OPINI

"Lone Wolf" Itu

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Aksi terorisme bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Minggu pagi (28/03/21) menewaskan sepasang suami isteri yang baru menikah enam bulan. Lukman Alfarizi(25) dan isterinya Yogi S. Fortuna (22). Keduanya pedagang roti kebab di Makassar. Di Jakarta Rabu sore (31/03/21) teroris “lone wolf” alias “serigala penyendiri” bernama Zakiah Aini (25), mahasiswi drop out sebuah perguruan tinggi swasta di Depok menyerang kantor Mabes Polri di Jakarta. Teroris perempuan bercadar hitam berbaju ungu itu diberondong peluru aparat keamanan Markas Besar Polri. Zakiah Aini tewas seketika di tempat. Zakiah Aini hanya sempat menembak-nembakanangin enam kali dengan pistol airsoft gun yang dipegangnya. Serangan serempak aksi teroris di dua kota besar, Makassar dan Jakarta yang hanya berselang tiga hari. Dua kejadian ini mendorong publik menyoal kehandalan mekanisme kontrol aparat keamanan terhadap sel-sel hidup teroris. Diketahui di bulan Maret berlangsung agenda rangkaian hari keagamaan kaum Nasrani yang dikenal sebagai “Pekan Suci” bagi pemeluk agama Kristen Katolik. Satu minggu penuh dikhususkan untuk merenungkan penebusan Yesus Kristus di kayu salib. Lima hari untuk ibadah atau misa. Dimulai dari Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci atau Malam Paskah, dan Minggu Paskah. Namun, tidak terlihat adanya aparat keamanan yang terlihat sebelum terjadi ledakan di Gereja Katedral Makasar. Ramón Spaaij, Profesor di Victoria University di Melbourne, Australia, dalam bukunya “Understanding Lone Wolf Terrorism: Global Patterns, Motivations and Prevention” (2012) menulis, ada lima elemen pemotivasi “serigala penyendiri” memutuskan untuk menjadi teroris. Disebutkan, cenderung menciptakan ideologi mereka sendiri yang menggabungkan frustrasi pribadi dengan keluhan politik, sosial atau agama yang lebih luas. Menderita beberapa bentuk gangguan psikologis. Menderita ketidakmampuan sosial dalam berbagai tingkat. Mentransfer frustrasi pribadi ke "orang lain" yang transgresif. Cenderung menyiarkan niatnya untuk melakukan kekerasan. Eskalasi radikalisme “serigala penyendiri” menemukan jalan tol di ruang digital di era teknologi yang serba maya sekarang ini. Kehadiran media sosial memberi banyak kemudahan konsolidasi dan komunikasi senyap tanpa perlu kontak fisik. Mengurangi pertemuan di forum pengajian yang sudah mulai disusupi intel. Ada migrasi frontal dari pola institusional beralih ke personal. Kecanggihan teknologi digital menjadi rahmat terselubung. Dunia mendadak berubah dan memberi ruang sangat besar kepada pola aksi terorisme yang berbasis “serigala penyendiri”. Komunikasi sunyi lewat daring menjadi pupuk kesuburan doktrin ideologi radikalisme yang mereka hayati. Berbagai studi menyebutkan, melalui media sosial, emosi dapat terungkapkan jauh lebih ekspresif. Mudah tersebarkan. Sekali kirim pesan yang banyak, dalam sekejap penerimanya juga banyak. Pola komunikasi di ruang digital semakin memantapkan tekad jihad. Timbunan lumpur kemarahan dan kekecewaan mudah terhubung sesama individu frustrasi yang merasa senasib kelam! Ruang digital meminimalisir penggerebekan aparat atau pengintaian intelijen. Dunia digital yang lagi ngetren menjadi bursa pemasaran ide radikalisme di lingkaran generasi milenial. Khususnya yang merasa hilang bentuk. Terpapar kondisi ketidak-pastian hidup keluarga mereka yang serba kekurangan, baik dari segi materi maupun minimnya peluang ke akses pendidikan. Masa depan yang suram sebagai insan tidak berkecukupan di hampir semua bidang. Kondisi ini ikut menggiring generasi milenial memilih jalan radikal. Sebagai bentuk perlawanan atas tekanan yang diyakininya bersumber dari ketidak adilan negara atas distribusi hak-hak dasar mereka yang diamanatkan konstitusi. Eksibisi spektakuler keserakahan materi digelar terbuka pemilik modal besar. Menampilkan komposisi kehidupan nyata yang timpang dan menyakitkan. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dalam laporannya menyebutkan 1% orang kaya di Indonesia menguasai 50% aset nasional. Separuh dari aset nasional hanya dikuasai oleh segelintir orang kaya di Indonesia. TNP2K memberi laporan akhir capaian kinerja mereka di Istana Wakil Presiden Rabu, (9/10/19. “Itu yang perlu dikoreksi,". kata Bambang Widianto,Sekretaris Eksekutif TNP2K Fenomena aksi terorisme belakangan ini di Indonesia menampilkan kemasan baru. Hadirnya generasi milenial perempuan muda menjadi aktor utama. Keperkasaan kaum feminine muda itu menggeser perlahan peran klasik teroris maskulin. Ketimpangan kondisi sosial ekonomi keluarga, dan deritanya lebih memukul kaum perempuan. Posisinya yang lebih banyak di rumah menjadi saksi hidup dan bagian tak terpisahkan penderitaan panjang yang mendera keluarga mereka secara ekonomi maupun sosial. Menurut sebuah riset pada 2020, pelaku teroris adalah generasi milenial, yang mendominasi lebih dari sepertiga populasi Indonesia. Generasi milenial Indonesia memiliki karakteristik antara lain kecanduan terhadap internet, memiliki loyalitas rendah, cuek dengan politik, mudah beradaptasi, dan suka berbagi. Kecanduan internet dan rendahnya loyalitas menjadi celah masuknya ideologi-ideologi tertentu, termasuk terorisme. Dalam psikologi, loyalitas merupakan kebutuhan individu untuk dapat meletakkan kesetiaan mereka terhadap sesuatu atau seseorang. Loyalitas terbentuk di usia 12-19 tahun, yaitu periode pembentukan identitas. Unit pertama yang berperan sebagai agen sosialisasi, keluarga memiliki peran menumbuhkan loyalitas tersebut melalui transmisi nilai-nilai yang diyakini. Jika keluarga gagal menumbuhkan loyalitas, anak-anak akan mencarinya melalui organisasi atau figur-figur karismatik di luar keluarga. Ketidakadilan Wajah Terorisme Peneliti Hukum dan Ham LP3ES sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Milda Istiqomah mengatakan, ada peningkatan tren aksi teror yang melibatkan perempuan dalam beberapa tahun terakhir. Perlu langkah untuk mengetahui alasan di balik keputusan perempuan-perempuan tersebut bergabung dalam aksi terorisme. Milda menyontohkan black widow di Rusia usai kejadian Moscow Theater Hostage 2002. Saat itu, banyak perempuan melakukan aksi bom bunuh diri setelah menjadi korban pemerkosaan tentara dan pelecehan seksual. Mengesankan kurangnya perhatian dalam mengungkap alasan perempuan (muda) bergabung dengan jaringan terorisme di Indonesia, selain konteks jihad. Dalam konteks perempuan tersubordinasi, patut dijadikan sebagai elemen penting, guna mengetahui motivasi perempuan dalam terorisme. "Kalau kita melihat tren yang ada di internasional, salah satu penyebab perempuan gabung jadi teroris itu karena ada perasaan-perasaan yang terpinggirkan, diskriminasi, tidak mendapat keadilan," kata Mirdal. "Itu harus kita pikirkan bersama. Jika tidak, apa yang terjadi di konteks global juga akan terjadi di Indonesia," ujarnya di media awal April. Kehadiran “serigala penyendiri” menyasar perempuan muda merupakan early warning. Mendesakk perumusan skenario kontra terorisme yang lebih komprehensif. Lebih menyelam dan berkelanjutan. Harus lebih menitik beratkan kepada pembenahan akar masalah. Kepada sektor ketimpangan ekonomi yang akut dan sangat radikal. Elemen radikalisme dalam bentuk aksi terorisme, harus dibaca sebagai perlawanan atas ketidakadilan ekonomi. Ketidakadilan ekonomi adalah wajah lain dari terorisme. Faktor ini, yang belum terlihat menjadi agenda penting negara. Membiarkan “radikalisme” ketimpangan ekonomi tanpa pembenahan yang masif, akan menjadi lahan subur hadirnya setiap saat radikalisme lain yang diperankan