya kepada kotak amal dan pohon kurma tetapi kepada senjata mengkerut. Terorisme Sebagai Isu Politik Sejak "penyerangan" kepada menara kembar WTC di New York memerangi terorisme menjadi isu politik global. Target yang disasar juga organisasi, atribut, isu, aktivis dan tokoh Islam. Sentral "musuh bersama" yang dijadikan hantu adalah Al Qaida. Dunia Islam dilumpuhkan dengan mengendalikan pemimpin Negara Islam dengan hantu terorisme dan nina bobo alokasi pembiayaan. Proposal penanganan aksi kelompok teroris di berbagai negara Islam bertebaran. Bom-bom car bermunculan. Akhir dari isu politik global adalah diselesaikannya tugas Osama Bin Laden yang menyisakan buntut ISIS pimpinan Abdurrahman Al Baghdadi yang ujungnya diselesaikan juga. Amerika pun hengkang. Disisakan aksi-aksi buatan di tingkat regional ataupun lokal. Ketika biaya besar berat pada aksi buatan dan jaringan maka isu pengganti yang lebih murah disiapkan di antaranya radikalisme dan intoleransi. Isu politik yang menarik dan tetap berfondasi pada Islamofobia. Kembali pada penangkapan tiga pendakwah atau ulama baru baru ini di samping dipertanyakan cara penanganan hukum dan sensasi Densus 88, juga profil yang bersangkutan yang mudah dibandingkan dengan definisi terorisme menurut UU No 5 tahun 2018. "Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan" Nah bagi yang mungkin pernah mendengarkan da'wah, pandangan keagamaan, serta perilaku/akhlak para aktivis dan ulama seperti Munarman, Ustad Farid Oqbah, DR Ahmad Zain An Najah, dan DR Anung Al Hamat adakah sedikit saja bersesuaian dengan definisi UU No 5 tahun 2018 tersebut ? Penegakan hukum atau motif politik di ruang Islamofobia ? Atau pengalihan isu oleh para koruptor dan predator bangsa dan negara ? Para radikalis, teroris, dan penjahat oligarkhi penguasa negeri yang melindungi diri dengan menyerang hantu terorisme yang sengaja dibuatnya sendiri. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Dibutuhkan Penguatan Lembaga Kepresidenan
UU kepresidenan harus detail dan rinci. Sehingga, jika terjadi konflik, misalnya antara presiden dan relasinya seperti DPR, maka presiden menjadi kuat, karena didukung UU tersebut. Jika terjadi konflik antara presiden dan DPR maka target undang-undang tidak tercapai. Banyak kasus. Dari seratus undang-undang yang direncanakan, tetapi yang disahkan hanya sedikit. Sehingga menjadikan presiden tampak lemah. Oleh Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA DALAM bernegara tentu ada hal mendasar yang perlu diperhatikan aturan mainnya. Tanpa aturan yang jelas, tujuan dan arah tidak akan jelas. Pertimbangkan juga, bagaimana aturan (rule of the game) adalah inti dari sebuah permainan, dan teka-teki - bahkan ketika seluruh tujuan kegiatan itu seharusnya adalah membuat kita bahagia serta dapat merasakan kehadiran aturan yang sesuai dan tidak menekan, baik tertulis maupun tidak tertulis - ini sebenarnya aturan hidup. Bisa kita bayangkan hidup di sebuah negara tanpa aturan yang jelas. Ke depan, aturan pemerintahan yang secara prinsip perlu di perbaiki. Beberapa institusi negara terlihat lemah, terutama institusi kepresidenan. Hal itu terjadi karena besarnya pengaruh partai penguasa yang menimbulkan kesan shadow government dalam kekuasaan presiden menjalankan pemerintahannya. Di Amerika Serikat lembaga kepresidenan sudah terinstitusionalisasi. Partai hanya menjadi kendaraan dalam usaha memperoleh tampuk kekuasaan. Akan tetapi, alam penyelenggaraan negara, partai pemenang tidak bisa ikut menitipkan program kerja yang akan dilaksanakan oleh presiden. Karena apa? Karena ada lembaga yang mengatur secara khusus fungsi presiden dalam menjalankan kebijakannya, dan partai pemenang hanya mendukung pelaksanaan program kerja tersebut tanpa ikut menitipkan program kerja dan kebijakan partai. Di Amerika tentu sangat berbeda dengan di Indonesia. Sebagai partai pemenang pemilu tentu saja ada usaha memberi masukan kepada presiden terpilih. Akan tetapi, AS mempunyai undang undang yang dipakai melobi pemimpin terpilih dan dilakukan secara tertutup. Di situlah lembaga kepresiden terlihat menjadi sangat kuat. Otoritas kepala negara dalam menerapkan kebijakan sangat terbuka. Jika ada fund rising yang mendukung program kerja, pemodal pun diumumkan secara jelas agar rakyat mengetahui arah kebijakan presiden dalam melaksanakan program kerja pemerintahannya. Ini pula yang menguatkan program presiden, agar tidak didikte cukong atau partai penguasa. Fenomena Otonomi Daerah Terkait masalah otonomi daerah yang diberlakukan sejak era reformasi dengan