OPINI
Ah Dudung Memang Parah
By M Rizal Fadillah *) IRONI di negara yang mayoritas muslim tetapi semakin banyak Jenderal yang Islamophobia. Nyinyir pada Islam dan umatnya. Menginterpretasi semau-maunya, mewaspadai bahkan menyerang agama. Perilaku petinggi ini secara tidak disadari semakin menjauhkan Pemerintah dari umat Islam. Petinggi itu antara lain Letjen TNI Dudung Abdurrahman yang setelah mengomando penurunan baliho HRS, lalu bersama Komjen Fadil Imran memfitnah enam anggota Laskar FPI dengan skenario mentersangkakan keenamnya, kini setelah menjadi Pangkostrad ia berbicara soal fanatisme dan semua agama benar menurut Tuhan. Akibatnya reaksipun muncul. Diminta agar Pangkostrad tidak keluar dari jalur tupoksi profesi utamanya. Lahan kemiliteran masih luas, jangan merambah ke ruang agama yang ia tidak menguasainya Pengalaman semasa Pangdam Jaya yang "menghabisi" tokoh agama HRS jangan dibawa abadi atau berlanjut. Pengurus MUI ada yang menyentil konten bahwa "semua agama benar menurut Tuhan" adalah tidak berdalil karenanya salah besar. Masing-masing penganut agama dipastikan meyakini kebenaran agamanya. Netizen bertanya jika memang keyakinan Dudung bahwa semua agama benar menurut Tuhan, maka Dudung agamanya apa ? Baiknya pindah-pindah saja agar lebih dinamis. Nampaknya belum tentu mau juga. Artinya ada keyakinan bahwa agama yang ia anut itu yang paling benar. Demikian juga jika beragama tanpa ada fanatisme, maka itu akan menjadi ciri dari keimanan yang lemah. Bahkan mungkin rusak. Fanatisme destruktif itu terlarang akan tetapi fanatisme dalam arti memahami dan meyakini secara mendalam mengenai agama itu harus. Fanatisme tidak selalu berimpitan dengan ekstrimisme dan intoleransi tetapi dapat bernilai konstruktif. Ulama berjuang mati-matian untuk mengusir penjajah berdasarkan fanatisme keagamaan. Sebaliknya pengambangan keyakinan atau Pengambangan nilai keagamaan tidak bagus dalam pandangan agama apapun. Plotisma adalah sekularistik berbasis materialistik. Doktrin bahwa semua agama benar adalah implementasi dari paradigma plotisma tersebut. Keyakinan keagamaan yang tipis bahkan mungkin habis. Terbayang saat Letjen Dudung sedang berperan sebagai Kepala Satpol PP yang mengomando penurunan baliho. Terbayang pula Bapak Pangkostrad ini sedang menunjukkan samurai dan "alat bukti" lainnya di depan media sambil memojokkan enam anggota laskar yang dibantai oleh aparat dan difitnah keji oleh petinggi aparat. Salah satu alat bukti yang telah ditemukan oleh Komnas HAM adalah mobil "komando" misterius Land Cruiser Hitam di Km 50. Sebagai komandan tertinggi di Kodam Jaya saat itu bersama Fadil Imran Kapolda Jaya, Letjen Dudung harus menjelaskan mengenai detail keberadaan mobil tersebut baik penumpang maupun tujuan dari Land Cruiser hitam tersebut berada di Km 50. Jika semua agama benar di depan Tuhan sebagai keyakinannya, maka tentu juga Letjen Dudung faham bahwa semua warga negara sama kedudukannya di depan hukum. Baik rakyat jelata maupun aparat negara. Jika tidak faham tentu rakyat kebanyakan akan berujar "Ah Dudung, memang parah". *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Digerogoti Oligarki dan Otoritarianisme Korup, Demokrasi Tak Terbendung
Catatan Hari Demokrasi Internasional 15 September 2021 Oleh Abdurrahman Syebubakar SOAL demokrasi, sebuah adagium yang hingga kini masih relevan, “Democracy is an evil we cannot do without”. Terjemahan kontekstualnya kira kira, demokrasi adalah sistem yang buruk diantara sistem-sistem lain yang lebih buruk. Demokrasi bukanlah sistem sempurna dan final, yang sejak kemunculannya di Yunani kuno ribuan tahun silam, mengalami pasang surut. Robert Dhal (1989) mencatat, dalam sejarah perkembangannya, berbagai bentuk demokrasi muncul dan tenggelam. Kritik dan pandangan negatif terhadap demokrasi sudah ada sejak kelahirannya. Plato dalam “the Republic” mencela demokrasi sebagai “theatherocracy” - ajang permainan dan sandiwara politik kekuasaan para elit politk. Sang filsuf khawatir rakyat lebih banyak digerakkan oleh emosi dan kepentingan jangka pendek daripada rasio dan kepentingan jangka panjang, yang berakibat pada berkuasanya politikus karbitan - pemain sandiwara. “Democracy never lasts long”. Demokrasi tumbuh, lelah dan akhirnya bunuh diri. Demikian ungkap John Adams. Nada minor tentang demokrasi banyak terdengar dari para cendekiawan terkemuka di era presiden ke 2 Amerika Serikat ini (periode 1800- an), dan generasi intelektual berikutnya. Lebih jauh, para kritikus kontemporer mendakwa demokrasi bertanggung jawab atas lesunya pertumbuhan ekonomi serta meningkatnya kemiskinan dan ketimpangan global selama beberapa dekade terakhir. Milton Friedman, peraih hadiah nobel bidang ekonomi 1971 asal AS, misalnya, menyebut demokrasi sebagai mekanisme politik yang tidak efisien karena kecenderungan irrasionalitas para pemilih. Pandangan serupa juga dipegang Bryan Caplan, ekonom terkemuka, rekan senegara Friedman. Sebaliknya, diyakini bahwa negara membutuhkan rezim otoriter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya, membantu mengurangi penderitaan rakyat miskin dan meningkatkan kesejahteraan publik. Keyakinan ini banyak dipengaruhi hipotesis Lee, dikaitkan dengan Lee Kuan Yew, pendiri dan mantan Presiden Singapura. Terlepas dari semua "cerita horor" tentang demokrasi, laju demokratisasi di seluruh dunia mengalami percepatan. Saat ini, lebih dari separuh populasi dunia hidup di bawah naungan demokrasi dengan pelbagai bentuk dan tingkat kedalaman. Berbagai studi, sejak tahun 1970-an, mengungkap bahwa demokrasi, secara meyakinkan, tampil jauh lebih baik daripada non-demokrasi di sejumlah indikator sosial-ekonomi seperti standar dan usia harapan hidup, angka kematian bayi, gizi buruk dan lain lain. Saat demokrasi mengalami akselerasi dan pendalaman, Jeffrey Sachs (2005) mencatat terjadinya pengurangan kemiskinan ekstrim baik secara absolut maupun secara proporsional terhadap penduduk dunia antara tahun 1980 dan 2000. Bahkan di tengah defisit kepercayaan terhadap demokrasi yang dibajak oligarki dan tekanan feodalisme, sistem politik ini unggul telak dalam berbagai hal dibandingkan negara-negara non-demokrasi. Sebut saja beberapa diantaranya, Norwegia, Denmark, Swedia, Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, dan Costa Rica, berada di peringkat tinggi dan sangat tinggi dalam indeks pembangunan manusia, tingkat kebahagian, indeks persepsi korupsi, dan rangking