OPINI

Antara Habib Rizieq dan Pinangki, Keadilan Suka-suka yang Dipertontonkan

Oleh Ady Amar *) AKHIRNYA Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, menguatkan putusan PN Jakarta Timur kepada Habib Rizieq Shihab, yaitu hukuman 4 tahun penjara, Senin, 30 Agustus. Itu berkaitan dengan perkara tes swab RS Ummi Bogor. Habib Rizieq dianggap bohong karena mengatakan dirinya sehat, dan karenanya menimbulkan keonaran. Putusan PT DKI Jakarta itu tidak terlalu mengejutkan, sepertinya sudah seharusnya diberikan pada Habib Rizieq. Sehingga suara PN Jakarta Timur dan PT DKI Jakarta seperti koor saja. Pokoknya ia harus dihukum, dan itu 4 tahun. Jika lalu orang berasumsi, itu agar pelaksanaan Pilpres 2024 tidak "direcoki" manusia satu ini, itu pun tidak salah. Mengadangkan dalam sel Habib Rizieq sampai Pilpres berlangsung, itu kesan yang ditangkap publik. Keonaran apa yang ditimbulkan Habib Rizieq dengan bohong atas kesehatannya, itu tidak ada yang bisa membuktikan. Pokoknya tuduhan ada keonaran yang ditimbulkan, dan jaksa penuntut umum (JPU) bisa leluasa menjerat dengan pasal tuntutan memberatkan, 6 tahun. PN Jakarta Timur memvonis 4 tahun penjara, lalu dikuatkan PT DKI Jakarta dengan vonis yang sama. Bohong dengan menyatakan diri sehat, yang kemudian hasil tes swab PCR positif Covid-19, itu tidak dapat dikatakan bohong. Saat itu Habib Rizieq merasa sehat, maka ia katakan sehat, itu sebelum hasil tes keluar. Dan setelah hasil tes keluar dan positif, maka ia melakukan isoman di rumah. Bohong itu jika hasil tes sudah keluar dan jelas hasilnya positif, tapi ia mengatakan sehat, maka itu disebut bohong. "Bohong" yang tidak dapat dikatakan bohong, itu sebenarnya pintu masuk saja untuk memenjarakannya. Ditambah tuntutan bohong yang menimbulkan keonaran, itu agar majelis hakim bisa memvonis seberat-beratnya. Jadi, sekali lagi, tidak ada yang aneh. Itu hal yang memang sepertinya sudah "ditetapkan", agar hukuman tetap ditetapkan 4 tahun penjara. Hukuman itu diberikan untuk perbuatan yang tidak diperbuat Habib Rizieq. Tidak bohong tapi nalar publik dipaksa untuk menganggap ia berbohong, dan juga tidak ada keonaran, tapi lagi-lagi itu mesti dianggap ada keonaran yang ditimbulkan. Hukum suka-suka pada Habib Rizieq Shihab terang benderang ditampakkan, dan itu mencederai rasa keadilan. Manusia satu ini seolah manusia berbahaya, dan karenanya harus dipenjara meski tanpa kesalahan. Habib Rizieq Shihab, lewat pengacaranya melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Kita lihat saja nanti, apakah MA akan membebaskannya karena ia tidak terbukti bersalah, atau... Istimewanya Pinangki Ada tiga tuntutan pada jaksa Pinangki Sirna Malasari. Ia terpidana kasus suap, melakukan tindak pidana pencucian uang, dan melakukan permufakatan jahat dalam perkara pengurusan fatwa bebas untuk Djoko Tjandra. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), menjatuhkan vonis 10 tahun, dari tuntutan JPU yang 4 tahun. (Bandingkan kasus Habib Rizieq Shihab pada perkara "bohong" dan "keonaran" yang tidak terbukti, itu dituntut JPU 6 tahun). Pinangki memang terpidana istimewa. Meski perbuatannya perbuatan nista berat, ia tetap diistimewakan dengan suka-sukanya pengadilan. Ia yang semula divonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Pusat 10 tahun penjara, melakukan banding pada PT DKI Jakarta. Maka PT DKI Jakarta memberinya korting 6 tahun. Hukumannya ditetapkan jadi 4 tahun. Alasannya, karena yang bersangkutan masih punya anak kecil. Kok enak .tenan. Dan JPU tentu tidak berkehendak kasasi ke MA, karena terpidana mendapat keistimewaan pemotongan hukuman luar biasa. JPU tampak "melindungi" garong Pinangki, yang sesama korps Adhyaksa. Jika orang lalu membandingkan "kesalahan" tidak bersalah Habib Rizieq itu dengan garong Pinangki, yang sama-sama divonis PT DKI Jakarta 4 tahun penjara. Maka keduanya mustahil bisa diperbandingkan, kecuali pada hukumannya yang sama-sama sesuka-sukanya. Tapi yang pasti keduanya memang sama-sama ditarget. Yang satu (Habib Rizieq Shihab) ditarget hukuman berat meski ia tidak melakukan kesalahan. Dan satunya lagi (Pinangki) meski garong, ia ditarget dengan hukuman seringan mungkin. Garong memang tampak dimuliakan, itu terbukti dengan kasus Pinangki. Sedang penegak amar ma'ruf nahi munkar, semacam Habib Rizieq, itu seolah musuh yang mesti dipenjarakan. Masih berharap pada MA? Tentu berharap keadilan akan diputus MA atas kasus Habib Rizieq Shihab dengan putusan pembebasannya. Optimistis dalam mencari keadilan atas kasus Habib Rizieq, ini mesti terus diikhtiarkan. Tidak perlulah umat terlampau larut dalam kesedihan panjang atas putusan PT DKI Jakarta. Mengetuk pintu langit wajib terus digelorakan, agar bantuan-Nya segera ditampakkan. Kita semua jadi saksi atas pengadilan sesat yang terus dimunculkan, yang itu pantas diakhiri dengan campur tangan Tuhan. Meminta Tuhan ikut hadir, itu sebuah pengharapan tidak sia-sia, bahkan seharusnya. (*) *) Kolumnis

Ketidakadilan Itu Dilawan, Bukan Dikeluhkan

By Asyari Usman PENGADILAN Tinggi (PT) Jakarta menguatkan vonis 4 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur atas Habib Rizieq Syihab (HRS). Jalan berikutnya adalah kasasi. HRS dihukum oleh PN dengan dakwaan berbohong soal hasil tes swab RS Ummi Bogor. Para pendukung HRS merasa tidak adil. Sangat tidak masuk akal kasus tes swab yang sangat sepele itu diganjar hukuman penjara 4 tahun. Sebetulnya, mungkin kasus pembohongan yang lebih berbahaya dari bohong RS Ummi sudah terjadi ribuan kali. Namun, baru kali ini hukuman yang dijatuhkan begitu berat. Dari sudut pandang mana pun, hukuman 4 tahun untuk HRS sangat keterlaluan. Pantaslah publik merasakan ketidakadilan. Publik kemudian berteriak keras tentang ketidakadilan. Nah, sekarang bagaimana cara agar ketidakadilan bisa dibalikkan menjadi keadilan? Atau, minimal ketidakadilan itu dicegah agar tidak merajalela? Apa yang harus dilakukan? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Tetapi, sejarah generasi terdahulu memperjuangkan keadilan sesungguhnya bisa dijadikan acuan. Kita, banga Indonesia ini, memiliki sejarah yang sangat panjang dan brutal tentang perjuangan melawan ketidakadilan. Sejarah itu antara lain adalah 350 tahun ketidakadilan di bawah penjajahan Belanda. Selepas penjajahan Belanda, ketidakadilan dilanjutkan oleh Jepang. Selepas Belanda dan Jepang mengobral ketidakadilan, dilanjutkan pula oleh pemerintahan yang silih berganti. Sampailah akhirnya ketidakadilan itu terasa memuncak sekarang ini. Luar biasa maraknya ketidakadilan itu. Sebaliknya, betapa redupnya keadilan. Nah, apa yang harus dilakukan untuk melenyapkan ketidakadilan? Sejarah mencatat bahwa perjuangan melawan ketidakadilan tidaklah ringan. Perjuangan itu berdarah-darah. Banyak korban nyawa. Dan berlangsung puluhan tahun. Intinya adalah pengorbanan. Ketidakadilan bisa lenyap, alias keadilan bisa tegak, jika pengorbanan melebihi modalitas ketidakadilan itu. Maknanya, ketidakadilan akan sirna kalau dosis pengorbanan tinggi. Para pelaku ketidakadilan akan lumpuh. Ini semua diceritakan oleh sejarah perjuangan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke ketika para pejuang melawan ketidakadilan. Banyak yang tewas. Dibunuh, Disiksa. Yang berlaku adalah hukum rimba. Tidak ada hukum rasional yang bisa melenyapkan ketidakadilan. Karena ketidakadilan itu bersendikan “hukum sesuka hati”. Mungkinkah Anda hidup berdampingan secara damai dengan orang yang menggunakan “hukum sesuka hati” itu? Para pejuang yang melawan ketidakadilan di masa lampau tak pernah tidur nyenyak. Mereka bergerilya mencari para penegak ketidakadilan. Mereka keluar-masuk kampung dan hutan. Jika mereka berjumpa dengan para penegak ketidakadilan itu, ada dua gendangnya atau “ending”-nya. “Kalau tidak mereka, berarti kami yang selesai.” Di zaman penjajahan dulu, perjuangan melawan ketidakadilan berlangsung lama. Melelahkan. Korban nyawa tak terhitung. Dampak sosialnya juga besar. Tetapi, ini semua dilakukan karena tidak ada jalan lain. Ketidakadilan itu sama seperti jalan buntu. Anda ada di situ. Anda tidak bisa menghindar dari kejaran ketidakadilan. Karena itulah, Anda harus menciptakan jalan keluar sendiri dari jalan buntu itu. Dalam bahasa lain, ketidakadilan harus dilawan. Bukan dikeluhkan.[] (Penulis wartawan senior)