tujuan agar daerah mampu mengelola sendiri berbagai aspek kehidupannya dengan memberikan wewenang penuh pada beberapa hal. Misalnya, melaksanakan pemilihan kepala daerah, mengatur secara khusus potensi lokal baik potensi alam, budaya, dan berbagai macam aturan yang dibuat secara khusus oleh daerah mengacu pada kebijakan undang-undang yang disosialisasikan pemerintah pusat, agar keberhasilan di daerah dapat lebih cepat tercapai di berbagai sektor. Pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia berbeda dengan negara federal di Amerika Serikat. Walaupun pada awal keruntuhan rezim orde baru, Amien Raiz sempat mewacanakan supaya Indonesia menjadi negara federal. Dengan demikian, sistem sentralisasi berpindah pada konsep desentralisasi . Otonomi daerah di Indonesia berprinsip pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di Indonesia, pusat sangat menentukan seberapa besar dan seberapa banyak daerah diberikan UU otonomi daerah. Jika pusat ingin memberi kewenangan atau menarik kewenangan, maka daerah tidak bisa berbuat banyak. Di Indonesia, ada fenomena menarik terkait otonomi daerah saat awal diberlakukan. Konsep awal otonomi daerah Bigbang of Indonesian Desentralization dengan UU No 22 tahun 1999, membuat daerah kedodoran dan tidak siap. Daerah yang baru saja menggunakan konsep sentralisasi langsung menggunakan UU desentralisasi inilah yang menjadi masalah di daerah. Tentu mereka tidak siap melaksanakan aturan yang cukup absolut di daerahnya. Kemudian, lima tahun setelah pemberlakuan UU No 22/99, pemerintah membehaninya melalui UU No 34 tahun 2004. UU No 34 tahun 2004 itu menata kembali UU sebelumnya yang mengacu pada kewewenangan negara federal agar daerah dapat melaksanakan aturan dengan baik sesuai prinsip-prinsip NKRI. Indonesia adalah negara kesatuan, yang secara tegas tidak membolehkan adanya negara di dalam negara. Hal tersebut pernah diucapkan para founding fathers, seperti Bung Karno, Moh Hatta, Mohamad Yamin, dan lain lain, dalam percakapan mereka di forum rapat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pemikiran tersebut menginspirasi penerapan otonomi daerah, yaitu daerah menjalankan otonomi, namun pusat juga harus menjalankan kebijakannya dalam usaha memakmurkan rakyatnya. Banyak distorsi dalam pelaksanaan otonomi daerah di lapangan. Hal itu terjadi karena banyaknya implementasi yang tidak sejalan dengan tujuan. Pengangkatan kepala daerah dengan sistem pilkada yang di wakili oleh partai yang berpengaruh di daerah justru dimanfaatkan para cukong dalam proses pemenangan kepala daerah. Akibatnya, banyak kendala dalam struktur kendali pemerintahan daerah. Hal tersebut bisa terjadi karena ada kepentingan para cukong di daerah. Banyak distorsi terjadi akibat permainan para cukong atau pemodal yang lebih mengutamakan kepentingannya. Akibatnya, tujuan pemerataan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat didaerah sering tidak berjalan baik. Tidak sedikit juga akhirnya kepala daerah bermasalah dan ditangkap karena tindak pidana korupsi. Indonesia Perlu UU Tentang Kepresidenan Kepemimpinan presiden secara spesifik disebut dengan kepemimpinan chief of executive, sebagai kepala pemerintahan yang menjalankan roda pemerintahan. Kemudian presiden juga disebut chief of commander atau panglima tertinggi militer. Dia yang memimpin angkatan darat, laut dan udara, bahkan memutuskan perang. Presiden juga memainkan peranan sebagai penguat partai (the party's role). Sebagai seorang chief of commander, sudah seharusnya presiden memiliki institusi kelembagaan yang kuat serta memiliki wawasan yang baik dalam menjalankan rule of democracy, agar demokrasi tercipta dengan baik. Presiden bisa mengambil keputusan cepat dan bijak atas aspirasi masyarakat luas yang berkembang setiap saat. Begitu juga struktur organisasi penasihat presiden, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), yang anggotanya harus mempertimbangkan kompetensi dan kemampuannya. Dengan demikian, seluruh program dan kebijakan pemerintah menjadi lebih terukur dan transparan. Presiden idealnya bebas dari tekanan manapun, baik partai penguasa maupun cukong. Dengan demikian, apa yang diputuskan presiden dalam sebuah kebijakan adalah murni pemikirannya sendiri. Sejogyanya, partai pengusung hanya dijadikan kendaraan dalam meraih kekuasaan sebagai kepala negara. Dengan demikian, presiden disebut sebagai penguat partai, karena dia maju melalui pintu partai. Mungkin dia bukan ketua umum partai, bisa saja sebagai pekerja partai atau orang biasa. Karena tanpa kendaraan partai, dia tidak bisa menjadi presiden. Kepala pemerintahan itu bisa dilihat dari kepemimpinannya atau leadership-nya. Secara sederhana bisa dilihat dari ada dua hal. Pertama, kapasitasnya dalam membuat formulasi, merumuskan, menyusun dan memutuskan kebijakan-kebijakan. Itu ukurannya, apakah dia membuat kebijakan, merumuskan kebijakan dan memutuskan kebijakan secara alone (sendiri) atau dia di-guiding dari luar. Jika dia dikendalikan oleh orang di luar pemerintahan, misalnya yang menjadikan dia sebagai kepala pemerintahan, biasanya disebut king maker. Apakah kebijakan itu dibuat oleh presiden sendiri, atau dia lebih banyak menerima masukan dari orang di luar kekuasaan. Itu biasanya disebut king atau queen maker. Kedua, bagaimana dia mengeksekusi dan menjalankan kebijakan. Apakah sesuai dengan yang dibutuhkan orang banyak atau dia membuat kebijakan itu berdasarkan kebutuhan golongan kecil elit yang ada di sekitarnya. Hal itu menjadi ukuran bagaimana kinerja presiden itu dalam memimpin pemerintahan. Makanya, dia menjadi chief of executive. Kalau kita lihat presiden sebagai kepala pemerintahan di dalam sistem demokrasi, dia harus punya power yang legitimate, biasanya lewat pemiliham umum. Maka, presiden memiliki kekuasaan yang terbatas, memiliki jangka waktu tertentu dalam berkuasa. Jika tidak ada pembatasan, mudah timbul penyalah gunaan wewenang. Presiden harus memahami tentang dunia kemiliteran, dan politik luar negeri. Sebagai panglima tertinggi tidak hanya perang dalam dunia militer, tetapi juga perang menghadapi wabah pandemi seperti sekarang. Tugas presiden lainnya yang penting menjaga penyelenggaraan pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah yang sehat. Dia harus faham sebagai kepala eksekutif, merawat otonomi daerah, jangan sampai kebablasan. Itu sebabnya, presiden harus punya team advisor yang kuat dan kompeten dalam mengatasi berbagai persoalan negara yang dia tidak pahami, agar jalannya roda pemerintahan dapat terkendali dan berjalan baik. Team advisor atau Wantimpres harusnya dipilih orang orang yang handal dan benar benar profesional di bidangnya. Suara atau saran yang disampaikan Wantimpres semestinya menjadi second opinion presiden dalam mengawasi kinerja kerja para menteri-menterinya. Wantimpres sebagai penasihat presiden tentulah dipilih dari mereka yang punya kompetensi, bukan sekedar comot apalagi titipan dari king maker atau cukong belaka. Power penasihat semestinya juga bisa dirasakan bagi kepentingan rakyat banyak, melalui keputusan atau kebijakan yang dibuat presiden. Saat ini penasihat presiden kurang power dan bergigi serta tidak tampak fungsinya secara langsung dalam membantu presiden. Wantimpres tempat kumpulnya orang yang dekat presiden saja, tapi tidak clear kompetensinya. Atas pemikiran pemikiran itu, saya telah lama mewacanakan perlunya dibuat UU tentang kepresidenan secara rinci dan detail, serta proporsional. Dengan demikian apa yang dilakukan presiden sebagai chief executive of state lebih berwibawa dan terukur. Adalah hal yang tidak proporsional jika seorang kepala daerah memiliki ratusan UU sebagai pelaksana kewenangan kegiatan daerah. Sedangkan UU yang mengatur kegiatan kepala negara atau presiden hanya 15. UU untuk seorang kepala daerah sangat banyak. Akan tetapi yang mengatur kewenangan presiden hanya memiliki 15 pasal. Padahal, mengurus sebuah negara lebih kompleks ketimbang mengurus sebuah daerah. UU presiden sangat sumir dan terbatas. UU kepresidenan harus detail dan rinci. Sehingga, jika terjadi konflik, misalnya antara presiden dan relasinya seperti DPR, maka presiden menjadi kuat, karena didukung UU tersebut. Jika terjadi konflik antara presiden dan DPR maka target undang-undang tidak tercapai. Banyak kasus. Dari seratus undang-undang yang direncanakan, tetapi yang disahkan hanya sedikit. Sehingga menjadikan presiden tampak lemah. Kemudian, penguatan tugas wakil presiden agar memiliki tugas dan fungsi yang jelas. Misalnya, wapres menangani bidang tertentu, menjadi penghubung antara pemerintah dan legislatif. Kalau ada persoalan undang-undang yang macet, presiden tinggal memberi tahu wapres untuk melobi. Kita belum ada aturan seperti itu. Yang lebih penting adalah penguatan komunikasi politik presiden. Sebagai seorang manusia ada yang jago ngomong, ada juga tidak jago ngomong. Kalau jago ngomong tidak masalah. Jika presiden tidak jago ngomong, perlu juru bicara yang bagus dan berkualitas supaya rakyat simpati dengan kebijakan pemerintah. Penulis adalah Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri tahun 2010-2014.