para “lone wolf”. Mereka rela bertekad, meskipun terpaksa harus nekat untuk mengirim pesan kepada negara melalui kematian. Problematika fundamental bangsa ini adalah ketimpangan ekonomi yang sangat “radikal”. Sehebat apapun agenda doktrin-doktrin deradikalisasi yang digagas oleh negara, hampir dipastikan tidak akan merubah apa-apa. Selama peragaan ketimpangan ekonomi dibiarkan menganga lebar oleh negara, maka selama itu pula bibit-bibit terorisme akan bermunculan bak jamur di musim hujan. Sebab fakta itu melukai jiwa mereka yang terjerat dalam derita lingkaran hidup di kubangan kesengsaraan. Pertanyaanya, apa saja kontribusi konkret konglomerat pemodal kuat hitam, licik, picik dan culas selama ini dalam membantu skenario kontra terorisme? Sehingga memaksa negara harus membunuh setiap saat warganegara dengan peluru yang bersumber dari pajak rakyat? “Lone Wolf” adalah sebuah nyanyian sunyi tentang perlawanan dan kekalahan. Sama bahayanya dengan pandemi apapun, sangat sangat dan sangat memilukan dan mematikan nurani bangsa ini! Teman pengirim pesan via WhatsApp menulis pendek. Mengutip potongan lirik lagu Ebit. G. Ade “Kalian Dengarkan Keluhanku”. “Kemanakah sirnanya nurani embun pagi, yang biasanya ramah kini membakar hati, apakah bila terlanjur salah, akan tetap dianggap salah, tak ada waktu lagi benahi diri, tak ada tempat lagi 'tuk kembali…..!” Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Keutamaan Bulan Ramadhan

by Furqan Jurdi Jakarta FNN - Beberapa hari lagi kita akan menyambut datangnya bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan adalah merupakan bulan suci yang memiliki keutamaan-keutamaan yang luar biasa. Dengan keutmaan-keutamaan itu, Bulan Ramadhan dapat dijadikan bulan Tarbiyyah dan Madrasah bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam bersabda: لَوْ تَعْلَمُ اُمَّتِيْ مَا في رَمَضَا نَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي اَنْ تَكُوْنَ السَّنََة ُكُلُّهَا رَمَضَانَ Artinya: “Seandainya umatku mengetahui keutamaan di bulan Ramadhan, maka sungguh mereka akan berharap setahun penuh Ramadhan”. Begitu mulia dan utamanya bulan Ramadhan, sehingga Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam pun berangan-angan, setahun penuh bulan Ramadhan. Kenapa bulan ini menjadi bulan yang diutamakan? Pertama, karena Bulan Ramadhan adalah bulan nya Al-Quran – Syahru Ramadhan, syahrul Furqan. Bulan Ramadhan itu bulannya al-Quran. Seperti yang difirmankan Allah SWT: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَان “Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)”. (Qs. Al-Baqarah: 185) Meski dalam ayat ini tidak disebutkan tanggal turunya Al-Quran, namun Para Mufassir (ahli Tafsir) menghubungkan dengan surat Al-Anfal Ayat 41, yang berbicara tentang bertemunya dua Pasukan yaitu dalam Perang Badar, perang yang pertama Kali terjadi dalam sejarah perjuangan Islam. Dalam Surat Al-Anfal ayat 41 Allah berfirman: اِنْ كُنْتُمْ اٰمَنْتُمْ بِاللّٰهِ وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِۗ "Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan". (Qs. Al-Anfal: 41) Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa yaumul Furqan (Hari turunya Al-Quran) itu adalah Yaumul Takaljam’an (hari bertemunya dua pasukan). Maka mufassir menghubungkan dengan surat Al-Baqarah ayat 185, yaitu Yaumul Furqan. Mufassir menyimpulkan hari turunya Al-Quran adalah hari pertama bertemunya pasukan Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam dengan pasukan musyrik Qurais yang terjadi pada Tanggal 17 Ramadhan, dan itulah hari turunnya Al-Quran. Karena itu kita menetapkan hari nuzulul Quran jatuh pada setiap tanggal 17 Ramadhan. Hari Turunya Al-Quran itu pula lah yang disebut sebagai malam Lailatul Qadar. اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (sesungguhnya Kami telah menurunkannya Al-Qur'an pada malam qadar), atau إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ (sesungguhnya Kami menurunkan Al-Quran pada suatu malam yang diberkahi). Malam Lailatul Qadar atau malam yang diberkahi itu adalah lebih baik dari seribu bulan. Kenapa Seribu Bulan? Seribu bulan adalah umur umat Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam. Kalau dihitung tahun sekitar 80 atau 82 tahun. Kenapa seribu bulan? Karena itu umur umat Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam. Kalau seorang mendapatkan malam Lailatul Qadar satu kali dalam hidupnya, maka ia akan menjadi lebih baik, karena akan dibimbing oleh Al-Quran. Itulah kenapa bulan Ramadhan itu menjadi bulan yang memiliki keutamaan. Kedua, bulan untuk meningkatkan etos ibadah. Allah Berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Qs. Al-Baqarah: 183) Bulan Ramadhan adalah Madrasah atau Universitas untuk melakukan tarbiyyah bagi diri kita masing-masing, yaitu tarbiyyah kedisiplinan dan tarbiyyah-tarbiyyah lainnya. Pada bulan Ramadhan setiap muslim dianjurkan untuk meningkatkan etos ibadahnya. Dimulai dari seringnya membaca Al-Quran hingga meningkatkan ibadah sholat malam. Setiap hari dalam bulan Ramadhan dianjurkan untuk membaca ayat-ayat Al-Quran minimal satu juz dalam satu hari. Selain itu melaksanakan sholat minimal malam 11 rakaat. Dengan etos ibadah itu, kita berharap untuk menjadi pribadi yang taqwa. Ketiga, untuk meningkatkan etos kerja. Ibadah puasa tidak harus menurunkan etos kerja. Sebaliknya, justru harus meningkatkan etos kerja. Rasulullah Sallaahu Alaihi Wasallam, ketika berhadapan dengan pasukan musyrikin Mekkah di Badar pada saat puasa Ramadhan. Ketika itu pasukan kaum muslimin mendapatkan kemenangan besar. Banyak sekali perang dan pertempuran yang dilakukan oleh kaum muslimin, kemudian dimenangkan oleh kaum muslim pada saat bulan Ramadhan. Artinya, bulan Ramadhan adalah bulan untuk meningkatkan etos kerja. Sehingga dengan kedisiplinan dan etos kerja Ramadhan itu, kita dapat sukses dalam berbagai tugas tanggungjawab. Keempat, bulan Ramadhan sebagai bulan training. Setiap orang di bulan Ramadhan dituntut untuk bertindak jujur dalam melaksanakan setiap aktivitasnya. Kejujuran adalah kunci kehidupan, karena itu setiap muslim dituntut untuk jujur. Jangan suka berbohong. Misalnya, ketika sedang melaksanakan puasa, Allah Subhaanahu Wata’ala melarang kita untuk tidak makan dan minum di siang hari. Dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Sebenarnya makan saat lapar dan minum saat haus itu hal bagus. Tetapi pada saat bulan Ramadhan, sepanjang siang hari, untuk hal baik itu dilarang. Bayangkan saja, kalau tidak ada kejujuran pada diri kita. Orang bisa saja membohongi dirinya dan orang lain, dengan pura-pura berpuasa. Padahal dia makan dan minum secara sembunyi-sembunyi. Tetapi bagi orang yang beriman, ia menyadari, meskipun luput dari mata manusia dunia. Namun sadar bahwa ada mata penguasa langit dan bumi, yang tidak pernah luput untuk mengawasi setiap tindakannya. Begitu juga dalam bulan Ramadhan. Seorang yang beristri dilarang menggauli istrinya. Padahal itu hal yang baik dan mendapatkan pahala yang yang besar. Tetapi pada bulan Ramadhan, harus menahan nafsunya demi untuk mengabdi pada Allah Subhaanahu Wata’ala. Demikianlah keutamaan bulan Ramadhan bagi kaum muslimin. Keutamaan untuk melatih diri menjadi pribadi yang memiliki etos ibadah, etos kerja dan bulan tarbiyyah untuk mencapai predikat sebagai orang yang bertaqwa. Predikat Taqwa itu harus terus meningkat setiap kali kita melaksanakan ibadah puasa. Semoga kita semua menjadi hamba Allah yang Muttaqin. Wallahulam bis Shawab. Penulis adalah Ketua Lembaga Dakwah DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Anies Yang Masih Membangun Saja Disalahkan, Apalagi?