Sebaiknya Hentikan PPKM

Awal gagasan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) sudah tidak jelas, karena makna pemberlakuan adalah kata keterangan yang menerangkan lamanya waktu pembatasan kegiatan. Padahal kebijakan ini ditujukan untuk menyikapi sesuatu dalam keadaan darurat. Oleh Sugengwaras KAPANPUN dan di manapun sebutan keadaan darurat hanya diasumsikan, dikonsumsikan, dan diprediksikan selama keadaan darurat (sangat terbatas, sangat tertentu, sangat khusus). Kalau pada implementasinya keadaan darurat terus diperpanjang, apa lagi tidak bisa diprediksi kapan berakhirnya, maka ini layak dikatakan tidak konsisten dan tidak konsekwen, bahkan tidak ada ketegasan atau bisa dikatakan mencla- mencle, tidak profesional, tidak berkonsep kredibel/eligibel, ngambang, ngawur, hanya mengedepankan kekuasaan, yang membuat masyarakat cemas harap, khawatir, curiga, dan berpotensi meremehkan atau melawan! Ini yang perlu disadari oleh rezim, karena sesungguhnya banyak orang yang cerdas, arief, ahli, dan bijak di lingkungan istana, namun pada kenyataanya berjalan sendiri-sendiri, dimana ada yang berpikir keselamatan orang banyak, namun ada yang berwacana aneh-aneh, bahkan ada yang sudah memulai gepyak sayap untuk koalisi menuju ke arah membawa negara ini. Lebih memprihatinkan, karena presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara tak kunjung peka dan peduli terhadap situasi dan kondisi seperti ini, atau mungkin sengaja ada pembiaran untuk maksud dan tujuan tertentu. Hal yang sangat mendasar yang dilupakan dan ditinggalkan penggagas PPKM adalah Hak Azasi Manusia (HAM). Seharusnya disadari, HAM adalah hal yang sangat fundamental menyangkut kebebasan dalam kelangsung hidup. Karena manusia tidak hidup sendirian yang nota bene berkelompok, berbangsa, dan bernegara, maka muncullah kesamaan tujuan dan kepentingan yang akhirnya terjadi gesekan, persaingan, dan egosentrik. Dari sinilah lahir hukum yang bersifat mengikat untuk mengikuti aturan yang ada dan bersifat memaksa untuk yang melanggar. Selanjutnya, hak asasi munusia yang bebas tadi dibebani lagi tanggung jawab atau istilah sekarang bebas yang bertanggung jawab (inilah hubungan klausal antara HAM dan Hukum). Obyek PPKM adalah masyarakat (makhluk sosial yang beraneka ragam kepentingan, bahkan ada hubungan atau kesinambungan kerjasama di antara yang satu dengan yang lain, saling ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup sehari hari). Oleh karenanya pemerintah harus bisa menyelami dan menghayati kondisi rakyatnya, dimana hanya sebagian kecil yang hidupnya dijamin negara seperti TNI POLRI, ASN, dan jajaran stake holder yang digaji tiap bulanya, sedangkan sebagian besar lainnya hidup mandiri dan berusaha mulai tingkat tinggi hingga tingkat menengah dan rendah, bahkan ada yang selalu kesulitan dalam menghadapi hidup hari esok. Di sisi lain jika kita cermati tentang teknis tahapan dan pola operasionalnya, semestinya kita bisa berpikir logis, jika pemakain masker sudah aman kenapa harus jaga jarak, jika jarak sudah terjaga kenapa harus pakai masker. Jika bermasker dan jaga jarak sudah dilakukan kenapa harus divaksin. Jika pemakaian masker, jaga jarak dan vaksin sudah dilakukan kenapa harus di PPKM Kita memahami, itu semua sebagai penyempurnaan yang lebih baik bagi keselamatan kita semua, namun pemerintah juga perlu mempertimbangkan akibat akibat PPKM, terutama bagi rakyat kecil kebanyakan. Oleh karenanya, saya menghimbau, agar rezim ini benar-benar memahami kondisi rakyat kebanyakan agar tidak parno, trauma, atau menyepelekan PPKM ini demi efektifnya kita mencari nafkah dan terjaga dari Virus pandemi Covid - 19 ini, dengan bijak MENGHENTIKAN PPKM ! Penulis, Purnawirawan TNI AD.

Mahkamah Konstitusi Melanggar Konstitusi: Wajib Bubar

Oleh Anthony Budiawan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) MAHKAMAH Konstitusi (MK) hanya urus satu hal saja, yaitu menegakkan Konstitusi yang tertulis di dalam Undang-Undang Dasar (UUD). MK harus menjaga agar tidak ada peraturan dan UU yang melanggar UUD. Untuk menjalankan fungsinya, MK terdiri dari sembilan (9) hakim, jumlah yang sangat besar dibandingkan potensi jumlah pekerjaan (perkara) yang mungkin bisa dihitung dengan jari. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ini adalah salah satu wewenang yang diberikan UUD kepada MK (Pasal 24C, ayat (1)) Berdasarkan wewenang ini, pertama, MK wajib menguji setiap UU apakah melanggar UUD, meskipun tidak ada pengaduan atau gugatan dari rakyat (masyarakat). Karena MK adalah penjaga Konstitusi. Kedua, MK wajib menguji setiap UU apakah melanggar UUD atas permohonan rakyat, meskipun itu seseorang. MK tidak perlu bertanya lagi posisi hukum (legal standing) seorang rakyat untuk bisa minta MK menguji sebuah UU terhadap UUD. Karena, posisi hukum rakyat sudah jelas di dalam Pembukaan UUD, yang menyatakan bahwa Kedaulatan ada di tangan rakyat. Artinya, rakyat mempunyai legal standing, dan mempunyai hak dan kewajiban untuk menegakkan Konstitusi, serta mencegah terjadi pelanggaran terhadap Konstitusi. Karena, pelanggaran terhadap Konstitusi bukan hanya melanggar dan merugikan hak seorang rakyat, tetapi melanggar dan merugikan hak seluruh rakyat Indonesia. Sehingga, kalau seseorang menggugat apakah presidential threshold melanggar UUD, maka MK tidak perlu bertanya apakah seseorang tersebut akan mencalonkan diri sebagai presiden. Hal tersebut tidak relevan. Karena, kalau presidential threshold melanggar UUD, maka wajib batal demi hukum, demi Konstitusi dan UUD: karena, semua peraturan dan UU yang bertentangan dengan UUD, wajib batal. Kedua, MK wajib menguji setiap UU atas permohonan rakyat. MK wajib menguji, antara lain, Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No 1 Tahun 2020 (tentang Virus Corona), yang kemudian diterima dan disahkan oleh DPR menjadi UU No 2 Tahun 2020, apakah bertentangan dengan UUD, atas permohonan dari beberapa kelompok rakyat. Karena, PERPPU yang sudah diundangkan tersebut di mata rakyat bertentangan dengan UUD, karena menghilangkan hak anggaran DPR selama 3 tahun berturut-turut sejak 2020, dan pemerintah bisa menyusun APBN tanpa persetujuan DPR, yang mana melanggar Pasal 20A ayat (1) UUD. Selain itu, PERPPU juga melanggar prinsip kesetaraan hukum Pasal 27 ayat (1) UUD. Serta melanggar prinsip peri-kemanusiaan dan peri-keadilan yang tertulis di dalam pembukaan UUD. Karena PERPPU memberi kekebalan hukum kepada pejabat dan pengguna anggaran selama 3 tahun. Perlu ditekankan, bahwa isi Pembukaan UUD lebih tinggi dari isi batang-tubuh UUD (yang muat pasal-pasal). Karena, isi pembukaan UUD menjadi dasar dan pedoman untuk menyusun batang-tubuh UUD, sehingga pasal-pasal dalam batang-tubuh UUD tidak boleh bertentangan dengan isi Pembukaan UUD. “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Kalimat ini bermakna, bahwa penjajahan harus dihapus di atas dunia, bukan saja di muka bumi Indonesia, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Jadi jelas, alasan utama penjajahan harus dihapus karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Sehingga, sebagai konsekuensi, apa pun yang tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan harus enyah dari muka bumi Indonesia, dan dunia. Karena ini merupakan nilai-nilai kehidupan Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pasal-pasal dalam batang-tubuh UUD, termasuk pelaksanaannya, yang tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan, serta tidak sesuai dengan butir-butir lainnya di dalam Pembukaan UUD, juga harus enyah dari muka bumi Indonesia. Sehingga cita-cita Indonesia untuk menjadi Makmur dan Adil bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Termasuk pasal-pasal yang merampas hak kedaulatan rakyat, semua harus diluruskan. Perwakilan rakyat bukan pemegang kedaulatan rakyat yang sebenarnya, dan selamanya. Karena perwakilan adalah titipan kedaulatan yang bersifat sementara, dan dapat diambil kembali oleh rakyat setiap saat. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi, apabila MK tidak bisa meluruskan semua UU yang bertentangan dengan Konstitusi, maka MK wajib bubar demi menyelamatkan Konstitusi dan UUD. Karena, dengan membiarkan terjadi pelanggaran terhadap Konstitusi, MK berarti melanggar Konstitusi. Dan menjadi tyranny, sebagai penjaga tyranny. Pelanggaran-pelanggaran terhadap UUD, menurut mata dan hati rakyat, akan dimuat di tulisan selanjutnya.

Dokter Andi Yuwardani Makmur, “Korban Pertama” Vaksin Moderna

Oleh: Mochamad Toha Inna lillaahi wa inna ilaihi roojiuun. Indonesia telah kehilangan seorang dokter lagi: dr. Andi Yuwardani Makmur. Dua hari sebelum meninggal, dokter Spesialis Kedokteran Jiwa RSUD Bulukumba, Sulawesi Selatan, ini mendapat suntikan booster Moderna. Melansir Detik.com, Jumat (27 Agu 2021 18:30 WIB) Dokter Yuwardani, ternyata sempat diminta untuk menunda vaksinasi oleh tim skrining. Tetapi, dia tetap meminta vaksinasi itu dilakukan. Informasi ini diungkap adik kandung almarhumah, A Suswani. Menurut Suswani, vaksinasi itu dilakukan di RSUD Andi Sultan Daeng Radja, Bulukumba, Jumat (20/8/2021). Ketika itu almarhumah sempat diminta menunda dulu proses vaksinasi, namun tetap meminta diberi suntikan vaksin. “Jumat, 20 Agustus 2021, setelah periksa pasien, almarhumah menuju ruang vaksin lantai 3, saat skrining tensi awal 187 mmHg, almarhumah istirahat sejenak dan ditensi kembali 176 mmHg. Almarhumah memutuskan tetap vaksin meskipun sudah dianjurkan oleh petugas untuk menunda dulu,” ucap Suswani, seperti dilansir Detik.com, Jumat (27/8/2021). Suswani tak mengungkap lebih lanjut soal alasan almarhumah tetap meminta disuntik vaksin Covid-19 meski sudah diminta menunda. Ia mengaku tak ada penjelasan almarhumah terkait hal tersebut. “Itu keputusan almarhum untuk tetap vaksin. Tidak ada penjelasan terkait dengan itu,” kata Suswani. Menurutnya, kondisi dokter Yuwardani sebenarnya dinyatakan tak ada masalah 15 menit setelah diberi suntikan vaksin. Dia pun dipersilakan pulang. “Setelah observasi pascavaksin 15 menit, almarhumah pulang dengan kondisi yang sehat,” katanya. Kemudian, pada Minggu (22/8/2021) atau dua hari setelah divaksinasi, Yuwardani disebut sempat melakukan aktivitas berat, yakni mencuci, hingga akhirnya tiba-tiba pingsan. “Minggu pagi sekitar jam 7 masih sempat ngobrol dengan ayah kami, kemudian melanjutkan aktivitas mencuci baju sambil ngobrol dengan Umi kami. Di situlah almarhumah pingsan dan menghembuskan napas terakhir di kamar almarhumah,” kata Suswani. Menurut Suswani, tim Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Provinsi Sulsel kini tengah menyelidiki kematian saudarinya itu. “Kita tunggu informasi selanjutnya dari Komnas KIPI karena seluruh informasi yang dibutuhkan sudah kami berikan,” katanya. Suswani juga menjelaskan almarhumah memiliki penyakit penyerta komorbit, hipertensi. Tapi, ia tak bisa menjelaskan apakah komorbid tersebut ada hubungannya dengan kematian Yuwardani. Diakuinya, almarhumah memang ada komorbid, sejak dulu tensi selalu di atas 140 mmHg. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sulsel Ichsan Mustari mengatakan, pihaknya menunggu hasil investigasi yang dilakukan oleh tim KIPI tingkat kabupaten dan provinsi. Pihak KIPI disebut-sebut akan menelusuri soal apakah benar meninggalnya Andi Yuwardani meninggal setelah mendapatkan vaksinasi ketiga, dan apakah penyebab meninggalnya bagian dari efek vaksinasi. “Melihat sejauh ini mana kejadian itu. Artinya kita kan mesti cari dulu, investigasi. Sejak awal vaksinasi telah dibentuk tim kejadian awal,” kata Ichsan Mustari. “Rekomendasi-rekomendasi akan diberikan karena kita tahu sendiri vaksinasi Covid kan vaksinasi pertama kali, tentu juga kejadian yang seperti itu tetap menjadi analisis tim melihatnya,” lanjutnya. Menurut Arie Karimah, Pharma-Excellent alumni ITB, tim KIPI jangan seenaknya ngomong itu bukan KIPI karena sudah lewat beberapa hari setelah vaksinasi. “Emang nggak ada gitu delayed adverse reactions dari vaksin (reaksi tunda)?” tegas Arie Karimah. “Saya berpikir penyebabnya tidak bisa diketahui tanpa dilakukan otopsi. Dan, problemnya pasti: apakah keluarganya mengizinkan? Ataukah mungkin cukup dilakukan otopsi verbal? Tapi menurut saya cara ini agak sulit untuk menentukan penyebab kematiannya,” ujarnya. Dokter Yuwardani bisa disebut sebagai tenaga kesehatan yang pertama menjadi “korban” pasca vaksinasi booster dengan Moderna. Jika tidak dilakukan otopsi, dapat dipastikan ini akan tetap menjadi misteri apa penyebab kematiannya. Berbeda sekali jika ini terjadi di luar negeri. Meski hanya satu nyawa yang jadi korban, bisa dipastikan bakal dilakukan otopsi, sehingga akan diketahui penyebab pastinya. Jepang yang mengetahui ada kontaminasi pada produk Moderna saja, langsung tunda pengiriman. Karena khawatir ada kontaminasi pada produk vaksin yang mereka terima dari pabrik vaksin Moderna di Spanyol, Kamis (26/8/2021) akhirnya Jepang memutuskan menghentikan untuk sementara vaksinasi dengan Moderna. Menurut Arie Karimah, sebenarnya sejak 16 Agustus 2021 perusahaan farmasi Takeda di Jepang telah menemukan di 8 lokasi vaksinasi mereka 39 vial yang belum dibuka (390 dosis) terlihat ada partikel yang tidak larut. “Persyaratan sediaan steril vaksin mengharuskan larutan yang jernih bebas partikel yang tidak terlarut atau endapan,” ungkap Arie Karimah dalam akun Facebook-nya, Jum’at, 27 Agustus 2021. Mereka meminta penyelidikan menyeluruh atas kasus itu oleh Ravi, pabrik yang mensuplai pasar selain Amerika Serikat. Dan sambil menunggu hasilnya mereka menghentikan program penyuntikan 1,63 juta dosis sisanya, yang merupakan produksi dari 3 nomer batch. Meski sebenarnya semua vial yang bermasalah berasal dari satu nomer batch, namun untuk kehati-hatian perusahaan farmasi Takeda di Jepang, yang bertanggung jawab atas penjualan dan distribusi vaksin tersebut, meminta menghentikan pemberian untuk ketiga batch itu. Takeda juga menduga sebagian dosis yang bermasalah tersebut mungkin sudah telanjur disuntikkan, sehingga mereka mengumumkan nomer batch-nya dan meminta masyarakat yang mendapatkan batch tersebut, dan mengalami efek yang tidak diharapkan (adverse reactions), untuk segera melapor. Perusahaan itu juga menyatakan sudah memberitahu Moderna dan meminta penyelidikan segera. Takeda tidak merinci sifat kontaminasinya, tetapi mengatakan, sejauh ini belum menerima laporan tentang masalah kesehatan yang timbul dari dosis yang terpengaruh. Kementerian Kesehatan Jepang mengatakan, pihaknya akan bekerja dengan Takeda untuk mendapatkan dosis alternatif agar program vaksinasi tidak terganggu, berhubung sedang meningkat setelah awal yang lambat. Perlu diketahui, sekitar 43 persen populasi Jepang saat ini telah divaksinasi penuh, tetapi negara itu sedang mengalami lonjakan rekor kasus yang didorong oleh varian Delta. Sekitar 15.500 orang meninggal karena Covid-19 di Jepang selama pandemi, dan sebagian besar wilayahnya berada di bawah pembatasan kegiatan. Sebelumnya, Moderna menyatakan, vaksin Covid-19 buatannya tetap kuat selama setidaknya 6 bulan dari dosis kedua. Disebutkan juga, booster untuk varian yang spesifik sedang diuji, dan menghasilkan respons antibodi kuat terhadap varian Delta. Itu disampaikan dalam analisis akhir dari uji klinis fase III atau tahap akhir. Moderna turut melakukan uji klinis pada 3 booster vaksin Covid-19 yang berbeda. Hasilnya menunjukkan, semuanya menghasilkan tingkat antibodi yang tinggi pada jenis virus corona asli dan varian termasuk Delta. “Kami gembira, vaksin Covid-19 kami menunjukkan kemanjuran yang tahan lama sebesar 93 persen hingga enam bulan, tapi menyadari varian Delta adalah ancaman baru yang signifikan sehingga kami harus tetap waspada,” kata CEO Stephane Bancel dikutip dari AFP. Pernyataan itu menambahkan, Moderna akan mengajukan persetujuan penuh vaksin Covid-nya kepada Badan Makanan dan Obat-obatan AS (FDA) bulan ini. Moderna telah memulai studi untuk beberapa vaksin lain, termasuk flu, Zika, respiratory syncytial virus, dan lainnya. Sebelumnya, melansir SuaraSurabaya.net, Rabu (2 Juni 2021 | 06:43 WIB), berdasarkan hasil studi organisasi kesehatan dunia (WHO), empat varian baru Virus Corona menurunkan tingkat kemanjuran (efikasi) sejumlah vaksin yang sudah diproduksi massal. Prof. Wiku Adisasmito, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 mengatakan, tiap varian berpengaruh pada efikasi vaksin yang beredar di berbagai belahan dunia. “WHO berdasarkan berbagai studi yang dilakukan beberapa peneliti menyatakan bahwa beberapa varian memiliki besaran pengaruh yang sedikit sampai sedang terhadap angka efikasi tiap vaksin pada kasus positif dengan varian tertentu,” ujarnya di Graha BNPB. Dia memaparkan, varian B117 dari Inggris mempengaruhi efikasi Vaksin Covid-19 produksi AstraZeneca. Varian B1351 asal Afrika Selatan mempengaruhi efikasi vaksin produksi dari Moderna, Pfizer, AstraZeneca, dan Novavax. Kemudian, varian B11281 atau P1 dari Brasil dan Jepang mempengaruhi efikasi vaksin Moderna dan Pfizer. Varian B1617 dari India juga mempengaruhi efikasi vaksin Moderna dan Pfizer. “Pengaruh varian virus terhadap efikasi vaksin tersebut bersifat sementara, dan masih bisa berubah berdasarkan hasil studi lanjutan,” imbuhnya. Lebih lanjut, Profesor Wiku menyatakan perubahan efikasi terjadi karena semua vaksin yang dikembangkan dan dipakai sekarang masih memakai Virus Sars Cov2 varian asli dari Wuhan, China, lokasi virus penyebab Covid-19 pertama kali ditemukan. Walau begitu, Wiku mengatakan mutasi virus yang terjadi tidak membuat kemampuan vaksin mencegah penyakit turun di bawah 50 persen. Bahkan, ia menyebut beberapa di antara vaksin itu masih punya efikasi di atas 90 persen. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Timbul dan Tenggelam

By M Rizal Fadillah Di antara penampilan Prabowo saat Pilpres untuk meyakinkan pendukung adalah sikap atau tekad untuk timbul tenggelam bersama rakyat. Menggebrak meja mimbar adalah bukti atas heroisme untuk berjuang demi rakyat. Namun perjalanan bergerak ke arah lain. Prabowo dan Sandiaga menjadi pembantu Presiden sebagai anggota Kabinet. Hero telah berubah menjadi pemandu hore. Prabowo bukan karakter pemimpin yang baik. Dalam makna konsisten. Begitu menjadi Menteri langsung terkurung dalam sangkar. Tidak ada pernyataan pembelaan pada penderitaan rakyat baik soal Vaksin, PPKM, pengangguran, TKA China, hutang luar negeri, pembunuhan 6 laskar, penzaliman kepada HRS, serta penistaan agama. Bungkam seribu bahasa. Alih-alih pembelaan pada kesulitan rakyat atau memberi masukan konstruktif kepada Presiden tentang masalah kerakyatan, justru yang tertangkap publik adalah pujian habis kepada Jokowi yang terlihat melewati batas sebagai "jagoan" mantan kandidat Presiden yang mendapat dukungan besar dari rakyat. Dua kali Prabowo "bersyahadat" memuji Jokowi. Pertama dalam pidato khusus sendiri. "Saya bersaksi bahwa keputusan Jokowi selalu berdasarkan keselamatan rakyat miskin dan lemah" dan kedua, saat pertemuan Jokowi dengan Parpol koalisi baru-baru ini. Prabowo menyatakan "Jadi kepemimpinan Pak Jokowi efektif. Saya mengakui itu dan hormat sama Bapak. Saya lihat. Saya saksi. Saya ikut dalam Kabinet. Kepemimpinan, keputusan-keputusan Bapak cocok untuk rakyat kita". Merujuk pada saat Jokowi didukung untuk menjabat tiga periode, maka pujian terbuka itu dapat "menampar muka saya", "mencari muka" atau "menjerumuskan saya". Tanpa ada respon serupa dari Jokowi sebenarnya Prabowo sedang "menjilat" atau "mencari muka" yang entah tujuannya apa. Gampangnya saja bisa untuk dukungan Presiden ke depan. Adakah restu Baginda sudah didapat untuk Prabowo-Puan hingga Mega pun perlu menangis dengan tambahan diksi "kurus" dan "kodok" ? Semestinya Prabowo jangan berfikir untuk menjadi Presiden melalui kompetisi yang ketiga kalinya. Puncak kepercayaan rakyat adalah Pilpres 2019 lalu. Wajah Prabowo sudah semakin jelas kerut-kerutnya karena usia ataupun kerutan sikap politiknya. Rakyat bukan bicara bagaimana kemungkinan Prabowo dapat menang. Tetapi dengan asumsi menang dan menjadi Presiden pun Prabowo sulit mendapat dukungan penuh. Sama saja dengan Jokowi. Banjir kritik sudah terbayang. Ia bukan tokoh yang kuat. Ketika Menhan ini menyambut di atas mimbar dengan memuji habis Jokowi, maka harapan adanya gebrakan untuk mengingatkan jalannya pemerintahan yang sudah terantuk-antuk adalah sebuah ilusi. Gebrakan meja hanya cerita masa lalu saat bersama rakyat. Kini di tempat yang jauh dari perasaan keadilan rakyat, Prabowo memang sedang menggebrak-gebrak angin. Timbul tenggelam bersama rakyat itu dibuktikan dengan rakyat yang tenggelam dan Prabowo yang timbul. Namun sebenarnya Prabowo juga sedang tenggelam bersama tenggelamnya kapal selam Nanggala-402 yang hingga kini tak ada cerita. Nyawa 53 orang seperti sia-sia. Sepi. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Paten, Alih Teknologi dan Local Working (Catatan Diskusi Akhir Pekan APHKI)

Oleh Prof. Dr. OK.Saidin, SH.M.Hum. Pengatar Akhir pekan, tepatnya 28 Agustus 2021, Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, berdiskusi melalui media sosial, terkait dengan adanya usulan Perubahan UU No.13 Tahun 2016 tentang Paten yang akan mulai dibahas di DPR-RI pada akhir tahun ini. Salah satu yang dibincangkan adalah, terkait perubahan redaksi Pasal 20 undang-undang tersebut. Perubahan itu sebenarnya sudah dilakukan melalui UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dimuat dalam Pasal 107. Inti dari perubahan pasal itu adalah, dihapuskannya ketentuan tentang kewajiban pemegang paten untuk membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia yang kegiatan itu harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan peneyediaan lapangan kerja. Dengan Pasal 107 UU No.11 Tahun 2020, paten itu sudah dianggap dilaksanakan di Indonesia cukup dengan melakukan perbuatan yang meliputi membuat, mengimpor, atau melinsensikan produk, yang diberi paten. Demikian juga untuk paten proses danggap sudah dilaksanakan jika sudah dilakukan perbuatan yang meliputi membuat, melisensikan, atau mengimpor produk yang dihasilkan dari proses yang diberi paten. Selanjutnya untuk paten metode (ini klasifikasi baru tentang paten yang dianggap rancu), juga sudah dianggap dilaksanak an jika, sistem, dan penggunaan yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang dihasilkan dari metode, sistem, dan penggunaan yang diberi Paten, sudah dilakukan Ketentuan ini nantinya akan menjadi Ketentuan Pasal 20 UU Paten yang akan direvisi nanti. Artinya seluruh ketentuan yang termuat dalam Pasal 107 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja akan diambil utuh yang akan ditempatkan dalam Pasal 20 dan ditambah dengan ketentuan Pasal 20 A yang berbunyi, " Pemegang Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 wajib membuat pernyataan pelaksanaan Paten di Indonesia dan memberitahukannya kepada Menteri setiap akhir tahun setelah diberikan. Ada dua hal yang perlu diberi catatan dari redaksi Pasal 20 dan Pasal 20 A yang nantinya akan ditempatkan dalam Undang-undang Paten hasil revisi. Kehadiran Pasal 107 UU No.11 Tahun 2007 ini tidak berdiri sendiri. Perubahan ketentuan itu mengalami perjalanan yang panjang dan berkahir dengan ketentuan yang oleh sebahagian peserta diskusi dianggap bertentangan dengan landasan filosofis Panacasila dan Tujuan Negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945. Diskusi menjadi hangat ketika Pak Gunawan Soeryomurcito salah seorang dari peserta diskusi yang keberatan dan menyatakan ketidak setujuan atas pandangan peserta diskusi terkait pernyataan yang menggeneralisir seolah-olah Negara tidak berpihak pada rakyat. Akhirnya perbincangan melebar pada persoalan local working dan alih teknologi. Banyaklah pandangan yang muncul. Jalannya dikusi secara utuh dapat diturunkan sebagai berikut. Paten Sebagai Alat Penjajahan Baru Paten yang merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual telah menjadi alat penjajahan baru Negara industri maju terhadap Negara dunia ketiga seperti yang diungkapkan oleh Christoper May (2009) dalam bukunya, The Global Political Economy of Intellectual Property Rights. Amerika dan sekutunya telah menggunakan Marakes Convention, untuk menaklukkan Asia dan negara-negara dunia ketiga melalui sistem perdagangan. Negara-negara di dunia bergabung dalam keanggotaan The General Agreement Tariff and Trade (GATT) dan telah bersidang pada bulan April 1994 di Marakesh. Capaiannya berupa kesepakatan yang disebut dengan The Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement) yang dikenal dengan Marakesh Convention dan seluruh rangkaian konvensi ikutannya. Salah satu dari instrumen ikutannya adalah Trade Rekated Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement). Penerapan TRIPs Agreement ke dalam peraturan perundang-undangan negara anggota adalah menjadi harapan Amerika Serikat dan negara sekutunya. Amerika Serikat sangat berkepentingan dengan hasil kesepakatan Marakesh ini. Itulah sebabnya utusan khusus Presiden Amerika harus terbang jauh menyeberangi Samudera Atlantik hanya untuk menghadiri sesi terakhir sidang GATT pada tanggal 5 April 1994 yang akan ditutup esok harinya. Itu dilakukan Amerika hanya untuk memperkuat delegasi negara maju. Utusan khusus Bill Clinton itu menyampaikan orasi di depan peserta sidang GATT. Hasilnya adalah disetujuinya Marakesh Convention dan pembentukan World Trade Organization (WTO) yang menurut analisis Chriatianto Wibisono (1998) hal itu tidak lebih dari alat penjajahan baru negara maju terhadap negara berkembang. Setelah lebih dua windu pemberlakuan Marakes Convention, Christoper May (2009) menulis dalam bukunya, The Global Political Economy of Intellectual Property Rights bahwa, Hak Kekyaan Intelektual termasuk Paten, akan menjadi alat politik ekonomi Negara maju terhadap Negara berkembang. Semua urusan yang terkait dengan perdagangan Internasional, harus dihubungakan dengan aspek hak kekayaan intelektual (trade related to aspects intellectual property right). Inilah politik penjajahan gaya baru (neo imperialism) Negara maju terhadap Negara berkembang. UU Paten Indonesia Pasca Ratifikasi Marakesh Convention Indonesia pasca ratifikasi Marakesh Convention, melalui UU No. 7 Tahun 1994 menyesuaikan peraturan HKI-nya termasuk Paten. Terakhir penyesuaiannya tampak dalam UU No.13 Tahun 2016. Tapi ada pasal yang masih mengganjal. Salah satu bunyi Pasal yang mengganjal itu adalah ketentuan yang termuat dalam Pasal 20 yang mewajibkan pemegang paten untuk membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia. Ketentuan ini kemudian dilanjutkan lagi dengan keharusan untuk menunjang pelaksanaan transfer teknologi, penyerapan investasi dan peneyediaan lapangan kerja. Amerika dan Negara maju lainnya melihat ketentuan ini bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam TRIPs Agreement. Pasal ini diskriminatif dan dipandang bertentangan dengan article 27 (1) TRIPs Agreement yang konvensi induknya Marakesh Convention sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No.7 Tahun 1994. Amerika dan sekutunya Negara Industri maju yang notabene sebagai Negara pemilik paten terbesar di dunia, memang memiliki kepentingan untuk penghapusan Pasal itu. Karena Indonesia dianggap Negara yang paling potensial untuk pemasaran produk mereka yang berasal dari paten yang dilindungi. Seperti kata Agus Sardjono, "Intinya, asing memang cuma mau jualan produk ke pasar Indonesia." (Agus Sardjono, 28 Agustrus 2021). Kegelisahan Amerika itu terbukti. Sekaligus menjawab tesa yang dikemukakan May Christoper. Tepat pada Tahun 2018, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph R. Donovan Jr menemui Menteri Hukum dan HAM pada suatu kesempatan. Inti percakapannya meminta Indonesia untuk membahas norma Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 (Bisnis Indonesia, 22 Pebruari 2019). Ujung-ujungnya Menteri Hukum dan HAM menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.15 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Paten Oleh Pemegang Paten. Alhasil Ketentuan Pasal 20 UU No.13 Tahun 2016 dapat ditunda keberlakuannya. Jika pemegang paten tak dapat melaksanakan ketentuan Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016, maka Pemegang paten dapat mengajukan permohonan untuk menunda pelaksaan pembuatan produk atau penggunaan proses paten di Indonesia paling lama 5 (lima) tahun. Yang dianulur oleh perturan menteri adalah Undang-undang. Produk hukum yang lahir atas kehendak rakyat, bukan atas kehendak pemerintah. Tapi produk ini dikesampingkan karena adanya tekanan pihak asing. Di sinilah kita berbicara soal kemandirian bangsa, soal marwah bangsa. Jika persoalan local working yang tak dapat dilaksanakan pada tataran praktis, seperti yang disinyalir oleh Gunawan Suryomurcito ( 28 Agustus 2021), menurut hemat kami itu tak dapat dijadikan alasan agar bangsa ini mengalah. Bangsa ini bangsa besar, jangan dikalahkan oleh segelintir para "makelaar". Jangan dikalahkan oleh keinginan-keinginan para pembisnis. Pembangunan bangsa ini jangan diukur melulu dari tingkat kesejahteraan ekonomi, tapi indeks kebebasan, keadilan sosial, pelindungan hak-hak rakyat, hak asasi manusia, capaian terhadap tujuan Negara, harus dimasukkan ke dalam korider indeks keberhasilan pembangunan Indonesia, seperti variabel kesejahteraan yang ditulis oleh Amartya Sen, yang mengantarkannya sebagai Peraih Nobel Bidang Ekonomi dalam bukunya, "Development As Freedom (1999). Singapore memang menjadi Negara yang berada pada peringkat pertama dalam hitungan indeks kesejahteraan ekonomi, untuk Negara-negara di Asia, tapi pers di Singapore tidak sebebas di Indonesia. Rakyat hidup mewah, tapi hidup bak burung di sangkar emas. Jadi kesejahteraan itu di dalamnya terdapat perlindungan terhadap marwah, harga diri dan kemandirian bangsa. Bukan soal hitung-hitungan ekonomi semata. Itulah dahulu alasannya mengapa bangsa ini berjuang untuk merdeka, melepaskan belenggu penjajah dan itu dituangkan dalam hukum dasar berdirinya Negara ini yang dinukilkan dalam Pembukaan Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terjebak Kehendak Makelaar Jika hari ini, tenaga kerja lokal kita belum mampu disinilah letak persoalannya. Prof. Agus Sardjono mengatakan, ini bukan kesalahan asing, tatapi kesalahan bangsa ini. Apa alasannya kita tidak dapat membangun SDM yang mampu bersaing dengan asing. Apa alasannya tenaga kerja lokal kita belum siap? Mengapa setelah 76 tahun merdeka kita belum siap bersaing? Pasti ada yang salah dalam pengelolaan menejemen pendidikan kita sehingga tidak bisa menghasilkan tenaga kerja lokal yang mumpuni. Padahal di luar sana anak bangsa ini banyak yang bekerja di perusahaan-perusahan industri asing. Bahkan paten dalam bidang pesawat terbang, belum ada yang menandingi Putera terbaik bangsa kita, yakni; Habibie. Habibie memegang 46 paten dalam bidang aeronautika. Di mana kesalahan bangsa ini? Menjadi benar anggapan selama ini bahwa, tanpa bermasud untuk mengeneralisasi, bahwa kita masih terjebak dalam kerja-kerja makelaar. Jika local working kita belum mampu, inilah yang terlebih dahulu yang harus kita kejar untuk diselesaikan. Siapkan dahulu SDM yang mampu menjawab tantangan itu. Bukan justeru memberi peluang pada tumbuhnya para makelaar – meminjam istilah yang digunakan oleh Prof. Agus Sardjono – baru. Alasan bahwa untuk melaksanakan satu paten di suatu yurisdiksi tidak bisa dengan cara harus menanamkan modal untuk membangun perusahaan khusus untuk melaksanakan paten dimaksud, seperti yang disampaikan oleh Gunawan Suryomurcito, (28 Agustus 2021), jika secara ekonomis tidak feasible, tentu tak selamanya dapat diterima. Alasan itu tak dapat dipergunakan untuk membuat bangsa ini harus menerima saja keinginan asing, lalu menuangkannya dalam peraturan perundang-undangannya. Jika secara ekonomis tidak feasible maka tidak mungkin pihak investor asing akan menanamkan modalnya untuk membuat produk atau menggunakan proses yang dipatenkan itu, begitu lanjut Gunawan. Lantas apa dengan begitu, bangsa ini harus takluk pada kehendak para makelaar sebagai wakil dari kaum kapitalis? Bambu runcing juga tidak feasible untuk melawan senjata yang terbuat dari mesin-mesin perang modern. Tapi bangsa ini bisa merdeka, bisa mengusir Belanda dan ditakdirkan tidak menjadi bangsa yang menerima hadiah kemerdekaan dari Jepang. Mengapa semangat itu kini tenggelam. Jangan lupa bahwa kita ini adalah bangsa yang bertuhan, bangsa yang menjunjung nilai-nilai kemanuisaan yang adil dan beradab, bangsa yang besar yang disatukan dalam ikatan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, bangsa yang memilki semangat untuk bermusyawarah dan bermufakat dan bangsa yang memiliki cita-cita untuk mewujudkan masyarajkatnya yang tidak saja sejahterah dalam bidang ekonomi, tapi juga sejahterah dalam bidang sosial. Oleh karena itu ini bukan persoalan menggeneralisir masalah seolah-olah negara tidak berpihak kepada rakyat, seperti anggapan Pak Gunawan ketika menilai pendirian kami, tapi lebih dari itu, ini adalah soal konsitensi Negara dalam menegakkan nilai-nilai ideologi dan capaiannya terhadap tujuan negara yang telah diletakkan oleh pendiri bangsa ini. Jika pelaksanaan paten yang dimiliki oleh pemegang paten asing di Indonesia itu tidak sesederhana seperti apa yang kami tpikirkan terkait local working, pemikiran itu kita serahkan saja kepada para pelaksana kebijakan. Tapi landasan hukum jangan diutak-atik untuk kepenting praktis yang syarat dengan tujuan-tujuan pragmatis jangka pendek. Undang-undang, sekali ia dibuat tidak berpijak pada ideologi dan tujuan Negara, maka selama itu undang-undang itu dipandang sebagai produk leghislatif yang mencederai nilai-nilai perjuangan para pendiri bangsa ini. Begitu juga ketika tidak semua paten bisa dilaksanakan di Indonesia tanpa kajian sisi economic feasibility-nya, itu bukanlah tugas kita sebagai pembuat undang-undang untuk mengamini tujuan para makelaar dan kaum kapitalis global. Masuk Perangkap Filosofis Barat Oleh karena itu perundang-undangan kita termasuk Paten tak boleh terperangkap dengan nilai-nilai filosofis kehidupan Barat. Sejarah Eropa mencatat bahwa, kekalahan Napoleon dalam berbagai peperangan menyentakkan kesadaran Barat dan ini adalah awal kegagalan sistem negara yang dikembangkan di Barat, seperti yang dilukiskan oleh Marvin Perry (Peradaban Barat Dari Revolusi Prancis Hingga Zaman Global, 2013;249). Peradaban Barat yang penuh dengan kisah peperangan itu memberi warna juga pada pilihan produk industri mereka seperti industri alat-alat perang (industri persenjataan) dan bahkan industri perfilman merekapun didominasi oleh cerita perang. Seiring dengan perang senjata yang masih bergolak di sebagian wilayah Timur Tengah, perang ideologipun terus berlangsung. Kemenangan Amerika dengan ideologi liberalnya yang membuahkan kapitalis melawan ideologi komunis yang diikuti keruntuhan dominasi Uni Soviet, membuat posisi Amerika semakin berada “di atas angin” merajai dan sebagai pengendali peradaban dunia. Kini perang itu telah berubah menjadi perang ekonomi dengan ideologinya masing-masing. GATT/WTO hasil capaian Putaran Uruguay Round Tahun 1994 adalah sarana yang dipakai oleh Amerika dan sekutunya untuk menaklukkan Asia dan negara-negara dunia ketiga. Saingan terbesar Amerika adalah Cina, India dan Turki yang diperkirakan akan turut dalam percaturan politik internasional yang memiliki peluang untuk mendominasi perekonomian dunia (Kishore Mahbubani, 2011). Cina dan India telah memperlihatkan “pembangkangannya“ dalam menyikapi TRIPs Agreement sebagai hasil capaian Uruguay Round yang melahirkan kesepatan GATT/WTO. Lantas Indonesia mengambil posisi di mana? Tentang Local Working Olkeh karena itu terkait Local Working saya sepakat dengan pandangan Agus Sardjono. Local working tidak harus bangun pabrik. Local working itu bisa lisensi atau berpartner dgn local company. Tidak harus invest sendiri. Itulah gunanya transfer of technology yang akan menjadi ruhnya paten. Impor atau beli itu tidak mendidik dan tidak berpeluang untuk adanya transfer of technology. Yang ada malah banjir dana keluar untuk membayar harga barang yang diimpor (Prof.Agus Sardjono, 28 Agustus, 2021). Memanglah hal itu juga menurut Gunawan Suryomurtjito, ukurannya adalah kelayakan secara ekonomis, " Lisensi dan partnership pun harus menguntungkan kedua belah pihak". Nah, tapi kami ingin katakan sekali lagi kelayakan ekonomis tak dapat diadikan pertimbangan semata-mata. Dampak sosial dan dampak politik yang ditimbulkannya harus juga diperhitungkan. Untuk apa kita punya uang banyak, tapi jadi bulan-bulanan Negara industri maju yang akan mengantarkan negeri ini ke alam kapitalis yang akan membahayakan perjalanan bangsa ini ke depan. Kecuali hari ini bangsa ini memang sudah sepakat untuk menggangti Pancasila dan UUD Tahun 1945. Oleh karena itu, seperti dukungan Dr. Djamal terhadap pandangan Pak Gunawan Suryomurcito, (28, Agustus 2021) sekalipun tidak mungkin akan ada yang mau berinvestasi untuk membuat produk atau menggunakan proses yang dipatenkan itu, karena alasan secara ekonomis tidak feasible, sebagai bangsa yang mandiri kita tak perlu ambil pusing. Kita sedang mengurus hal-hal yang lebih besar dari sekedar mengurus kepentingan para makelaar untuk masa depan negeri ini. Karena itu jangan kita urus, urusan para makelaar dan para kaum kapitalis. Itu bukan urusan Negara. Bangsa ini sedang memerlukan seorang negarawan, bukan tehnokrat semata, apalagi kaum pragmatis dan kaum opurtunis yang kerap kali melupakan dasar-dasar filosofis bangsa ini. Persoalan bangsa ini tidak punya bahan baku dan teknologi itu masuk pada arena jawaban abu-abu. Itu pernyataan terlalu bersayap. Tak ada rotan akarpun jadi. Negeri ini ada akar dan ada rotan. Negeri ini kaya dengan sumber daya flora dan fauna. Kaya dengan sumber daya mineral. Kaya dengan potensi kelautan dan potensi pertanian. Kita bukan tak punya bahan baku, tapi selama ini bangsa ini dibuat menjadi bodoh sehingga tidak mampu mengelola sumber daya alam yang tersedia yang ia miliki. "Indonesia ini adalah penggalan surga", begitu satu kali sahabat saya dari Turki berujar, ketika ia saya bawa keliling Indonesia. Mengapa kita tidak lakukan "Revolusi Hijau" supaya kita tidak mengimpor kedele, beras dan jagung. Mengapa kita tidak melakukan "Revolusi Biru"? Bukankah potensi kesempatan kerja di laut seluas lautan yang dapat dijangkau? Kegagalan kita adalah ketersediaan teknologi. Ternyata awak kapal tangkap ikan Asing banyak yang berasal dari Indonesia? Di sinilah perlu kehadiran Negara. Jangan melulu hitung-hitungan bisnis. Ada banyak solusi, seperti yang disampaikan Dr. Djamal (28 Agustus, 2021), misalnya menyiapkan lahan-lahan tanah yang dikuasai negara yang terlantar untuk dimanfaatkan dan hasilnya ditanamkan sebagai penyertaan modal buat mengurangi biaya investasi perusahaan yang untuk membangun industri yang patennya berasal dari pihak asing. Kepada pengusaha diberi kemudahan dalam urusan perijinan dan keringanan dalam urusan pajak, supaya pemilik paten bersedia membangun industrinya atau bermitra dengan pengusaha Indonesia. Semua itu dapat dilakukan karena negara punya berbagai perangkat, termasuk perangkat penegak hukum. Berikan rasa aman dan nyaman untuk berinvetasi, sehingga investasi di Indonesia dapat diprediksi atau diperkirakan. Jangan unpredictable. Rasanya, kalau mau, itu bisa diselesaikan. Setelah itu dipersilahkan menggunakakn hitung-hitungan bisnis, seperti yang diperkirakan oleh kalangan industriawan dan kaum pembisnis untuk kelayakan sebuah investasi, sebagaimana dimaksudkan oleh Pak Gunawan Suryomurcito. Tentu itu tidak mejadi soal, tapi jangan ganggu hal-hal yang bersifat ideologis, sebab di situ terketak harkat, martabat dan marwah bangsa. Harus jelas arah perjalanan bangsa ini. Bangsa ini mau dibawa ke mana? Local Working Diatur Dalam Peraturan Organik Oleh karerna itu, patut dipertimbangkan pandangan Prof. Henry Soelistyo Budi (28 Agustus, 2021) Menurut beliau, "Local Working jangan dilihat sebagai instrumen teknis ekonomis. Itu instrumen kebijakan, penormaan dari Policy Ground, tentang Konsep Keseimbangan Hak dan Kewajiban. Sebagai negara berdaulat, kita punya kepentingan nasional yang harus diekspresikan dalam format kebijakan strategis. Jangan di downgrade sebagai persoalan teknis. Level pendekatannya harus ditataran national policy. Jadi tidak layak diutak-atik dengan kalkulasi ekonomis, apalagi argumen berbasis business interest. Enggak nyambung. Itu harus dipahami dalam policy perspective. Kalau tidak feasible secara ekonomi, nah baru ditukangi eksepsi atau dispensasi dan instrumen diskresi operasional lain, seperti gagasan Dr. Djamal, tapi jangan dinihilkan apalagi disalahkan konsep local working itu, demikian sanggahan dari Prof. Henry Soelistyo Budi yang saat ini tercatat sebagai Ketua Program Pasca Sarja Ilmu Hukum Universitas Pelita Harapan, yang juga sebagai Anggota Dewan Pembina APHKI. Mari kita melihatnya secara lebih arif. Intinya konsep keseimbangan hak dan kewajiban pemegang paten. Itu yang perlu direnungkan dan mendapat depth valuenya " Begitu pandangan Prof. Henry Soelistyo Budi yang sudah bertungkus lumus keterlibatannya dalam tataran basic policy terkait pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan HKI. Pandangan ini akhirnya dapat disetujui oleh Gunawan Suryomurcito, yang juga sudah bertungkus lumus dalam tataran enactment policy. Beliau setuju jika local working diatur dengan aturan-aturan implementasi praktis Daitur dalam aturan organik, jangan dengan undang-undang. Para ilmuwan dana kalamngan akdemisi diajak untuk tidak berhenti di tataran teoritis dan normatif belaka, tapi perlu juga melihat pada tataran praktik, ajak Gunawan Suryomurcito yang saat ini sebagai praktisi urusan HKI di Kantor Suryomurcito&Co. Memang begitulah, si buta bertugas untuk menghembus lesung, si tuli untuk membunyikan meriam. Ilmuwan memberikan pandangannya, para pembuat kebijakan membuat kebijakannya dan para pelaksana kebijakan akan mengeksekusinya. Akhirnya seperti apa yang diperkirakan Prof. Agus Sardjono, muncul juga dalam diskusi ini, apa yang sudah ia sampaikan kepada Direktur Paten dalam satu kesempatan, "Bahwa terkait soal local working diatur lebih lanjut ". Bahkan ia juga sudah sampaikan formulanya. Bahkan pada waktu itu Prof. Agus Sardjono menentang sanksi penghapusan paten ketika Pasal 20 tidak dijalankan. Intinya, "asing" memang cuma mau jualan produk ke pasar Indonesia. Mereka enggan untuk melaksanakan transfer of technology. Sebab apa yang disebut dengan patent disclosure itu tidak ada gunanya. Konsep enabling to work the invention hanya menjadi teori saja. Prof. Agus Sardjono-pun akhirmya menyalahkan bangsa kita sendiri, bukan perusahaan asing. Karena bangsa ini tidak mau bekerja keras, utamanya para pedagangnya yang tak mau repot. Cukup jadi tukang bungkus obat dan sudah dapat laba. Kelangkaan bahan baku yg disebut Dr. Djamal menurut Prof.Agus,Sardjono yang saat ini tercata sebagai Guru Besar Fakuktas Hukum UI dan juga Ketua Dewan Pembina APHKI, hanya jadi alasan agar tidak usah repot-repot membuat produk. Beli saja, selesai. Itu juga yang membuat ekonomi bangsa ini dikuasai makelaar. Penutup Akhirnya sebagai penutup diskusi dengan mengutip Prof Agus Sardjono, Saddam Shauqi yang saat ini tercatat sebagai Dosen Muda pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara mengingatkan kembali bahwa dalam Pembukaan UUD 45 ditegaskan tentang tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehiduan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum. Pasal 20 UU Paten boleh dikatakan merupakan perwujudan dari mandat konstitusi dalam mempertahankan kepentingan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum melalui (1) transfer of technology policy (2) penyerapan investasi (3) peneyediaan lapangan kerja. Akhirnya dari diskusi ini kita semua anggota APHKI dapat mengambil peranan dalam memperjuangkan nasib bangsa ini ke depan. Idealisme tak boleh luntur. APHKI secara kelembagaan bisa hadir menampilkan idealisme keilmuannya, sekaligus sebagai anak bangsa yang akan melahirkan konsep dasar sampai pada implementasi yang dituangkan dalam bentuk regulasi. Semoga ini bisa menjadi "suntikan vaksin" bagi anggota APHKI, demikian harapan Dr. Djamal, Staf Pengajar Hukum Kekayaan Intelektual dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung yang juga selaku Ketua Harian APHKI Periode 2020-2023. *) Penulis Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (APHKI) Periode 2020-2023.

Pak Luhut, Apakah Anda Menjadi Kaya Raya Tanpa Noda?

By Asyari Usman LUHUT Binsar Panjaitan (LBP) melayangkan somasi kepada Pengacara Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti (Direktur Koordinator Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras). Luhut merasa terhina dan terfitnah oleh video wawancara Haris di kanal Youtube-nya. Isi wawancara itu mengurai dugaan keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang di Blok Wabu, Papua. Kontras, Walhi, dan sejumlah lembaga nirlaba lainnya melakukan riset cepat. Tobacom Del Mandiri (TDM) menurut temuan riset itu, ikut dalam pengelolaan tambang di Blok Wabu. TDM adalah anak perusahaan Toba Sejahtera Group (TSG). Luhut adalah salah satu pemegang saham TSG. Mungkin sekali ada kelemahan dalam video Haris. Kita tidak tahu pasti. Tapi, riset bersama oleh sejumlah lembaga nirlaba itu tentu tidak main-main. Mereka pastilah sudah siap dengan segala risiko, termasuk kalau digugat oleh Luhut. Akan tetapi, mengingat sejarah Luhut dalam bisnis pertambangan dan juga bisnis-bisnis lain, apakah dia perlu mempersoalkan temuan riset yang dibeberkan di kanal Haris itu? Apakah Luhut itu seorang pebisnis yang bersih dari segala aspek? Somasi ini terasa berlebihan. Seolah Luhut itu seorang pengusaha dan penguasa yang suci, bersih, tanpa kesalahan? Apa iya? Jujur saja Pak Luhut, apakah Anda menjadi kaya raya seperti sekarang ini tanpa noda, tanpa ada yang dilanggar? Anda yakin praktik bisnis Anda di masa lalu benar-benar lurus? Tidak ada “abuse of power” (penyelewengan)? Tidak ada preferensi karena posisi Anda atau karena siapa Anda? Masa iya temuan riset yang menyebutkan Anda ikut dalam bisnis tambang di Blok Wabu sampai membuat Anda berang, Pak Luhut? Dan kemudian mengintimidasi agar Haris dan Fatia meminta maaf. Janganlah mentang-mentang Anda bisa mengerahkan siapa saja untuk bertindak, lantas Anda melayangkan somasi kepada Haris. Kemudian Anda mencoba memaksa dia dan Fatia tunduk meminta maaf. Haris Azhar dan Fatia Maulida pasti bukan orang sembarangan yang bisa diancam-ancam. Mereka punya reputasi. Mereka tak pernah berbisnis yang merugikan negara. Tak pernah ikut dalam kegiatan pertambangan; dan tidak pula memiliki kekuasaan. Mereka tak pernah menjadi makelar tanah. Tak punya rekening gendut. Mereka pastilah tak punya rekening di luar negeri yang isinya sampai miliran dollar. Mereka tidak sekaliber pejabat tinggi Indonesia yang disebut-sebut memiliki simpanan 1.5 miliar dollar di Singapura.[] (Penulis wartawan senior FNN)

Mural Insurrection

By Rizal Fadillah DALAM rangka memerdekakan negara dari kaum imperialis penting adanya perlawanan bahkan pemberontakan. Sejarawan Ahmad Mansyur Surya Negara dalam buku karyanya "Api Sejarah" telah menggambarkan dahsyat dan gigihnya pemberontakan kaum ulama dan santri (santri insurrection). Pemberontakan mana membangun semangat juang elemen lain untuk bersama melawan kezaliman kaum imperialis. Setelah merdeka, selalu saja ada penguasa yang berperilaku sama dengan kaum imperialis itu. Sok kuasa, gemar mengadu domba, mengkooptasi koalisi, abai pada aspirasi rakyat, serta cenderung menindas. Perlawanan pun muncul di tengah kezaliman tersebut dalam berbagai bentuk mulai dari sikap kritis para aktivis, petisi tokoh, aksi unjuk rasa mahasiswa, hingga santri dan ulama yang menggelorakan jihad. Puisi, graffiti dan mural termasuk yang menjadi media untuk perlawanan bahkan mungkin pemberontakan (insurrection). Rezim Jokowi mengarah pada perilaku imperialis. Oligarkhi politik, ekonomi dan etnik dibangun masif. Profil sederhana menjadi desepsi dari kebrutalan untuk membunuh demokrasi dan hak asasi. Sikap kritis aktivis dikendalikan, aksi unjuk rasa dibungkam, kriminalisasi ulama dijalankan. Pandemi dijadikan alasan. Penegakkan hukum menjadi alat dari kekuasaan. Fenomena perlawanan kontemporer adalah mural. Mural berasal dari bahasa latin "murus" artinya dinding. "Menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok, atau media luas lainnya yang bersifat permanen". Sejarah mural sudah ada 31.500 tahun yang lalu sejak ada lukisan gua di Lascaux Paris selatan. Menggunakan cat dari buah. Mural Pablo Picasso "Guernica" sangat terkenal dibuat saat perang sipil di Spanyol tahun 1936-1938 sebelum Perang Dunia pertama. Mural sejak awal menjadi bentuk ungkapan untuk mengkritisi masalah sosial. Pejabat yang paranoid sering menghapus mural. Membungkam protes walau konten itu sebenarnya hanya sekedar sindiran. Para seniman mengekspresikan jiwa seninya melalui lukisan di dinding. Rezim represif memburu dan mencoba membungkam atau menghukumnya. Pemerintahan Jokowi menghadapi insureksi mural saat ini. Yang ramai adakah wajah Jokowi yang tertutup mata bertuliskan "404 : Not Found". Di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Tangerang, Solo, Bogor hingga Banjarmasin mural merebak. Berbagai isi kritik tertulis seperti "Tuhan aku lapar", "Dipaksa sehat di negara yang sakit", "Wabah sesungguhnya adalah kelaparan", "Masyarakat minus nurani", "Yang bisa dipercaya dari TV hanya adzan", atau "Jangan takut tuan-tuan, ini cuma street art". Mural adalah seni yang butuh kecerdasan dan keberanian karena bermakna kuat sebagai kritik atau koreksi. Seseorang yang berbaju putih dengan kepala di lubang seperti burung unta bertuliskan "11.000 Trillion : Not Found" tentu mudah difahami maknanya. Demikian juga dengan "Selamat datang di Indonesia--NKRI harga nego". Kini banyak mural dihapus dan pembuatnya diburu. Tetapi adakah pelanggaran pidana ? Tentu tidak. Hanya mungkin sebatas pelanggaran Perda kebersihan dan keindahan. Itupun masih bisa diperdebatkan. Mural insurrection menjadi strategis bagi penyadaran perilaku kekuasaan yang selalu merasa benar dan anti kritik. Penguasa yang lupa bahwa rakyat jika terus diinjak akan bisa menggigit. Diawali oleh gerakan moral. Mural insurrection. Mural adalah manifestasi mual yang bisa membuat "murus" dan muang angin atau muang air kecil dan besar. Mural adalah perlawanan ketika elemen lain tak berdaya. DPR yang mati suri dan Partai Politik yang bermasturbasi. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Dihadang Dari Seluruh Penjuru, Mampukah Anies Tetap Melaju?

Oleh Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa) DINAMIKA terkait Gubernur DKI Anies Baswedan ini menarik. Sejak kalahkan Ahok di pilgub DKI 2017, segalanya menjadi dinamis. Pendukung Anies dituduh bermain politik identitas. Tuduhan ini terutama datang dari pendukung Ahok. Kalau kita belajar teori solidaritas sosial, maka tak ada masalah dengan politik identitas. Sesuatu yang alami, tidak dapat dihindari, dan akan terus ada di sepanjang sejarah. PKB dengan NU-nya, PAN dengan Muhammadiyahnya, PBB dengan Masyuminya, semua menggunakan politik identitas. Apalagi kalau pilkada, putera daerah non-putra daerah jadi isu yang sangat kuat. Yang menjadi masalah bukan politik identitas. Selama calon pemimpin itu punya integritas, punya kapasitas, mampu bekerja baik dan membuat kota itu maju, tak perlu dipersoalkan identitasnya. Yang disoal mesti personalnya. Meski tak kentara politik identitasnya, tapi kalau personalnya bermasalah: tak punya integritas dan kapasitas, apalagi korup, ini yang jadi masalah buat rakyat dan bangsa. Ini yang akan merusak negara dan sejarah Indonesia. Ini yang harus dipersoalkan. Tapi kenapa isu pilkada DKI yang terus dipersoalkan? Publik membaca ada kekuatan besar, terutama kekuatan politik dan ekonomi, yang tidak menghendaki Anies. Kenapa Anies ditolak? Secara politik, Anies punya kans besar untuk menjadi presiden. Bahkan kans ini terbaca sejak Anies jadi Mendikbud. Secara ekonomi, Anies sulit berkompromi jika itu melanggar aturan dan merugikan negara. Pembatalan pulau reklamasi menjadi salah satu buktinya. Nyata, jelas dan terang benderang. Tak ada kompromi jika itu melanggar aturan dan merugikan negara. Publik harus paham dan obyektif soal ini. Nampaknya, ini bukan kebijakan untuk keren-kerenan. Tapi ini kebijakan yang sungguh berisiko. Karena yang dihadapi adalah kekuatan ekonomi besar. Dua kekuatan, yaitu politik dan ekonomi ini yang nampaknya terus berupaya mengganggu Anies. Maka, semua ruang yang mendukung Anies ke kursi presiden dijegal, ditutup dan dihalangi. Semua hal yang berpotensi membuat popularitas, akseptabilitas (respek publik) dan elektabilitas Anies naik, akan diganggu. Pembahasan revisi UU Pemilu yang sudah masuk ke prolegnas DPR, mendadak ditarik. Dengan revisi UU Pemilu, 2022 dan 2023 akan ada pilkada. Surveinya, elektabilitas Anies 60-65 persen jika pilgub DKI digelar tahun 2022. Akhirnya, rencana revisi UU Pemilu dibatalkan. Tidak sampai disitu. Formula E sebagai even internasional yang akan digelar oleh Anies di 2022 juga berupaya dibatalkan dengan interpelasi. Tidak main-main, ada 33 anggota DPRD dari Fraksi PDIP dan PSI yang mengajukan hak interpelasi. Macam-macam argumennya. Intinya, mau jegal Anies. Kenapa diinterpelasi, karena even ini dianggap akan semakin mempopulerkan nama Anies. Tidak saja di tingkat nasional, tapi juga di mata dunia internasional. Jika ini terealisir, akan ikut memuluskan jalan Anies ke istana. Namun, 7 fraksi di DPR menolak interpelasi tersebut. Tetap mendukung terlaksananya Formula E di 2022. Kalau even ini terlaksana, maka komitmen fee yang sudah terbayar tidak hilang, dan peluang investasi di Indonesia, dan di Jakarta khususnya, akan terbuka. Dengan begitu, ini bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi yang sedang loyo karena pandemi. Tampaknya manuver interpelasi gagal lagi. Tidak sampai di situ, Jakarta Internasional Stadium (JIS), lapangan sepakbola bertaraf internasional ini pun juga digugat. Demi hemat anggaran di masa pandemi, JIS diprotes dan diminta untuk dihentikan. Stadion yang lebih megah dari stadion Real Madrid ini dianggap akan menjadi pembangunan monumental Anies. Ada yang khawatir stadion ini akan semakin melambungkan nama Gubernur DKI Jakarta ini. Setelah pilkada diundur ke 2024, Formula E diinterpelasi dan JIS digugat, entah apalagi yang akan dipersoalkan di DKI. Publik memprediksi, gangguan kepada Anies tidak akan berhenti sampai disini. Kabarnya, sudah ada gerilya ke parpol-parpol untuk menghalangi dukungan ke Anies maju di pilpres 2024. Nasibmu Nis... Nis... Tapi kalau Tuhan menghendaki Anies jadi presiden, ya takdirnya akan tetap jadi presiden. Tugas Anies yang tinggal setahun lagi di Jakarta ini adalah menuntaskan janji-janjinya dan menyelesaikan pekerjaan yang sudah dimulai. Tetap harus jaga integritas, karena rakyat butuh pemimpin yang berintegritas selain berkapasitas. Soal presiden, serahkan kepada rakyat, karena rakyat tidak akan buta untuk melihat mana yang terbaik buat bangsa ini. Tugas para pemimpin, khususnya pemimpin daerah adalah menunjukkan kinerja dan prestasi terbaik, bukan sibuk main medsos dan bikin pencitraan di media. Ke depan, rakyat butuh pemimpin yang jujur dan apa adanya. Bukan pemimpin yang banyak polesan. Jakarta, 28 Agustus 2021