kota paling layak huni (Syebubakar, 2020). Terkecuali Singapore, sepuluh kota paling aman di dunia juga berada negara-negara demokrasi (EIU, 2021). Ikhwal penanganan Covid-19, kendati di awal pandemi terkesan kewalahan, negara-negara demokrasi menunjukkan tingkat ketahanan yang jauh lebih baik daripada kelompok negara non-demokrasi. Hal ini terungkap dalam The Covid Resilience Ranking (Peringkat Ketahanan Covid) yang dirilis Bloomberg pada 28 Juli 2021. Dengan keterbukaan data dan informasi serta kesiapan infrastruktur dan tenaga kesehatan, di bawah kepemimpinan demokratis dan kredibel, sejumlah negara demokrasi dapat menyintas gelombang serangan Covid secara terukur. Sistem perlindungan sosial yang solid dan luas, membuat mereka mampu menahan tergerusnya ketahanan sosial dan ekonomi rakyat. Di sisi lain, beberapa negara seperti Singapura, China, Rusia, dan Arab Saudi di bawah cengkeraman rezim otoriter tampil cukup baik dalam pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia. Namun, tidak ada jaminan jika prestasi segelintir negara ini akan berkelanjutan. Dan yang pasti, negara-negara otokratis ini mengabaikan kebebasan politik, aspek maha penting dan asasi dari kemanusiaan. Bagaimana dengan demokrasi di Indonesia? Setelah mengalami gelombang pasang surut sejak awal kemerdekaan, lonceng kematian demokrasi berdentang sangat kencang, terutama sejak presiden Jokowi naik tahta pada 2014. Negara yang pernah dijuluki “role model” demokrasi di dunia Islam ini, seketika mengalami titik balik, menjadi “malevolent authoritarianism.” Otoritarianisme jahat, yang ditandai dengan watak represif dan korup sekaligus, di bawah kendali oligarki dan tekanan feodalisme. Pada saat yang sama, terjadi kemerosotan multidimensi, mulai dari lesunya pertumbuhan ekonomi, meluasnya korupsi, stagnasi pembangunan manusia, kemiskinan dan ketimpangan yang makin dalam, anjloknya tingkat kebahagian, hingga penegakan hukum diskriminatif dan ketegangan sosial (Syebubakar 2021). Dalam rangking ketahanan Covid dari Bloomberg, Indonesia bertengger di peringkat paling bawah (terburuk) diantara 53 negara. Bahkan, menuju jebakan pandemi, ungkap Pandu Riono, Pakar Epidemiologi dari UI. Sementara, Epidemilog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, memprediksi Indonesia akan menjadi negara terakhir yang keluar dari krisis Covid-19. Dus, secara simptomatis, sakratulmaut demokrasi berhubungan kuat dengan kerusakan di berbagai bidang. Fenomena ini sejalan dengan hipotesis Amartya Sen bahwa ketidakbebasan yang satu mempengaruhi ketidakbebasan yang lain. Dengan kata lain, anti-demokrasi, dalam wujud otoritarianisme korup, bertanggungjawab atas segala sengkarut yang mendera bangsa Indonesia saat ini. Sebaliknya, dakwaan terhadap demokrasi sebagai penyebab krisis multi-dimensi berjarak cukup jauh dari realitas historis sistem politik, baik di tingkat global maupun di Indonesia. Tidak hanya gagal dalam menelusuri kondisi obyektif demokrasi versus non-demokrasi di berbagai negara, termasuk Indonesia, suara minor tentang demokrasi memahami sistem politik ini sebatas “ritus prosedural”, yang identik dengan pemilu lima tahunan. Padahal, pemilu hanyalah serpihan kecil dari narasi besar demokrasi, yang atributnya bukan saja soal kekuasaan mayoritas. Partisipasi masyarakat, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebhinekaan, kebebasan multidimensi, kedaulatan rakyat, arus informasi bebas, persamaan di depan hukum, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, seluruhnya merupakan “bahan baku” demokrasi. Esensi demokrasi juga bukan monopoli Barat, kendati “proyek” demokrasi dalam wujud formal kelembagaan memang berasal dari sana, yang uji coba perdananya dilaksanakan di Atena, kemudian direvitalisasi sejak abad 19. Demikian pula, tegaknya demokrasi tidak ditentukan oleh sekularisme, proyek ideologi Barat yang tertutup dan telah “gagal,” yang meniscayakan pemisahan agama dari kehidupan politik kenegaraan. Faktanya, nyaris tak satupun bangsa barat yang bangunan kenegaraan dan kehidupan masyarakatnya terlepas dari nilai dan tradisi Yudeo-Kristianitas. Namun, seperti ditulis Reza Aslan dalam bukunya yang tersohor “No god but God” (2011), kesiapan untuk menerima keberagamanlah yang menjadi fondasi demokrasi. Bagi bangsa Indonesia, keberagaman - suku, agama, ras dan antar golongan -merupakan kekayaan yang telah “berhasil” dikelola dengan segala dinamikanya. Dus, demokrasi, terutama dimensi substantifnya, bukanlah gagasan dan sistem “asing” bagi bangsa Indonesia. Terlebih Pancasila dan UUD 45 sarat dengan kandungan nilai-nilai demokrasi substantif, seperti keadilan, kedaulatan rakyat, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Bung Hatta bahwa setidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita cita demokrasi dalam denyut kehidupan bangsa Indonesia, yaitu faham dan tradisi kolektivisme yang berlaku di desa, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan ilahi serta persaudaraan antar manusia, dan faham sosialis Barat yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan Bangsa Indonesia. Dalam tulisannya berjudul “Demokrasi Kita” (1960), Bung Hatta bernubuat demokrasi yang berurat berakar di dalam pergaulan hidup bangsa Indonesia tidak dapat dilenyapkan untuk selama lamanya. Demokrasi mungkin tersingkir sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi ia akan muncul kembali dengan tegap dan penuh keinsyafan. *) Ketua Dewan Pengurus IDe
Santri Menutup Telinga, dan Janji Pemimpin Tanpa Bukti
