Agama Para Buzzer

Oleh Ady Amar *)

ADA yang bertanya, apa sih agama para buzzer itu? Pertanyaan serius tentunya. Memang pantas itu ditanyakan. Fenomena buzzer makin hari makin menjadi atau ngelunjak dengan intensitas menyerangnya, bahkan melecehkan agama. Sudah keterlaluan.

Maka menjadi wajar jika ada yang bertanya, apa sebenarnya agama para buzzer itu. Karena mustahil orang beragama apalagi mengaku Islam, bisa menjadi buzzer. Teringat apa yang dikatakan Allahyarham Ustadz Tengku Zulkarnain, berkenaan posisi seseorang yang mengaku Islam tapi berprofesi sebagai buzzer, "Jika ia beragama Islam, maka ia telah murtad."

Makna murtad di sini tentu tidak semacam Sukmawati Soekarnoputri, yang deklarasi pindah agama dengan melakukan ritual Sudhi Wadani, upacara pelepasan agama ayah bundanya, dan memilih agama Hindu. Pastinya itu juga akan dilanjut dengan perubahan pada kolom agama di KTP nya.

Murtadnya para buzzer, sebagaimana dimaksud Ustadz Tengku Zul di atas, itu tidaklah akan sampai berani melepas agama Islam di KTP nya, meski tiap saat mereka menyerang Ulama dan para aktivis dakwah. Bahkan agamanya sendiri dilecehkan dan jadi bahan candaan. Pilihan sikap itu yang bisa disebut murtad.

Tapi ada pendapat lain menyebut, bahwa sebenarnya para buzzer itu tidak beragama (atheis). Karena cuma atheis yang bisa mencaci maki dan mengolok agama (Islam) sepuasnya. Itu bisa diserupakan dengan era Orde Lama dulu, di mana kesenian ludruk, yang saat itu jadi primadona tontonan rakyat, disusupi Lekra, sebuah lembaga kesenian rakyat yang berafiliasi pada PKI. Kerap lakon pertunjukannya menghina Islam. Bahkan menyerupakan Allah dengan makhluk, yang bisa kawin dan mati. Misal, muncul pertunjukan ludruk di Jawa Timur, tahun 1960 an, dengan lakon Gusti Allah Mantu (Tuhan Dapat Menantu) dan lakon Matinè Gusti Allah (Matinya Tuhan).

Maka korelasi bisa ditarik, bahwa agama seseorang, apapun itu, jika memilih buzzer sebagai profesi, itu sebenarnya pilihan menjadi murtad, pilihan menjadi atheis.

Karenanya, pertanyaan apa agama para buzzer, itu setidaknya bisa terjawab: tidak beragama dan bahkan tidak mengakui keberadaan Tuhan (atheis). Bisa atas kesadarannya sendiri memilih jalan atheis, atau bisa karena kebodohannya yang menjadikan ia atheis. Mayoritas para buzzer memang bodoh, bahkan masuk kategori akut, yang cuma bisa mendengung atau menggonggong jadi profesi dengan imbalan tidak seberapa. Perbuatan yang cuma bisa dilakukan oleh orang yang tidak beragama.

Dengan menanggalkan agama, para buzzer itu menjadi fasih dalam menghina agama sesukanya. Tidak merasa sedikit pun jengah dengan apa yang diperbuat. Adalah hal biasa, jika agama jadi bahan candaan-hinaan. Itu bisa makin menjadi, jika hati memang sudah lama mati.

Mereka tiap saat menjadi makin beringas memproduk ujaran hinaan/pelecehan pada ulama lurus, yang berdakwah amar ma'ruf nahi munkar. Pelecehan juga menyasar pada tokoh yang punya kepakaran pada bidang tertentu, yang memilih berjarak dengan rezim pemerintahan. Maka, para buzzer menyerang yang bersangkutan dengan menyasar personalnya secara kasar dan sadis. Setidaknya hari-hari ini suasana demikian dihadirkan.

Kesabaran pun Ada Batasnya

Para buzzer acap beraksi dengan laku aneh-aneh, laku bodoh, yang pastinya ingin mengundang respons. Baru saja pentolan buzzer diberitakan menikah, itu secara Islami. Tiba-tiba memposting dengan istrinya sedang sembahyang di Pura, tampaknya di Bali. Postingan yang berharap umat Islam merespons marah dengan kelakuan bodohnya itu. Tapi yang muncul justru netizen beramai-ramai mendoakan, agar yang bersangkutan bisa secepatnya pindah agama. Umat sepertinya senang jika ia pindah agama.

Para buzzer itu, banyak kalangan menyebut, bekerja untuk istana. Bekerja untuk rezim. Memang itu yang tampak. Maka setiap yang mencoba mengkritisi kebijakan rezim, maka bersiap-siap dihajar para buzzer di seputar kekuasaan. Bukan dengan beradu argumen ilmiah dengan pengkritik kebijakan tadi, tapi menghajar personal yang bersangkutan dengan hal yang sama sekali tidak ada hubungan dengan apa yang dikritik- dikoreksinya.

Membuka aib yang bersangkutan, meski itu dengan tidak sebenarnya, memfitnah. Itu hal biasa. Dilakukan agar menimbulkan ketakutan pada yang lain untuk tidak coba-coba nekat memilih jadi oposan berseberangan dengan rezim. Maka, siapa saja akan dihajar dengan dirusak nama baiknya, bahkan jika itu harus menyasar pada bapak kandungnya sekalipun, buatnya itu tidak masalah.

Fenomena buzzer dihadirkan dengan cakupan pekerjaan tidak saja mengamankan kebijakan rezim, tapi juga menghantam pejabat siapa pun itu, yang sekiranya bisa menjadi ancaman kekuatan masa depan. Maka, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, jadi pihak yang disasar terus menerus dengan pemberitaan tidak sebenarnya. Di mata para buzzer, Anies tampak tidak ada baik-baiknya, tidak ada benar-benarnya, bahkan tidak berprestasi. Anies dikesankan sebagai gubernur gagal. Publik seolah bisa digiring dengan nalar koplaknya.

Menghantam terus menerus pada tokoh tertentu, itu seperti gerakan yang dikomando. Atau kata lain dari "pesanan", sebuah konsekuensi dari pekerjaan yang dipilihnya. Maka, jangan heran jika karya berjibun yang ditoreh Anies Baswedan, seperti tidak terlihat. Bahkan dicari kesalahan, meski tidak ditemukan, tetap saja digoreng dengan tidak sebenarnya. Maka, jagat pemberitaan pada Anies dibuat atau dihadirkan dengan negatif yang tidak sebenarnya.

Anies Baswedan, juga para ulama yang memilih dakwah tidak hanya bisa menyanjung penguasa, tanpa bisa memerankan peran nahi munkar, itu pun jadi sasaran empuk dihajar para buzzer. Habib Rizieq Shihab, Ustadz Abdul Shomad diantaranya, terus dihantam bertubi-tubi sekenanya. Ia dikesankan seolah musuh utama negara. Teranyar adalah Ustadz Dr. Anwar Abbas, Wakil Ketua MUI, yang memang kritis jadi sasaran untuk dikesankan buruk. Bahkan MUI sebagai lembaga berkumpulnya Ormas-ormas Islam pun disasar dengan menyuarakan pembubarannya. Itu karena satu anggota pengurusnya dicokok Densus 88, padahal itu baru dugaan terlibat jaringan teroris.

Kerja para buzzer ini sudah terlalu jauh dan amat berbahaya. Mestinya, perannya dihentikan. Sudah pada tahap mengkhawatirkan jika harus diterus-teruskan. Kesabaran umat pun ada batasnya, dan itu mestinya disadari.

Para buzzer memang tidak mengenal kata dosa. Karenanya, tidak merasa ada pertanggungjawaban pada Tuhan, tentu dalam pandangan umum, menjadikan sikapnya merasa tidak ada yang perlu ditakutinya. Ditambah lagi, apa saja yang dilakukan itu aman-aman saja. Tidak berlaku UU ITE buatnya. Ia menjadi kebal hukum. Para buzzer memang tampak dimanjakan. Tapi waktu pun terus bergerak, dan pada saatnya akan mampu menghentikan kesewenangan. Gusti Allah ora sare. (*)

720

Related Post