OPINI
23 Tahun Reformasi, Rakyat Yang Sengsara, Penguasa Berpesta Pora
by Ubedilah Badrun Jakarta, FNN - Loh kok bisa? Perlu mengumpulkan data untuk membuat kesimpulan judul tulisan ini. Dua puluh tiga tahun reformasi telah berlalu, rakyat masih sengsara, tetapi penguasa berpesta. Rakyat menangis ditengah wajah kuasa yang terlihat bengis. Mungkin ada yang terhenyak dengan narasi itu. Bahkan mungkin merespon dengan sentimen, menyerang personal dan nyinyir. Respon semacam itu dapat dipahami, mungkin karena belum mengerti bahwa kritik adalah gizi demokrasi yang bisa membuat pemerintah introspeksi dan bisa membuat demokrasi lebih maju. Mungkin juga belum mengerti tentang satu dimensi penting bahwa tanggungjawab intelektual itu membebaskan manusia dari penderitaan (Moh.Hatta, Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensia, LP3ES,1983). Fungsi itu yang sesungguhnya sedang dijalankan akademisi maupun kelompok oposisi. Dalam bahasa Antonio Gramsci fungsi intelektual semacam itu disebut intelektual organik (Antonio Gramsci, Prison Notebooks, 1970). Bulan Mei, dua puluh tiga tahun lalu intelektual organik di Indonesia menjadi kunci penting bagi hadirnya gerakan reformasi 1998. Pada momentum 23 tahun reformasi ini mari kita berpikir sejenak mengurai data satu persatu meski tidak semuanya dibeberkan. Sebab artikel singkat ini tidak mungkin menampung seluruh derita rakyat. Rakyat Sengsara Kita mulai dari data turunnya angka pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal I-2020 angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 2,97%. Pertumbuhan tersebut mengalami kontraksi 2,41% dibandingkan triwulan IV 2019 yang tercatat 4,97%. Itu maknanya konsumsi, investasi, maupun belanja pemerintah mengalami penurunan. Kondisi ini menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia mengalami penurunan daya beli. Bahkan, konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) merosot tajam. Dari sini sesungguhnya sudah mulai terlihat derita rakyat. Itu kuartal I awal tahun 2020 dimana angka pertumbuhan ekonomi turun drastis tetapi belum minus. Faktanya kemudian dari tahun 2020 hingga kuartal I tahun 2021 ini angka pertumbuhan ekonomi kita berturut-turut minus. Indonesia memasuki jurang resesi ekonomi yang dahsyat. Ini data angka pertumbuhan ekonominya. Minus 5,32 % pada kwartal II , minus 3,49 % pada kwartal III, minus 2,19% pada kwartal IV tahun 2020, dan di kwartal I tahun 2021 ini angka pertumbuhan ekonominya tetap minus 0,74 %. Bayangkan empat kwartal berturut-turut minus. Itu artinya Indonesia berada di jurang resesi ekonomi berkepanjangan. Indonesia belum mampu keluar dari resesi ekonomi. Kalah sama India yang sudah keluar dari resesi ekonomi dengan angka pertumbuhan positif 0,4 %, bahkan Indonesia kalah dengan Vietnam yang kini angka pertumbuhan ekonominya positif 4,48% . Indonesia tak kunjung pulih. Rakyat masih terus sengsara. Ada sekitar 10 juta pengangguran. Angka itu mengacu pada data BPS yang naik nyaris 3 juta orang dari jumlah pengangguran 2019 sebanyak 7,1 juta orang. Namun, data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan jumlah pengangguran Indonesia pada 2021 meningkat antara 10,7 sampai 12,7 juta orang. Itu jumlah pengangguran, jangan tanya jumlah orang miskin? Datanya makin menunjukan tingkat kesengsaraan rakyat yang terus bertambah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin pada September 2020 sebanyak 27,55 juta jiwa atau meningkat 2,76 juta dibandingkan tahun sebelumnya.Tahun 2021 ini diperkirakan angka kemiskinan masih terus bertambah. Itu data resmi negara, namun secara empirik saat ini angkanya bisa lebih dari itu. Ya, rakyat sengsara. Penguasa Berpesta Jika rakyat sengsara, apakah penguasa ikut sengsara? Tidak ! Mereka berpesta. Sebab, selain mereka dapet honor lain lain, mereka masih menikmati gajih secara utuh dari pajak rakyat. Lebih miris korupsi penguasa masih sering kita dengar. Bayangkan ditengah rakyat menderita, tega-teganya uang untuk bantuan sosial (bansos) rakyat miskin dikorupsi. Tidak hanya itu korupsi juga terjadi di sektor pajak, dan lain-lain. Puluhan hingga ratusan milyar dikorupsi, bahkan secara total diduga kuat angka korupsinya mencapai triliunan rupiah. Ya, penguasa berpesta dengan kue korupsi. Kini ditengarai sedang terjadi semacam 'bancakan uang APBN' untuk modal pemilu 2024. Ya, penguasa pesta uang APBN. Rakyat tak usah diperhatikan. "Persetan Rakyat !" Kata anggota DPR versi DPR-Musikal yang viral itu. Terjadinya korupsi yang terus-menerus ini menyebabkan indek persepsi korupsi (corruption perception Index) Indonesia sangat buruk, skornya 37 (Transparency International,2020). Itu artinya rapotnya masih merah karena skor 37 dari rentang 0 sampai 100. Kini rezim makin berpesta karena UU KPK versi revisi sudah disahkan, upaya 51 Guru Besar yang meminta Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) juga ditolak, dan puluhan penyidik KPK yang berintegritas kini bakal tersingkir melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan yang janggal itu. KPK dan MK dua lembaga yang dibangun dengan darah dan nyawa Reformasi kini lunglai terpuruk di titik nadir. Cendekiawan Yudi Latif di sebuah media nasional menyebut ini sebagai Penghancuran Pencapaian (6/5/2021). Ya penguasa berpesta, sebab koruptor yang merugikan negara puluhan triliun rupiah dibebaskan. Sejak UU KPK yang baru disahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah KPK mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) untuk koruptor BLBI yang merugikan uang negara triliunan rupiah itu. Itu permulaan, sangat mungkin akan ada SP3 berikutnya. Para penguasa bisa berkesimpulan Korupsi tidak apa-apa nanti juga bisa di SP3. Itu narasi pesta para penguasa. Miris dan menyakitkan. Agenda reformasi untuk memberantas korupsi makin hancur lebur. Mereka berpesta ditengah remuknya harapan rakyat. Berpesta ditengah rakyat sengsara! Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
Poros Serpong, Repetisi Keluar Dari Malapetaka Bangsa (Bagian-1)
by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Pertemuan sejumlah tokoh penting dalam acara diskusi Redaksi Forum News Network (FNN.co.id) yang diperluas, menarik atensi publik dan jagar politik nasional. Laksana oase yang sudah lama dinanti-nanti. Oase untuk melepas dahaga di tengah atmosfer gersang kemarau panjang dinamika politik di republik ini. Hanya berselang beberapa menit setelah acara dibuka, dan para figur utama mengutarakan gagasan di podium, saya mendapatkan informasi jika media sosial sudah riuh. Publik bersahut-sahutan merespons foto-foto yang dilansir dari ajang kegiatan yang berlangsung. Medsos bergemuruh. Tak jauh berbeda dengan suasana di Aula Insan Cendekia Madani (ICM) yang dihadiri undangan terbatas representasi dari beberapa elemen. Duduk bersama di satu meja antara lain Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattalitti, Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli dan banyak tokoh penting dalam satu forum kebangsaan yang digagas media FNN.co.id memang sesuatu yang langka. Ketiga figur terbaik di republik tersebut, masing-masing punya tensi kesibukan dan aktivitas yang tinggi. Lebih dari itu, persoalan paling substantif adalah mereka telah berada pada frekuensi yang sama dalam melihat persoalan bangsa di tengah resesi ekonomi dan krisis multidimensi. Pertemuan di bulan suci nan agung yang dirangkaikan dengan buka puasa bersama, kita do’akan membawa berkah tersendiri bagi negeri ini. Urun gagasan para tokoh, membuka gerbang harapan, memperkaya khazanah kebangsaan dengan ide-ide cerdas. Terutama merespons situasi kontemporer. Termasuk dinamika politik. Media bahkan memberikan nama tersendiri untuk acara dialog yang sebetulnya rutin dilaksanakan Redaksi FNN, dan menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang. “Poros Serpong”. Begitu media nasional menyebutnya. Kita tentu sudah paham, kemana terminologi kata “Poros” berkiblat. Tak lain merujuk pada kristalisasi kekuatan-kekuatan politik yang mengemuka seiring pembicaraan ke arah kontestasi elektoral. Media tentu saja masih mengenang “Poros Tengah” di belantara politik Indonesia. “Poros Tengah” lahir sebagai monumen penting di pelataran sejarah bangsa. Sebab “Poros Tengah”, berhasil mengorbitkan almarhum Gus Dur sebagai Presiden di tengah arus dinamika elit yang menegang. Lalu, apakah “Poros Serpong” akan kembali mencatat sejarah di tengah situasi yang tak jauh berbeda dengan peristiwa tahun 1999 silam? Biar waktu dan sejarah yang mencatat. Yang pasti, para tokoh dan figur yang hadir, memboyong bongkahan spirit perubahan. Perubahan kini telah menjadi kebutuhan yang mendesak menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Sebagai tuan rumah, barangkali perlu juga saya sampaikan bahwa pertemuan yang kini jadi sorotan itu, sebetulnya tidak dalam intensi menciptakan poros politik. Sebab ini bukan pertemuan Partoi Politik (Parpol). Bukan juga safari elit Dewan Pimpinan Pusat (DPP) parpol. Ini hanya silaturahmi dengan frekwensi yang sama, yaitu perubahan, perubahan dan perubahan. Bila kemudian buah dari pertemuan tersebut menciptakan efek kejut politik, itu sesuatu yang wajar dan patut disambut secara positif pula. Apalagi memang, figur-figur yang hadir, harus diakui masing-masing punya kapasitas politik mumpuni. Pengaruh kuat mengakar ke bawah, laiknya satu institusi parpol. Belum lagi nama-nama tersebut selalu mencuat di blantika survei elektoral. Pak Nyalla, selain sejak lama dikenal sebagai organisatoris ulung di Pemuda Pancasila, KADIN dan PSSI, saat ini juga merupakan pejabat negara. Sebagai Ketua DPD RI. Lembaga yang mewadahi senator dari 34 provinsi, dan selalu disebut sebagai Fraksi terbesar di MPR. Mereka senator DPD adalah para wakil rakyat yang memperoleh legitimasi politik paling kuat di Senayan. Begitu pula dengan sosok Jenderal Gatot Nurmantyo. Mantan Panglima TNI, yang meski sudah Purnawirawan, tetapi masih terus berkiprah membangun negeri melalui kegiatan-kegiatan sosial dan gerakan politik moral. Satu dari tiga orang Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Lembaga yang mewadahi cendekiawan, aktivis, akademisi, profesional dan berbagai elemen bangsa dengan jaringan tersebar di seluruh Indonesia. Demikian pula Dr. Rizal Ramli. Sosok ekonom kawakan. Beberapa kali berada di jajaran eksekutif sebagai Menteri. Berjejaring di level politik dan ekonom internasional. Meski demikian, hingga kini Rizal tetap teguh dengan idealisme perjuangan. Kritis, lugas dan bernas dalam menyampaikan pandangan-pandangan terhadap situasi kebangsaan. Khususnya persoalan ekonomi Indonesia. Namun apapun itu, kita tentu juga tidak bisa menegasi pembacaan publik jika ada yang menilai bahwa ini adalah “Poros Serpong”. Melihat duduk bersama La Nyalla, Jenderal Gatot dan Dr. Rizal Ramli sebagai satu kekuatan politik baru di luar spektrum parpol. Tetapi, sekali lagi, ini pertemuan rutin yang sudah didahului dengan forum-forum sebelumnya. Bakal diikuti dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Di luar itu, juga kehadiran sosok-sosok penting, termasuk dua Menteri era SBY, Menteri Sosial Bachtiar Hamzah dan Menteri Kehutanan MS. Kaban, juga Natalius Pigai, Ahmad Yani, Adhie Massardi, Marwan Batubara, Muhammad Said Didu dan yang lainnya. Persoalan esensial yang justru menarik kita untuk diskusikan lebih lanjut, adalah isu yang mencuat di balik berkumpulnya para tokoh yang konsen mengikuti dinamika kebangsaan kontemporer tersebut. (bersambung). Penulis adalah Senator DPD RI.
Bobrok & Kacaunya Intelijen Negara Era Reformasi Lalulintas
by John Mempi Jakarta FNN - Eksistensi suatu negara dijaga oleh dua Institusi. Secara fisik dijaga oleh militer, dan secara non-fisik dijaga oleh intelligence. Di dunia ini, sistem politik apapun yang diterapkan suatu negara, selalu ditegakan dan dijaga oleh kekuatan kekuatan bersenjata (militer) yang bersifat offensive, dan kekuatan intelligence yang bersifat preventive. Begitu selalu adanya. Intelijen adalah seni, bukan science. Intelijen adalah planologi, bukan arsitek. Intelijen adalah kecerdasan, bukan kekerasan. Intelijen adalah fungsi, bukan posisi. Intelijen adalah negara bayangan. Semua operasi intelijen hanya bisa dirasakan. Tetapi tidak bisa untuk dibuktikan. Saat keadaan perang terbuka, intelijen militer (combat intelligence) sebagai garda terdepan untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman. Saat keadaan damai, maka intelijen sipil (bussines and political intelligence) sebagai garda terdepan untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman. Begitu dunia intelijen punya mau. Kecuali intelijen yang odong-odong, kaleng-kaleng atau beleng-beleng. Pada eranya kekuasaan Orde Baru, intelijen membagi peran manusia Indonesia menjadi dua bagian, yaitu kelompok pejuang dan pedagang. Mereka ibarat rel kereta api dengan tujuan yang sama. Pejuang disupport habis oleh pedagang, dan pedagang diback-up habis oleh pejuang. Lain halnya dengan intelijen di era reformasi. Rel kereta apinya disatukan menjadi monorail. Mereka yang pejuang merangkap sebagai pedagang, sehingga mengakibatkan penjahat dan pejabat bersatu dalam satu kubu. Penjahat dan pejabat disatukan di satu lintasan kereta. Awalnya, pejabat dikendalikan penjahat. Lalu berikunya penjahat yang berjuang untuk menjadi pejabat. Akhirnya penjahat yang menguasai negara. Ini memang tragis dan memilukan sekali. Ketika eranya Reformasi dimulai, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) dirobah menjadi Badan Intelijen Negara (BIN). Saat itulah BIN sebagai lembaga intelijen negara mulai kehilangan fungsi dan perannya. Karena tidak lagi mempunya eksistensi, maka BIN kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) yang bertujuan mencetak personil -personil intelijen baru. Akibatnya, pihak intelijen asing dapat dengan sangat mudah melakukan tracking personil intelijen Indonesia. Pekerjaan tracking dari intelijen asing menjadi mudah dan sangat mudah sekali. Misalnya, cukup hanya dengan mendapatkan database siswa dan alumni STIN. Karena STIN merupakan sekolah tinggi, maka untuk memenuhi kebutuhan akademik, STIN juga mempunyai Profesor dan Guru Besar intelijen yang hanya ada di Indonesia. Negara lain tidak mempunyai Prefesor dan GUru Besar intelijen. September 2020, BIN memberikan penghargaan kepada beberapa pejabat negara sebagai warga kehormatan. Padahal track record sebagian pejabat yang diberikan kehormatan tersebut sangat "tidak terhormat". Soekarno dianggap sebagai inspirator intelijen indonesia, sehingga Patung Soekarno berdiri di STIN. Walaupun sesungguhnya inspirator intelijen di Indonesia adalah Sri Sultan Hamengkubowono IX, yang menjadi penasehat spiritualnya Presiden Amerika Serikat ke-40 Ronald Reagan (1981-1989). Dalam operasinya, BIN berobah seperti BUMN yang terbuka untuk publik. BIN menjadi struktural dan administratif, Sehingga hal itu mengakibatkan kompartment intelijen yang eksis di era Orde Lama dan Orde Baru secara alamiah keluar dan meninggalkan BIN. Kemudian kompartement intelijen ini membuat organisasi tanpa bentuk. Mereka membiayai operasinya sendiri, hasil dari modal yang dikumpulkan di era Orde Lama dan Orde Baru. Mereka meninggalkan cara-cara kerja intelijen lalulintas yang ditarapkan di era reformasi sekarang. Mereka tetap beroperasi karena kecintaan terhadap bangsa dan negara indonesia. Mereka juga tetap teguh berpegang kepada ikrar yang diucapkan, yaitu "kami datang dan berkumpul di Bogor. Tidak saling mengenal. Kami berpisah sebagai kawan seperjuangan untuk membela Tanah Air”. Ciri yang menonjol dari kompartemet intelijen era Orde Lama dan Orde Baru adalah, ketika ada diantara mereka yang meninggal dunia, mereka diperlakukan seperti rakyat biasa. Tanpa ada upacara pemakaman. Tanpa ada pemakaman di Taman Makam Pahlawan. Sebagai bentuk penghormatan, hanya kawan seperjuangan mereka yang mendatangi kuburan satu persatu. Sikap ini karena mereka terikat dengan sumpah untuk tidak saling kenal-mengenal sampai dengan ajal menjemput. Pola-pikir dan pola-kerja seseorang itu dibentuk dan ditentukan berdasarkan pengalaman masa lalunya. Masa lalunya akan terlihat pada cara dan pola kerjanya ketika menjabat. Kekonyolan kerja-kerja BIN semakin bertambah bobrok, kacau-balau dan amburadul dengan menempatkan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN. Seorang polisi yang masa lalunya hanya berpengalaman dalam bidang lalulintas dan ajudan. Hanya itu saja. Tidak lebih dari itu Kerusakan pada institusi BIN semakin dalam ketika para agent BIN berobah statusnya menjadi pegawai BIN. Makanya tidaklah aneh jika setiap hari Senin sampai Rabu, agent yang berubah menjadi pegawai BIN, wajib mengenakan “baju putih” sesuai dengan bajunya Presiden Jokowi. Sedangkan pada hari Kamis sampai Jumat mengenakan “baju batik”. Bahkan para pejabat BIN dengan bangga berpose menggunakan seragam militer dengan tanda pangkat bintang di pundaknya. Supaya terlihat publik gagah sebagai orang intelijen. Prilaku pejabat BIN yang bangga berpose menggunakan seragam militer dengan tanda pangkat bintang ini, hanya untuk memperlihatkan kepada masyarakat berkaitan posisi dan jabatannya di BIN. Warna kantor BIN di Pejaten berobah menjadi warna merah, sesuai dengan warna partai yang berkuasa. Pergantian struktur pejabat di BIN diumumkan secara terbuka kepada publik. Sementara di daerah-daerah, KABINDA tampil terbuka layaknya kepala daerah bayangan dan ikut dalam kegiatan Pilkada. Dahulu itu partai politik di bawah kendali BIN. Namun sekarang terbalik. BIN berada dibawah kendali partai politik. Pemilihan Kepala BIN bukan berdasarkan kepentingan negara. Tetapi berdasarkan kepentingan partai politik. Kalau di eranya Orde Baru, Kepala BIN disibukan untuk mengumpulkan Informasi, Sementara di eranya Reformasi ini, Kepala BIN disibukan dengan mengumpulkan uang untuk mempertahankan kekuasaan. Tragisnya lagi, BIN membentuk “Pasukan Rajawali” yang merupakan pasukan pemukul yang dipamerkan kepada publik. Seharusnya tidak perlu di publikasikan. Tetapi dengan bangganya diperkenalkan kepada masyarakat, seakan-akan ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah BIN. Pasukan Rajawali merupakan pasukan khusus BIN model pasukan anti-teror. Dalam operasinya, BIN menerapkan aksi-aksi teror untuk mengamankan kekuasaan. Contoh yang paling telanjang dan terbuka adalah kasus Habib Rizieq Shihab (HRS). Pada eranya Orde Baru, pengusaha dan pejabat digalang oleh Intelijen. Sementara di era Reformasi, intelijen digalang oleh pengusaha dan pejabat. Akhirnya negara dikuasai oleh kawanan penjahat. Pada era Orde Baru, setiap interogasi intelijen menghasilkan informasi. Namun di era Reformasi, interogasi menghasilkan duit. Perbedaan paling mencolok intelijen di era Orde Baru dengan eranya Reformasi adalah, jika Orde Baru dikenal dengan “operasi intelijen”. Sementara ira Reformasi dikenal dengan “proyek intelijen”. Misalnya, saat pandemi Covid-19, BIN terlihat bersaing dengan institusi lainnya untuk berebut anggaran dengan menggelar Rapid Test massal dan gratis. BIN menggunakan mobile laboratorium layaknya pelayanan SIM dan STNK Keliling, dan mobil yang penyemprot disinfektan. Cara-cara kerja polisi lalulintas yang hari ini terlihat dominan pada kerja-kerja BIN. Ini wajar saja, karena Kepala BIN mantan polisi lalulintas. Persoalan lain dari kerja-kerja BIN yang bobrok dan kacau-balau adalah banyak personel BIN yang saat ini diisi oleh anggota Polri. Lagi-lagi, karena Kepala BIN berasal dari polisi lalulintas yang miskin dan tidak mempunyai background intelijen. Jika ada background intelijen, itu hanya sebatas kualifikasi reserse kriminal. Kebiasaan anggota Polri yang ingin tampil di media massa dalam gelar perkara (press conference) secara alamiah ikut terbawa ketika anggota Polri masuk ke dalam institusi BIN. Saat ini Covid-19 bukan lagi sebagai masalah kesehatan semata. Melainkan sudah menjadi masalah kedaulatan negara. Sehingga TNI wajib untuk turun tangan, karena berkaitan dengan sistem pertahanan negara. Trasgisnya, pemerintah Indonesia menganggap persoalan Covid-19 hanya sebagai masalah perdagangan saja. Beginilah akibat kerja dari Kepala BIN yang mantan polisi lalulintas. HRS yang dahulu merupakan produk intelijen di era Orde Baru, saat reformasi menjadi musuh utama dan terutama dari BIN. Padahal HRS yang selalu berbicara persoalan keselamatan negara. Namun karena BIN tidak berbicara soal keselamatan negara. Tetapi tentang persoalan keselamatan dari Kepala Negara. Bagaimana agar tetap bertahan di singgasana kekuasaan. Sudah pasti tidak nyambung prekwensinya. Bedanya antara laingt-langit dan bumi-bumi. Para agen muda BIN yang saat masuk pertama kali ke dalam BIN dengan idealisme tinggi. Tetapi setelah di dalam, dirusak moral dan mentalnya oleh atasannya sendiri, Misalnya, dengan melakukan operasi-opreasi yang hanya untuk kepentingan pribadinya petinggi dan Kepala BIN semata. Sementara di kalangan perwira, baik TNI maupun Polri, hari ini BIN dijadikan sebagai tempat untuk menaikan pangkatnya orang-orang yang tidak berprestasi di TNI dan Polri. Kasus yang paling memalukan dan menyedihkan adalah KABINDA Papua yang ditembak mati oleh gerombolan bersenjata. Ketika Papua terdapat suatu kelompok bersenjata, maka daerah tersebut merupakan daerah operasi militer, sehingga intelijen yang beroperasi di Papua adalah combat intelligence (BAIS). Bukan BIN, karena tidak sepantasnya seorang yang berpangkat Brigjen dengan kualifikasi pasukan Gultor Kopassus harus ikut patroli di daerah perang gerilya. Cukup hanya setingkat Komandan Palaton (Danton) atau Komandan Regu (Danru) saja. Akhirnya TNI harus menanggung malu, dan membayar mahal akibat kesalahan kebijakan pemerintah yang menurunkan derajat kewaspadaan, dengan menganggap masalah di Papua adalah masalah teroris semata. Kenyataan ini tidak terlepas dari masalah konstitusi yang melahirkan arogansi. Banyak komponen masyarakat yang tertekan dan terpinggirkan oleh kebijakan di era Orde Baru. Namun Orde Baru telah melunasi hutang sosial politiknya di era Reformasi ini. Caranya memberikan kekuasaan politik seluas-luasnya kepada kelompok yang merasa disakiti dan dipinggirkan selama Orde Baru berkuasa. Radikal Kiri dan Radikal Kanan, Ekstrim Kiri dan Ekstrim Kanan, Non-Muslim dan Non-Jawa diberi kesempatan untuk mengelola pemerintahan. Hasilnya seperti yang terlihat hari ini. Intelijen negara bobrok, kacau-balau dan amburadul. Akhirnya, setelah 22 tahun Reformasi, masyarakat dapat menilai hasil pembangunan yang dicapai dengan basis sakit hati dan dendam kesumat yang tiada akhir. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Pemerhati Intelijen & Akitivis ’98.
Presiden Renggut Kebahagiaan Rakyat Dengan Teror
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sedih dan miris melihat beberapa foto dan video beredar di media sosial (medsos) yang yang berkaitan dengan pergerakan muduk lebaran. Foto dan video yang menggambarkan betapa ketat aparat keamanan menjaga batas pintu masuk Kabupaten-Kota di Pulau Jawa. Aparat melakukan segala cara untuk menghalangi masyarakat pulang kampung. Salah tersebut satu video menayangkan konon di perbatasan Bogor-Bekasi penjagaan sampai dengan mengerahkan kendaraan militer. Media melansir berita bahwa "Satuan Tempur TNI Dikerahkan untuk penyekatan Pemudik di Jawa Tengah". Ada tiga hal yang memprihatinkan rakyat, bangsa, dan negara dengan fenomena ini. Pertama, keterlibatan militer untuk penyekatan "menghadapi" rakyat pemudik adalah berlebihan. Institusi yang kompeten cukup Kepolisian saja. Sama berlebihannya dengan pasukan Kodam Jaya menurunkan Baliho Habib Rizieq Shihab (HRS) yang menjadi tugas dan kewenangan Satpol PP. Kedua, efek psikologis menurunkan "Satuan Tempur TNI" adalah teror psikologis kepada rakyat yang sudah direnggut kebahagiannya. Larangan mudik itu jelas-jeles mengecewakan dan menyedihkan rakyat. Terkesan betapa bahayanya rakyat di depan aparat keamanan, sehingga perlu diteror dengan pasukan dan peralatan tempur. Rakyat yang mudik itu bukan teroris. Ketiga, rakyat pulang kampung atau mudik bukan berarti memiliki uang berlimpah. Mereka sekedar ingin bertemu dengan sanak keluarga, orang tua dan kerabat. Dengan pengerahan pasukan dan aparat maksimal, maka penyekatan dapat dikesankan menjadi "proyek lebaran" bagi petugas. Pasukan TNI yang dikerahkan mencitrakan selama ini bahwa pasukan itu memang "menganggur". Bahwa kondisi pandemi semua sudah tahu, rambu-rambu sudah dibuat yang disebut prokes. Kebijakan ketat mudik tak sebanding dengan longgarnya pariwisata. Mall tetap dibuka, pariwisata masih saja digalakkan. Tragisnya, pulang pergi penerbangan ke negeri Cina dibuka lebar. Ketidak-adilan terus menampar wajah kekecewaan dan kepedihan rakyat Indonesia. Jika ingin ketat urusan pergerakan masyarakat antar daerah, sejak dulu telah disarankan berlakukan saja sekaligus kebijakan "lockdown" tetapi pemerintah memang "bokek dan dungu", sehingga tak mampu membiayai rakyat. Akhirnya kebijakan inkonsisten terpaksa diambil. Kebijakan plintat-plintut. Pejabat, pengusaha, atau orang kaya mampu berputar-putar menikmati wisata belanja dimana-mana. Sementara rakyat yang hidup pas-pasan atau bernafas kembang kempis, untuk dapat bertemu bapa dan ibunya saja tidak bisa. Kebahagiaan yang terenggut di negeri banjir air mata. Resah Soal TKA Cina Berita media gelora.co, konten Islam.com, Swamedium Dotcom dan lainnya tentang (diduga) James Riyadi, konglomerat taipan yang menyatakan etnis Cina akan mengeleminasi pribumi dalam 10 tahun ke depan, cukup menggemparkan. Dinyatakan tahun 2014 telah masuk 10 Juta Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Cina ke Indonesia. Jumlah ini sudah melebihi kuota. Lalu tahun 2021 kini TKA Cina sudah berjumlah 17 Juta. Mendapat proteksi dari para naga yang menjadi penyandang dana. Disebutkan sejak 2019, hingga kini telah 1238 penerbangan ke berbagai bandara untuk mengangkut TKA Cina. Ditambah 933 kapal berlabuh membawa emigran Cina ke Indonesia. Berita ini memang masih perlu uji kesahihan. Apakah benar yang diungkap oleh James Riyadi atau kebenaran fakta-fakta yang dimunculkan? Baik itu soal penerbangan, kapal laut, maupun jumlah TKA Cina yang kini telah berjumlah 17 Juta orang. Meskipun demikian informasi ini tidak dapat begitu saja diabaikan. Tidak bisa untuk dianggap angin lalu atau informasi hoax. Informasi tersebut perlu direspons Pemerintah maupun masyarakat. Terutama besarnya gelombang kedatangan emigran yang berdalih TKA Cina. Jika informasi ini benar, tentu sangat berbahaya. Telah terjadi Infiltrasi, sehingga invasi bisa saja terjadi setiap saat. Aneksasi hingga eliminasi bukan hal yang mustahil. Bisa terjadi setiap saat bila penguasa Cina sudah menganggap perlu. Rakyat cukup lama resah dan gelisah dengan masifnya TKA Cina masuk dan bekerja di Indonesia. Mereka kebanyakan bukan berprofesi dengan keahlian spesifik. Bekerja dengan kemampuan yang sama dan dapat dilakukan oleh tenaga kerja kita sendiri. Meski nyatanya digaji TKA Cina berbeda. Gaji TKA Cina jauh lebih tinggi dari pererja Indonesia. Pembukaan penerbangan Jakarta-Wuhan di tengah masyarakat sendiri yang dilarang ketat untuk dapat mudik di bulan Ramadhan, sangat ironi dan mengkhawatirkan. Diperkirakan ada beberapa hal penting untuk diperhatikan atau bahkan dilakukan. Pertama, instansi pemerintah, baik itu Pusat maupun Daerah harus memiliki data valid mengenai jumlah TKA Cina yang ada di negara Indonesia. Pendataan ini perlu berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik. Masyarakat secara terbuka harusnya dapat menerima informasi yang akurat tentang keberadaan TKA Cina dari instansi Pemerintah tersebut. Kedua, masyarakat perlu membentuk semacam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang khusus mengawasi TKA Cina. Pengawasan yang khusus untuk mengawasi keberadaan TKA Cina di berbagai daerah. Bisa namanya “Emigran Care” atau “TKA Cina Watch” dan sejenisnya. Perlu untuk dibentuk. Ketiga, mengingat WNA Cina adalah bagian dari komunisme Cina, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat dari institusi negara. Lembaga intelijen seperti Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Intelijen Daerah (BINDA) perlu meningkatkan pengawasan dan pendataan dari aspek ideologis. Demikian juga dengan instansi Kepolisian. Intelkam dituntut untuk lebih cermat "memantau". Berita di berbagai media yang hingga kini belum terklarifikasi bila tidak diantisipasi, maka dapat saja membahayakan keamanan negara. Kedatangan TKA Cina gelombang demi gelombang mencolok mata di depan publik. Belum lagi keeratan beberapa partai politik di Indonesia dengan Partai Komunis Cina jelas-jelas lebih mengkhawatirkan lagi. Waspada investasi yang dapat berubah menjadi infiltrasi, aneksasi, dan eliminasi. Rakyat resah dan gelisah dengan keberadaan TKA Cina. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Dua Tokoh Oposisi Bertemu di Malam Penuh Ampunan
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN - Bertemunya dua tokoh nasional adalah hal yang lumrah. Tetapi bertemunya seorang Rizal Ramli dengan Gatot Nurmantyo, yang dicap penguasa sebagai tokoh oposisi selama ini dianggap banyak kalangan aktivis sebagai suatu keniscayaan. Dan malam ini, menyambut malam penuh ampunan, Ramadhan hari ke-25 memberikan anugerah bagi yang sangat luar biasa. Kebesaran Allaah Subhanahu Wata’ala itu benar-benar datang pada Jum’at kemarin. Suatu peristiwa yang sudah lama ditunggu-tunggu dan diharapkan banyak kalangan yang ingin menyelamatkan negeri ini dari keterpurukan yang lebih dahsyat dan mengerikan. Maka ketika Rizal Ramli dan Gatot Nurmantyo shalat bersama di mesjid yang sama, ini menjadi hal yang sangat langka sekaligus penuh barokah. Peristiwa yang kemungkinan tidak dikehendaki oleh penguasa. Sebab penguasa sepertinya berharap kedua tokoh oposisi yang paling disegani oleh jangan sampai duduk makan satu meja. Apalagi sholat berjamaah. Pertemuan kedua tokoh ini di suatu masjid pun menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Kata “masjid” yang berakar dari bahasa Arab, yang berarti tunduk, patuh dan ta'at dengan penuh ta'ẓim dan hormat. Dalam bahasa populernya, masjid menjadi tempat ibadah, dimana manusia menundukkan hati dan raganya ke hadapan Sang Pencipta Allaah Subhanahu Wata’ala. Dalam konteks ketaatannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allaah Azza wa Jalla, para tokoh itu bertemu untuk memikirkan nasib bangsa. Subhanallah ya robbi. Saya melihatnya pertemuan ini menandakan telah terbentuknya frekuensi yang sama dalam melihat situasi bangsa saat ini. Bagaimana tidak. Berbagai persoalan yang muncul semakin menumpuk tanpa sebagai tanda-tanda akan berakhir. Pada setiap rezim, selalu ada saja cara untuk mengelola, atau dalam bahasa yang lebih keras merepresi warga negara atau sekelompok masyarakat yang dianggap kritis oleh penguasa. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah kebijakan represif penguasa, yang bukan saja membungkam dan menyebarkan rasa takut yang mendalam pada masyarakat. Lebih fundamental dari itu, yaitu hancurnya nilai-nilai yang berlaku umum di dalam kehidupan manusia. Yang terjadi saat ini misalnya, munculnya sikap yang apologetik terhadap bentuk-bentuk kekerasan. Begitu juga dengan kriminalisasi terhadap orang-orang yang dianggap kritis dan berseberangan dengan kekuasaan. Sikap yang apologetik terhadap upaya penyingkiran orang-orang yang punya integritas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kita bisa melihat bagaimana sebagian orang yang seharusnya berperan sebagai cendekia, tetapi karena pro penguasa membiarkan revisi UU KPK dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja diloloskan. Padahal nyatanya mayoritas rakyat Indonesia menolaknya. Hanya karena mereka melihat bahwa yang menentang RUU itu adalah orang kritis yang berseberangan dengan penguasa. Hak setiap warga warga negara untuk terlibat aktif pada penyusunan suatu RUU. Tetapi stigmasisasi oposisi digunakan untuk memberi label "melawan pemerintah" kepada orang-orang atau kelompok yang mengkritisi RUU kebijakan pemerintah. Semestinya hak warga negara itu tidak ada urusannya dengan menjadi oposisi atau pro penguasa. Sebab pemerintah hanya perpanjangan tangan dari kepentingan oligarki licik, picik, tamak dan culas. Tidak lebih. Juga ketika karangan bunga dipertontonkan untuk merayakan terbunuhnya enam anggota laskar Front Pembela islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek. Dalam bahasa Rocky Gerung, bunga ini merayakan kehancuran Indonesia. Ini merupakan apologetik atas perbuatan yang melanggar hak Asasi Manusia (HAM), yang semestinya menjadi nilai universal yang dipegang teguh oleh siapapun dia. Terbaru adalah banyak kalangan yang diam ketika KPK sedang dijinakkan melalui upaya menyingkirkan orang-orang yang selama ini dikenal publik memiliki integritas yang tidak diragukan lagi. DPR sebagai lembaga yang menjadi andalan rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan, justru makin jauh dari harapan rakyat. DPR menunjukkan sikap apologetik atas upaya pelemahan pemberantasan korupsi. Banyaknya elit atau kader parpol yang diduga terlibat dalam kasus korupsi belakangan ini membuat Parpol DPR terkesan ambigu. Tak berdaya atau diam saja ketika ada upaya-upaya membersihkan KPK dari orang-orang yang berintegritas. Harapan mereka yang terlibat kasus korupsi tentunya agar kasus-kasus yg sedang ditangani KPK tidak kan menyentuh para elit. Peran kontrol terhadap kekuasaan (eksekutif) kini justru diambil oleh seorang LaNyalla Mahmud Mataliti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang hadir juga dalam pertemuan dengan Gatot Numantyo dan Rizal Ramli. LaNyalla ikut urun rembuk dengan para tokoh di luar kekuasaan untuk bersama-sama melihat semua persoalan dalam perspektif yang sama. Masalah-masalah yang hingga saat ini mendera bangsa dan negara, dan belum juga diselesaikan saling berkaitan. Misalnya upaya pelemahan KPK, jelas sangat berkaitan dengan penggunaan anggaran yang tidak efisien dan efektif. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Juga soal kesejahteraan dan kesenjangan sosial masyarakat yang semakin menurun dari hari ke hari. Dinamika perubahan sosial selalu menuntut tiga tahapan, yaitu kognisi, afeksi dan empati. Tiga tahapan adalah pola dari masyarakat dalam membangun kekuatan, yang potensial atas kehirauan pada masalah-masalah kenegaraan yang lebih mendasar. Ini pola yang sangat alamiah, dan kerap berulang di tengah-tengah menghadapi kesulitan masyarakat. Diperlukan suatu pemahaman yang sama (kognisi) atas akar masalah yang sesungguhnya. Kognisi ditandai dengan bertubi-tubinya pelbagai kejadian yang erat hubungannya dengan pengabaian pemenuhan hak dasar warga negara dalam hal ini rasa keadilan. Soal keadilan ini suatu fenomena yang sudah sangat dikenali oleh masyarakat luas. Pertemuan dua tokoh oposisi ini, ke depannya menuntut keterlibatan masyarakat lebih luas terhadap masalah besar bangsa saat ini. Bagaimana saling menunjukkan perasaan yang muncul di masyarakat (afeksi). Sebab afeksi memicu ingin turut andil atau melibatkan diri keluar dari masalah yang dihadapi. Diperlukan suatu “rumah bersama” untuk saling urun rembug membicarakan berbagi empati, bahwa rakyat merasakan senasib dan sepenanggungan. Jalinan empati masyarakat akan semakin solid dan dapat menumbuhkan kolaborasi dalam jejaring sosial yang menuntut perubahan mendasar karena diikat oleh "sense of belonging". Faktanya hari ini tahap afeksi ini sudah sampai pada tahap empati yang kini terus berjalan. Salah satu contohnya, urunan pengumpulan uang untuk membeli kapal selam. Jangan dilihat nominalnya, tetapi itu sebagai tanda bahwa rasa empati di lapisan masyarakat tak akan surut. Begini pola masyarakat dalam membangun kekuatan. Pola ini memungkinkan potensial atas kehirauan kepada masalah-masalah kenegaraan yang lebih mendasar. Melalui proses inilah, solusi untuk menyelamatkan Indonesia dapat disusun secara komprehensif. Karena itu, perlu keterlibatan berbagai kalangan, yang dalam tulisan bang Tamsil Linrung dikatakan sebagai "Mendorong Rekonsiliasi". Para tokoh nasional, akademisi, purnawirawan, profesional, mahasiswa, emak-emak, buruh, petani harus terlibat dalam satu gagasan besar menyelamatkan Indonesia. Pemimpin sejati tidak akan diam menonton penderitaan yang mendera rakyatnya. Dia harus menjadi inspirasi bagi suatu gagasan besar demi memperbaiki bangsanya, negerinya, dan peradaban manusia. Menyambut malam penuh ampunan ini, mereka telah menghidupkan mesin perubahan itu. Mesin yang menanti digerakkan orang-orang muda. Penulis adalah Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Tragedi KM 50, Laskar Ditembak dan Rekayasa Polisi
Rekayasa kasus mungkin itu yang tepat disematkan dalam pengusutan pembunuhan laskar itu. Padahal, peristiwa itu menyangkut nyawa manusia yang dihukum tanpa proses pengadilan. Polisi telah menetapkan tiga orang polisi menjadi tersangka, yaitu F, Y dan EPZ atau Elwira Priyadi Zendrato, dan tidak ada yang ditahan. by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN, Hari ini, tepat.lima bulan yang lalu, enam laskar yang mengawal Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab tewas ditembak polisi. Peristiwa yang lebih dikenal dengan Tragedi KM 50, Jalan Tol Jakarta-Cikampek terjadi pada Senin, 7 Desember 2020 dinihari sekitar pukul 00.30. Peristiwanya sangat tragis. Sebab, tubuh keenam laskar yang tewas itu tidak hanya ditembus peluru tajam. Akan tetapi, ditemukan juga sejumlah luka yang diduga bekas penyiksaan sebelum ditembak, atau bisa juga penyiksaan setelah ditembak oleh anggota.Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Enam laskar yang tewas ditembak dari jarak dekat itu adalah Muhammad Reza, Lutfi Hakim, M.Suci Khadafi, Ahmad Sofiyan, Faiz Ahmad Syukur dan Andi Oktaviana. Peristiwa penembakan itu penuh tanda tanya dan misteri. Sebab, sebelum subuh.pada hari.kejadian, telah beredar kabar di media sosial, terutama WhatsApp (WA) yang mengabarkan enam laskar FPI hilang diculik orang tidak dikenal. Mereka adalah bagian dari pengawal HRS yang berjumlah 10 orang, 4 orang lagi di mobil yang berbeda. Mereka mengawal iring-iringan mobil yang ditumpangi HRS, istri, anak, menantu dan cucu menuju pengajian keluarga inti di daerah Karawang, Jawa Barat. Akan tetapi, Senin, 7 Desember 2020 siang, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Fadil Imran menggelar jumpa pers dan mengumumkan anggotanyalah yang menembak laskar tersebut. Dengan gagahnya, ia menjelaskan penembakan dilakukan secara tegas dan terukur, karena pengawal HRS melawan petugas. Sejumlah barang bukti pun dipamerkan, termasuk senjata api yang katanya digunakan laskar. Akan tetapi, Sekretaris Umum FPI, Munarman saat itu membantah pengawal membawa senjata. Senjata tajam.pun tidak, apalagi senjata api (walaupun disebut senjata api rakitan). Nah, keterangan pihak kepolisian juga berbeda-beda (tidak jelas apakah karena skenario rekayasanya yang salah). Tidak lama kemudian, pihak kepolisian menyebut laskar mau merampas senjata api petugas yang membawa mereka dengan mobil dari KM 50. Kok ada usaha merampas senjata dari orang yang sudah dilumpuhkan? Kalaupun itu terjadi, kenapa polisi tidak memborgol atau mengikat tangan/kaki laskar itu? Tidak ada alasan bagi polisi yang bertugas melakukan pengintaian dan pengejaran tanpa membawa borgol dan pistol. Polisi bodohlah yang tidak membawa senjata api dan borgol jika ditugaskan untuk menguntit sesuatu yang dianggap kejahatan atau bermasalah. Keterangan Fadil Imran juga bertolak belakang dengan rekonstruksi yang dilakukan polisi. Dalam rekonstruksi, terlihat (dalam foto yang beredar), laskar itu disuruh jongkok dan tiarap sebelum masuk ke mobil yang membawa mereka. Pertanyaannya, apakah benar laskar itu ditembak di dalam mobil yang membawa mereka atau dieksekusi di suatu tempat? Banyak yang percaya keenam laskar itu dieksekusi di sebuah tempat (rumah?). Kalau ditembak di dalam mobil, berarti mobil akan menjadi barang bukti di persidangan pengadilan. Sampai sekarang, masyarakat yang awam hukum sekali pun menertawakan keterangan yang disampaikan polisi. Apalagi menyangkut mobil Land Cruiser hitam yang muncul di KM 50, tetapi tidak diperlihatkan pada saat rekonstruksi. Sampai sekarang keberadaan mobil dan penumpangnya masih misteri. Banyak dugaan rekayasa di kasus tewasnya laskar tersebut. Selain CCTV jalan tol mati (dimatikan?), rest area atau tempat peristirahatan KM 50 tidak lama kemudian ditutup. Para.pedagang disuruh pindah. Setelah pindah, bangunan yang ada dibongkar setahap demi setahap, dan akhirnya rata dengan tanah. Kenapa harus dibongkar? Apa salah rest area KM 50 tersebut? Takut dijadikan saksi? Toh, polisi kan bisa saja merekayasa kasusnya. Walaupun bangunannya sudah tidak ada, tetapi rest area tersebut akan tetap menjadi saksi bisu di dunia, dan menjadi salah satu yang akan mengeluarkan kesaksian di hadapan Allah Subhanahu wata'ala, Tuhan Yang Maha Esa, kelak. Rekayasa kasus mungkin itu yang tepat disematkan dalam pengusutan pembunuhan laskar tersebut. Padahal, peristiwa itu menyangkut nyawa manusia yang dihukum tanpa proses pengadilan. Peristiwa tersebut adalah tragedi kemanusiaan. Polisi telah menetapkan tiga orang polisi nenjadi tersangka, yaitu F, Y dan EPZ atau Elwira Priyadi Zendrato. Sebelumnya, polisi juga sempat menetapkan enam laskar yang sudah meninggal dunia menjadi tersangka. Hal itu menjadi bahan lelucon dan tertawaan masyarakat, termasuk orang gila. Penetapan tersangka terhadap orang yang sudah tewas adalah aneh, dan baru pertama kali terjadi di dunia, meskipun polisi buru-buru mencabutnya. Kasus Elwira Priyadi Zendrato, ditutup karena yang bersangkutan mati dalam peristiwa kecelakaan lalulintas di wilayah Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Peristiwa kecelakaan yang menyebabkan ia mati terjadi tanggal 3 Januari 2021, tetapi baru diumumkan Jumat, 26 Maret 2021. Wah hebat sekali polisi kita, karena hampir tiga bulan baru diumumkan? Lokasi kecelakaannya pun tidak jelas, karena nama jalan yang disebut polisi, tidak sesuai di lapangan. Jangan-jangan, dua polisi yang menjadi tersangka dan masih hidup, nanti diumumkan mati kena Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Bisa juga diumumkan mati karena kelelap saat berenang di kolam renang, sungai, danau dan laut antah-berantah. Nah, F dan Y sampai kini tidak ditahan. Berkas kasusnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, tetapi dikembalikan lagi ke polisi. Lucu juga ya, tersangka F dan Y tidak ditahan. Padahal, ancaman yang dituduhkan adalah Pasal 338 KUHP juncto Pasal 56 KUHP. Hukumannya maksimal 15 tahun penjara. Jangankan ditahan, dinonaktifkan pun tidak. Keduanya masih ke kantor, dan bebas berkeliaran. Pasal 338 berbunyi, "Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun." Padahal, biasanya polisi langsung menahan tersangka yang tuduhan pidananya lima tahun. Bahkan, tuduhan penjara di bawah lima tahun pun banyak yang langsung dipenjara polisi. Wahai polisiku? Berbuat adillah kalian. Jangan terlalu sering merekayasa kasus. Apalagi, kasus penembakan enam laskar ini menjadi sorotan pemerhati Hak Azasi Manusia (HAM) dunia, meskipun Komnas HAM menyematkannya bukan pelanggaran HAM berat, tetapi dugaan unlawful killing. ** Penulis adalah Pemimpin Redaksi FNN.co.id.
Pernawirawan TNI Resah, Indonesia Darurat Korupsi & Komunis
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Dua fenomena menarik yang terjadi di Indonesia saat ini. Pertama bangkitnya para Guru Besar dalam menyoroti negara Indonesia yang berada dalam bahaya korupsi. Terjadi darurat korupsi. Lebih dari 50 Guru Besar dari berbagai Perguruan Tinggi mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka Para Guru Besar tersebut menilai UUK KPK hasil revisi DPR dan Pemerintah telah melumpuhkan KPK dalam fungsi dan tugas-tugas pemberantasan Korupsi. Di antara Guru Besar ada nama Azyumardi Azra, Emil Salim, Frans Magnis Suseno, Ramlan Surbakti dan lain-lainnya. Kedua, muncul gerakan dari para purnawirawan TNI AD melalui pernyataan keprihatinan bahwa negara berada dalam bahaya cengkeraman “Oligarki Neo Komunis”. Pernyataan 2 Mei 2021 tersebut dibuat oleh Mayjen TNI (Purn.) Deddy S Budiman, Letjen TNI (Purn.) Yayat Sudrajat, Mayjen TNI (Purn.) Robby Win Kadir, Brigjen TNI (Purn.) Budi Sudjana, dan lainnya. Oligarki Neo Komunis yang kerjanya mengadu-domba dan memfitnah umat Islam dan TNI, termasuk dengan mengkriminalisasi Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Front Pembela Islam (FPI). Sedangkan soal korupsi memang sudah berat diatasi, menggurita dan terang benderang. Pemerintah tidak serius untuk memberantasnya bahkan KPK pun telah dihancurkan peran dan independensinya. Wajar saja jika para Guru Besar berteriak walaupun sudah terlambat. Para mahasiswa dulu telah "berdarah-darah" memprotes penghancuran KPK ini. Lucunya kini Menkpolhukam Mahhfud MD minta permakluman pada status Pemerintahan yang memang Korup. Minta masyarakat memaklumi saja prilaku korupsi yang dilakukan pemerintah. Penangananan korupsi Jiwasraya, Asabri dan BPJS Tenaga Kerja merayap menuju menguap. Korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) Juliari Peter Batubara yang diduga melibatkan "madam" masih dibawa berputar-putar tidak jelas ujungnya. Keluhan Mensos Risma tentang 21 Juta data ganda, membuat geleng-geleng kepala. Syamsul Nursalim buron malah diberikan SP3 oleh KPK. Top markotop. Sepertinya pada setiap investasi dan hutang luar negeri melekat prilaku korupsi. Dampaknya seruan ayo berinvestasi sama saja dengan ayo korupsi. Akibatnya, sejumlah negara faksi Amerika Seruikat menunda pinjaman bilateral. Mereka adalah Australia, Jepang, Korea Selatan, Jerman dan Saudi arabia. Investasi juga semakin selut masuk ke Indonesia. Kenyataan ini dikeluhkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Soal Neo Komunis yang diprihatinkan para Purnawirawan TNI itu, memang semakin menyengat baunya. Terasa hampir pada semua lini penyelenggaran negara. Saat petinggi PKI akan kabur dan bergerak masing-masing, lalu mereka berkomitmen untuk berjuang "tanpa bentuk". Nampaknya komitmen itu semakin terealisasi kini. Kini mulai menyusup, mempengaruhi dan mengendalikan. Prakteknya pelan-pelan mulai tampak. Dimulai sejak Rancangan Undang-Undang Haluan Idelogi Pancasila (RUU HIP). Road map pendidikan nasional tanpa mata pelajaran Agama. Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menghilangkan mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia. Ini jangan dianggap biasa-biasa saja. Agenda senyap ini semakin memperlihatkan batang hidungnya dengan penunjukkan Hilmar Farid, mantan aktivis Partai Rakyat Demokrat (PRD) sebagai Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan Nasional. Wajar saja kalau publik khawatir arah negara ini menuju revolusi kebudayaan yang melumpuhkan agama. Maka Purnawirawan TNI AD menyebut ini bahaya Oligarkhi Neo Komunis. Memang para pemimpin negara harus diingatkan. Tetapi apa yang diungkapkan Prof. Dr. Ayzyumardi Azra cukup menarik, yaitu pesimistik. Sudah sulit untuk mendengar kebenaran mengema lagi di jagad Sabang sampai Merauke, dan dari Pulau Nias sampai Miangas. Seraya mengutip atau merujuk pada Ayat Al Qur'an bahwa telinga, mata, dan hati mereka telah tertutup. "Allah akan isi Neraka Jahanam bagi banyak Manusia dan Jin. Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami, mereka memiliki mata tetapi tidak digunakan untuk melihat, mereka memiliki telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendemgar" ( QS Al A'raf 179). Allah SWT memperumpamakan mereka sebagai binatang ternak, bahkan lebih rendah dari itu. "Ulaa-ika kal an'am bal hum adlol, ulaa-ika humul ghafiluun". Artinya, mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih rendah dari itu, mereka adalah orang-orang yang lalai.. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Produksi Demokrasi dan Hukum Itu Mainan Oligarki (Bagian-1)
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN- Demokrasi dan rule of law, untuk alasan praktis, merupakan dua konsep yang teramat ganjil disepanjang sejarah. Keduanya pada level itu, justru malah saling menyangkal pada sejumlah aspek. Bukan disebabkan keduanya tidak memiliki bentuk final secara materil, tetapi ada soal lain yang gagal dikenali. Sehingga orang-orang bodoh berlomba memuja keduanya sebagai barang hebat. Michael Carigan, kolumnis kawakan yang pernah menulis The History of Death, Who Lies Were: A Guid To Famous and the Mediterranean, yang disiarkan secara serial di BBC mengidentifikasi serangkaian penyebabnya. Selalu dimana pun dalam dunia demokrasi, dulu dan sekarang, ada saja sekelompok orang yang diistimewakan. Merekalah pendefenisi sebenarnya demokrasi dan rule of law. Orang-Orang Siluman Menunjuk demokrasi sebagai faktor determinan hadirnya hukum yang baik, jelas itu bodoh, tolol dungu, dan dongo. Tidak ada sejarahnya itu. Yang disajikan sejarah, hukum diperlukan oleh semua bentuk negara, juga sistem dan bentuk pemerintahan. Tidak ada penguasa durjana, otoriter, facis, totaliter dan demokratis, yang tidak menggunakan hukum. Tidak ada itu. Jangan tolol untuk itu. Justru sebaliknya, sejarah cukup jelas menunjukan semua penguasa durjana dan demokratis menyodorkan dan menggunakan hukum untuk berbagai kepentingan. Demokrasi memang memukau. Konsep-konsep dasarnya tentang manusia jelas mengagumkan. Manusia itu merdeka sedari lahir. Inilah mahkota manusia. Mahkota ditransiformasi dalam konsep kebebasan alamiah, khususnya kebebasan berpikir dan menyatakan akal pikiran, serta memiliki harta benda. Inilah yang memukau dan mendekorasi serangkaian sebab yang menghasilkan revolusi Perancis tahun 1789 lalu. Sejarawan Andre Hussely, di satu sisi dan James Harvely Robinson dan Charles A. Beard di sisi lain, melukiskan keadaan itu dengan sangat menarik. Prancis, khususnya Paris kala itu, diidentifikasi Andrew sebagai kota yang gelap dan terang datang secara bergantian. Bagai angin puyuh. Tanpa sebab jelas, keadaan bisa seketika berubah menjadi huru-hara. Ada begitu banyak gerakan bawah tanah dan terlalu banyak sekte di Paris ketika itu. Andrew menunjukan itu sebagai ikon lain Paris kala itu. Mereka yang kaya dan miskin memperlihatkan tingkah laku yang satu dan lainnya kontras dalam semua aspeknya. Seperti biasa, kenyataan itu menyiskan duka dan luka di hati untuk kalangan tak punya. Eksplosif, karena kenyataan itu bertemu dengan kenyataan lain, yang mengerikan. Kenyataan lain itu, kelak menjadi sebab langsung muncul revolusi berdarah-darah 1789, karena kerajaan telah terlilit inflasi ganas. Kas deficit. Mau apa? Mau Pinjam? Pinjam Kemana? Italia tidak mau kasih pinjaman. Begitu juga dengan Inggris. Mau apa tuan raja? Ralp H. Epperson, sejarahwan top ini mengidentifikasi keadaan itu sebagai prakondisi yang diciptakan secara sistimatis oleh sekelompok kecil orang untuk memanggil datangnya revolusi. Revolusi itu tidak hanya untuk mengubah Kota Paris, tetapi Prancis secara keseluruhan. Andrew Hussey, memang tak menunjuk secara defenitif kelompok Fremansory berada dibalik kekacauan itu. Tetapi Andrew mengidentifikasi antara tahun 1700-1750 terdapat lebih dari selusin sekte di Prancis. Mereka dikenal sangat radikal. Mereka pernah memberontak. Tetapi apapun itu, sesuatu yang tidak bisa ditolak adalah apa yang identifikasi oleh James Harvey Robinson dan Charles A. Beard. Kerajaan, dalam identifikasi kedua sejarahwan ini, telah berada dalam pelukan inflasi yang kronis dan ganas. Semua aspek yang mendatangkan uang telah deficit. Raja, seperti semua rezim sesudahnya yang terlilit infasi ganas, menyodorkan pemecahan klasik. Raja menginstruksikan “ciptakan dua jenis pajak baru, dan naikan pajak konvensional”. Tragis. Kala raja mengumumkan rencana itu, Estate General (Dewan Kerajaan), khususnya dari kalangan strata ketiga (third estate), menolak. Roberspierre wakil utama third estate ini berada di garda terdepan melakukan penolakan. Dia malah menuntut penyamaan status antara mereka dengan clergy dan nobility dalam estate general itu. Gumpalan awan perlawanan terus membesar. Marrat, seorang ilmuan kawakan kala itu muncul dengan sebuah publikasi. Kata-kata extravaganza. Dia beri judul artikelnya “The Frined of the People”. Marrat, sang ilmuan ini mengulas “aristocrat and bourgeoise” meliputi para kelas pekerja terbesar dan petani. Apapun itu, Andrew menemukan kenyataan lain. Ibu-ibu, katanya yang sudah tidak lagi memiliki bahan makanan untuk dimakan. Orang-orang lalu ini berbaris penuh amarah menuju dan menyerbu penjara Bastiles. Ini pemicu kongkrit revolusi merobohkan kerajaan. Roberspierre, salah satu republikan radikal segera memegang kekuasaan. Roberspierre menggariskan Prancis baru harus dibangun diatas prinsip liberte, egalite dan fraternite. Prinsip itu direalisasikan dengan tangan besi, menandai pemerintahan terror Roberspierre yang hanya sebentar. Berbaris ditengan prinsip itu, Roberspierre memberi status nobles kepada imigran dari Hunggaria dan Jerman. Menariknya, Roberspierre diidentifikasi Rapl H. Epperson sebagai orang suruhan kelompok perencana yang tak terlihat dalam revolusi itu. Menariknya, Roberspierre segera dihabisi. Tragis. Begitulah jalan awal demokrasi di Prancis. Jalan itu mirip dengan jalan awal demokrasi di Inggris, yang dipicu oleh revolusi gemilangnya pada tahun 1688. Omong Kosong Itu Prancis tahu apa yang Inggris dendangkan tentang hukum ditengah gelora demokrasi. Tak lama setelah Inggris melembagakan demokrasi, setidaknya membatasi kekuasaan Raja disatu sisi, dan disisi lain memperluas kekuasaan parlemen. Bahkan parlemen dijadikan supreme, para borjuis yang tidak lain adalah financial oligarki licik, picik, tamak dan rakus yang segera berpesta. Prinsip tahta suci dan hak suci raja yang dicanangkan secara berani oleh Raja James I tahun 1626, tergulung dan tersapu oleh dahsyatnya revolusi. Raja tak lagi berada di atas hukum. Raja telah tak lagi berstatus “king as a state”. Prinsip ini telah berganti menjadi “law as a supreme in the Land of England”. Segera terlihat tabiat bawaan revolusi dan demokrasi. Orang miskin segera berpesta dengan kebebasan baru. Orang kaya lalu mendekorasi tatanan baru itu. Tujuannya untuk konsolidasi kepentingan bisnis mereka. Apa yang segera orang-orang bisnis ini lakukan? Tahu kerajaan telah kehabisan sumberdaya, para financial oligarki Inggris kala itu, dengan kemurahan hatinya mendatangi kerajaan. Mereka hendak meminjamkan uang kepada kerajaan. Disertai syarat tertentu. Syaratnya harus ada otorisasi parlemen. Cerdas mereka. Sebab kepada parlemen mereka juga mengajukan syarat lain. Apa syaratnya? Buatkan UU yang memungkinkan mereka dapat menampung uang dari bea shipment. Penampungan ini mau tak mau, harus diletakan dibank. Itulah inti Duane Act 1694. Canggih cara main finalicial oligarki. Mereka tidak minta buat UU tentang Bank Bank, yang kelak menjadi cikal bakal Bank of England. Tetapi hanya minta beri wewenang menampung uang mereka. Itu saja. Suka atau tidak, kerajaan dan parlemen telah berada dalam kekangan mereka. Inggris memberi pelajaran hebat untuk oligarki-oligarki Prancis. Antara tahun 1696-1698, para produsen kain wol dari East Anglia dan West Country bersekutu dengan para pengrajin sutra dari London, Carterbury dan sebuah perusahaan bernama Levant Company mencari siasat untuk menyingkirkan sutra Asia. Apa yang mereka lakukan untuk menggolkannya? Koalisi para produsen tekstil ini mengusulkan sejumlah RUU ke meja Parlemen. Isi RUU itu antara lain melarang warga Negara Inggris memakai busana dari bahan katun dan sutra Asia. Sukses, tahun 1701 Parlemen menggolkan RUU itu menjadi UU. Menurut Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam buku “Mengapa Negara Gagal” sejak bulan September 1791 Parlemen Inggris mengumumkan UU yang menguntungkan koalisi ini. Isi ketentuan itu adalah semua kain sutra palsu, kain Bengal, dan sejenisnya yang dicampur bahan sutra asli atau herba, yang dibuat di Persia, China dan India Timur, semua jenis kain balacu, yang diwarnai, dicelup atau dicetak di negara itu dan diimpor ke wilayah Inggris, menjadi terlarang. Ruang ini terlau sempit untuk mengetengahkan semua praktik hukum Inggris yang menguntungkan kaum kaya, sebelum Prancis mulai menata hukum sebagai tuntutan langsung revolusi mereka. Tetapi semua yang terjadi di Inggris telah cukup memberitahu Prancis bahwa hukum di tengah demokrasi memang diperuntukan, terutama untuk kaum yang istimewa ini. Frederich Bastiat, Jurnalis kawakan, sekaligus anggota parlemen tahun 1850-an ini, sekadar sebagai ilustrasi mati-mati berdiri di garis depan mempromosikan pasar bebas. Dia jelas menjadi penantang paling tangguh atas ide sosialis. Baginya, sosialis tidak pernah baik dalam semua bentuknya. Mereka hendak mengambil kekayaan orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin. Bagi Bastiat, cara satu-satunya adalah menciptakan pasar sebebas mungkin. Dia meyakini kompetisi yang tercipta dengan bebas, merupakan cara terbaik memakmurkan orang. Semua orang, begitu Bastiat meyakini memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi apa saja yang dia mau. Ketika Prancis naik ke permukaan demokrasi, Amerika, koloni Inggris ini telah mengawali pemerintahan demokratis. Pemerintahan ini dipandu dengan konstitusi yang dibuat tahun 1787 di konvensi Philedevia. Diawali untuk pertama kalinya oleh Presiden George Washington dengan John Adam sebagai wakilnya. Tetapi sedari awal omong kosong demokrasi segera tersaji. Sejak saat itu sampai dengan paruh kedua abad ke-20, orang negro tak berstatus sama dengan orang kulit putih. Rasdiskriminasi merajalela pada semua kehidupan demokrasi Amerika. Tahun 1964, sepuluh tahun setelah putusan MA yang bersejarah, yang dibuat oleh Earl Warren, barulah muncul Civil Righst Act. Orang hitam mulai disetarakan. Memeriksa semua sudut pertalian demokrasi dan hukum dalam sejarah Amerika adalah memeriksa aspek omong kosong keduanya. Sebabnya keduanya dikendalikan oleh oligaki finalsial dan lasinnya. Pembentukan The Federal Reserve Act 1913 itu, contoh kecil. Contoh besarnya ditunjukan oleh pemerintahan Franklin Delano Rosevelt. Hukum-hukum itu dibuat untuk dan atas atas nama restrukturisasi seluruh struktur ekonomi Amerika sepanjang tahun 1993-1945, justru merupakan kedok penyelamatan dan konsolidasi oligarki. Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia (bersambung). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Pandemi Demokrasi & Information as a Public Good
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, 03 Mei 2021 mengusung tema “Information as a Public Good”. Artinya, “Informasi Sebagai Milik Publik”. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan tanggal 3 Mei sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia pada Sidang Umum tahun 1993 untuk memperingati penyelenggaraan “Deklarasi Windhoek” di Namibia (1991). Deklarasi Windhoek itu adalah inisiatif pekerja pers Afrika untuk memperjuangkan media yang bebas, independen, dan pluralistik di tengah tekanan dan kekerasan yang terus-menerus terjadi pada para jurnalis di beberbagai belahan. Tekanan terhadap kebebasan pers seperti santapan yang harus dinikmati setiap saat oleh pekerja pers. Tidak pernah berhenti. Kapan saja tekanan selalu datang menghampiri. Deklarasi Windhoek itu berisi empat pontui. Pertama, negara harus proaktif dalam melindungi jurnalis dan mengupayakan agar warga negara dapat menggunakan kebebasan berekspresi. Kedua, negara harus menghindari pengendalian media. Ketiga, mencegah monopoli negara atas media. Keempat, negara memastikan dukungan hukum dan dukungan praktis lainnya untuk sektor-sektor seperti pelayanan publik dan media komunitas. Perlu diingat bahwa tema Hari Pers Sedunia Tahun 2020 di Belanda adalah “Journalism Withuot Fear and Favour”. Artinya, “Jurnalisme Tanpa Ketakutan dan Bantuan”. Tema yang sangat menggambarkan kondisi objektif dari kegelisahan masyarakat pers dunia saat ini. Kondisi yang juga terjadi pada masyarakat pers di Indonesia. Memang penting, merawat memori kolektif publik. Karena masyarakat masih terus menyaksikan banyaknya negara yang melakukan sensor, memberlakukan denda, atau menghentikan beroperasinya media massa. Komunitas pers, seperti jurnalis, editor, dan penerbit bahkan masih menjadi korban penyerangan, dipenjara, hingga dibunuh. Hari Kebebasan Pers Sedunia menjadi momentum dukungan kepada media yang menjadi sasaran pengekangan, sekaligus mengenang para jurnalis yang kehilangan nyawa dalam menjalankan tugasnya. Padahal para pekerja media itu bekerja dengan suka rela. Memberikan kontribusi yang signifikan. Mengolah informasi dan data ilmiah yang kompleks menjadi lebih mudah untuk dicerna oleh publik. Menyediakan data yang diperbaharui secara berkala, dan melakukan pengecekan fakta. Kebebasan pers tidak hanya krusial bagi para juru warta. Tetapi juga masyarakat umum. Pers yang bebas secara moral terikat mendukung kesinambungan partisipasi warga negara untuk berperan aktif dalam demokrasi. Akan tetapi dalam perkembangannya, serangan masifitas pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 telah memaksa mayoritas negara berperilaku represif menyikapi protes warga. Protes yang kebanyakan disuarakan lewat media pers. Protes untuk menanggapi kebijakan penanganan pandemi yang tidak maksimal. Kenyataan ini, tidak terkecuali Indonesia, yang mencatat banyak isu kebebasan berpendapat dan berekspresi di media yang perlu ditangani. Karena terkait dengan maraknya praktik kriminalisasi publik dengan menggunakan “kekebalan” pasal karet ” UU ITE. Ancaman kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang virtual pun terus bermunculan, sehingga warga semakin takut bersuara. Bayang-bayang kelam di kecerahan langit dunia pers mulai terlihat di depan mata. Ancaman punahnya sejumlah komitmen kemandirian pers demi demokrasi tersandung opsi pengarusutamaan pengendalian serangan pandemi Covid 19. Ini terjadi di semua negara. Hanya pola gradasi dan antisipasinya yang berbeda- beda. Yang paling mengenaskan, pemerintahan yang rapuh demokrasinya. Pemerintahan yang rapuh ini menemukan ruang perlindungan legitimasi praktik otoritarianisme. Alasan keselamatan jiwa rakyat menjadi pendulum gerakan represif yang terlegitimasi. Pemerintah berlindung di balik prinsip, “salus populi, suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi). Penulis buku “Sapiens dan Homo Deus”, sejarawan dan sastrawan Israel Yuval Noah Harari, melalui artikelnya berjudul “The World After Coronavirus”, yang ditulisnya di Financial Time, edisi 20 Maret 2020, menggambarkan perubahan kondisi yang mungkin terjadi setelah pandemi virus Corona (Covid-19) berakhir. Harari menyebutkan kasus pandemi Covid-19 berpotensi mendorong, bahkan dapat menjadi preseden bangkitnya pemerintahan yang otoritarianisme. Harari menambahkan, kuatnya signal kebangkitan otoritarianisme atau totalitarianisme itu ditandai dengan munculnya indikasi surveillance state atau negara pengawasan. Pemicunya diakibatkan tingginya tingkat penularan Covid-19. Mengisyaratkan pemerintah harus menjaga agar physical distancing tetap terjaga dengan menempatkan berbagai kamera CCTV. Menariknya, di luar aspek ekonomi, Harari justru menyebutkan, akibat tingginya tuntutan publik atas pengendalian pandemi Covid 19, membuat pemerintah dan masyarakat “terpaksa” sepakat untuk menghadirkan “negara pengawasan”. Negara melakukan pelonggaran hak privasi. Sebelumnya, Harari juga telah mengkritik Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena menggunakan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk “membunuh” demokrasi di Israel. Netanyahu yang kalah dalam pemilihan umum, justru memanfaatkan momen Covid-19 untuk menutup parlemen Israel. Memerintahkan masyarakat untuk tetap di rumah, dan menetapkan keadaan darurat. Atas hal tersebut, Netanyahu disebutnya sebagai seorang diktator. Karena menetapkan keadaan darurat padahal ia tidak memperoleh mandat dari masyarakat karena kalah dalam pemilihan. Harari memberikan pandangan negatif terkait bangkit atau setidaknya potensi kebangkitan pemerintah otoriter dalam menangani pandemi Covid-19. Berbagai pihak justru menempatkan diri berseberangan dan menyebutkan otoritarianisme memang bentuk pemerintah yang dibutuhkan untuk memerangi virus yang pertama kali diidentifikasi di Wuhan, Tiongkok itu. Shaun Walker dalam tulisannya di The Guardian mengutip ilmuwan politik asal Bulgaria, Ivan Krastev yang menyebutkan “bersama pandemi Covid-19, masyarakat di berbagai belahan dunia telah memiliki toleransi atau penerimaan atas pemerintah yang berlaku otoriter dalam upayanya memerangi Covid-19”. Otoriter mendapat toleransi dari masyarakat. Berbagai elemen masyarakat, seperti Kepala Daerah maupun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah menyerukan pemerintah untuk menerapkan lockdown guna mencegah penularan Covid-19. Mirip pernyataan Walker, masyarakat seyogianya telah memiliki toleransi atau penerimaan apabila nantinya pemerintah berlaku otoriter untuk memerangi virus tersebut. Narasi antisipasi seperti apakah yang mesti dipilih pemerintahan Jokowi untuk memerangi pandemi Covid-19 di Indonesia? Senang atau tidak senang pandemi Covid 19 telah memaksa penggiat demokrasi di banyak negara untuk menata ulang. Melakukan restrukturisasi pola kerja dan operasi demokrasi. Bukan cuma itu, bahkan dampak negatif pandemi Covid 19 serta-merta merubah artikulasi demokrasi. Kehadiran “sekutu” baru demokrasi, yang bernama “negara pengawasan” tersebut, justru terhantar atas jaminan konstitusi atas nama “keselamatan rakyat”. Surveillance State dan Demokrasi telah “serumah” sebagai sekutu temporer. Perpaduan pada keduanya adalah narasi baru dari demokrasi yang sudah masuk di ruangan tidur publik. Menarik merujuk kembali kepada pernyataan Harari yang menyebutkan, “konsekuensi luas dari pandemi telah membuat kesehatan masyarakat dibingkai ulang sebagai masalah keselamatan dan keamanan nasional secara global”. Hal itu sendiri, katanya, tidak selalu buruk. Tetapi di banyak negara sekuritisasi kesehatan, masyarakat telah menghasilkan momentum tiba-tiba untuk melanggar batas privasi hingga saat ini. Karena dianggap “tidak dapat diterima di negara demokrasi”. Kenyataan ini termasuk juga pada penggunaan alat komunikasi yang mengintegrasikan kesehatan publik dan database telekomunikasi pribadi. Juga penggunaan data lokasi pribadi oleh pemerintah dari ponsel cerdas untuk melacak dengan cermat interaksi seluruh populasi atau untuk menegakkan kepatuhan karantina sukarela, ujar Harari. Di luar perdebatan mengenai kebangkitan otoritarianisme tersebut, Rachel Kleinfeld dalam tulisannya “Do Authoritarian or Democratic Countries Handle Pandemics Better”? (31/03/20. Ilmuwan perempuan Amerika itu memberikan penekanan yang cukup menarik. Menurutnya perihal penanganan Covid-19, sebenarnya bukanlah menjadi perdebatan, apakah putusan yang diambil tersebut adalah otoriter atau demokratis, karena perdebatan yang seharusnya dilakukan adalah “seberapa efektif putusan tersebut mengatasi pandemic”? Kleinfeld menegaskan, dalam situasi krisis seperti pandemi Covid-19, sudah seharusnya kebijakan-kebijakan yang dibuat negara merujuk pada sains medis. “Oleh karenanya tidak perlu lagi ditemukan perdebatan terkait apakah penerapan lockdown ataupun hadirnya surveillance state misalnya, merupakan bentuk pemerintah otoriter atau tidak”. Kembali kepada peringatan Hari Kebebasan Pers se-Dunia. Lantas, bagaimana menempatkan pesan legendaris Nelson Mandela yang terucapkan belasan tahun sebelum ada pandemi Covid 19? Revolusioner antiapartheid dan politisi Afrika Selatan yang menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999 itu, terkenal dengan ucapannya tentang peran pers yang sentral. Kata Nelson Mandela, "Pers kritis, independen, dan investigatif adalah sumber kehidupan demokrasi apa pun. Pers harus bebas dari gangguan negara. Perrs harus memiliki kekuatan ekonomi untuk bertahan menghadapi kebodohan pejabat pemerintah. Pers itu harus memiliki independensi yang cukup dari kepentingan pribadi untuk berani dan bertanya tanpa rasa takut atau bantuan. Pers harus menikmati perlindungan konstitusi, sehingga dapat melindungi hak-hak kita sebagai warga negara”. Wartawan senior teman lama, kembali mengirim pesan WhatsApp, ia mengutip Martin Luther King Jr. dan ia menulis begini, "kebebasan tidak pernah secara sukarela diberikan oleh penindas, itu harus dituntut oleh yang tertindas". Mungkinkah??? Penulis adalah Wartawan Senior & Pmerhati Sosial Budaya.
Densus 88 Berhasil Jungkirbalikan Indonesia Negara Demokrasi
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Pada masa Orde Baru dahulu aktivis mahasiswa yang ditahan dan diadili melakukan pembelaan atas penindasan hak mahasiswa. Mengkritisi rezim yang menekan rakyat dengan menggunakan aparat keamanan. Pledoi Caretaker Presidium Dewan Mahasiswa ITB Sukmadji Indro Tjahjono cukup menarik karena berjudul "Indonesia di Bawah Sepatu Lars". Pledoi itu kemudian dibukukannya, meskipun pernah dilarang. Namun melihat penangkapan Munarman di kediamannya oleh sepasukan berseragam dan bersenjata lengkap Densus 88, dan sama sekali tidak memberi kesempatan memakai sandal kemudian menutup mata, jadi teringat masa represivitas Orde Baru dahulu. Semestinya tak perlu dilakukan penangkapan dengan cara yang primitif seperti itu. Toh, Munarman sehari-hari ada di sekitar kita. Tiap agenda persidangan Habib Rizieq Shihab (HRS) di Pangadilan Negeri Jakarta Timur, Munarman selalu muncul sebagai pembela. Jadi bukannya teroris yang sembunyi, menyiapkan peledakan, atau sedang membangun jaringan bawah tanah untuk melakukan teror ini dan itu kembali. Munarman itu Advokat yang terang-benderang selalu berada di raung publik. Munarman tidak pernah sembunyi. Selalu dikenal media, serta berada di ruang rutinitasnya. Tentu operasi penangkapan oleh Densus 88 dapat membangun citra bahwa memang Indonesia berada di bawah Sepatu Lars kembali. Seperti eranya Orde Baru dulu. Densus 88 telah menjungkir-balikan, dan porak-porandakan Indonesia sebagai negara yang kaya demokrasi. Pergeseran dari Lars TNI menjadi Lars Polri tidak boleh terjadi. Sebab wajah Indonesia sebagai negara hukum harus tetap dijaga. Indonesia bukan negara kekuasaan. Terlalu mahal biaya politiknya jika rezim Jokowi yang berpenampilan politik sipil. Tetapi mengimplementasikan peran-peran politiknya secara militeristik dan polisional. Apalagi jika dengan cara memojokkan umat Islam. Radikalisme, intoleransi, hingga terorisme yang disematkan pada aktivis Islam akan membuat "traumatic experience" yang tidak perlu. Kecurigaan dan dendam politik berkepanjangan. Akibatnya, kepercayaan pada pemerintahan rendah bahkan hilang. Ketika terjadi krisis nasional yang memerlukan penanganan kolektif, pemerintah akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan support publik. Indonesia di bawah Sepatu Lars kini adalah berada pada sikap berlebihan Angkatan Bersenjata Kepolisan: Brimob dan Densus 88. Sebaiknya dua kesatuan ini diintegrasikan pada TNI saja, agar lebih proporsional dalam kaitan pertahanan dan keamanan negara. Ketika berada di bawah Kepolisian, maka masyarakat bukan merasa aman atau nyaman melainkan tertekan dan justru terteror. Kasus penangkapan Munarman adalah contoh iklim yang dibangun secara tidak sehat. Indonesia di bawah Sepatu Lars tidak boleh terjadi lagi. Itu pengalaman yang sangat buruk dan primitif dalam berbangsa dan bernegara. Demokrasi sebagai polihan politik, konsekwensinya Indonesia adalah negara merdeka, yang sangat menghormati hak-hak warga negara. Hak-hak masyarakat sipil, dan hak Hak Asasi Manusia (HAM). Aparat bersenjata harus melindungi keamanan rakyat. Bukannya sebaliknya menakut-nakuti rakyat. Mengubah citra Indonesia negara di bawas Sepatu Lars adalah mengembalikan secara proporsional porsi dan fungsi TNI-POLRI sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Implementasi yang bersahabat dengan rakyat, sang pemilik negara. Tanpa harus mengubah dengan citra palsu yang sok kasual atau milenial, menjadi Indonesia di bawah Sepatu Kets atau di bawah Sepatu Kelinci. Mahfud Berprilaku Iblis Berita Tempo.co yang menyatakan bahwa menurut Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, rakyat tidak harus sepenuhnya kecewa karena pemerintah sekarang yang koruptif dan oligarkhi. Padahal tentu saja mengecewakan. Begitulah bentuk lain dari negara di bawah tekanan Sepatu Lars. Rakyat dipaksa menerima sesuatu yang aneh bin ajaib. Bagaimana tidak, terhadap kondisi pemerintah yang menyimpang dari tujuan bernegara itu, rakyat tidak boleh kecewa. Alasannya ada kemajuan dari waktu ke waktu. Anehnya kemajuan itu bukan berdasarkan penilaian rakyat. Tetapi berdasarkan penilaian dari pemrintah. Ada tiga hal penting tentang betapa kelirunya pandangan Mahfud MD tersebut Pertama, di belahan dunia manapun, pemerintahan koruptif itu mengecewakan, karena menghianati mandat dan kepercayaan yang diberikan rakyat. Bantuknya merampok uang rakyat. Misi moral politik pemerintah adalah membersihkan aparat dari mental korup. Tidak mentoleransi korupsi. Pemerintah koruptif layak diprotes, didemonstrasi, bahkan wajib untuk diganti. Kedua, oligarki harus dicegah karena membenarkannya sama saja dengan menghianati demokrasi. Kekuasaan itu di tangan rakyat. Bukan di tangan segelintir atau sekelompok orang. Oligarki itu inheren dengan otokrasi, pemerintahan di satu tangan. Pemerintahan yang tidak berbasis demokrasi adalah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Tidak bisa dibiarkan. Harus diganti. Ketiga, alasan adanya kemajuan tidak bisa menjadi pembenar dari pemerintahan koruptif dan oligarkhi. Dua permasalahan yang timbul. Pertama, kemajuan itu harus berbasis pemerintahan yang bersih dan demokratis. Bukan pemerintahan yang korup atau oligarkis. Kedua, sejauhmana kemajuan itu diakui? Faktanya ekonomi amburadul, politik sosial keagamaan diskriminatif dan pembelahan di masyarakat. Penanganan terhadap kelompok opisisi sangat represif. Pengangguran dan kemiskinan meningkat. Daya beli masyarakat tertekan dan menurun drastis. Kenyataan ini membuktikan kalau Mahfud MD memang Menteri kontroversial. Figur yang gampang berubah-ubah. Sangat tergantung pada terkait tidak dengan kepntingan pribadinya. Yang salah bisa jadi benar. Sebaliknya yang benar bisa jadi salah. Mahfud berubah drastis dari cendekiawan yang arif dan sangat moralis, menjadi politisi yang protektif dan apologetik. Baginya semua suara kekuasaan adalah benar atau dapat dibenarkan. Tentu bukan seperti ucapannya sendiri bahwa kekuasaan bisa mengubah watak manusia dari malaikat menjadi iblis. Sekarang dengan membernarkan sikap korutif, Mahfud menjadi iblis yang berwajah manusia. Jika Presiden kuat dan berwibawa Mahfud MD layak menjadi bagian dari target reshuffle berikutnya. Namun seperti pengakuan Mahfud MD bahwa pemerintahan koruptif dan oligarkis, maka tak mungkin ada reshuffle terhadap orang oligarkis dan para loyalisnya. Rakyat yang beroposisi hanya bisanya hanya mengurut dada. Mahfud lagi, Mahfud lagi. Iblis yang berwajah manusia. Iblis sekarang sukanya korupsi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.