Oleh Ady Amar *) SETIAP peristiwa bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Manusia yang memahami satu hal yang dilihatnya, akan bisa memahami apa yang dilihatnya itu. Sedang manusia yang tidak memahami pastilah tidak akan mampu melihat peristiwa yang dilihatnya itu dengan baik. Mestinya ketidaktahuannya pada satu hal, itu tidak menyebabkan ia justru mengolok-olok apa yang tidak diketahuinya. Fenomena jahil memang muncul belakangan ini, bahwa menegakkan yang baik dalam beragama itu disikapi kelompok yang tidak memahami apa yang dilihatnya dengan olok-olok, menertawakan bahkan dengan nada menghina. Harusnya ketidaktahuannya itu tidaklah perlu diungkap, jika saja masih punya sikap toleran terhadap perbedaan pada pemahaman. Video singkat para santri hafiz al-Qur'an sejak Senin (13 September) viral, dengan diberi narasi, tampaknya oleh sang Ustadz, yang menginformasikan bahwa para santri itu sedang menunggu giliran untuk divaksin. Mendengar alunan musik di tempat itu, para santri serempak menutup telinganya agar musik tak didengarnya. Mendengar musik bagi para penghafal kalamuLlah itu akan mengurangi kekuatan menghafalnya dan bahkan akan menghilangkan beberapa ingatan akan hafalannya. Maka yang memahami hal itu justru respek melihatnya. Sedang yang tidak paham, mestinya bertanya mengapa mesti sampai menutup telinga segala. Muncul yang juga viral kemarin, Selasa (14 September) postingan Diaz Hendropriyono, yang mengolok-olok para hafiz itu, dan lalu jadi bahan candaan seolah mereka yang menutup telinga saat mendengar alunan musik adalah makhluk aneh di alam modern, tentu menurut versinya. Nada ejekan pada para santri Hafiz itu disampaikan Diaz, putra Jenderal (Purn) Hendropriyono: Kasian, dari kecil sudah diberikan pendidikan yang salah. There's nothing wrong to have a bit of fun! Lalu ditimpali Mastercorbuzier (Deddy Corbuzier), seorang mualaf, juga tidak kalah nyinyirnya, Mungkin mereka lagi pakai airpod... Terganggu.. Ya kaaaan. Dan lalu ditimpali Diaz, @mastercorbuzier Pinteeerrrr. Meski muslim, mereka tidak mengerti ajaran agamanya dengan baik, dan anehnya sikapnya itu mengecilkan muslim lainnya yang dianggapnya melakukan hal yang menurutnya tidak seharusnya. Semua dinilai pada apa yang diyakininya, dan yang dianggapnya benar. Padahal mereka tidak tahu makna di balik menutup kedua telinganya. Banyak yang mengaku paling pancasilais, tapi perilakunya sedikit pun tidak menampakkan itu. Ukuran kebenaran itu yang ada di pikirannya, selainnya dianggap aneh, lucu yang patut ditertawakan. Dan para santri penghafal al-Qur'an, yang tengah membentengi diri dengan menutup telinga dari lantunan musik, itu pun jadi bahan candaan. Lagak memaksa orang lain yang beda dengannya dengan candaan dan bahkan hinaan, itu pastilah bukan sikap pancasilais. Justru itu sebaliknya, mereka tidak menghargai hak privacy warga lainnya yang punya pilihan tanpa merugikan pihak lain. Memangnya para santri hafiz Qur'an, saat menutup telinganya apa merugikan pihak lain, ya... Para santri itu tidak satu pun yang protes, dengan meminta agar musik dimatikan. Mereka hanya melakukan dengan menutup telinganya rapat-rapat dengan kedua tangannya. Viral Ramai-ramai Menutup Telinga Hari ini, Rabu (15 September), bermunculan video singkat semacam "perlawanan" atas sikap pelecehan terhadap para santri hafiz al-Qur'an. Setidaknya tiga video sejenis, yang sama-sama berpose menutup telinganya. Video pertama, seorang anak muda duduk di tepi kolam, sambil kedua tangannya menutup telinganya. Suara yang muncul pada video itu adalah suara Joko Widodo (Jokowi), tampaknya itu saat debat Capres 2019, dimana ia mengatakan, bahwa di kantongnya ada Rp 11 ribu trilyun... dan seterusnya. Dan memang itu tidak terbukti, dan jadi olok-olokan sepanjang sejarah. Jejak digital mustahil bisa dihapus. Lelaki remaja tadi menutup telinganya rapat-rapat agar suara pidato yang diperdengarkan itu tak didengarnya. Muncul pula lelaki remaja berpuluh jumlahnya duduk rapi di pelataran sebuah lapangan, lagi-lagi dengan kedua tangannya menutup kedua telinganya rapat-rapat dengan wajah mereka menunduk. Seperti video remaja duduk di tepi kolam, mereka menutup kedua telinganya dari suara Jokowi dengan Rp 11 ribu trilyunnya. Itulah simbol perlawanan publik atas janji-janji kosong seorang pemimpin. Dan itu diilhami para santri cilik hafiz al-Qur'an. Dan yang terakhir siang ini, muncul protes yang sama dari lelaki publik figur, dengan menutup kedua telinganya, itu dari rumahnya di kawasan Sentul, Bojong Koneng. Kawasan termasuk rumah yang ditinggalinya akan dirobohkan oleh pengembang PT Sentul City. Lelaki yang menutup telinganya itu siapa lagi jika bukan Bung Rocky Gerung. Ia menutup telinganya rapat-rapat dari suara Jokowi yang muncul dengan janji Rp 11 ribu trilyunnya. Bung Rocky Gerung meski sedang menantikan rumah yang ditinggalinya akan dirobohkan, ia tetap bisa melawan meski dengan candaan. Ia disomasi agar 7 × 24 jam mengosongkan rumahnya. Tidak merasa gelisah, tampak biasa-biasa saja. Mestinya ini masalah perdata, yang patut dibawa ke pengadilan. Tapi tampaknya PT Sentul City, mendapat backing dari kekuatan besar, itu jika dilihat dari komentar orang istana, Ali Mochtar Ngabalin, yang meminta PT Sentul City untuk gas pol secepatnya merobohkan rumah kediaman filsuf kritis itu. Jika demikian, ini lebih pada masalah politik ketimbang legalitas hak atas tanah. Bung Rocky Gerung masih bisa senda gurau dengan menutup telinganya, ia tidak ingin ketinggalan protes pada mereka yang nyinyir pada santri penghafal al-Qur'an, tapi juga mengirim isyarat, bahwa teror ingin merobohkan rumahnya itu tidak akan menyurutkan sikapnya untuk tetap kritis. Tuhan memberi jalan lewat cara-Nya, dan kali ini nyinyir pada para santri, itu bisa jadi media untuk memperolok janji pemimpin yang tak ditepati. Langkah Diaz memperolok para santri itu dibalas dengan kreativitas memperolok Presiden Jokowi. Diaz Hendropriyono dan kelompoknya yang mestinya patut disalahkan dengan balasan munculnya bermacam video menutup telinga, yang bisa diartikan, tanda tak sudi mendengar janji pemimpin tanpa bukti alias bohong itu. (*) *) Kolumnis
Rocky Gerung Meraung, Penguasa Limbung
Oleh: Yusuf Blegur Rocky Gerung dalam persoalan dengan PT Sentul City Tbk. Secara substansi menghadapi cara-cara yang bukan saja jauh dari akal sehat. Penuh kebencian, dendam dan kedzoliman kekuasaan yang tidak mampu menunjukkan sedikitpun sifat-sifat kepemimpinan yang humanis, adil dan beradab. Menggunakan aparat keamanan, sesama anak bangsa hingga korporasi dan pengusaha kakap. Selain faktor ekonomi tentunya, mereka terkadang ditempatkan untuk terus menciptakan dan memelihara konflik. Membuktikan hanya itu yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan setiap persoalan bangsa. Kritik yang harusnya dilihat sebagai upaya memperbaiki dan membangun pemerintahan yang bersih dan sehat. Dimata pemerintah selalu dilihat sebagai upaya mengganggu kepentingan dan menghancurkan kelanggengan kekuasaan. Sebagai seorang filsuf, tidak banyak yang mau keluar dari kedalaman ruang-ruang kontemplasi batin, psikologis dan pemikiran semata. Pengecualian salah satunya ada pada Rocky Gerung yang kuat dalam wilayah konseptual dan praksis. Tidak sekedar menguasai ilmu filsafat dan pendidikan, ia juga kritis dan konsen melakukan advokasi sosial. Selain