by Mang Udin Jakarta FNN - Baru-baru ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membangun rumah panggung di wilayah langganan banjir. Persisnya di Kampung Melayu. Untuk sementara, ada 40 rumah panggung yang dibangun. Sebagai pilot project dulu. Anggaran setiap rumah Rp. 78 juta. Konsepnya, rumah panggung tiga lantai. Lantai bawah untuk dapur dan ruang interaksi sosial. Lantai dua dan tiga untuk keluarga. Dengan begitu, mereka para penghuni tidak perlu bingung ketika terjadi banjir. Penghuni tetap nyaman tinggal di lantai atas. Ini terobosan ide yang patut didukung. Inovasi baru, karena memang tidak pernah ada sebelumnya. Sebuah nalar kreatif dalam menghadapi masalah banjir. Namun ada saja yang mencemoh 40 rumah panggung yang baru menjadi pilot project tersebut. Wah, ini proyek nggak bener. Bisa menimbulkan kecemburuan sosial, kata salah seorang anggota DPRD DKI. Yang banjir kan tidak di daerah Kampung Melayu aja. Ada sejumlah wilayah yang menjadi langganan banjir di DKI. Mestinya dibangun serentak, lanjutnya. Nggak apa-apa juga anggota DPRD DKI bilang begitu. Namanya juga kritik. Masukan yang perlu didengar. Hanya sedikit perlu dijelaskan bahwa pembangunan kota itu bertahap. Ini lumrah, wajar, dan bagian dari umumnya perencanaan. Kalau kita memahami ini, maka tidak perlu menyoal kesetaraan, keadilan, apalagi kecemburuan terkait rumah panggung. Kecuali jika ada yang cemburu karena tidak dilibatkan dalam pilot project. Tetapi, cemburu itu alami. Setiap orang butuh duit kok. Istilah serentak tidak lazim ada dalam program pembangunan. Pemilu serentak, nah ini baru popular anggota DPRD yang terhormat. Nikah serentak juga boleh, eh maksudnya kawin massal,. Itu juga ada. Tetapi, pembangunan serentak, ini istilah yang agak asing di telinga. Anggota DPRD belajar tentang perencanangan pembangunan, belajarnya di penggiran jalan mana? Kalau belajarnya di selokan, got atau gorong-gorong, kira-kira dimananya ya? Pelebaran atau pembangunan jalan misalnya, apakah dibangun serentak? Tidak juga. Trotoar, apakah juga dibangun serentak? Tidak juga. Begitu juga LRT/MRY dan normalisasi sungai, apakah dilakukan serentak? Kalau pembangunan ada yang serentak-serentak, tolong tunjukan, kira-kira dimana? Tak serentak itu bukan berarti tak adil. Tak serentak bukan berarti tak merata. Tak serentak bukan berarti tebang pilih. Ini hanya soal perencanaan, tahapan dan anggaran saja. Untuk berpikir sederhana ini, tak perlu harus pinter-pinter amat. Amat aja nggak pinter-pinter juga. Warga mungkin tak cemburu. Tetapi, kalau diprovokasi terus-terus, mereka kemungkinan akan was-was juga. Khawatir program rumah panggung tidak berlanjut. Padahal semua butuh proses. Tidak bisa bim-salabim. Tidak bisa abrak-kedabrak. Ini program berkelanjutan. Maunya, setiap pemimpin ingin menuntaskan semua program dalam semalam. Seperti mitos dalam cerita Roro Jonggrang. Tetapi, kita sekarang hidup di dunia nyata. Tidak hidup di zaman Candi Borobudur ketika didirikan. Mesti anggota DPRD menyadari perlunya proses itu. Tdak semua pembangunan infrastruktur bisa tuntas dalam satu periode Gubernur. Lihat itu LRT/MRT. Dimulai dengan perencanaan pada masa Gubernur Sutiyoso hingga sekarang belum juga selesai-selesai tuh. Ini namanya program yang berkelanjutan. Masa anggota DPRD tidak paham? Jangan-jangan memang tidak mau paham. Ya, terserah saja kalo gitu. Saat pendemi dimana anggaran terbatas, ada pembangunan untuk warga tanpa merogoh kocek APBD, tetapi menggunakan Corporate Social Responsibiloty (CSR), dana Baznas Bazis DKI dan Kerjasama dengan institusi lain. Ini sebagai terobosan yang luar biasa. Apalagi, ini diprogram sebagai solusi untuk mengamankan warga dari banjir yang selama ini menjadi masalah tahunan bagi masyarakat Kampung Melayu dan wilayah lainnya. Sebuah solusi cerdas. Setelah program normalisasi sungai yang berkelanjutan, program naturalisasi sedang berjalan. Penambahan dan perbaikan pompa, serta program penghijauan dan pembuatan sejumlah waduk, rumah panggung adalah solusi tambahan. Meski bersifat lokal, tetapi ini sangat membantu warga untuk keluar dari masalah banjir. Masih juga disalahkan? Kebangetan kau anggota DPRD. Bagaimana program rumah panggung di wilayah lainnya? Kalibata, Condet dan Pesanggrahan misalnya? Masih ada hari, tanggal, bulan dan tahun. Jakarta belum kiamat. Masih bisa dikerjakan di beberapa bulan berikutnya. Kalau pilot project ini berhasil, nantinya bisa juga dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI. Bisa menggandeng semakin banyak perusahaan swasta dengan CSR-nya. Bisa juga melalui donasi dari luar negeri. Yang 40 rumbah ini baru pilot project. Lihat dulu, evaluasi efektifitas dan manfaatnya. Jangan buru-buru kebakaran jenggot. Ntar mukamu bisa gosong. Namun, kalau kritik semata-mata hanya untuk cari panggung, boleh-boleh juga sih. Bisa jadi iklan yang efektif. Tetapi, sesungguhnya ada banyak pilihan cara yang lebih bijak dan elegan untuk manggung. Tidak harus dengan cara menyalahkan apapun yang dilakukan Gubernur Anies. Kecuali ada tugas khusus untuk menyalahkan itu. Jangan-jangan punya spesialisasi disitu. Ya, kita harap maklum saja! Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik.

Penyembah Galon Baiknya Dilarung Saja ke Laut

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Masyarakat sebaiknya mulai mewaspadai agama baru di Indonesia. Bukan Agama Islam. Bukan juga Agama Kristen Protestan, dan bukan Agama Katolik. Agama baru tersebut bukan untuk menyembah Allah Subhaanahu Wata’ala. Bukan juga penyembah api. Tetapi penyembah galon yang masih serumpun dengan penyembah balon. Adalah Kristia Dede Budhyarto, yang diangkat oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir sebagai Komisaris Independen di PT Pelni (buzzer istana), yang menjawab pertanyaan tentang agama yang bersangkutan. Jawaban Kristia Dede Budhyarto itu ditemukan pada akun twitter miliknya tanggal 9 April 2021 lalu. Menuduh da’I dan penceramah radikalis, sekaligus membatalkan acara Ramadhan adalah perilaku sombong, angkuh dan arogan. Aneh, komisaris perseroan dengan kekuasaan mengambil alih porsi Direktur Utama dan jajaran Direksi. Posisinya cuma Komisaris hadiah lagi. Komisaris "abal-abal". Biar dianggap keren, dibilang komisaris independen. Penyembah Galon tidak boleh hidup di Indonesia. Tidak pantas untuk menjadi komisaris BUMN di negara Pancasila. Sebab tidak mengakui adanya Ketuhanan Yang Maha Esa. Lalu apa bedanya dengan mereka yang menjadi penyembah batu, kayu, dan arwah. Atau memang penyembah dewa laut karena menjadi Komisaris Pelni ? Dewa laut yang sudah berada dalam gallon maksudnya. Bongkar-bongkar riwayat hidup, Kristia Dede Budhyarto bukan "good man" ada Alexis ada Siska yang mampir-mampir. Dede Budhyarto adalah radikalis sekuler. Komisaris perusak akhlak bangsa yang harus diberhentikan oleh Menteri BUMN. Kepada ulama MUI dia songong dan maki-maki, wajar kalau dia pernah dimaki-maki oleh teman kencannya. Penyembah Galon harus dibuang saja ke laut. Menteri BUMN jangan biarkan penyembah Galon berada di PT Pelni. Keselamatan penumpang bisa terancam. Bisa menjadi penyebab datangnya musibah untuk kapal-kapal penumpang PT Pelni. Kasian para penumpang yang berlayar ke seluruh wilayah Indonesia dengan menggunakan kapal-kapal PT Pelni. Agama tidak boleh dimainkan-mainkan. Penyembah Galon diduga lebih brengsek daripada Lia Eden yang baru meninggal. Lia Eden yang mengaku sebagai Malaikat Jibril, ternyata bisa sakit dan mati juga. Lalu dibakar jenazahnya. Sebaiknya Penyembah Galon seperti Kristia Dede Budhyarto segera saja dilarung ke laut. Semoga kapal-kapal PT Pelni dan para penumpangnya selama, dan terhidar dari musibah. Sampah ya harusnya dibuang saja. Jangan dipertahankan. Bisa menjadi beban PT Pelni dunia akhirat. Pelni akan selamat. Sebab buzzer istana itu musuh agama. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Puasa Yuk, Biar Bangsa Ini Jadi Bener

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Ramadhan tiba. Marhaban ya Ramadhan, sebuah kata yang beredar di group-group medsos. Diiringi ucapan maaf dan ditutup doa semoga dapat menjalankan ibadah Ramadhan sampai akhir, dan meraih kemenangan. Satu dengan yang lain saling menyapa setiap jelang Ramadhan. Mengucapkan kata selamat menjalankan ibadah Ramadhan. Tidak hanya Islam, tidak hanya Kristen, tidak hanya Hindhu, tidak hanya Budha, tidak hanya Konghucu. Semua ramai-ramai mengucapkan selamat kepada saudara-saudaranya yang muslim. Belum lagi kalau lebaran nanti. Rukun, guyup, dan hidup harmonis. Agama tak lagi menjadi sekat kehidupan masyarakat. Iman bukan lagi tembok penghalang untuk membangun harmoni sosial. Indonesia ini ditakdirkan menjadi negeri penuh dengan keragaman. Terdiri dari keragaman etnis, suku, bahasa, budaya dan agama. Dari dulu, satu sama lain membaur dalam komunitas yang beragam. Saling Asih dan Saling Asuh. Saling hormat dan menghargai. Jika datang bencana alam, tak lagi bertanya apa agamanya? Apa sukunya? Apa budayanya? Yang ditanya adalah perlu bantuan apa? Apa yang dibutuhkan di lokasi bencana? Disinilah persaudaraan itu menjadi warisan turun-temurun dalam ragam solidaritas yang terus menguat. Ramadhan, dengan banjirnya ucapan dari lintas iman, ini bukti betapa damainya Indonesia. Hanya saja, suasana damai tak disukai semua orang. Terutama mereka yang tak mau berpuasa. Puasa saja tidak mau, apalagi menjiwai nilai-nilai besar Ramadhan? Jadi pejabat, tetapi nyolong uang Negara, atau uang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Nggak bisa puasa juga. Punya suara, tetapi dijual. Nggak tahan lihat uang dan jabatan di depan mata. Kalau nggak dapat jabatan, lalu adu-domba masyarakat. Orang-orang ini biasanya nggak kenal puasa. Ada lagi yang suka lempar-lemparan bom, lalu teriak teroris. Ngeri ah..., Coba kalau saja pejabatnya puasa, lalu nggak akan nyolong lagi. Para politisi juga puasa, dan nggak adu-domba masyarakat lagi. Para pengusaha juga berpuasa, sehingga nggak sogok sana sogok sini. Anggota DPR juga puasa, sehingga nggak budek lagi untuk mendengar aspirasi dan kemauan rakyat. Ayuk mari berpuasa. Puasa nyolong, puasa korupsi, puasa nyuap, puasa adu-domba rakyat sendiri. Kalau semua pada berpuasa, Indonesia akan seperti surga. Tetapi, kapan? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Arogansi Polisi Bisa Diberitakan, Alhamdulillah Kapolri Waras (Bagian -2)

