OPINI
Cintai Produk Lokal, Amandemen UUD ‘45 Lahirkan Politik Dinasti (Bagian-3).
Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Kita telah bicarakan keelokan dan kecantikan Sistem Pemerintahan Pancasila dibanding Sistem Pemerintahan Presidensial di artikel ke-1. Di artikel ke-2, kita bandingkan praktek Demokrasi Pancasila dengan Demokrasi Liberal yang individualistis sehingga berakibat terbelahnya persatuan bangsa Indonesia. Baca: https://rmol.id/read/2021/04/09/482760/boleh-kaget-tapi-jangan-masa-bodoh-1-cintai-produk-lokal-kenapa-import-presidensial Baca: https://fnn.co.id/2021/4/16/cintai-produk-lokal-kenapa-import-demokrasi-individual-bagian-2/ Artikel ke-3 ini sebagai lanjutannya, yang akan mengupas pendapat JA di artikel sebelumnya. Dimana JA, yang pakar HTN dan mantan pejabat negara itu berpendapat, setelah 75 tahun merdeka justru yang bangkrut politik dinasti. Benarkah sinyalemen ini? Penulis ragu dengan pendapat JA. Biasanya, identifikasi JA terhadap perkembangan di masyarakat akurat. JA mengkritisi sebelum reformasi, demokrasi kita berbau budaya feodal. Artinya, pergantian pejabat seperti tradisi kerajaan, yang turun menurun, layaknya “politik dinasti”. Penulis menangkap penjelasan JA, stigma itu harus dikikis, direformasi melalui Sistem Presidensial dengan Demokrasi Liberalnya. Persoalannya, apakah demokrasi sebelum reformasi layak disebut sebagai budaya feodal? Penulis berpendapat tidak tepat. Pemilihan pejabat masa lalu, walau dilakukan dengan sistem musyawarah-perwakilan, di MPR dan DPRD, hak konstitusi rakyat berjalan wajar dan benar, sesuai konstitusi. Kandidat pejabat yang ikut pemilihan, memiliki rekam jejak dan profesionalisme yang jelas. Memiliki dan memenuhi kreteria kompetensi leadership dan manajerial yang dipersyaratkan. Umumnya para kandidat dikenal dan terkenal di masyarakat. tidak muncul tiba-tiba. Tanpa polesan dari lembaga survei. Penulis pernah bincang-bincang dengan Dra. Mia Syabarniati Dewi, seorang psikolog, sebagai konsultan assesment pejabat. Pembicaraan seputar kualitas kepemimpinan pejabat publik dan pejabat negara paska reformasi. Melalui pengamatan atau penilaian pribadinya, ditambah berbagai macam berita dari media dan pendapat masyarakat, Mia memiliki dua sinyalemen. Pertama, pembangunan karakter kader pemimpin nyaris tidak tampak setelah reformasi. Calon-calon pemimpin yang diusung dalam pemilihan nyaris jenjang pengalamannya tidak jelas. Namun, tiba-tiba bisa muncul sebagai kandidat. Kedua, akibat tersebut di atas, figur pemimpin pada semua tingkat, walau tidak semua, kualitasnya memprihatinkan akibat ikut campur pemilik modal dalam rekrutmen. Penulis sependapat dengan dua sinyalemen Mia Syabarniati tersebut. Sebagaimana berita di media, lebih lanjut Mia juga melihat fenomena yang terjadi antara lain. Pertama, adanya krisis etika para elite, walau tidak semua. Kedua, adanya krisis hukum. Ketiga, adanya krisis ketidakpercyaan antar elite. Keempat, adanya krisis ketidakpercayaan di kalangan masyarakat. Semua persoalan kepemimpinan di atas, tidak bisa lepas dari persoalan rekrutmen yang didasari oleh Demokrasi Liberal. Demokrasi dengan pemilihan secara langsung yang individualistis. Siapa yang kuat, berduit, menguasai kekuasaan, dialah pengendali dan pemenang. Patut dinilai, sistem inilah yang membuat pemodal atau kapitalis bisa mendikte sesuai keinginannya. Hati dan pikiran penulis berkata, tampaknya pemodal tidak mengutamakan keunggulan kompetensi leadership dan menajerial. Mereka mengutamakan orang yang bisa dipengaruhi atau diajak kerja sama. Karena itulah, banyak tokoh yang mengatakan, orang yang mumpuni dalam segala hal sulit menjadi pemimpin, karena umumnya mereka sulit dipengaruhi, sehingga pemodal tidak tertarik memilihnya sebagai “ayam jago”. Akibatnya, menjamurlah politik dinasti paska amandemen UUD 1945. Ibaratnya, bapak, istri, anak, menantu, besan, dan kerabat lainnya maju menjadi kandidat. Dinasti politik tidak saja terjadi di pemerintahan, tampaknya juga terjadi di Partai Politik. Apakah para kandidat keluar biaya yang sangat besar tersebut? Tidak. Patut diduga para cukong atau pemodal yang mengongkosi. Apa akibatnya? Kandidat yang terpilih, jelas berhutang budi. Menjamurnya politik dinasti tersebut ditengarai oleh kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Yoes C. Wenas, yang menyatakan fenomena dinasti politik meningkat tajam di Pilkada 2020 dibanding 2015. Pada 2015 ada 52 peserta Pilkada dan di Pilkada 2020 ada 158 calon. (CNN Indonesia, 17/12/2020) Walaupun pemilihan pejabat sebelum reformasi, dikritisi sebagai demokrasi berbau budaya feodal. Sehingga dilakukan reformasi untuk mengikis tradisi budaya tersebut. Namun dalam kenyataannya terbalik. Justru setelah 75 tahun merdeka, ketika digunakan demokrasi yang indiviualistis, dinasti politik subur menjamur seperti jamur tumbuh di musim hujan. Masalahnya bukan berhenti di persoalan kedinastian politik saja. Tetapi juga merembet ke persoalan kualitas pemimpin. Seperti sinyalemen Mia Syabaniati, persoalan integritas, berpikir strategis, kepemimpinan, kemampuan ambil keputusan, berkomunikasi, membangun persatuan dan pemberdayaan masyarakat, nyaris tidak tampak. Mengapa faktor-faktor penting yang seharusnya dimiliki pemimpin nyaris tidak tampak? Karena ketika pemilihan calon tidak melalui “saringan” yang sesuai kebutuhan. Sumber calon tampaknya juga tidak melakukan pembangunan kader pimpinan. Kalau pun ada kursus, sampai dimana bobot kursus tersebut mampu mengisi kebutuhan? Ironisnya, kandidat yang maju sering-sering juga belum pernah kursus, diakibatkan adanya politik dinasti atau nepotisme. Pengalaman dan seingat penulis, pemilihan calon Taruna Akademi Militer, melalui sistem saringan yang mengukur aspek ilmu pengetahuan, kesehatan badan dan kesemaptaan jasmani serta kesehatan jiwa dan psikometri. Melewati saringan ini, akan diketahui tingkat ilmu pengetahuannya, kesehatan dan kesemaptaan jasmaninya, kesehatan jiwa dan dimensi kepribadiannya seperti aspek berpikir, emosi, motivasi dan nilai-nilai dari visi hidupnya. Idealnya, untuk mendapat calon anggota dewan dan calon pemimpin publik dan pejabat negara, seyogyanya juga melalui sistem saringan yang mampu mengukur aspek-aspek di atas. Melalui saringan yang ketat, kita akan memperoleh calon pemimpin yang berkualitas sebelum masuk arena pemilihan. Sehingga jika terpilih, diharapkan bisa menjadi pemimpin berkualitas Untuk itu, diperlukan saringan kombinasi metode “Assessment Center dengan Psychological Assessment”. Saringan ini mampu mengungkap kompetensi yang sudah aktual pada diri seseorang, juga dapat mendeteksi “underlying factors” seperti karakter, sikap, intelegensia dan motif sebagai predisposisi sesorang dalam bertindak dan berperilaku tertentu, kata Dra. Mia Syabarniati Persoalan rekrutmen dan kualitas pemimpin di atas memiliki korelasi dengan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Asiah Putri Budiarti, Peneliti Pusat Kajian Politik LIPI terkait Pilkada serentak 2020 mengatakan, Pemilu tahun ini menunjukkan kegagalan Parpol dalam merekrut calon Kepala Daerah berdasarkan kader internal partai. (Gatra.com, 09/12/2020). Gambaran tentang dampak buruk Sistem Permerintahan Presidensial dan Demokrasi Liberal, sehingga membelah persatuan Indonesia. Menjamurnya politik dinasti dan kualitas pemimpin yang sangat memprihatinkan di atas, semua itu disebabkan amandemen UUD 1945 yang melahirkan Demokrasi Liberal dan Presidensial ala Amerika. Apakah akan kita tetap pertahankan? Apa dasar MPR melakukan amandemen yang menghasilkan UUD 2002? Jawaban umum dari pengamandemen, Bab XVI Pasal 37 UUD 1945 sebagai dasar. Ditinjau dari sisi hasil amandemen, tepatkah penggunaan Pasal 37 UUD 1945 sebagai dasar amandemen UUD 1945? Untuk menguji kebenaran jawaban, akan dibahas dalam artikel lanjutan ke-4. Sesungguhnya, apa makna Pasal 37 UUD 1945 yang dimaksud oleh “Founding fathers” saat menyusun dan menetapkan UUD 1945? Selamat membaca, semoga paham. Insya Allah, aamiin. (bersambung). Panulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Masih Pentingkah Pancasila Itu Untuk Jokowi?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Gonjang-ganjing soal Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikanyang menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia dari kurikulum dasar menengah dan tinggi menyengat Menteri Nadiem dan Jokowi. Sejak awal Menteri Pendidikan Nadiem Makarim memang gagal memimpin Kementrian Pendidikan dengan baik. Nadiem memang sangat inkompeten dengan dunia pendidikan. Suksesnya usaha gojek Nadiem tidak serta-merta bisa ditransformasikan pada dunia akademik berdimensi panjang untuk mencetak dan memproduksi orang-orang cerdas. Ada soal-soal yang sangat bersentuhan ideologi, nasionalisme, dan agama di sana. Ternyata disinilah titik lemahny Nadiem. Presiden Jokowi sejak diramaikan Rancangan Undang-Undang Haluan Idelogi Pancasila (RUU HIP) yang dilanjutkan dengan RUU Badan Pembinaan Idelogi Pancasila (RUU BPIP) juga mingkem. Padahal dalam RUU ini, pposisi Pancasila sangat terancam. Penggerusan dari nilai-nilai Pancasila yang ditetapkan 18 Agustus 1945 mendapat kritik dan perlawanan tajam dari rakyat. Penggantian dengan dari RUU HIP menjadi RUU BPIP belum menjawab keraguan masyarakat tentang ancaman terhadap esksistensi Pancasila 18 Agustus 1945. Kelembagaan BPIP sendiri terkaget-kaget saat diterbitkan PP Nomor 57 Tahun 20221 yang mengeliminir mata kuliah utama Pancasila tersebut. Di sisi lain RUU BPIP menyimpan misteri yang diduga masih mengandung "hidden agenda". Kepekaan ideologis Presiden Jokowi memang terlihat lemah. Hanya bisanya “teriak sana, teiak sini saya Pancasila”. Jadinya wajar jika publik ragu dengan pandangan Jokowi tentang penting atau tidak Pancasila. Lebih banyak basa-basi. Rezimnya Jokowi materialistik dan pragmatik. Terlalu berorientasi pada investasi dan hutang luar negeri. Pada era pandemi paradigma ini mengalami kemandegan serius. Beban negara sangat berat sehingga dapat membawa Indonesia menjadi negara gagal. Tinda-tanda Indonesia mengarah ke arah negara gagal itu menganga di depan mata. Yang paling menonjol adalah persatuan kebangsaan kita yang rapuh. Akibat dari adanya upaya-upaya tersembunyi untuk mengganti Pancasila 18 Agustus 1945 dengan Pancasila 1 Juni 1945, yaitu Trisila dan Ekasila. Semestinya disaat genting, Presiden memacu keyakinan ideologis secara lebih terbuka dan partisipatif. Pancasila harus didinamisasi sebagai katalisator berbangsa dan bernegara. Sebenarnya tak perlu diajari lagi soal ini. Kecuali kalau Presiden Jokowi memang tidak paham soal ini. Namun lagi-lagi ini blunder untuk ke sekian kalinya. Nampaknya kepekaan yang lemah ini menyebabkan sorotan tajam pada produk PP Nomor 57 Tahun 2021 yang ditandatangani Presiden Jokowi. Setelah diketahui, barulah ribut soal revisi yang tentu tak bisa sekedar berargumen "salah ketik atau lupa". Bisa juga "i don't read what i sign" terhadap sebuah Peraturan sepenting ini. Banyak ahli bergaji besar di lingkaran Presiden. Ataukah istana telah berubah menjadi tempat kongkow-kongkow warung kopi yang tak mampu memproduk kebijakan bermutu dan disukai rakyat? Di tengah misi menuju Pancasila Trisila dan Ekasila pun masih dibenturkan dengan soal-soal Agama. Akibatnya rakyat, khusunya umat Islam kini semakin waspada. Ada tafsir mendewakan budaya tanpa berbasis moral dan historika. Kasus PP Nomor 57 Tahun 2021 mungkin hanya tes politik saja untuk mengukur reaksi publik. Toh Presiden tetap memegang kendali. Pak Jokowi, berdiri dan pidatolah di mimbar Istana Negara itu tentang masih pentingnya Pancasila 18 Agustus 1945 tersebut. Ingatkan rakyat bahwa radikalisme paling nyata kini adalah sekularisasi, ideologi orde lama, serta komunisme yang terus bergerak dan menyusup ke semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita dengan senyap. Paham komunis dan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak boleh diabaikan atau dianggap tidak ada. Jangan biarkan mereka mengisi fikiran para buzzer di istana. Sebab kelak Presiden semakin tersandera. Lalu, Pancasila dalam bahaya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Jokowi Jangan Seperti Kapten Kapal Titanic
by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Busyeeettt........ seorang kawan jurnalis menilai, dalam pemerintahan negara ini yang perlu segera diganti, dan itu sebenarnya presidennya. Bukan menterinya. Dalam sehari mau ganti seribu kali menteri pun, bila presidennya tetap Jokowi (Joko Widodo), Indonesia tidak akan menjadi besar, kuat, berdaulat, bermartabat, tangguh, disegani dan mandiri. Sebab semua itu cuma bayangan semu. Omongan kawan jurnalis itu menanggapi kabar angin yang belakangan deras mendesir, terkait isu reshuffle kabinet di sejumlah pos kementerian. Kabar tersebut, secara manusiawi, sudah barang tentu menimbulkan sport jantung bagi anggota kabinet. Terlebih bagi menteri oportunis, yang keberadaannya tak lebih dari cuma cari makan dan selamat. Tanpa memiliki semangat memperkokoh negara. Ali Mochtar Ngabalin, selaku Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, pun turut serta ambil bicara merepresentasikan sebagai orang Istana. Dia bilang, dalam minggu-minggu ini memang segera akan dilakukan reshuffle sejumlah menteri. Para menteri mulia bertanya-tanya, “duh kira-kira gue kena geser Pak Jokowi nggak nih ya”? Kira-kira begitu lamunannya saban hari. Tak pelak, Menristek Bambang Brojonegoro sempat bicara di sejumlah media massa. Dirinya pamit dan mungkin statemennya itu menjadi yang terakhir kalinya sebagai menteri. Itu dilakukan setelah mendengar kabar adanya penggabungan dua lembaga kementerian, Kemendikbud dan Kemenristek bakalan digabungkan menjadi satu kementerian. Secara jujur, sebenarnya tidak sedikit para menteri yang membantu kinerja Jokowi, memiliki integritas keilmuan mumpuni di bidangnya. Mereka paham betul terkait apa yang dibebankan dan tengah dia kerjakan. Sebut saja misalnya, Prabowo Subianto, Sri Mulyani, Bambang Brojonegoro, Sandiaga Uno, Mahfud MD serta sejumlah menteri lainnya. Mereka pada dasarnya bukan pribadi yang dungu, dongo, keleng-kaleng, odong-odong dan beleng-beleng. Merka sangat menguasai persoalan tugasnya. Prabowo sngat menguasai manageman pertahanan, keamanan, intelijen dan jagad siasat bertempur. Sri Mulyani mengerti semua bab finansial dan seluk beluk perekonomian global. Bambang Brojonegoro juga ahli bidang ekonomi. Sandiaga Uno, tidak ada pihak yang meragukan kemampuannya dalam hal ekonomi mikro. Termasuk mencari celah dan terobosan pasar rakyat. Pun demikian dengan Mahfud Md, sebagai sosok yang dikenal sebagai ahli hukum tata negara. Meski begitu, mengapa negara tidak mampu meluncur sebagaimana harapan Undang Undang Dasar 1945 maupun Pancasila? Kenyataan itu disebabkan sehebat apapun seorang menteri, dia adalah anak buah presiden. Sekalipun presidennya itu tidak hebat, tetap saja menteri itu anak buah. Disini berlakulah sebuah ungkapan, “seluas angkasa kepintaran seseorang akan dikalahkan hanya dengan seruang kekuasaan. Itu uncontested. Tidak terbantahkan! Untuk mempermudah memahami, kita tarik saja satu permisalan. Perjalanan sebuah bus umum yang penuh dengan aneka rupa angkutan, baik orang maupun barang, tentu semuanya berada di bawah kendali sang pengemudi alias sopir. Sehebat apa pun kernet, kondektur, mekanik, pramugari maupun para penumpang itu sendiri tidak memiliki kewenangan mengatur sopir. Keterangan yang ditempel dalam interior berbunyi, "dilarang berbicara dengan sopir" itu sebagai indikator bahwa keselamatan seisi ruangan bus selama dalam perjalanan menjadi urusan sopir. Nah sekarang yang menjadi persoalan adalah, bagaimana kompetensi sang sopir tersebut dalam hal kecakapan mengemudi? Apakah benar-benar sopir tersebut bisa mengemudi? Apakah para penumpang betul-betul akan diantar ke tempat tujuan sesuai rute busnya? Mulailah bus "PO Indonesia" meluncur di wilayah pegunungan. Jalur yang dilintasi bukan sekedar lurus dan mulus, yang mana sopir yang kemarin sore baru bisa mengemudi pun bisa mengendalikannya. Melainkan terdapat seribu satu tanjakan dan turunan, yang dilengkapi dengan lembah dan jurang terjal di kanan kirinya. Terkadang tanjakan atau turunan itu disertai tikungan sulit, sempit dan rumit. Deretan bukit dan tebing tinggi yang memagari sepanjang jalur, setiap saat siap longsor dan meleburkan bus jika sang pengemudi tudak punya kemampuan membaca situasi. Belum lagi di musim penghujan, jalanan licin yang dalam hitungan detik bisa melempar bus berikut isinya ke dasar jurang. Ilustrasi perjalanan darat seperti itu tentu sangat dibutuhkan seorang pengemudi yang handal, cekatan, tangkas dan trengginas. Senantiasa memberi arti, bahwa penumpang menjadi yang utama diberikan kenyamanan dan keselamatan. Pendek kata harus sopir profesional, bukan amatir. Namun jika sang pengemudi ternyata tidak seperti yang diharapkan, bagaimana nasib para penumpang, kru dan pengguna jalan lainnya? Saat sang kernet memberi sinyal agar sopir memperlambat laju bus, lantaran di depan ada penyeberang jalan. Bagaimana laju bus bisa lambat? Masalahnya si sopir tidak mengerti mana pedal gas, pedal kopling dan pedal rem. Begitu suga ketika kernet memberikan aba-aba agar sopir segera memindah akselerasi mesin ke gigi satu, karena jalur menurun tajam. Tentu laju bus hilang kendali dan menyelonong liar, lantaran sopir tidak paham yang sebelah mana handle persnelingnya. Giliran ketika mekanik mengingatkan sopir agar segera mengambil tempat beristirahat, lantaran perjalanan yang sudah sekian jam mengakibatkan suhu mesin meninggi. Namun sopir tidak menggubris. Indikator temperatur di dashboard malah dikiranya jarum jam. Sopir tidak berusaha merapat untuk berhenti, melainkan malah menggenjot gas sejadi jadinya. Tentu mesin terbakar lantaran overheating. Begitu juga ketika di depan terdapat rambu penunjuk arah jalan, ke kiri dan ke kanan. Arah kiri menuju jurang, sedangkan kanan menuju obyek wisata kesejahteraan. La kok sopir bodoh tersebut malah banting setir ke kiri, lantaran dia tidak paham yang mana panel lampu signnya. Apa jadinya? Sudah bisa diterka dan dibayangkan, dalam kondisi bus yang dikemudikan seorang sopir yang barbar blas tidak mengerti dunia sopir menyopir ini, kondisi para penumpangnya pasti bengok-bengok laksana dikejar hantu. Menjerit-jerit ketakutan nggak karu-karuan. Mestinya, seorang sopir angkutan umum harus bisa membuat para penumpangnya duduk dengan tenang dan nyaman. Penumpang bisa menikmati perjalanan, duduk mengangkat kaki sambil baca link FNN.co.id. Atau tidur pulas, tanpa khawatir terjadi kecelakaan lalu lintas. Bukan malah menutup-nutupi ketidak becusannya mengemudi, dengan meminta para penumpangnya tetap tenang dan optimis. Tenang dan optimis yang bagaimana? Orang laju bus juga nggak jelas tujuannya? Lajunya oleng. Miring ke kanan atau kiri. Kadang berjalan mundur. Sedangkan bagi awak bus yang membangkang, akan dipecat. Diganti yang lebih bego. Supaya nurut apa kata sopir. Sehingga bisa diajak bekerjasama dalam per-goblog-an. Sementara bagi penumpang yang protes, akan diturunkan. Bila perlu dilaporkan ke Bareskrim Polri, agar bisa dipenjarakan. Lantaran dianggap bikin kisruh dalam bus, hingga menggangu perjalanan. Padahal sumber kekisruhan tersebut justru sopirnya sendiri. Busyeeetttt..!!! Dulu, waktu debat Capres dua tahun silam, Prabowo Subianto menyampaikan sebuah analisa, bahwa ke depan akan lebih banyak lagi BUMN yang kolaps. Dan ternyata benar itu terjadi hari ini. Saat ini sulit dituliskan (saking banyaknya) deretan BUMN yang megap-megap. Bahkan, Prabowo Subianto mengulas novel fiksi, Ghost Fleet, yang isinya dominasi sebuah analisa intelektual tentang negara Indonesia yang di kemudian hari nanti hanya tinggal kenangan. Namun kala itu Jokowi membantahnya dengan argumen mentah. Hanya mengajak agar bangsa Indonesia optimis. Jangan pesimis. Tidak bisa menyampaikan materi bantahannya secara detil, yang bisa terlihat sebagai diplomasi berkelas dan mematahkan tudingan lawannya. Harusnya Jokowi waktu itu bisa membantah kekhawatiran Prabowo Subianto, dengan jawaban yang lebih mengena dan mendasar. Mengapa? Karena Jokowi sebagai incumbent tentu memiliki seribu gudang repository atau metadata, yang bisa diminta dari semua menterinya. Namun Jokowi malah meminta Prabowo agar menggunakan data jika berbicara. Akan tetapi, Prabowo yang bicara tanpa data saja bisa membuktikan kebenaran analisanya. Terlebih jika menggunakan data. Sederet whistleblower seperti Amien Rais, Habib Rizieq Shihab, Syahganda Nainggolan, Rocky Gerung, Natalius Pigai, Munarman, Dien Syamsudin, Gatot Nurmantyo dan oposan lainnya tidak pernah lelah meniupkan peluitnya. Berulangkali mereka mengingatkan Jokowi mengenai ketidak beresan terkait kebijakan pemerintah. Baik bab hukum, ekonomi, pendidikan, sosial dan lainnya. Yang paling kentara, pelanggaran HAM akibat praktik diskresi yang dilakukan aparat kepolisian. Yakni, gugurnya 6 mantan anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di tangan polisi yang kemudian dikenal dengan istilah malapetaka kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Juga terjadinya disparitas oleh para penegak hukum, hingga mengakibatkan Habib Rizieq Shihab (HRS) dipenjara. Serta sejumlah penentang kebijakan Jokowi lainnya, hingga mengantarkan beliau-beliau berurusan hukum. Namun, berbagai masukan para pengkritik tersebut tidak pernah mendapat tanggapan melegakan dari Jokowi. Ibarat sopir bus yang tabrak lampu merah, jalan terus. Pengabaian Jokowi terhadap para pengkritiknya itu, mengingatkan legenda tenggelamnya kapal pesiar paling mewah 109 tahun silam, “Kapal Titanic”. Hanya berselang empat hari setelah lego jangkar atau 15 April 1912 ,Titanic tenggelam di laut bebas, Samudera Atlantik Utara, pada dini hari pukul 02.20. Sebanyak 2.200 penumpang, termasuk awak kapalnya tewas menyedihkan. Singkat kisahnya, kapal sepanjang 217 meter mulai dari haluan sampai buritan yang dinahkodai Kapten EJ Smith itu menabrak gunung es. Soal celakanya kapal milik Britania Raya itu akibat menabrak gunung es, memang benar. Akan tetapi yang penting untuk digaris bawahi dalam insiden mendunia itu adalah, bahwa Kapten “Kapal Titanic” telah berani mengabaikan sejumlah peringatan. Sejumlah suar dan pesan yang dikirim lewat radio oleh kapal-kapal kecil di sekelilingnya diabaikan. Akhirnya Kapten “Kapal Titanic” mengabarkan bahaya gunung es di dekatnya. Kecelakaan laut tak terhindarkan. Maka tamatlah riwayat Titanic termasuk nahkodanya, Kapten EJ Smith. Semoga tidak untuk Indonesia saat ini maupun nanti. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.
Mudik Kok Pelik? Itu Hak Rakyat Untuk Gembira
by Yusuf Blegur Jakarta FNN - Sejatinya pemerintah tahu dan mau memahami mudik itu adalah bagian dari spiritualitas rakyat Indonesia. Sebagaimana terdapat dalam makna substantif Pancasila. Maka kegiatan rutinitas mudik saban tahun itu, sesungguhnya merupakan tradisi religius yang sarat nilai etos dan mitos (bagian dari kerja dan kepercayaan yang sudah menjadi keyakinan rakyat) dari hampir seluruh masyarakat Indonesia yang begitu kaya secara kultural. Nilai-Nilai Mudik Selain menegaskan kekayaan nusantara secara geografis dan kebhinnekaannya yang unik, aktifitas mudik melambangkan banyak nilai positif dari banyak hal. Diantaranya sebagai ekspresi kerinduan dan pengabdian pada orang tua dan sanak saudara. Mereka berjuang hadapi tantangan hidup selama di perantauan dan hadapi hambatan dalam perjalanan. Melewati antrian macet yang panjangnya berkilo-kilo meter, mennggu lancarnya perjalanan berjam-jam adalah suka duka perjalanan, serta bunga-bunga indah situasi mudik. Kondisi ini tidak bisa ditakar atau disejajarkan dengan ketenangan batin apapun. Justru dengan mudik pula, ketahanan imun dalam tubuh mereka akan meningkat dengan drastis. Selama setahun mereka menjadi perantau sebagai pejuang ekonomi. Berjibaku mengumpulkan rezeki sebagai bekal bertahan hidup dan mengangkat derajat sosial ekonomi keluarga. Sehingga tradisi mudik sesungguhnya membawa berkah tersendiri. Mudik ikut memberi andil besar dalam menghidupkan dan menggerakan perputaran ekonomi masyarakat di pedesaan yang lesu selama setahun pandemi covid-19 terjadi. Dengan mudik, makan ekonomi di pedesaaan, baik pemudik itu sendiri maupun secara struktural bakal meningkatkan daya beli masyarakat di daerah. Masih banyak lagi nilai sosial ekonomi dalam aktifitas mudik yang bisa diurai dalam tinjauan spiritual maupun material. Sehingga mudik sangat perlu dilakukan, karena lebih banyak manfaatnya dari mudharatnya. Mudik Dilarang Kini mudik dilarang lagi pemerintah. Kebijakan pelarangan mudik tahun ini masih karena pertimbangan Covid-19. Sebenarnya terkesan menjadi paradoks, sebab disaat pemerintah berusaha untuk menjaga keseimbangan keselamatan rakyat dan pertumbuhan ekonomi, justru potensi peningkatan daya beli masyarakat dihalangi. Pilkada 2020 lalu berhasil dilaksanakan di 200 lebih Provinsi dan Kabupaten-Kota. Masalahnya banyak aktifitas pemerintahan yang secara esensi tidak berbeda dengan kegiatan mudik. Misalnya keramaian berkumpul akibat berkunjungnya pejabat pusat ke daerah. Banyak lagi kerumunan serta kegiatan massal yang tetap ada dan dibiarkan di seantero tempat di Indonesia. Bahkan kerumunan kerap dicontohkan oleh Presiden dan elit politik lain ditengah pandemi Covid-19 Mirisnya aktifitas yang secara kualitas kemanfaatannya jauh dari kegiatan mudik ternyata masih tetap dibolehkan. Yang paling nyata adalah tempat hiburan seperti club malam, restoran mahal, dan bahkan pesta pernikahan mewah dan bombastis tidak dipermasalahkan. Malah Presiden dan pejabat tinggi negara lainnya hadir sebagai peserta utama. Fenomena itu wajar jika pada akhirnya, menimbulkan kecemburuan. Rasa ketidakadilan yang berujung pada sikap skeptis dan apriori terhadap pemerintah semakin menggung. Kenyataan ini makin diperparah dengan penegakkan hukum yang pincang dan tebang pilih. Semua ini berakibat pada kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah yang semakin merosot. Sangat disayangkan dalam banyak aktifitas reguler lainnya yang terbuka dan menghimpun banyak orang dengan aturan prokes. Namun aturan prokes seperti kenapa tidak bisa diterapkan juga pada aktifitas dan perjalanan mudik. Yang pasti dengan mudik, suasana batin menjadi sangat gembira. Daya tahan tubuh meningkat. Imun dalam tubuh semakin membiak pula. Bentuk Perlawanan Rakyat Pelarangan mudik itu juga sesungguhnya berpotensi menurunkan kewibawaan pemerintah. Citra dan wibawa pemerintah dipertaruhkan. Sebab, meski dilarang rakyat bisa main umpet-umpetan dengan petugas keamanan karena tekad mudiknya yang semakin kuat dan membara. Apalagi kebijakan mudik tersebut sempat plintat-plintut. Sebentar dibolehkan, sebentar lagi dilarang untuk waktu tertentu. Kalaupun banyak yang terjaring pelanggaran dan terkena sangsi mudik, itu belum pantas disebut keberhasilan pemerintah menegakkan hukum. Lebih tepatnya disebut pemerintah gagal mengelola aspirasi rakyatnya. Sebab rakyat justru mengabaikan aturan pemerintah yang melarang mudik. Itu semacam bentuk perlawanan sipil dari rakyat. Pemerintah mestinya memahami besarnya efek psikologis yang terjadi dari dampak pelarangan mudik tersebut. Bukankah dengan mudik itu melahirkan kegembiran, kesenangan dan kebahagiaan seluruh masyarakat. Baik itu mereka yang merantau maupun sanak saudara yang ditinggalkan di kampung? Suasana kegembiraan yang tidak bisa dikonvensi dengan materi. Apalagi hanya kebijakan negara. Mudik dan Imunitas Bukankah kebahagiaan rakyat itu mendorong kekuatan mental dan fisik bangsa? Keceriaan dan senyum masyarakat pemudik karena akan berrtemua dengan sanak-saudaranya saudaranya pastilah akan memicu imun dan meningkatkan kesehatannya. Lalu mengapa harus dilarang. Bukankah itu bentuk lain dari vaksinasi yang gratis? Biarlah pandemi kita waspadai dengan prokes yang ketat tanpa merebut kebahagiaan rakyat Indonesia. Bisa jadi mudik tahun ini menjadi penangkal "hantu Covid-19 yang terkutuk itu”. Bisa jadi mudik menjadi bentuk kontribusi rakyat di pelbagai lapisan untuk membantu pemerintah mewujudkan gairah dan mendorong geliatnya ekonomi nasional. Jadi, santuy saja pemerintah. Jangan anggap remeh juga, namun jangan berlebihan. Jangan berpikir yang pelik-pelik soal mudik. Biarlah rakyat menikmati pestanya, tradisinya dan hiburannya sendiri. Toh rakyat mudik bukan dari uang hasil korupsi. Mudik bukan menggunakan uang dan fasilitas negara. Biarkan uang negara dan fasilitas negara lainya dipakai saja oleh pejabat negara. Jangan juga perlawanan rakyat melalui mudik dipahami sebagai agenda politik. Santuy saja bro, karena mudik itu hak rakyat. Hanya setahun sekali ini. Hasil dari bekerja dengan susah-payah mengumpulkan uang selama setahun. Toh polri bilang boleh mudik sebelum tanggal 6 Mei. Ayo mudiiiiiiiiiik ! Penulis adalah Pekerja Sosial dan Pemikir Rakyat Jelata.
Rakyat Tolak Otsus Papua, Jakarta Jangan Sok Kuasa
by Marthen Goo Jayapura FNN - Ketika bicara negara Indonesia, tentu tidak terlepas dari bicara sejarah bangun negara. Dimana Indonesia dibangun atas kesepakatan bersama oleh pendiri bangsa. Soekarno dan the founding fathers lainnya sangat membuka ruang dan menghargai proses demokrasi dengan perdebatan gagasan. Dasarnya adalah kesepakatan bersama mendirikan sebuah negara dari gagasan-gagasan yang dilahirkan. Logikanya, ketika merumuskan sesuatu kebijakan dalam pembangunan nasional, mestinya juga didasari pada kesepakatan bersama. Bukan pada pemaksaan kekuasaan. Apalagi Indonesia yang multi kultur, multi ras, multi kebudayaan, mestinya proses demokrasinya harus dimatangkan dalam semangat kebangsaan. Bukan pemaksaan kehendak mayoritas, seakan-akan mewakili kaum minoritas dalam kebangsaan. Tragisnya, kebijakan yang diambil justru merugikan kaum minoritas. Demokrasi dan penghormatan pada kebhinekaan mestinya dihargai sebagai upaya untuk memajukan dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM). Semangat itu, kemudian lahir yang namanya konstitusi. Dalam konstitusi, pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa “kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-undang Dasar”. Terhadap pasal ini, yang pembatasannya jelas pada UUD’45. Untuk itu, mari kita berpegang pada prinsip-prinsip dasar konstitusi yang dirumuskan dalam tujuan nasional, yakni pada pembukaan yaitu (1) melindungi, (2) mensejahterakan, (3) mencerdaskan, dan (4) penertiban. Jika merujuk pada semangat konstitusi di Indonesia yang dikenal dengan UUD’45 itu, apakah UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua telah memenuhi tujuan nasional? Jika tidak terpenuhi, dan turut menghancurkan kehidupan orang Papua, apalagi selama berlangsungnya otonomi khusus justru mengancam kehidupan warga bangsa, maka sebaiknya tidak perlu dipaksakan. Dalam kenyataannya, pelaksanaan otonomi khusus tersebut hanya menyenangkan para pejabat di tanah Papua. Sebaliknya rakyat malah yang sengsara dan semakin menderita kehidupannya. Maka wajar saja kalau rakyat Papua memiliki hak konstitusional untuk menolak otonomi khusus tersebut. Untuk itu, pemerintah pusat tidak perlu mamaksakan kehendak. Jangan sok kuasa. Penolakan otonomi khusus sudah berjalan sejak tahun 2004 lalu. Pada tahun tersebut, Dewan Adat Papua sebagai lembaga adat yang menjadi payung adat bagi seluruh rakyat di tanah Papua melakukan aksi besar-besaran di Jayapura, ibu kota propinsi Papua dengan menolak otonomi khusus. Rumusan otonomi khusus tidak mempertimbangkan aspek kekhususan Papua. Tidak juga menjelaskan pada pasal mana saja proteksi tersebut dirumuskan. Penolakan otonomi khusus terus berjalan di tanah Papua. Bahkan di tahun 2008, rakyat Papua di Nabire juga melakukan aksi dengan membawa peti-mati yang bertuliskan “Otonomi Khusus Telah Mati”. Aspirasi rakyat itu oleh DPRD Nabire, dibawa ke DPRP Propinsi. Tahun 2009 dan 2010, di Jayapura, dilakukan aksi besar-besaran yang diorganisir oleh Forum Demokrasi (Fordem). Aksinya dipusatkan di kantor MRP, DPR-P dan Gubernur dengan isu yang sama. Aksi-aksi penolakan otsus di Papua berjalan terus tanpa henti. Bahkan di tahun 2021 ini, di Dogiyai dilakukan aksi besar-besaran dua kali menyampaikan penolakan terhadap otonomi khusus dan penolakan pemekaran provinsi Papua. Aksi di Dogiyai merupakan aksi seluruh komponen rakyat Papua di Dogiyai. Rentetan semua itu menunjukan bahwa rakyat di Papua menolak otonomi khusus. Sementara di Yahukimo, rakyat melakukan aksi yang sama untuk menolak otonomi khusus. Sam Awom dalam zoom meeting 24 maret 2021 lalu menyebutkan bahwa “rakyat Papua menolak otonomi khusus. Sehingga oknum elit di Jakarta jangan mengatas-namakan rakyat untuk dorong otonomi khusus revisi. Rakyat hari ini meminta referendum sebagai jalan demokratis”. Sam Awom sebagai koordinator penandatanganan penolakan Otsus berkali-kali menyampaikan hal yang sama. Karena dalam petisi, dapat diukur bahwa rakyat Papua menolak otonomi khusus. Semestinya, ketika rakyat menolak otonomi khusus, DPR di senayan harus mendengarkan aspirasi rakyat. Bersikap menyuarakan aspirasi rakyat, karena esensi dari pada parlemen adalah perwakilan rakyat. Ruang aspirasi dan dengar pendapat rakyat harus dibuka selebar-lebarnya. Hari ini rakyat sudah menolak otonomi khusus. Jangan lagi direkayasa untuk melakukan revisi undang-undangnya Pada saat yang Papua menolak otonomi khusus secara merata di seluruh bumi Papua, Pemerintah Jakarta malah diam-diam ketemu dengan orang-orang yang tidak representatif dan mengatasnamakan rakyat Papua. Tujuanya hanya untuk kepentingan merubah Undang-Undang Otonomi Khusus. Bukan membuka ruang dialog yang seluas-luasnya, dari kabupaten ke kabupaten. Pemerintah pusat harus menunjukan profesionalistas dalam ketaatannya kepada konstitusi negara. Terutama yang berkaitan dengan keinginan merubah atau merevisi Undang-Undang otonomi khusus di Papua. karena merumuskan sebuah undang-undang harus dengar aspirasi rakyat. Bukan dengan upaya politisasi. Ini negara hukum yang sudah jelas perumusannya. Dasar hukum dari semangat bernegara adalah (1) tujuan nasional, (2) UUD’45, dan (3) UU. Jika tiga hal tersebut tidak terpenuhi, mestinya pemerintah berpikir format lain yang lebih memproteksi rakyat. Bukan dengan memaksakan kehendak. Fakta membuktikan bahwa otonomi khusus yang basisnya adalah Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tidak berhasil. Tidak berhasilnya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2201 karena di dalam undang-undang khusus tersebut, tidak dimuat hal-hal yang berhubungan dengan masalah di Papua. mDengan demikian, tujuan nasional tidak ada dalam UU No. 21 Tahun 2001 untuk kehidupan bagi orang Papua. Selain itu, UUD’45, dimana pasal 1 ayat (2) dirujuk pada pasal 19 ayat (1) dan pasal 20 juga tidak berkolerasi. Cara pandang bahwa uang sebagai jawaban adalah sebuah kekeliruan yang patal. Karena cara pandang yang seperti itu, sama sekali tidak menghentikan marjinalisasi terhadap rakyat, pelanggaran HAM yang nyata dan telanjangserta dan kejahatan-kejahatan lainnya terhadap rakyat Papua. Soal paling penting dan strategis yang perlu dipikirkan dan dikaji baik-baik oleh pemerintah pusat. Prinsipnya adalah ketika rakyat sudah menolak otonomi khusus, karena tidak berhasil, maka, tugas pemerintah pusat adalah mencari jalan atau cara yang lebih besar dari otonomi khusus. Salah satunya adalah membuka ruang dialog dan perundingan yang seluas-luasnya dengan rakyat. Tidak ada cara lain. Jangan juga takut berhadapan dan berdialog dengan rakyat sendiri. Membuka dialog dan perundingan yang selebar-lebarnya juga ditegaskan oleh tokoh nasional asal Papua, Natalius Pigai. Tokoh pegiat HAM dan keadilan ini menyarankan agar segera “bekukan otonomi khusus dan gelar perundingan”. Barang kali, ini cara yang bisa ditempuh untuk mencari solusi bersama di Papua guna wujudkan Papua sebagai tanah yang damai untuk semua anak bangsa. Perundingan sendiri harus dilihat dalam semangat konstitusi negara. Pertama, semangat lahirnya negara. Kedua, musyawara untuk mufakat, yakni sila keempat. Ketiga, adanya referensi Aceh dalam perundingan untuk menyelesaikan masalah. Bahkan musyawarah untuk mufakat adalah ciri has kebudayaan bangsa yang wajib untuk dilestarikan. Dengan demikian, perundingan memenuhi ketentuan konstitusional. Mestinya kita harus jauh lebih bermartabat dalam menyelesaikan berbagai masalah di Papua. Bukan dengan praktek arogansi dan otoritarianisme. Apalagi mengabaikan prinsip-prinsip dalam bernegara. Jangan mengabaikan semangat rumusan UUD’45 yang didasarkan pada prinsip kemanusiaan sebagai dasar lahirnya konstitusi yang tertulis di Indonesia sebagai bentuk sistim hukum tertulis (eropa kontinental). Penulis adalah Aktivis Kemanusia Asal Papua.
Cintai Produk Lokal, Kenapa Import Demokrasi Individual? (Bagian-2)
by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Awal tahun 2021, bertiup angin santer wacana keinginan tentang Presiden tiga periode. Sifat wacana masih perorangan, belum ada organisasi yang menyatakan. Namun, bisa jadi dia corong depan organisasi. Tetapi bisa juga pribadi yang sedang “Nggege Mongso” mengharap jabatan. Semoga saja tidak demikian. Apapun alasannya, isu itu bergulir di media, mengusik pikiran penulis. Bagaimana tidak terusik? Jabatan Presiden kok mudah sekali diutak-atik sesuai selera. Penulis mencoba berburu pengetahuan kepada beberapa tokoh penyandang ilmu Hukum Tata Negara, melaui whatsApp (WA). Singkat cerita, penulis (P) melakukan chatting melalui WA ke beberapa tokoh. Semua merespon, salah satunya, tokoh berinisial (JA) mantan pejabat negara, yang komunikasinya kami lakukan 15/3/2021. Cuplikan yang penting dari chating sebagai berikut : P: Ijin tanya Prof,…. Berbicara masalah pengaturan di UUD, tentang berapa kali Presiden boleh menjabat, masalah ini masuk katagori persoalan tehnis atau persoalan esensial ketatanegaraan? Kedua, apa ada yang secara akademis, disebut sebagai faktor pertimbangan untuk menentukan lamanya jabatan Presiden? JA: Pembatasan masa jabatan, meteri esensial demokrasi konstitusional. Karena hakikat konstitusi itu sejak awal diadakannya berisi kesepakatan tertinggi untuk membatasi kekuasaan, salah satunya adalah soal masa jabatan yang dalam sistem Presidensial harus “fixed term”, dan dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. Tidak ada demokrasi jika tidak terdapat jaminan pergiliran atau pergantian kekuasaan. Misalnya, ada Pilpres, tetapi Presidennya tidak ketat dibatasi periodenya sehingga terus-terusan terpilih sampai mati seperti di Rusia atau PM Hun Sen di Kamboja, juga sampai mati. Meski selalu ada Pemilu, tetap saja demokrasinya dianggap semu atau formalistik. P: Katanya demokrasi itu kedaulatan rakyat di tangan rakyat. Kalau rakyat masih menginginkan dia presiden lagi bagaimana? Apa iya kedaulatan rayat dibajak, terus bikin definisi atas nama demokrasi bahwa “Presiden harus gantian”? Apa tidak melanggar hak kedaulatan rakyat? JA: Itulah warisan budaya feodal yang menyebabkan suburnya politik dinasti dimana-mana. P: Bung Karno punya Tap MPR sebagai Presiden seumur hidup. Pak Harto dipilih rakyat berkali-kali. Tetapi, tatkala rakyat sudah tidak suka, ya henti di tengah jalan. Jadi ukurannya, menurut saya, demokrasi itu ya bagaimana kedaulatan atau kehendak rakyat. Ukurannya bukan harus gantian. JA: Iya, benar begitu, tapi kalimatnya masih terlalu abstrak, sudah dibahas sebelum 2021. Sekarang harus dirinci dalam ribuan buku ilmu pengetahuan, sehingga dalam praktek muncul parlemen. Ada kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Adanya Parpol, peradilan independen. Bahkan muncul juga Mahkamah Konstitusi (MK), sistem fixed presidentil, larangan bubarkan parlemen dalam sistem presidentil, tetapi ada mekanisme impeachment, dan sebagainya. Semua butuh pelembagaan. Namun tantangan yang bakal dihadapi adalah tradisi budaya. Maka setelah 75 tahun, yang bangkrut dalam praktek malah politik dinasti. Karena para pemimpinnya cuma sibuk rebutan, mengambil dan menikmati secara transaksioanal. Bukan peduli, menyumbang, berbagi untuk transformasi pelembagaan politik dan peradaban bangsa dalam jangka panjang. P: Apalagi dengan dasar Demokrasi Liberal. Siapa kuat segalanya (duit dan kekuasaan) pasti menang. Coba jika sistem Pancasila kita bikinkan “saringan” untuk milih calon anggota dewan dan calon Presiden dan Wakil Presiden seperti memilih calon Taruna masuk Akademi Militer atau Akademi Kepolisian, kita akan menemukan sosok yang “nggenah” dan konflik perpecahan bangsa terhindari. Dari chating di atas, kita ambil 3 (tiga) pendapat JA yang menarik untuk dibahas. Pertama, pembatasan masa jabatan Presiden, sebagai meteri esensial demokrasi konstitusional. Kedua, dalam esensi demokrasi itu, harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. Ketiga, setelah 75 tahun yang bangkrut justru politik dinasti. Pertama, penulis sependapat, urusan masa jabatan Presiden itu bukan urusan tehnis yang mudah diutak-atik sesuai selera. Tetapi urusan esensial demokrasi konstitusi. Penentuan masa jabatan Presiden harus melalui kajian dari banyak faktor sosial budaya bangsa. Sebagaimana “founding fathers” telah merumuskannya dalam UUD 1945, tentu sudah menghitung dari berbagai aspek sosial budaya. Penulis yakin, hitungan “founding fathers” tak ada faktor faktor emosional, kekeluargaan, kekerabatan dan lain-lain yang sebangsanya. Karena itu, masa jabatan Presiden dari setiap negara bisa berbeda. Konstitusi yang sudah mengaturnya, jarang terjadi diutak-atik di tengah jalan, karena selera politik. Kedua, pendapat dari JA, bahwa dalam sistem Presidensial harus “fixed term”, dan dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. Tidak ada demokrasi jika tidak terdapat jaminan pergiliran atau pergantian kekuasaan. Pertanyaan penulis, apa iya esensi Demokrasi Pancasila tidak mengatur pergantian Presiden yang “fixed term”? Menilik arti kata dan definisi demokrasi dari tokoh-tokoh dunia seperti Abraham Lincoln, Charles Costello, John L. Esposito, Hans Kelsen, Sidney Hook, C.F. Strong, Hannry B. Mayo dan lain-lain. Tidak satupun yang menyinggung esensi demokrasi itu dengan penekanan harus adanya “giliran kekuasaan”. Hampir semua mendefinisikan demokrasi itu seputar sistem pemerintahan yang seluruh rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Rakyat yang mana, rakyat dewasa. Unsur yang digunakan dalam definisi seperti rakyat pemegang kekuasaan, rakyat memiliki hak mengatur, rakyat sumber kekuasaan atas dasar sistem perwakilan, kesamaan politik dalam suasana kebebasan, dlsb. Apakah reformasi Indonesia tahun 1998 yang mengamandemen UUD 1945 dan memilih Sistem Presidensial dengan dalih Indonesia tidak demokratis itu, dalam bahasa sederhananya hanya ingin Presiden itu bergantian? Penulis berpendapat, amandemen UUD 1945 yang dilakukan tahun 1999 s/d 2002 tidak hanya masalah jabatan Presiden supaya gantian, tetapi ada tujuan yang lebih besar. Kalau hanya ingin Presiden bergantian, sesungguhnya demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila pun sudah mengatur hal tersebut. Implementasi Demokrasi Pancasila disamping soal periodisasi, yakni setiap lima tahun, juga punya makna sebagaimana yang didefinisikan para tokoh kaliber dunia di atas, bahwa semua tergantung rakyat. Contoh faktual, Presiden Soekarno walau mengantongi Tap MPR sebagai Presiden seumur hidup yang merupakan penyimpangan UUD 1945, toh jatuh karena kehendak rakyat. Presiden Soeharto dipilih rakyat dalam sistem perwakilan, berhenti sebelum waktunya karena kehendak rakyat. Laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie tidak diterima rakyat melalui para wakil rakyat di MPR. Semua peristiwa di atas menunjukkan Indonesia negara demokratis. Kedaulatan di tangan rakyat. Jadi dalih amandemen UUD 1945 agar Indonesia lebih demokratis tidak rasional. Menilik pendapat JA, patut dinilai alasan reformasi bukan sekedar ingin Presiden bergantian. Ada tujuan lain, mengganti Demokrasi Pancasila dengan Demokrasi Liberal Mengapa ada kekuatan yang tidak menyukai demokrasi produk lokal yakni Demokrasi Pancasila? Padahal, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar sangat jelas bahwa Negara Republik Indonesia berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila. Bukan menurut UUD sebagaimana Pasal 1 ayat (2) UUD 2002. Dari perspektif teori Hans Nawiasky, Pancasila itu “Staatsfundamentalnorm” yang memayungi Pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945 atau “Staatsgrundgesetz”. Dengan demikian Pasal 1 ayat (2) di UUD 2002 seharusnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, sebagaimana narasi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Soal Demokrasi Liberal dalam Pilpres dan Pilkada langsung. Rakyat kecil, para pakar sampai pejabat berteriak, demokrasi import ini mengakibatkan orang berkualitas tidak bisa menjabat, karena biaya tinggi. konflik yang diciptakan buzzer politik. Kehidupan sosial budaya rusak, penuh ketidakjujuran, ketidakadilan, kolusi, korupsi, nepotisme dengan puncak kerusakan terbelahnya persatuan Indonesia. Jadi menjawab pertanyaan, mengapa ada kekuatan yang tidak menyukai demokrasi produk lokal yakni Demokrasi Pancasila? Penulis berpendapat karena sasaran mereka adalah memecah belah persatuan bangsa Indonesia. Mereka tahu Pancasila adalah alat pemersatu bangsa Indonesia. Jika Indonesia bisa mereka pecah belah, mereka lebih mudah untuk “menguasai”. Sinyalemen penulis di atas, dikuatkan dengan langkah awal reformasi adalah mencabut Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Mereka tahu nilai-nilai Pancasila itu menjiwai Batang Tubuh UUD 1945 yang akan mereka amandemen dan alat pemersatu bangsa Indonesia. Dengan demikian, ajakan Presiden cintailah produk lokal, hendaknya kita tangkap secara luas. Artinya, kita cintai pula demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila. Bolehlah kaget setelah tahu dampak buruk dan tujuan demokrasi yang kita import, yakni Demokrasi Liberal yang individualistis tersebut. Tetapi setelah tahu, jangan masa bodoh. Apalagi jika kita semua mengakui Pancasila adalah Dasar Negara Indonesia dan falsafah bangsa Indonesia. Mari kita selamatkan bangsa dan negara bersama-sama, sebelum pecah, dengan kembali ke “Demokrasi Pancasila”. Apakah benar setelah 75 tahun, politik dinasti bangkrut? Sebagaimana yang disampaikan kawan penulis JA di atas? Untuk mengetahui jawabannya, apakah politik dinasti bangkrut atau justru menjamur, silakan baca pada artikel lanjutan bagian ke-3. (bersambung). Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Mungkin Presiden Yang Perlu Reshuffle? Bukan Menterinya
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Akhir-akhir ini isu reshuffle kabinet kembali merebak. Meskipun tidak ada harapan perubahan signifikan dari pergantian para menteri Presiden Jokowi tersebut. Sebab rakyat sebenarnya tidak butuh perubahan parsial kementrian. Yang sebenarnya ditunggu rakyat adalah kapan Presiden Jokowi mundur atau diganti. Selama menjabat sebagai Presiden sejak 2014, sudah empat kali Jokowi melakukan reshuffle kebinet. Pada periode pertama, tiga kali melakukan reshuffle. Sementara di preode kedua ini, sebentar lagi mungkin reshuffle yang kedua. Sehingga totalnya nan menjadi lima kali reshuffle. Ceritra menjabat tiga periode jangan hanya dianggap sebuah parodi. Jika obyektif, dengan keseringan melakukan reshuffle kabinet, maka Presiden dinilai memang sudah tidak mampu lagi memimpin pemerintahan. Syangnya, syahwat untuk tiga periode tersebut diduga semakin menggebu-gebu. Meskipun gagal, namun niat besar menuju tiga priode tetap disebunyikan hingga kini. Bahkan sebaliknya mengatakan, “tak pernah berniat untuk tiga priode”. Reshuffle kabinet sebelumnya telah menghasilkan Menteri Agama (Menag) baru, Menteri Perdagangan (Mendag) baru, Menteri Kesehatan (Menkes) serta Menteri pariwisata dan Ekonomi Kreatif baru. Namun sama sekali tidak mengubah kinerja Pemerintahan Jokowi. Risma Menteri Sosial (Mensos) baru juga masih dominan akting daripada bukti kemampuan. Masyarakat sulit berharap banyak pada Menteri-Menteri yang baru. Disamping tidak adanya visi dan misi menteri, juga sistem kabinet sendiri berjalan dengan manajemen tidak visioner. Tidak jelas arah mau kemana. Sangat tergantung siapa yang terakhir datang memberikan masukan kepada Preside. Isu reshuffle adalah isu politik yang hanya untuk kepentingan istana dalam tiga hal. Pertama, Jokowi ingin mencitrakan kepada masyarakat dirinya masih sebagai Presiden yang masih kuat dan dominan. Tampil dan menunjukkan kepada lingkaran istana bahwa siapa yang mencoba melawan atau mengganggu akan diganti. Makanya jangan coba-coba melawan kemauan dan keinginan Presiden kalau memang tidak siap untuk diganti dari jebatan menteri. Kedua, koalisi dipancing agar semakin mendekat kepada Presiden. Karena umumnya koalisi takut kalau kehilangan menteri. Makanya PHP (Pemeberian Harapan Palsu) pun berjalan. Jangan-jangan Partai Demokrat yang masuk dalam jajaran kebinet hasil reshuffle pula. Untuk bargaining ke depan, terutama mendukung agenda tiga priode. Isu reshuffle selalu membuat semut berkumpul. Ketiga, isu reshuffle ini dapat digunakan sebagai sarana untuk menutupi diri dari kelemahan-kelemahan yang sekaligus memperpanjang nafas politik. Tiga periode juga merupakan bagian dari upaya-upaya tersebut. Meskipun dengan bahasa kepada rakyat bahwa tidak berminat atau tidak akan mempengaruhi Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR). Meskipun demikian, sebenarnya rakyat sudah tidak peduli dengan isu reshuffle yang dihembuskan belakangan ini. Rakyat lebih berfikir tentang bahaya menghadapi krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis politik, dan krisis hukum. Permainan hukum untuk kepentingan politik yang semakin mencolok dan telanjang. Intervensi dan diskriminasi hukum sangat terbuka untu dilakukan penguasa. Jika semakin sering isu reshuffle digulirkan, maka semakin terbukti dan terkonfirmasi bahwa sebenarnya Presiden tidak mampu memilih pembantu yang baik. Menteri itu kan anak buahnya Presiden, karena Presiden yang pilih dan lantik mereka. Namun dengan keseringan reshuffle, maka sebenarnya menjadi cermin dari ketidakmampuan rakyat memilih Presiden yang baik pula. Memang yang selalu saja menjadi pertanyaan adalah, apakah "telur dulu atau ayam dulu”? Namun yang repot kalau ayamnya sakit, dipastikan telurnya juga ikut busuk. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Cintai Produk Lokal, Kenapa Import Presidensial? (Bagian-1)
by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Jokowi Kaget. Tak Percaya Ada Guru Bergaji Rp. 300 Ribu (CNN Indonesia, 11/1/2019). Wapres Ma’ruf Amin juga kaget dengan Ijin Investasi Miras Jokowi (CNN Indonesia, 2/3/2021). Menko PMK kaget Tenaga Tracing Covid-19 Tak Sampai 5.000 orang (DetikNews, 11/2/2021). Luhut kaget, tambahan kasus Covid-19 Capai 6.000 Per Hari (Bisnis.com, 16/12/2020). Risma kaget, duit Rp.1,3 T untuk data. Mati Kita Kalau Tak Hati-hati (CNN Indonesia, 23/12/2020). Sri Mulyani kaget ada uang WNI di Swiss susah masuk ke Indonesia (liputan6.com, 18/10/2016). Nadiem kaget, kami tak akan pernah hilangkan pengajaran agama (DetikNews, 10/3/2021). Pembaca “kaget’, karena membaca berita para pejabat kaget? Padahal tak perlu kaget. Sebab kaget itu bisa beneran kaget, bisa tidak kaget, tetapi dikaget-kagetkan. Sebab ada adagium kepemimpinan , “apa yang dilakukan dan tidak dilakukan bawahan, merupakan tanggung jawab pimpinan”. Penulis tidak bermaksud membahas berita di atas. Penulis suka judulnya. Logatnya, memberi inspirasi. Penulis ingin menyajikan sesuatu, yang mungkin orang bisa kaget, tidak kaget atau masa bodoh. Namun penulis berharap, demi orang banyak janganlah masa bodoh. Kita hendaknya berani mengambil langkah positip demi bangsa dan negara. Pembatasan. Dalam artikel bersambung ini, karena ada perbedaan yang mendasar, agar mudah membedakan, maka Undang-Undang Dasar hasil amandemen dalam artikel ini, ditulis dengan sebutan UUD 2002. Sebelum import sistem Presidensial, sistem pemerintahan kita dikenal dengan sistem pemerintahan sendiri atau sistem pemerintahan MPR. Penulis berpendapat, dan lebih suka menyebut “Sistem Pemerintahan Pancasila”, karena landasannya Pancasila. Para politisi sepakat mengganti menjadi sistem presidensial saat mengamandemen UUD 1945. Seperti apa sistem Presidensial itu? Seperti yang kita pakai dalam bernegara pasca amandemen UUD 1945. Sistem presidensial jauh berbeda dengan produk lokal yang disusun oleh “founding fathers” yang penulis sebut “Sistem Pemerintahan Pancasila”. Sistem Pemerintahan Pancasila merupakan karya besar bapak bangsa untuk Indonesia merdeka. Sistem ini tertuang dalam UUD 1945. Pasal-pasal dalam UUD 1945 merupakan penjabaran dari pokok-pokok pikiran dalam “Pembukaan UUD 1945”. Sistem pemerintahan yang tidak ikut sana sini, tidak menganut Parlementer ataupun Presidensial. Bahwasannya, kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada Pancasila. Kedaulatan rakyat seperti apa? Kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Di dalam MPR duduk wakil-wakil rakyat, sebagai representasi atau penjelmaan rakyat Indonesia. Ada perwakilan Parpol, ada Utusan Daerah dan Utusan golongan. Tidak ada satupun yang tidak terwakili. Karena itulah MPR sebagai Lembaga Negara tertinggi, yang memegang kekuasaan negara tertinggi. Sehingga MPR memiliki kewenangan menetapkan Undang-Undang Dasar dan GBHN serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Kedudukan ini berimplikasi, MPR memiliki kewenangan melakukan perubahan Undang-Undang Dasar yang bersifat tehnis. Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara, para wakil rakyat di MPR membuat garis-garis besar daripada haluan negara atau GBHN. Untuk melaksanakan GBHN, para wakil rakyat memberikan mandatnya kepada Presiden yang dipilihnya. Dengan demikian, Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawahnya MPR. Presiden sebagai mandataris MPR adalah subsistem dari Sistem Pemerintahan Pancasila. Setiap tahun melaporkan pelaksanaan progam pembangunan, di hadapan sidang tahunan MPR. Di akhir jabatannya, Presiden menyampaikan ‘Laporan Pertanggungjawaban’ di hadapan MPR yang telah memberi mandat. Sampai disini, sebagai produk lokal, tampak keelokan Sistem Pemerintahan Pancasila. Sistem yang runtut dan mengalir dengan mantik. Kedaulatan adalah di tangan rakyat, sebagai cerminan negara demokrasi, yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebuah majelis tempat para wakil seluruh rakyat Indonesia bermusyawarah. Etika birokrasi bernegara pun tampak cantik. Rakyat membuat rencana pembangunan untuk negara, dalam hal ini diwakili para wakilnya di MPR. Presiden menerima mandat untuk dilaksanakan. Ada mandat, ada pula laporan pertanggungjawaban dari penerima mandat. Rakyat hidup tenang menjalankan kehidupannya, karena sudah mewakilkan hak dan kepentingannya. Apakah Sistem Pemerintahan Presidensial sebagaimana diatur dalam UUD 2002 juga seelok dan secantik Sistem Pemerintahan Pancasila? Mari kita uji dengan memunculkan beberapa pertanyaan. Apakah MPR saat ini representatif atau penjelmaan rakyat Indonesia? Tidak. MPR bukan penjelmaan rakyat Indonesia, karena anggota MPR hanya anggota DPR dan DPD. Anggota DPD hasil pemilu inipun nyaris orang-orang Parpol. Lalu dimana posisi dan dikemanakan hak komponen rakyat non Parpol, yakni golongan fungsional dan daerah dalam bernegara? Tidak ada tempat, bahkan haknya hilang. Contoh, salah satunya haknya anggota TNI dan Polri. Dengan demikian menjadi logislah MPR bukan Lembaga Negara tertinggi. Di sisi lain, juga menjadi logis kalau MPR tidak memiliki kewenangan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dipilih rakyat secara langsung, sehingga patut kita nilai bertentangan dengan Demokrasi Pancasila. Apakah Presiden melaksanakan amanat pembangunan bangsa dan negara atau GBHN dari rakyat seperti pada Sistem Pemerintahan Pancasila? Pasti tidak. Presiden membawa visi dan misinya sendiri. Bahkan di era Presiden Jokowi, para menteri yang memiliki bidang khusus pun dilarang membuat visi dan misi. Semua harus melaksanakan visi dan misi Presiden. Apakah selesai periode masa jabatannya, Presiden menyampaikan ‘Laporan Pertanggungjawaban’ kepada rakyat yang memilihnya? Pasti tidak ada. Bahkan, apakah Presiden bekerja sesuai janji saat kampanye atau tidak? Tidak ada konsekuensi yang mengatur. Apakah Presiden berhasil atau tidak di periode pertama, tergantung opini yang dibangun. Opini yang dibangun tergantung pemilik modal. Sejauhmana mereka mempengaruhi Ketum Parpol dan berbagai pihak yang terkait dengan perkandidatan Capres sebelumnya. Kiprah lembaga survei, pemilik modal dan media ikut mempengaruhi. Perilaku para buzzer politik, dan besarnya penggelontoran duit, sangat menentukan hasil pembangunan opini. Sistem Presidensial memang membikin enak posisi Presiden. Bagaimana tidak? Selesai menjabat Presiden bisa pergi ‘lenggang kangkung’ tanpa memberikan laporan pertanggungjawaban. Bahkan, andaikan sebelum akhir masa jabatan, bisa “menguasai” atau “menggandeng” DPR, DPD, MPR, MK dan MA maka bisa dipastikan “check and balances” tidak jalan. Walaupun banyak Parpol, pemerintahan bisa mirip atau akan menjadi pemerintahan yang totaliter. Bagaimana bisa terjadi? Presiden punya kekuatan apa? Jangan kaget, dan tak perlu kaget. Sistem Presidensial yang didukung demokrasi liberal, di lapangan akan menunjukkan bahwa pemilik “kekuatan” itu pemilik modal atau kaum kapitalis. Kedaulatan di tangan rakyat hanyalah sesaat dan sebagai tontonan, ketika coblosan di Pemilu. Setelah itu patut dinilai kedaulatan bukan lagi milik rakyat. Sebuah Gurindam Melayu yang mengatakan ‘Uang adalah Raja Dunia’ memang menjadi kenyataan. Baik itu positip maupun negatip. Tanpa akhlak mulia, uang bisa menghancurkan dan membawa kehancuran. Dengan uang, bisa membuat banyak orang silau yang berujung terciptanya konflik membelah persatuan. Kaum kapitalis pemilik “Raja Dunia” bisa menciptakan siapa Presiden yang bisa mereka kendalikan. Gambaran faktual secara sederhana antara Sistem Pemerintahan Pancasila sebagai produk lokal dengan Sistem Pemerintahan Presidensial sabagai barang import di atas, kiranya bisa membuka mata hati kita. Cintailah produk lokal kata Presiden, hendaknya termasuk cintailah Sistem Pemerintahan Pancasila sebagai produk “founding fathers”. Insya Allah, aamiin. Silakan kaget bila belum tahu sebelumnya. Namun yang terpenting janganlah masa bodoh. Produk lokal lain yang perlu dicintai adalah demokrasi. Demokrasi yang bersumber dan tumbuh dari budaya bangsa, serta sejarah perjalanan bangsa merupakan kekuatan bangsa. Apakah kita punya demokrasi produk lokal yang harus kita cintai? Jawabannya, silakan baca lanjutan artikel bersambung ini, tentang demokrasi. Semoga memahami. Insya Allah, aamiin. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Prabowo-Puan, Capres-Cawapres 2024?
by Tony Rosyid Jakarta FNN - Parbowo hampir dipastikan nyapres lagi. Gerindra nggak akan beri tiket kepada Capres selain Prabowo. Bagi Gerindra, Prabowo menjadi faktor utama elektoral partai. Dengan posisi Prabowo sebagai Capres, efek elektabilitas ke Gerindra sangat besar. Soal menang kalah, itu urusan nanti. Itu punya pertimbangan yang lain. Apalagi elektabilitas Prabowo juga tidak buruk-buruk bangat. Artinya, Prabowo memenuhi instrumen elektoral ketika didorong maju ke Pemilihan Presiden (Pilpres ) tahun 2024 nanti. Suara Gerindra yang ada di DPR sekarang 12,57%. Itu artinya Prabowo sudah punya modal Presidential Threshold 12,57%. persen. Tentu saja itu tak cukup maju sendirian. Sebab, Presidential Threshold 20%. Dengan demikian, Prabowo mesti menggandeng partai lain. Yang paling mungkin digandeng Gerindra adalah PDIP. Apalagi PDIP punya suara 19,33%. Gabungan Gerindra-PDIP sudah 31,90%. Angka itu lebih dari cukup untuk mengusung pasangan Capres-Cawapres pada 2024 nanti. Lantas, siapa calon dari PDIP? Puan Maharani. Megawati, Ketua Umum PDIP kecil kemungkinan akan melepas dukungan kepada selain Puan Maharani. Secara pengalaman, Puan memenuhi syarat. Pernah jadi Menko PMK dan sekarang menjadi ketua DPR. Soal elektabilitas, nampaknya Puan Maharani belum digarap secara serius. Saat ini, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang lebih populer dari Puan. Ini lantaran, Ganjar sangat rajin melakukan self branding. Kabarnya, tim media Ganjar sangat efektif kerjanya. Sederhana dsaja membacanya. Jika ada kepala daerah, siapapun itu, di luar ibu kota, tanpa kerja dan prestasi spektakuler, tapi popularitas tinggi, patut diduga kalau ada tim media yang bekerja efektif. Ada baiknya, anda tidak hanya baca survei yang dipublish. Cari akses untuk membaca juga survei yang tidak dipublish. Anda akan paham bagaimana permainan tim media. Beda dengan kepala daerah di ibu kota. Apapun yang dilakukan, media meliputnya. Ibu Kota jadi pusaran media. Anies Baswedan terpopuler diantaranya karena menjadi kepala daerah di ibu kota. Selain faktor prestasi yang diperoleh melalui berbagai penghargaan, baik nasional maupun internasional. Anies memenuhi syarat logis untuk populer dan tertinggi elektabilitasnya diantara kepala daerah lain. Kembali soal Ganjar Pranowo, apakah Gubernur Jawa Tengah ini akan mampu menyalip Puan Maharani? Kalau secara elektoral, mungkin saja. Tetapi, tak mudah bagi Ganjar Pranowo untuk menggeser posisi Puan Maharani. Di usia senja, Megawati, Ketua umum PDIP pasti ingin melihat anaknya berada di puncak karir terbaiknya. Dan itu adalah wakil presiden, lalu presiden. Yang paling realistis bagi Megawati adalah memasangkan Puan Maharani dengan Prabowo. Formasinya “Prabowo-Puan”. Prabowo tetap menjadi Capres mengingat pertama, elektoral Prabowo lebih tinggi. Kedua, Prabowo itu senior yang sudah dua kali nyapres. Ketiga, ini mungkin bagian dari upaya Megawati memenuhi janjinya di Batu Tulis yang sempat tertunda, bahwa Prabowo giliran menjadi Capres atas dukungan PDIP. Sementara Ganjar Pranowo? Jika elektabilitasnya membaik, Gubernur Jawa Tengah ini bisa nyeberang ke kubu lain. Artinya? Keluar dari PDIP. Misalnya, jadi cawapresnya Anies Baswedan. Untuk ini, Ganjar mesti bersaing dengan tokoh-tokoh lain seperti Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Airlangga Hartarto, Tito Karnavian, Muhaimin Iskandar, Khofifah, Moeldoko, Agus Harmukti Yudhoyono (AHY), bahkan Budi Gunawan yang potensial dan juga berpeluang. Bagaimana jika Prabowo urung maju, dan mendorong Anies Baswedan sebagai Capres yang didukung Jokowi dan PKS? Apakah ini akan jadi pintu rekonsiliasi bangsa? Jika ini terjadi, maka akan merubah semua peta politik selama ini. Penulis adalah Pmerhati Politik dan Bangsa.
Benih Terorisme Itu Dari Syi'ah
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Ungkapan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. Said Agil Siradj bahwa benih terorisme adalah Wahabi dan Salafi adalah ngawur dan ngaco. Pernyataan yang sangat sentimentil, dan berbahaya. Said tak pernah berterimakasih kepada Negara Saudi Arabia yang membuatnya memperoleh gelar Doktor di Universitas Ummul Quro Makkah. Negara yang telah menolong keilmuannya Said Agil. Kemudian sekarang berkhianat habis kepada Suadi Arabia dengan mencaci maki secara tak beradab. Orang menilai tak pantas dilontarkan oleh seorang Professor doktor atau ulama. Prilaku seperti itu hanya dan biasa dilakukan oleh mereka berpredikat sebagai ulama-ulaman. Itu bukan ulama benaran. Wahabi dan Salafi tidak pernah memusuhi negara manapun, termasuk Indonesia. Bahkan Salafi yang di Indonesia malah menyerukan untuk patuh kepada penguasa yang sah. Kaum salafi sangat jauh dari watak-watak radikal. Apalagi menjadi teroris. Aksi-aksi unjuk rasa atau demontrasi kepada penguasa saja dihukumkan sebagai barang haram. Salafi melawan Pemerintah tidak boleh. Demikian juga dengan Wahabi yang bersumber dari Saudi Arabia. Wahabi itu dimusuhi dengan snagat keras oleh kaum Syi'ah. Mereka dinyatakan sebagai nawashib, kafir oleh Syi'ah. Aneh bin ajaib saja, kalau Said Agil menyatakan salah satu sumber teroris di Indonesia itu berasal dari Salafi dan Wahabi Akar faham Syi'ah adalah radikalisme dan terorisme. Konsep imamah menciptakan permusuhan dan perlawanan terhadap ideologi negara di manapun. Spirit balas dendam dengan kekerasan ditarik dari pembantaian Karbala yang sebenarnya akibat dari watak khianat pengikut Syi'ah sendiri. Misalnya, menyakiti diri (tathbir) dengan senjata tajam adalah ajaran kekerasan dan terorisme Syi'ah. Sekedar mengingatkan lagi kalau gembong dan bapaknya terorisme di Indonesia adalah aktivis Syi'ah yang tiba dari pembinaan ilmu di Qom Teheran. Namanya adalah Muhammad Ibrahim Djawad. Orang ini yang melangkah dengan timnya yang terkenal melakukan peledakan bom Candi Borobudur pada tahun 1985 lalu. Ketika itu sembilan bom meledak sekaligus. Setelah meledakan Candi Brobudur yang menghebokan itu, Muhammad Ibrahim Djawad lantas kabur, dan lari kembali berlindung ke Iran. Sampai sekarang mungkin saja tidak berani kembali ke Indonesia. Kemungkinan dia masih menetap di Iran. Sementara anak buah Syi'ahnya meledakan bom bis Pemudi dan Seminari Alkitab Malang, Jawa Timur. Jadi pintu masuk radikalisme dan terorisme jelas bukan Wahabi atau Salafi. Melainkan asal-muasalnya dari Syi'ah. Said Agil yang sedemikian banyak memuji-muji Syi'ah, justru membahayakan eksistensi NKRI. Inkonsisten dukungan soal pluralisme. Dengan Kristen, Syiah, Ahmadiyah bisa berbaik baik. Tetapi giliran dengan Salafi dan Wahabi justru menonjok-nonjok. Bahaya global yang tidak disadari ole Said Agil adalah memusuhi Saudi Arabia, dan bersahabat dengan Iran. Padahal Saudi Arabia adalah negara di mana terdapat dua kota sucinya ummat Islam. Ada Makkah Al-Mukarromah yang menjadi kiblatnya ummat Islam di muka bumi ini. Selain itu, ada juga Madinah Al-Munawwarah, Kotanya Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam. Islam lahir di negeri Saudi Arabia ini. Islam bukan lahirnya di Qom atau Teheran. Apalagi di Karbala. Jangan salah mengarahkan kiblat bangsa dan negara ini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.