mengambil sikap dan pemikirian yang oposisional terhadap rezim Jokowi. Rocky Gerung kerapkali menelanjangi distorsi pemerintahan, perilaku sakit dan menyimpang para pejabat. Seiring waktu Rocky Gerung berlimpah simpati dan empati dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Dilain sisi ia termasuk salah satu sosok yang paling dibenci oleh rezim Jokowi dan pasukan buzzernya di republik ini. Saking tidak bisa diatur dan ditaklukan oleh kekuasan seperti Imam Besar Habib Rizieq Syihab. Rocky Gerung kini mulai dijahili, target mulai ditetapkan dan dibidik oleh 'senjata' penguasa. Baik Habib Rizieq Syihab maupun Rocky Gerung, keduanya kini telah menjadi 'Enemy Of The State'. Tokoh-tokoh yang menjadi simbol perlawanan rakyat dan tentunya, menjadi korban represi dan kedzoliman penguasa seperti yang lainnya. Kasus kepemilikan dan penguasaan tanah bangunan antara Rocky Gerung dengan PT. Sentul City Tbk. Seperti menjadi triger bagi Rocky Gerung yang sering mengusik Jokowi dan pengekor kekuasaannya. Begitu juga bagi pemerintah, karena sudah dianggap mengusik, memprovokasi dan mengancam kepentingan kekuasaan. Maka perlu melakukan "shock therapy" untuk dosen UI yang narasinya sarat pencerahan. Penulis dalam hal ini tidak akan mengangkat persoalan teknis seputar masalah Rocky Gerung dan PT. Sentul City Tbk. Apalagi terkait kepemilikan dan penguasaan tanah bangunan, PT Sentul City Tbk. juga berhadapan dengan banyak warga sekitarnya. Hampir 6000 warga dari ratusan KK berhadapan dengan PT. Sentul City Tbk. terkait persoalan yang sama. Sebagai contoh empiris soal kasus tanah. Penulis pernah melakukan pendampingan dan advokasi upaya penggusuran oleh sebuah hotel ternama pada seorang warga yang telah menggarap tanah fasum-fasos milik Kementerian PUPR untuk usaha produktif yang secara turun-temurun digeluti oleh keluarganya dibilangan Kota Bekasi. Pengusaha itu mengincar lahan bukan miliknya yang ada didepan lahan yang akan dibangun hotel. Secara sewenang-wenang dan represif, Hotel besar itu mencoba mencaplok lahan garapan yang sama sekali bukan haknya. Bahkan pengusaha yang hotelnya ada di beberapa kota itu, melakukan kapitalisasi upaya penggusuran dengan melibatkan preman, satpol PP, dan aparat keamanan lainnya dengan dalih penataan lingkungan dan taman kota. Dari salah satu pendampingan dan advokasi penulis pada kasus itu. Serta banyak lagi pengalaman penulis pada kasus yang sama terkait penggusuran, perampasan, dan penggelapan tanah yang umumnya dilakukan oleh mafia tanah berkedok pengusaha. Penulis menyadari dan sampai pada satu konklusi, bahwasanya sering terjadi, rakyat kehilangan hak dan kedaulatan atas tanah dan bangunan miliknya. Banyak faktor yang memicunya. Antara lain keawaman masyarakat, faktor ekonomi, lemahnya perlindungan birokrasi dan regulasi terhadap kepemilikan aset baik tanah maupun rumah milik warga maupun pemerintah. Namun dari beberapa sebab, faktor dominan yang menyebabkan kehilangan hak tanah bangunan masyarakat itu adalah permainan mafia tanah di Indonesia. Mereka cenderung bersekongkol dan atau atas nama perusahaan, memanfaatkan preman dan korupnya oknum institusi pemerintahan. Sehingga masalah yang menimpa Rocky Gerung ini menjadi menarik, penting dan strategis bagi upaya pemenuhan hak dan kedaulatan rakyat atas tanah dan bangunannya secara umum. Harus kita akui dalam soal itu pemerintah tak tinggal diam. Program Proyek Nasional (Prona), yang di era Jokowi berganti menjadi Program Tanah Sistematika Langsung (PTSL). Merupakan upaya mereduksi eksistensi mafia tanah, penertiban sertifikasi dan upaya pemasukan kas negara via pajak tanah bangunan. Namun sejauh ini masih jauh dari maksimal. Selain lebih banyak dimanfaatkan oleh borjuasi korporasi besar untuk meluaskan aset dan usahanya seperti perkebunan dan tambang di daerah. Program PTSL hanya membesarkan pengusaha kelas kakap yang membayar murah sertifikat hamparan tanah luasnya. Pemerintah justru melegalisasi aset tanah pengusaha berbasis konglomerasi. Hanya tanah-tanah kecil dan sedikit yang sertifikatnya menyentuh masyarakat kecil. Mirisnya program PTSL yang dibranding pemerintah dengan pembagian sertifikat gratis itu. Faktanya, masyarakat di beberapa daerah tetap menerima program sertifikat tanah itu berbayar, terlepas ada oknum birokrasi yang bermain. Mendesak Revolusi Agraria Kembali ke soal Rocky Gerung dan PT. Sentul City Tbk. yang didalamnya duduk pejabat pemerintahan atau mantan aparat birokrasi. Setidaknya duduk di komisaris atau direksi. Hal yang sama yang bisa ditemui bukan saja pada BUMN namun juga ada banyak korporasi swasta bonafid yang kapitalistik dan berpengaruh pada ekonomi masyarakat. Dalam hal ini ada Basaria Panjaitan sosok perempuan mantan petinggi KPK dan Polri menjabat komisaris di PT. Sentul Tbk. Masalah Rocky Gerung bukan sekedar masalah tanah bangunan miliknya. Lebih dari itu, ia menjadi persoalan politik dan keadilan hukum baik bagi pribadi dan rakyat pada umumnya. Konflik Rocky Gerung dan PT. Sentul City merupakan polarisasi dari sikap rezim Jokowi yang anti kritik. Kekuasaan gagal menyalurkan ekspresi dan kontemplasi yang sehat dari dinamika demokrasi. Publik kebangetan sering melihat pembungkaman suara dan aspirasi yang dilakukan rezim. Bahkan Jokowi yang manis kata-katanya dan lembut bersahaja sikapnya. Tak mampu menyembunyikan tindakan politik yang dinilai khalayak kotor dan keji dari pemerintahannya. Sebagai pemimpin yang dianggap berpihak pada rakyat kecil, Jokowi malah terus membiarkan sindikasi birokrasi, politisi dan pengusaha hitam, membersihkan dan melenyapkan tuntas, hak dan suara rakyat. Pada akhirnya, publik hanya bisa melihat bahwasanya Masalah Rocky Gerung dengan PT. Sentul City merupakan bagian dari tradisi keangkuhan dan penindasan para pemilik modal yang bersekongkol dengan penguasa. Rakyat hanya bisa diam dan parah menerima, meski dengan perlawanan yang terhenti. Bagi rakyat hanya ada luka dalam dada. Amarah yang tersekat dan tangis yang tersembunyi. Untuk Rocky Gerung, tetaplah menjadi manusia yang manusiawi. Tetap bersuara tanpa atap, tetap kritis tanpa dinding pelindung. Berdiri tegak di atas tanah tanpa bangunan. Mengadu dan berdoa menembus langit berdialog dengan Tuhan. Sang pemilik sejati tanah, bumi dan langit dunia. Saatnya menanam benih-benih revolusi agraria. Menunggu menuai Kedaulatan rakyat atas tanah. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Human Luhur Berdikari.