Tranparansi berkeadilan merupakan realisasi dari prinsip, cara berpikir dan sistem yang terbuka, akuntabel, dan humanis. Kami terbuka untuk diawasi, sehingga pelaksanaan tugas-tugas Kepolisian akan dapat menjamin keamanan dan rasa keadilan masyarakat. Polri tidak boleh menjadi alat kekuasaan, karena sejatinya Polri adalah alat negara. Oleh karena itu, setiap tindakan Polri harus ditujukan untuk mendukung memajukan Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Calon Kapolri Komisaris Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo di Depan Komisi III DPR). PRESISI itu bukan dengan cara mempidanakan orang yang menyerukan atau mengajak orang lain hadir pada peringatan Maulid Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam. Sejak kapan perayaan Maulid Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam itu dinyatakan oleh hukum positif Indonesia sebagai kejahatan? Sejak kapan itu Pak Kapolri? Hukum apa yang mengatur soal itu Pak Kapolri? PRESISI ko seruan kepada orang untuk datang menghadiri perayaan Maulid Nabi Muhammad Sallallhu Alaihi Wasallam dinyatakan sebagai “hasutan” Pak Kapolri? Ah, itu konyol sekali. Sebaiknya jangan yang seperti begitulah. Sebab pasti disebut masyarakat sebagai arogansi kekuasaan dari institusi kepolisian. Bukan lagi disebut sebagai arogansi anggota atau oknum polisi semata. Kapolri Yang Berkelas PRESISI, tetapi apakah menyedot dan menyadap data pribadinya Jumhur Hidayat secara diam-diam itu dibenarkan oleh hukum? Pastinya itu tindakan ngaco dan ngawur? Kebijakan itu pakai hukum atau UU dari planet mana ya Pak Kapolri? Kalau tidak salah ingat, kebijakan penyedotan dan penyadapan data pribadinya Jumhur Hidayat tersebut dilakukan saat Pak Sigit masih menjabat sebagai Kapala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Kapan dan pada UU apa polisi diberi wewenang untuk menyedot serta menyadap data pribadi warga negara? Ini pasti bukan pekerjaan polisi yang PRESISI Pak Kapolri. Perbuatan ini pasti arogansi namanya. Dibilang arogansi karena tidak ada UU yang memberi kewenangan kepada polisi untuk menyadap dan menyedot data pribadi dan percakapan pribadi orang. Meskipun tidak menggunakan alat canggih penyadapan dan penyedotan, namun pekerjaan yang arogan dan sewenang-wenang dengan mengabaikan UU seperti ini hanya ada pada eranya Polisi GESTAPO Nazi Hitler dulu. Pasti itu bukan pekerjaan polisi yang PRESISI. Itu memalukan betul Pak Kapolri. Masa hari gini polisi bekerja tanpa panduan UU? Masih ada aparatur negara yang berpikir menyembunyikan tingkah lakunya? Kekerasan aparat ko mau disembunyikan? Arogansi aparat ko mau diumpetin? Waraskah itu? Jelas saja itu tidak waras. Untung saja hari ini kita punya Kapolri yang waras. Sehingga TR yang hendak membatasi kebebasan pers memberitakan prilaku arogansi polisi itu dicabut. Hanya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam TR yang abal-abal tersebut dicabut Kapolri. Terima kasih Pak Kapolri Sigit. Anda memang Kapolri yang hebat, berkelas, top-markotop dan mengagumkan. Pak Kapolri Sigit sangat responsip dan prediktif terhadap keresahan dan kegalauan masyarakat Pers. Itu baru namanya sikap dan kebijakan yang PRESISI. Sekali lagi, terima kasih Pak Kapolri Sigit. Anda telah menunjukan dengan sangat jelas kelas dan kaulitas anda sebagai Kapolri yang PRESISI. Pastinya tidak ada aparat yang bukan hamba-Nya Allah Subhanau Wata’ala. Sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala tidak ada satupun tindakan aparatur yang berada di luar penglihatan rekaman Allah Subhanahu Wata’ala, Robb yang Haq. Secanggih apapun kekerasan dan arogansi itu diumpetin, tetap saja terekam dengan utuh oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Kalian boleh saja lolos di dunia. Tetapi tidak di alam Allah Azza wa Jallah. Allah Subhanahu Wata’ala yang maha tau setiap napas hamba-Nya pasti berada dalam genggaman-Nya. Pak Sigit, saran kami, berhentilah untuk mengurus hal-hal yang tidak menjadi tugas pokok anda sebagai Kapolri. Tidak usahlah anda ikut cawe-cawe, mengambil prakarsa sendiri atau apapun namanya menangani urusan-urusan pemerintahan yang menjadi tugas pokok kementerian tertentu. Anda hanya perlu menggunakan semua energi yang serba terbatas, untuk membangun Kepolisian. Itu sudah cukup. Tata Ulang Polisi Benahi saja kultur Kepolisian. Itu jauh lebih penting daripada anda harus menggunakan energi kesana-kemari menangani hal-hal yang telah menjadi tugas Kementerian lain. Kalau anda mencintai kepolisian, sama dengan cinta kami kepada kepolisian. Anda harus tahu juga, kalau arogansi yang terlembagakan dan menjadi kultur suatu organisasi, kelak akan melahirkan energi antipasti. Energi antipati itu akan bertransformasi menjadi undangan dan kebutuhan politik kepada bangsa ini, melakukan “Tata Ulang Kepolisian”. Sebab kalau terus-terusan arogan, dan dinilai polisi selalu andal sebagai tukang pukul politik Presiden, maka tampilan praktis polisi ditengah bangsa ini kelak akan dibuka oleh masyarakat. Akan dicerna dan dievaluasi semua prilaku polisi dengan deteilnya. Bisa dibayangkan kalau semua data itu menyuguhkan kenyataan bahwa polisi selalu saja begitu, yaitu “menjadi tukang pukul politik Presiden”. Selalu mengandalkan hukum di sepanjang sejarah bangsa ini untuk memukul lawan politik. Setidaknya sejak tahun 1959 lalu, sehingga kebutuhan untuk melakukan “Tata Ulang Kepolisian” bakal sulit terhindarkan. Bila data sejarah perilaku arogansi Polisi hadir secara detail di benak warga negara yang membiayai polisi, maka kenyataan itu bisa menghadirkan “Tata Ulang Kepolisian”. Tata ulang sebagai pilihan paling rasional dan mutlak. Itu yang harus diingat-ingat oleh Pak Kapolri. Belajarlah dari sejarah kelam masa lalu TNI yang “menjedi tukang pukul politik terhebat Presiden”. Jangan ulangi lagi kekeliruan TNI itu. Pak Kapolri tidak bileh lupa dengan celah konstitusi terlalu besar untuk bangsa ini memilih pilihan “Tata Ulang Kepolisian”. Coba lihat dan pelajari lagi UUD 1945. Hubungkan kemungkinan “Tata Ulang Kepolisan” itu dengan pasal 30 ayat (4) UUD 1945. Esensi dari pasal 28I ayat (5) UUD 45 itu sangat sangat dan sangat jelas. Tidak ada penegakan hukum, yang dengan alasan apapun, membatasi hak asasi warga negara atau pribadi orang. Negara hukum mengharuskan pembatasan itu dilakukan, bukan hanya berdasarkan hukum ansich. Tetapi hukum yang selaras dengan panduan etika, moral, kaidah sosial dan politik yang masuk dalam timbangan akal sehat. Bagaimana dengan pasal 30 ayat (4), yang bicara tentang Kepolisian. Pasal ini menyediakan kaidah konstitusional untuk membatasi organisasi Kepolisian. Kadiah “menegakan hukum” itu tidak bersensi “menyelidik dan menyidik” mutlak hanya menjadi fungsi Polisi. Fungsi ini bisa dilakukan oleh organ lain negara di luar Kepolisian. Itu yang mungkin perlu diingat-ingat oleh Pak Kapolri Sigit. Dalam rangka memastikan pelaksanaan fungsi konstitusional Kepolisian menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi dan mengayomi serta melayani masyarakat, maka diperlukan organ lain sebagai transformasi konstitusional 28I ayat (5) UUD 1945 itu. Organ ini mutlak disifatkan sebagai organ yang independen. Organ di luar polisi. Namu bukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Sekedar saran, Pak Kapolri perlu mengasah kepekaan terhadap lingkungan politik. Kapolri harus pastikan lingkungan politik tidak boleh mengkristal pada kebutuhan untuk “Tata Ulang Kepolisian”. Polisi boleh saja dikenal hebat dan terlatih dalam lobi-lobi politik khusus. Tetapi politik punya cara kerja sendiri yang terkadang aneh-aneh. Sulit untuk diprediksi. Maka belajarlah yang banyak dari kekeliruan saudara tua. Prinsipnya anggota polisi jangan mengorbankan institusi polisi. Misalnya, dengan berusaha berlindung dibalik institusi polisi. Namun sebaliknya, institusi polisi jangan juga sampai digunakan untuk melindungi anggota yang jelas-jelas bersalah dan tidak PRESISI. Sebab kalau keadaan masyarakat menghendaki perubahan, maka dipastikan politisi-politisi akan mengubah haluan. Kalau perubahan itu ada depan mata, maka para politisi akan memilih untuk berlabuh di pelabuhan rakyat. Mereka akan bernyanyi dalam nada dan dan irama yang bersama-sama dengan rakyat. Itu pasti terjadi. Begitu cara politisi mencari jalan dan perahu untuk menyelamatkan diri. Tidak ada jalan yang bisa dipakai untuk dilewati politisi. Ketika itu, semua jalan menjadi buntu dan tertutup. Terimak Pak Kapolri yang sudah bertindak cepat mencabut TR abal-abal itu. Arogansi Polisi akhirnya bisa diberitakan lagi oleh Pers. Jelas sudah kalau Pak Kapolri Sigit menghendaki tampilan polisi yang humanis. Bukan polisi yang arogansi. Bersamaan dengan itu, Pak Kapolri harus pastikan bahwa pencabutan TR abal-abal itu menjadi akhir arogansi Polisi pada semua aspek penegakan hukum negeri ini. Semoga saja. (selesai).

