OPINI

Mengapa Megawati Menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN?

By M Rizal Fadillah TENTU jawabannya bukan karena sekadar bahwa Megawati adalah seorang Profesor atau banyaknya gelar Doktor Honoris Causa. Alasan sebagai Ketua Umum Partai Politik tentu lebih tidak relevan lagi. Selorohan tak bermutu tambah kacau yaitu bahwa petugas partai yang menjadi Presiden saja diberi predikat jenius oleh seorang Profesor Singapura, apalagi Ketua Partai yang menugaskannya. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dibentuk berdasarkan Perpres No 33 tahun 2021 adalah lembaga otonom yang langsung di bawah Presiden sebagai penggabungan dari empat lembaga riset yaitu Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Penggabungan yang mengarah pada penyatuan komando. Unik dan janggal lembaga riset bernuansa komando. Seperti negara komunis saja yang bersifat sentralistik. Sentralisasi terbukti dengan peran politik dominan dari keberadaan Dewan Pengarah. Megawati Soekarnoputeri Ketua Umum PDIP adalah Ketua Dewan Pengarah yang berdasarkan Perpres 78 tahun 2021 memiliki kekuasaan sangat besar. Mengevaluasi, memberi persetujuan, merekomendasi, membentuk Satgas Khusus. Mengapa Megawati menjadi Ketua Dewan Pengarah? Pertama, negara ini bergerak menuju atau telah mempraktekkan model demokrasi terpimpin. Sarwa arahan. Dewan Pengarah jika tak terkendali dapat menjadi semacam Komite Sentral. Penentu kebijakan di bawah simbol Presiden. Kedua, berporos pada Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) yang Ketua Dewan Pengarahnya juga Megawati, maka ideologisasi di semua bidang termasuk riset dijalankan masif. Pancasila yang digenggam Ketua Dewan Pengarah masih bias antara Pancasila 18 Agustus 1945 atau 1 Juni 1945? Ketiga, BRIN strategis untuk berkontribusi dalam menyusun GBHN dengan nomenklatur PPHN ke depan. Dan jika benar PPHN adalah gabungan antara GBHN Orde Baru dan PNSB atau Manipol/Usdek Orde Lama, maka menjadi ancaman serius bagi semangat Reformasi bangsa dan negara. Keempat, Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN melengkapi kekuasaan untuk mewujudkan asas Neo Demokrasi Terpimpin melalui satu kesatuan paket strategis BPIP, RUU HIP, BRIN dan PPHN. Sementara Istana berkutat memperkuat cengkeraman oligarkhi dalam mendukung arah dari perwujudan Neo Demokrasi Terpimpin tersebut. Untuk membantah praktek Neo Demokrasi Terpimpin tersebut baiknya Megawati mundur atau tidak melanjutkan jabatan sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP khususnya pada lembaga riset BRIN karena jangan-jangan justru sebenarnya Ketua Dewan Pengarah lah yang menjadi obyek arahan dari atasan kedua lembaga kontroversial tersebut, yaitu Bapak Presiden sang pembuat Peraturan Presiden. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Pansel KPU-Bawaslu Mencerminkan Akal Busuk

By Asyari Usman HARI-hari ini publik memberikan perhatian besar terhadap Panitia Seleksi (pansel) yang akan memilih para komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2022-2027. Ada 11 orang anggota pansel. Ketuanya, Juri Ardiantoro, adalah Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP). Orang Istana tulen. Pertanyaan publik adalah: mungkinkah pansel KPU-Bawaslu ini akan memilih orang-orang yang independen? Agar penyelenggaraan pileg, pilkada, dan pilpres berjalan jujur dan adil? Rasa-rasanya tak mungkin. Hampir pasti pansel KPU dan Bawaslu tidak akan independen dari intervensi kekuasaan. Terlalu muluk mengharapkan pansel betukan Jokowi ini akan bebas. Bagaimana mungkin orang yang ditunjuk Jokowi bisa bebas dari intervensi? Bagaimana Anda bisa percaya pansel akan bebas sementara Jokowi berusaha keras mempertahankan kekuasaan dengan segala cara? Dan KPU-Bawaslu adalah dua lembaga yang krusial untuk tujuan ini. Jadi, independensi pansel hanya ada di alam hayalan. Penjelasannya sederhana. Presiden mendudukkan Juri Ardiantoro sebagai ketua pansel. Juri adalah pejabat senior di KSP. Dan KSP itu adalah dapur yang mengolah dan mengelola cara-cara untuk terus berkuasa. Yang ada dalam benak mereka adalah bagaimana cara melanjutkan kekuasaan Jokowi melalui presiden berikutnya. Juri akan ikut dalam ikhtiar ini. Ada pula Wamenkumham Edward Hiariej. Mungkinkah beliau ini akan memilih orang-orang yang independen untuk posisi komisioner KPU dan Bawaslu? Dipastikan tidak. Dia akan condong memilih orang yang pro-penguasa. Tak perlu dijelaskan lagi. Bagaimana dengan Prof Hamdi Muluk? Pakar psikologi politik UI ini punya rekam jejak membela penguasa. Dia membela habis tes wawasan kebangsaan (TWK) yang menyingkirkan para penyidik non-kompromi di KPK. Akankah Hamdi berani memilih orang independen menjadi komisioner KPU-Bawaslu? Sekadar bermimpin boleh saja. Terus ada Poengky Indarty dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Peongky terkenal membela Polri dalam banyak kesempatan. Dia memang berlatar belakang aktivis HAM. Tetapi, setelah masuk ke Kompolnas dia mengalami perubahan drastis. Anda harapkan dia memilih figur netral duduk di KPU dan Bawaslu? Berarti Anda tak paham sepak-terjang Kompolnas. Singkat kata, pansel tidak kredibel. Ketuanya orang Istana. Dan para anggotanya juga dijamin sudah diseleksi agar sesuai dengan keinginan penguasa. Para penguasa itu adalah oligarki politik yang berkolaborasi dengan oligarki bisnis. Dua oligarki inilah yang sekarang menghancurkan Indonesia. Mereka inilah yang berkomplot menguras kekayaan rakyat untuk kepentingan pribadi-pribadi mereka. Mereka 100% bermental korup dan bermoral setan. Anda wajar khawatir bahwa pansel KPU dan Bawaslu akan mewakili kepentingan kedua oligarki. Pansel akan memilih orang-orang yang bisa diatur oleh oligarki. Arahnya sudah bisa dibaca. Kedua oligarki itu memerlukan KPU dan Bawaslu yang diisi oleh orang-orang yang lihai dan siap melakukan manipulasi elektoral secara halus maupun kasar. Terutama dalam pemilihan presiden (pilpres). Mereka paham bahwa KPU dan Bawaslu memegang kunci penting untuk tetap menggenggam Istana lewat pilpres 2024. Karena itu, pansel kedua lembaga ini adalah titik awalnya. Memilih personel pansel yang akan memilih komisioner KPU dan Bawaslu adalah salah satu langkah yang akan menyempurnakan kehendak oligarki politik dan oligarki bisnis. Juri Ardiantoro tak mungkin mewakili saya dan Anda yang menginginkan Indonesia yang lebih baik. Dia selama ini tenggelam dalam genangan “akal busuk”. Karena itu, pansel ini akan mencerminkan “akal busuk” itu.[] (Penulis wartawan senior FNN)