BIN Menyusup Ke Taliban, Hacker China Menyusup Ke BIN
By Asyari Usman MENDENGAR berita server Badan Intelijen Negara (BIN) diretas oleh “hacker” China dari Mustang Panda Group, langsung teringat cerita tentang BIN menyusup ke Taliban. Apa iya bisa diretas? Bukankah BIN yang sebetulnya sangat lihai “meretas” sampai ke Taliban dan berbagai kelompok perlawanan di negara-negara lain? Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto awal bulan ini (1/9/2021) mengatakan bahwa penyusupan ke Taliban itu berhasil mencegah perang Afghanistan meluas ke Indonesia. Tentu saja ini merupakan kerja dan kinerja BIN yang sangat luar biasa. Sebab, tidak mudah menyusupi Taliban. Dinas-dinas rahasia negara besar tidak ada yang bisa bertahan di lingkungan Taliban. Rusia, hengkang. Amerika Serikat (AS), angkat kaki. Inggris dan Prancis, tak pernah bisa. Hanya BIN yang mampu melancarkan misi berat menginfiltrasi (“meretas”) Taliban. Pantas mendapatkan apresisasi. Sayangnya, legenda penyusupan ke Taliban itu sekarang ternoda akibat pembobolan server BIN oleh “hacker” China. Kok bisa? Bagaimana mungkin BIN yang terkenal piawai menyusup ke banyak kelompok perlawanan, diretas oleh hacker China? Sangat tak masuk akal. Dan, barangkali, karena tak masuk akal itulah kemudian Pak Wawan membantah server BIN diretas. Kelihatannya beliau tak ikhlas kalau disebut ada hacker China yang menyusup ke BIN. “Hingga saat ini, server BIN masih dalam kondisi aman terkendali dan tidak terjadi ‘hack’ sebagaimana isu yang beredar bahwa server BIN diretas hacker asal China,” ujar Wawan seperti ditulis oleh sejumlah media online. Deputi VII ini ingin meyakinkan publik bahwa infrastruktur digital BIN sangat tangguh. Jadi, kalau tempo hari Anda mendengar berita tentang server Departemen Pertahanan AS, Departemen Luar Negeri AS, Departemen Keuangan AS, Departemen Perdagangan AS, dll, diretas oleh para hacker asing, berarti ketahanan siber di Amerika sangat lemah. Kalah kuat dengan server BIN yang tetap aman terkendali seperti kata Pak Wawan Purwanto. Bantahan Pak Wawan tentang hacker China membobol server BIN, patut dipercayai sebagai upaya normatif untuk menjaga gengsi. Namun, yang dipahami publik hari ini adalah “BIN menyusup ke Taliban, hacker China Menyusup ke BIN”.[] (Penulis wartawan senior FNN)
Dalam Kasus Sentul City VS Rocky Gerung: Mafia Tanah dan Hukum Akan Bermain
Oleh Tjahja Gunawan KASUS sengketa tanah antara PT Sentul City Tbk dengan Rocky Gerung ibarat fenomena gunung es. Di tempat lain, sudah banyak terjadi sengketa antara pengembang dengan rakyat biasa. Dalam setiap kasus tersebut, rakyat selalu dikalahkan pihak korporasi karena perusahaan mampu menyelesaikan setiap sengketa tanah dengan kekuatan uang yang dimilikimya. Dalam menyelesaikan setiap kasus sengketa lahan, sejumlah perusahaan pengembang besar, bahkan bisa "membeli" oknum pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kemudian menyogok oknum aparat di kepolisian, kejaksaan hingga oknum pejabat di pemda dan pejabat desa. "Kerja mereka sudah sistematis. Pembagian 'kue' nya sudah dipersiapkan dengan rapih hingga kasusnya tuntas. Sehingga kalau ada pejabat yang berusaha idealis menegakan aturan di bidang pertanahan kerap dianggap sebagai ganjalan yang harus disingkirkan," kata seorang pejabat senior di BPN Pusat dalam perbincangan dengan penulis akhir pekan lalu. Menurut pejabat tersebut, kasus yang dialami Rocky Gerung dengan PT Sentul City juga banyak terjadi di tempat lain yang melibatkan rakyat biasa. Namun jarang terekspose media dan rakyat yang bersengketa dengan pengembang besar itu selalu dikalahkan. Lalu pejabat senior BPN ini memberi contoh kasus gurunya yang berperkara dengan pengembang besar yang membangun kawasan perumahan menengah atas di daerah perbatasan Jakarta dengan Kota Tangerang Selatan. Ujung sengketa tersebut, guru tersebut kalah dan harus rela kehilangan tanahnya seluas 6.000 M2. Jika oknum pejabat dan aparat yang terkait dengan masalah pertanahan sudah bisa dikuasai, pengembang besar seperti Sentul City bisa melakukan langkah apapun untuk menguasai lahan yang dikehendakinya termasuk menggusur lahan yang telah dikuasai penduduk di daerah Bojong Koneng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Namun demikian, meskipun saat ini alat berat becho sudah nongkrong tidak jauh dari kediaman Rocky Gerung, tapi pihak Sentul City belum berani menggusur rumah milik tokoh oposisi ini. Padahal, dalam surat somasi kedua yang dilayangkan awal Agustus 2021, pihak Sentul City telah memberi batas waktu 7X24 jam kepada Rocky Gerung untuk mengosongkan dan membongkar sendiri rumahmya. "Kami sudah memberi jawaban atas surat somasi yang dilayangkan PT Sentul City, " kata Haris Azhar, pengacara Rocky Gerung dalam dialog yang ditayangkan Channel YouTube Refly Harun. Walaupun surat tanah yang dimiliki Rocky Gerung baru berupa akte jual beli dengan penduduk penggarap, Haris Azhar menegaskan tidak berarti dasar hukumnya lemah. Rocky Gerung sudah melalukan transaksi jual beli secara sah dan menguasai secara fisik tanahnya seluas 800 M² sejak tahun 2009. Tidak hanya itu, Rocky Gerung juga telah menjaga keseimbangan lingkungan di lahan yang dikuasainya itu. Dia sengaja menanam berbagai jenis pohon dari semula tingginya 20 senti sekarang sudah 20 meter. Rocky juga telah membangun rumahnya dengan tetap menjaga kontur tanah. Walaupun misalnya nanti kasus sengketa tanah di Sentul City ini dibawa ke pengadilan, tidak menjamin warga yang telah lama tinggal dan menggarap lahan di sana bisa memenangkan perkara tersebut. Sebab mafia tanah dan mafia hukum, dipastikan akan ikut bermain dan berkolusi dengan Sentul City sebagai pemilik modal. Yang bersengketa dengan Sentul City, ternyata tidak hanya Rocky Gerung. Tapi juga ada sebanyak 90 keluarga atau 6.000 orang lainnya. Penduduk di Desa Bojong Koneng tersebut diancam digusur Sentul City. Jika tanah yang sekarang ditempati Rocky Gerung dan penduduk lainnya digusur semuanya, akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum pertanahan di negeri ini. Bukan mustahil pula kasus ini bisa memantik terjadinya revolusi sosial di Indonesia. Kita lihat saja nanti. *** Penilis wartawan senior FNN.