Mungkinkah Jokowi Lengser Sebelum Tàhun 2024?

by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Belakangan ini berbagai kalangan masyarakat sudah banyak yang kecewa dan menginginkan adanya perubahan di negeri ini. Kekecewaan itu terjadi karena diantara mereka banyak yang menderita akibat krisis ekonomi. Ada yang kehilangan pekerjaan, ada pula yang jatuh miskin. Sebelum Pandemi Covid19 melanda Indonesia bulan Maret 2020, sebenarnya negara kita sudah dilanda krisis ekonomi. Itu antara lain ditandai dengan melemahnya daya beli masyarakat, selain itu angka kemiskinan dan pengangguran juga meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin pada September 2020 sebanyak 27,55 juta jiwa atau meningkat 2,76 juta dibandingkan tahun sebelumnya. BPS juga mencatat sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja menjadi pengangguran di tàhun 2020 atau naik 14,28% dibandingkan tàhun sebelumnya. Indikator makro ekonomi juga sangat tidak menggembirakan. Mulai dari utang yang terus membengkak hingga melebarnya defisit APBN. Kini utang Indonesia sudah mendekati angka Rp 7.000 triliun. Sementara pertumbuhan ekonomi yang meroket hingga 7 persen per tàhun, hanya tinggal cerita lama Jokowi sangat mengumbar janjinya pada kampanye Pilpres 2014 lalu. Selain persoalan ekonomi, kita juga banyak melihat praktek ketidakadilan yang dipertontonkan oleh rezim penguasa saat ini. Praktek korupsi terjadi hampir di semua lapisan elite kekuasaan baik di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Penjarahan duit negara ini terjadi d itengah kekuasaan yang dikendalikan oleh oligarki yakni para konglomerat yang memiliki aset dan kekayaan yang sangat besar. Para konglomerat hitam ini selain mampu mengendalikan penguasa juga bisa mempengaruhi sejumlah partai politik pro pemerintah. Sehingga tidak heran kalau produk undang-undang yang dihasilkan DPR menguntungkan para konglomerat hitam seperti diantaranya UU tentang Minerba yang telah disahkan parlemen beberapa waktu lalu. Selain persoalan korupsi, masyarakat juga menyaksikan praktek dinasti politik yang diperlihatkan secara kasat mata oleh pemimpin negeri ini. Anak dan mantu Presiden Jokowi yang kini menjadi Walikota di Solo dan Medan, merupakan contoh konkret dinasti politik itu. Dinasti politik d bawah kendali oligarki Lengkap sudah kondisi politik Indonesia saat ini, yakni sebuah kekuasaan yang didasarkan pada dinasti politik dan dikendalikan oleh oligarki. Itulah potret buram wajah politik Indonesia terkini. Disatu sisi penguasa bisa berbuat semaunya, di sisi lain kehidupan masyarakat semakin menderita. Pada saat yang sama, para tokoh masyarakat yang kritis dan para ulama yang lantang menentang kedzoliman di negeri ini dipersekusi, diadili dan dipenjarakan oleh rezim penguasa. Beberapa waktu lalu saya berkesempatan ngobrol santai dengan Dr Rizal Ramli, pengamat ekonomi, mantan Menko Perekonomian yang juga salah satu tokoh pergerakan nasional. Kata dia, krisis ekonomi bisa menjadi pemicu jatuhnya seorang pemimpin. Kemudian Rizal Ramli, mengungkapkan rangkaian peristiwa dan kronologi kejatuhan Rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto pada bulan Mei 1998. Sampai April 1998, semua orang di Indonesia percaya bahwa Pak Harto tidak mungkin jatuh, beliau sangat kuat sekali dan baru terpilih kembali sebagai Presiden pada 11 Maret 1998. Ketika itu, hampir semua kalangan baik para pengusaha, kalangan akademisi , para tokoh dan pimpinan media masa, tetap percaya bahwa Pak Harto sangat kuat dan tidak mungkin ada perubahan. "Tetapi pada waktu itu mereka lupa bahwa tàhun 1998 itu ada krisis ekonomi. Ditambah lagi ada perubahan peta politik di Amerika Serikat, dimana Presiden AS Bill Clinton waktu itu tidak mau Pak Harto jadi presiden lagi," ungkap Rizal Ramli yang mengaku terlibat dalam proses politik di tàhun 1998. Krisis ekonomi tàhun 1998 merupakan lanjutan dari krisis moneter yang melanda Indonesia sejak Juli 1997, yang ditandai dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, bangkrutnya sejumlah perbankan nasional akibat kesulitan likuiditas, dan gelombang PHK di sejumlah perusahaan swasta yang berhenti mendadak karena terhentinya aliran pinjaman kredit dari dunia perbankan. Selain karena faktor ekonomi, para tokoh pergerakan Indonesia juga sudah bosen dengan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Dengan kata lain, semua pihak waktu itu menginginkan perubahan. Dan hanya butuh waktu 22 hari saja untuk bisa menurunkan Soeharto dari kursi Presiden RI. Awal pergerakan dimulai pada 1 Mei 1998, dimana waktu itu pemerintah menaikkan BBM 74%, dan minyak tanah 44%. Kenaikan BBM tersebut merupakan saran dan rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) untuk dijalankan pemerintah Indonesia. Sejak dihantam krismon tahun 1997, pemerintah Indonesia menandatangi Letter of Intent (LoI) dengan IMF. Penandatangan LoI dilakukan Presiden Soeharto waktu itu dengan Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus. Momen bersejarah ini ramai menjadi perbincangan publik karena saat Soeharto membubuhkan tandatangan di LoI, Michel Camdessus berdiri sambil berlipat tangan. Camdessus terlihat mengawasi Presiden Soeharto meneken surat berisi janji mereformasi ekonomi atas desakan IMF. LoI merupakan matriks rencana aksi yang bersifat mengikat. Isi LoI diantaranya menghapuskan program mobil nasional dan melumatkan monopoli cengkeh. Sebelum BBM dinaikkan, jelas Rizal Ramli, dirinya pernah diminta pendapatnya oleh Direktur Pelaksana IMF wilayah Asia Dr Hubert Neiss. Rizal menyatakan momentum kenaikan BBM tidak tepat karena banyak masyarakat yang menderita akibat krismon. Namun, IMF tidak mau tahu dan tetap meminta pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM. Betul saja, sehari setelah kenaikan BBM terjadi gelombang aksi mahasiswa yang diawali dari Kampus Universitas Muslimin Indonesia (UMI) Makassar. Kemudian diikuti oleh para mahasiswa Unhas, seminggu kemudian para mahasiswa di Medan rusuh. Gelombang aksi mahasiswa ini dengan cepat menjalar ke Solo yang diwarnai kerusuhan dan kebakaran di sejumlah gedung dan toko-toko disana. Aksi demo mahasiswa dan kerusuhan kemudian melanda Jakarta. Akhirnya Soeharto jatuh dan hanya butuh waktu 22 hari. "Waktu itu tidak ada yang menduga Presiden Soeharto yang sangat kuat sekali bisa jatuh dalam waktu 22 hari," ungkap Rizal Ramli. Nah, kalau melihat konteks sekarang, krisis ekonomi lebih parah ketimbang tàhun 1998. Tingkat kesulitan ekonomi yang dihadapi rakyat kita hari ini jauh lebih susah dan akan lebih berat dibandingkan krisis ekonomi 1998. Oleh karena itu, Rizal Ramli merasa optimis akan terjadi perubahan sebelum tàhun 2024. Ketika ditanya lebih rinci tentang perubahan dan proses pergantian Presiden Jokowi, Rizal Ramli hanya menjelaskan secara off the record. Semoga harapan masyarakat yang menginginkan adanya perubahan di negeri ini bisa segera terwujud. * Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Negeri Fitnah Yang Menerapkan "Summum Ius Summa Iniuria"

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Adalah Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Front Pembela Islam (FPI) menjadi sasaran fitnah keji. Aksi terorisme "abal-abal" dikait-kaitkan atau dihubungkan dengan FPI dan tentu HRS. Terkesan mau dipakai untuk menutupi-nutupi kasus pembunuhan terhadap enam anggota Laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Pembunuhan berdasarkan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) patut diduga melibatkan anggota polisi dari Polda Metro Jaya. Perbuatan kejahatan yang tak bisa dihindari mengarah pada keterlibatan aparat keamanan. Dampknya pelakukan pmebunuhan terdahap enam anggota laskar FPI tidak diumumkan. Adapun nama-nama pelaku yang terus-terusan disembunyikan, dan hingga kini tidak diumumkan oleh oleh Bareskrim Polri, menjadi keanehan tersendiri. Keanehan yang membuka peluang bagi terjadinya rekayasa lanjutan perkara ini. Wajar kalaui publik bertany-tanya, mengapa belom juga diumumkan para tersangka? Siapa saja nama-nama mereka? Penangkapan orang-orang "jaringan terorisme" yang dikaitkan dengan mantan atau simpatisan FPI adalah dugaan dari fitnah yang direkayasa. FPI selama ini tidak pernah dituduh sebagai organisasi teroris. Bahkan mantan Kapolri Prof. Dr. Tito Karnavian memuji-muji FPI setinggi langit, sebagia organisasi yang sangat nasional, dan peduli terhadap persoalan kebangsaan. Sepak terjang FPI, baik kegiatan maupun ungkapan tokohnya yang selalu mengecam terorisme semua yang berbau terorisme. FPI sendiri merupakan organisasi formal dan legal. Hanya karena dipersulit pendaftaran badan hukumnya, akhirnya dibubarkan oleh pemerintah. Itupun sampai sekarang tanpa ada perlawanan, apalagi kekerasan dari FPI. Radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme justru ditujukan kepada umat Islam. Profil setiap pelaku "teroris" yang ditampilkan selalu beratribut Islam. Padahal pernah ada pelaku perencanaan bom atas gereja beragama Katolik yang ditangkap oleh polisi. Sayangnya polisi tidak pernah mau memberikan stigma dan status sebagai pelaku teroris. Apa penyebab? Hanya polisi yang tau. Namun tidak bagi umat Islam. Ini tentu saja sangat menyakitkan. Jika pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makasar itu benar anggota Jaah Ansorul Daulah (JAD), maka bukalah sudah sejelas-jelasnya siapa dan apa organisasi ini? Jangan dipelihara lagi, sehingga semua harus dikait-kaitkan dengan Islam. Langsung saja umumkan pembubaran organisasi JAD. Selesai dan habisi itu JAD. Yakinkan kepada rakyat bahwa JAD ini bukan organisasi buatan yang dijadikan hantu cantolan terorisme. Bom yang disebut bunuh diri di Gereja Katedral Makassar itu janggal. Sebab betapa bodohnya pelaku datang ke Gereja berbusana muslimah. Bercadar lagi. Begitu juga wanita berbusana muslimah ZA yang mengacungkan senjata air soft gun di Mabes Polri lalu ditembak mati itu. Sebaiknya Komnas HAM perlu turun tangan untuk mengusut siapa yang pelaku yang menembak mati ZA di Mabes Polri tersebut. Mengapa harus ditembak mati? Mengapa bukan dilakukan tembakan untuk melumpuhkan ZA saja. Apakah lawful atau unlawful killing? Publik jangan disuguhkan informasi hanya dari polisi. Kasus kilometer 50 tol Japek cukup menjadi pelajaran berharga buat bangsa ini bahwa tidak cukup masyarakat mendapat indormasi dari polisi saja. Untung masih ada Komnas HAM yang menemukan penembakan terhadap empat anggota laskar FPI oleh anggota Polda Metro Jaya. Selain itu, ada mobil Land Cuiser di lokasi kejadin kilometer 50 tol Japek. Ada juga mobil Avanza Hitam dan Avanza Silver yang publik tidak tau keberadaannya. Sebab sebelumnya tidak diumumkan oleh polisi. Saat enam anggota laskar FPI yang dibunuh, disiksa dan dijadikan tersangka adalah fitnah keji. Begitu juga peradilan HRS yang didakwa melakukan kerumunan saat walimahan anaknya dan maulidan. Mengapa kerumunan "wedding" Attar Halilintar dan Aurel Hermansyah, puteri Krisdayanti dibolehkan? Jokowi, Prabowo, Bambang Soesetyo hadir pula. Sungguh ini fakta dari suatu ketidakadilan. Tontonan ketidakadilan juga semakin menjijikan diperlihatkan dengan dihentikannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) penyidikan terhadap koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kakap Syamsul Nursalim, yang buron bertahun-tahun. Sampai sekarang belum kembali ke Indonesia. Mungkin sebentar lagi balik. Apalagi SP3 sudah keluar. Tidak lagi ada hambatan untuk pulang. Betapa nyaman menjadi perampok besar di negeri ini. Kabur bertahun-tahun ke luar negeri, lalu keluar SP3 dari KPK. Padahal BLBI adalah perampokan uang rakyat puluhan, bahkan ratusan triliunan rupiah. Perampokan ini ditutup hanya dengan Inpres No. 8 Tahun 2002. Inpres ini diteken oleh Megawati Soekarnoputri ketika menjabat sebagai Presiden. KPK semestinya tidak menetapkan SP3 kepada penjahat besar Syamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Sebab pasal 40 ayat (1) UU KPK hanya merumuskan "dapat". Tidak adanya kewajiban bagi KPK untuk mengeluarkan SP3. Wajar jika KPK dicurigai bermain-main dalam kasus ini. Sudah terlalu banyak tampilan wajah muram ketidakadilan di negeri ini. Rakyat sangat merasakan ketidakadilan itu. Kekuasaan dan kekayaan yang membenarkan perlakuan berbeda terhadap warga negara. Asas "equality before the law" dapat dilanggar dengan berbagai alasan. Atau mungkinkah mereka memahami dan bersikap tak peduli pada keadilan mengingat ada adagium hukum "summum ius summa iniuria", yang berarti keadilan tertinggi adalah ketidakadilan? Penguasa sekareng berhak untuk berbuat tidak adil dengan merasa telah berlaku adil? Soal fitnah keji? Mungkin merasa tidak juga karena di negeri Rusia tahun 2012-2017 pernah sukses mempropagandakan teori semburan fitnah "firehose of falsehood". Menebar kebohongan demi mempengaruhi opini publik termasuk media massa. Adakah rezim Jokowi sedang mempraktekkan teori semburan fitnah ala Rusia saat ini? Sejarah akan berbicara esok. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Rakyat Hari Ini, Seperti Anak Ayam Kehilangan Induknya

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Pembaca FNN dimana pun yang bisa mengakses situs ini, bisakah membayangkan situasi dan kondisi sosial rakyat dari Sabang menuju Merauke saat ini? Jika peka, maka ilustrasi yang muncul adalah laksana anak ayam kehilangan induknya. Masyarakat luas, yang katanya memiliki presiden sebagai pemimpin negara, namun serasa seperti tidak adanya kehadiran seorang pemimpin. Saat ini masyarakat tengah merasakan situasi penuh kebingunan. Galau dan kacau. Tidak mengerti harus bagaimana? Mesti harus berbuat apa? Sebab segala permasalahan yang membuatnya sedemikian pelik yang tengah ditanggung masyarakat, tidak lain adalah bab perekonomian. Gampangnya kalau ngomong, rakyat sulit mencari uang (rezeki). Kesulitan yang belom pernah dirasakan rakyat sebelum ini. Ekonomi itu adalah hal utama. Persoalan yang sangat pokok. Kesulitan perekonomian bukan saja dialami masyarakat kelas menengah ke bawah. Melainkan, juga dirasakan bos-bos besar papan atas. Hari-hari ini merasakan seperti pecah kepalanya. Memikirkan buruknya neraca perdagangan yang dikendalikannya. Biaya-biaya tetap seperti gaji, listrik, iuran BJS Kesehatan dan BPS Tenaga Kerja dan lain-lain. Seorang pemilik warung di Madiun, Jawa Timur, belum lama ini terpaksa menumpahkan kemarahannya kepada petugas bank titil (Bank Perkreditan Rakyat) yang datang menagih hutang. Pemilik warung marah sejadi-jadinya, sampai-sampai penagih hutang lari ketakutan. Kalau bicara dari sisi salah-benar sesuai hukum formal, seperti yang disukai Menkopolhukam Mahfud MD kalau berkomentar, maka pemilik warung tentu dinilai sebagai pihak yang salah. Sebab telah memarahi petugas BPR. Padahal dia berkewajiban melunasi pinjaman hingga tuntas. Namun secara kondisional, bukannya soal-salah, atau tidak salah. Melainkan pemilik warung tidak punya uang untuk mengangsur pinjaman. Dagangannya pun juga tidak ada yang laku. Semisal diambil tindakan hukum pun, pemilik warung pasrah. "Awalnya kita dirayu rayu supaya mau pinjam ke BPR. Setelah pinjam, eehhh....nagihnya utang minta ampun," bentak pemilik warung, ketus. Keadaan yang menyentuh perasaan seperti itu terjadi, dan dialami masyarakat di semua tingkat lapisan. Dari ujung Sumatera sampai pucuk Papua. Boleh jadi ada yang kondisinya lebih parah lagi. Mungkin jenis persoalannya saja yang berbeda. Namun intinya sama, sulit sulit dan sulit cari duit. Masih di kota yang sama, seorang kontraktor kondang juga dalam kondisi "sekarat". Mati nggak sekalian mati, namun hidup, nggak hidup bener juga. Betapa tidak, belasan alat berat dan dum truck sebagai penopang utama usahanya masuk gadai. Sebagai jaminan hutang, dan macet. Ruwet, ribet dan mumet. Beginilah gambaran yang lebih luas tentang gelapnya perekonomian masyarakat negeri ini. Setiap kali bertemu kawan, baik di warung atau dimana saja, selalu menyampaikan keluhan seragam. Tersumbat memikirkan ekonomi rumah tangga, sebagai topiknya. Bila kontak sahabat atau saudara yang tinggal di luar kota, atau di luar pulau. Pengakuannya sama. Sulit cari duit. Tak terkecuali pegawai negeri sipil. Seorang Kepala Dinas di pemerintahan daerah menunjukkan chat WA bab kewajiban mengangsur pinjaman BPR yang telah jatuh tempo dan belum dibayar. Bayangkan sekelas Kepala Dinas diuber-uber utang. Baru di era Jokowi ini terjadi. "Mau apalagi, aku cuma bisa bilang ya nanti tak bayar," katanya. Ibarat anak ayam yang terserakh di seluruh muka bumi. Saling teriak tanpa jelas apa yang diteriakkan. Lari kesana-kemari sembari menjerit pilu, terdengar seakan beradu merdu. Terjatuh, bangkit, terinjak, berdarah darah, tumpang tindih tak karu-karuan. Semua itu berlangsung demi memperoleh sumber kehidupan. Survival lah. Agar tetap bisa bertahan hidup. Meskipun sebenarnya yang ditemui cuma ke muleg an. Sebab satu dengan lainnya tak beda jauh persoalannya. Ibarat pelanduk dicerang rimba. Mau kemana? Akan berbuat apa? Mengadu kepada siapa? Semua jalan gelap dan buntu. Rasanya, disaat ketidak-berdayaan mencapai batas, yang dimiliki cuma pasrah dan keputusasaan. Seolah telah hilang garis batas mana saudara, adik, kakak, mertua, menantu, ipar, besan, teman, musuh, kawan, lawan dan sebagainya. Semua bingung. Mulai gelap-gulita. Kepelikan ekonomi bukan dominasi kaum proletar. Kaum optimat pun merasakan hal sama. Pengusaha paling besar dan kaya pun tak luput dari badai ekonomi. Menurut kompas.com (23/06/2020), selama sepekan harta bos Grup Djarum, Robert Budi dan Michael Hartono, merosot U$ 1,3 miliar atau setara dengan Rp. 18,4 triliun. Wuuhhh....ngeri-ngeri tidak sedap kan? Menjadi logis hangusnya triliunan rupiah harta bos Djarum, bila dikaitkan dengan ulasan cnn Indonesia (05/02/21), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pertumbuhan ekonomi RI minus -2,07 persen pada tahun lalu. Sementara, BPS dalam situsnya yang dilansir pada 15/07/2020 mengumumkan bahwa indeks gini rasio pada Maret 2020 sebesar 0,381. Jika angka koefisien yang digunakan sebagai alat ukur gini rasio adalah antara 0 (sangat kaya raya/ amat sangat hidup) sampai 1 (mati), maka angka gini rasio tersebut (0,381) berada nyaris diantara hidup dan mati. Padahal, masih ingat janji Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 lalu. Dia bilang, “akan menggenjot pertumbuhan ekonomi di angka 7%”. Janji yang sama diulang lagi Jokowi di kampanye Pilpres berikutnya (2019), juga 7%. Apakah Jokowi sanggup buktikan ucapannya 7%? Alih-alih 7%. Malah hancur di angka minus -2,07%. Padahal, sepeninggal SBY dari kursi presiden 20 Oktober 2024, angka pertumbuhan ekonomi masih lumayan 6%. Seumpama angka nilai rapor sekolah masih tergolong naik kelas. Melihat kenyataan ini, para buzzer dan gobloger melakukan advokasi dengan mengatakan hancurnya ekonomi sebagai dampak dari Covid-19. Nah, virus jadi wedus ireng. Padahal, sebelum kehadiran virus dari cina tersebut pertumbuhan ekonomi selama dipimpin Jokowi tak lepas dari angka 5 persen. Jadi, perekonomian negara ini bukan soal virusnya, melainkan Jokowinya. Lagi pula, secara global Covid-19 meletus dari Wuhan Cina, pada akhir Desember 2019 (jika tidak salah 23 Desember). Hampir semua negara di belahan dunia telah terpandemi virus haram tersebut. Meski semua negara telah tercemar, kala itu Indonesia masih aman. Celakanya, diwaktu negara ini masih aman, lha kok pemerintah malah memasukkan ribuan warga asing dari Cina. Lebih sinting lagi "virus" tersebut didominasi berasal dari negara produsen Covid-19. Wuhhh... ini namanya ngeri-ngeri kurang ajar. Karena Indonesia ini ibarat negara seribu pintu, maka ribuan "virus" tersebut bisa leluasa masuk melalui Sulawesi, Papua, Bali, Semarang, Surabaya, Halmahera serta pintu-pintu lainnya. Walhasil, pemerintah hingga lebih setahun bingung menangani Covid-19. Berbagai cara dilakukan. Masyarakat malah lebih dari sekedar bingung, yakni entah nggak bisa lagi mikir. Lantas pemerintah mengeluarkan kebijakan tutup pintu masuk warga asing. Tetapi sudah terlambat. Ibarat sebuah kampung lagi musim maling, malingnya sudah masuk rumah, baru pintunya ditutup. Ini kan seperti epilog komedian di panggung tonil hiburan. Ketawa ampe mencret. Soal kebutuhan rasa aman, nyaman, tenang, tenteram pun menjadi sesuatu yang mahal sekarang ini. Bayangkan, ekonom sekelas Kwik Kian Gie sampai menyatakan keluhannya, "Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternative". Kwik menyambung, "(Pada) zaman Pak Harto yang otoriter saja, saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik kritik tajam. Tidak sekalipun ada masalah". (Pikiran Rakyat, 06/02/2021). Sebenranya, masih banyak permasalahan berbangsa dan bernegara yang ingin dituliskan disini. Namun, saking banyaknya permasalahan sosial kemasyarakatan sampai bingung mengingat ingatnya. Sejak Orde Baru berkuasa, belom bangsa Indonesia sesulit ini di bidang ekonomi. Pecinta FNN yang budiman. Media digital, escort the state goal di penjuru dunia. Tumpukan campur aduk permasalahan, baik ekonomi, hukum, sosial, budaya, keamanan serta deretan aspek hidup lainnya secara umum dapat membuat kebingungan. Yah, laksana anak ayam yang kehilangan induknya. Atau pelanduk di cerang rimba. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.

Stagnasi Pembangunan Manusia Indonesia dan Pengkhianatan Kaum Intelektual

by Abdurrahman Syebubakar Jakarta, FNN - Dalam pidato 14 Juli 2019 di Sentul, Jawa Barat, Presiden Jokowi menyampaikan Visi Indonesia 2020-2024, yang diklaim mengandung perubahan paradigma, model, cara dan nilai baru. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu di antara lima sasaran prioritas dalam visi tersebut. Pidato kenegaraan Presiden Jokowi menyambut HUT ke-74 RI juga sesak dengan pesan tentang maha pentingnya pembangunan SDM. Moto “SDM Unggul, Indonesia Maju” menjadi tagline peringatan HUT RI tahun 2019. Pada 2020, di tengah situasi multi krisis akibat akumulasi masalah di periode pertama dan pandemi Covid-19, peringatan HUT ke-75 Kemerdekaan Indonesia masih mengambil tema besar “Indonesia Maju”. Sepintas, tidak ada yang aneh dengan moto dan tekad Presiden Jokowi. “Membangun SDM” merupakan salah satu kunci dalam setiap tahapan pembangunan untuk meraih kemajuan dan kemakmuran bangsa. SDM yang unggul juga menjadi pilar utama persaingan antar negara di kancah global. Segenap komponen bangsa termasuk para cendekiawan menyambut dengan antusias tekad untuk membangun manusia Indonesia. “Mahabenar menjadikan pembangunan manusia pusat perhatian” tulis Yudi Latif dalam kolom Opini Kompas, Agustus 2019. Namun, tidak disadari terselip kekeliruan paradigma yang sangat mendasar dalam visi Presiden Jokowi. Pembangunan SDM (human resource development) dipertukarkan secara literal dengan pembangunan manusia (human development). Dengan kata lain, visi Presiden Jokowi gagal memahami perbedaan antara pembangunan SDM dan pembangunan manusia. Pembangunan Manusia vs SDM Kendati saling terkait dan beririsan pada tataran praksis, pembangunan SDM dan pembangunan manusia, secara paradigmatik, berbeda. Pembangunan SDM memandang manusia sebagai faktor produksi semata dan bertujuan memaksimalkan produktivitas (maximizing human productivity). Indikatornya kecerdasan instrumental dan keterampilan teknis yang bermuara pada produktifitas tenaga kerja. Di samping itu, motif dan orientasinya bersifat ekonomistik utilitarian. Dengan demikian, pembangunan SDM berjarak cukup jauh dari motivasi kecerdasan dan keberdayaan politik yang berlandaskan rasionalitas substantif (substantive rationality) untuk menembus perkara pokok pembangunan. Mulai dari isu demokrasi substansial, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, kemiskinan, kerentanan dan ketimpangan, sistem ekonomi politik dan kepemimpinan, rule of law, hingga oligarki dan korupsi dengan segala daya rusaknya. Rasionalitas substantif inilah yang mendorong lahirnya kebijakan dan kebajikan publik (public virtue) yang bervisi jangka panjang, memberdayakan dan berkeadilan bagi semua, terutama rakyat marjinal dan lapisan bawah. Sementara, pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan. Tujuannya, seperti yang diformulasikan Mahbub ul-Haq (1990), menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyat untuk menikmati kehidupan yang panjang, sehat, berilmu pengetahuan dan kreatif. Amartya Sen (1999), rekan ul-Haq, yang meletakkan landasan konseptual pembangunan manusia mendefinisikan pembangunan sebagai kebebasan (development as freedom). Bagi Sen, “kebebasan” tidak saja menjadi tujuan utama pembangunan, tetapi juga merupakan sarana penting untuk mencapai tujuan-tujuan lainnya. Perbedaan pembangunan SDM dan pembangunan manusia mensyaratkan strategi, pilihan kebijakan, pendekatan dan langkah langkah berbeda. Hasilnya pun berbeda, bahkan bisa berbanding terbalik secara diametral jika penekanan strategi dan pilihan kebijakan tertukar diantara keduanya. Kegagalan memahami kedua pendekatan ini, tercermin dalam pilihan sistem dan kebijakan negara yang jauh dari semangat pemberdayaan dan pembebasan (empowerment and liberation) di berbagai bidang - ekonomi, politik, hukum, pendidikan, lingkungan dlsb. Agenda pembangunan neo-liberal yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur fisik di bawah kendali para oligark, makin mendominasi. Sementara, sektor-sektor lain tersubordinasi kedua agenda ekstraktif ini. Sistem dan kebijakan pendidikan, misalnya, mengabaikan materi berpikir kritis (critical thinking) dan pembangunan karakter (character building). Namun, lebih diarahkan untuk mencetak SDM sebagai faktor produksi – subordinat pertumbuhan ekonomi. Sekadar menjadi manusia robot (pelaksana) dari kepentingan relasi antara penguasa dan pengusaha. Pengkhianatan Intelektual Dus, alih-alih menjadi produsen pengetahuan dan katalis perubahan, kaum terdidik Indonesia jutsru berperan sebagai corong kekuasaan dan modal. Meminjam tesis Noam Chomsky (1967, 2016) tentang tanggung jawab intelektual, kaum terdidik ini berada di barisan intelektual konformis, atau intelektual tradisional versi Antonio Gramsci (1971). Intelektual antek penguasa yang mengabaikan, bahkan merasionalisasi, kejahatan negara. Kiprah mereka, jauh dari nubuah Julien Benda, dalam karya klasiknya “The Treason of the Intellectuals” atau Edward Said dalam “Representations of the Intellectual” (1996), bahwa kaum intelektual memiliki sifat altruistik yang senantiasa memburu kebenaran demi kemaslahatan bersama, dan menjadi pencipta bahasa dalam menyampaikan yang benar kepada penguasa, dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. Dosa terbesar seorang intelektual tidak dilihat dari kesalahannya, tetapi dari ketakutan dan kebohongannya dalam menyampaikan kebenaran. Jalan ketiga peran intelektual yang ditawarkan mendiang Cornelis Lay, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu politik UGM (Februari 2019), dimana intelektual bisa keluar masuk kekuasaan berdasarkan penilaian matang dan menyeluruh, jauh panggang dari api. Tawaran ini memiliki pijakan teoritik yang lemah, jika tidak dikatakan rapuh, dan berjarak cukup jauh dari realitas. Faktanya, terlalu banyak kaum intelektual yang terjerat nikmat dan empuknya jabatan hadiah dari penguasa. Hadiah jabatan, entah posisi di pemerintahan, perguruan tinggi, BUMN, atau jabatan penting di perusahan-perusahan swasta penyokong kekuasaan. Seketika atau lambat-laun para intelektual ini berputar haluan, dari pola pikir dan sikap kritis, menuju fatalisme dan sikap permisif (serba memaklumi). Bahkan, berdiri di barisan terdepan membela semua kebijakan negara, dan kemudian sepenuhnya menjadi antek kekuasaan. Bagi mereka, “the king can do no wrong, no matter what!” Pada saat yang sama, tidak sedikit kaum intelektual di lingkungan perguruan tinggi, lembaga think-tank/riset dan kelompok masyarakat sipil, yang belum mendapat jabatan dan uang, berlomba lomba memuji dan membela agenda kekuasaan. Tidak peduli apakah agenda kekuasaan masuk akal atau tidak, merugikan rakyat banyak atau sebaliknya. Sebagian bertindak sebagai pollster atau industrialis survei, merangkap buzzerrp, yang dibayar dari uang rakyat atau dimodali para taipan. Dengan kata lain, kaum intelektual ini bertindak sebagai antek penguasa, bahkan ketika mereka berada di luar status quo kekuasaan. Sementara, segelintir intelektual, yang tidak mau mengompromikan idealisme politik dan tanggungjawab moralnya demi uang dan jabatan, seringkali harus tersingkir dengan sendirinya. Terkadang mereka dipersekusi dan dikriminalisasi tangan-tangan kekuasaan. Seperti yang dialami oleh sedikit kaum intelektual yang konsisten menjadi “manusia merdeka” dan bersuara kritis dari luar kekuasaan, terlepas dari siapapun yang berkuasa. Tipe intelektual ini memainkan peran “intelektual organik” nya Gramsci atau “intelektual berbasis nilai” ala Chomsky. Stagnasi IPM & Kemerosotan Dengan pemahaman keliru tentang pembangunan manusia, diikuti kebijakan tidak tepat, serta absennya peran organik dan transformatif kaum intelektual, sulit dihindari terjadinya stagnasi pertumbuhan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia. Meskipun bergabung dalam IPM kategori tinggi, Indonesia masih berada di tangga-bawah kategori ini. Merujuk Laporan Pembangunan Manusia 2020 oleh UNDP, dengan nilai IPM 0.718, bersama Filipina dan Bolivia, Indonesia berada di peringkat 107, dari 189 negara. Tertinggal jauh dari Thailand (ranking 79), dan tiga negara anggota ASEAN yang masuk dalam kelompok IPM sangat tinggi, yaitu Singapore, Brunei Darussalam dan Malaysia. IPM Indonesia juga jauh lebih rendah dari rerata IPM kawasan Asia-Timur dan Pasifik, yang mencapai 0.747. IPM merupakan gabungan indikator penting untuk mengukur tingkat kualitas hidup manusia, yang dibentuk tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent standard of living). Perlu digarisbawahi, IPM beserta indeks turunannya seperti indeks pembangunan gender, indeks ketimpangan gender, dan indeks kemiskinan multidimensi, hanya penggalan dari keseluruhan “cerita” pembangunan manusia. Dirancang untuk menyederhanakan konsep besar pembangunan manusia dan memastikan aplikabilitasnya sebagai panduan, target dan instrumen monev pembangunan. Di luar IPM, namun, masih dalam kerangka pembangunan manusia, Indonesia mengalami kemerosotan di berbagai bidang, mulai dari meluasnya korupsi, ketimpangan yang makin dalam, anjloknya tingkat kebahagian, demokrasi yang dibajak oligarki dan otoritarianisme, penegakan hukum diskriminatif, hingga menguatnya feodalisme dan dinasti politik, serta ketegangan sosial. Menyebabkan negara besar ini tertinggal dari negara-negara miskin seperti Etiopia dalam indeks persepsi korupsi dan keberlanjutan pangan, dan Timor Leste dalam indeks demokrasi dan kebebasan. Sekarang, Indonesia tidak saja kehilangan jejak untuk kembali ke cita-cita reformasi, jalan yang dipilih atas pengorbanan mahasiswa dan segenap elemen bangsa. Tapi, kompas negara ini telah jauh melenceng dari amanat Pancasila dan konstitusi. Saya akhiri tulisan ini dengan mengutip hasil riset Ahmet T. Kuru (2019), profesor ilmu politik San Diego State University, asal Turki, bahwa “aliansi ulama dan intelektual dengan negara” menjadi faktor utama keterbelakangan dunia Islam, sejak abad 12, seperti kemiskinan, ketimpangan, korupsi, spiral kekerasan dan otoritarianisme. Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar dunia, Indonesia kini menjadi contoh sempurna dari temuan riset Kuru. Penulis adalah Ketua Dewan Pengurus Institute for Democracy Education (IDe) Pegiat Demokrasi Sosial dan Anti-Korupsi