Sepuluh November dan Belajar Merdeka

Gelombang industrialisasi dan pembesaran persekolahan itu telah menyebabkan peran sektor pertanian yang semakin merosot, terjadinya urbanisasi besar-besaran selama 40 tahun terakhir. Jika selama Orde Lama wong cilik harus menjadi tentara, atau anggota PKI untuk naik kelas sosialnya, maka sejak Orde Baru hingga hari ini, wong cilik perlu bersekolah, terutama supaya menjadi profesional, pegawai negeri, atau buruh pabrik dan toko milik para taipan asing, aseng maupun asong. Menjadi petani bukan lagi pilihan menarik bagi kaum milenials.

Oleh Daniel Mohammad Rosyid

BESOK kita akan memperingati satu episode penting dalam sejarah Republik ini, yaitu bagaimana para pemuda dari hampir seluruh pelosok negeri berdatangan ke Surabaya, menjawab ultimatum Pasukan Sekutu agar Indonesia menyerah dan kembali menjadi bagian dari negeri jajahan Belanda. Waktu itu, pasukan NICA dan juga elemen PKI poros-Moskow membonceng Pasukan Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia Ke II.

Beberapa hari sebelumnya, pada 22 Oktober 1945, Hadratusyeh Hasyim Asy'ari telah mengeluarkan Fatwa Jihad atau dikenal Resolusi Jihad. Semangat jihad itu kemudian dikobarkan oleh Bung Tomo dalam pidatonya yang masyhur. Pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris kemudian harus kehilangan beberapa perwira tingginya di pertempuran Surabaya itu, termasuk Birgadir Jenderal A.W.S.Mallaby.

Itu sekitar 3 bulan setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agusrus 1945. Begitulah penjajah yang tidak pernah rela membiarkan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

Melalui serangkaian aksi polisionil dan perundingan, Belanda kemudian berhasil memaksakan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 1949. Salah satu isi kesepakatannya adalah Republik Indonesia diubah menjadi Republik Indonesia Serikat. Jelas ini adalah kelanjutan dari strategi devide et impera yang selama hampir 300 tahun dipaksakan Belanda di Nusantara sebagai bentang alam seluas Eropa dengan kekayaan alam yang melimpah ruah.

Strategi berikutnya selain membebankan biaya perang Belanda di Indonesia ke Pemerintah Republik adalah RIS harus mengikuti prinsip-prinsip pengaturan keuangan sesuai International Monetary Fund (IMF). Sejak itulah Indonesia dijebak dalam hutang ribawi hingga hari ini. Upaya menjajah yang tidak pernah kendor itu adalah sifat dasar para imperialis nekolim guna memastikan pasokan bahan-bahan baku, hasil-hasil pertanian dan pertambangan yang dibutuhkan oleh revolusi Industri Barat.

Sustained imperialism dipertahankan melalui sebuah proxy, neo-cortex war dengan memanfaatkan tiga institusi penting industrialisasi dan westernisasi, yaitu perbankan, korporasi, dan sekolah. Perbankan memastikan negara-negara yang baru merdeka itu masuk dalam perangkap utang ribawi, korporasi menjadi instrumen non-state actors untuk melakukan operasi pengurasan berbagai sumberdaya alam atas nama investasi dan kemitraan. Sekolah menjadi instrumen penyediaan buruh yang cukup terampil menjalankan mesin-mesin pabrik, sekaligus cukup dungu untuk disiplin dan patuh bekerja bagi kepentingan pemilik modal.

Kemerdekaan yang telah diproklamasikan Dwi Tunggal itu mensyaratkan budaya bangsa yang merdeka. Itu diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945 kepada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, sejak Orde Baru, pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa itu telah dibegal oleh persekolahan (segala sesuatu mengenai sekolah) menjadi sekedar instrumen teknokratik untuk kepentingan sustained imperialism tersebut.

Sekolah penyedia buruh

Persekolahan juga terbukti menjadi instrumen sekulerisasi besar-besaran. Beberapa kebijakan Mendikbudristek (Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) baru-baru ini semakin memperjelas misi persekolahan itu. UU No. 18/2019 tentang Pesantren adalah instrumen menyekolahkan di pesantren supaya dikerdilkan menjadi penyedia buruh terampil.

Gelombang industrialisasi dan pembesaran persekolahan itu telah menyebabkan peran sektor pertanian yang semakin merosot dan terjadinya urbanisasi besar-besaran selama 40 tahun terakhir. Jika selama Orde Lama wong cilik harus menjadi tentara, atau anggota PKI untuk naik kelas sosialnya, maka sejak Orde Baru hingga hari ini, wong cilik perlu bersekolah, terutama supaya menjadi profesional, pegawai negeri, atau buruh pabrik dan toko milik para taipan asing, aseng maupun asong. Menjadi petani, bukan lagi pilihan menarik bagi kaum milenials.

Merenungkan Hari Pahlawan dalam pertempuran Surabaya hampir 76 tahun silam itu sebagai upaya merebut kembali kemerdekaan dan mempertahankannya. Sebagai anak bangsa kita perlu merumuskan kembali filosofi dan praksis/praktik pendidikan sebagai strategi budaya dalam menyediakan prasyarat bagi bangsa yang merdeka. Keberadaan internet telah mengurangi dominasi persekolahan dan pandemi telah mengurangi dominasi itu lebih jauh lagi.

Dalam perspektif Sepuluh Nopember untuk merebut kembali kemerdekaan itulah kita perlu merekonstruksi Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) menjadi “instrumen budaya untuk belajar merdeka”, dalam usaha menyediakan prasyarat budaya bagi bangsa merdeka. Seperti amanat Ki Hadjar Dewantoro, kita perlu memperkuat keluarga dan masyarakat dalam mendidik warga muda. Peran sekolah akan jauh berkurang seperti telah terjadi selama lima tahun terakhir. Peran sekolah tidak akan dan tidak boleh sebesar dan sedominan dulu lagi. Kini kita perlu bergeser pada paradigma belajar, atau berguru, bukan bersekolah.

Gunung Anyar, 9 November 2021.

Penulis adalah Rosyid College of Arts, Surabaya.

294

Related Post