Istiqlal Destinasi Wisata Baru
By M Rizal Fadillah MASJID itu tempat sujud, beribadah khusyu untuk menikmati dzikrullah. Suasana yang diciptakan harus menunjang kekhusyuan shalat dan dzikrullah tersebut. Masjid besar atau kecil berorientasi pada fungsi utama sebagai tempat ibadah. Kegiatan lain yang dilakukan tidak boleh keluar dari makna ibadah tersebut. Masjid Istiqlal yang berada di ibukota negara dan menjadi masjid terbesar kebanggaan umat Islam tidak terkecuali. Asesori lingkungan harus mendukung kekhusyuan bukan semata bagus atau artistik. Perbaikan perbaikan merupakan hal yang wajar. Demi memaksimalkan fungsi peribadahan tersebut. Ada hal menarik kini pada Masjid Istiqlal ini yaitu pertama dibuat lorong yang menyambungkan jalan ke Gereja Katedral. Disebut lorong silaturahmi. Kedua, lampu interior unik menyerupai hall pertemuan atau diskotik. Konon pencahayaan dengan sistem aplikasi. Canggih dan dapat diunggulkan. Dipasangi 300 titik lampu utama dan 3300 titik lampu ambiens. Lampu menggunakan LED red green blue amber white (RGBAW). Ribuan lampu diberikan IP address yang masing masing mengendalikan 20 lampu. Settingan diatur melalui aplikasi Pharos dari smartphone yang dipegang oleh pengelola Masjid. Keunikan tidak boleh membuat siapapun termasuk jama'ah datang ke Masjid untuk berwisata. Bukan menikmati ibadah di Rumah Allah. Hanya heritage atau monumen nasional yang kebetulan berfungsi sebagai tempat ibadah. Apalagi hanya mengagumi kedap kedip lampu warna warni. Apa kurang besar dan megahnya Masjidil Haram dan Masjid Nabawi ? Akan tetapi orang datang ke sana untuk beribadah merebut jaminan Allah, bahwa beribadah di Masjid Nabawi seribu kali nilainya dibanding Masjid selainnya. Demikian juga dengan Masjid Al Haram yang diganjar pahala seratus ribu kali. Artinya, jama'ah datang untuk mendapat pahala besar dari Allah. Bukan berwisata dan sekedar untuk mengagumi kemegahan ekterior dan interior Masjid. Lorong silaturahmi tidak memiliki guna signifikan terkait fungsi Masjid (maupun Gereja) karenanya sebenarnya tidak dibutuhkan. Begitu juga dengan sistem pencahayaan Masjid yang seperti hall pertemuan atau ruang diskotik. Keduanya hanya akan membawa Masjid Istiqlal sebagai destinasi wisata. Bukan tempat ibadah utama. Ada benarnya bahwa Masjid bukan semata pusat ibadah tetapi juga pusat kebudayaan, akan tetapi kebudayaan disini tidak harus dengan memaksakan diri untuk beradaptasi pada nilai kemodernan hingga perlu kelap-kelip lampu. Kembalikan pada fungsi pemakmuran Masjid sebagaimana aturan Al Qur'an yaitu untuk meningkatkan keimanan kepada Allah dan hari akhir, shalat dan berzakat, serta berani dalam menegakkan kebenaran ilahi, hanya takut kepada Allah. Bukan moderasi atau Wasathiyah dalam makna plintat-plintut khas Munafiqun. Bila Masjid Istiqlal dimaksudkan untuk semata kemegahan atau kebanggaan dunia, maka esok mungkin ada pihak yang akan memfatwakan haram untuk sholat di Masjid Istiqlal. Meski tentu fatwa ini tidak berpengaruh besar, akan tetapi adanya hal demikian telah membuat cacat keberadaan Masjid yang direnovasi dengan biaya mahal tersebut. Semoga Masjid Istiqlal itu adalah tempat untuk beribadah bukan untuk berwisata sekalian berjalan-jalan ke Gereja. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Usut Tuntas Penyebar Berita Bohong Revisi Permen ESDM No.49/2018
Oleh Marwan Batubara Indonesian Resources Studies (IRESS) dengan ini meminta aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas penyebar berita bohong tentang telah ditetapkannya hasil revisi Permen ESDM No.49/2018 seperti dimuat sejumlah media pada 13 September 2021. Padahal sesuai Perpres No.68/2021, draft revisi Permen ESDM tersebut masih dalam tahap harmonisasi dan proses pembahasan di Kantor Sekretariat Negara/Kabinet guna memperoleh persetujuan dari Presiden Jokowi/Pemerintah RI. "Berita bohong" tentang telah revisi Permen No.49/2018 antara lain menyebutkan permen baru sebagai hasil revisi adalah Permen ESDM No.26/2021. Selain itu tercantum pula bahwa Permen No.26/221 *ditetapkan/ditandangani* Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 13 Agustus 2021 dan *diundangkan* pada 20 Agustus 2021. Hal yang sangat prinsip dan akan merugikan negara, BUMN dan rakyat konsumen listrik dalam “Permen ESDM No.26/2021 adalah berubahnya tarif ekspor listrik dari 65% menjadi 100% seharga Rp 1.440 per kWh. Seperti diketahui, pada 13 September 2021, penetapan hasil revisi Permen ESDM No.49/2018 menjadi “Permen ESDM No.26/2021” telah diberitakan oleh sejumlah media on-line seperti “ruangenergi.com”, “kontan.co.id”, dan “dunia-energi.com”. Namun ketiga media tersebut tidak mencantumkan atau mengindikasikan sumber informasi yang jelas tentang penetapan Permen ESDM yang baru tersebut, sehingga publik bisa saja meragukan kebenarannya. Selama ini pemerintah dan kementrian/lembaga terkait selalu menerbitkan rilis dan memuatnya dalam situs masing-masing lembaga jika telah menetapkan suatu kebijakan, UU dan peraturan baru, termasuk revisi peraturan seperti permen. Prosedur sepeti ini sesuai perintah UU No.30/2014 tentang Administrasi Negara. Namun, khusus tentang hasil revisi Permen ESDM No.49/2021 menjadi “Permen ESDM No.26/2021”, publik dan awak media tidak menemukan adanya rilis/informasi resmi yang diterbitkan oleh KESDM dan/atau Sekretariat Negara/Kabinet. Terlepas bahwa “Permen ESDM No.26/2021” telah ditetapkan atau masih dalam proses pembahasan di Kantor Presiden, jelas ada oknum-oknum pemberi perintah dan pelaku yang berperan menjadi sumber berita tersebut. Oknum-oknum ini bisa saja sangat berkepentingan untuk membuat agar revisi Permen ESDM No.49/2018 segera terlaksana, tidak peduli jika cara yang ditempuh melanggar kaidah-kaidah moral dan asas tata kelola pemerintahan yang baik. Isi berita ketiga media bisa benar atau bisa pula salah. Jika akhirnya Presiden setuju dengan usul perubahan permen sesuai permintaan KESDM pada Juli/Agustus 2021, maka hal-hal yang termuat dalam “Permen ESDM No.26/2021” memang benar adanya. Jika isinya berbeda, maka dapat pula dinilai bahwa minimal oknum-oknum pelaku telah menunjukkan upaya maksimal kepada “promotor”, namun gagal mencapai target yang diinginkan. Penilaian di atas menunjukkan berita tentang terbitnya “Permen ESDM No.26/2021” telah menimbulkan spekulasi tentang kebenaran isi berita. Spekulasi lain bisa pula muncul terkait motif di balik beredarnya penetapan revisi permen. Misalnya, informasi disebar guna fait accomply keputusan terhadap Kepala Negara, to test the water, menggiring opini, atau bisa pula dianggap sebagai sandiwara untuk mendapat dukungan publik. Berbagai spekulasi di atas tentu tidak sesuai dengan asas dan tujuan berbangsa dan bernegara. Spekulasi di atas dapat pula membuat pemerintah mengambil keputusan yang salah, sekaligus merugikan negara, BUMN dan publik. Sehingga berita tersebut perlu diklarifikasi dan pelakunya harus diberi sanksi sesuai hukum berlaku. Dalam hal ini pemerintah perlu memberi sanksi tegas jika ada oknum pemerintah yang terlibat rekayasa yang merugikan ini. Aparat penegak hukum, termasuk KPK pun harus segera memulai pengusutan. Seperti diketahui, Kementrian ESDM (KESDM) telah menggagas revisi Permen No.49/2018 sejak awal tahun 2021. Guna memperoleh persetujuan Presiden Jokowi dan sejalan dengan perintah Perpres No.68/2021, KESDM telah mengirim naskah revisi Permen kepada Kementrian Hukum dan Ham (Kemenkumham) pada Juli/Agustus 2021 untuk proses harmonisasi. Sebaliknya cukup banyak kalangan, termasuk IRESS, keberatan atas usul revisi tersebut. Kami menilai pembahasan revisi Permen belum melibatkan seluruh stake holders terkait. Kementerian ESDM cenderung hanya mengakomodasi kepentingan kalangan tertentu. Sehingga, Kementrian ESDM gagal memenuhi syarat pembentukan peraturan sesuai UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh sebab itu naskah revisi belum layak untuk ditetapkan sebagai peraturan, terutama terkait perubahan tarif ekspor-impor listrik antara pelanggan PLTS Atap dengan PLN dari 65% menjadi 100%. Tanggapan serta keberatan berbagai kalangan dan pakar telah diungkap kepada publik dan media, termasuk dalam bentuk surat terbuka dan tertutup kepada Presiden Jokowi yang dikirim antara akhir Agustus hingga awal September 2021. Pada prinsipnya tanggapan dan keberatan mendukung perluasan penggunaan EBT dan PLTS Atap, namun keberatan dengan perubahan tarif ekspor listrik PLTS Atap menjadi 100%. Perubahan tersebut dinilai tidak adil, merugikan negara/BUMN, memberatkan APBN dan menambah beban pelanggan listrik. Lebih lanjut, guna menanggapi Siaran Pers KESDM No.303.Pers/04/SJI/2021 pada 2 September 2021, secara khusus IRESS menerbitkan Siaran Pers tertanggal 9 September 2021. Dalam hal ini IRESS mengungkap KESDM cenderung tendensius, menyembunyikan fakta, menggiring opini bahwa PLN, APBN dan pelanggan tidak dirugikan. Padahal perhitungan pakar-pakar energi menunjukkan: • PLN dirugikan Rp 2,15 triliun setiap 1 GW pasokan PLTS Atap dan menjadi Rp 7,74 triliun jika pasokan naik menjadi 3,6 GW. KESDM menyebut penjualan PLN hanya turun 0,1%; • KESDM menyebut penghematan bahan bakar cukup besar Rp 7,74 triliun. Sedang hitungan pakar hanya Rp 1,92 triliun. Dalam hal ini KESDM sengaja berasumsi bahan bakar yang digunakan gas, padahal menurut PLN, bahan bakar yang dipakai mayoritas batubara; • Menurut KESDM BPP hanya naik Rp 1,14/kWh. Sedang menurut pakar naik Rp 5,10/kWh. Perbedaan terjadi sebab KESDM “luput” menghitung biaya operasi pembangkit yang harus tetap stand-by dan adanya sarana yang harus disiapkan PLN mengatasi intermitten; • KESDM menyatakan biaya subsidi dan kompensasi naik Rp 0,319 triliun. Padahal menurut pakar subsidi naik Rp 1,08 triliun/tahun. Hal ini menjadi tambahan beban biaya bagi pelanggan non PLTS Atap, namun menjadi keuntungan bagi pengguna PLTS Atap. Sebelum memutuskan revisi Permen ESDM No.49/2018, seluruh stake holders kelistrikan nasional, terutama para pakar energi dan PLN sebagai BUMN listrik nasional sesuai Pasal 33 UUD 1954 harus dilibatkan. IRESS menilai hal ini telah gagal dilaksanakan oleh KESDM, yang tampak cenderung menggunakan pendekatan kekuasaan. Karena itu, IRESS kembali meminta agar Presiden Jokowi menolak usulan revisi Permen No.49/2018 dari KESDM. Selain itu, IRESS menuntut agar aparat penegak hukum, termasuk KPK, segera mengusut oknum-oknum pelaku sumber berita bohong tentang “Permen ESDM No.26/2021”. Presiden Jokowi harus segera mengusut dan menjatuhkan sanksi hukum jika ada pejabat negara yang terlibat. *) Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies, IRESS.
Memiliki Kehilangan dan Ketiadaan
Oleh Yusuf Blegur Sebagian besar orang lebih sering menempatkan standar kemanusiaannya pada apa dan berapa banyak yang dimiliki. Umumnya kepemilikan terhadap kekayaan, jabatan dan pengaruh kekuasaan menjadi tolok ukur yang paling utama. Menggenggam harta berlimpah dan kebijakan menentukan kepentingan publik, memang menempatkan seseorang pada drajat kehidupan yang paling tinggi dalam strata sosial kehidupan masyarakat dan negara. Menjadi terkenal, dihormati dan dihargai serta tidak jarang dipuja dan dielu-elukan khalayak. MESKIPUN masih banyak peran dan status sosial dalam kehidupan manusia yang tidak kalah bermakna dan jauh lebih penting. Namun harta, kekuasaan dan popularitas mengalahkan hal-hal yang justru lebih substantif dan esensial. Sebut saja para tenaga kerja pendidikan dan kesehatan yang tersebar di pelosok-pelosok dan perbatasan negara. Mereka tulus bekerja walau hanya dengan honor seadanya. Dalam medan kerja yang berat, keterbatasan sarana dan prasarana, upah kerja yang jauh dari kelayakan bahkan hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Mereka tetap berjuang dan berkorban dalam keterbatasan demi kemanusiaan. Ada juga para voluntir yang mendedikasikan hidupnya untuk menggeluti kerja-kerja sosial. Meningkatkan kualitas hidup, membangun teknologi kreatif dan inovatif serta membuka akses fasilitas dan program pemerintah dalam perkampungan-perkampungan kumuh, daerah terisolir dan masyarakat lainnya yang terpinggirkan dari pembangunan. Mereka semua merupakan pejuang kemanusiaan yang tenggelam dari sorotan media dan publisitas kehidupan politik kekuasaan. Negara acapkali mengabaikan keberadaan mereka. Pengabdian para pahlawan pembangunan yang sesungguhnya itu, sudah sepantasnya mendapat penghargaan dan penghormatan yang semestinya. Meskipun bagi kekuasaan, membahas nasib mereka bukanlah hal yang menarik dan dianggap tidak penting. Materialisme Sebagai Tuntunan Hidup Kehidupan masyarakat perkotaan termasuk Jakarta sebagai ibukota negara dan jantungnya penyelenggaran negara. Tidak hanya menegaskan masih adanya dikotomi pembangunan jika melihat realitas pedesaan. Bahkan dalam pusat kegiatan ekonomi bisnis dan politik itu, di sana-sini masih banyak menyisakan masyarakat marginal. Ketertinggalan dalam banyak hal seperti pengelolaan sumber daya manusia menjadi hal paling kentara. Negara