OPINI

Presisi Jenderal Listyo itu Orasi Pada Martabat Manusia. Polisi Humanis, Emansipatoris dan Progresif!

Saat ini Kapolri Jenderal Listyo bersama gerbong besar institusi Polri sedang membawa humanisme itu dalam konteks baru pelayanan mereka pada masyarakat. Pun dari kacamata filsuf Yahudi Emanuel Levinas yang  menuntut komitmen gambaran humanis yang dialogis.  Oleh: Natalius Pigai, Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2012-2017) MASIH ingat kasus Suroto, seorang peternak ayam yang diamankan polisi saat membentangkan poster keluhan harga pakan ternak di depan konvoi Presiden Joko Widodo  saat mengunjungi makam Bung Karno di Blitar pada bulan September 2021. Publik menilai aksi polisi tersebut berlebihan dan tidak mencerminkan sisi humanis dalam mengantisipasi gangguan Kamtibmas di masyarakat, pun dalam konteks pengamanan seorang pejabat negara, termasuk Presiden. Menariknya, Polri yang terpojok karena dianggap tak humanis ketika itu tidak membela diri. Kapolri Jenderal  Listyo Sigit Prabowo berdiri paling depan  memberikan perintah pada  seluruh jajarannya melalui Surat Telegram Kapolri agar bersikap humanis kepada masyarakat. Dia tunaikan janjinya, ketika Uji Kepatutan dan Kelayakan di Komisi III sebelum dilantik, Listyo membawa misi besar transformasi Polri dan salah satu aspek penting yang ditegaskan dia saat itu terkait basis penghormatan Hak Asasi Manusia dalam seluruh tindakan kepolisian. Polri di bawah pimpinan Jenderal Listyo Sigit sadar betul bahwa watak humanis kepolisian menjadiujung  tombak institusi ini agar kembali mendapat kepercayaan masyarakat. Polri dengan kata lain membawa misi besar pengarusutamaan  (mainstream) Hak Asasi Manusia dalam pelayanannya kepada masyarakat. Di bawah Listyo, penegakan hukum dilakukan dengan tegas namun tetap humanis. Polri juga memberi pesan bahwa penegakan hukum utamanya hadir untuk memberikan rasa keadilan dan bukan penegakan hukum yang semata-mata dalam rangka kepastian hukum. Bukan hanya itu, aspek penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia tampak dalam komitmen Listyo Sigit berada di garis depan dalam mengawal kebebasan sipil sebagai roh demokrasi.  Apa bentuknya? Kapolri dalam banyak kesempatan selalu menekankan strategi pemolisian yang mengutamakan soft approach dan bukan terutama pagelaran kekuatan (show of force)yang cenderung menunjukkan watak determinan Polri di hadapan masyarakat selama ini. Polri paham bahwa era demokrasi yang membawa agenda besar Hak Asasi Manusia tidak lagi memperlakukan rakyat sebagai obyek penguasaan tetapi subyek kekuasaan. Perubahan orientasi tugas dan peran kepolisian yang selama ini cenderung menertibkan masyarakat menjadi \'bersama masyarakat menciptakan ketertiban\'. Polri seperti terus diingatkan Listyo harus mampu memenuhi harapan rakyat atau berorientasi pada kepentingan rakyat. Bahkan dalam beberapa kesempatan dia juga mengingatkan bahwa polisi adalah pelayan rakyat. Implementasinya jelas, watak arogan kepolisian tak boleh lagi ada, polisi yang cendrung mencari-cari kesalahan masyarakat dan mengutamakan kekerasan tak boleh lagi diberi tempat. Jika perlu harus  mendapat tindakan tegas. Selain itu, karakter humanis kepolisian oleh Listyo juga diterjemahkan antara lain melalui optimalisasi peran polisi wanita (Polwan) yang menurut dia memiliki peran penting dalam mewujudkan aparat kepolisian yang humanis dan dekat dengan masyarakat.  Di sisi lain, garis kebijakan yang memberi tempat terbuka dan luas bagi peran Polisi Wanita di internal kepolisian memperlihatkan komitmen Listyo pada isu kesetaraan gender yang basis argumentasinya juga menginduk pada pengarusutamaan Hak Asasi Manusia. Seperti kata Lystio  saat membuka The 58th  International Association of Women Police Training Conference di Labuan Bajo, Flores, pada 7 November lalu. Jika kita mau mengubah pandangan diskriminatif terhadap perempuan, maka kita harus memulainya dari  penyelesaian stereotip di bidang profesi kita, yaitu keamanan dan penegakan hukum. Arahan Kapolri juga jelas ketika dia menempatkan Polsek-Polsek yang berada di garis depan pelayanan kepolisian melakukan reposisi peran yang tidak lagi berurusan dengan tugas penegakan hukum melainkan preemtive dan preventive yang fokus pada langkah-langkah pencegahan dan mengedepankan penerapan restoratif justice. Polri di bawah Lystio juga punya perhatian besar pada kebijakan afirmatif kelompok rentan seperti  anak-anak,  perempuan dan  kaum  disabilitas. Jika  diringkas,  komitmen Hak Asasi Manusia oleh Kepolisian merupakan langkah maju dari salah satu upaya menuju Polri Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan). Perlu Dukungan Masyarakat Sipil dan Dunia Pers Hal-hal di atas tentu tidak lahir dari ruang kosong. Basis HAM yang dibangun Polri hari ini selain muncul dari tuntutan masyarakat, juga merupakan konsekuensi logis dari penghargaan HAM terkait kebebasan sipil, yang di dalamnya juga melekat institusi pers. Jika kita cermati, reaksi publik yang selama ini protes terhadap aksi polisi tidak humanis dan abai terhadap HAM, telah memunculkan gambaran atau citra polisi yang otoriter, represif dan tidak menghargai kebebasan sipil dan juga kebebasan pers. Masih ingat kasus mural yang berisi kritikan beberapa waktu lalu, telah menimbulkan penilaian buruk bagi polisi karena dianggap membungkam kebebasan masyarakat. Media sosial ramai-ramai menaikkan tagar seakan-akan polisi menjadi musuh kebebasan sipil.  Apa iya demikian? Apa iya Polisi yang sudah punya komitmen mengenakan baju HAM, masih juga dianggap  anti kebebasan sipil pada saat yang sama? Mari kita uji. Bukankah kebebasan sipil sesuatu yang tidak mutlak  sifatnya karena dia juga dituntut memiliki tanggung jawab etis. Terhadap apa? Ya, tanggung jawab terhadap kebebasan sosial. Bukankah kebebasan individu setiap warga negara tidak bersifat mutlak sebab dia dibatasi oleh kebebasan individu-individu yang lain? Ternyata faktanya Listyo sudah melakukan beberapa kegiatan terkait Hari HAM yaitu lomba Mural, dan orasi kebebasan ekspresi yang melibatkan masyarakat secara masif di 34 Polda. Kebijakan tersebut sebagai implementasi dari peran dan tugas kepolisian berbasis HAM sebagaimana diamanatkan berdasarkan Perkap Nomor 9 Tahun 1999 dan juga UU Nomor 40  Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers. Membangun Watak Humanis di Institusi Polri Jika demikian soalnya, adalah tugas bersama baik Polri maupun masyarakat memastikan nilai-nilai HAM menjadi pegangan bersama. Agenda besar pengarusutamaan HAM bukan hanya dituntut pada kinerja Kepolisian tetapi juga pada masyarakat sipil dan institusi pers. Salah satu upaya yang harus dipastikan baik terhadap Polri  maupun masyarakat sipil dan pers adalah kerja terus-menerus melakukan internalisasi nilai-nilai HAM. Internalisasi nilai HAM bisa dibentuk selain melalui pembelajaran atau pelatihan tentu efektif melalui praktek terus-menerus. Termasuk tidak resisten jika ternyata mendapat aksi korektif.  Polri saat  ini punya Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak  Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sekarang tinggal bagaimana peraturan ini menjadi nilai yang dihidupi oleh semua anggota Polri. Sama halnya pers di sisi lain dituntut untuk menjalankan secara konsekuen panduan kode etik jurnalistik dan prinsip-prinsip HAM dalam menjalankan setiap tugasnya. Internaliasi nilai adalah proyek jangka panjang yang harus muncul dalam pikiran dan setiap tindakan. Di sisi Polri, berita baiknya adalah komitmen HAM yang selama ini digaungkan Listyo mulai membuahkan hasil. Terbukti dengan terus menurunnya jumlah pengaduan masyarakat terkait kepolisian di Komnas HAM berdasarkan periode 2013-2021. Jika pada tahun 2013 laporan msayarakat terkait kepolisian di Komnas HAM sebanyak 1.938 Kasus, pada tahun 2020 turun menjadi 1.122 Kasus dan pada tahun 2021 saat Lystio menjabat turun drastis menjadi  571 kasus. Pelan tapi pasti, citra Polisi humanis menjadi branding baru Polri di bawah kepemimpinan Listyo.  Polri Makin Dipercaya sebagai Humanis dan Emansipatoris Seorang penulis berkebangsaan Italia Francesco Pico pada 1496 menerbitkan buku saudaranya Giovanni Pico Della Mirandola berujudul ‘de hominis dignitate’ (orasi pada martabat manusia). Pico menegaskan bahwa makna kemanusiaan atau humanitas tidak dapat diandaikan begitu saja, tetapi harus diketemukan dan dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan dengan realitas dan konteks yang baru. Saat ini Kapolri Jenderal Listyo bersama gerbong besar institusi Polri sedang membawa humanisme itu dalam konteks baru pelayanan mereka pada masyarakat. Pun dari kacamata filsuf Yahudi Emanuel Levinas yang  menuntut komitmen gambaran humanis yang dialogis.  Serupa Levinas, Polri dan juga masyarakat sipil dituntut untuk memahami bahwa kemanusiaan kita juga dibangun oleh kemanusiaan orang lain, dan sebaliknya kehadiran kita harus memberi kontribusi bagi kemanusiaan orang lain. Termasuk di dalamnya citra polisi humanis itu harus punya karakter emansipatoris yang mampu menghapus segala pendindasan, ketidaksamaan dan ekploitasi yang muaranya pada harkat dan martabat manusia yang dihormati, dimuliakan dan dikembangkan segala segi kehidupannya. Hasil survei yang dirilis Indicator Politik menempatkan Polri sebagai institusi yang makin dipercaya publik, dengan tingkat kepercayaan 80,2 persen. Hal ini menunjukkan sedang terjadi reformasi subtansial di dalam tubuh Polri. Oleh karena itu perlu dukungan dari seluruh anggota korps Bahyangkara mulai dari tingkat atas sampai bawah dan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia. (*)

Ujaran Kebencian dan Islamofobia

Profesor Australian National University (ANU) Greg Fealy menuding pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo represif  terhadap Islam. Pandangan Fealy tertuang di sebuah artikel yang dimuat East Asia Forum pada 27 September 2020. Fealy menganggap, Jokowi telah melakukan kampanye penindasan sistematis terhadap kaum islamis dalam empat tahun terakhir. Oleh: Tamsil Linrung, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI JANGANKAN menyejuk, mereda saja tidak. Resolusi perbaikan yang saban pergantian tahun diikrarkan, nyaris sebatas dengungan semata. Pun, revolusi mental yang digadang-gadang sebagai program menggembleng manusia Indonesia menjadi lebih baik, juga tak jelas hasilnya. Faktanya, 2022 tetap saja kita sambut dengan riuh yang membuncah, dengan gaduh tak berkualitas. Cuitan Ferdinand Hutahaean soal “Allahmu lemah” sontak mengguncang jagad dunia maya. Seperti biasa, adu narasi tumpah ruah di media sosial dan media elektornik. Seperti biasa, anak-anak bangsa kembali bertempur opini permukaan, yang bukan persoalan utama negeri. Perdebatan yang kurang lebih sama juga terlihat dalam kasus Habib Bahar bin Smith (HBS). Perkara tersebut menjadi sorotan lantaran beberapa hal. Pertama, video kedatangan Danrem 061 Surya Kencana Brigjen TNI Achmad Fauzi yang viral. Meski tujuannya baik, peristiwa tersebut di luar kelaziman. Kedua, penanganan laporan HBS yang demikian cepat. Dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada 17 Desember 2021, HBS lalu dijadikan tersangka 17 hari kemudian, dan diterungku. Sebagai rakyat, kita tentu mendukung dan mengapresiasi upaya penegakan hukum oleh aparat kepolisian. Semakin cepat prosesnya, akan semakin baik. Namun, respon cepat jelas tidak boleh mengesampingkan keadilan. Sebab, azas penting dari negara hukum adalah setiap persamaan warga negara di hadapan hukum (equality before the law). Dalam konteks tersebut, tidak sedikit yang mempertanyakan langkah-langkah penanganan perkara oleh kepolisian. Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, misalnya, membandingkan proses perkara HBS yang demikian cepat dengan laporan dua warga Bogor yang dianiaya oleh terduga personel Brimod DD alias Nando yang dinilai perkembangan kasusnya tidak jelas. IPW juga membandingkan respon cepat penyidik kasus HBS dengan laporan atas pegiat media sosial Denny Siregar yang mandek. Denny Siregar dilaporkan pada 2 Juli 2020 oleh Ustadz Ahmad Ruslan Abdul Gani ke Polresta Tasikmalaya. Artinya, sekira 1,5 tahun kasus Denny belum menemui perkembangan signifikan. Pengacara HBS Ichwan Tuankotta dan ramai netizen ikut membandingkan penanganan perkara HBS dengan Ade Armando dan Permadi Arya yang tidak jelas perkembangannya. Apa yang membedakan di antara mereka sehingga masyarakat ramai-ramai membandingkan? Sederhana saja. Abu Janda, Ade Armando, Denny Siregar adalah sosok yang dikenal pembela pemerintah. Sementara HBS sebaliknya, sosok yang dikenal beroposisi terhadap penguasa. Pengacara HBS menilai, hukum hanya tajam untuk oposisi atau lawan politik, sementara tumpul kepada para buzzer pendukung rezim. Bila dicermati, lapor-melapor yang terjadi umumnya terkait SARA (Suku Agama, Ras dan Antargolonga), Abu Janda misalnya, sebelum dilaporkan oleh Ketum KNPI terkait dugaan cuitan rasis terhadap Natalius Pigai, juga pernah dilaporkan terkait unggahan yang kurang lebih menyebut “Islam Arogan”, “Panji Nabi, Bendera Tauhid Bendera Teroris” atau “teroris punya agama, agamanya Islam”. Sementara itu, Denny Siregar pernah dilaporkan atas postingan di akun facebooknya yang berjudul “adek2ku Calon Teroris yg Abang Sayang.” Denny juga tercatat pernah dilaporkan terkait pernyataannya melalui video yang beredar di media sosial yang menyinggung pelegalan poligami dalam rencana penyusunan qanun (peraturan daerah) tentang hukum keluarga di Aceh. Sedangkan Ade Armando antara lain tercatat pernah dilaporkan terkait “meme Joker Anies Baswedan” dan perihal “Azan tidak suci.” Dari tiga aspek dalam SARA, yang cukup dominan menjadi objek laporan adalah cuitan yang menyinggung agama, khususnya agama Islam. Sebelumnya, kekerasan terhadap simbol-simbol Islam sempat terjadi, baik fisik maupun non-fisik. Ulama yang sedang melakukan pengajian ditikam, masjid dilempari bom molotov, dan bahkan sekadar cadar dan janggut pun dipersoalkan. Apakah Indonesia menuju Islamofobia? Kita berharap tidak. Namun, mengapa di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, sejumlah orang terlihat semakin terbuka mengolok-olok Islam? Ini tak pernah terjadi (atau sangat jarang terjadi) sebelumnya, kecuali di masa pergerakan dan PKI dulu. Gerakan atau isu anti Arab, misalnya, pernah menggejala di masa pergerakan sebagaimana dimuat Majalah Berita Nahdlatoel Oelama 1 Januari 1938. Atau, di masa pergolakan PKI, 15 Januari 1965, Ludruk LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat – organisasi underbow PKI) membuat pementasan di Prambon (Sidoarjo) dengan lakon “Gusti Allah Dadi Manten” (Allah menjadi Pengantin).  Melemahkan kekuatan Islam sesungguhnya adalah proses melemahkan NKRI. Itulah sebabnya penjajah dan dedengkot PKI selalu berupaya menyasar sumber kekuatan ini. Sebab, sepanjang sejarah perjalanan negeri, umat Islam selalu berada di garda terdepan perjuangan bangsa. Tentu tanpa mengenyampingkan peran dari umat agama lain, saudara sebangsa kita. Kini, Indonesia telah merdeka dan PKI telah tiada. Namun, entah kenapa agama Islam dan pemeluknya terasa disudutkan. Tidak sedikit stempel yang sifatnya destruktif disematkan di sana-sini. Yang paling popular adalah branding intoleran dan radikal. Profesor Australian National University (ANU) Greg Fealy menuding, pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo represif terhadap Islam. Pandangan Fealy tertuang di sebuah artikel yang dimuat East Asia Forum pada 27 September 2020. Fealy menganggap, Jokowi telah melakukan kampanye penindasan sistematis terhadap kaum Islamis dalam empat tahun terakhir. Boleh jadi Fealy benar. Akan tetapi, bisa juga keliru. Sebab, untuk menyimpukan sebuah perkara besar dan sensitif, tentu memerlukan studi yang lebih komprehensif. Satu hal yang pasti, pemerintah harus lebih sensitif dan tegas, khususnya menyangkut penegakan hukum. Kita memahami, pemerintah tidak boleh mengintervensi hukum. Namun, dengan segala kekuasaan di tangannya, Presiden Jokowi dapat melakukan evaluasi terhadap proses penegakan hukum yang oleh sebagian masyarakat dipandang tidak berkeadilan. Islamofobia bukan tidak mungkin terjadi di negara berpenduduk mayoritas muslim. Presiden Jokowi perlu menunjukkan kesungguhannya mengantisipasi hal itu. Pemerintah sebaiknya bergandengan tangan dengan ulama, membangun persepsi tentang nilai-nilai Islam yang sejalan dengan ideologi Pancasila. Mereka yang mempertentangkan, justru boleh jadi punya agenda terselubung. (*)

Hapus Islamophobia

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Keagamaan COUNCIL on American-Islamic Relations (CAIR) akan merilis sikap politik masyarakat dan pemerintah AS yang anti Islam atau Islamophobia sepanjang tahun 2017-2020. Arahannya adalah sudah saatnya Islamophobia dihapus. Kebijakan dan tindakan anti Islam  bukan saja kontraproduktif tetapi juga manipulatif. Gerakan Islamophobia pun sebenarnya telah gagal untuk mampu \"memberangus\" Islam.  Rilis terbaru CAIR bertema \"Islamophobia in the Mainstream\" itu mengangkat adanya indikasi 35 Yayasan dan lembaga amal yang menyalurkan 106 juta US Dollar kepada 26 kelompok anti Islam.  Amerika menunjukkan kemajuan dengan kebijakan yang lebih bersahabat kepada Islam.  Setelah Biden mencabut kebijakan anti Islam Trump dan mengesahkan No Ban act atau UU anti diskriminasi agama maka DPR AS setuju RUU Anti Islamophobia usulan anggota Partai Demokrat Ilhan Omar untuk menjadi UU sebagai dasar pemberantasan Islamophobia di seluruh dunia Indonesia sebagai negara mayoritas muslim seyogyanya menyambut gembira upaya memberantas Islamophobia di seluruh dunia tersebut. Menyiapkan berbagai perangkat dan dana untuk menunjang program yang rasional  dan sehat itu. Indonesia semestinya menjadi  garda terdepan bersama negara muslim lainnya. Negara RI akan lebih berwibawa dan dihormati.  Alif ba ta nya adalah dengan memulai mengubah dan menghapus kebijakan dan tindakan yang berbau Islamophobia di dalam negeri sendiri. Masih banyak anasir Islamophobist di kalangan pejabat pemerintahan,  partai politik, ataupun organisasi kemasyarakatan. Lucunya kalangan beragama juga ikut-ikutan menjadi Islamophobist.  Empat langkah memberantas Islamophobia di Indonesia.  Pertama, mengubah pandangan dan sikap Pemerintah dan berbagai elemen politik yang menjadikan Islam sebagai masalah bahkan musuh. Islam dan umat Islam sesungguhnya adalah potensi utama bagi kemajuan bangsa dan negara.  Kedua, hentikan stigmatisasi Islam dan umat Islam sebagai radikal, intoleran, anti kebhinekaan dan sejenisnya. Memberi stigma buruk hanya membuat umat tidak nyaman dan akan \"memasang kuda-kuda\". Pemerintah dipastikan tidak akan mendapat dukungan.  Ketiga, tidak mengarahkan narasi \"moderasi beragama\" kepada liberalisasi, sekularisasi, atau pengambangan keyakinan keagamaan (plotisma). Menunggangi moderasi untuk melumpuhkan Islam dan umatnya hanya menciptakan kegaduhan dan perlawanan. Keempat, membuat perundang-undangan dengan substansi anti Islamophobia. Memberi sanksi atas sikap anti Islam baik yang dilakukan oleh umat lain maupun oleh umat Islam sendiri yang dangkal dalam pemahaman keagamaannya, termasuk para buzzer Istana yang gemar menista Islam dan menyakiti umat Islam.  Sikap Islamophobia bertentangan dengan Pancasila dan mengganggu kerukunan hidup beragama. Potensial untuk menjadi penoda agama dan lekat dengan kriminalisasi ulama.  Hapus Islamophobia dan jadikan  negara Indonesia sebagai teladan bagi konsistensi sikap politik penguasa dalam melindungi Islam dan umat Islam dari berbagai serangan jahat atas keyakinan dan pelaksanaan ajaran. Merasakan nyaman dalam beribadah dan menjalankan syari\'ah. Amerika saja bisa. Indonesia bukanlah China. (*)

Berkumpulnya Semangat Perlawanan

Minggu siang tanggal 9 Januari 2022,  di teriknya kawasan Bantar Gerbang. Tanpa direncanakan dan bukan menjadi sebuah agenda politik. Kota Bekasi yang baru saja diguncang korupsi walikota beserta jajaran pejabat dan pengusaha. Kedatangan para tokoh dan pemimpin pergerakan nasional. Kota berjuluk Patriot tak tanggung-tanggung  menampung sejumlah pentolan demonstran  lintas periode, mulai dari aktifis tahun 70an, 80an hingga tahun 90an yang melahirkan reformasi. Oleh Yusuf Blegur, Aktivis 98 dan  Mantan Presidium GMNI DALAM sebuah acara resepsi pernikahan putra Kang  Setia Dharma seorang Senator ProDem. Mulai dari Tokoh Malari Hariman Siregar, Indro Tjahyo, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Bursah Zarnubi, Ferry Juliantono hingga generasi dibawahnya seperti Andrianto, Niko Ardian, Beathor Suryadi, Iwan Sumule, Eki Girsang aktifis 98 dll. Mereka berkumpul santai, bersenda gurau sembari sesekali fokus membicarakan kondisi aktual negara yang sedang kusut. Sekusut-kusutnya benang yang basah pula. Begitulah aktifis pergerakan, sudah menjadi tradisi dari kesadaran kritis dan panggilan jiwa.  Tanpa kenal waktu, tak peduli suasana serta  memandang tempat. Aktifitas mereka sulit untuk bisa dipisahkan  dari  membicarakan dan menyikapi persoalan-persoalan bangsa. Mereka anak-anak negeri yang tumbuh menjadi tokoh pergerakan sekaligus pemimpin yang mendedikasikan hidupnya sepanjang waktu untuk berkembangnya demokrasi dan segala kebaikan negara. Ada yang menarik dan memiliki makna tersendiri dari kongkow-kongkow pemimpin-pemimpin pergerakan nasional tersebut. Di tempat yang tidak jauh dari lokasi Pembuangan Akhir (TPA) sampah warga Jakarta yang ada di Bekasi dan pernah menjadi tempat deklarasi capres-cawapres Mega-Prabowo saat 2009 lalu.  Meski dalam suasana penuh seloroh politik, aktifis-aktifis  yang sudah kenyang berhadapan dengan beberapa rezim itu. Tetap guyub, konsisten, gigih dan berkarakter menyoroti keprihatinan mendalam situasi nasional. Dari sekelumit obrolan  mereka, tampak mengerucut bahwasanya negara dibawah rezim pemerintahan yang sekarang cenderung menuju kebangkrutan dan kegagalan. Perilaku kekuasaan bukan hanya mendobrak kaidah intelektual dan konstitusional. Lebih dari itu rezim menjalankan negara dengan cara suka-suka dan sesuai kehendaknya. Tanpa batasan dan tanpa norma-norma baik sosial ekonomi, sosial politik dan sosial hukum. Demokrasi dikebiri, aktifis dibungkam dan agama  dinista. Rezim benar-benar menggunakan tangan besi dan bahasa kekuasaan dalam mengelola negara. Komitmen Perjuangan Negara sering dipermalukan oleh aparat dan institusinya sendiri. Selain perilaku bejat, pemerintah kerapkali berbenturan dan menghadapi konstitusi yang dibuatnya sendiri. Sebagai penyelenggara negara, rezim menjadi identik dan biangkerok  dari semua krisis. Keputusan Mahkamah konstitusi yang menyatakan Omnibus law inskonstitusional bersyarat. Merupakan satu contoh bagi pemerintahan yang sudah berada di luar jalur hukum dan tak ubahnya menguatkan keberadaan negara kriminal. Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan dll., merupakan korban dari praktek-praktek kebiadaban pemerintahan dalam memanipulasi dan merekayasa konstitusi. Negara harus bertanggungjawab dan memulihkan nama baik mereka yang telah  didzolimi sekaligus dikriminalisasi rezim. Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan dll. menentang UU Cipta Kerja karena  nyata-nyata merupakan produk hukum pemerintah yang telah menghianati negara dan menyengsarakan kehidupan rakyat. Masih banyak lagi segudang kebobrokan rezim dan kegagalan mengurus negara. Saking tak terhitungnya kesalahan dan dosa pemerintahan, negara juga terus berada di ambang kehancuran. Pertemuan para tokoh dan pemimpin pergerakan meski hanya di sela-sela acara  hajatan yang diselenggarakan oleh keluarga aktifis senior Setia Dharma. Secara teknis tetap mengandung makna dan nilai-nilai substantif perjuangan. Hariman Siregar bersama generasi  aktifis pergerakan dibawahnya. Menunjukkan betapa api kesadaran kritis dan perlawanan tak akan pernah padam. Tak akan lekang oleh waktu dan jaman. Komitmen dan konsistensi perjuangan akan selalu ada di setiap kehadiran rezim yan tiran.  Jejak rekam dan catatan sejarah mereka akan terus hidup dan mengalir menyusuri setiap generasi ke generasi. Akan selalu ada kesadaran kritis dan semangat kebangsaan. Patriotisme dan nilai-nilai  nasionalisme yang tertuang dalam berkumpulnya semangat perlawanan terhadap penindasan rezim. (*)

Saatnya Mengembangkan Listrik dari Energi Hijau Bebas Karbon Emisi

Jakarta, FNN - Jika energi hijau telah menjadi gaya hidup di Tanah Air maka Indonesia akan terbebas dari emisi karbon yang merugikan, lebih mandiri energi, dan mengurangi tingkat ketergantungan pada negara lain.Namun, pengembangan energi hijau yang bebas karbon emisi terutama untuk menyuplai kebutuhan listrik bukan semudah membalik telapak tangan.Upaya ini bukan semata persoalan mencari investor untuk sebuah proyek raksasa melainkan pekerjaan rumah besar mulai dari keberpihakan politis hingga mengubah tradisi lama yang sudah puluhan tahun bergantung pada energi fosil.Langkah ini jelas akan menyedot investasi bukan semata di hulu namun juga di hilir ketika peralatan yang digunakan oleh pengguna atau masyarakat seluruhnya harus dikonversi agar dapat menyesuaikan dengan penggunaan energi hijau.Meski begitu, langkah ini perlu untuk tetap dimulai dan bukan tidak sama sekali. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa kali kesempatan mengatakan bahwa bandul ekonomi dunia kini bergerak mengayun ke arah ekonomi hijau.Untuk itu, Indonesia perlu bersiap, apabila suatu waktu entah itu dua, tiga, atau lima tahun lagi ketika masa itu datang, sebab akan ada saat di mana dunia hanya menerima produk-produk yang dihasilkan dari energi terbarukan.Dalam masa transisi energi itu, Indonesia pun dituntut untuk bersiap apalagi bangsa ini memiliki potensi besar berupa sumber daya alam (SDA) yang melimpah untuk menghasilkan energi hijau. Semua sumber energi hijau tersedia melimpah mulai dari potensi hidro pada 4.400 sungai, sinar matahari tropis sepanjang tahun, geotermal, sampai angin.Pendek kata, kata Jokowi, dengan kekuatan sumber daya alam itu, Indonesia sejatinya punya modal besar untuk bersaing dengan negara-negara lain. Proyek DikembangkanUntuk mewujudkan energi hijau yang dimaksud sejumlah proyek pun dikembangkan baik oleh perusahaan pelat merah, anak usaha BUMN, hingga swasta.Terhitung sejak 26 Desember 2021, misalnya, anak usaha BUMN Pupuk Indonesia yakni PT Rekayasa Industri (Rekind) merampungkan pekerjaannya di Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Rantau Dedap (91.185 MW) di Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan.Hal itu ditandai dengan diselesaikannya semua tahapan pengujian sistem dan fasilitas kapasitas pembangkit listrik (Plant Rated Capacity Test) yang dikerjakan perusahaan EPC (Engineering, Procurement and Construction) nasional tersebut.PLTP Rantau Dedap adalah PLTP yang dioperasikan oleh PT Supreme Energy Rantau Dedap (SERD), perusahaan kerja sama antara PT Supreme Energy, ENGIE, Marubeni Corporation dan Tohoku Electric Power. Pada 26 Desember 2021 mengumumkan bahwa PLTP Rantau Dedap Tahap-1 dengan kapasitas 91,185 MW telah beroperasi komersial.Listrik yang bersumber dari energi hijau bebas karbon emisi ini akan disalurkan melalui jaringan transmisi milik PT PLN (Persero) untuk dapat mendukung keandalan pasokan listrik di Wilayah Sumatera. Bukti penyelesaian seluruh tahapan pengujian itu diperkuat dengan dikeluarkannya sertifikat atau berita acara Commercial Operation Date (COD - Tanggal Operasi Komersial) secara tertulis oleh SERD selaku pemilik proyek.Pijakannya, mengacu pada SKPP (Sertifikat Kelayakan Penggunaan Peralatan) yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) dan Sertifikat Laik Operasi (SLO) yang dikeluarkan oleh Direktorat Teknik dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (DJK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).Selain itu juga mengacu pada Sertifikat Kompetensi Operator yang diterbitkan Himpunan Ahli Pembangkit Tenaga Listrik.Pascaterbitnya COD ini, PLTP Rantau Dedap langsung menyalurkan listrik melalui jaringan transmisi milik PLN secara komersial, untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat, khususnya dalam menopang minimnya pasokan listrik di wilayah Sumatera Bagian Selatan.Direktur Utama Rekind Triyani Utaminingsih menyatakan di tengah pandemi COVID-19 dan sejumlah tantangan besar, pihaknya bertekad untuk menyelesaikan Proyek PLTP Rantau Dedap.Upaya ini juga merupakan bentuk komitmen dalam mendukung program percepatan pembangunan pembangkit listrik di Indonesia dan meningkatkan peran energi terbarukan dalam mewujudkan ketahanan energi bangsa yang berkelanjutan. Di bawah bendera konsorsium bersama Fuji Electric, lingkup pekerjaan Rekind dalam proyek PLTP Rantau Dedap cukup luas. Mencakup pekerjaan engineering, procurement, konstruksi, commissioning BOP, dan pre-commissioning. Kesemuanya dilakukan secara mandiri oleh putra-putri terbaik bangsa ini.InovasiUpaya yang dilakukan Rekind merupakan salah satu wujud inovasi dan penerapan teknologi kekinian dalam melahirkan karya-karya terbaik di proyek yang lokasinya berada pada ketinggian tapak di atas 2000-2600 mdpl itu.Proyek-proyek energi hijau memang dalam pengerjaan memerlukan inovasi dan teknologi tingkat tinggi, misalnya saja untuk Steam Separation System.Diperlukan inovasi misalnya dengan mengaplikasikan pekerjaannya melalui penerapan teknologi Central Separator with Dual Flash System.Teknologi ini mengandalkan central separator pembangkit yang mampu melakukan proses flashing (tekanan) dua kali lebih kuat dibandingkan teknologi yang diterapkan dalam pembangkit sebelumnya, sehingga memperoleh performa maksimal.Dan, untuk pengerjaan switchyard dalam kapasitas 150 kV juga perlu menerapkan teknologi lain misalnya Using Container Gas Insulated Switchyard (GIS).Ini merupakan teknologi yang mampu mentransformasi gardu induk listrik yang konvensional menjadi digital. Penerapan teknologi ini belum pernah sebelumnya diaplikasikan di Indonesia.Memang secara keseluruhan transisi menuju energi hijau menghadapi tantangan tuntutan penyelamatan lingkungan dan keseimbangan aktivitas ekonomi. Komitmen pengurangan emisi karbon perlu menjadi prioritas dan perekonomian yang perlu menyesuaikan diri.Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun sudah menyatakan bahwa dunia berkomitmen mengurangi emisi karbon pada 2050.Di dalam negeri, menurut Sri Mulyani, Indonesia masih menghadapi tantangan untuk melakukan transisi menuju energi hijau. Saat ini batu bara masih menjadi sumber energi utama, sehingga penghentian penggunaan batu bara mesti bertahap.Menurutnya, transisi penggunaan batu bara menuju sumber energi yang lebih ramah lingkungan harus didukung berbagai instrumen kebijakan dan investasi yang besar. Selain itu, aktivitas perekonomian pun harus terjaga saat energi terbarukan digunakan.Penggunaan batu bara sebagai sumber energi melibatkan banyak sektor serta tenaga kerja, mulai dari tambang, pembangkit listrik, hingga PT PLN (Persero) sebagai perusahaan tunggal pengelola listrik.Transisi pun kemudian tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba. Salah satu pertimbangan besar di dalam negeri adalah adanya kontak PLN yang masih berjalan dalam penggunaan energi dari perusahaan-perusahaan pembangkit listrik.Meski begitu, saat ini sudah saatnya bagi Indonesia untuk memulai sebuah langkah besar pengembangan listrik dari energi hijau yang bebas karbon emisi. Kalau bukan sekarang kapan lagi. (mth)   

Presisi Cakti

Oleh Sugeng Waras,  Purnawirawan TNI AD ENTAH siapa dan dari mana yang menggagas PRESISI (Prediktif, Responsible, Transparansi yang Berkeadilan). Yang jelas itulah yang mengantar Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo layak menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Idham Azis. Sungguh luar biasa MOTTO itu, karena jika itu benar benar dilakukan dengan konsisten dan konsekwen akan menjadikan Polri semakin dibanggakan, dirindukan dan dicintai rakyatnya. Polisi dalam dunia hukum menjadi pemeran utama, dengan kata lain, tak perlu macam-macam, jika tugas-tugas dilaksanakan dengan jujur, benar dan adil, insha Allah bersinar jalan ke surga, maka berbahagialah untuk polisi beserta keluarganya. Namun sayang disayang, mungkin Tuhan belum menakdirkan polisi tidak dihujat, tidak dimaki dan tidak disumpah serapah oleh sebagian besar rakyat, karena belum bisa mewujudkan karya-karya presisinya. Tampaknya dari dulu hingga Jenderal Sigit sebagai orang nomor satu di kepolisian, tak ada yang  cukup nyali untuk mengimplementasikan Presisi ini. Kini presisi bak fata morgana, indah dilihat tapi tak ada wujud dan hasilnya, masih remang-remang, gamang, penuh misteri, berselimutkan tabir dan penuh teka-teki membungkus darah dan nyawa yang gentayangan. Presisi belum mampu menguak konspirasi tingkat negara, belum berani menegakkan benang kusut, masih kokoh menyimpan darah putih yang busuk dalam genggaman tangan-tangan iblis. Kapan presisi akan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh? Barangkali sudah, namun hasilnya jauh dari harapan. Tolok ukurnya, jika HRS dan kawan kawan bebas, atau presiden Jokowi mundur dengan hormat! Terlalu parah carut-marut negara ini, seolah polisi yang memiliki hukum. Padahal hukum milik dan untuk seluruh warga negara, tak terkecuali dan berlaku sama Hayoo...polisiku yang kucintai dan kubanggakan, adakah nyalimu untuk menjalankan presisimu dengan konsisten dan konsekwen? Hingga kini kemenanganmu bisa memenjarakan orang orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintah adalah kemenangan semu yang penuh kegelapan Kerjamu seolah ada tekanan dan belenggu pihak lain. Memang, barangkali ada beberapa faktor penyebab. Pertama, dalam melaksanakan tugas tugas negara, polisi tidak berdiri sendiri dan tidak sendirian, dengan kata lain banyak kotoran kotoran dan sampah sampah busuk yang mengganggu, menghalangi bahkan membelokkan tujuan baik polisi. Kedua, Polisi tidak paham dan tidak sadar, bekerja berlandaskan doktrin atau pedoman yang kurang menyentuh jiwa raga, lahir batin dan kurang handal profesional. Lihat dan cermati, TRIBRATA, pada esensinya tidak menuangkan KEJUJURAN,  hanya kebenaran, keadilan dan kemanusiaan. Padahal kejujuran adalah modal dasar yang pokok, utama dan mulia, dengan kejujuran, orang akan mengatakan benar adalah benar dan salah adalah salah, kepada siapapun dan pihak manapun tanpa pandang bulu, derajat, martabat, tingkat,  golongan, suku, agama, keturunan, kaya dan miskin. Dengan jujur, benar dan adil akan bisa menetralisir anggapan benar belum tentu adil, dan adil belum tentu benar. Di sisi lain, CATUR PRASETYA, juga tidak akan bisa dicapai, karena esensi komulasi yang terkandung didalamnya imposible, tidak terukur untuk dicapai seorang bayangkara yang harus mampu melindungi segala bentuk gangguan keamanan, menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak azasi manusia, menjamin kepastian hukum, serta memelihara perasaan tentram dan damai. Maaf, bila disandingkan dan bandingkan antara SAPTA MARGA dengan TRIBRATA sebagai landasan dan pedoman Satuan, serta SUMPAH PRAJURIT dan 8 TNI WAJIB dengan CATUR PRASETYA POLRI , sebagai pedoman atau landasan perorangan / individu, jauh berbeda (tidak perlu saya ulas di sini). Oleh karena, saya sarankan, Polisi perlu menyempurnakan doktrinya, agar para bhayangkara negara ini, mempunyai landasan kuat, lahir batin. Insha Allah jika ini diaksanakan, polisi akan senantiasa ditunggu kehadiran dan keberadaanya di tengah tengah masyarakat, disegani, dibanggakan dan dicintai rakyatnya. Semoga Kapolri beserta jajaran, senantiasa dalam bimbingan dan perlindungan Allah swt, Tuhan Yang Maha Kuasa, serta dapat menangani dan menindak lanjuti masalah masalah HRS, KM 50, HBS, TKA, Pandemi/ Vaksin, TKA, Omnibus law, HIP/BPIP dan Pemindahan Ibu Kota Negara yang baru, yang penuh kontroversial dan berpotensi membahayakan negara, termasuk menggulung para buzzer yang membuat gaduh dan kacau negara dengan sejujur jujurnya, sebenar benarnya dan seadil adilnya.....Aamiin Ya Robb..!!!

Ayo, Kembali Fokus Pada Kejahatan Presidential Threshold

Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN, Pengamat Sosial-Politik PENISTAAN agama, pelecehan terhadap Allah dan rasul-Nya, pelecehan dan kriminalisasi ulama, semuanya sangat penting. Teramat penting. Dan harus dilawan. Tetapi, ada isu politik yang juga sangat penting. Yaitu, ambang batas (threshold) 20% dukungan politik di DPR untuk mengajukan calon presiden (capres). Mereka sebut itu “presidential threshold” (PT). Kalau Anda tidak punya parpol atau gabungan parpol yang besarnya 20% di parlemen, jangan harap bisa mencalonkan orang yang Anda anggap paling pantas. Dia tak akan bisa maju. PT 20% memang bertujuan untuk menjegal figur pro-rakyat yang berintegritas, berkapasitas dan berintelektualitas tinggi. Orang yang akan memberantas korupsi, menegakkan keadilan, mencegah pengurasan alam dan menyetop kehancuran lingkungan, pasti akan menjadi musuh bersama kelompok pebisnis rakus. Mereka bersatu dalam oligarki. Di pilpres 2024, PT 20% sangat krusial bagi oligarki untuk dipertahankan. Sebaliknya, sangat krusial pula bagi rakyat untuk dihapuskan. Bagi rakyat, penghapusan PT adalah soal hidup-mati bangsa ini. Soal masa depan anak-cucu. Jika PT 20% tetap berlaku, berarti oligarki akan terus berkuasa dan mengatur siapa yang mereka inginkan sebagai presiden boneka. Tinggal sekarang Anda jawab satu pertanyaan: siapa yang berhak memegang kekuasaan? Oligarki atau Rakyat? Perjuangan konstitusional untuk menghapuskan PT 20% itu sudah dimulai. Rakyat dipahamkan tentang bahaya PT terhadap bangsa dan negara Indonesia. PT 20% adalah kerangkeng yang bertopeng demokrasi. Sama dengan belenggu kerja paksa. Belenggu yang digunakan untuk merampok rakyat. Belenggu ini dibuat atas kerja sama oligarki jahat dan parpol-parpol pengkhianat bangsa. Mereka yang bersekutu itu adalah bangsat-bangsat yang akan menghancurkan Indonesia. Karena itu, rakyat harus bangkit. Harus melawan. PT 20% harus dilenyapkan. Oligarki sangat kuat. Mereka punya uang ‘unlimited’. Sangat mungkin PT 20% akan tetap berlaku. Duit akan ditabur ke parpol-parpol. Mereka akan dibeli oleh oligarki dengan harga mahal. Tetapi sebetulnya harga itu tak seberapa dibandingkan pengurasan yang dilakukan oligarki, dan dibandingkan dengan penderitaan panjang seluruh rakyat. Jadi, bisa dibayangkan beratnya upaya untuk melenyapkan PT 20%. Tapi, kita semua tidak punya pilihan lain. Seluruh rakyat harus bangkit. Tunjukkan dengan lantang perlawanan Anda terhadap bahaya oligarki. Kita semua tidak boleh lengah. Kalau PT 20% tidak bisa dihapuskan pada pilpres 2024, maka situasi ekonomi-sosial-politik akan semakin parah bagi rakyat. Penindasan, kezaliman, ketidakadilan, akan semakin menjadi-jadi. Jangan berharap pada partai-partai politik. Sebagian besar mereka adalah pengkhianat. Khususnya partai-partai besar. Mereka hanya memikirkan kepentingan sendiri dan sesaat sifatnya. Mereka tidak berpikir tentang masa depan bangsa. Oleh sebab itu, ayo kita kembali fokus ke perjuangan untuk menghapuskan PT 20%. Aturan ini sangat tidak relevan dengan dasar falsafah negara. PT sepenuhnya berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi. Penistaan agama, pelecehan terhadap Allah dan rasul-Nya, kriminalisasi ulama, memang harus dilawan terus. Namun, jangan sampai perhatian kita mereka belokkan dari PT 20% yang bermisi jahat dan laknat itu. Ini soal masa depan anak-cucu kita; anak-cucu saya dan anak-cucu Anda semua.[]

Walikota New York mengunjungi Masjid New York

“Saya bukan teman. Saya adalah anggota keluarga kalian!” (Eric Adams). Oleh: Imam Shamsi Ali, Imam/Direktur Jamaica Muslim Center, USA HARI Jumat 7 Januari, Walikota New York Eric Adams yang baru dilantik seminggu lalu melakukan kunjungan ke Jamaica Muslim Center, masjid dengan jamaah terbesar di kota New York. Kunjungan ini merupakan komitmen Walikota bahwa jika terpilih dirinya tidak akan melupakan Komunitas Muslim di kota New York yang jumlahnya mencapai lebih dari 1 juta orang. Hadir mendampingi Eric Adams, Jim Gennaro anggota DPRD NYC (City Councilman), David Weprin anggota DPRD New York State (State Assemblyman), dan juga Fred Kreizman, Komisioner urusan Komunitas kantor Walikota New York. Eric Adams adalah mantan Brooklyn Borough President, dan sejak itu beliau sangat dekat dengan komunitas Muslim di Brooklyn dan New York umumnya. Beberapa kali sebelum menjadi kandidat walikota menghadiri acara-acara besar yang dilaksanakan oleh Komunitas Muslim di kota New York. Beliau pernah jadi petinggi di Kepolisian New York. Lalu maju menjadi anggota DPRD New York sebelum akhirnya terpilih sebagai Presiden Brooklyn Borough. Pada akhirnya maju menjadi calon Walikota New York. Mayoritas Komunitas Muslim mendukung Eric karena kedekatan itu. Pada acara Sholat Idul Adha lalu Eric yang baru saja terpilih dalam pemilihan pencalonan dari Partai Demokrat, hadir dan memberikan sambutannya. Ketika itu dia memang berjanji akan selalu hadir dan dekat dengan Komunitas Muslim. Satu hal yang saya ingat dan apresiasi dari Eric Adams adalah komitmen untuk membela komunita minoritas saat menghadapi kesulitan. Satu diantaranya adalah ketika Presiden Donald Trump mengeluarkan aturan pelarangan orang Islam masuk Amerika. Eric Adams mengadakan demonstrasi besar di City Hall ketika itu. Karenanya kehadirannya hari Jum\'at itu bukan sesuatu yang mengejutkan. Tapi, memang itulah realitanya. Bahwa memang Waikota New York saat ini sangat dekat dengan Komunitas Muslim New York. Sangat wajar dalam Pidatonya tadi di masjid sang Walikota mengatakan: “saya hadir bukan teman baru. Bukan juga teman teman lama. Tapi saya hadir di sini sebagai bagian dari keluarga kalian”. Semoga Walikota Eric Adams dikuatkan, diberikan petunjuk, dan dimudahkan dalam memimpin Kota Dunia (New Yrok) ini di tengah tantangan yang nyata. Satu diantaranya adalah kenyataan bahwa Covid masih saja meninggi di kota ini. Jamaica Muslim Center, 7 Januari 2022. (*)  

Pertamina Perlu Cermat Dalam Kembangkan Bisnis di Industri Petrokimia

Jakarta, FNN - Ketua Komisi VI DPR RI Faisol Riza mengingatkan agar Pertamina betul-betul cermat dalam menjalankan rencananya untuk mengembangkan produk petrochemical (petrokimia) guna mengatasi derasnya bahan baku impor untuk proses kimia.\"Memang Pertamina nemiliki bahan baku yang sangat cukup untuk mengembangkan produk-produk petrochemical. Tetapi mungkin perlu dihitung secara cermat,\" kata Faisol Riza dalam rilis di Jakarta, Sabtu.Faisol mencontohkan, salah satu produk bahan baku yang banyak diimpor, yaitu methanol. Apakah benar-benar saat ini dibutuhkan industri dalam negeri atau dimungkinkan untuk dipasok dari luar.Hal tersebut, menurut dia, karena ada faktor keseimbangan bisnis yang harus dilihat ke depan, karena ekonomi bangsa yang sedang terpukul, ada kekhawatiran akan meningkatkan inflasi.\"Kalau inflasi meningkat, daya beli masyarakat menurun dan kalau menurun maka produk-produk manufaktur mungkin tidak terbeli juga. Nah kalau misalnya produk-produk itu yang disebut sebagai kelanjutan dari bahan baku petrochemical tadi, apakah tepat untuk diproduksi hari ini,\" katanya.Ia berpendapat bahwa langkah Pertamina mengembangkan petrokimia ini akan berjalan baik jika bahan baku produk Pertamina sendiri bisa disimpan dan bisa dimonetisasi, hingga tidak mengakibatkan kerugian karena tidak terserap oleh pasar.Diketahui, PT Pertamina (Persero) saat ini tidak hanya fokus pada bisnis Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi juga mulai melebarkan sayap, salah satunya dengan masuk ke dalam bisnis petrokimia.Upaya tersebut diharapkan mampu mengurangi beban Indonesia terhadap baku obat maupun bahan produk baju-bajuan yang saat ini masih diimpor.Kementerian Perindustrian fokus melakukan subtitusi impor sektor industri kimia, mengingat berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, industri kimia adalah salah satu sektor yang mendapat prioritas pengembangan karena mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian nasional.Sebab, bahan-bahan kimia merupakan komoditas yang strategis untuk digunakan sebagai bahan baku di berbagai sektor industri lainnya.“Industri kimia masuk dalam Top 3 kontributor besar terhadap kinerja sektor industri pengolahan nonmigas sehingga menjadi sektor yang berperan penting pada pertumbuhan industri manufaktur nasional,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Muhammad Khayam. (mth)   

Warga Nikaragua Pencari Suaka Capai Angka Tertinggi pada 2021

San Jose, FNN - Jumlah warga Nikaragua yang mencari perlindungan di negara tetangga Kosta Rika pada tahun 2021 mencapai rekor, otoritas imigrasi Kosta Rika mengatakan pada Jumat (7/1), di tengah penumpasan politik yang meluas terhadap penentang Presiden Nikaragua Daniel Ortega yang lama berkuasa.Kosta Rika menerima 53.000 lamaran pengungsi dari Nikaragua pada 2021, terutama pada bulan-bulan menjelang pemilihan pada November, ketika Ortega meraih masa jabatan keempat berturut-turut setelah memenjarakan pesaing politik.\"Ini adalah jumlah terbesar aplikasi pengungsi (dari Nikaragua) yang kami terima dalam sejarah,\" Daguer Hernandez, wakil direktur badan migrasi Kosta Rika, mengatakan kepada Reuters.\"Tentu mendekati jumlah yang diterima selama perang pada 1980-an, tetapi kami tidak memiliki catatan tentang itu,\" katanya.Pemerintah Nikaragua tidak segera menanggapi permintaan komentar.Pada 2019, setahun setelah protes anti pemerintah dan penindasan oleh pemerintah berikutnya mengguncang Nikaragua, 31.600 orang meminta perlindungan di Kosta Rika. Permintaan suaka itu mereda selama pandemi, tetapi meningkat tajam pada paruh kedua 2021 menjelang pemilihan presiden, yang dikritik oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat sebagai tidak demokratis.Di antara mereka yang melarikan diri dari Nikaragua adalah Gema Martinez, 31 tahun, yang mengatakan dia ditangkap karena berpartisipasi dalam kelompok oposisi bernama Alianza Civica. Reuters tidak dapat secara independen memverifikasi penangkapannya.\"Sangat sulit untuk melarikan diri dan sangat mahal untuk tinggal di Kosta Rika, tetapi itu perlu,\" kata Martinez. (mth)