Piting, Banting, dan Gonjang-Ganjing

By M Rizal Fadillah Ini adalah peristiwa aksi unjuk rasa mahasiswa di depan Kantor Pemkab Tangerang berkaitan dengan HUT Kabupaten Tangerang ke 389. Para mahasiswa ingin menyampaikan aspirasi kepada Bupati Kabupaten Tangerang namun dihadang aparat Kepolisian sehingga terjadi kericuhan. Seorang mahasiswa Muhammad Faris Amrullah (21) mendapat perlakuan kasar petugas dengan dipiting, diangkat, dan dibanting. Pingsan dan mengalami kejang-kejang. Kemudian menjadi gonjang-ganjing dalam pemberitaan. Tuntutan publik agar anggota Kepolisian Polresta Tangerang pelaku kekerasan dikenakan sanksi terus bergulir baik sanksi administratif maupun pidana. Propam menjalankan Pemeriksaan. Kapolresta Tangerang maupun Kapolda Banten telah meminta maaf kepada korban dan keluarga. Gonjang-ganjing belum berhenti. Video kejadian tetap viral di media sosial. Aksi kekerasan penanganan aksi unjuk rasa bukan pertama, tetapi berulang, bahkan pengunjuk rasa yang tewas maupun teraniaya telah terjadi di berbagai tempat. Kasus penanganan aksi unjuk rasa di depan kantor Bawaslu 21-22 Mei 2019 yang menewaskan 9 pengunjuk rasa belum tuntas pengusutan apalagi pemberian sanksi. Kepolisian kini sedang mendapat sorotan masyarakat. Di samping konsep "democratic policing" yang dinilai telah membawa Kepolisian merambah kemana-mana (multi fungsi) termasuk ke ruang politik, juga pada penegakan hukum yang banyak menuai kritik. Penggunaan UU ITE sangat diskriminatif dan bernuansa politis. Tugas Kepolisian dirasakan memiliki garis demarkasi yang tipis antara alat negara dengan alat pemerintahan atau alat kepentingan politik penguasa. Keterlibatan Brimob menjadi titik krusial Kepolisian dalam menangani unjuk rasa. Polisi "bersenjata dan berpostur tentara" ini sering menjadi warna berbeda dengan wajah "sipil atau kemasyarakatan" Polisi. Babinsa di Sulut baru baru ini "dipiting" juga oleh Brimob. Mengingat postur seperti ini wajar jika di masyarakat muncul gagasan agar Brimob ini sebaiknya dilebur saja ke dalam TNI. Apapun itu, nampaknya perlu evaluasi mendasar atas fungsi dan peran Kepolisian dalam sistem ketatanegaraan kita, termasuk kaji ulang Kapolri yang berkedudukan langsung di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Apalagi ternyata praktek politik kenegaraan nyatanya lebih bersifat oligarkhi ketimbang demokrasi. *) Pemerhati Politik dan Pemerintahan

Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, Kenapa Tidak?