pada akhirnya menjadi representasi, betapa modernitas hanya dimiliki segelintir orang. Penumpukan kekayaan dan aset ekonomi didominasi orang perorang dan kelompok tertentu. Begitu juga dengan akses politik dan pelayanan hukum hanya bisa dikuasai kalangan terbatas. Pemilik modal dan pembuat regulasi telah membajak negara dari keharusan melayani rakyat. Dalam balutan birokrasi, politisi dan korporasi. Mereka telah bermutasi menjadi wajah baru penjajah lokal. Menjadi sub-koordinat neo kolonialisne dan imperialisme di tengah globalisasi. Menjelma menjadi persekongkolan jahat dan hawa nafsu sistem yang korup dan represif. Lihat saja seketika banyak rakyat kecil menjadi korban dan hidup menderita. Petani tertindas tak mampu menjual produknya dengan harga layak karena kran impor yang mengalir deras. Nelayan juga terpuruk karena dominannya penangkapan ikan oleh kapal modern asing yang terkesan dibiarkan dan dilindungi. Demikian juga para buruh yang terus dieksploitasi namun tetap jauh dari kesejahteraan. Semuanya merupakan dampak dari perilaku kekuasan dan konstitusi yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Bandingkan dengan kehidupan para jamaah oligarki dan aliran borjuasi korporasi sesat. Mereka berlimpah dengan kekayaan yang tidak semuanya diperoleh dengan cara yang bersih dan terhormat. Pengusaha didukung birokrasi dan politisi, terkadang dengan arogannya merampok kekayaan negara. Bersekongkol memanipulasi dan menggelapkan harta yang bukan miliknya. Merampas tanah dan bangunan milik rakyat. Menggunakan uang dan kekuasaannya menghukum dan menindas rakyat. Bukah hanya dengan menggunakan preman, jika diperlukan terkadang menggunakan aparatur negara. Rakyat dan Kedaulatan Semu Panca Sila, UUD 1945 dan hukum moral lainnya, tak ubahnya seperti barang antik bersejarah yang tersimpan di museum Indonesia. Kekuasaan dan pada akhirnya diikuti rakyat. Lebih memiliih dan menyukai praktek-praktek kapitalistik dan liberalistik. Meskipun dalam pusaran itu banyak konflik dan ketidakpuasan, memakan korban jiwa, merusak tatanan ideologi bangsa dan bahkan agama. Bangsa Indonesia telah kehilangan jiwanya. Tidak adalagi roh patriotisme dan nasionalisme. Semua kekacauan dan kehancuran mental dan karakter yang ujung-ujungnya menjadi penderitaan yang paling dirasakan rakyat. Indonesia merana kehilangan spritualitasnya sebagai bangsa religi. Bangsa Indonesia sejatinya telah lama kehilangan Panca SIla dan UUD 1945. Kekayaan tak ternilai dan menjadi warisan abadi bagi rakyat dan negara. Sayangnya anugerah terbesar dari Tuhan Yang Maha Esa itu, yang dimiliki bangsa ini, tak mampu dihargai dan dihormati oleh pemimpin dan rakyatnya sendiri. Sebagai sebuah bangsa dan negara, Indonesia telah membuang value dan kebijaksanaan, lebih mengejar materi dan kebendaan lainnya. Nilai-nilai adiluhung itu tercampakkan oleh keinginan hidup hedon dan gemerlap kenikmatan dunia. Gotong-royong dan persaudaraan hanya sekedar cerita lama. Indonesia beserta rakyatnya seperti hidup sebagai bangsa kaya tapi dalam kemiskinan. Memiliki sejarah patriotik yang besar namun menjadi pecundang dan terjajah. Budaya yang dikenal dengan fatsun politik yang santun tapi kekinian tanpa etika, barbar dan biadab. Indonesia Seperti bernegara tanpa negara atau mungkin juga negara dalam negara. Negara tanpa pemerintahan dan nyaris menjadi negara gagal. Semua hanya bisa pasrah tak berdaya sambil mengelus dada. Menggerutu dan menyesalinya dalam hati. Rakyat dengan segala semboyan dan jargon yang besar Keindonesiaannya. Kini menyadari bahwasanya telah memiliki kehilangan dan ketiadaan. Semoga datang perubahan yang lebih baik. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Human Luhur Berdikari.
Bermain-main dengan Rocky Gerung
By M Rizal Fadillah *) RAMAI berita Rocky Gerung disomasi PT. Sentul City Tbk yang ber-bongkar balik bahwa pemilik PT. Sentul City Kwee Cahyadi Kumala adalah terpidana korupsi kasus suap tukar guling kawasan hutan. Meski ada pengamat yang teriak somasi ini merupakan murni hukum, namun publik lebih yakin bahwa tekanan ini adalah murni politik. Soal tanah dan rumah hanya celah yang dicari-cari. Persis sama dengan kasus HRS tanah Mega Mendung. Sangat politis. Rocky dipastikan dapat membuktikan bahwa ia membeli tanah di Blok 026 Kampung Gunung Batu RT 02 RW 11 Kel. Bojong Koneng Kec. Babakan Madang Kab. Bogor tersebut dengan benar dan absah. Menurut hukum "pembeli yang beritikad baik dilindungi oleh undang-undang". PT Sentul City Tbk jika ingin membuktikan kepemilikannya maka harus melakukan gugatan perdata. Tidak bisa membongkar begitu saja. Pembongkaran sepihak adalah melawan hukum dan justru dapat dipidana. Ternyata bukan Rocky sendiri yang menempati lokasi yang dianggap sengketa tetapi ada 90 KK dan 6000 orang lainnya. Perlu diselesaikan dahulu mengenai status hukum masing-masingnya. Jangan-jangan justru status PT. Sentul City Tbk yang bermasalah secara hukum. Ini perlu diusut ke belakang. Sengketa kepemilikan adalah proses perdata, karenanya sangat salah jika ada pandangan bahwa Rocky terancam pidana penjara hingga 7 tahun. Memang belajar hukum mesti khatam. Nah jika telah mendapat kepastian hukum tentang status kepemilikan lahan, sedang pihak lain kemudian melakukan "penyerobotan", barulah terbuka aspek pidananya. Sengketa Rocky Gerung dan warga 90 KK dengan PT Sentul City Tbk adalah perkara perdata. Walaupun rakyat sudah sangat faham kasus ini berbasis politik. Perlawanan hukum sudah pasti, tetapi perlawanan politik harus dan juga pasti dilakukan. Aseng penikmat fasilitas negara yang telah merampok tanah rakyat tidak bisa dibiarkan. PT Sentul City bisa jadi pintu pembuka perlawanan rakyat atas jutaan hektar tanah rakyat dan bangsa Indonesia yang dikuasai aseng dan asing. Rocky Gerung diyakini publik tidak peduli soal kalah menang atas tanah yang dibelinya, tetapi perlawanan terhadap arogansi, keserakahan, dan penjajahan asing dan aseng yang dilindungi oleh penguasa bangsa sendiri harus dilakukan. Sangat disadari semakin habis tanah rakyat dan negara Indonesia yang telah dikuasai asing dan aseng penjajah negeri. Rakyat harus berbuat untuk memerdekakan bangsanya. PT Sentul City Tbk yang boss nya adalah koruptor penyuap, tengah mengajak bermain kepada Rocky Gerung dengan permainan bodoh yang mungkin akan memercik muka sendiri. Sentul bisa memantul, Rocky Gerung bisa bergaung. Kita lihat siapa yang akan menang dalam bertarung. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan