OPINI

Budaya Lapor Dan Demokrasi Kita

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Gerakan Anti Radikalisme (GAR) alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) melaporkan Prof. Dr. Din Syamsuddin MA ke Komisi Aparatur Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Tuduhannya, dugaan pelanggaran kode etik Pegawai Negeri Sipil karena berpolitik. KASN menindaklanjuti laporan itu dan melimpahkan kepada Satuan Tugas Penanganan Radikalisme ASN. Shinta Madesari dari GAR mengatakan, KASN telah menyatakan Din Syamsuddin melakukan tindakan radikalisme (TEMPO, 14 Februari)). Lalu, tanggapan pun muncul dari banyak pihak. Banyak yang menyayangkan isu radikalisme dikaitkan dengan sosok Din Syamsuddin. Tak kurang dari organisasi sekelas Pengurus Besar Nahdatul Ulama ikut berkomentar. Muhammadiyah, yang punya sejarah panjang dengan Din Syamsuddin, telah lebih dulu bicara. Reaksi personal juga ditunjukkan sejumlah tokoh. Sebut saja Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid hingga Guru Besar UIN Jakarta Prof. Azyumardi Azra. Media sosial berkecamuk. Netizen, seperti biasa, kembali perang narasi. Laporan GAR alumni ITB tersebut pada akhirnya menjadi sumber kegaduhan baru. Gaduh itu muncul karena laporan ini dipandang bertentangan dengan karakter dan rekam jejak Prof. Din Syamsudin. Memori publik rupanya lekat dengan sosok Prefesor yang intelek dan teduh. Jauh dari kesan radikal-radokul. Selama ini, publik memang mengenal Prof. Din Syamsudin sebagai tokoh lintas agama, yang berpikiran moderat dan konsisten mengampanyekan moderasi Islam. Moderasi Islam adalah salah satu inti ajaran agama Islam yang mengedepankan jalan pertengahan. Tidak sulit mengaca karakter itu pada sejarah perjalanan hidup Prof Din Syamsudin. Presiden Jokowi sendiri pernah memandatkan Din sebagai utusan khusus Presiden untuk dialog kerjasama antar-peradaban yang melaksanakan Konsultasi Tingkat Tinggi di Bogor pada 2019. Rekam jejak lainnya dengan mudah ditemukan di mesin pencari google atau cukup mengunjungi laman Wikipedia. Jadi, wajar bila ada reaksi publik dalam menentang pelaporan GAR alumni ITB beraneka ragam. Ada yang menanggapi dengan pernyataan lembut, ada pula yang berkomentar keras. Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah misalnya, mengatakan bahwa pelaporan tersebut adalah bentuk kebencian yang tidak berdasar, gegabah, dan tidak punya data yang kokoh. Penentangan publik terhadap pelaporan Prof. Din Syamsudin sekaligus menunjukan sosok cendekiawan Islam ini adalah aset bangsa. Pada level inilah pencapaian Prof. Din Syamsuddin harus diakui sebagai kekayaan. Masyarakat agaknya punya "rasa memiliki" terhadap dirinya. Hak Warga Negara Melaporkan seseorang adalah hak semua warga negara. Namun, laporan pelanggaran kode etik yang kemudian ditangani dalam satuan tugas radikalisme menggiring persepsi bahwa Prof Din Syamsudin radikal-radikul. Namun, belakangan Pemerintah mengaku tidak akan menindaklanjutinya. Pengakuan ini disampaikan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Mahfud MD. Mahfud malah balik menegaskan, sosok Prof. Din Syamsudin sangat bertolak belakang dengan yang dituduhkan GAR alumni ITB. "Pak Din itu pengusung moderasi beragama (washatiyyah Islam) yang juga diusung oleh pemerintah", begitu kata Mahfud. Namun, ombak kegaduhan terlanjur berkecamuk. Gelombangnya sulit ditebak akan terdorong angin hingga ke mana. Pemuda Muhammadiyah mengatakan akan menempuh langkah hukum apabila GAR ITB tidak mencabut laporan dan meminta maaf. Artinya, ada kemungkinan kasus ini tetap berlanjut, meski laporan tidak ditindaklanjuti Pemerintah. Mekanisme hukum memang memungkinkan pelapor menjadi terlapor. Bila laporan terbukti tidak berdasar, sehingga merugikan nama baik terlapor, pihak yang merasa dirugikan dapat melaporkan balik. Umumnya, argumentasi yang digunakan adalah dalil pencemaran nama baik, dan atau perbuatan tidak menyenangkan. Aturan hukumnya nyata ada. Menjadi Titik Balik Hukum biarlah tetap menjadi persoalan hukum. Pertanyaan penting bagi kita sebagai bangsa, apakah kita akan membiarkan fenomena lapor-melapor terus menerus mengusik hari-hari kita? Berapa banyak laporan yang sebenarnya dimotivasi sentimen kebencian, politik, dan lain-lain? Lantas, berapa banyak energi bangsa yang dihabiskan untuk sesuatu yang sebenarnya tidak begitu penting? Pelaporan GAR alumni ITB terhadap Prof. Din Syamsudin tidak boleh menguap begitu saja. Kejaian ini harus menjadi pembelajaran kita sebagai bangsa. Peristiwa ini harus kita jadikan titik balik menata demokrasi dan kehidupan sosial yang lebih baik. Jangan acak-kadit seperti ini. Sebelum kasus GAR alumni ITB meledak, dalam konteks berbeda, Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik terhadap kinerja Pemerintah. Namun, tak berselang lama, mantan Wakil Presiden bertanya-tanya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Tidak sulit menebak arah pertanyaan Pak Jusuf Kalla itu. Pertanyaan ini agaknya lebih berupa satire terhadap kehidupan berdemokrasi kita saat ini. Sedikit-sedikit lapor, sedikit-sedikit lapor, begitu kalimat yang sering terdengar. Mulai dari obrolan warung kopi hingga perbincangan di linimasa media sosial. Kalimat ini sekaligus merefleksikan kegundahan hati sebagian masarakat. Perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan dalam berdemokrasi. Penghormatan terhadap perbedaan pendapat merupakan roh bagi gerak dinamis demokrasi itu sendiri. Kita boleh berbeda pendapat terhadap suatu persoalan bangsa. Namun kita sepakat untuk tidak sependapat. Artinya, perbedaan pendapat tetap dihargai sebagai sebuah kewajaran. Pun, Bhineka Tunggal Ika harusnya kita pahami dengan utuh. Tidak semata-mata hanya dipakai untuk menyamakan visi besar kita dalam memandang perbedaan. Tetapi juga untuk menumbuhkan perbedaan sebagai sebuah kekuatan dalam berbangsa. Konteksnya tidak sebatas menjaga kemajemukan warga bangsa, tetapi juga menjaga kemerdekaan pikiran. Kalau hanya sekadar berbeda lantas menjadi bahan pelaporan, tentu tindakan ini justru berbahaya bagi demokrasi. Kita berharap, negara menjamin kemerdekaan pikiran sebagai dialektika yang sehat. Tentu sepanjang tidak melawan aturan. Penulis adalah Anggota Komite III DPD RI.

Covid-19 Memicu Great Reset Dunia Pendidikan

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Dalam sejarah umat manusia, belum ada peristiwa yang bisa memicu perubahan dalam berbagai spektrum kehidupan secara radika, kecuali pandemi Covid-19. Penularan virus mematikan itu, telah memaksa kita melakukan banyak penyesuaian dan adaptasi. Meninggalkan sesuatu yang lama. Bahkan mengadopsi hal-hal baru. Bagaimana misalnya, kita yang terbiasa bekerja harus datang ke kantor, setor muka, dan mengisi absensi, kini beralih dengan bekerja dari rumah (WFH). Demikian juga di sektor layanan medis, konsultasi dengan dokter secara jarak jauh (telemedis) telah menjadi tren baru. Perubahan pola dan kebiasaan, juga terjadi di sektor pendidikan. Sekolah jarak jauh, pembelajaran daring, teleedukasi, virtual learning, webinar. Itulah berbagai jenis kegiatan pendidikan yang baru kita kenal dalam satu tahun terakhir. Namun diadopsi secara masif. Semua perubahan perilaku, pola dan kebiasaan yang dipicu oleh pandemi Covid-19 itu terakumulasi dalam satu gelombang great reset. Istilah great reset ini, diintroduksi oleh World Economic Forum yang bermarkas di Swiss. Perubahan tatanan secara besar-besaran dan terjadi sangat mendasar. Covid-19, telah memicu great reset di sektor pendidikan. Great reset, semestinya memacu kita bergerak cepat. Beradaptasi secara gesit. Sehingga tidak ketinggalan dan terlindas oleh gemuruh pandemi Covid-19. Dalam hal ini, negara semestinya telah membuat rancangan bangun arah bangsa di era great reset. Namun apa yang terjadi di Indonesia setelah setahun Covid-19. Saat guru dan murid di Indonesia masih harus tatap muka secara virtual, di daerah asal Virus Covid 19 di Wuhan Cina sana, sekolah telah dimulai sejak Agustus 2020. Di provinsi lain Negeri China, sekolah tatap muka bahkan telah dimulai jauh sebelum Agustus. Begitu juga dengan Jepang, Norwegia, Australia, dan beberapa negara lainnya. Setahun berlalu, kita masih jalan di tempat. Disebut begitu, karena belum ada titik terang sekolah tatap muka bakal dimulai kapan. Target atau agenda dari Departemen pendidikan pun belum terdengar lagi. Sebelumnya, sekolah diagendakan buka Januari 2021 lalu. Namun rencana itu dianulir. Pembatalan itu harus dilakukan karena Covid-19 tak kunjung dapat terkendali. Belakangan, kasus positif malah semakin mencemaskan. Kementerian Kesehatan mensinyalir tahun ini jumlah kasus Covid-19 bakal mencapai 1,7 juta. Sementara mantan Wakil Presiden RI HM Jusuf Kalla memprediksi lebih tinggi lagi. Menurutnya, angka kasus covid-19 dapat menembus dua juta kasus pada April 2021. Ironisnya, bila kita mengamati ribut-ribut pembicaraan di ruang publik. Isu yang sering diperdebatkan justru soal-soal di luar urusan Covid-19. Kalau bukan politik, ya, sentimen sosial-keagamaan. Tengok misalnya, isu kudeta Partai Demokrat atau kicauan rasis seorang netizen yang menghangat baru-baru ini. Isu tentang Covid-19 sendiri mulai jarang menjadi headline news. Begitu pula dengan perbincangan tentang dunia pendidikan di tengah pandemi. Isu pendidikan sempat menjadi perbincangan hangat publik. Namun, tema yang diperdebatkan justru soal aturan pemakaian jilbab di sekolah. Sungguh, energi bangsa ini banyak terkuras pada hal-hal yang seharusnya tidak perlu. Dalam konteks membangun kewaspadaan terhadap virus, soal-soal itu justru berpotensi menjauhkan alam bawah sadar kita kepada gurita pandemi Covid-19. Seringnya fokus perhatian terhadap pandemi ditelikung oleh isu-isu lain yang menguat, barangkali tak banyak di antara kita yang menyadari bahwa negeri ini telah menorehkan tiga rekor buruk Covid-19 dalam dua bulan terakhir. Sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang menembus satu juta kasus. Sebagai negara nomor satu di Asia dengan tingkat kematian akibat Covid-19 terbanyak. Sebagai negara nomor satu di Asia dan nomor tiga di dunia dengan jumlah dokter yang wafat terbanyak. Tapi sudahlah, sembari memperketat protokol kesehatan diri dan keluarga, kita percayakan saja penanggulangan Covid-19 kepada Pemerintah dan Satgas Penanganan Covid-19 serta aparat terkait lainnya. Kita doakan mereka yang diamanahi mengembang tugas mulia itu dapat segera merumuskan formulasi penanganan Covid-19 yang tepat dan efektif. Kendala dan Dampak Kecendrungan perkembangan Covid-19 membawa kita pada kesimpulan, bahwa sekolah virtual masih akan berlangsung lama. Kondisi ini sangat disayangkan. Karena proses belajar-mengajar daring nyatanya tidak efektif, atau setidaknya belum menemukan titik ideal. Itulah akibat keterlamabatan pemerintah memberikan respons secara ilmiah terhadap pandemi ini. Disebut demikian, karena pertama, survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan, sebanyak 43 persen pelajar mengeluhkan kuota, sebanyak 29 persen tidak memiliki alat seperti telepon pintar atau komputer, dan yang tidak terkendala oleh keduanya hanya 16 persen. Survei itu dirilis Agustus 2020. Artinya, enam bulan pertama pelaksanaan sekolah virtual, sebagian besar pelajar masih terkendala teknis. Pertanyaannya, jika kendalanya saja demikian, bagaimana kita akan mendiskusikan efektivitas belajar-mengajar virtual? Kedua, survei KPAI yang dirilis 3 Januari 2021 menemukan, sebanyak 57 persen siswa mengaku kesulitan menerima materi pelajaran melalui virtual. Sebanyak 87 persen siswa menginginkan pembelajaran tatap muka secara langsung. Kesulitan proses belajar mengajar semakin dirasakan ketika pelajaran praktikum tidak mungkin dilakukan virtual. Sejumlah kendala di atas menunjukkan problem mendasar dalam dunia pendidikan kita di masa pandemi. Belum lagi berbicara dampak turunan lainnya. Dampak derivatif dimaksud adalah, pertama, belajar mengajar virtual secara tak langsung mengarahkan keakraban anak remaja dengan gadget. Mereka dirumahkan, jauh dari pergaulan sosial sesungguhnya. Alhasil media sosial berpotensi besar menjadi alternatif komunikasi sekaligus ruang sosial baru yang menyenangkan. Facebook, Twitter, Instagram, bukan hal baru bagi pelajar saat ini. Di beranda media sosial, anak-anak bisa menemukan informasi sarat kebajikan. Tetapi dengan mudah pula tersodori bacaan penuh hasutan. Fakta seringkali beradu pengaruh dengan hoax, ditambah sampah kata-kata dan kata-kata sampah yang tak henti lalu-lalang di linimasa media sosial. Kedua, potensi lost generation atau generasi yang hilang. Istilah lost generation muncul kali pertama untuk menggambarkan situasi yang terjadi setelah pasca Perang Dunia I di tahun 1920 silam. Dalam konteks dunia tanpa perang, generasi bangsa dapat "hilang" bila pendidikan tercerabut dari diri generasi bangsa, termasuk bila pembelajaran berkualitas kita biarkan terus menerus terjadi tanpa merumuskan konsep lanjutan yang lebih efektif. Lost generation harus mendapat perhatian secara serius. Terlebih karena lost generation tidak semata faktor kegagalan pencapaian pembelajaran yang berkualitas, tetapi juga bersinggungan dengan pengaruh faktor ekonomi. Kita tahu, situasi ekonomi bangsa sedang sulit. Pandemi telah menyebabkan banyak orang tua siswa yang kehilangan sumber pendapatan Desember 2020, Badan PBB untuk anak-anak (UNICEF) telah memberikan indikasi kuat adanya potensi itu. UNICEF menemukan, sebanyak 938 anak Indonesia putus sekolah karena kendala biaya sebagai imbas kemerosotan kemampuan ekonomi akibat pandemi. Sebanyak 75 persen di antaranya tidak bisa lagi melanjutkan pendidikan secara permanen karena orang tua putus pekerjaan. Problem pandemi bagi dunia pendidikan memang cukup kompleks. Pasalnya, akar persoalan tidak murni sebatas relasi dunia pendidikan dengan situasi wabah. Keadaan ekonomi nasional, kehidupan sosial bangsa, dan bahkan keberpihakan politik atau kebijakan negara menjadi faktor penentu pula. Hal lain, sistem pendidikan nasional kita tidak dibangun untuk mengantisipasi situasi wabah, khususnya pandemi yang berkepanjangan seperti saat ini. Akibatnya, konsep penyesuaian metode belajar-mengajar pada keadaan darurat dirumuskan bersamaan dengan situasi darurat itu sendiri. Langkah ini tentu membuka peluang kekurangan di sana-sini. Peran Pemuda Dalam situasi yang demikian kompleks itu, bagaimana peran pemuda dan remaja? Diskusi kita hari ini adalah contoh terbaik kreativitas pemuda dan remaja yang tergabung dalam Himpunan Pelajar Muslim Indonesia (HILMI). Kegiatan HILMI menjadi bukti bahwa anak muda dapat berpartisipasi aktif mendukung upaya penanggulangan pandemi dan krisis akibat pandemi secara intelek melalui diskusi. Ini bagus karena diskusi adalah tradisi intelektual yang harus terus berkecamuk. Peran pemuda sejatinya memang harus dominan dalam lalu-lalang gagasan. Dalam konteks pandemi, partisipasi kaum muda juga dibutuhkan dalam menyebarkan informasi akurat mengenai Covid-19, mengatasi mitos dan stigma yang berkembang, mengawasi hoax, dan seterusnya. Perubahan jaman telah mengantar kita kepada revolusi industry 4.0. Penguasaan kaum muda pada penggunaan teknologi informasi seperti internet, dapat dijadikan pintu masuk menemukan cara-cara baru dan inovatif untuk berkomunikasi dengan pemerintah, media massa, lembaga legislatif, dan lain-lain. Gunakan saluran itu menyampaikan saran dan kritik secara elegan. Juga, maksimalkan media sosial. Kita tahu, media sosial dijejali dengan akun-akun antagonis. Sejukkan dan warnailah dengan ghirah yang menggelora. Saling mengingatkan dalam situasi pandemi adalah langkah nyata pemuda membantu negara. Saya menaruh harapan besar kepada HILMI. Para pelajar yang tergabung dalam organisasi ini semoga dapat mengambil kunci harakah yang berbeda dari pemuda lain. Dua kata kunci dalam akronim HILMI harus dijiwai dengan serius, "pelajar" dan "muslim". Resapi dan camkan maknanya di sepanjang jalan perjuangan menuju cita-cita. Bahwa hari ini situasi pandemi mengharuskan pelajar menempuh pendidikan secara virtual, itu adalah tantangan yang harus dijawab. Lawan rasa malas, berdiskusilah guna membantu guru menemukan ide terbaik mendongrak efektivitas proses pembelajaran daring. Pada akhirnya, pupuk bagi mekarnya pelajar adalah pendidik. Bagaimanapun, keberhasilan proses belajar-mengajar virtual akan sangat bergantung pada kreativitas dan kemampuan guru dalam berinovasi dan berimprovisasi. Tentu termasuk membangun komunikasi dengan orang tua siswa, misalnya melalui Whatsapp grup atau aplikasi lainnya. Di tengah situasi yang serba virtual ini, menjadi penting bagi para pegiat pendidikan memikirkan langah-langkah alternatif yang dipandang dapat mengatrol efektivitas belajar-mengajar daring. Sifatnya bisa berupa terobosan pribadi guru atau kebijakan internal sekolah. Jika pun ada yang ingin diusulkan dan diperjuangkan di tingkat nasional, saya selaku Anggota Komite III DPD RI siap mendukung. Penulis adalah Anggota Komite III DPD RI.

Gokil Abis Kalau Pilkada Serentak 2024

by Nanik S. Deyang Madiun FNN - Apapun alasan yang dijadikan pemerintah untuk ngotot tidak mau merevisi UU Pemilu, sehingga tetap menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2022 dan 2023, menimbulkan tanda tanya besar. Bila sampai Pilkada serentak 2024, nni benar-benar ngaco an gokil abis. Pemerintah maunya Pilkada pada tahun 2024, bareng atau serentak dengan Pemilihan Presiden Pilpres dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Untuk remeralisasikan rencana itu, diketahui pimpinan negara sampai harus turun sendiri melobi ketua-ketua partai. Anehnya, DPR yang tadinya paling bersemangat untuk mengajukan revisi, malah sekarang terkesan membeo. Terakhir mayoritas DPR mengikuti saja apa kemauan pemerintah, kecuali Partai Demokrat yang masih tetap menginginkan adanya revisi UU Pemilu, sehingga Pilkada bisa dilakukan di tahun 2022 dan 2023. Pilkada yang sesuai dengan berakhirnya masa jabatan para Kepala Daerah. Salah satu yang masa jabatannya habis itu adalah Gubernur DKI. Meski saya bisa mengira-ngira apa dibalik semua itu, tetapi saya tutup mata saja. Pura -pura nggak tau sajalah. Saya hanya akan menulis kalau betapa powefullnya Pemerintah cq Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Bayangkan Kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023 itu sebanyak 272 ( Gubernur, Bupati dan Walikota). Artinya selama dua sampai tiga tahun 272 kepala daerah akan dijabat oleh penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota. Siapa yang bakal menjadipenjabat Gubernur, Bupati dan Walikota tersebut? Ya PNS yang akan ditunjuk oleh Kemendgri. Ini ngaco dan jelas gokil abis. Mungkin baru kali ini dalam sejarah Indonesia, sejak merdeka, ada 272 Gubernur, Bupati dan Walikota yang dijabat oleh penjabat dalam jangka waktu sampai bertahun -tahun. Karena dalam UU administrasi, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan para penjabat tersebut, juga masih sangat "abu-abu". Makanya, bisa dibayangkan betapa kisruhnya tata kelola suatu pemerintahan daerah, bila nanti penjabat tersebut mengambil kebijakan-kebijakan yang justru kontra produktif dari kepala daerah yang masa jabatannya habis. Peluang bagi terjadinya penyimpangan atau korupsi juga sangat besar, bahkan terbuka lebar. Karena penjabat Gubernur, Bupati dan Walikoa itu punya beban moral kepada rakyat. Mereka bisa membuat kebijakan sesuka hati. Yang penting bagi-bagi proyek dengan DPRD setempat. Kepentingan rakyat bergeser menjadi kepentingan penjabat dengan DPRD semata Persoalkan Legitimasi Pemilu Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, akan ada sekitar 272 pelaksana tugas, penjabat, atau penjabat sementara kepala daerah jika pilkada digelar serentak pada 2024 nanti. Para kepala daerah sementara itu akan ditunjuk oleh Presiden (untuk gubernur) dan Menteri Dalam Negeri (untuk Bupati dan Walikota). Menurut Burhanuddin, jika benar terjadi, maka ini menjadi masalah dari sisi legitimasi dan demokrasi. Sebab Para plt dan penjabat kepala daerah itu bukan hasil pilihan rakyat secara langsung. Kewenangan mereka pun terbatas dalam menentukan kebijakan. Selain itu, lanjut Burhanuddin, keberadaan plt dan penjabat kepala daerah dalam pilkada ini memiliki implikasi ke Pemilu 2024, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Daerah yang akan habis masa jabatan di 2022 dan 2023 ialah para kepala daerah di Jawa dan Sumatera. Seperti Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Lampung, Sumatera Selatan, hingga Sulawesi Selatan. Daerah-daerah itu memiliki basis populasi pemilih yang besar. "Kalau misalnya muncul dugaan abuse of power untuk kepentingan 2024, baik Pileg maupun Pilpres, karena penggunaan plt atau penjabat, saya khawatir legitimasi hasil Pemilu 2024 dipersoalkan," kata Burhanuddin. Penulis adalah Wartawan Senior.

Bubarkan Dan Hukum Itu GAR ITB

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN- Mahfud MD bukan seorang pengamat yang hanya dipandang untuk opininya. Tetapi Mahfud adalah Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam). Pejabat kompeten untuk melakukan "judgement" situasi politik dan keamanan negara. Termasuk menilai profil figur Prof. Dr. Din Syamsuddin MA, apakah radikal atau tidak? Pernyataan Mahfud tentang Prof. Din Syamsudin berbahaya atau tidak bagi bangsa dan negara. Tentu saja pernyataan yang tidak asal-asalan keluar. Juga pernyatan yang tidak asal bunyi dan bacot semata. Namun pernyataan yang didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman pribadi Mahfud, maupun sejabagai pejabat negara yang berkompeten di bidangnya. Pernyataan penting dari Pak Mahfud adalah bahwa Din Syamsuddin bukan atau tidak radikal. Ini mematahkan upaya Gerakan Anti Radikal (GAR) alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang melaporkan Din Syamsuddin sebagai figur yang radikal kepada Komite Aparatur Sipil Negara (KASN). Laporan yang membuat keluarga besar Mummadiyah marah dan bereaksi. Muhammadiyah adalah Organisasi Kemasyaratan Kegamaan tertua di negeri ini. Lebih tua dari Nahdlatul Ulama (NU) beberapa tahun. Muhammadiyah lahir 18 November 1912 di Yogyakarta. Sedangkan NU lahir 13 Januari 1026. Wajar saja warga Muhammadiyah bekerasi keras. Karena Prof. Din Syamsudin pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Di tengah penentangan banyak pihak atas langkah GAR ITB ini, pernyataan Mahfud MD cukup menjadi jawaban. Laporan itu harus segera dimasukkan ke dalam keranjang sampah. Saatnya GAR ITB menuai badai. Karena organisasi ini mengatasnamakan alumni ITB, maka GAR telah mencemarkan institusi ITB. Karenanya pasca penegasan Menkopolhukam terhadap pribadi Prof Din Syamsuddin, konsekuensi terhadap GAR dan laporannya adalah : Pertama, sanksi moral harus diberikan, yaitu GAR ITB mesti mencabut laporan KASN dan meminta maaf kepada Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA. Berjanji untuk kepada publik dan ketelebagaan ITB untuk tidak lagi mengulangi kerjap-kerja yang tendensius dan berbau fitnah seperti ini Karena bukannya berdampak positif untuk isntitusi ITB, tetapi malah mendowngrade ITB. Kedua, sanksi sosial harus diberikan kepada organisasi GAR ITB , yakni desakan atau himbauan ITB agar GAR dibubarkan karena terbukti berulang kali mencemarkan nama baik institusi ITB. Pembubaran adalah konsekuensi logis dan pelajaran yang sangat berharga. Tujuannya, agar ke depan GAR tidak lagi digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik sesaat. Ketiga, sanksi politik yaitu GAR ITB diusut tentang pendanaan dan perlindungan "kakak pembina" karena memperlihatkan diri sebagai buzzer kekuasaan. GAR bukan bagian dari institusi ITB, tetapi menjadi alat mainan "luar" untuk mengacak-acak ITB. GAR bukan kumpulan akademisi tetapi gerombolan politik yang berkedok sebagai alumni ITB. Keempat, sanksi hukum. GAR ITB yang telah mencemarkan nama baik Prof. Din Syamsuddin, sehingga layak untuk diadukan ke aparat penegak hukum atas delik pelanggaran hukum yang telah diperbuat. Pelanggaran tersebut diatur dalam KUHP dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (ITE). Disamping gugatan perdata yang juga dapat diajukan ke Pengadilan Negeri. Kelima, sanksi agama. Reaksi MUI, Muhammadiyah, dan NU dalam pembelaan kepada Din Syamsuddin mengindikasi ada misi keagamaan tertentu untuk memfitnah dan mendiskreditkan seorang tokoh Islam. Din Syamsuddin adalah tokoh Islam tingkat Nasional dan Internasional. Penyelidikan lanjutan diperlukan untuk membuktikan ada tidaknya "serangan keagamaan". GAR ITB telah membuat gara-gara dan kegaduhan di lingkungan akademis. Jika dibiarkan tanpa sanksi, dikhawatirkan GAR ITB akan terus bergerak merajalela menunaikan misi mengacak-acak harmoni dengan prasangka, hoaks, dan hate speech yang lebih jauh akan merusak ideologi bangsa. Kini hanya tiga kata untuk GAR ITB sang perusak harmoni, yaitu bubarkan, kucilkan, dan hukum ! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Menepis Amien Rais Soal Presiden Memegang Kekuasaan Membentuk UU (Bagian-6)

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Strategic Assessment : Mr. Soepomo, “caranya mengangkat pemimpin negara itu hendaknya janganlah dituruti cara pilihan menurut sistem demokrasi barat, oleh karena pilihan secara sistem demokrasi barat itu berdasar atas faham perseorangan. Tuan-tuan sekalian hendaknya insaf kepada konsekuensi dari pendirian menolak dasar perorangan itu. Menolak dasar individualisme berarti menolak juga sistem perlementarisme, menolak sistem demokrasi Barat, menolak sistem yang menyamakan manusia satu sama lain seperti angka-angka belaka. Angka yang semuanya sama harganya”. (Sidang BPUPKI, 31 Mei 1945) Ir. Soekarno, “Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!” (Sidang BPUPKI, 1 Juni 1945) Pembatasan, ”Untuk membedakan dan mempermudah, hasil amandemen UUD 1945 dalam artikel ini kita sebut UUD 2002”. Ilustrasi Sebuah Adat Adat di Jawa ada yang disebut “lamaran”. Keluarga laki-laki datang kepada keluarga perempuan, melamar untuk mempersunting putri dari keluarga tersebut. Keluarga laki-laki datang sambil membawa hadiah sebagai tanda pengikat, yang prosesnya dinamai serah-serahan. Kadang kala, keluarga perempuan juga memberi sesuatu saat keluarga laki-laki pulang. Amien Syamsudin sahabat saya tinggal di Semarang, ngerti adat Jawa itu. Ketika Amien di Sumbar, daerah Padang, Padang Pariaman, dan Pesisir Selatan, melihat acara “manjapuik” seperti lamaran di Jawa. Melihat keluarga perempuan mendatangi keluarga laki-laki dengan membawa sesuatu sebagai tanda jadi. Amien berkomentar, “lho, mana boleh perempuan kok melamar laki-laki”. Betulkah komentar tersebut? Jelas keliru besar. Sebab yang dilihat dan dikomentari Amien itu adat di Padang, namun komentarnya menggunakan perspektif adat Jawa, yang ada di benaknya. Ilustrasi di atas, kita gunakan untuk membahas komentar Amien Rais terhadap Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dalam buku Valina Singka Subekti, 2007, Menyusun Konstitusi Transisi. Pasal 5 & Pasal 20 UUD 1945 dan Pasal 5 & Pasal 20 UUD 2002. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Sedangkan Pasal 20 UUD 1945 ayat (1) “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR”. Atas pasal tersebut, Amien Rais berkomentar, “Undang-undang dibuat oleh eksekutif, sedangkan legislatif hanya menyetujui. Ini ironis karena DPR tidak membuat legislasi, namun pemerintah yang membuat legislasi”. Komentar itu bisa dipahami, karena di awal reformasi kaum reformis menilai sistem pemerintahan Indonesia tidak demokratis, sehingga UUD 1945 perlu diamandemen. Tuduhan tidak demokratis ini juga datang dari negara asing, yang akhirnya ikut campur dalam amandemen UUD 1945. Baca : (https://rmol.id/read/2020/09/21/453155/menepis-pendapat-amien-rais-1-intervensi-asing-dan-implikasi-kembali-ke-uud-1945) . (google) Kesepakatan dalam amandemen dikala itu, Indonesia memilih sistem pemerintahan Presidensial, seperti di Amerika Serikat, Philipina dan negara-negara di Amerika Latin, yang dilandasi demokrasi Barat. Sistem ini menganut Presiden dipilih rakyat. Kedaulatan negara dipisahkan menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Karena itulah pasal di atas diamandemen. Pasal 5 ayat (1) UUD 2002, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”. Sedangkan Pasal 20 ayat (1) UUD 2002, “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Pertanyaan kritis yang menyebabkan diamandemennya UUD 1945 adalah benarkah tuduhan bahwa Indonesia bukan negara yang demokratis? Tuduhan sekelompok orang dalam negeri dan asing tersebut jelas keliru besar. Sebab Pasal 1 ayat (2) UD 1945, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)”. Kedaulatan di tangan rakyat, adalah ciri negara demokratis. Sedang musyawarah dan keterwakilan itu merupakan cara saja. Toh, Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa segala putusan MPR ditetapkan dengan suara yang terbanyak. Pasal ini juga menguatkan Indonesia sebagai negara demokratis. Pilihan cara ini memang berbeda dengan demokrasi Barat. Demokrasi individual “one man one vote” yang dihindari “founding fathers” ketika akan mendirikan Indonesia Merdeka. Pilihan jatuh pada musyawarah mufakat dan keterwakilan yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri. Sebab konstitusi harus disusun berdasar atas budaya dan sejarah bangsa. Demokrasi musyawarah mufakat dan perwakilan itu indah. Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, Ketua Komisi Yudisial 2016-2018, dalam bukunya, “Rekonstruksi Tradisi Bernegara Dalam UUD 1945” menulis hasil penelitiannya tentang prinsip permusyawaratan perwakilan yang termaktub dalam Pancasila dan pembukaan UUD 1945. Prinsip permusyawaratan perwakilan bersumber dari tradisi demokrasi yang dilaksanakan di daerah-daerah otonom yang disebut ‘desa’ di Jawa, ‘nagari’ di Minangkabau, dan ‘wanua’ di Bugis atau ‘bori’ di Makasar. Artinya, memang benar nilai-nilai Pancasila digali dari bumi Indonesia. Bukan dari Eropa, Amerika atau negeri manapun. Disamping penelitian, kita juga tahu bahwa masyarakat Melayu Islam sebelum dijajah Belanda, berlaku hukum dan musyawarah adat yang berjenjang. Penyalurkan aspirasi rakyat, penduduk di lapisan paling bawah mengangkat Kepala Kampung. Para Kepala Kampung bermusyawarah mengangkat para Tungkat, dan para Tungkat memilih dan atau menjatuhkan Datuk /Kepala Luhak. Datuk/Kepala Luhak beserta ‘Orang-Orang Besar’ yang terpilih, yang memilih dan menggantikan Raja, dan merekalah “Kawan Raja Bermusyawarah”, dan keputusan Kerapatan atau musyawarah ‘Orang-Orang Besar’ itulah yang disebut Amar/Titah dari Raja. Inilah budaya musyawarah dan demokrasi dengan perwakilan bertingkat asli Indonesia. Sistem ketatanegaraan kita, yang disusun “founding fathers” memiliki Lembaga Tertinggi Negara, tempat musyawarah bernama MPR. Negara ditata dengan landasan budaya bangsa sendiri. Budaya yang didasari nilai-nilai agama, khususnya agama Islam, sebagaimana Muh. Yamin mengutip surat Asy Syura ayat 38 untuk hidup musyawarah (BPUPKI, 29 Mei 1945). Semua itu dipadukan dengan teori Barat. Apakah kita berani menuduh “founding fathers” tidak paham ajaran Montesquieu tentang Trias Politika sedemikian, sehingga di dalam undang-undang dasar memberikan Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang? Penulis pikir tidaklah pas. Jangan dikira “founding fathers” tidak ngerti yang disebut Trias Politika, demokrasi Barat, Parlementer, Presidensial dan ilmu-ilmu barat lainnya. Kapasitas bapak pendiri bangsa bisa kita baca saat persidangan di BPUPKI dan PPKI. Strategic assessment di atas merupakan cuplikan saat sidang mencari dasar negara, bukti betapa berilmunya beliau-beliau itu. Seperti Mr. Soepomo, beliau Ketua Panitia Kecil pembuat Rancangan Undang-Undang Dasar. Soepomo dari keluarga ningrat, kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden, meraih gelar Meester in de rechtern dengan predikat summa cum laude. Walau ningrat, tidak sombong, tidak punya jiwa feodal, pandai dan tidak sok ke-barat-baratan. Baca: : (http://rmol.id/read/2020/03/04/423954/menelusuri-jejak-penjelasan-uud-1945-dan-siapakah-mr-soepomo-itu). (google). Sistem Pemerintahan Sendiri Sistem Pemerintahan Sendiri juga sering disebut Sistem Pemerintahan MPR. Penulis sendiri lebih suka jika menyebutnya Sistem Pemerintahan Pancasila. Sistem ini memang berbeda dengan Sistem Parlementer, Sistem Presidensial ataupun kombinasi antara sistem Parlementer dengan Presidensial. Dalam pergulatan perdebatan saat sidang di BPUPKI, penulis yakin tentu sudah ada dialog, “Bukankah Presiden itu eksekutif? Mengapa diberi kekuasaan membentuk undang-undang? Bukankah undang-undang itu urusan legislatif?” Apakah dialog ini sudah terjawab? Penulis yakin sudah dijelaskan argumentasinya. Artinya, bukanlah kealpaan atau ketidaktahuan, tetapi memang kesengajaan. Karena Presiden dipilih MPR, tempat para wakil rakyat bermusyawarah, maka Presiden terpilih disebut sebagai ‘Mandataris MPR’. Presiden menerima mandat dari seluruh rakyat yang terwakili oleh anggota DPR, Utusan Golongan dan Utusan Daerah yang ada di MPR. Karena mandat dari seluruh rakyat itulah, maka Presiden diberikan kewenangan kekuasaan membentuk undang-undang, agar dapat mencapai apa yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Penulis berpendapat, hal ini logis, siapapun mendapat tugas dan tanggung jawab, harus diberikan pula kewenangan. Sepintas kritik terhadap Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menjelang amandemen benar. Benar karena pengkritik melihat dari sistem Presidensial. Tetapi menjadi tidak benar jika dilihat dari perspektif “Sistem Pemerintahan Sendiri atau Sistem Pemerintahan Pancasila”, sebagai pilihan “founding fathers”. Sistem Pemerintahan Pancasila ini sangat komprehensif. Untuk membatasi dan mengawal kekuasaan Presiden agar tidak kebablasan, pembentukan undang-undang harus persetujuan DPR. Disamping itu ada Lembaga Negara Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang wajib memberikan pertimbangan, jawaban dan usul kepada Presiden, diminta ataupun tidak. Lembaga ini sebagai Badan Penasehat. Betapa cantiknya sistem yang dilandasi Pancasila ini. Seluruh rakyat, melalui wakilnya di MPR memberi mandat kepada Presiden untuk melaksanakan GBHN. Setiap tahun Presiden menyampaikan laporan apa yang sudah dan yang akan dilakukan. Di akhir jabatan, dihadapan pemberi mandat, Presiden menyampaikan pertanggungjawaban. Berbeda dengan demokrasi Barat, yang kita tiru pasca amandemen UUD 1945. Presiden dipilih rakyat langsung, melaksanakan visi misinya sendiri. Akhir jabatan tidak ada pertanggungjawaban, pergi dengan lenggang kangkung. Inilah keburukan model Sistem Presidensial, pertanggungjawabannya tidak jelas. Karena itu Undang-Undang Dasar yang dirumuskan “founding fathers” tidak menggunakan model tersebut. Muh. Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo dan Bung Karno ketika pidato mencari dasar negara untuk Indonesia Merdeka dalam Sidang BPUPKI, jelas menolak demokrasi Barat. Dengan demikian, tidaklah pas jika kita menilai atau mengkritik Sistem Pemerintahan MPR dengan perspektif Sistem Pemerintahan Presidensial. Ibaratnya, bagaimana mungkin kita membandingkan atau menilai adat Padang dengan adat Jawa? Seperti ilustrasi di atas, karena keduanya memang berbeda. Penulis yakin, Sistem Pemerintahan dalam UUD 1945, khususnya Pasal 5 ayat (1) bukanlah kesalahan. Bukan pula karena ketidaktahuan atas sistem-sistem pemerintahan lainya. “Founding fathers” memang sengaja membuat Sistem Pemerintahan Sendiri yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Seharusnya kita bangga dengan Sistem Pemerintahan Pancasila ini. Selama kita meyakininya, melaksanakan secara murni dan konsekuen, sistem ini bisa kita duniakan, sejajar dengan Sistem Parlementer dan Presidensial. Semoga bisa dipahami, Insya Allah. Aamiin. Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Managih Janji Presiden & Kapolri Soal Pembunuhan Enam Anggota FPI

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, saat menjalani fit and proper test di depan anggota dan pimpinan Komisi III DPR, menjanjikan untuk menuntaskan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) akibat pembunuhan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Pembunuhan yang dilakukan oleh anggota polisi dari Polda Metero Jaya. Kapolri berjanji untuk merealisasikan empat rekomendasi berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM. Sayangnya ,sejak dilantik sebagai Kapolri pada 27 Januari 2021 lalu, Listyo Sigit hingga kini belum ada kebijakan konkrit sebagai tindak lanjut apa-apa. Mayarakat negeri ini dan DPR hanya diberikan janji-janji kosong oleh Listyo Sigit. Meski tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hasil penyelidikan Komnas HAM yang terbilang rendah dengan hasil rekomendasinya. Tetapi apa yang telah didapat Komnas HAM dengan hasil yang minim tersebut, seharusnya ditindaklanjuti adalah penegakan hukum. Membawa aparat yang menjadi pelaku pembunuhan ke proses peradilan yang terbuka dan transparan. Disamping janji Listyo Sigit Prabowo, juga Presiden Jokowi juga telah berjanji pula untuk menjalankan rekomendasi Komnas HAM. Sayangnya, sejak Presiden menerima laporan penyelidikan dari Komnas HAM, sampai sekarang tidak ada kelanjutan. Karenanya bola janji membawa pelaku pembunuhan terhadap enam anggota laskar FPI ada di tangan Presiden dan Kapolri. Sebenarnya Kapolri sebelumnya Jenderal Polisi Idham Azis sudah membentuk tim khusus pengusutan. Tim tersebut untuk menindaklanjuti rekomendasi hasil penyelidikan Komnas HAM. Artinya, Kapolri baru Jendral Polisi Listyo Sigit tinggal dan menyempurnakan saja tim yang sudah dibentuk oleh Jendral Polisi Idham Azis. Tinggal melanjutkan saja yang sudah ada. Tetapi ternyata hingga kini masih tidak jelas pula agenda kelanjutan penyidikan perkara di kilometer 50 tol Japek tersebut. Keseriusan Kapolri Jendral Listyo Sigit untuk membawa pelakukan pembunhan ke pengadilan mulai dipertanyakan. Luar biasa bertele-telenya penanganan kasus ini. Sudah hampir tiga bulan peristiwa terjadi, namun masih miskin langkah nyata. Belum memulai untuk merealisakan janji soal pembunuhan enam anggota Laskar FPI, kini sudah muncul lagi kasus baru. Misalnya, meninggalnya Ustad Maheer At Thuwailibi di Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri yang juga menuai kecurigaan masyarakat luas. Sehingga Komnas HAM juga berniat untuk melakukan penyelidikikan terkait kematian ustadz Maheer. Tampknya semakin menumpuk saja persoalan yang bekaitan penegakan hukum dan pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan. Satu masalah belum selesai, sudah muncul masalah baru lagi. Ini akibat dari cara-cara kerja polisi yang terlihat tidak profesinal dan amatiran. Semakin menjauh dari profil polisi Indonesia yang prefesional, moder dan terpercaya (Promoter). Jika-janji Kapolri hanya tinggal janji. Tidak ada langkah-langkah nyata di lapangan. Maka wajar saja, jika pada akhirnya publik akan bertanya, sebagai Kabareskrim saat itu, Listyo bersama Kapolda Metro Fadil Imran apakah terlibat? Ketika itu ada tuntutan agar Fadil Imran dinon-aktifkan atau diberhentikan dulu sebagai Kapolda, bagaimana dengan tuntutan kepada Listyo Sigit? Presiden sebagai figur yang sering berjanji, tetapi tidak terbukti janjinya. Kini oleh para mahasiswa dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta telah dinobatkan sebagai "Juara Lomba" inkonsistensi. Janji dan realisasi yang tidak bersesuaian. Nah kasus pembunuhan terhadap enam anggota laskar FPI ini sebagai bola janji inkosistensi yang ada pada Presiden dan Kapolri. Pertanyaanya, akankah Pak Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit bakal menjadi juara janji yang inkonsistensi juga? Atau sekurang-kurangnya bakal menjadi runner up lomba jani dengan hasil inkonsistensi? Semoga saja tidak terjadi, sehingga kekecewaan publik terhadap kinerja polisi yang “PRESISI” tidak semakin bertambah ambruk, seperti yang sudah terjadi pada “PROMOTER” Ayo Pak Kapolri segera bergerak. Jangan ragu untuk mengumumkan dan menyeret anak buah anda ke meja hijau demi nama baik jajaran Kepolisian, Semoga nantinya Kepolisian sebagai anak kandung reformasi tidak mendapat predikat sebagai "Juara Lomba Pelanggaran HAM". Polisi harus tetap dipertahankan sebagai produk reformasi yang telah berhasil dipisahkan dati tentara. Ingat itu baik-baik pesan paling mulia dan berharga dari kode etik kepolisian, “bawahan boleh menolak perintah atasan yang bertentangan dengan hukum. Institusi polisi tidak boleh melindungi oknum yang melanggar hukum. Sebaliknya, oknum yang melanggar hukum, jangan mengorbankan institusi polisi dengan cara berlindung dibalik institusi”. Kasian institusi polisi. Ingat lagi baik-baik dengan sumpah ketika pertama kali menjadi anggota polisi, yaitu “rela berkoban dan mati untuk negara dan institusi polisi”. Ayo lakukan sumpah itu dalam kaitan dengan pembunuhan enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Japek. Tujuannya untuk menjaga marwah dan martabat polisi, agar tetap dihargai masyarakat sebagai penegak hukum yang berwibawa ke depan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Gadget Merusak Sel Tubuh Manusia

by Komjen Pol. Dharma Pongrekun MM. MH. Jakarta FNN - Gadget adalah teknologi yang memang dengan sengaja diciptakan oleh penggagasnya untuk mempermudah pengendalian manusia di seluruh belahan dunia. Pengendalian dilakukan melalui program alam bawah sadar, agar dengan sangat mudah dapat memanipulasi jiwa (pikiran, perasaan dan kehendak) manusia tanpa disadari. Diawali dengan membangun paradigma seolah-olah Gadget itu hanyalah sekedar kemajuan jaman. Kemajuan kecanggihan teknologinya yang memberikan berbagai macam kemudahan, kecepatan dan tentunya kenyamanan yang memanjakan. Sehingga kita terbuai, karena keasyikan dan akhirnya kecanduan yang membuat kita semua terjerat dalam jebakan sistem global. Sistem global adalah sistem yang terbangun dengan sendirinya sebagai hasil dari pada rekayasa yang sitematis. Gadget memang telah disiapkan menjadi teknologi yang merangkai seluruh sistem dari setiap kegiatan secara rekayasa dalam seluruh aspek kehidupan yang ada ke dalam satu sistem yang terkendalikan secara Global. Hal tersebut telah membuat kita tidak dapat lagi melihat dan merasakan adanya agenda tersembunyi atau motivasi jahat dibalik semua itu. Bahwa tujuan akhir dari agendanya sistem global adalah untuk memperbudak semua manusia di dunia seperti yang kita telah rasakan dampaknya saat ini. Mengapa demikian? Karena melalui Gadget itu, mereka telah berhasil menyatukan sistem kendali seluruh dunia melalui rekayasa kehidupan (life engineering) yang begitu cerdas. Rekayasa kehidupan melalui program alam bawah sadar (subconcious mind). Caranya dengan cara merasionalisasi aktifitas kehidupan dari sesuatu yang tidak nyata (dunia maya) menjadi realita pada aktifitas kehidupan dunia nyata masing-masing pemegang Gadget tersebut. Namun bila googling kita tidak akan pernah menemukan istilah life engineering. Tetapi hanya social engineering, dengan maksud agar masing-masing kita tidak menyadari, bahwa pribadi demi pribadi kita yang memiliki keunikan masing-masinglah. Sedangkan yang direkayasa (engineering) menjadi budak sistem global. Di dalam memahami kehidupan manusia, terlebih dahulu kita harus memahami tiga unsur utama manusia, yaitu tubuh, jiwa dan roh. Tubuh adalah ruang kosong yang hidup, karena diisi oleh roh yang berasal dari Roh Tuhan. Setelah tubuh itu hidup, maka terbentuklah jiwa yang akan diwarnai oleh berbagai keadaan yang dilalui selama masih hidup. Baik buruknya kejiwaan manusia sangat tergantung pada kekuatan potensi sel yang akan mendukung kekuatan dalam pengendalian pikiran (mind control). Perlu juga diketahui bahwa tubuh manusia dikendalikan oleh dua bagian utama, yaitu otak dan sel. Otak mempunyai kekuatan 5% dan sel mempunyai kekuatan 95% dalam mengendalikan tubuh. Tubuh manusia terdiri dari 50 triliun sel dan setiap selnya mengandung 1,4 volt listrik. Jadi, ada 70 triliun volt listrik di dalam tubuh manusia yang diaktifkan melalui gelombang (frekwensi). Sekarang mari kita pahami bagaimana cara merekayasa mind-set melalui alam bawah sadar. Yakni dengan merasionalisasi paradigma melalui opini-opini yang ingin dibangun secara visual melalui aplikasi-aplikasi yang menarik dan berbagai kontennya. Semua sudah diprogram untuk dapat memanipulasi pikiran dan perasaan dalam jiwa manusia dengan cara memprogram alam bawah sadar secara berulang-ulang (repetition) dengan metode komunikasi satu arah. Targetnya hanya program opini terselubung itulah yang menguasai alam bawah sadar manusia, seperti pepatah yang mengatakan bagaikan “batu ditetesi air terus-menerus, akhirnya akan bolong juga”. Konten dan program tersebut akan terekam oleh sel-sel tubuh yang akan mengolah dan menyajikan informasi dan data yang membentuk imajinasi dalam pikiran dan perasaan yang ada dalam jiwa manusia. Sehingga seolah-olah sedang menjalani kehidupan di dunia nyata. Padahal hanya di dunia maya, namun akan berimplikasi pada prilaku dalam kehidupan nyata. Selanjutnya, pikiran dan perasaan yang terbentuk secara gradual melalui program alam bawah sadar tersebut, akan terefleksi pada perubahan karakter dan perubahan perilaku manusia. Prilaku dalam kehidupan nyata dari kehidupan yang fitrah (original) diselewengkan (refocusing) untuk menjauhkan manusia dari citra Tuhan, sehingga tidak menyadari lagi fitrahnya sebagai hamba Tuhan. Jadi, sel-sel dalam tubuh manusia itulah yang diserang oleh gelombang elektromagnetik yang ada (radiasi). Sehingga memudahkan pengendalian alam bawah sadar dan menguasainya untuk merubah persepsi. Persepsi tersebut otomatis akan merubah fungsi sel dalam tubuh, bahkan juga menjadi rusak. Itulah sebabnya Gadget disebut cellularphone, karena mekanisme kerjanya meniru mekanisme kerja sel tubuh manusia dalam berinteraksi dengan sel manusia lainnya, alam semesta dan dengan Tuhan sebagai sumber kehidupan yang sejati. Jadi sel adalah inti dari kehidupan manusia hidup. Apabila sel mengalami kerusakan, juga akan melemahkan potensi sel, dan otomatis menurunkan imunitas di dalam tubuh manusia. Tubuh manusia hanyalah merefleksikan apa yang dipancarkan dari sel-sel yang rusak. Keadaan inilah yang kita kenal dengan istilah penyakit. Perlu diketahui juga bahwa selain dari perangkatnya sendiri, konten-kontennyapun seperti pornografi dan game online dapat menyebabkan kecanduan yang lebih buruk. Bahkan lebih buruk dari pada narkoba yang hanya merusak tiga bagian otak. Sementara gelombang elektromagnetik yang dipancarkan terus-menerus dari Gadget yang aktif akan merangsang sel-sel pada otak mengeluarkan hormon dopamine secara berlebihan dan tidak wajar. Keluarnya hormon dopamine yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan pada lima bagian otak. Otak bagian depan atau Pre Frontal Cortex (PFC), sehingga PFC akan mengkerut dan mengecil hingga +- 4%. PFC inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Akibatnya orang tersebut akan kehilangan kemampuan pengendalian emosi, membedakan benar dan salah, serta berperilaku layaknya binatang. Itu terjadi sebagai akibat dari pada kecanduan. Contohnya, apabila seorang anak yang sedang bermain game, bila diambil Gadgetnya, maka si anak akan mengamuk dan marah-marah tak terkendali. Karena telah mengalami gangguan perkembangan otak serta masalah kesehatan mental yang merubah prilaku. Mereka akan menjadi agresif dan mudah tersinggung disebabkan hormon dopaminnya mendadak berhenti terproduksi. Ini akibat rangsangan sel dari gelombang elektromagnetikpun berhenti atau dalam narkoba dikenal dengan istilah sakau (tubuh nagih). Contoh lain dari dampak bekerja sel, semisal saat seorang pria melihat wanita, maka mata pria tersebut akan menangkap gelombang yang dipancarkan dari tubuh wanita. Gelombang itu kemudian diterima (receiver) oleh sel-sel dalam tubuh pria tersebut untuk diolah dan memproduksi hormon sesuai dengan infromasi yang direkam. Hormon selanjutnya disajikan (transmit) menjadi imajinasi yang menimbulkan hasrat yang mendorong pria tersebut menginginkan wanita tersebut. Inilah makna dari pepatah lama ketika seseorang jatuh cinta kemudian kasmaran “dari mata turun ke hati”. Tujuan dari rekayasa sitem global tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memonetize (memetik keuntungan finansial-red). Keuntungan dari setiap kebutuhan jasmani manusia yang telah terprogram melalui pikiran dan perasaan yang ada dalam jiwa yang terbentuk dari hasil program agenda rekayasa kehidupan melalui dunia maya menjadi kebutuhan jasmani dalam dunia nyata. Terutama, kebutuhan jasmani yang termotivasi dari keinginan untuk mempertahankan dan melindungi diri serta menjaga eksistensi hawa nafsunya dalam euforia kehidupan di dunia. Untuk memenuhi kebutuhan jasmani tersebut, maka manusia akan digiring untuk membeli produk-produk dari hasil industrialisasi yang dipikir dan dirasakan perlu. Sebagai akibat dari program rekayasa kehidupan yang telah menjadi paradigma barunya (new paradigm). Yang sudah barang tentu harus mengeluarkan sejumlah angka-angka yang tertera dalam lembaran-lembaran kertas yang nantinya akan didigitalisasi juga oleh sistem global. Ketahuilah bahwa dibalik Gadget yang melekat pada diri kita sehari-hari ada sutradaranya. Sehingga, Gadget tersebut bukan saja merupakan teknologi yang dapat dan telah mencuri seluruh data dan informasi dari masing-masing pribadi kita. Tetapi juga sedang mencatat setiap aktivitas kehidupan yang kita kerjakan ataupun lakukan melalui aplikasi. Aplikasi yang merepresentasikan aktivitas kehidupan yang dikendalikan oleh source code dari setiap aplikasi yang ada di dalamnya. Setiap aktivitas kehidupan, baik atau buruk yang terjaring lewat internet, yang telah mereka siapkan. Semuanya akan tersimpan secara otomatis pada sistem database. Sehingga kebebasan hidup sebagai manusia merdeka secara otomatis sudah tersandera. Mekanisme tersebut persis dengan mekanisme sel-sel dalam tubuh manusia yang merekam catatan dosa dan menyajikannya kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta secara real-time, yang dihubungkan juga oleh gelombang frekwensi. Jadi, semakin jelaslah bahwa Gadget selain merupakan teknologi yang disiapkan untuk memata-matai aktivitas kehidupan manusia. Gedget juga merupakan teknologi yang ingin mengambil alih kendali (kontrol) jiwa manusia dari otoritas kendali Tuhan, yakni sebagai hamba Tuhan untuk diselewengkan (refocusing) menjadi hamba sistem dunia bagaikan robot (benda hidup tertapi tidak punya jiwa). Dengan kata lain, Gadget telah menjadikan manusia budak hawa nafsu duniawi. Penulis adalah Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Mantan Direktur Narkoba Bareskrim Polri (2015).

Jenazah Ustadz Maheer Perlu Diotopsi Tim Dokter Independen

by M. Rizal Fadillah Bandaung FNN - Ustadz Maheer At Thuwailibi telah meninggal dalam status tahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Mengapa dalam keadaan sakit, masih tetap dipaksakan untuk ditahan? Mengapa tidak ditangguhkan saja dulu penahanannya sesuai permohonan penagguhan penahanan dari istri almarhum Ustadz Maheer? Tentu dengan alasan terbuka meninggalnya Ustadz Maheer adalah akibat sakit yang belum jelas jenis penyakitnya apa? Konon masalah lambung. Diantara kuasa hukumnya, ada yang mencurigai kematian Ustadz Maheer itu sebagai meninggal tidak wajar. Sebab itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berniat menyelidiki sebab meninggalnya ustadz Maheer. Sayangnya niat baik Komnas HAM tersebut direspon dengan tidak antusias oleh publik. Ada rasa tak percaya kepada Komas HAM berdasarkan pengalaman penyelidikan atas terbunuhnya enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Khawatirnya hasil penyelidikan Komnas HAM malah mirip-mirip dengan penjelasan polisi. Meski ada dugaan yang menguat di masyarakat. Tetapi tidak bisa dipastikan bahwa Ustadz Maheer meninggal sebagai korban dari pembunuhan politik. Apalagi akibat diracun segala. Untuk itu, ada baiknya dilakukan otopsi dan klarifikasi kebenaran bahwa pendakwah ini meninggal dengan wajar. Bukan meninggal karena diracun atau sejenisnya. Otopsi melibatkan tim kesehatan yang independen. Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dokter Mer-C dan Dokter Rumah Sakit Muhammadiyah perlu dilibatkan dalam tim yang melakukan otopsi. Sebab bagaimanapun kematian dalam status sebagai tahanan patut untuk dicurigai. Aapalagi akses publik yang terbatas terhadap tahanan adalah faktor-faktor keniscayaan itu. Dalam sejarah, kematian aktivis HAM Munir dalam perjalanan pesawat Garuda 747 rute Jakarta-Amsterdam Belanda tahun 2004 adalah bukti pembunuhan politik dengan diracun lewat makanan dan minuman. Pilot senior pesawat Garuda, almarhum Pollycarpus Budihari yang ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Munir. Pollycarpus dihukum oleh Pengadilan dengan penjara 14 tahun. Pada bulan Oktober 2020 lalu, Pollycarpus meninggal dunia setelah selesai menjalani hukuman di penjara. Publik sangat faham kalau Pollycarpus hanya sebagai fasilitator pembunuhan Munir. Orang yang dipilih untuk dikorbankan. Sedangkan aktor intelektual hingga kini tidak terungkap. Aktornya masih bergentayangan sampai sekarang. Kecurigaan pembunuhan melalui racun juga terjadi pada saat meninggalnya Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Malik dengan indikasi wajah yang penuh bintik merah. Husni Malik menjadi penanggungjawab atas pelaksanaan Pilpres 2014. Tidak ada penyelidikan apa-apa atas kematiannya itu. Dugaan bisa iya bisa juga tidak, karenanya semestinya ada otopsi dan penyelidikan yang mendalam. Dugaan racun yang mengakibatkan kematian juga terjadi pada mantan Jaksa Agung, alhmarhum Baharuddin Lopa. Publik mengenal Baharuddin Loppa sebagai Jaksa Agung yang tidak memberi ampun kepada para koruptor yang terlibat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLIB). Lopa meninggal di Arab Saudi. Jasadnya hitam, yang diduga kebakaran akibat racun. Racun sebagai alat pembunuhan politik telah tercatat sejak lama digunakan oleh penguaa. Pada masa Kerajaan Romawi Kuno, para Kaisar maupun lawan-lawan politiknya biasa dibunuh dengan cara diracun. Racun menjadi salah satu alat paling ampuh untuk membunuh lawan. Nero dan Caligula membunuh penentangnya dengan berbagai cara, diantaranya dengan racun. "Janda Hitam dari Roma" tiga peracik racun terkenal yang dipekerjakan oleh Kaisar untuk membunuh lawab politiknya adalah Martina, Locusta, dan Canidia. Kaisar perempuan Cina Wu Zetian juga gemar meracun pihak yang berseberangan dengannya, termasuk terhadap anggota keluarganya sendiri. Dilakukan secara terang-terangan maupun diam-diam. Alexei Novalny tokoh oposisi Rusia koma karena diracun pada teh yang diminum saat tinggal landas dari bandara Omsk. Kim Jong Nam, adaik tiri penguasa tertinggi Korea Utara Kim Jong Un, bulan Februari 2018 dibunuh di Kuala lumpur dengan mengoleskan racun saraf kimia VX di wajahnya. Racun menjadi alat paling ampuh untuk menghabisi lawan politik. Georgi Markov yang menjadi salah satu pengeritik Pemerintah Bulgaria meninggal karena diracun dengan zat O,2 miligram risin. Dan banyak lagi tokoh politik yang dibunuh dengan cara diracun. Tentu saja tidak boleh ada kecurigaan, kalau Ustadz Maheer yang meninggal di Rutan Bareskrim Polri karena diracun. Untuk itu, perlu dilakukan otopsi oleh tim independen. Supaya tidak ada kecurigaan yang berkiatan dengan wafatnya ustadz Maheer, perlu dioptimalkan klarifikasi dan pertanggungjawaban. Perlu dilakukan dengan pembuktian kesehatan dan penanganan pada saat masih sakit. Sebelumnya publik telah dikejutkan oleh peristiwa sesak nafas berat yang dialami Habib Rzieq Shihab (HRS) dalam tahanan Polda Metro Jaya. Sehingga tabung oksigen selalu disiapkan untuk HRS. Kini pun konon HRS masih sakit-sakitan. Tragis memang prilaku penegak hukum republik ini. Harus memaksakan kewenanganya untuk menahan orang di dalam Rutan, meskipun dalam keadaan sakit. Entah sila kemanusiaan yang adail dan beradab yang seperti apa yang dipahami oleh mereka? Dimana saja sila yang kedua dari Pancasila ini ditempatkan dalam panduan penegakan negeri ini? Ulama dan aktivis Islam serta pejuang demokrasi banyak ditahan dan dalam proses peradilan. Akses komunikasi sangat terbatas dengan alasan pandemi Covid 19. Agar terjamin kondisinya dan terhindar dari kecurigaan atas perlakuan yang di luar hukum dan melanggar HAM, perlu selalu terinformasikan keadaannya baik kepada keluarga maupun masyarakat luas. Sebenarnya kasus Ustad Maheer hanya berkaitan dengan delik penghinaan yang sifatnya "personal". Rasanya tidak perlu sampai mendapat tekanan hukum yang berlebihan, sehingga menderita sakit parah di dalam Rutan Bareskrim. Ungkapan Novel Baswedan perlu menjadi pelajaran "orang sakit kenapa dipaksakan ditahan?". Menurutnya kematian ini bukan persoalan sepele. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Presiden Jokowi Tambah Lucu, Belajar dari Srimulat Ya?

by Jarot Espe Surabaya, FNN- Malam itu Kabul Tessy Basuki muncul di panggung Srimulat dengan monolog genit nan ceriwis. Khas peran pembantu rumah tangga. "Aku iki sakjane bingung," ujar Tessy menyatakan rasa gelisah atas perilaku majikannya. "Dikongkon dadi pembantu, wis tak turuti." (disuruh jadi pembantu, saya jalankan). "Dadi tukang kebon, oke. sopir, opo maneh." (jadi tukang kebun, oke. jadi supir pun, apalagi). Pokoknya, sang majikan meminta Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik (nama beken Kabul Basuki di panggung) untuk berperilaku sebagaimana pemilik rumah. Merasa sama-sama memiliki. Namun begitu Tessy mulai melirik istri majikan yang gemerlap ditimpa kilau perhiasan permata di jari tangan dan leher, sang bos marah besar. Kalap..! "Kan dia bilang anggap saja rumah sendiri. Lha bener kan.. apa salahnya kalau istri bos menjadi milik bersama." Seisi panggung serasa runtuh oleh gelak tawa. Tessy mewakili prototype pelawak khas Srimulat. "Unik, nyleneh. Saat muncul di panggung, dia harus mampu menarik urat bibir penonton untuk tersenyum," ujar Teguh Slamet Raharjo berbagi tips keberhasilan para pelawak didikannya. Panggung Srimulat merupakan paradoks kehidupan karena semata-mata memberi hiburan, meski mereka sesungguhnya perlu dihibur karena himpitan ekonomi. Ingat Srimulat, saya jadi ingat Presiden Jokowi, karena mereka sama-sama dilahirkan di Kota Solo. Maaf, wajah Pak Jokowi juga menggemaskan. Sumpah lucu, tapi beliau tidak pernah tertawa saat berbicara, padahal itu kocak, menghibur. Dulu, menjelang Pilpres 2014, Pak Jokowi dilekatkan sebagai sosok Ratu Adil alias Satrio Piningit atau pemimpin yang dinantikan karena akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Ketika itu ditampilkan foto Pak Jokowi yang bersahaja. Mimiknya serius, meski di belakang hari mengundang senyum sinis, karena hingga Pak Jokowi terpilih menjadi presiden kedua kali, belum terlihat tanda-tanda kehadiran Ratu Adil. Ekonomi menukik tajam ke bawah, aktivis pro-demokrasi dipenjarakan. Yang paling gress (terbaru) ketika Pak Jokowi merasa rindu dikritik. Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan, kata bapak presiden dalam sambutan laporan akhir tahun Ombudsman RI, 8 Februari lalu. Banyak yang ingin tersenyum pak, tapi ditahan-tahan, karena takut terjerat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Takut disangka menghina Kepala Negara, khawatir dianggap menyebarkan berita bohong alias hoax, bahkan dilaporkan ke polisi dengan framing menebar kebencian. Kalau Pak Jokowi gak percaya, tanyakan ke ekonom Kwik Kian Gie yang dibuzzer habis-habisan lantaran mengemukakan pendapat berbeda. Padahal niatnya cukup baik, memberi langkah alternatif. Tapi buzzer tak mengenal kosa kata kritik. Mereka membalas Kwik, bahkan menyentuh ranah pribadi Pak Kwik. Atau Pak Jokowi bisa ngecek di akun twitter, karena mantan menteri Anda, Susi Pudjiastuti menyampaikan langsung keluhannya. Bu Sus menulis, pandemi sudah cukup membuat depresi sosial, ekonomi dan kesehatan. Ia memohon presiden menghentikan ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama, ras, suku ataupun relawan. Kekhawatiran Bu Susi berbanding lurus dengan pernyataan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang menilai pembuatan UU ITE seharusnya menekankan perlindungan dan keamanan informasi masyarakat. Usman tidak melihat urgensi pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian di dalam UU ITE. Menurutnya, kedua pasal itu dihapus saja, apalagi pencemaran nama baik sudah ada di KUHP. Kembali ke Bu Susi, mengapa permohonan penghentian ujaran kebencian ditujukan ke Pak Jokowi? Karena bapak adalah Presiden Indonesia, yang dengan gamblang meminta agar masyarakat tidak ragu-ragu melontarkan kritikan. Terus terang pak, saya tersenyum. Bukankah tema lawakan Srimulat sering menggunakan paradoks semacam itu. Pembantu yang diperankan Tessy, diminta untuk berperilaku sebagaimana lazimnya sang majikan. Anggap saja rumah sendiri, kecuali berbagi ranjang dengan istri. Nah jangan-jangan yang dimaksud Pak Jokowi seperti majikan Tessy. Lontarkan kritikan, asalkan jangan ke Pak Jokowi. Ahh... Pak Jokowi begitu. Tapi cukup menghibur kok. Penulis adalah Pemerhati Seni.

Meski Diganjal, Anies Tetap Berpeluang Menjadi Presiden 2024

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sepanjang tidak terbuka jalan kriminalisasi, maka Anies Baswedan Gubernur DKI sulit untuk dibendung menjadi Presiden Republik Indonesia 2024-2029 nanti. Baik elektabilitas maupun popularitas yang cukup tinggi, sehingga sampai sekarang belum mampu ada yang bisa menandingi. Semua kandidat yang bermunculan sekarang, masih jauh di bawah Anies. Meskipun belum dipastikan Partai Politik yang bakaln menjadi pengusung Anies, tetapi kendaraan itu akan mudah untuk didapat bila sudah tersedia elektabilitas dan popularitas tinggi. Gula selalu didatangi semut. Partai Nasdem misalnya, sudah memberikan sinyal dan ancang-ancang kalau bakal mendorong Anies sebagai Calon Presiden pada Pilpres 2024 nanti. Saat ini rezim status quo sedang berupaya dengan segala cara untuk mengganjal laju Anies. Konspirasi dilakukan dengan sangat masif. Baik itu melalui bully buzzer, opini yang melemahkan, bahkan melalui peraturan perundang-undangan. Akting "blusukan" Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini juga bagian dari upaya-upaya penjegalan tersebut. Namun Anies Baswedan tetap bergerak dengan prestasi dan penghargaan yang dinilai obyektif. Tidak mengeda-ngada dan melakukan rekayasa. Tidak juga membuat pencitraan di sana-sini. Serangan demi serangan dilayani Anies dengan sikap tenang dan modal pengalaman yang matang. Semua serangan dijawab dengan kerja nyata. Bukan dijabwab dengan kata-kata. Terakhir rencana revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada serentak untuk dilaksanakan tahun 2022. Namun dimentahkan oleh "buldozer Jokowi” yang mengarahkan Pilkada tetap tahun 2024. Bersamaan dengan Pileg dan Pilpres. Sebagian partai koalisi pendukung yang semula menghendaki Pilkada di 2022 dan 2023 segera balik badan mengamini. Dengan demikian, berubah sikap semua Partai Politik dari semangat awal yang menghendaki revisi UU Pildaka, kecuali PDIP. Dengan Pilkada tahun 2024, maka Anies harus menyerahkan jabatan Gubernur kepada Plt Gubernur pada tahun 2022. Maksud konspiratifnya adalah Anies Baswedan dalam kompetisi Pilpres 2024 tidak lagi berstatus sebagai Gubernur DKI. Ini dianggap kelemahan dari Anies kelak. Benarkah rencana? Belum tentu benar juga. Bisa jadi ini merupakan keuntungan politik untuk Anies. Sebab, jika Pilkada dilakukan pada tahun 2022, meskipun Anies berpeluang memenangkan kompetisi untuk menjadi Gubernur lagi, akan tetapi biaya ekonomi dan politiknya sangat besar untuk mampu fit kembali bertarung di Pilpres 2024. Sebaliknya, dengan konsentrasi penuh bagi Pilpres 2024, maka persiapan akan lebih baik dan ringan. "Kampanye" lebih dini dapat berjalan, dukungan pun mulai digalang jauh-jauh hari. Anies bisa keliling Indonesia dengan mudah, tanpa terganggu dengan tugas-tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta. Waktu lebih banyak untuk konsolidasi dan menyapa rakyat di daerah-daerah. Jadi agenda yang semula untuk "memotong" Anies, akan berubah menjadi "menolong". Suka atau tidak, mendukung atau menolak, namun faktanya hari ini Anies Baswedan masih menjadi kandidat terkuat. Belum terlihat ada lawan yang sepadan. Kesempatan besar untuk melakukan pilihan Partai. Pilpres 2024 menjadi momen untuk mengukuhkannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Upaya mengganjal Anies adalah pengakuan betapa sulit untuk mengalahkannya bila sudah memasuki fase kompetisi. Upaya yang kemungkinan hasilnya hanya sia-sia. Bahkan bisa jadi sebaliknya, semakin meningkatkan elektabilitas dan popularitas Anies. Apalagi pengakuan lembaga-lembaga internasional atas prestasi dan kemampuan Anies semakin berdatangan dari mana-mana. Ada yang menarik dari pandangan mantan Waketum Partai Gerindra Arief Poyouno yang menyatakan bahwa satu-satunya orang yang dapat mengalahkan Anies Baswedan di Pilkada DKI adalah Gibran Raka Buming. Jika Pilkada dilaksanakan tahun 2022. Tentunya setelah menjadi Gubernur, Gibran seperti ayahnya mungkin saja maju lagi untuk Pilpres 2024. Entah serius atau main-main, Mas Arief ini berpandangan seperti itu. Sulit untuk ditebak. Sama sulitnya dengan melihat status Gibran menjadi kompetitor melawan Anies sebagai Walikota Solo atau pengusaha Martabak? Yang jelas Gibran harus banyak belajar politik dulu sebelum mimpi terlalu jauh. Matang di pohon yang bukan karbitan, tidak menjadi mainan taipan, atau bermodal sekedar anak dari seorang Presiden. Istana bukan panggung drama atau sandiwara. Istana bukan tempat bergaya untuk para pemain sandiwara, lalu penonton pun terpaksa tertawa he he he, hanya karena rasa kasihan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.