OPINI
Bisakah Pandemi Covid-19 Jatuhkan Jokowi?
Oleh Danu Subroto JAWABANNYA adalah secara teoritis bisa dan sangat bisa. Secara aplikatif, jawabannya ada pada takdir Tuhan dan keberanian rakyat Indonesia. Kenapa secara teori dikatakan bisa? Karena pertanyaan ini sudah dijawab dalam disertasi konsultan politik papan atas Indonesia yaitu Bung Denny JA dari Lembaga Survei Indonesia. Bung Denny JA menuliskan dalam disertasinya, setidaknya ada 4 syarat yang mesti dipenuhi apabila ingin terjadi perubahan kepeminpinan di Indonesia. Apakah itu melalui jalur parlemen maupun extra-parlemen. Dimana hasil kajian ini beliau ambil dari dua fase sejarah pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia. Yaitu, pertama pada fase jatuhnya Soekarno pada tahun 1966, dan fase kedua lengsernya atau mengundurkan dirinya Soeharto pada tahun 1998. Empat syarat dan indikator bisa terjadinya pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia adalah: Pertama, pecahnya kelompok istana sebagai pusat atau sentral kekuasaan. Di era Soekarno sangat kentara terjadi perpecahan antara TNI AD dengan kelompok PKI, dimana puncaknya adalah terjadinya tragedi berdarah 30 September 1965. Terbunuhnya 7 orang Jendral TNI AD, yang kemudian berbalik arah, dimana rakyat khususnya umat Islam bersatu bersama TNI memberangus kudeta ideologis kelompok PKI ini. Sebelumnya, perpecahan antara kelompok PKI yang notabenenya adalah pendukung utama dan anak emas pemerintahan Soekarno sudah terjadi jauh hari sebelum pemberontakan. Dengan umat Islam terkait benturan asas Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) versi Soekarno yang ditentang kuat oleh kelompok Islam seperti Muhammadiyah, Masyumi, Persis, dan sebagian NU kultural. Perpecahan ini sampai ke istana berupa isu Dewan Jendral, angkatan kelima, poros Jakarta - Moskow, Jakarta - Peking, dan penolakan keras dari kubu TNI AD atas masuknya 100 ribu pucuk senjata buat angkatan ke 5 usulan PKI. Perpecahan dalam tubuh Istana ini, menjadi indikator utama jatuhnya Soekarno. Demikian juga dengan Soeharto. Pertarungan ideologis antara Jendral Hijau dan Jendral Merah dalam tubuh ABRI (TNI ketika itu), ditambah mundurnya 14 orang menteri utama pemerintahan Soeharto, ketua MPR saat itu Harmoko yang juga berbalik arah, menyebabkan Soeharto memilih jalan mengundurkan diri ketika melihat para pembantu dan orang dekatnya berkhianat dan berbalik arah. Akhirnya Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI selama 32 tahun dan kemudian digantikan oleh BJ Habibie yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Presiden. Kedua, terjadinya krisis dan resesi ekonomi. Di zaman Soekarno ekonomi nasional sangat amburadul. Antrian beli minyak tanah buat masak, antrian mendapat jatah beras dan sembako adalah pemandangan biasa saat itu. Banyak rakyat kelaparan dan anak anak kurang gizi. Pemerintahan Soekarno saat itu lebih menyibukkan dirinya ke luar negeri menjual ide Nasakom, serta sibuk memadamkan perang saudara baik dengan DI/TII, PRRI dan Parmesta. Termasuk juga di dalamnya operasi Ganyang Malaysia dan operasi perebutan Irian Barat dari tangan Belanda. Berbagai bentuk perang ini sangat menguras energi bangsa hingga melahirkan krisis ekonomi nasional. Begitu juga di zaman Soeharto 1998. Krisis moneter yang melanda dunia juga berdampak keras terhadap Indonesia. Melambungnya dolar hingga 16 ribu, kelangkaan BBM, minyak tanah, susu buat anak anak, serta beras buat makan. Menjadikan banyak rakyat yang kelaparan. Perut kosong karena kelaparan rakyat inilah yang sangat mudah menyulut gerakan reformasi para mahasiswa dan masyarakat turun berdemonstrasi. Ketiga, yaitu terbentuknya arus oposisi yang kuat. Era Soekarno yang didukung kelompok PKI dan loyalis Soekarno begitu dominan dalam pemerintahan dan banyak menyingkirkan kelompok islamis seperti Masyumi, Muhammadiyah, NU kultural, dan TNI. Kelompok "oposisi ini" yang kemudian bersatu padu pasca meletusnya tragedi 30 September 1965. Walaupun sebenarnya secara personal kelompok atau barisan oposisi ini tidak ada masalah dengan Soekarno tetapi dengan PKI. Yaitu benturan ideologis, dimana PKI membawa isu komunis yang bertentangan dengan ajaran Islam dan Pancasila sila pertama KeTuhanan Yang Maha Esa. Di zaman Soeharto juga hampir sama. Mahasiswa sebagai garda terdepan, melahirkan banyak tokoh sentral seperti Amien Rais. Dari NU ada Gus Dur, ada Megawati dan juga termasuk Akbar Tanjung dari Golkar yang begitu pragmatis ketika itu. Arus kuat oposisi dengan mahasiswa sebagai garda terdepan ini, mampu menggoyahkan nurani Soeharto untuk menyatakan berhenti. Puluhan nyawa mahasiswa melayang. Tak terhitung juga kerusakan harta benda, ruko, mobil, yang hangus terbakar di bakar massa. Begitu juga penjarahan. Keempat, adanya dukungan luar negeri. Di jaman Soekarno adalah awalnya terjadi perang ideologis dunia. Antara blok barat dengan kapitalisme liberalnya dengan blok timur dengan sosialis komunisnya. Kebetulan Soekarno lebih condong berkolaborasi dengan blok timur, otomatis kelompok yang berseberangan dengan Soekarno mendapat dukungan dari blok barat yaitu Amerika dan Inggris. Jadi tak heran, ketika Soekarno jatuh, ini merupakan ibarat durian runtuh bagi blok barat. Dan tentu saja, Indonesia yang ketika itu sukses besar menghambat pengaruh komunis di Asia Tenggara mendapat previlage khusus dari Amerika dan sekutunya. Berbagai dukungan logistik, uang, pinjaman, investasi, dan politik di berikan pada Indonesia saat itu. Begitu juga pada masa Soeharto. Ketika Soeharto sudah dianggap tidak bisa di kendalikan kekuatan global. Ditambah Soeharto di masa akhir jabatannya mulai mesra dengan kelompok Islam mulai dianggap jadi ancaman bagi dunia barat. Karena Indonesia sebagai negara yang besar kaya raya dan mayoritas Islam, adalah ancaman apabila maju. Maka, skenario krisis moneter menjadi pintu masuk kekuatan global dengan memanfaatkan para barisan sakit hati, para anak PKI yang dendam dengan Soeharto, para korban kebijakan otoriter Soeharto, para Jenderal merah, Taipan yang oportunis bersatu padu untuk bersama jatuhkan Soeharto. Dukungan asing ini jelas terlihat dengan berlabuhnya kapal perang Amerika dan sekutunya di teluk Jakarta. Serta sudah menjadi rahasia umum saat itu, bagaimana jutaan dolar amerika menyirami tubuh para aktifis, intelektual, advokad, media pers, dan aparat tertentu membiayai gerakan reformasi turun ke jalan. Berkaca mata dari empat syarat dan indikator bisa terjadinya perubahan kepemimpinan nasional saat ini, bisa dengan jelas kita sematkan pada pemerintahan Jokowi saat ini, yaitu ; Pertama, terjadinya perpecahan dalam tubuh istana. Ini sudah mulai terlihat sejak penunjukan menteri-menteri. Perang dingin antara Megawati dan Jokowi juga bisa dilihat dengan kasat mata. Baik dari gestur politik kebijakan maupun dalam dukung mendukung Capres 2024 antara friksi Puan Vs Ganjar. Namun, perpecahan ini tentu berapa bobot dan berbahayanya hanya mereka yang tahu. Namun kalau ini dibiarkan maka akan jadi pemicu utama barisan pendukung Jokowi. Yaitu bobot antara seberapa loyalitas para pembantunya pada Jokowi atau pada partai politik pengusungnya. Atau para sponsor lain di belakangnya. Atau seperti jaman Soeharto. Ketika terjadi kegaduhan alias tahu kapal mau tenggelam, justru para orang terdekat ini dulu yang kabur dan khianat cari selamat. Kedua, terjadinya krisis dan resesi. Pandemic Covid19 ini sudah sangat cukup membuat rezim hari ini babak belur. Hanya untung saja, Jokowi hari ini didukung total oleh Polri dan media massa plus para Buzzer dan Influencer. Namun pertanyaannya, sampai kapan mereka akan loyal dan siap bertahan? Karena sudah rahasia umum saat ini, Polri adalah institusi anak emas rezim Jokowi yang paling banyak mendapatkan fasilitas dan keuntungan. TNI boleh dikatakan dianaktirikan. Meskipun selalu ada kata sinergitas, namun itu hanya manis di bibir saja bagi yang menjabat. Tapi boleh ditanya pada level menengah (Kolonel ke bawah), bagaimana sakit hati dan kecemburuan TNI pada POLRI secara institusi. Krisis dan resesi yang diderita Jokowi hari ini banyak sekali pengamat ekonomi mengatakan bisa sangat mengancam keberlangsungan pemerintahan Jokowi. Utang dan bunga wajib bayar pada tahun 2021 ini saja sebesar 800 trilyun. Sedangkan pendapatan dari pajak asumsi normalnya 1400 trilyun. Lalu bagaimana dengan belanja rutin dan pembiayan program pemerintah lainnya? Seperti apa kata ekonom Rizal Ramli, negara kalau sudah bayar utang dari utang lagi itu namanya negara itu sudah bangkrut. Sekarang hanya menunggu cadangan logistik pangan dan sembako. Itupun kita bergantung pada import dari Thailand dan Vietnam. Kalau logistik pangan juga habis? Maka kerusuhan pasti akan sulit terelakkan. Ketiga, terbentuknya arus oposisi yang kuat. Meskipun Habieb Rizieq Shihab dan beberapa tokoh politik dipenjarakan seperti organisasi KAMI yaitu Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana. Namun, detak dan denyut gerakan perlawanan masyarakat oposisi masih sangat kuat. Bedanya dengan tahun 1965 dan 1998, hari ini para kelompok oposisi ini sangat beragam. Mulai dari buruh, mahasiswa, kelompok Islam dan liberal juga mulai bersatu. Sedangkan pendukung pemerintah tinggal dari para Buzzer bayaran dan beberapa influencer ormas dan tokoh karbitan. Namun itu tak cukup kuat sama sekali menopang dan membungkus kebobrokan rezim hari ini. Untung saja ada UU ITE dan wabah virus. Kalau tidak, tak terbayangkan bagaimana caci maki dan demonstrasi massa akan terjadi tiap saat. Dengan adanya UU ITE dan skema PSBB, PPKM, ini menjadi instrumen Polisi sebagai "centeng" utama rezim Jokowi hari ini untuk mengeleminir setiap ancaman dan gangguan pada rezim Jokowi. Dan harus kita akui sampai saat ini, polisi sukses menjalankan tugas ini. Keempat, dukungan luar negeri. Mungkin indikator ini yang mesti mendalam kita cermati. Bagaimana posisi Indonesia di mata dua di antara perseteruan China dan Amerika berserta sekutunya. Yang jelas kita lihat, Indonesia di bawah rezim Jokowi jauh condong berkiblat pada China. Dan Amerika di bawah kepemimlinan Biden ini belum begitu memperhatikan Indonesia. Biden secara geopolitik masih konsentrasi pada mitra utamanya yaitu Jepang-Korsel-Taiwan, untuk Asia Timur. Timur tengah dan Eropah. Artinya, dalam hal indikator dukungan luar negeri, kita belum bisa melihat sebuah langkah konkrit asing terhadap Indonesia. Namun dengan adanya kegiatan latihan militer bersama antara TNI AD dan US Army dalam skema Garuda Shield 2021 di Batu Raja Sumatera Selatan? Kita tidak tahu. Tetapi yang terpenting bagi kita rakyat Indonesia adalah, siapapun yang jadi pemimpin di negeri ini haruslah tetap setia pada konstitusi kita yaitu Pancasila dan UUD 1945, dimana di sana termaktub negara Indonesia adalah berkedaulatan rakyat. Dan Indonesia adalah negara hukum Artinya, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi di Indonesia. Bukan partai politik, bukan cukong, ataupun negara asing. Dan jadikanlah hukum sebagai panglima. Bukan politik, dimana secara hukum kita mengamanahkan bagaimana menjadikan negara Indonesia berdaulat, adil dan makmur. Dengan cara, melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan baru ikut dalam perdamaian dunia. Kalau ini semua dilaksanakan, insyaAllah Indonesia siapapun pemimpinnya akan berdaulat adil dan makmur. Dan semua itu kembali kepada rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Waalhaualm. *) Pengamat Politik
Modus Konspirasi Dibungkus Interpelasi
Oleh Yusuf Blegur*) Masih banyak lagi praktek distorsi penyelenggaraan negara dan 'abuse of power' oleh rezim kekuasaan yang didukung dan ditopang oleh PDIP, PSI dan kolega lainnya. Segudang masalah rakyat yang sudah akut dan kronis tak akan bisa ditampung oleh presiden dengan 3 periode atau seumur hidup sekalipun. Dimana suara PDIP dan PSI? Apakah bisa PDIP dan PSI bertanya begitu lantang menyuarakan kebenaran dan keadilan seperti pada program Formula E? Fraksi PDIP dan Fraksi PSI belakangan ini terus bergerilya meramaikan parlemen DKI. Pasalnya, kedua fraksi tersebut menjadi penggagas sekaligus menggulirkan hak interpelasi progam Formula E yang diagendakan pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Manuver kedua kumpulan politisi yang menjadi perpanjangan tangan partai politik koalisi pemerintahan pusat itu semakin intensif dengan terus berusaha menggalang dukungan luas parlemen dan opini publik. Sudah bisa ditebak, atmosfer politik ibukota berseliweran efek isunya, bagaikan sampah berserakan di gorong-gorong dan sudut kota. Para pendengung, influencer dan buzzer, sepertinya mulai ancang-ancang mengambil momen dan menjadi sibuk merekayasa sedemikian rupa. Bersinergi dengan parpol inisiator interpelasi, seketika memungut dan mempreteli program kreatif dan inovatif penyelenggaraan pemerintahan Ibukota. Kemudian olahan mereka, menjadi propaganda dan agitasi terhadap ajang balap mobil yang merupakan kegiatan olah raga yang prestisius dan berskala internasional. Sejatinya hak interpelasi yang digulirkan anggota DPRD DKI itu. Jika memang digunakan secara ideal dan jujur, merupakan langkah politik yang sah dan wajar-wajar saja. Konstitusi mendukung. Jika benar dan bertanggungjawab memungkinkan dukungan rakyat tak terbendung. Bahkan penggunaan hak interpelasi bisa dianggap baik jika belum bisa dikatakan sebagai prestasi dewan. Karena hak politik legislator terkait menanyakan seberapa strategisnya dan menjadi skala prioritas untuk program pemerintah provinsi DKI. Sejauh ini jarang digunakan oleh parlemen terlebih pada saat itu benar-benar dibutuhkan dan berkolerasi tinggi dengan kehidupan masyarakat. Sayangnya, hak interpelasi yang diinisiasi PDIP dan PSI di parlemen provinsi yang menjadi barometer nasional itu. Saat diluncurkan tidak didukung oleh faktor subyektifitas dan obyektifitas yang mumpuni. Agenda interpelasi sangat kental diselimuti oleh banyaknya persoalan dewan sendiri, yang harusnya bisa diselesaikan dan menjadi ranah internal. Dinamika dan keputusan legislator DKI sangat dipengaruhi oleh interes dan target partai politiknya masing- masing. Mereka bisa bersama di Senayan, namun berpisah di Kebon Sirih. Mulai dari perumusan dan pembahasan masalah, bahkan banyak produk politik yang saling menegasikan. Contohnya pada pengajuan hak interpelasi yang bergulir kali ini, kadung dianggap sepi dan tak direspons banyak pihak. Termasuk oleh sebagian besar fraksi. Selain tidak proporsional, tidak tepat sasaran dan dianggap banyolan oleh masyarakat. Hanya para pendengung, influencer dan buzzer yang terlihat antusias dan bergairah menyikapi hak interpelasi. Kehadiran mereka terasa saat melihat siasat interpelasi dalam parade karangan bunga, video vlog dan pelbagai jasa narasi sumir berbayar. Parlemen Tekor Pada akhirnya publik melihat bergulirnya hak interpelasi soal Formula E. Lebih mengesankan fraksi parlemen pengusungnya, seperti kurang kerjaan dan tendensius. Dinamika DPRD kali ini melalui hak interpelasi dilihat publik sebagai rangkaian dari banyaknya resistensi dan sinisme terhadap program pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, khususnya di bawah kepemimpinan Anies Baswedan. Partai Politik yang notabene koalisi pemerintahan nasional dan dominan mewarnai parlemen DKI. Tidak bisa dipungkiri terus melakukan penolakan terhadap figur Anies Baswedan meski kontestasi Pilkada DKI Jakarta telah usai sejak lama. Kemenangan Anies Baswedan sebagai seorang Gubernur Jakarta memang masih menyimpan dendam politik kesumat dan dianggap merusak agenda politik nasional jangka panjang bagi kepentingan tertentu. Konsekuensinya, segala cara dilakukan untuk menjatuhkan, setidaknya merongrong kinerja Anies Baswedan. Faktanya tidak sedikit intrik dan fitnah menyelimuti politik kota metropolitan. Publik masih ingat saat rumor rumah mewah hasil gratifikasi proyek reklamasi dan sederet hoaks yang menerpa Gubernur DKI. Dengan kapasitas dan integritas yang dimiliki seorang Anies Baswedan bisa dibilang, menghadapi perilaku dan ambisi politikus Jakarta jauh lebih menguras energi ketimbang membangun kotanya sendiri. Namun dengan elegan, lagi-lagi Anies menjawab dengan taktis dan humanis. Santun, dengan senyum dan logis membuat lawan politik semakin meringis kehilangan akal. PDIP dan sekutunya menganggap gubernur Jakarta bukan sebagai kawan ideologis dan berbahaya bagi kepentingan konspirasi politik kekuasaan. Anies Baswedan yang belakangan makin bersinar dan digadang-gadang publik menjadi calon pemimpin nasional masa depan. Masih diidentikan dengan sosok yang intoleran, radikal dan terlalu bersahabat dengan gerakan politik dan populisme Islam. Asumsi itu membuat Anies Baswedan yang penuh catatan prestasi dengan segudang karya-karya intelektual dan kebijakan pembangunan humanis. Oleh PDIP dan konco-konco partai politik nasionalis sekuler-liberal yang kapitalistik lainnya. Sistemik membuat framing yang terus-menerus tak berdasar dan penuh kejahatan politik. Anies Baswedan dipaksakan sedemikian rupa dan dengan pelbagai cara direkayasa menjadi musuh bersama. Ambisi gelap dan hitamnya konspirasi menjatuhkan, terlalu kentara dan berlebihan menempatkan Anies sebagai tokoh yang stereotip hingga terkesan antagonis seperti dalam sinetron. Formula E dan Balapan Capres Hak interpelasi DPRD DKI Jakarta yang dimotori Fraksi PDIP dan PSI bukan saja menunjukkan ketidakcerdasan semata, melainkan juga menjadi indikator betapa panik dan reaksionernya penguasa PDIP dan PSI membaca konstelasi politik nasional dan menguatnya figur Anies Baswedan. Beberapa narasi andalan yang menjadi isi interpelasi oleh Fraksi PDIP dan PSI yang lebih dominan disuarakan oleh serdadu bayaran media sosialnya. Seperti mencapai anti klimaks. Laksana buah pohon jatuh ke tanah sebelum masak. Bagaikan niat mendaki gunung namun tergelincir ke jurang. Jauh sebelum paripurna hak interpelasi digelar. Manuver politik Jakarta dari gedung DPRD itu seolah-olah menampar muka sendiri. Menjadi bumerang dan menelanjangi PDIP dan PSI sebagai partai politik berkuasa di pentas nasional. Sungguh menakjubkan dan luar biasa. Bahkan sebelum sidang parlemen berlangsung dan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam hal ini Anies Baswedan selaku gubernur menjawab interpelasi. Publik telah mendahuluinya. Bukan hanya sekadar menjawab, tapi masyarakat Jakarta dan bahkan yang tersebar di seluruh Indonesia memberikan rasionalisasi terhadap interpelasi yang belum berlangsung itu. Juga semua korelasinya terhadap kepentingan dan kehidupan rakyat baik Jakarta maupun nasional yang aktual. Pertama Bahwa rencana kegiatan balap mobil Formula E telah disiapkan baik secara program dan anggaran jauh sebelum pandemi. Artinya, kegiatan tersebut yang pelaksanaannya menjadi isu prioritas pada tahun 2022 seperti yang tertuang dalam Instruksi Gubernur Nomor 49 Tahun 2021. Sesungguhnya telah mengalami proses legislasi dan persetujuan DPRD DKI. Sampai munculnya usulan hak interpelasi, disikapi dengan penolakan hak interpelasi oleh 7 fraksi di parlemen. Mereka diantaranya Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi PKS, Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi Nasdem dan Fraksi PPP-PKB. Ini menegaskan mayoritas fraksi yang berkantor di kawasan balai kota itu menolak usulan hak interpelasi. PDIP dan PSI seperti ditelanjangi dan menahan malu karena itikad politiknya tidak mengikat sebagian besar fraksi seperti yang biasa terjadi di parlemen senayan. Tercium aroma PDIP dan PSI tidak menyukai Anies Baswedan, mitra kerja pemerintahannya di Jakarta. Kedua Terkait kegiatan yang menyerap anggaran yang tidak sedikit, disinyalir menghabiskan lebih dari 1 triliun jika serinya Formula E digelar beberapa tahun. Pemprov DKI telah memberikan rasionalisasi terkait kegiatan itu dengan memenuhi aspek studi kelayakannya (feasibility studies), penganggaran, penyelenggaraan dan potensi kegiatan tersebut. Pun demikian, anggaran biaya Formula ini terbilang besar. Namun rencana pelaksanaan evennya di Jakarta jauh lebih murah dibandingkan dengan penyelenggaraan kegiatan sejenis di beberapa negara lainnya. Kegiatan balap mobil listrik Formula E, ditinjau dari anggaran yang digelontorkan pemprov DKI. Pada substansinya dinilai berpotensi membangun nama baik dan kepercayaan dunia internasional yang berdampak pada investasi luar negeri dan termasuk menggerakkan ekonomi Jakarta hingga 1,2 triliun. Selain ekonomi, ada kampanye penggunanaan moda tranportasi ke depan yang bebas emisi. Ada nilai lebih dari sekedar penggunaan dan pencapaian materi. Ketiga Soal yang terkait dengan sensitivitas dan skala prioritas penyelenggaraan Formula E di tengah pandemi. Anies Baswedan juga telah mengambil kebijakan untuk membatalkan 2 seri Formula E di tahun 2020 dan 2021 karena angka pandemi yang sempat melonjak. Sebuah langkah bijak dan penuh empati dari gubernur metropolitan berkapasitas internasional. Terkait Instruksi Gubernur yang membuat kegiatan Formula E menjadi isu prioritas dilaksanakan pada 2022. Justru hal ini dilakukan agar dapat menjadi salah satu faktor yang dapat memicu sekaligus menggairah ekonomi Jakarta. Mengingat pertumbuhan ekonomi menjadi melambat akibat dampak krisis yang disebabkan pandemi. Pemerintah Provinsi DKI juga berusaha tidak kehilangan anggaran pembiayaan yang tidak sedikit juga, telah dikeluarkan untuk pelaksanaan Formula E. Dengan evaluasi dan antisipasi yang matang, program strategis itu memang layak direalisasikan. Itulah beberapa deskripsi dan eksplorasi program Formula E pemprov DKI yang bersumber pada aspek visioner dan futuristik membangun Jakarta. Tentunya berdasarkan juga pada kemampuan anggaran dan antusiasme sebagian besar masyarakat khususnya kalangan pecinta olah raga dan dunia otomotif. Tak ubahnya pemerintahan pusat dibawah komando Jokowi dengan program pembangunan mercusuar infra strukturnya, meski berbiaya sangat mahal dan fantastis serta menggunakan hutang negara. Menepuk Air Di Dulang, Terpericik Muka Sendiri Alih-alih mendiskreditkan dan mendowngrade kebijakan Anies terkait program Formula E. Kader-kader PDIP dan PSI di balai kota cenderung menjadi keder. Bagaimana mungkin dari kader menjadi keder? Politisi PDIP dan PSI yang sudah lama berseberangan dengan gubernur DKI. Bersama pasukan pendengung, infuencer dan buzzer sering dan selalu mengkapitalisasi kebijakan Anies yang dianggap lemah dan menjadi celah politisasi. Namun justru menjadi bumerang bagi PDIP dan PSI. Menariknya, narasi yang dibangun untuk menyerang Anies Baswedan dalam soal Formula E. Pada esensinya justru menjadi blunder, karena seperti membuka aib mereka sendiri. Apa yang dieksploitasi oleh PDIP dan PSI tentang skala prioritas dan urgensi kebijakan, transparansi dan akuntabilitas anggaran, efisiensi dan efektifitas program serta prinsip-prinsip keadilan sosial dalam pembangunan. Justru nilai-nilai itu yang paling sering dilanggar oleh pemerintahan selaku eksekutif dan legislatif pada level pusat. Mereka seperti sedang menghakimi orang lain tidak Pancasilais dan merongrong NKRI, seiring itu mereka hidup dalam kemunafikan politik. Mirisnya, PDIP dan PSI adalah partai penyokong kekuasaan, terlebih salah satu petugas partai PDIP menjadi seorang presiden, pucuk pimpinan negara yang menentukan baik buruknya nasib rakyat dan negara secara keseluruhan. Kader-kader PDIP dan kompatriotnya yang melakukan korupsi bansos saat rakyat hidup menderita karena pandemi. Seperti tidak membekas dan tidak tahu malu. Korupsi juga mewabah hampir di semua lini dan lintas sektor lembaga pemerintahan yang banyak diisi oleh kader-kader PDIP dan koalisinya. Begitu juga soal hutang negara yang terus membengkak yang dipenuhi bisnis rente dan rawan korupsi, semakin membebani dan mencekik hidup rakyat. Tidak sedikit perampokan dan pemborosan uang negara oleh mereka melalui bagi-bagi kekuasaan dengan mendudukkan relawan dan kader partai yang tidak kapabel dan kompeten pada jabatan publik yang penting dan strategis. Begitu juga dengan PPKM yang berjilid-jilid dan aturan prokes lainya. Terutama saat pandemi dijadikan politik dan alat melanggengkan kekuasaan. Bukan hanya intimidasi, teror dan kekerasaan, rakyat kecil harus mengalaminya hanya kerena ingin bekerja mencari rezeki untuk memenuhi nafkah keluarganya. Mereka rakyat kecil harus menderita dan mengalami penindasan justru pada saat memperjuangkan haknya sebagai warga negara. Kehidupan demokrasi juga dibungkam. Hukum menjadi alat kekuasaan. Hanya melahirkan sistem tebang pilih, tajam ke bawah tumpul ke atas. Pelecehan dan penistaan agama terus mengalami pembiaran. Bukan hanya suara dan aksi unjuk rasa yang direpresi, sekadar karya seni lewat mural juga diburu aparat keamanan. Keadilan hanya mimpi, yang nyata rezim yang tirani. Bagaimana sikap dan tindakan PDIP dan PSI mewujudkan rasa peduli dan keberpihakannya pada rakyat seperti saat kritis pada kebijakan Formula E? Apa yang dilakukan saat rakyat mengeluh Tuhan aku lapar? Apa responsnya saat rakyat bicara aku cuma ingin kesehatan bukan aturan?. Bertanyalah pada rakyat, apa yang sesungguhnya dialami dan dirasakan rakyat?. Tentang rasa sakitnya dan tentang tangisnya. Tentang kelaparannya, kehilangan dan kematiannya. Harusnya PDIP dan PSI tegas mengambil inisiatif dan solusi persoalan yang dihadapi rakyat di depan mata. Berani bertanya pada presiden soal rakyat yang hidupnya begitu sengsara. Tanyalah dan dapatkan jawabannya dengan solusi bukan akrobatik yang tidak lucu dan tidak bisa menghibur, bahkan melukai rakyat. Mengapa hanya bertanya pada seorang Anies Baswedan, gubernur DKI dengan segudang prestasi tapi tetap low profile dan senyum meski didzolimi?. Masihkah inisiator interpelasi DPRD DKI memiliki kehormatan?. Masihkah PDIP dan PSI punya kemaluan? Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.
Amandemen UUD 45 dan Nyali DPR
Hak interpelasi DPR untuk minta keterangan kepada MPR dan pemerintah terkait kebijakannya yang berdampak luas terhadap masyarakat luas, baik yang menyangkut transparasi maupun akuntabel harus ditunjukkan kepada rakyat secara horizontal dan integral. Oleh Sugengwaras Ini juga menyangkut isu-isu terkait diwacanakannya Amandemen UUD 1945 yang diprediksi akan mengantar dan membuka peluang pada jabatan presiden tiga periode, pengunduran pilpres ke tahun 2027, pengunduran pelaksanaan pilkada 2024 menjadi 2026 serta penyerentakan pilkada dan pilpres yang akan datang. Perencanaan yang cermat dari rezim Jokowi yang sering kebablasan dan mengabaikan aturan-aturan sebelumnya menjadi pelajaran kita semua di mana sering dimulai dari perubahan / pembaruan UU atau perppu sebelumnya sebagai landasan perubahan UU dan Perppu selanjutnya. Di sisi lain menjadi kekhasan Jokowi sejak perjalanannya menduduki jabatan Gubernur Jakarta maupun presiden RI yang berindikasi pura-pura tidak mau tapi sebenarnya mau! Dalam dunia politik tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri. Oleh karenanya menjadi PR kita bersama peka peduli dan antisipasi terhadap rencana-rencana tersebut di mana selama periode pemerintahan Jokowi, bermisi jauh, besar dan tinggi di luar kemampuan diri bahkan menggaruk kemampuan / potensi presiden yang akan datang. Jika wacana Amandemen jadi kenyataan, berarti ini merupakan perubahan / amandemen yang kelima kalinya. Sesungguhnya masalah perubahan tidak ada masalah selama itu memang urgen, signifikan dan bermanfaat bagi negara dan masyarakat. Namun dikaitkan situasi dan kondisi negara saat ini, terutama masih gamangnya penyelesaian pandemi Covid19 dan masalah-masalah krusial lainnya, ini yang perlu dipertimbangkan sebaik baiknya. Jika kita cermat, setiap visi dan misi Presiden perlu disepakati. Berangkat dari makna visi, sebagai pandangan, cita-cita dan tujuan jangka panjang, jauh ke depan, yang tidak harus konkret namun logis realistik, sedangkan makna misi sebagai cara mencapai tujuan jangka yang ditentukan, tahapan, maka ini yang harus dipahami kita semua. Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN), sebagai tahapan mencapai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) hingga kini belum dirumuskan dan belum terwujud. Jadi rumusan GBHN dan PPHN inilah yang lebih utama diwujudkan ( tiap periode menjalankan PPHN dalam rangka menunujang GBHN), dengan kata lain PPHN merupakan misi / target tiap periode dalam rangka mendukung GBHN yang akan dilaksanakan pada periode periode selanjutnya. Jadi kesimpulannya, wacana perumusan GBHN untuk jangka waktu 25 tahun dan PPHN untuk tiap 5 tahun (satu periode) lebih utama dari pada merumuskan wacana jabatan presiden tiga periode. *) Purnawirawan TNI AD
PPHN adalah Kudeta Haluan Negara
By M Rizal Fadillah PPHN atau Pokok Pokok Haluan Negara yang secara formal diperkenalkan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo saat mengantarkan Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi, yang berbaju adat, tanggal 16 Agustus 2021 sebenarnya sudah dicanangkan oleh PDIP sejak tahun 2015 dan diperkuat tahun 2019. Masa kepresidenan Jokowi. Setelah gagal di DPR untuk menggolkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang mengarah pada Ekasila yaitu Gotong Royong dan atau menghidupkan Pancasila 1 Juni 1945 untuk “menggantikan” spirit Pancasila 18 Agustus 1945, maka kini gagasan itu dicoba untuk masuk ke ruang MPR melalui PPHN. Perencanaan jangka panjang yang sekaligus menjadi arah dari bangsa dan negara untuk menggantikan GBHN. PPHN digagas dan diputuskan PDIP pada Kongres V Bali tahun 2019. Semestinya kembali ke GBHN, hanya saja PDIP alergi pada GBHN yang menjadi “benchmark” Orde Baru. Sukses GBHN dijalankan Presiden Soeharto “musuh” Soekarno. Sebenarnya secara normatif GBHN adalah ketentuan Pasal 3 UUD 1945 yang ditetapkan PPKI yang justru diketuai oleh Soekarno. Bagi PDIP, PPHN adalah gabungan GBHN era Soekarno dan Soeharto. Soal GBHN masa Soeharto kita semua sudah tahu, bahkan menjadi bahan ajar anak sekolah. Nah “GBHN” era Soekarno itu apa ? Ternyata berawal dari Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) yang basisnya adalah Manipol/Usdek (Manifesto Politik/UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Pidato Soekarno 17 Agustus 1962 berjudul “Tahun Kemenangan” berisi penegasan kewajiban rakyat Indonesia untuk bersatu padu dan bergotong royong memegang teguh Manipol/Usdek. Di era demokrasi terpimpin inilah kekuatan politik disatukan dalam “Nasakom”. Sementara kekuatan Islam dimarjinalisasi. Masyumi dibubarkan. Jika PPHN mengambil dasar filosofis dari pemikiran Soekarno era 1959-1965 maka nuansanya adalah demokrasi terpimpin Orde Lama. Jika digabungkan dengan GBHN, maka PPHN menjadi bersifat anti reformasi. Orla yang berkolaborasi dengan Orba adalah kemunduran sekaligus ancaman bagi demokrasi. Jika demikian, PPHN tidak lain adalah kudeta haluan negara. Karenanya amandemen UUD 1945 yang berencana menetapkan PPHN harus ditolak keras. Di samping dinilai akan mengacaukan konsentrasi penanganan pandemi covid 19, juga berbahaya karena akan membawa negara pada kemunduran berdemokrasi. PPHN adalah sebuah bid’ah Konstitusi yang menambah marak obrolan dan obralan tentang Amandemen. Pembahasan yang dipastikan membuang enerji dan hanya akan menciptakan kegaduhan baru. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bung Radhar Sudah Lurus
By M Rizal Fadillah APA yang ditulis oleh Radhar Tribaskoro berjudul "Bung Zulhas" itu sebenarnya sudah sangat benar. Artinya tidak ada hal yang menegasikan pandangan Zulhas. Hanya Radhar diujung tulisan membuat warning agar Zulhas dan partai nya tetap berjalan di jalur reformasi. Itupun sudah sangat tepat. Tulisan Lutfi Nasution yang mencoba meluruskan sebenarnya tidak perlu, apalagi sampai bahasa "terkejut". Radhar menegaskan bahwa sila keempat Pancasila tentang kerakyatan "yang dipimpin" tidak boleh disimpangkan menjadi demokrasi terpimpin sebagaimana pernah diimplementasikan pada periode kepemimpinan Soekarno 1959-1965. Presiden yang memiliki kekuasaan besar sering membangun tafsir sendiri soal norma-norma kenegaraan. Soekarno adalah contoh. Menurut Radhar tahun-tahun kepemimpinan Soekarno adalah "periode gelap" yang menjadikan Presiden sebagai diktator. Kediktatoran itu di samping disebabkan oleh tafsir sendiri atas norma kenegaraan juga akibat dukungan tanpa syarat dari lingkaran dalam dan luar atas kepemimpinan absolutnya. Ini yang dikhawatirkan Radhar kepada siapapun, termasuk Zulhas, yang bisa saja menjadi pendukung bagi pergeseran sistem pemerintahan ke arah demokrasi terpimpin. Menurut Radhar seharusnya keterpimpinan itu bukan pada personal tetapi pada nilai "hikmat dan kebijaksanaan" dengan mekanisme "permusyawaratan" sebagaimana rumusan tegas sila keempat Pancasila. Kewaspadaan ini menjadi penting mengingat fenomena politik saat ini adalah tampilan loyalitas tanpa syarat. Pertemuan puja puji Ketum Partai koalisi di Istana baru-baru ini menjadi contoh. Zulhas termasuk di dalamnya. Radhar sebenarnya mengingatkan dan mengkhawatirkan akan hal itu. Apalagi pemerintahan Jokowi sejak 2015 juga telah cenderung bersifat oligarkhis dan otoriter. Kooptasi dan kendali atas partai politik dapat menjadi peta jalan bagi demokrasi terpimpin sebagaimana dahulu Soekarno berhasil menghimpun kekuatan Partai Politik dalam wadah Front Nasional. Zulhas tentu saja tidak mendukung demokrasi terpimpin, tetapi melihat arah politik kini yang oligarkhis dan otoritarian bukan mustahil secara tidak disadari para Ketua Umum partai koalisi telah dan akan memberi andil bagi arah terwujudnya sistem pemerintahan demokrasi terpimpin tersebut. Radhar Tribaskoro sekadar mengingatkan. Bung Radhar tak perlu diluruskan. Ia menjadi radar rakyat yang mencium gelagat arah dari politik yang semakin buruk. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Reign of Fear: Cara Orang Bodoh Meminpin Negara
By Asyari Usman JUDUL tulisan ini lebih-kurang bermakna “menjalankan kekuasaan dengan cara menakut-nakuti”. Kalau Anda buka kamus, kemungkinan besar arti “reign of fear” (ROF) itu adalah “pemerintahan ketakutan”. Pada dasarnya, kekuasaan pemerintahan yang mengandalkan ancaman. Bisa ancaman pidana, ancaman penjara, ancaman penangkapan, dsb. Bahkan pembunuhan dan penyiksaan. Di bawah cengkeraman “reign of fear”, pihak oposisi dan pengeritik selalu dihantui ketakutan. Takut dipenjarakan. Takut serangan fisik. Dan takut proses hukum yang selalu dimenangkan oleh pihak yang berkuasa. Sumber hukum tertinggi “reign of fear” adalah dua pasal yang sangat terkenal di dunia hukum rimba. Pasal 1, penguasa tidak pernah salah. Pasal 2, kalau penguasa salah, lihat Pasal 1. Di Indonesia, “reign of fear” itu mengambil beberapa bentuk implementasi. Pertama, mengandalkan kebrutalan aparat keamanan. Ada demo, sikat. Ada gejala aksi protes meluas, tindas habis. Atau ditangkap dengan tuduhan yang bisa dibelok-belokkan sesuka hati penguasa. Peluru karet dan peluru tajam tak tentu lagi mana yang duluan dipakai. Gas air mata adalah kesewenangan yang teringan. Ciduk orang-orang yang terlihat “leading” di demo jalanan. Tujuannya adalah menimbulkan efek jera. Supaya orang takut berdemonstrasi. Kedua, mengandalkan pasal-pasal UU ITE. Yang digunakan untuk mengancam kaum oposisi pemakai media sosial (medsos). Juga untuk mengancam para penulis yang tak sejalan dengan penguasa. Pasal-pasal ITE sangat elastis. Bisa ke mana saja. Penggunaanya sama dengan berbagai pasal karet UU antisubversi di tahun 70-an hingga 80-an. Ketiga, pengendalian sejumlah platform media sosial (medsos) termasuk Facebook, Twitter, Youtube, dll. Para pejabat menggunakan kekuasaan mereka untuk memblokir atau menskorsing akun-akun medsos yang kritis. Keempat, tekanan langsung kepada media atau acara televisi yang populer di masyarakat tetapi merugikan penguasa. Penghentian talk-show Indonesia Lawyers Club (ILC) adalah contoh tindakan brutal terhadap media yang tidak memihak penguasa. Itulah antara lain praktik-praktik yang mendukung “reign of fear”. Tebar ketakutan di tengah masyarakat khususnya di kalangan pengguna media sosial. Dalam bentuk yang ekstrem, penguasa ROF tidak segan-segan melakukan tindakan yang tidak seharusnya terjadi di sebuah negara yang menerapkan demokrasi. Bentuk ekstrem ini antara lain pembunuhan sadis, penyiksaan, penghilangan, atau pencederaan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai musuh penguasa. Misalnya, pembacokan di jalanan oleh orang tak dikenal. Penyiraman air keras. Atau intimidasi langsung ke lingkungan tempat tinggal orang-orang yang kritis. Tindakan-tindakan sadis seperti contoh di atas sebagian terungkap sebagai operasi resmi atas nama institusi keamanan. Ada pula operasi oknum aparatur keamanan. Ini sangat menakutkan. Sebab, orang-orang kritis itu boleh dikatakan “tak berdaya”. Sangat rentan untuk diserang secara fisik di mana saja. Begitulah cara kerja ROF. Seram dan kejam. Itu mereka lakukan untuk menimbulkan ketakutan kepada orang yang bersuara sumbang terhadap penguasa. Seperti apa tipe penguasa yang menggunakan ROF? Secara universal, ROF dilakukan oleh orang-orang yang peradabannya adalah kebiadaban. Penguasa tak rela menerima kritik pedas. Kekerasan adalah argumentasi mereka. Di negara-negara otoriter, ROF tidaklah mengherankan. Tapi, sangat tak masuk akal kalau itu terjadi di negara dengan sistem demokrasi. Lalu, mengapa ROF bisa muncul di negara demokratis? Hanya ada satu kemungkinan. Bahwa cara ini adalah andalan utama para penguasa yang “terpilih secara demokratis” namun tidak memiliki kapabilitas (kemampuan) untuk mengelola negara. Kebodohan dan ketidakmampuan menjelma setiap hari. “Reign of fear” diaktifkan untuk menutupi ketidakmampuan dan kebodohan itu. Sebagai catatan, "reign of fear" dekat-dekat dengan "reign of terror". Yaitu, menjalankan kekuasaan dengan meneror rakyat sendiri. Cara-cara ROF memang bisa membantu para penguasa mempertahankan kekuasaan mereka. Tetapi, di sepanjang kekuasaan itu pula berlangsung ketegangan antara penguasa dan rakyat. Hubungan yang tegang itu adalah bom waktu. Pasti akan sampai ke detik-detik terakhir “timer”-nya.[] (Penulis wartawan senior FNN)
Luput Interpelasi Formula E, Muncul Petisi: GM Satu di Antara Inisiatornya
Oleh Ady Amar *) FRAKSI partai politik DPRD DKI Jakarta, PDIP dan PSI, gagal ajukan Interpelasi berkenaan dengan pembatalan penyelenggaraan Formula E, karena penolakan 7 fraksi partai politik lainnya. Akrobat dua partai tadi, itu hal yang sudah biasa dilakukan. Semua yang sedang dikerjakan dan akan dikerjakan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, menjadi aneh jika tidak disikapi negatif. Anies dibuat tanpa ada baiknya, dibuat tampak buruk. Maka, sekali lagi, hal biasa jika dua partai tadi bersikap menolak kebijakan yang dibuat Anies Baswedan. Kegagalan interpelasi itu diserupakan pahlawan yang gagal di medan laga. Maka di kantor DPRD DKI Jakarta, dipenuhi belasan karangan bunga tanda respek atas perjuangan dua partai tadi. Semacam tradisi "tipu-tipu" mencoba menggiring opini, seolah karangan bunga itu diberikan "rakyat" Jakarta karena perjuangan keras dua partai tadi. Gak jelas siapa pengirimnya, tapi muncul nama pengirimnya dibuat aneh-aneh, seperti ngasal saja dalam memberi nama. Misal, nama pengirimnya, "Forum Duda", "Pemerhati Teman Makan Malam", dan nama-nama aneh lainnya. Pengirimnya bisa jadi diri sendiri, dan itu untuk memuji diri sendiri. Hehehee... Sejak era Ahok kalah dari Anies di Pilkada DKI Jakarta (2017), tradisi kirim karangan bunga seperti dilestarikan. Saat itu ribuan karangan bunga dikirim atas kekalahan Ahok, seolah ingin disimbolkan bahwa kalahnya itu bukan kalah sebenarnya, tapi kalah oleh politik aliran yang dihembuskan kaum fanatik (Islam). Kalah yang tidak mau disebut kalah, lalu cari-cari alasan. Aneh memang, kalah kok dapat karangan bunga. Tapi sebenarnya ada cerita di balik karangan bunga itu. Begini ceritanya... Ahok-Djarot oleh pendukungnya sudah dibayangkan pemenang dalam pilkada DKI Jakarta 2017 itu. Segala hitung-hitungan sudah dibuat, segala cara sudah ditempuh. Maka perayaan kemenangan sudah direncanakan sebelum pencoblosan. Termasuk mempersiapkan ribuan ucapan kemenangan dengan karangan bunga. Uang pun sudah dibayarkan pada perusahaan jasa pembuat karangan bunga. Tapi setelah jagoannya dinyatakan kalah, sedang uang sudah dibayarkan, dan daripada uang hilang maka pesan dalam karangan bunga yang tadinya Selamat Atas Kemenangan... diubah menjadi ucapan bernada belangsungkawa atas kekalahan itu. Isinya dengan narasi macam-macam, intinya penuh ratapan. Maka pengiriman karangan bunga dijadikan media politik absurd. Jadi tradisi yang berketerusan, itu bisa dilihat juga saat Pangdam Jaya, Mayjen Dudung Abdurrahman perang terhadap ratusan baliho Habib Rizieq Shihab. Maka markas Pangdam Jaya dipenuhi karangan bunga, yang intinya dukungan atas langkah "perang" lawan baliho. Tradisi karangan bunga yang dikirim berikutnya, pasca keoknya Ahok, itu tampak ada kaitan dengan mereka yang belum move on dengan kekalahan pilkada DKI Jakarta. Habib Rizieq dianggap sosok yang bekerja keras memenangkan Anies saat itu. Makanya itu Pangdam Jaya dianggap simbol pahlawan dalam "peperangan" melawan Habib Rizieq. Sedang "mengerjai" Anies, yang selalu diwakili PDIP dan PSI, itu bukan sekadar memori kekalahan 2017 yang tidak terlupa, tapi lebih pada menjegal agar Anies bukan sosok yang pantas tampil pada perhelatan Pilpres 2024. Menggagalkan penyelenggaraan Formula E dengan dalih macam-macam, itu juga bagian dari itu. Dan tentu tidak akan berhenti, akan terus ada berbagai macam godaan "ditembakkan" pada Anies. Muncul Petisi Gagal lewat Interpelasi di DPRD DKI Jakarta, yang diwakili PDIP dan PSI, langkah menggagalkan Formula E ini diteruskan lewat Petisi, yang digagas 19 orang. Dari 19 orang ini ada jurnalis gaek Goenawan Mohamad (GM), musisi Ananda Sukarlan, yang memang Ahokers sejati, yang menjadikan Anies musuh sepanjang masa. Lalu politisi senior yang sudah pensiun, Sarwono Kusumaatmadja, sosiolog UI Imam Prasodjo. Tidak ketinggalan intelektual Yudi Latif, Akhmad Sahal, Inayah Wahid, dan lainnya. Cukup bervariasi mereka yang buat petisi yang ditujukan pada ke-7 Fraksi DPRD DKI Jakarta yang menolak Interpelasi. Intinya, mereka setuju bahwa silahkan menyelenggarakan perhelatan Formula E, tapi tidak menggunakan dana APBD. Heheheee... Seperti tawar-menawar saja lagaknya. Interpelasi tidak diinginkan diselenggarakan Formula E, karena masa pandemi. Sedang petisi diarahkan untuk tidak memakai dana APBD. Petisi dicukupkan hanya 500 penandatangan. Mungkin mereka merasa bahwa jumlah segitu sudah dianggap cukup mewakili warga Jakarta. Tidak persis tahu latar belakang inisiator mengajukan petisi itu, apakah memang ada hal pribadi masa lalu yang mengganjal yang tidak bisa dihilangkan bersangkutan dengan Anies Baswedan. Mungkin beberapa orang darinya bisa terlacak, tetapi yang lain tampaknya tidak berhubungan. Tampak lebih sebagai solidaritas antarkawan. Jika tidak, maka mereka yang senior itu seharusnya melakukan tabayun menemui Anies di Balai Kota DKI, guna mendiskusikan dengan berkenaan penyelenggaraan Formula E itu. Bukan lalu membuat petisi segala. Banyak peristiwa lebih dahsyat yang muncul di republik ini, misal tentang KPK yang dimandulkan, atau saat pembahasan UU Cipta Kerja, pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, yang biayanya membengkak dari Rp 86,1 triliun, jadi Rp 113 triliun. Naik Rp 26,91 triliun... mereka adem-adem saja, gak keliatan geliatan penolakannya. Eh giliran Anies mau buat ajang internasional, yang itu akan mengangkat tidak saja nama Jakarta, tapi juga nama Indonesia, kok mesti direcoki. Maunya apa sih, tahun 2024 masih jauh, lagian Anies pun belum tentu diusung partai politik yang ada untuk maju sebagai Capresnya. Heran juga lihat sikapnya, paranoid kok dipelihara! (*) *) Kolumnis
Jokowi Ria
By M Rizal Fadillah JIKA kita memberi makan burung dara yang berkerumun maka kita melempar dan menaburkan makanan. Begitu juga ketika memberi makan ayam-ayam, maka hewan itu akan berebut mematuk makanan yang baru ditaburkan tersebut. Senang hati rasanya melihat perebutan seru. Begitulah gambaran Jokowi yang melempar bingkisan ke tengah masyarakat yang berkumpul. Mereka tampaknya dianggap hewan-hewan yang mesti diberi makan. Harus berpayah-payah masuk selokan kotor karena kaos yang dilempar ternyata nyebur ke selokan tersebut. Presiden telah kehilangan nurani kemanusiaan. Sungguh mengerikan. Tega rakyat diperlakukan demikian apalagi mereka harus berdesakan, bertubrukan, atau berebutan untuk mendapatkan bingkisan yang dilempar-lempar tersebut. Hal demikian sebenarnya adalah satu bagian saja dari episode kepemimpinan Presiden Jokowi. Drama, hiburan, pernak pernik yang ada di sekitar Jokowi. JIka dulu ada Kamera Ria, Aneka Ria Safari, atau Ria Jenaka, maka kini ada Jokowi Ria. Ini bukan Jokowi-nomics karena terlalu berat menampilkan prestasi ekonomi khas Jokowi yang melesatnya ke bawah, bukan pula Jokowi-mania atau kharisma karena mereka yang berkerumun di sekitar mobil Presiden belum tentu karena cinta kepada Jokowi tetapi cinta kepada sembako, bingkisan, dan kaos. Mereka nekad melanggar prokes demi lempar-lemparan itu. Jokowi Ria dalam konteks agama tentu dilarang karena merupakan akhlak buruk. Tepatnya Jokowi riya. Riya difoto sendiri di pantai, di sawah, atau jongkok di pinggir jalan kereta dan di kolam kodok-cebong. Jika hal itu tujuannya adalah agar dipuji puji, maka haram hukumnya. Gila pujian namanya. Kasus para Ketum Partai koalisi yang berlomba memuji-muji Jokowi saat dikumpulkan di Istana adalah fenomena ganjil dan berbahaya karena bisa membuat Jokowi melambung atau menggelembung. Belum ada prestasi yang signifikan soal penanganan Covid 19. Justru faktanya adalah hutang dan pemborosan keuangan. Korupsi pun terjadi. Rosulullah SAW mengajarkan apabila ada orang di sekitar yang memuji-muji di hadapan kita maka lemparlah ia dengan pasir. Nabi mengingatkan bahwa puja-puji itu dapat mencelakakan dan membuat kita menjadi orang yang berkarakter narsistik atau riya'. Nah semestinya Pak Jokowi kemarin melempar pasir ke wajah Mega, Prabowo, Airlangga, Zulkifli, Surya Paloh dan lainnya karena puja puji mereka itu jelas berbahaya. Dapat melalaikan dan menjatuhkan. Tetapi sikap itu berlaku jika memang Jokowi mau mengikuti Sabda Nabi. Jika tidak ? "Yo wes, sakarepmu lah". Emang gue pikirin. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Interpelasi Anies: PDIP dan PSI Masih Ada Luka Pilkada 2017?
By Asyari Usman JAJARAN pimpinan PDIP Jakarta dan pimpinan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merasa sangat senang dikirimi karangan bunga yang mendukung interpelasi terhadap Gubernur Anies Baswedan terkait penyelenggaraan Formula E (FE). Mereka mengatakan, balap mobil listrik itu akan membuang-buang uang rakyat. Interpelasi adalah hak anggota DPR atau DPRD untuk meminta keterangan kepada pemerintah atau pemerintah daerah tentang kebijakan strategis yang berdampak luas. Soal penyelenggaraan balap mobil listrik internasional (yang dinamakan Formula E), memang bisa saja dibawa ke interpelasi. Salahkah Anies membawa FE ke Jakarta? Pertanyaan ini hendaklah dijawab secara objektif melihat kondisi dan kemampuan Pemprov DKI. Faktor lainnya adalah edukasi tentang energi bersih dan bebas polusi. Formula E dibawa ke Jakarta bukan karena Anies ingin dilihat top. Bukan juga karena gagah-gagahan. FE adalah simbol “green energy” (energi hijau). Dengan menghadirkan FE di Indonesia, Gubernur Anies ingin berpartisipasi dalam menggalakkan penggunaan mobil yang tidak berbahan bakar fosil (minyak bumi). Harus diakui, di seluruh dunia upaya penggalakan mobil listrik (green energy) tidaklah mudah. Jumlah kendaraan listrik hanya 2% dari total kendaraan yang diproduksi. Hanya orang-orang yang memiliki kesadaran yang tinggi tentang lingkungan, yang antusias memakai mobil listrik. Tetapi, kampanye mobil listrik harus dilakukan terus-menerus. Dan itulah salah satu tujuan Anies menyelenggarakan FE di Indonesia. Untuk menumbuhkan kesadaran tentang kendaraan bebas polusi. Formula E adalah bagian dari kampanye panjang dan melelahkan untuk menggalakkan “clean energy” (energi bersih). Apakah Pak Gubernur perlu ikut dalam kampanye ini? Pastilah perlu. Jakarta adalah salah satu kota di dunia yang menghasilkan polusi asap kendaraan dalam jumlah besar. Jadi, dari sisi ini, Anies berpikir jauh ke depan. Strategi yang menjangkau keperluan mendesak untuk membebaskan ibukota dari polusi kendaraan berbahan bakar minyak. Biaya penyelenggaraan Formula E memang relatif besar. Sampai sekitar 4.4 triliun. Sekitar 10% dari pendapatan asli daerah (PAD) Jakarta yang pada 2018 lalu mencapai 44.5 triliun. Memang di masa wabah Covid ini PAD menurun drastis. Dilihat sepintas, biaya FE itu tidaklah kecil? Tetapi, bukan juga angka yang akan “menyulitkan” keuangan Pemprov. Lagi pula harus diingat bahwa biaya 4.4 triliun itu adalah untuk penyelenggaraan selama 5 (lima) tahun, mulai tahun 2022. Kalau para anggota DPRD dari PDIP dan PSI hanya melihat biaya penyelenggaraan Formula E dengan kaca mata kuda, tentu terasa cukup besar. Namun, perlu ditengok pula aspek pendidikan lingkungan yang akan dihasilkannya. Jadi, penyelenggaraan Formula E tidak hanya sekadar menghadirkan balap internasional di Indonesia. Perhelatan ini merupakan “politik energi” Anies yang sangat diperlukan guna mendorong penggunaan kendaraan bebas polusi. Yaitu, kendaraan bertenaga listrik. Saudara-saudari dari PDIP dan PSI tak mungkin tidak paham tentang “clean energy” (energi bersih). Untuk sektor transportasi, mobil listrik adalah masa depan yang sedang disiapkan oleh semua negara maju di dunia. Indonesia tidak mungkin “asal ikut” saja dalam proses peralihan energi yang sangat krusial saat ini. Para pakar polusi memberikan peringatan bahwa seluruh dunia hanya punya waktu 10 tahun saja untuk pindah ke energi bersih sebelum terjadi “climate change” (perubahan iklim) yang sangat berbahaya. Kita semua, termasuk para politisi, hendaklah membaca persoalan besar yang bakal melanda manusia. Partisipasi Anies untuk mendorong penggunaan mobil listrik lewat Formula E, belum apa-apa dibandingkan invetasi besar negara-negara lain dalam upaya melenyapkan polusi. Terakhir, kepada bapak-ibu dari PDIP dan PSI di DPRD DKI. Marilah kita melihat lebih objektif dan jauh ke depan. Mungkin perlu ditinjau ulang. Apakah interpelasi yang Anda gagas untuk Formula E itu benar-benar bermotifkan kepentingan publik, atau karena masih ada luka Pilkada 2017? Semoga tidak![] (Penulis wartawan senior FNN)
Niat Pak Jokowi Sih Baik...
Oleh Ady Amar *) ADA saja ulah Presiden Jokowi yang tampak salah di mata mereka yang kerap mengkritisinya. Semua yang dilakukan dikesankan salah. Begini salah, begitu salah... segalanya lalu tampak salah. Apa memang benar-benar salah yang dilakukannya, atau itu cuma nyinyiran kaum yang memilih tempat tidak sejajar dengannya. Pak Jokowi masuk kampung ke luar kampung pun dikomentari, itu sih blusukan style yang dipilihnya, memastikan jalannya pelaksanaan vaksin di sebuah Kelurahan di Jakarta, eh kok malah dikatakan, itu sih kerjaan mantri kesehatan. Juga saat ninjau peternakan bebek di Kalimantan Tengah eh dikatakan, itu cara ia menghindar dari istana yang tengah dikepung para demonstran UU Cipta Kerja. Pokoknya Pak Jokowi terkesan salah terus, dan jadi bahan candaan. Mungkin tak ada presiden sebelum-sebelumnya yang dijadikan candaan melebihi Pak Jokowi. Tapi ya biasa sajalah wong namanya publik figur sekelas presiden, maka wajar jika sering ditiup angin kencang. Makin tinggi jabatan seseorang, maka goyangan angin akan semakin keras. Kebiasaan Pak Jokowi ini sepertinya memang suka mancing-mancing agar ada komen tidak sedap yang didapat. Mungkin harapnya, makin banyak yang nyinyir komen tidak wajar tentangnya, itu bisa meluruhkan dosa-dosanya. Makanya ia tampak mengulang hal yang sama dilakukan, yang lalu mengundang cibiran nyinyir banyak pihak, dan sepertinya itu nyinyiran para pihak yang bukan sembarang nyinyir. Itu bentuk protes yang sepantasnya. Mengulang hal yang sama pada waktu dan cara tidak tepat memang acap dilakukan Presiden Jokowi. Dan itu tampak kontradiktif. Tampaknya hal itu yang mengundang komen tidak sedap atasnya. Beberapa hari sebelumnya, Presiden Jokowi mengumumkan lanjutan PPKM, artinya pelarangan terhadap keramaian yang menciptakan kerumunan, tapi justru ia lagi-lagi yang menciptakan kerumunan. Saat kunjungan ke Cirebon Selasa (31 Agustus), Jokowi membagi-bagikan sembako, yang mengundang kerumunan massa saling dorong. Kesan yang ditampakkan Pak Jokowi itu memang bukan kesan yang baik, dan jika muncul komen nyinyir menyikapinya, itu konsekuensi atas sikapnya yang kontradiktif. Bagaimana mungkin bisa berkumpul sikap melarang dan melanggar sekaligus pada diri seseorang, dan itu dilakukan seorang Presiden. Melihat dari Teori Millon Niat Presiden Jokowi itu sih sebenarnya baik, tapi dilakukan pada waktu yang tidak tepat. Dan bahkan masuk kategori salah. Kebiasaan mendatangi rakyat langsung dengan membagi-bagi sembako dan apalagi melempar-lempar bingkisan pada kerumunan, pada masa pandemi lagi, itu tentu bukan hal tepat bahkan masuk kategori pelanggaran. Keheranan kelompok yang biasa mengkritisinya, tampak wajar. Sikap Presiden Jokowi, yang di satu saat melarang kerumunan, tapi tetap berharap punya keistimewaan boleh melanggar larangan yang dibuatnya, itu hal aneh. Sepertinya, keinginan untuk melanggar itu bukan hal yang diniatkan, tapi jadi kebiasaan dan keasyikan tersendiri. Senang melihat orang berebutan, memang pada orang-orang tertentu jadi keasyikan tersendiri. Tidak salah jika lalu orang menyebut ada sikap yang salah yang dipunyai Presiden Jokowi dengan melempar-lemparkan bingkisan, itu seperti menghina akal sehat saja. Bukankah itu laku merendahkan dan bahkan bisa disebut penghinaan, meski tidak dimaksudkan demikian. Presiden Jokowi seolah ingin mengatakan, ini cara saya menghibur rakyat yang saya temui di jalan. Memangnya tidak ada cara lain bisa dilakukan, dengan tidak harus melempar-lempar bingkisan, yang bisa menyenangkan rakyat. Memang rakyat yang tengah terpuruk dan butuh sembako tidak akan pernah merasa risih diperlakukan demikian. Tapi akal sehat pastilah menolaknya. Melihat cara Presiden Jokowi mendekati rakyat, dengan memilih model yang menimbulkan kerumunan, dengan melempar-lempar bingkisan, itu sebenarnya bukan cuma membuat setidaknya orang yang menerima senang, tapi terutama justru membuat dirinya senang. Melihat tangkapan orang yang menerima lemparan bingkisan sambil berebutan, itu akan menyenangkan buatnya. Apalagi sampai adegan nyosop segala. Saya jadi teringat pada masa kanak-kanak dulu, dimana kawan sepermainan yang tergolong kaya dibanding yang lainnya, suka "menggarap" kawan lainnya dengan kelakuan tidak wajar. Tentu yang disasarnya kawan yang memang dari keluarga yang secara ekonomi benar-benar sulit... Ditraktir oleh kawan keluarga kaya tadi, tapi dengan tantangan makan rujak dengan lombok 25 biji. Kawan yang berharap bisa makan rujak tadi mengiyakan tantangan tadi. Dimakannya dengan lahap rujak itu dengan mulut yang menahan pedas dan dahi berpeluh, sampai habis sepiring beserta bumbu-bumbunya. Itu sesuai kesepakatan bahwa piring harus bersih mengkilap. Kawan yang mentraktir tadi senang melihat adegan itu, sambil tertawa-tawa lepas tanda puas. Seorang kawan bijak yang dalam segi usia lebih tua menasihati, mengapa mentraktir harus dengan cara tidak baik. Nasihat itu diabaikan, baik kawan yang mentraktir maupun yang ditraktir dengan memilih tidak menanggapinya. Bukannya lakunya itu berhenti, justru jumlah lomboknya ditingkatkan menjadi 30 biji dan seterusnya... tampaknya "menyiksa" itu jadi keasyikan tersendiri buatnya. Itu masa kanak-kanak, tentu kepribadian belum terbentuk sempurna, dan nilai-nilai agama belum tertanam dengan baik. Maka, kelakuan pada masa kanak-kanak itu bisa dimengerti, meski berharap saat ini tidak ada bullying anak-anak jadi model kenakalan dengan "menyiksa" pihak kawan lainnya. Teori Millon (Theodore Millon), salah satu di antara beberapa teori dalam ilmu kepribadian yang terkenal. Teori ini melihat kepribadian seseorang yang tidak wajar, dan menyimpulkan 14 macam kepribadian, yang itu bisa dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar. Meski demikian, terjadi juga percampuran kepribadian pada seseorang, yang memiliki beberapa ragam kepribadian berbeda, dan itu tentu makin tidak wajar. Tiga kelompok besar, itu dikategorikan dalam kelompok A, B dan C. Kelompok A, disebut kelompok dengan kepribadian unik. Kelompok B, biasa disebut dengan kelompok berisik. Sedang kelompok C, disebut kelompok pendiam dan cenderung berada dalam kecemasan. Dari ke-14 jenis kepribadian, itu di antaranya adalah depresive, narsistik, antisocial, sadistic, negativistic, paranoid, schizoid, avodant, depressive, dependent, histrionik, compulsive, masochistik, dan schizotipal. Tidak tahu persis, saya dan Anda ada dikategori mana dalam teori Millon, dan tentu kepribadian Pak Jokowi juga ada di kelompok mana, itu bisa dilihat dari kepribadian tidak wajar yang cenderung dilakukan terus-menerus. Tapi tentu tidak boleh gegabah membuat kesimpulan, bahwa seseorang memiliki kepribadian tidak wajar, hanya melihat luarnya saja. Dibutuhkan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif, tentu itu tidak bisa dipukul rata. Tulisan ini tidak dimaksudkan menilai kepribadian seseorang, apalagi kepribadian seorang Presiden Jokowi, tapi lebih pada menjelaskan, bahwa niat baik saja untuk membantu, itu tidak cukup... apalagi dengan cara lempar-lempar bingkisan. Tentu itu tak elok dipandang mata... (*) *) Kolumnis