Oleh Brigjen TNI (Purn) Drs. Aziz Ahmadi, M. Sc. BULAN Oktober, boleh disebut sebagai bulan TNI. Di bulan kesepuluh inilah, TNI diukir dalam sejarah. Tepatnya, sejak 5 Oktober 1945, secara resmi dan profesional, TNI mulai "menyejarah". Melengkapi Sama Oktobernya, tapi berbeda fokusnya. Kali ini, publik tidak bertanya hal-hal substantif. Bagaimana perkembangan TNI, setahun terakhir ini? Tapi, lebih fokus ke hal-hal praktis yang seksi. Kapan Panglima TNI (akan) diganti? Siapa, yang paling berpeluang menggantikannya? Adalah, Selamat Ginting Suka. Wartawan senior dan pemerhati militer. Sekaligus, dosen/akademisi Universitas Nasional (Unas). Ia tanggap akan selera "pasar". Ia jawab dengan analisa tajam dan komprehensip, seputar pergantian Panglima TNI itu. Melalui kanal Youtube, "Forum News Network (FNN)", yang digawangi oleh wartawan senior juga. Hersubeno Arif, namanya. Ginting, antara lain mengemukakan, "Proses dan dinamika pergantian Panglima TNI saat ini, amat menarik dan dinamis. Melahirkan berbagai skenario dan dipengaruhi beberapa hal. (1) Relasi kekuasaan ; (2) Tarik-menarik kepentingan (politik) ; dan (3) Beberapa faktor risiko", - berupa domino/rangkaian peristiwa ikutan - yang mesti dipertimbangkan. Tulisan ini, tidak untuk mengkritisi analisa yang sudah komplit itu. Apalagi, "vis a vis" hendak menanggapinya. Tulisan ini, hanya "melengkapi" untuk membulatkannya. Atau, sekadar tambahan elaborasi, untuk memperkaya informasi atas masalah terkait. Suasana Galau Patut diduga, proses pergantian Panglima TNI kali ini, dibarengi galaunya suasana kebatinan, di pihak Presiden. Galau, karena harus melepas "kepastian kenyamanan", menuju "ketidakpastian". Hal itu wajar saja, sebagai "sesuatu" yang mengiringi - walau untuk sesaat - terjadinya proses pergantian suatu jabatan. Apalagi, terkait jabatan se-strategis Panglima TNI. Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, menjabat Panglima TNI sejak, 8 Desember 2017. Nyaris genap empat tahun (hanya kurang 8 hari). Durasi yang amat lama, tentunya. Ini sekaligus menjadi bukti, jika Presiden merasa amat cocok, nyaman dan aman, bersama Marsekal Hadi. Di sini, tentu faktor subjektivitas (Presiden), amat menentukan. Sependek yang penulis dapat catat, Panglima TNI ke-20 ini, menjabat paling lama dan (memang terlanjur) kelamaan. Memecahkan rekor terlama sebelumnya, yang dipegang Panglima TNI ke-14, Jenderal TNI Endriartono Sutarto, 7 Juni 2002 - 13 Februari 2006. Sayangnya, sudah kelamaan, tapi masih juga diulur (terus) sampai memasuki injury time. Wajar dan sah-sah saja, jika kemudian timbul berbagai analisa, komentar, dan praduga-praduga. Kedzaliman Baru Pertanyaan kritisnya, apa dampak negatif (durasi jabatan yang terlalu panjang) bagi organisasi TNI? Ada dua yang amat menonjol dan signifikan: pertama, organisasi TNI mengalami kejenuhan. Kedua, terjadi kemacetan proses regenerasi kepemimpinan. "Kejenuhan", lazimnya mengikis kesegaran dinamika organisasi. Menghambat kreativitas berpikir. Mendorong berbagai apatisme, dan menghalangi lahirnya prestasi dan inovasi. Begitu pula dengan "kemacetan proses regenerasi", sangat mengganggu proses dan dinamika sirkulasi kepemimpinan. Bahkan amat menghambat hadirnya pemimpin baru, yang lebih fresh dan memberi harapan baru, bagi institusi TNI. Pada kondisi seperti itu, cenderung terjadi ironi. Terjadi hal-hal yang sungsang, sifatnya. Disengaja atau tidak, di sini terjadi sebuah "kedzaliman baru". Ada yang mestinya lebih berhak, tapi justru tidak mendapatkan haknya, karena lokomotif mbegegek di tempat. Tidak bergeser atau bergerak. Sebaliknya, juga ada yang beroleh keberuntungan. Tetiba mendapat "rejeki nomplok", alias "durèn gogrok". Berlakulah ungkapan, "si dungu dapat dikalahkan si cerdas. Tapi si cerdas bisa dikalahkan oleh si bejo atau yang ketiban nasib baik". Multi Tafsir Dasar hukum pergantian Panglima TNI, ada 3 (tiga): Pertama, Tap MPR RI, No. VII/2000, tentang Peran TNI dan Polri, Pasal 3. Kedua, UU, No. 3/2002, tentang Pertahanan Negara, Pasal 17. Ketiga, UU No. 34/2004, tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), Pasal 13. Dari ketiga dasar hukum itu, hanya UU No. 34/2004, yang cukup detail menjelaskan, "Bagaimana prosedur dan mekanisme pergantian Panglima TNI". Ini termuat dalam 10 Ayat, Pasal 13 tersebut. Namun demikian, masih juga terjadi tarik-menarik dan relasi kepentingan yang tidak singkron, dalam setiap proses pergantian (calon) Panglima TNI. Satu sebabnya, terjadi "multi tafsir" terhadap Ayat (4), Pasal 13. Ayat (4) ini, pada prinsipnya berbunyi : "Jabatan Panglima TNI, dapat dijabat secara bergantian, oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan". Kata "dapat", bermakna mubah, atau bisa dan boleh. Tidak harus/tidak wajib. Maksudnya, "bisa/boleh tidak bergantian", atau, "tidak harus/tidak wajib bergantian". Sedangkan kata, "bergantian" itu sendiri - belum diikuti oleh aturan yang jelas. "Bagaimana pola/bentuk bergantian, itu"? Apakah : (1) Menggunakan pola, "gilir kacang/linear"? (AD, AL, AU ; AD, AL, AU ; AD, AL, AU). (2) Apakah berpola, "deret ukur/hitung"? (AD, AD, AL ; AL, AU, AD ; AD, AU, AU) ; dan (3) Atau dengan pola "perbandingan"? (2 : 1 : 1 ; 1 : 2 : 1 ; 1 : 1 : 2). Tidak Relevan Walau ayat (4) tersebut multi tafsir, tapi di sana pulalah nilai bijaksanaanya. Menjadi luwes atau tidak kaku, dan tidak pula membelenggu atau menyulitkan, Presiden dan DPR. Sesempurna apapun sebuah UU/aturan, pelaksanaannya sangat ditentukan oleh semangat penyelenggaranya. Kata kuncinya, tidak dijadikan dalih, untuk mengumbar subjektivitas diri (Presiden/DPR), secara liar dan berlebihan. Oleh karenanya, menjadi tidak relevan, diskusi tentang usia calon, jumlah personil, dan lain-lain. KSAD, misalnya - dinilai berkurang elektabilitasnnya menjadi Panglima TNI, hanya karena satu tahun lagi pensiun. Tidak efisien dan efektif lagi, katanya. Padahal, efisiensi dan efektivitas kepemimpinan, tidak ditentukan semata oleh durasi bertugas. Tapi lebih bertumpu pada integritas, komitmen, visi, dan strong leardership, yang dimilikinya. Satu tahun, bahkan satu hari sekalipun tidak masalah. Asalkan, "mampu mengubah jerami menjadi emas". Niscaya itu lebih bagus, dari pada menjabat bertahun-tahun. Namun hasilnya, hanya "membikin Harimau menjadi Kucing", misalnya. Sama tidak relevannya, menjadikan faktor jumlah prajurit, sebagai alasan untuk mendapat jatah (bergantian), yang lebih sering, dari lainnya. Setiap matra, memiliki sifat dan ciri khas sendiri. Dari (+/-) 400.000-an personil prajurit TNI, hampir ⅔-nya prajurit Angkatan Darat. Matra darat (TNI AD) sifatnya, "awak yang dipersenjatai", alias, padat penduduk. Sedangkan matra laut dan udara (TNI AL & AU) sifatnya, "senjata yang diawaki", alias, padat teknologi. Jadi, klaim "padat penduduk" mesti bisa diredam dengan "padat teknologi". Kenapa Tidak? Diskusi dan diskursus tentang calon pengganti Panglima TNI, juga terasa makin tidak adil dan bijaksana. Manakala, hanya berkutat pada sosok KASAD dan KASAL. Manakala, sejak pagi-pagi sudah tidak melibatkan Kepala Staf TNI AU (KSAU). Alasannya terlalu lucu dan dicari-cari. Hanya karena pejabat yang akan diganti (incumbent), berasal dari matra yang sama (TNI AU). Memangnya, kenapa jika dari matra yang sama? Marsekal TNI Fadjar Prasetyo - KSAU - justru paling eligibel menjadi Panglima TNI. Dari sisi profesioalisme, disiplin dan loyalitas, semua Kepala Staf Angkatan, tentu tak perlu diragukan lagi. Dari sisi kepatutan dan kelayakan (fit & proper), pastilah yang the good dan the best, di Angkatan/matra, masing-masing. Dari sisi usia? Dihadapkan dengan usia pensiun, Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, SE, M.P.P, paling ideal. Ia lahir, 9 April 1966 (usia baru 55 tahun). KSAU ke-23 ini, memiliki waktu yang cukup untuk menjadi Panglima TNI. Masih ada tiga tahun, sebelum pensiun. Sementara KASAL ke-22, Laksamana TNI Yudo Margono, SE, MM, adalah lulusan AAL XXXIII/1988. Lahir, 26 November 1965 (usia 56 tahun). Tersisa (+/-) dua tahun lagi, menuju pensiun. Adapun KASAD, Jenderal TNI Andika Perkasa, SE, MA, M. Sc, M. Phil, Ph. D, merupakan lulusan Akmil 1987. Lahir, 21 Desember 1964 (usia 57 tahun). Kasad ke-22 ini, hanya tinggal (+/-) satu tahun lagi, menuju pensiun. Lebih dari itu, dari aspek moral dan tradisi/budaya kepemimpinan dalam militer, Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, relatif paling mulus, dibandingkan lainnya. Publik, tidak punya catatan atau imajinasi negatif, terhadap KSAU. Tidak ada, resistensi permasalahan yang membebaninya. Juga, tidak ada kesenjangan ekspektasi, saat menjabat sebagai KSAU, selama ini. Jadi, KSAU punya posisi tawar paling tinggi dari aspek moral dan tradisi kepemimpinan dalam militer/TNI. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 13 Ayat (2), UU No. 34/2004, sebagai berikut: "Yang dimaksud dengan persetujuan DPR (terhadap calon Panglima TNI yg diajukan oleh Presiden) adalah, pendapat berdasarkan alasan dan pertimbangan yang kuat tentang aspek moral dan kepribadian, berdasarkan rekam jejak". Pointnya, Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, SE, M.P.P, paling tepat, patut dan layak, dipilih Presiden dan DPR, menjadi (calon) Panglima TNI. Kenapa Tidak? *) Purnawirawan TNI

Menggelikan, Menyaksikan Pelantikan Ketua Umum PDIP oleh Petugas Partai

Oleh: Tjahja Gunawan*) TERUS terang saya geli bercampur sedih menyaksikan peristiwa politik di panggung kekuasaan saat ini. Merasa geli karena seorang ketua umum partai penguasa dilantik untuk menduduki jabatan yang secara struktural berada dibawah seorang petugas partai dari parpol penguasa tersebut. Merasa sedih karena penulis sebagai rakyat biasa semakin hari semakin sering menyaksikan perilaku elite politik yang saling berebut kekuasaan dan jabatan di hampir semua lini birokrasi dan struktur kelembagaan politik lainnya. Seperti kita ketahui bersama, pada Rabu 13 Oktober 2021, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, dilantik sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di Istana Negara, Jakarta. Dia dilantik oleh Presiden Joko Widodo yang nota bene sering juga disebut sebagai Petugas Partai. Penyebutan istilah Petugas Partai ini bukan dari saya atau dari masyarakat, tapi sering dilontarkan oleh Megawati Soekarnoputri di berbagai forum terbuka. Pengertian lugas dari kalimat Petugas Partai tersebut dalam frase bahasa pergaulan orang-orang Betawi kira-kira begini: "Eh walaupun elo Presiden, tapi elo bukan siape-siape. Elo tetap berada di bawah ketiak gua sebagai pimpinan partai". Nah, tiba-tiba sekarang Pimpinan Partai Penguasa itu dilantik oleh petugas partainya. Artinya secara struktural, Ketua Umum DPP PDIP ini harus "tunduk dan patuh" kepada Presiden Jokowi yang notabene posisinya sebagai petugas partai (PDIP). Dengan premis di atas, mungkin saja ada orang yang menuduh penulis tidak memahami konteks birokrasi dengan politik? Justru pelantikan Megawati menjadi seorang pejabat di jajaran birokrasi sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN, telah menyalahi etika politik dan birokrasi. Apalagi sesungguhnya jabatan Megawati di birokrasi bukan hanya di BRIN, sebelumnya dia juga sudah dilantik sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Dapat gaji dobel? Berdasarkan Perpres No 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya Bagi Pimpinan, Pejabat dan Pegawai BPIP yang diteken Presiden Jokowi pada 23 Mei 2018, Megawati berhak mendapatkan gaji senilai Rp 112.548.000 per bulan. Saya belum mengetahui berapa besarnya gaji Megawati dalam jabatan barunya sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN. Yang jelas dalam Keppres Nomor 45 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pengarah BRIN disebutkan, “Dan kepada yang bersangkutan masing-masing diberikan hak keuangan dan fasilitas lainnya sesuai peraturan perundang-undangan". Selain Megawati, sembilan orang lainnya juga ditetapkan sebagai Dewan Pengarah BRIN, di antaranya Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dilantik menjadi Wakil Ketua Dewan Pengarah. Selain itu ada juga Sudhamek Agung Waspodo Soenjoto sebagai Sekretaris Dewan Pengarah. Sebelumnya dia juga anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) . Sudhamek Agung juga dikenal sebagai pengusaha, pimpinan Grup Garuda Food. Sementara enam orang lainnya ditetapkan sebagai Anggota Dewan Pengarah BRIN, yakni Emil Salim (mantan Menteri KLH di zaman Orde Baru) , I Gede Wenten, Bambang Kesowo (Mantan Menteri Sekneg di era Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2001-2004), Adi Utarini, Marsudi Wahyu Kisworo, dan Tri Mumpuni. Menurut Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, fungsi Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN nantinya menjadi pagar aktivitas keilmuan agar tetap berlandaskan ideologi Pancasila. Harapan penulis: Semoga Pancasila tidak dikerdilkan menjadi Trisila dan Ekasila. Sebagaimana kita ketahui bersama, Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang semula hendak dipaksakan dibahas di DPR mendapat penolakan keras dari masyarakat. Itu karena dalam pasal 6 RUU HIP memuat tentang Trisila dan Ekasila. Banyak yang menganggap itu sama saja mengerdilkan Pancasila. Pada Pasal 6 RUU HIP dinyatakan bahwa ciri pokok Pancasila disebut Trisila, antara lain Ketuhanan, Nasionalisme dan Gotong Royong. Semua sila dari Pancasila tidak dapat dilaksanakan secara terpisah-pisah karena Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila pertama dan utama yang mendasari keempat sila lainnya. Setelah RUU HIP kandas di DPR, sekarang dibentuk BRIN. Ada kesan, RUU HIP gagal dibuat jadi UU kemudian diganti dengan BRIN. Menurut anggota Komisi VII DPR Mulyanto, pembentukan Dewan Pengarah di BRIN tidak memiliki dasar hukum. "Tidak ada dasar hukum posisi Dewan Pengarah dalam struktur organisasi BRIN termasuk dalam UU Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional Iptek atau Sisnas Iptek. Memang ada dalam RUU HIP. Tapi ini kan baru RUU dan itu pun sudah di-drop dari Program Legislasi Nasional atau Prolegnas," ujar Mulyanto. Dalam Perpres Nomor 74 Tahun 2019 tentang BRIN dan Kepres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Lembaga Pemerintah Non-Departemen tidak dikenal jabatan Dewan Pengarah. Jabatan Dewan Pengarah pada BRIN baru muncul pada Perpres Nomor 33 Tahun 2021 yang diteken Jokowi pada 28 April 2021. Dalam menjalankan tugasnya, BRIN sebenarnya tidak membutuhkan jabatan Dewan Pengarah. Terlebih, apabila jabatan itu bersifat ideologis dari BPIP. "Saya pribadi tidak setuju BRIN memiliki dewan pengarah dari BPIP. Logikanya kurang masuk akal. Kalau dicari-cari mungkin saja ada hubungan antara haluan ideologi Pancasila dengan riset dan inovasi. Namun hubungan itu terlalu mengada-ada dan memaksakan diri," kata Mulyanto. Logika anggota DPR ini masuk akal publik. Seharusnya lembaga BRIN tidak dipolitisasi dan dibiarkan bekerja secara ilmiah, objektif, dan rasional. BRIN adalah lembaga ilmiah, biarkan institusi baru ini bekerja dengan dasar-dasar ilmiah objektif, rasional dengan indikator out come yang terukur. Jangan dibebani dengan tugas-tugas ideologis. Namun dengan hadirnya Megawati Soekarnoputri di BRIN, sulit untuk tidak mengatakan bahwa lembaga ini bebas dari kepentingan politik. BRIN berpotensi besar ditunggangi kepentingan politis. Berdasarkan Perpres No 33 Tahun 2021 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 5 Mei 2021, BRIN merupakan satu-satunya badan penelitian nasional. Semua badan penelitian nasional Indonesia seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bergabung menjadi BRIN. Orang-orang yang ada di berbagai lembaga yang sekarang tergabung dalam BRIN adalah orang-orang pintar, ilmuwan, dan para peneliti handal dari berbagai disiplin ilmu. Mereka adalah orang-orang objektif dan independen. Meskipun mereka bukan politisi "pokrol bambu" seperti orang-orang di partai politik, bukan berarti mereka tidak paham dengan motif busuk para politisi hitam. Mungkin mereka sekarang diam, tapi suatu saat nanti mereka akan memberi kesaksian atas politisasi BRIN. Semoga. *** *) Wartawan senior FNN

Popularitas Anies Baswedan, Bagai Sisi Mata Uang Tak Serupa

Oleh Ady Amar *) ANIES Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, memang unik. Ya, unik yang sebenarnya. Pak Anies masuk dalam kategori orang paling populer dibicarakan. Itu jika dibandingkan dengan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, dan bahkan terhadap Puan Maharani, Ketua DPR-RI yang sekaligus orang yang digadang-gadang PDIP untuk maju di perhelatan Pilpres 2024. Membicarakan Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil dan Puan Maharani, terutama di media online, itu pastilah tidak membicarakan kerja-kerja terukurnya selama menjadi orang nomor satu di masing-masing provinsinya, dan di parlemen (Puan Maharani). Pembicaraan tentang mereka menjadi bervariasi. Menarik mencermati paparan Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit, lewat diskusi daring yang diadakan Pemprov DKI, Selasa 12 Okrober 2021. Menurut temuannya, yang dihitung dari total mentions dari berbagai kanal media online dan Twitter dari Januari hingga September 2021, Anies Baswedan memuncaki volume percakapan dibanding Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil dan Puan Maharani. Oh iya, uniknya di mana? Paling dibicarakan itu bisa pula disebut paling populer. Tapi kepopuleran seorang Anies itu dibarengi dengan tingginya sentimen negatif terhadapnya. Artinya, Anies dibicarakan dengan tidak baik. Dalam hal ini, Anies pun memuncaki daftar dengan nilai 37 persen, disusul Ridwan Kamil 23 persen dan Ganjar 20 persen. Itulah uniknya. Membicarakan Anies Baswedan bagai sisi mata uang tak serupa, pembicaraan dengan baik di satu sisi, tapi tidak di sisi lainnya, itu bisa dilihat dari peta Social Network Analysis (SNA) yang dibuat. Hasil SNA tentu tidak saja untuk Anies Baswedan tapi juga untuk ketiganya, yang mengindikasikan bahwa Puan belum banyak dibicarakan oleh pendukung organiknya. Selanjutnya, pembicaraan soal Ridwan Kamil, mayoritas dibicarakan oleh pendukungnya. Sedang pembicaraan tentang Ganjar Pranowo, mayoritas dilakukan oleh pendukungnya. Dan tentu yang muncul adalah sentimen positif buatnya. Pembicaraan tentang Anies Baswedan, temuan peta SNA, menjadi menarik dicermati. Pembicaraan tentangnya, baik oleh kelompok yang Pro pada Pak Anies, tapi juga pembicaraan oleh kelompok yang Pro pada Pak Ganjar. Tentu yang dibicarakan tentang Pak Anies oleh kelompok yang Pro pada Pak Ganjar, kata lain dari kelompok yang kontra pada Pak Anies, tentu memunculkan sentimen negatif. Dijlentrehkan temuan yang cukup mencengangkan, bahwa dari Top 5 influencer yang membicarakan Anies, ternyata tidak diisi semua oleh pendukungnya. Bahkan pembicaraan pada Pak Anies pada peringkat 1 diduduki oleh yang kontra, yaitu @Dennysiregar7 dan peringkat 3 diduduki @FerdinandHaean3. Sedang influencer yang Pro Anies adalah @OposisiCerdas, @Mdy_Asmara1701, dan akun media sosial Anies Baswedan sendiri, @aniesbaswedan. Anies Baswedan menjadi pihak yang konsisten diserang. Tampak dari Top 5, itu ada Denny Siregar dan Ferdinand Hutahaean. Dua orang ini memang aktif menyerang Anies Baswedan. Sepertinya tiada hari tanpa menyerang Anies. Seperti mesin yang digerakkan. Itu belum lagi pembicaraan negatif oleh influencer atau buzzerRp lainnya, yang terlalu banyak jika disebut namanya. Mereka bekerja untuk pembusukan Anies Baswedan. Masyarakat yang melihat Pak Anies secara netral bisa juga terpengaruh oleh serangan membabi buta para buzzerRp, itu jika kelompok Pro Pak Anies tidak cepat merespons memberi tanggapan secara cerdas dan terukur. Masyarakat harus terus disadarkan dengan data-data, agar tidak ada celah mempercayai kabar dusta dan busuk tentang Anies Baswedan. Potensi Anies yang Diperhitungkan Popularitas Anies Baswedan jika tidak dimenej secara baik, maka itu semacam pepesan kosong. Populer pada Anies Baswedan, itu juga populer dibicarakan dengan tidak semestinya, itu jika melihat peta SNA, dimana pembicaraan tentang Anies (dibicarakan) dengan baik dan buruk. Pembicaraan Anies dengan baik, itu tentu mengacu pada kerja-kerja terukurnya dalam memenuhi janji kampanye saat Pilkada DKI, 2017. Janji itu tampak dipenuhinya satu per satu, dan itu nyata. Sedang yang membicarakan Anies dengan buruk, itu pastilah mereka yang itu-itu saja, tapi cukup efektif mengaburkan karya-karya Anies Baswedan dalam membangun Jakarta. Sedang pembicaraan Anies Baswedan dengan buruk, itu tidak ditunjang data dan lebih pada fitnah. Pembicaraan pada Anies yang tampak tidak ada baik-baiknya. Dan itu terus menerus disorongkan pada publik. Anies Baswedan masih Gubernur DKI Jakarta, ia belum memproklamirkan diri bakal maju sebagai Capres. Anies memang pribadi yang pantang tebar pesona, bagian dari curi start jalan menuju 2024. Anies tetap berasyik masyuk dan larut dalam kerja yang memang seharusnya dikerjakan. Setidaknya nalar sehat publik bisa melihat itu semua. Anies memang bukan Ganjar, yang setidaknya sudah bergerak lebih dulu. Lebih nekat menampakkan ambisinya sebagai RI-1. Tidak masalah, itu pilihan Pak Ganjar. Meski lantas itu buat PDIP, jadi jengah lihat sikapnya. Ganjar seolah mengabaikan partainya. Ia jalan sendiri dengan dukungan para relawannya yang bertumbuh. Dukungan pun muncul dari para relawan yang dulu menjadi relawan Presiden Jokowi. Seolah Ganjar dihadirkan sebagai titisan Jokowi, penerus Presiden Jokowi untuk RI-1. Setidaknya itu yang tampak. Sikap Ganjar Pranowo itu tentu tidak berdiri sendiri, tidak semacam Anies Baswedan, setidaknya Ganjar aman-aman saja dari serbuan para buzzerRp. Itu jika menilik peta NSA, dimana yang membicarakan Anies dengan buruk, lebih banyak dengan tebar fitnah dan bahkan pernyataan rasisme, itu adalah pendukung Ganjar Pranowo. Temuan peta sebaran NSA dari Ismail Fahmi itu tentu bisa disanggah, bahwa itu tidak benar. Silahkan saja, itu disanggah dengan data. Bagus jika data disanggah dengan data. Disebut pendukung Ganjar Pranowo, pembicaraan tentang Anies Baswedan dengan sentimen negatif, tentu itu belum pasti "binaan" resmi Pak Ganjar sendiri. Jangan-jangan ia tidak tahu kalau ada tim siluman yang bekerja untuk dirinya, dan itu untuk memberi stempel negatif pada Pak Anies Baswedan. Pertanyaan susulannya, kenapa pembicaraan sentimen negatif itu terus-menerus diarahkan pada Pak Anies semata, tidak pada Pak Ridwan Kamil. Itu pastilah lebih pada bahwa Pak Anies Baswedan dianggap lebih sebagai pesaing riil, bahkan menjadi lawan berat di 2024, yang itu jauh-jauh hari mesti diganjal. Anies Baswedan seolah menjadi musuh bersama dikeroyok ramai-ramai. Semua pihak seolah punya potensi mengganjalnya. Pak Anies tetap cool melihat ganjalan-ganjalan yang dimunculkan. Sampai menggelar Formula E, yang itu semestinya direspons baik semua pihak, itu justru dialami Pak Anies dengan berkebalikan. Publik melihat, mengganjal perhelatan itu sudah sangat berlebihan. Sampai Ketua DPRD DKI, Prasetio Marsudi, perlu mengumbar narasi yang tidak semestinya untuk menghentikan perhelatan itu. Terakhir penolakan Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka, jadi arena Formula E. Anies pun tidak mempermasalahkan larangan itu, dan dapat menerimanya. Anies Baswedan terus diuji. Mental kuat dengan kualitas emosi yang dipunya, terus disasar untuk diruntuhkan. Dan Anies membalas dengan seolah tidak terjadi apa-apa, seperti tidak menghiraukan serangan-serangan yang coba ingin menghentikan langkahnya. Ia tetap berjalan dengan rencana yang sudah dirancang dengan perhitungan matang. Perjalanan menuju 2024 masih panjang, tapi satu pihak sudah ancang-ancang seolah ingin melompati waktu ingin segera sampai di sana. Dan Pak Anies Baswedan tetap memilih mengabdi menjalankan amanah sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ia tetap tenang-tenang saja, tidak menghiraukan pembicaraan buruk tentangnya. Setidaknya, ia belum bekerja menuju 2024, tapi sudah dinyatakan sebagai yang paling populer. Dan pada saatnya pembicaraan buruk tentangnya itu akan menemui titik jenuh, dan pastilah memilih untuk menyudahinya... Wallahu a'lam. (*) *) Kolumnis

Secercah Cahaya Joe Biden dalam Perspektif Nubuat Akhir Zaman

Oleh: Anwar Hudijono Ada dua langkah sangat penting dan bermakna Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Pertama, mengakhiri 20 tahun penjajahan Amerika atas Afghanistan. Kedua, menyerukan kemerdekaan bagi rakyat Palestina dari penjajahan Israel. Langkah Biden ini ibarat ia membuat lobang agar cahaya bisa masuk ke dalam goa (kahfi) yang sangat luas dan gelap pekat. Biarpun besarnya lobang itu ibarat masih sebesar sebutir kacang ijo tapi bisa menjadi entry point untuk terus memperlebarnya. Artinya Biden sudah membuka dirinya dari cahaya (nur) rahmat Allah. Implikasinya, jika dia mendapat rahmat akan bisa menyelamatkan Amerika dari azab Allah. Mendorong perubahan tata dunia baru yang benar dan adil. Menurut kalkulasi berdasar nubuwat akhir zaman, insya Allah, Amerika ini termasuk waiting list (daftar tunggu)azab Allah karena perbuatannya yang fasad (merusak) kehidupan global. Bukankah Amerika adalah biang utama kerusakan dunia sehingga penuh ketidak-benaran, kedzaliman, penindasan, kerusakan alam lingkungan, hancurnya nilai-nilai manusia, LGBT, mengguritanya riba. Amerika justru menjadi penghela utama kehidupan global dari cahaya menuju kegelapan. Bahkan boleh dibilang menjadi pemimpin golongan mufsidun (orang-orang yang membuat kerusakan di atas bumi).Dipersepsi bahwa Amerika adalah Yakjuj dan Makjuj modern. Bapak revolusi Islam Iran Imam Khomeini menyebut Amerika adalah setan besar. Noam Chomsky Kefasadan Amerika sudah banyak sekali dibuka secara jujur dan terbuka. Misalnya oleh filosuf Amerika Noam Chomsky, veteran wartawan Chris Hedges dan banyak lagi. Mereka mulat salira hangroso wani (berani melakukan instropeksi). Seperti nasib orang-orang yang berani menyampaikan sikap kritis di belahan dunia, mereka dibenci, dicela, dimusuhi oleh rejim beserta para cecunguknya. Perbuatan fasad Amerika di antaranya melakukan penjajahan atas Afghanistan selama 20 tahun. Menyisakan kerusakan, kehancuran seperti kemiskinan absolut, tradisi korupsi, LGBT, bisnis opium yang menggurita, bangsa yang terpecah-pecah. Amerika ibarat ulat yang meninggalkan daun yang dimangsanya hingga compang-camping. Jauh sebelum itu Amerika membunuh ratusan ribu manusia tidak berdosa dengan nuklir di Hiroshima dan Nagasaki. Amerika-lah bangsa pertama yang menggunakan bom nuklir. Melakukan perusakan, pembantaian jutaan manusia di Vietnam, Irak, Suriah, Pelestina, Laos dan belahan dunia lain. Amerika menjadi biang kerok pecah belah umat manusia. Konsisten bersikap mendua. Hiprokrit. Pada satu sisi menyerukan pluraitas, pada sisi lain mau menyeragamkan kehidupan seluruh dunia menurut falsafahnya (helenisme). Menyerukan demokrasi tapi juga menjadi pelindung tirani. Katanya menjadi pendekar penegakan HAM, tapi nyatanya justru jadi perudakpaksa HAM. Amerika pula yang menjadi pemantik permusuhan, badai kebencian terhadap Islam di seluruh dunia. Merekayasa fobia Islam di seluruh jagat. Islam diidentikkan dengan terorisme. Terminologi jihad, radikalisme, ekstrimisme dikemas diolah sebegitu rupa untuk menghancurkan jatidiri Islam. Rahmatan lil alamin Islam dibalik sebegitu rupa seolah Islam itu bencana dunia. Bahkan kaum muslimin pun sampai-sampai dibuat harus memegang agamanya seperti menggenggam bara api. Palestina Amerika selama ini selalu bersekutu dengan Israel. Menjadi pelindung Israel yang menindas rakyat Palestina. Yang melakukan kolonisasi di Dataran Tinggi Golan, Suriah. Melakukan terorisme di seluruh dunia. Amerika selalu menveto setiap keputusan PBB berkaitan dengan kejahatan Israel. Sampai-sampai Noam Chomnsky menyebut sejatinya Amerika adalah teroris nomor satu dunia. Mudah-mudahan seruan Biden tentang kemerdekaan rakyat Palestina yang disampaikan di Sidang Umum PBB 2021 itu didasari pengakuan dosa bahwa tindakan Amerika salah besar. Jika tidak bertobat dan diperbaiki akan merugikan Amerika sendiri. Berdampak turunnya azab yang super dahsyat dari Tuhan. Tentu persoalannya tidak sesederhana itu. Bukan hanya rakyat Pelestina harus merdeka, tetapi juga harus mengevaluasi eksistensi negara Israel. Pada dasarnya tanah itu adalah hak milik rakyat Palestina. Tanpa kerelaan rakyat Palestina, maka keberadaan Israel itu haram. Allah sudah membatalkan hak Yahudi atas tanah itu setelah menimpakan kepada mereka azab kedua. Allah menjatuhkan azab yang besar dua kali kepada bangsa Yahudi sebagai hukuman mereka sudah melakukan kerusakan di atas bumi. Quran menjelaskan hal itu di Surah Al Isra ayat 4 – 8. “Dan Kami tetapkan terhadap Bani Israil (Yahudi) dalam kitab itu, “Kamu pasti akan berbuat kerusakan di bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.” (Quran: Al Isra 4). Pada azab pertama, negara Yahudi dihancurkan Kaisar Nebukadnezar dari Babilonia. Padahal Babilonia adalah sekutu kelompok Yahudi fasad pada waktu melawan Nabi Sulaiman. Negaranya dibakar, dihancurkan, penduduknya dijadikan budak. Azab yang kedua lebih parah lagi. Negara Yahudi diluluh-lantakkan oleh Romawi. Baitul Maqdis dijadikan rata dengan tanah. Penduduknya diusir hingga bercerai berai, nista dan tersebar di seluruh dunia. Setelah itu secara tegas Allah melarang mereka kembali. “Mudah-mudahan Tuhan kamu melimpahkan rahmat kepadamu. Tetapi jika kamu kembali, niscaya Kami pasti kembali (mengazabmu). Dan Kami jadikan neraka jahanam penjara bagi orang kafir.” (Quran: Al Isra 8). Aset Rakyat Afghanistan Demikian pula langkah Biden mengakhiri penjahan di Afghanistan semoga bukan semata-mata karena 20 tahun tidak bisa menang. Babak belur. Remuk redam. Melainkan ada niat baik untuk mengakhiri penjajahan. Untuk membuktikannya, Amerika harus segera mengemballikan aset rakyat Afghanistan yang dibekukannya. Bahkan seharusnya bertanggung jawab membantu rakyat Afghanistan bangkit. Bagaimanapun Amerika yang telah membuat Afghanistan compang-camping, dedel duel bagaikan daun dimangsa ulat. Jangan malah terus memusuhi Afghanistan. Mengggalang dunia untuk tidak mengakui rejim baru Afghanistan. Sebagai pemimpin golongan mufsidun global, insya Allah, Amerika termasuk dalam waiting list (daftar tunggu) azab Allah. Begitulah hukum Allah. Dan hukum Allah itu tetap di sepanjang zaman. Di Quran surah Hud, Al Haqah, sudah dijelaskan kehancuran bangsa-bangsa mufsidun seperti bangsanya Nabi Nuh, Luth, Hud, Syuaib, Shaleh, Firaun. Kisah di Quran itu bukan dongeng. Melainkan peringatan, pengajaran sepanjang jaman. “Dan tidak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya) melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami siksa (penduduknya) dengan siksa yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Lauh Mahfudz). (Quran: Al Isra 58). Sebagai warga dunia, saya berharap Biden mengambil tindakan didasarkan niat yang tulus. Menggunakan powernya untuk merealisasi apa yang diucapkan. Tapi jika ternyata hanya lipt service, abang-abang lambe, PHP, nggedabrus, ya sama saja dengan presiden-presiden Amerika sebelumnya. Minimal presiden yang oleh Noam Chomsky disebut pelaku kriminal alias penjahat. Jika begitu ya tunggu saja akhir sejarah imperium Amerika. “Dan tunggulah, sesungguhnya kami pun termasuk yang menunggu.” (Quran: Hud 122). Semoga Allah memberikan rahmat dari sisi-Nya kepada Biden. Astaghfirullah. Rabbi a’lam. Mohon dengan hormat telitilah tulisan ini. Jangan langsung like and share. Ini era disinformasi di mana informasi dapat menggelapkan hati manusia. Bahkan dapat menghancurkan suatu bangsa. Begitulah amanat Quran surah Al Hujurat 6. Veteran wartawan dan Penulis tinggal di Sidoarjo

Rekayasa Jahat untuk Pilpres 2024

By M Rizal Fadillah MESKI terlalu dini berbicara Pilpres 2024 namun gejala Pilpres 2024 sarat rekayasa sudah terbaca. Kepentingan dominan Istana sangat terasa. Di tengah wacana perpanjangan masa jabatan Presiden tiga periode melalui amandemen UUD 1945 atau perpanjangan masa jabatan hingga tahun 2027 dengan alasan pandemi, skenario Pilpres 2024 juga disiapkan. Istana berjuang untuk tetap "berkuasa". Pertama, Presidential Treshold 20 % adalah awal untuk mempertahankan kekuasaan kubu status quo. Meski aneh dan dibuat-buat namun Presidential Treshold 20 % itu efektif untuk menjaga kemapanan kekuasaan oligarkhi. Dengan minim pasangan dalam kompetisi maka lebih mudah cukong untuk bermain dengan kecurangan yang sistematik dan terproteksi. Kedua, banyaknya Kepala Daerah yang habis masa jabatan pada tahun 2022 lalu ditetapkan Penjabat Kepala Daerah baik Propinsi maupun Kota/Kabupaten membuat tangan Presiden, melalui Mendagri, lebih leluasa menjangkau para Gubernur atau Walikota/Bupati "tunjukan" tersebut. Kepala Daerah strategis untuk penggiringan suara Daerah. Ketiga, Ketua Tim Seleksi KPU adalah mantan Tim Sukses pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Meskipun Tim Seleksi formalnya bersifat kolektif akan tetapi prakteknya Ketua Tim memiliki posisi menentukan. Sebagaimana KPU terdahulu, kekhawatiran terbentuk KPU kardus menjadi sangat beralasan. KPU yang bukan menjadi wasit tetapi pemain lapangan. Bahkan penendang bola dari titik kotak penalti. Licik. Keempat, di ruang hukum pembungkaman tokoh kharismatik HRS berlanjut, kasus RS UMMI menjadi sarana untuk memborgol HRS agar tidak dapat berbuat banyak dalam menggalang solidaritas dan soliditas umat. Ruang untuk dapat meneriakkan takbir perlawanan kepada rezim yang dinilai zalim menjadi terbatas. Kelima, UU MK yang telah mengubah masa jabatan Hakim MK menjadi 15 tahun bukan tanpa maksud politik. 8 Hakim MK saat ini akan menjadi Hakim yang mengadili sengketa Pilpres 2024. Bahkan ada Hakim yang dapat menjabat hingga tahun 2034. Sebagaimana diketahui reputasi Hakim MK saat mengadili Pilpres 2019 ternyata sangat buruk. Rupanya "Tim Sukses" saat Pilpres 2019 harus tetap dipertahankan karena mungkin dinilai berpengalaman dalam bermain. Mengingat bau rekayasa ini, maka bukan mustahil tahun 2024 akan menjadi Pemilu paling brutal dan curang baik pada Pilpres maupun Pileg. Pilkada akan menyusul untuk mengemas tuntas skim politik rekayasa tersebut. Rezim Neo Demokrasi Terpimpin memang jahat dan mengkhawatirkan. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Mengapa Fadli Zon Mengusulkan Pembubaran Densus 88?

Oleh: Tjahja Gunawan CUITAN Fadli Zon di twitter tentang usulan agar Densus (Detasemen Khusus) 88 Antiteror Polri dibubarkan sudah dihapus sendiri oleh FZ. Namun, cuitan Politikus Partai Gerindra ini sudah terlanjur menimbulkan reaksi dan pro kontra dari berbagai kalangan di masyarakat terutama warganet. Mabes Polri sendiri langsung merespon pernyataan Fadli Zon tersebut. Melalui Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan pihaknya tidak ambil pusing dengan usulan anggota DPR-RI Fadli Zon itu. Menurut Ramadhan, pihaknya akan terus bekerja untuk menuntaskan permasalahan terorisme di Indonesia. "Prinsipnya kita tetap bekerja, kita tidak mendengar hal-hal terkait tersebut. Kita tetap melakukan upaya-upaya dalam hal pencegahan dan penegakkan terorisme di Indonesia," kata Ramadhan di Mabes Polri sebagaimana dikutip Tribune news di Jakarta, Senin (11/10/2021). Twitter pribadi @fadlizon, Fadli meretweet sebuah berita berjudul 'Densus 88 Klaim Taliban Menginspirasi Teroris Indonesia'."Narasi semacam ini tak akan dipercaya rakyat lagi, berbau Islamifobia. Dunia sdh berubah, sebaiknya Densus 88 ini dibubarkan saja. Teroris memang harus diberantas, tapi jgn dijadikan komoditas," tulis Fadli dalam cuitannya. Belum diketahui alasan FZ menghapus cuitannya di twitter. Yang jelas, pro kontra atas usulan Fadli Zon sudah merebak di tengah masyarakat terutama di kalangan warganet. Bahkan jaringan Radio Trijaya membahas khusus masalah tersebut dalam Program Trijaya Hot Topic Petang, hari Selasa (12/10/2021). Acara talk show tersebut berjudul "Pro Kontra Pembubaran Densus 88" dan menghadirkan dua narasumber. Pertama, Muhammad Syauqillah Ph.D, Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia dan Ketua BPET MUI. Nara sumber kedua, Haris Amir Falah, mantan narapidana teroris. Dalam flyer yang beredar di sejumlah grup WA, acara tersebut dipandu oleh Penyiar Radio Trijaya, Margi Syarief. Sikap agak santai menyikapi usulan Fadli Zon tersebut, ditunjukkan Kepala Densus 88 Antiteror Polri Irjen Martinus Hukom. Dia mengaku tidak mempermasalahkan pernyataan Fadli Zon yang meminta agar Densus 88 dibubarkan. "Buat kami, kami kerja saja. Dan kami tidak terganggu. Kami merasa bersyukur dan berterima kasih ada koreksi dari publik terhadap kami," ujar Kadensus 88 Antiteror, Martinus Hukom sebagaimana dikutip portal berita Media Indonesia, Senin (11/10). Menurutnya, kebebasan berbicara ialah bentuk sebuah demokrasi. Artinya, kata Martunis, kebebasan adalah bagian dari koreksi terhadap pihaknya dalam bekerja.Jika Presiden sebagai pimpinan lembaga negara boleh dikritisi tindakannya, maka hal itu pula berlaku untuk satuan khusus di bawahnya."Wong Presiden saja boleh dikritisi dalam demokrasi. Artinya, kami menerima itu sebagai suatu konsekuensi kita dalam sistem demokrasi," pungkasnya. Namun Martinus enggan berkomentar terkait dengan tudingan Fadli yang mengatakan bahwa Densus saat ini terlalu islamophobia. Densus 88 Anti Teror adalah satuan khusus milik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasukan ini khusus ditugaskan untuk menghancurkan setiap jenis tindak pidana terorisme di Indonesia. Satuan khusus kontraterorisme ini dirintis oleh Komjen. Pol. Gories Mere, salah satu tokoh berpengaruh di Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berasal dari Flores, pelosok Timur Indonesia. Densus 88 diresmikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Irjen. Pol. Firman Gani pada 26 Agustus 2004. Densus 88 AT Polri ini awalnya hanya beranggotakan 75 orang yang dipimpin waktu itu oleh AKBP Tito Karnavian yang pernah mendapat pelatihan khusus di beberapa negara. Tahun 2011, jumlah personil Densus 88 AT Polri sebanyak 337 orang. Lambang Densus 88 Anti Teror adalah Burung Hantu. Mereka dilatih secara profesional untuk menangani semua jenis aksi teror di Indonesia. Beberapa anggota Densus 88 direkrut dari Satuan Perlawanan Teror Pasukan Gegana Korps Brigade Mobile Kepolisian Negara Republik Indonesia. *** *) Wartawan senior FNN

Rakyat Ditipu Wakil Rakyat Diperkosa

By M Rizal Fadillah RAKYAT ditipu Wakil Rakyat diperkosa, kok bisa ? Bisa, jika rencana penggunaan dana APBN untuk proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung direalisasi. Disain untuk ini diawali dengan menunjuk "Duta Besar China" Luhut Binsar Panjaitan sebagai Ketua Komite Kereta Cepat Jakarta Bandung menggeser peran Koordinator Airlangga Hartarto. Mengapa rakyat ditipu ? Karena sejak awal Presiden Jokowi mengkampanyekan bahwa proyek ini tidak sedikitpun akan didanai dari APBN tetapi dari obligasi konsorsium BUMN atau patungan. Investasi China adalah utama dengan skema kerjasama Business to Business (B to B). Akan tetapi setelah berjalan pembangunan dan mangkrak tiba-tiba terbit Perpres No 93 tahun 2021 yang membolehkan penggunaan dana APBN. Kejutan sekaligus melestarikan kebiasaan bohong Presiden ini adalah beban baru bagi negara. APBN harus mendapat persetujuan DPR. Meskipun DPR dapat menolak, akan tetapi akibat dari kooptasi Presiden atas Partai Politik maka persetujuan diperkirakan mudah untuk didapat. DPR dapat dipaksa karena anggota tidak berdaya. Perkosaan politik dilakukan dengan leluasa. Dengan alasan "daripada rugi" dan ,"gagal proyek" maka akhirnya dana APBN diduga terpaksa terkucurkan untuk menolong kebodohan. Biaya anggaran awal ditetapkan sebesar 86,5 Trilyun membengkak menjadi 114,2 Trilyun. Alasan pandemi atas mangkrak dan meningkatnya anggaran tidak mudah untuk diterima, audit harus dilakukan. Janji Kementrian BUMN bahwa dana APBN tidak akan diselewengkan butuh pembuktian. Sejak awal proyek ambisius Jokowi ini telah menimbulkan pro dan kontra. Kerjasama dengan China untuk kereta cepat jarak dekat dipertanyakan. Asumsi sukses diragukan. Apa yang terjadi jika nanti penumpang ternyata sepi. Analis memperkirakan selama 40 tahun PT KAI sebagai lokomotif perusahaan patungan akan merugi. Memang tidak habis pikir, kereta cepat dari Ibukota ke Bandung ini dibuat untuk kemudian Ibukota pindah ke Kalimantan. Nah, pembiayaan Ibukota baru yang konon menggunakan dana "kecil" APBN dipastikan bohong kembali. Kereta China yang awal hanya 86,5 Trilyun saja amblas apalagi Ibukota baru dengan anggaran sekitar 500 Trilyun. Di tengah dana negara yang cekak dan hutang menumpuk. Presiden Jokowi tidak boleh berspekulasi dalam proyek-proyek infrastruktur. Ambisi pribadi jangan didahulukan, apalagi dengan menipu rakyat dan memperkosa wakil rakyat. Untuk hal kecil saja seperti penjualan tol Cibitung Cilincing yang hanya 2,4 Trilyun membuat kerut dahi, padahal biaya konstruksi yang telah dikeluarkan adalah 10,8 Trilyun. Rugi 8,4 Trilyun. Jokowi memang jenius. Proyek Kereta Cepat di bawah pengelolaan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) bukan solusi tetapi beban. Pemerintahan Jokowi harus bertanggungjawab. Jika ternyata gagal bukan saja harus turun tetapi juga dihukum. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan