OPINI

Bubarkan Dan Hukum Itu GAR ITB

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN- Mahfud MD bukan seorang pengamat yang hanya dipandang untuk opininya. Tetapi Mahfud adalah Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam). Pejabat kompeten untuk melakukan "judgement" situasi politik dan keamanan negara. Termasuk menilai profil figur Prof. Dr. Din Syamsuddin MA, apakah radikal atau tidak? Pernyataan Mahfud tentang Prof. Din Syamsudin berbahaya atau tidak bagi bangsa dan negara. Tentu saja pernyataan yang tidak asal-asalan keluar. Juga pernyatan yang tidak asal bunyi dan bacot semata. Namun pernyataan yang didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman pribadi Mahfud, maupun sejabagai pejabat negara yang berkompeten di bidangnya. Pernyataan penting dari Pak Mahfud adalah bahwa Din Syamsuddin bukan atau tidak radikal. Ini mematahkan upaya Gerakan Anti Radikal (GAR) alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang melaporkan Din Syamsuddin sebagai figur yang radikal kepada Komite Aparatur Sipil Negara (KASN). Laporan yang membuat keluarga besar Mummadiyah marah dan bereaksi. Muhammadiyah adalah Organisasi Kemasyaratan Kegamaan tertua di negeri ini. Lebih tua dari Nahdlatul Ulama (NU) beberapa tahun. Muhammadiyah lahir 18 November 1912 di Yogyakarta. Sedangkan NU lahir 13 Januari 1026. Wajar saja warga Muhammadiyah bekerasi keras. Karena Prof. Din Syamsudin pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Di tengah penentangan banyak pihak atas langkah GAR ITB ini, pernyataan Mahfud MD cukup menjadi jawaban. Laporan itu harus segera dimasukkan ke dalam keranjang sampah. Saatnya GAR ITB menuai badai. Karena organisasi ini mengatasnamakan alumni ITB, maka GAR telah mencemarkan institusi ITB. Karenanya pasca penegasan Menkopolhukam terhadap pribadi Prof Din Syamsuddin, konsekuensi terhadap GAR dan laporannya adalah : Pertama, sanksi moral harus diberikan, yaitu GAR ITB mesti mencabut laporan KASN dan meminta maaf kepada Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA. Berjanji untuk kepada publik dan ketelebagaan ITB untuk tidak lagi mengulangi kerjap-kerja yang tendensius dan berbau fitnah seperti ini Karena bukannya berdampak positif untuk isntitusi ITB, tetapi malah mendowngrade ITB. Kedua, sanksi sosial harus diberikan kepada organisasi GAR ITB , yakni desakan atau himbauan ITB agar GAR dibubarkan karena terbukti berulang kali mencemarkan nama baik institusi ITB. Pembubaran adalah konsekuensi logis dan pelajaran yang sangat berharga. Tujuannya, agar ke depan GAR tidak lagi digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik sesaat. Ketiga, sanksi politik yaitu GAR ITB diusut tentang pendanaan dan perlindungan "kakak pembina" karena memperlihatkan diri sebagai buzzer kekuasaan. GAR bukan bagian dari institusi ITB, tetapi menjadi alat mainan "luar" untuk mengacak-acak ITB. GAR bukan kumpulan akademisi tetapi gerombolan politik yang berkedok sebagai alumni ITB. Keempat, sanksi hukum. GAR ITB yang telah mencemarkan nama baik Prof. Din Syamsuddin, sehingga layak untuk diadukan ke aparat penegak hukum atas delik pelanggaran hukum yang telah diperbuat. Pelanggaran tersebut diatur dalam KUHP dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (ITE). Disamping gugatan perdata yang juga dapat diajukan ke Pengadilan Negeri. Kelima, sanksi agama. Reaksi MUI, Muhammadiyah, dan NU dalam pembelaan kepada Din Syamsuddin mengindikasi ada misi keagamaan tertentu untuk memfitnah dan mendiskreditkan seorang tokoh Islam. Din Syamsuddin adalah tokoh Islam tingkat Nasional dan Internasional. Penyelidikan lanjutan diperlukan untuk membuktikan ada tidaknya "serangan keagamaan". GAR ITB telah membuat gara-gara dan kegaduhan di lingkungan akademis. Jika dibiarkan tanpa sanksi, dikhawatirkan GAR ITB akan terus bergerak merajalela menunaikan misi mengacak-acak harmoni dengan prasangka, hoaks, dan hate speech yang lebih jauh akan merusak ideologi bangsa. Kini hanya tiga kata untuk GAR ITB sang perusak harmoni, yaitu bubarkan, kucilkan, dan hukum ! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Menepis Amien Rais Soal Presiden Memegang Kekuasaan Membentuk UU (Bagian-6)

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Strategic Assessment : Mr. Soepomo, “caranya mengangkat pemimpin negara itu hendaknya janganlah dituruti cara pilihan menurut sistem demokrasi barat, oleh karena pilihan secara sistem demokrasi barat itu berdasar atas faham perseorangan. Tuan-tuan sekalian hendaknya insaf kepada konsekuensi dari pendirian menolak dasar perorangan itu. Menolak dasar individualisme berarti menolak juga sistem perlementarisme, menolak sistem demokrasi Barat, menolak sistem yang menyamakan manusia satu sama lain seperti angka-angka belaka. Angka yang semuanya sama harganya”. (Sidang BPUPKI, 31 Mei 1945) Ir. Soekarno, “Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!” (Sidang BPUPKI, 1 Juni 1945) Pembatasan, ”Untuk membedakan dan mempermudah, hasil amandemen UUD 1945 dalam artikel ini kita sebut UUD 2002”. Ilustrasi Sebuah Adat Adat di Jawa ada yang disebut “lamaran”. Keluarga laki-laki datang kepada keluarga perempuan, melamar untuk mempersunting putri dari keluarga tersebut. Keluarga laki-laki datang sambil membawa hadiah sebagai tanda pengikat, yang prosesnya dinamai serah-serahan. Kadang kala, keluarga perempuan juga memberi sesuatu saat keluarga laki-laki pulang. Amien Syamsudin sahabat saya tinggal di Semarang, ngerti adat Jawa itu. Ketika Amien di Sumbar, daerah Padang, Padang Pariaman, dan Pesisir Selatan, melihat acara “manjapuik” seperti lamaran di Jawa. Melihat keluarga perempuan mendatangi keluarga laki-laki dengan membawa sesuatu sebagai tanda jadi. Amien berkomentar, “lho, mana boleh perempuan kok melamar laki-laki”. Betulkah komentar tersebut? Jelas keliru besar. Sebab yang dilihat dan dikomentari Amien itu adat di Padang, namun komentarnya menggunakan perspektif adat Jawa, yang ada di benaknya. Ilustrasi di atas, kita gunakan untuk membahas komentar Amien Rais terhadap Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dalam buku Valina Singka Subekti, 2007, Menyusun Konstitusi Transisi. Pasal 5 & Pasal 20 UUD 1945 dan Pasal 5 & Pasal 20 UUD 2002. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Sedangkan Pasal 20 UUD 1945 ayat (1) “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR”. Atas pasal tersebut, Amien Rais berkomentar, “Undang-undang dibuat oleh eksekutif, sedangkan legislatif hanya menyetujui. Ini ironis karena DPR tidak membuat legislasi, namun pemerintah yang membuat legislasi”. Komentar itu bisa dipahami, karena di awal reformasi kaum reformis menilai sistem pemerintahan Indonesia tidak demokratis, sehingga UUD 1945 perlu diamandemen. Tuduhan tidak demokratis ini juga datang dari negara asing, yang akhirnya ikut campur dalam amandemen UUD 1945. Baca : (https://rmol.id/read/2020/09/21/453155/menepis-pendapat-amien-rais-1-intervensi-asing-dan-implikasi-kembali-ke-uud-1945) . (google) Kesepakatan dalam amandemen dikala itu, Indonesia memilih sistem pemerintahan Presidensial, seperti di Amerika Serikat, Philipina dan negara-negara di Amerika Latin, yang dilandasi demokrasi Barat. Sistem ini menganut Presiden dipilih rakyat. Kedaulatan negara dipisahkan menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Karena itulah pasal di atas diamandemen. Pasal 5 ayat (1) UUD 2002, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”. Sedangkan Pasal 20 ayat (1) UUD 2002, “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Pertanyaan kritis yang menyebabkan diamandemennya UUD 1945 adalah benarkah tuduhan bahwa Indonesia bukan negara yang demokratis? Tuduhan sekelompok orang dalam negeri dan asing tersebut jelas keliru besar. Sebab Pasal 1 ayat (2) UD 1945, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)”. Kedaulatan di tangan rakyat, adalah ciri negara demokratis. Sedang musyawarah dan keterwakilan itu merupakan cara saja. Toh, Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa segala putusan MPR ditetapkan dengan suara yang terbanyak. Pasal ini juga menguatkan Indonesia sebagai negara demokratis. Pilihan cara ini memang berbeda dengan demokrasi Barat. Demokrasi individual “one man one vote” yang dihindari “founding fathers” ketika akan mendirikan Indonesia Merdeka. Pilihan jatuh pada musyawarah mufakat dan keterwakilan yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri. Sebab konstitusi harus disusun berdasar atas budaya dan sejarah bangsa. Demokrasi musyawarah mufakat dan perwakilan itu indah. Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, Ketua Komisi Yudisial 2016-2018, dalam bukunya, “Rekonstruksi Tradisi Bernegara Dalam UUD 1945” menulis hasil penelitiannya tentang prinsip permusyawaratan perwakilan yang termaktub dalam Pancasila dan pembukaan UUD 1945. Prinsip permusyawaratan perwakilan bersumber dari tradisi demokrasi yang dilaksanakan di daerah-daerah otonom yang disebut ‘desa’ di Jawa, ‘nagari’ di Minangkabau, dan ‘wanua’ di Bugis atau ‘bori’ di Makasar. Artinya, memang benar nilai-nilai Pancasila digali dari bumi Indonesia. Bukan dari Eropa, Amerika atau negeri manapun. Disamping penelitian, kita juga tahu bahwa masyarakat Melayu Islam sebelum dijajah Belanda, berlaku hukum dan musyawarah adat yang berjenjang. Penyalurkan aspirasi rakyat, penduduk di lapisan paling bawah mengangkat Kepala Kampung. Para Kepala Kampung bermusyawarah mengangkat para Tungkat, dan para Tungkat memilih dan atau menjatuhkan Datuk /Kepala Luhak. Datuk/Kepala Luhak beserta ‘Orang-Orang Besar’ yang terpilih, yang memilih dan menggantikan Raja, dan merekalah “Kawan Raja Bermusyawarah”, dan keputusan Kerapatan atau musyawarah ‘Orang-Orang Besar’ itulah yang disebut Amar/Titah dari Raja. Inilah budaya musyawarah dan demokrasi dengan perwakilan bertingkat asli Indonesia. Sistem ketatanegaraan kita, yang disusun “founding fathers” memiliki Lembaga Tertinggi Negara, tempat musyawarah bernama MPR. Negara ditata dengan landasan budaya bangsa sendiri. Budaya yang didasari nilai-nilai agama, khususnya agama Islam, sebagaimana Muh. Yamin mengutip surat Asy Syura ayat 38 untuk hidup musyawarah (BPUPKI, 29 Mei 1945). Semua itu dipadukan dengan teori Barat. Apakah kita berani menuduh “founding fathers” tidak paham ajaran Montesquieu tentang Trias Politika sedemikian, sehingga di dalam undang-undang dasar memberikan Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang? Penulis pikir tidaklah pas. Jangan dikira “founding fathers” tidak ngerti yang disebut Trias Politika, demokrasi Barat, Parlementer, Presidensial dan ilmu-ilmu barat lainnya. Kapasitas bapak pendiri bangsa bisa kita baca saat persidangan di BPUPKI dan PPKI. Strategic assessment di atas merupakan cuplikan saat sidang mencari dasar negara, bukti betapa berilmunya beliau-beliau itu. Seperti Mr. Soepomo, beliau Ketua Panitia Kecil pembuat Rancangan Undang-Undang Dasar. Soepomo dari keluarga ningrat, kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden, meraih gelar Meester in de rechtern dengan predikat summa cum laude. Walau ningrat, tidak sombong, tidak punya jiwa feodal, pandai dan tidak sok ke-barat-baratan. Baca: : (http://rmol.id/read/2020/03/04/423954/menelusuri-jejak-penjelasan-uud-1945-dan-siapakah-mr-soepomo-itu). (google). Sistem Pemerintahan Sendiri Sistem Pemerintahan Sendiri juga sering disebut Sistem Pemerintahan MPR. Penulis sendiri lebih suka jika menyebutnya Sistem Pemerintahan Pancasila. Sistem ini memang berbeda dengan Sistem Parlementer, Sistem Presidensial ataupun kombinasi antara sistem Parlementer dengan Presidensial. Dalam pergulatan perdebatan saat sidang di BPUPKI, penulis yakin tentu sudah ada dialog, “Bukankah Presiden itu eksekutif? Mengapa diberi kekuasaan membentuk undang-undang? Bukankah undang-undang itu urusan legislatif?” Apakah dialog ini sudah terjawab? Penulis yakin sudah dijelaskan argumentasinya. Artinya, bukanlah kealpaan atau ketidaktahuan, tetapi memang kesengajaan. Karena Presiden dipilih MPR, tempat para wakil rakyat bermusyawarah, maka Presiden terpilih disebut sebagai ‘Mandataris MPR’. Presiden menerima mandat dari seluruh rakyat yang terwakili oleh anggota DPR, Utusan Golongan dan Utusan Daerah yang ada di MPR. Karena mandat dari seluruh rakyat itulah, maka Presiden diberikan kewenangan kekuasaan membentuk undang-undang, agar dapat mencapai apa yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Penulis berpendapat, hal ini logis, siapapun mendapat tugas dan tanggung jawab, harus diberikan pula kewenangan. Sepintas kritik terhadap Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menjelang amandemen benar. Benar karena pengkritik melihat dari sistem Presidensial. Tetapi menjadi tidak benar jika dilihat dari perspektif “Sistem Pemerintahan Sendiri atau Sistem Pemerintahan Pancasila”, sebagai pilihan “founding fathers”. Sistem Pemerintahan Pancasila ini sangat komprehensif. Untuk membatasi dan mengawal kekuasaan Presiden agar tidak kebablasan, pembentukan undang-undang harus persetujuan DPR. Disamping itu ada Lembaga Negara Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang wajib memberikan pertimbangan, jawaban dan usul kepada Presiden, diminta ataupun tidak. Lembaga ini sebagai Badan Penasehat. Betapa cantiknya sistem yang dilandasi Pancasila ini. Seluruh rakyat, melalui wakilnya di MPR memberi mandat kepada Presiden untuk melaksanakan GBHN. Setiap tahun Presiden menyampaikan laporan apa yang sudah dan yang akan dilakukan. Di akhir jabatan, dihadapan pemberi mandat, Presiden menyampaikan pertanggungjawaban. Berbeda dengan demokrasi Barat, yang kita tiru pasca amandemen UUD 1945. Presiden dipilih rakyat langsung, melaksanakan visi misinya sendiri. Akhir jabatan tidak ada pertanggungjawaban, pergi dengan lenggang kangkung. Inilah keburukan model Sistem Presidensial, pertanggungjawabannya tidak jelas. Karena itu Undang-Undang Dasar yang dirumuskan “founding fathers” tidak menggunakan model tersebut. Muh. Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo dan Bung Karno ketika pidato mencari dasar negara untuk Indonesia Merdeka dalam Sidang BPUPKI, jelas menolak demokrasi Barat. Dengan demikian, tidaklah pas jika kita menilai atau mengkritik Sistem Pemerintahan MPR dengan perspektif Sistem Pemerintahan Presidensial. Ibaratnya, bagaimana mungkin kita membandingkan atau menilai adat Padang dengan adat Jawa? Seperti ilustrasi di atas, karena keduanya memang berbeda. Penulis yakin, Sistem Pemerintahan dalam UUD 1945, khususnya Pasal 5 ayat (1) bukanlah kesalahan. Bukan pula karena ketidaktahuan atas sistem-sistem pemerintahan lainya. “Founding fathers” memang sengaja membuat Sistem Pemerintahan Sendiri yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Seharusnya kita bangga dengan Sistem Pemerintahan Pancasila ini. Selama kita meyakininya, melaksanakan secara murni dan konsekuen, sistem ini bisa kita duniakan, sejajar dengan Sistem Parlementer dan Presidensial. Semoga bisa dipahami, Insya Allah. Aamiin. Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Managih Janji Presiden & Kapolri Soal Pembunuhan Enam Anggota FPI

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, saat menjalani fit and proper test di depan anggota dan pimpinan Komisi III DPR, menjanjikan untuk menuntaskan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) akibat pembunuhan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Pembunuhan yang dilakukan oleh anggota polisi dari Polda Metero Jaya. Kapolri berjanji untuk merealisasikan empat rekomendasi berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM. Sayangnya ,sejak dilantik sebagai Kapolri pada 27 Januari 2021 lalu, Listyo Sigit hingga kini belum ada kebijakan konkrit sebagai tindak lanjut apa-apa. Mayarakat negeri ini dan DPR hanya diberikan janji-janji kosong oleh Listyo Sigit. Meski tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hasil penyelidikan Komnas HAM yang terbilang rendah dengan hasil rekomendasinya. Tetapi apa yang telah didapat Komnas HAM dengan hasil yang minim tersebut, seharusnya ditindaklanjuti adalah penegakan hukum. Membawa aparat yang menjadi pelaku pembunuhan ke proses peradilan yang terbuka dan transparan. Disamping janji Listyo Sigit Prabowo, juga Presiden Jokowi juga telah berjanji pula untuk menjalankan rekomendasi Komnas HAM. Sayangnya, sejak Presiden menerima laporan penyelidikan dari Komnas HAM, sampai sekarang tidak ada kelanjutan. Karenanya bola janji membawa pelaku pembunuhan terhadap enam anggota laskar FPI ada di tangan Presiden dan Kapolri. Sebenarnya Kapolri sebelumnya Jenderal Polisi Idham Azis sudah membentuk tim khusus pengusutan. Tim tersebut untuk menindaklanjuti rekomendasi hasil penyelidikan Komnas HAM. Artinya, Kapolri baru Jendral Polisi Listyo Sigit tinggal dan menyempurnakan saja tim yang sudah dibentuk oleh Jendral Polisi Idham Azis. Tinggal melanjutkan saja yang sudah ada. Tetapi ternyata hingga kini masih tidak jelas pula agenda kelanjutan penyidikan perkara di kilometer 50 tol Japek tersebut. Keseriusan Kapolri Jendral Listyo Sigit untuk membawa pelakukan pembunhan ke pengadilan mulai dipertanyakan. Luar biasa bertele-telenya penanganan kasus ini. Sudah hampir tiga bulan peristiwa terjadi, namun masih miskin langkah nyata. Belum memulai untuk merealisakan janji soal pembunuhan enam anggota Laskar FPI, kini sudah muncul lagi kasus baru. Misalnya, meninggalnya Ustad Maheer At Thuwailibi di Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri yang juga menuai kecurigaan masyarakat luas. Sehingga Komnas HAM juga berniat untuk melakukan penyelidikikan terkait kematian ustadz Maheer. Tampknya semakin menumpuk saja persoalan yang bekaitan penegakan hukum dan pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan. Satu masalah belum selesai, sudah muncul masalah baru lagi. Ini akibat dari cara-cara kerja polisi yang terlihat tidak profesinal dan amatiran. Semakin menjauh dari profil polisi Indonesia yang prefesional, moder dan terpercaya (Promoter). Jika-janji Kapolri hanya tinggal janji. Tidak ada langkah-langkah nyata di lapangan. Maka wajar saja, jika pada akhirnya publik akan bertanya, sebagai Kabareskrim saat itu, Listyo bersama Kapolda Metro Fadil Imran apakah terlibat? Ketika itu ada tuntutan agar Fadil Imran dinon-aktifkan atau diberhentikan dulu sebagai Kapolda, bagaimana dengan tuntutan kepada Listyo Sigit? Presiden sebagai figur yang sering berjanji, tetapi tidak terbukti janjinya. Kini oleh para mahasiswa dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta telah dinobatkan sebagai "Juara Lomba" inkonsistensi. Janji dan realisasi yang tidak bersesuaian. Nah kasus pembunuhan terhadap enam anggota laskar FPI ini sebagai bola janji inkosistensi yang ada pada Presiden dan Kapolri. Pertanyaanya, akankah Pak Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit bakal menjadi juara janji yang inkonsistensi juga? Atau sekurang-kurangnya bakal menjadi runner up lomba jani dengan hasil inkonsistensi? Semoga saja tidak terjadi, sehingga kekecewaan publik terhadap kinerja polisi yang “PRESISI” tidak semakin bertambah ambruk, seperti yang sudah terjadi pada “PROMOTER” Ayo Pak Kapolri segera bergerak. Jangan ragu untuk mengumumkan dan menyeret anak buah anda ke meja hijau demi nama baik jajaran Kepolisian, Semoga nantinya Kepolisian sebagai anak kandung reformasi tidak mendapat predikat sebagai "Juara Lomba Pelanggaran HAM". Polisi harus tetap dipertahankan sebagai produk reformasi yang telah berhasil dipisahkan dati tentara. Ingat itu baik-baik pesan paling mulia dan berharga dari kode etik kepolisian, “bawahan boleh menolak perintah atasan yang bertentangan dengan hukum. Institusi polisi tidak boleh melindungi oknum yang melanggar hukum. Sebaliknya, oknum yang melanggar hukum, jangan mengorbankan institusi polisi dengan cara berlindung dibalik institusi”. Kasian institusi polisi. Ingat lagi baik-baik dengan sumpah ketika pertama kali menjadi anggota polisi, yaitu “rela berkoban dan mati untuk negara dan institusi polisi”. Ayo lakukan sumpah itu dalam kaitan dengan pembunuhan enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Japek. Tujuannya untuk menjaga marwah dan martabat polisi, agar tetap dihargai masyarakat sebagai penegak hukum yang berwibawa ke depan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Gadget Merusak Sel Tubuh Manusia

by Komjen Pol. Dharma Pongrekun MM. MH. Jakarta FNN - Gadget adalah teknologi yang memang dengan sengaja diciptakan oleh penggagasnya untuk mempermudah pengendalian manusia di seluruh belahan dunia. Pengendalian dilakukan melalui program alam bawah sadar, agar dengan sangat mudah dapat memanipulasi jiwa (pikiran, perasaan dan kehendak) manusia tanpa disadari. Diawali dengan membangun paradigma seolah-olah Gadget itu hanyalah sekedar kemajuan jaman. Kemajuan kecanggihan teknologinya yang memberikan berbagai macam kemudahan, kecepatan dan tentunya kenyamanan yang memanjakan. Sehingga kita terbuai, karena keasyikan dan akhirnya kecanduan yang membuat kita semua terjerat dalam jebakan sistem global. Sistem global adalah sistem yang terbangun dengan sendirinya sebagai hasil dari pada rekayasa yang sitematis. Gadget memang telah disiapkan menjadi teknologi yang merangkai seluruh sistem dari setiap kegiatan secara rekayasa dalam seluruh aspek kehidupan yang ada ke dalam satu sistem yang terkendalikan secara Global. Hal tersebut telah membuat kita tidak dapat lagi melihat dan merasakan adanya agenda tersembunyi atau motivasi jahat dibalik semua itu. Bahwa tujuan akhir dari agendanya sistem global adalah untuk memperbudak semua manusia di dunia seperti yang kita telah rasakan dampaknya saat ini. Mengapa demikian? Karena melalui Gadget itu, mereka telah berhasil menyatukan sistem kendali seluruh dunia melalui rekayasa kehidupan (life engineering) yang begitu cerdas. Rekayasa kehidupan melalui program alam bawah sadar (subconcious mind). Caranya dengan cara merasionalisasi aktifitas kehidupan dari sesuatu yang tidak nyata (dunia maya) menjadi realita pada aktifitas kehidupan dunia nyata masing-masing pemegang Gadget tersebut. Namun bila googling kita tidak akan pernah menemukan istilah life engineering. Tetapi hanya social engineering, dengan maksud agar masing-masing kita tidak menyadari, bahwa pribadi demi pribadi kita yang memiliki keunikan masing-masinglah. Sedangkan yang direkayasa (engineering) menjadi budak sistem global. Di dalam memahami kehidupan manusia, terlebih dahulu kita harus memahami tiga unsur utama manusia, yaitu tubuh, jiwa dan roh. Tubuh adalah ruang kosong yang hidup, karena diisi oleh roh yang berasal dari Roh Tuhan. Setelah tubuh itu hidup, maka terbentuklah jiwa yang akan diwarnai oleh berbagai keadaan yang dilalui selama masih hidup. Baik buruknya kejiwaan manusia sangat tergantung pada kekuatan potensi sel yang akan mendukung kekuatan dalam pengendalian pikiran (mind control). Perlu juga diketahui bahwa tubuh manusia dikendalikan oleh dua bagian utama, yaitu otak dan sel. Otak mempunyai kekuatan 5% dan sel mempunyai kekuatan 95% dalam mengendalikan tubuh. Tubuh manusia terdiri dari 50 triliun sel dan setiap selnya mengandung 1,4 volt listrik. Jadi, ada 70 triliun volt listrik di dalam tubuh manusia yang diaktifkan melalui gelombang (frekwensi). Sekarang mari kita pahami bagaimana cara merekayasa mind-set melalui alam bawah sadar. Yakni dengan merasionalisasi paradigma melalui opini-opini yang ingin dibangun secara visual melalui aplikasi-aplikasi yang menarik dan berbagai kontennya. Semua sudah diprogram untuk dapat memanipulasi pikiran dan perasaan dalam jiwa manusia dengan cara memprogram alam bawah sadar secara berulang-ulang (repetition) dengan metode komunikasi satu arah. Targetnya hanya program opini terselubung itulah yang menguasai alam bawah sadar manusia, seperti pepatah yang mengatakan bagaikan “batu ditetesi air terus-menerus, akhirnya akan bolong juga”. Konten dan program tersebut akan terekam oleh sel-sel tubuh yang akan mengolah dan menyajikan informasi dan data yang membentuk imajinasi dalam pikiran dan perasaan yang ada dalam jiwa manusia. Sehingga seolah-olah sedang menjalani kehidupan di dunia nyata. Padahal hanya di dunia maya, namun akan berimplikasi pada prilaku dalam kehidupan nyata. Selanjutnya, pikiran dan perasaan yang terbentuk secara gradual melalui program alam bawah sadar tersebut, akan terefleksi pada perubahan karakter dan perubahan perilaku manusia. Prilaku dalam kehidupan nyata dari kehidupan yang fitrah (original) diselewengkan (refocusing) untuk menjauhkan manusia dari citra Tuhan, sehingga tidak menyadari lagi fitrahnya sebagai hamba Tuhan. Jadi, sel-sel dalam tubuh manusia itulah yang diserang oleh gelombang elektromagnetik yang ada (radiasi). Sehingga memudahkan pengendalian alam bawah sadar dan menguasainya untuk merubah persepsi. Persepsi tersebut otomatis akan merubah fungsi sel dalam tubuh, bahkan juga menjadi rusak. Itulah sebabnya Gadget disebut cellularphone, karena mekanisme kerjanya meniru mekanisme kerja sel tubuh manusia dalam berinteraksi dengan sel manusia lainnya, alam semesta dan dengan Tuhan sebagai sumber kehidupan yang sejati. Jadi sel adalah inti dari kehidupan manusia hidup. Apabila sel mengalami kerusakan, juga akan melemahkan potensi sel, dan otomatis menurunkan imunitas di dalam tubuh manusia. Tubuh manusia hanyalah merefleksikan apa yang dipancarkan dari sel-sel yang rusak. Keadaan inilah yang kita kenal dengan istilah penyakit. Perlu diketahui juga bahwa selain dari perangkatnya sendiri, konten-kontennyapun seperti pornografi dan game online dapat menyebabkan kecanduan yang lebih buruk. Bahkan lebih buruk dari pada narkoba yang hanya merusak tiga bagian otak. Sementara gelombang elektromagnetik yang dipancarkan terus-menerus dari Gadget yang aktif akan merangsang sel-sel pada otak mengeluarkan hormon dopamine secara berlebihan dan tidak wajar. Keluarnya hormon dopamine yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan pada lima bagian otak. Otak bagian depan atau Pre Frontal Cortex (PFC), sehingga PFC akan mengkerut dan mengecil hingga +- 4%. PFC inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Akibatnya orang tersebut akan kehilangan kemampuan pengendalian emosi, membedakan benar dan salah, serta berperilaku layaknya binatang. Itu terjadi sebagai akibat dari pada kecanduan. Contohnya, apabila seorang anak yang sedang bermain game, bila diambil Gadgetnya, maka si anak akan mengamuk dan marah-marah tak terkendali. Karena telah mengalami gangguan perkembangan otak serta masalah kesehatan mental yang merubah prilaku. Mereka akan menjadi agresif dan mudah tersinggung disebabkan hormon dopaminnya mendadak berhenti terproduksi. Ini akibat rangsangan sel dari gelombang elektromagnetikpun berhenti atau dalam narkoba dikenal dengan istilah sakau (tubuh nagih). Contoh lain dari dampak bekerja sel, semisal saat seorang pria melihat wanita, maka mata pria tersebut akan menangkap gelombang yang dipancarkan dari tubuh wanita. Gelombang itu kemudian diterima (receiver) oleh sel-sel dalam tubuh pria tersebut untuk diolah dan memproduksi hormon sesuai dengan infromasi yang direkam. Hormon selanjutnya disajikan (transmit) menjadi imajinasi yang menimbulkan hasrat yang mendorong pria tersebut menginginkan wanita tersebut. Inilah makna dari pepatah lama ketika seseorang jatuh cinta kemudian kasmaran “dari mata turun ke hati”. Tujuan dari rekayasa sitem global tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memonetize (memetik keuntungan finansial-red). Keuntungan dari setiap kebutuhan jasmani manusia yang telah terprogram melalui pikiran dan perasaan yang ada dalam jiwa yang terbentuk dari hasil program agenda rekayasa kehidupan melalui dunia maya menjadi kebutuhan jasmani dalam dunia nyata. Terutama, kebutuhan jasmani yang termotivasi dari keinginan untuk mempertahankan dan melindungi diri serta menjaga eksistensi hawa nafsunya dalam euforia kehidupan di dunia. Untuk memenuhi kebutuhan jasmani tersebut, maka manusia akan digiring untuk membeli produk-produk dari hasil industrialisasi yang dipikir dan dirasakan perlu. Sebagai akibat dari program rekayasa kehidupan yang telah menjadi paradigma barunya (new paradigm). Yang sudah barang tentu harus mengeluarkan sejumlah angka-angka yang tertera dalam lembaran-lembaran kertas yang nantinya akan didigitalisasi juga oleh sistem global. Ketahuilah bahwa dibalik Gadget yang melekat pada diri kita sehari-hari ada sutradaranya. Sehingga, Gadget tersebut bukan saja merupakan teknologi yang dapat dan telah mencuri seluruh data dan informasi dari masing-masing pribadi kita. Tetapi juga sedang mencatat setiap aktivitas kehidupan yang kita kerjakan ataupun lakukan melalui aplikasi. Aplikasi yang merepresentasikan aktivitas kehidupan yang dikendalikan oleh source code dari setiap aplikasi yang ada di dalamnya. Setiap aktivitas kehidupan, baik atau buruk yang terjaring lewat internet, yang telah mereka siapkan. Semuanya akan tersimpan secara otomatis pada sistem database. Sehingga kebebasan hidup sebagai manusia merdeka secara otomatis sudah tersandera. Mekanisme tersebut persis dengan mekanisme sel-sel dalam tubuh manusia yang merekam catatan dosa dan menyajikannya kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta secara real-time, yang dihubungkan juga oleh gelombang frekwensi. Jadi, semakin jelaslah bahwa Gadget selain merupakan teknologi yang disiapkan untuk memata-matai aktivitas kehidupan manusia. Gedget juga merupakan teknologi yang ingin mengambil alih kendali (kontrol) jiwa manusia dari otoritas kendali Tuhan, yakni sebagai hamba Tuhan untuk diselewengkan (refocusing) menjadi hamba sistem dunia bagaikan robot (benda hidup tertapi tidak punya jiwa). Dengan kata lain, Gadget telah menjadikan manusia budak hawa nafsu duniawi. Penulis adalah Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Mantan Direktur Narkoba Bareskrim Polri (2015).

Jenazah Ustadz Maheer Perlu Diotopsi Tim Dokter Independen

by M. Rizal Fadillah Bandaung FNN - Ustadz Maheer At Thuwailibi telah meninggal dalam status tahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Mengapa dalam keadaan sakit, masih tetap dipaksakan untuk ditahan? Mengapa tidak ditangguhkan saja dulu penahanannya sesuai permohonan penagguhan penahanan dari istri almarhum Ustadz Maheer? Tentu dengan alasan terbuka meninggalnya Ustadz Maheer adalah akibat sakit yang belum jelas jenis penyakitnya apa? Konon masalah lambung. Diantara kuasa hukumnya, ada yang mencurigai kematian Ustadz Maheer itu sebagai meninggal tidak wajar. Sebab itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berniat menyelidiki sebab meninggalnya ustadz Maheer. Sayangnya niat baik Komnas HAM tersebut direspon dengan tidak antusias oleh publik. Ada rasa tak percaya kepada Komas HAM berdasarkan pengalaman penyelidikan atas terbunuhnya enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Khawatirnya hasil penyelidikan Komnas HAM malah mirip-mirip dengan penjelasan polisi. Meski ada dugaan yang menguat di masyarakat. Tetapi tidak bisa dipastikan bahwa Ustadz Maheer meninggal sebagai korban dari pembunuhan politik. Apalagi akibat diracun segala. Untuk itu, ada baiknya dilakukan otopsi dan klarifikasi kebenaran bahwa pendakwah ini meninggal dengan wajar. Bukan meninggal karena diracun atau sejenisnya. Otopsi melibatkan tim kesehatan yang independen. Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dokter Mer-C dan Dokter Rumah Sakit Muhammadiyah perlu dilibatkan dalam tim yang melakukan otopsi. Sebab bagaimanapun kematian dalam status sebagai tahanan patut untuk dicurigai. Aapalagi akses publik yang terbatas terhadap tahanan adalah faktor-faktor keniscayaan itu. Dalam sejarah, kematian aktivis HAM Munir dalam perjalanan pesawat Garuda 747 rute Jakarta-Amsterdam Belanda tahun 2004 adalah bukti pembunuhan politik dengan diracun lewat makanan dan minuman. Pilot senior pesawat Garuda, almarhum Pollycarpus Budihari yang ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Munir. Pollycarpus dihukum oleh Pengadilan dengan penjara 14 tahun. Pada bulan Oktober 2020 lalu, Pollycarpus meninggal dunia setelah selesai menjalani hukuman di penjara. Publik sangat faham kalau Pollycarpus hanya sebagai fasilitator pembunuhan Munir. Orang yang dipilih untuk dikorbankan. Sedangkan aktor intelektual hingga kini tidak terungkap. Aktornya masih bergentayangan sampai sekarang. Kecurigaan pembunuhan melalui racun juga terjadi pada saat meninggalnya Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Malik dengan indikasi wajah yang penuh bintik merah. Husni Malik menjadi penanggungjawab atas pelaksanaan Pilpres 2014. Tidak ada penyelidikan apa-apa atas kematiannya itu. Dugaan bisa iya bisa juga tidak, karenanya semestinya ada otopsi dan penyelidikan yang mendalam. Dugaan racun yang mengakibatkan kematian juga terjadi pada mantan Jaksa Agung, alhmarhum Baharuddin Lopa. Publik mengenal Baharuddin Loppa sebagai Jaksa Agung yang tidak memberi ampun kepada para koruptor yang terlibat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLIB). Lopa meninggal di Arab Saudi. Jasadnya hitam, yang diduga kebakaran akibat racun. Racun sebagai alat pembunuhan politik telah tercatat sejak lama digunakan oleh penguaa. Pada masa Kerajaan Romawi Kuno, para Kaisar maupun lawan-lawan politiknya biasa dibunuh dengan cara diracun. Racun menjadi salah satu alat paling ampuh untuk membunuh lawan. Nero dan Caligula membunuh penentangnya dengan berbagai cara, diantaranya dengan racun. "Janda Hitam dari Roma" tiga peracik racun terkenal yang dipekerjakan oleh Kaisar untuk membunuh lawab politiknya adalah Martina, Locusta, dan Canidia. Kaisar perempuan Cina Wu Zetian juga gemar meracun pihak yang berseberangan dengannya, termasuk terhadap anggota keluarganya sendiri. Dilakukan secara terang-terangan maupun diam-diam. Alexei Novalny tokoh oposisi Rusia koma karena diracun pada teh yang diminum saat tinggal landas dari bandara Omsk. Kim Jong Nam, adaik tiri penguasa tertinggi Korea Utara Kim Jong Un, bulan Februari 2018 dibunuh di Kuala lumpur dengan mengoleskan racun saraf kimia VX di wajahnya. Racun menjadi alat paling ampuh untuk menghabisi lawan politik. Georgi Markov yang menjadi salah satu pengeritik Pemerintah Bulgaria meninggal karena diracun dengan zat O,2 miligram risin. Dan banyak lagi tokoh politik yang dibunuh dengan cara diracun. Tentu saja tidak boleh ada kecurigaan, kalau Ustadz Maheer yang meninggal di Rutan Bareskrim Polri karena diracun. Untuk itu, perlu dilakukan otopsi oleh tim independen. Supaya tidak ada kecurigaan yang berkiatan dengan wafatnya ustadz Maheer, perlu dioptimalkan klarifikasi dan pertanggungjawaban. Perlu dilakukan dengan pembuktian kesehatan dan penanganan pada saat masih sakit. Sebelumnya publik telah dikejutkan oleh peristiwa sesak nafas berat yang dialami Habib Rzieq Shihab (HRS) dalam tahanan Polda Metro Jaya. Sehingga tabung oksigen selalu disiapkan untuk HRS. Kini pun konon HRS masih sakit-sakitan. Tragis memang prilaku penegak hukum republik ini. Harus memaksakan kewenanganya untuk menahan orang di dalam Rutan, meskipun dalam keadaan sakit. Entah sila kemanusiaan yang adail dan beradab yang seperti apa yang dipahami oleh mereka? Dimana saja sila yang kedua dari Pancasila ini ditempatkan dalam panduan penegakan negeri ini? Ulama dan aktivis Islam serta pejuang demokrasi banyak ditahan dan dalam proses peradilan. Akses komunikasi sangat terbatas dengan alasan pandemi Covid 19. Agar terjamin kondisinya dan terhindar dari kecurigaan atas perlakuan yang di luar hukum dan melanggar HAM, perlu selalu terinformasikan keadaannya baik kepada keluarga maupun masyarakat luas. Sebenarnya kasus Ustad Maheer hanya berkaitan dengan delik penghinaan yang sifatnya "personal". Rasanya tidak perlu sampai mendapat tekanan hukum yang berlebihan, sehingga menderita sakit parah di dalam Rutan Bareskrim. Ungkapan Novel Baswedan perlu menjadi pelajaran "orang sakit kenapa dipaksakan ditahan?". Menurutnya kematian ini bukan persoalan sepele. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Presiden Jokowi Tambah Lucu, Belajar dari Srimulat Ya?

by Jarot Espe Surabaya, FNN- Malam itu Kabul Tessy Basuki muncul di panggung Srimulat dengan monolog genit nan ceriwis. Khas peran pembantu rumah tangga. "Aku iki sakjane bingung," ujar Tessy menyatakan rasa gelisah atas perilaku majikannya. "Dikongkon dadi pembantu, wis tak turuti." (disuruh jadi pembantu, saya jalankan). "Dadi tukang kebon, oke. sopir, opo maneh." (jadi tukang kebun, oke. jadi supir pun, apalagi). Pokoknya, sang majikan meminta Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik (nama beken Kabul Basuki di panggung) untuk berperilaku sebagaimana pemilik rumah. Merasa sama-sama memiliki. Namun begitu Tessy mulai melirik istri majikan yang gemerlap ditimpa kilau perhiasan permata di jari tangan dan leher, sang bos marah besar. Kalap..! "Kan dia bilang anggap saja rumah sendiri. Lha bener kan.. apa salahnya kalau istri bos menjadi milik bersama." Seisi panggung serasa runtuh oleh gelak tawa. Tessy mewakili prototype pelawak khas Srimulat. "Unik, nyleneh. Saat muncul di panggung, dia harus mampu menarik urat bibir penonton untuk tersenyum," ujar Teguh Slamet Raharjo berbagi tips keberhasilan para pelawak didikannya. Panggung Srimulat merupakan paradoks kehidupan karena semata-mata memberi hiburan, meski mereka sesungguhnya perlu dihibur karena himpitan ekonomi. Ingat Srimulat, saya jadi ingat Presiden Jokowi, karena mereka sama-sama dilahirkan di Kota Solo. Maaf, wajah Pak Jokowi juga menggemaskan. Sumpah lucu, tapi beliau tidak pernah tertawa saat berbicara, padahal itu kocak, menghibur. Dulu, menjelang Pilpres 2014, Pak Jokowi dilekatkan sebagai sosok Ratu Adil alias Satrio Piningit atau pemimpin yang dinantikan karena akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Ketika itu ditampilkan foto Pak Jokowi yang bersahaja. Mimiknya serius, meski di belakang hari mengundang senyum sinis, karena hingga Pak Jokowi terpilih menjadi presiden kedua kali, belum terlihat tanda-tanda kehadiran Ratu Adil. Ekonomi menukik tajam ke bawah, aktivis pro-demokrasi dipenjarakan. Yang paling gress (terbaru) ketika Pak Jokowi merasa rindu dikritik. Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan, kata bapak presiden dalam sambutan laporan akhir tahun Ombudsman RI, 8 Februari lalu. Banyak yang ingin tersenyum pak, tapi ditahan-tahan, karena takut terjerat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Takut disangka menghina Kepala Negara, khawatir dianggap menyebarkan berita bohong alias hoax, bahkan dilaporkan ke polisi dengan framing menebar kebencian. Kalau Pak Jokowi gak percaya, tanyakan ke ekonom Kwik Kian Gie yang dibuzzer habis-habisan lantaran mengemukakan pendapat berbeda. Padahal niatnya cukup baik, memberi langkah alternatif. Tapi buzzer tak mengenal kosa kata kritik. Mereka membalas Kwik, bahkan menyentuh ranah pribadi Pak Kwik. Atau Pak Jokowi bisa ngecek di akun twitter, karena mantan menteri Anda, Susi Pudjiastuti menyampaikan langsung keluhannya. Bu Sus menulis, pandemi sudah cukup membuat depresi sosial, ekonomi dan kesehatan. Ia memohon presiden menghentikan ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama, ras, suku ataupun relawan. Kekhawatiran Bu Susi berbanding lurus dengan pernyataan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang menilai pembuatan UU ITE seharusnya menekankan perlindungan dan keamanan informasi masyarakat. Usman tidak melihat urgensi pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian di dalam UU ITE. Menurutnya, kedua pasal itu dihapus saja, apalagi pencemaran nama baik sudah ada di KUHP. Kembali ke Bu Susi, mengapa permohonan penghentian ujaran kebencian ditujukan ke Pak Jokowi? Karena bapak adalah Presiden Indonesia, yang dengan gamblang meminta agar masyarakat tidak ragu-ragu melontarkan kritikan. Terus terang pak, saya tersenyum. Bukankah tema lawakan Srimulat sering menggunakan paradoks semacam itu. Pembantu yang diperankan Tessy, diminta untuk berperilaku sebagaimana lazimnya sang majikan. Anggap saja rumah sendiri, kecuali berbagi ranjang dengan istri. Nah jangan-jangan yang dimaksud Pak Jokowi seperti majikan Tessy. Lontarkan kritikan, asalkan jangan ke Pak Jokowi. Ahh... Pak Jokowi begitu. Tapi cukup menghibur kok. Penulis adalah Pemerhati Seni.

Meski Diganjal, Anies Tetap Berpeluang Menjadi Presiden 2024

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sepanjang tidak terbuka jalan kriminalisasi, maka Anies Baswedan Gubernur DKI sulit untuk dibendung menjadi Presiden Republik Indonesia 2024-2029 nanti. Baik elektabilitas maupun popularitas yang cukup tinggi, sehingga sampai sekarang belum mampu ada yang bisa menandingi. Semua kandidat yang bermunculan sekarang, masih jauh di bawah Anies. Meskipun belum dipastikan Partai Politik yang bakaln menjadi pengusung Anies, tetapi kendaraan itu akan mudah untuk didapat bila sudah tersedia elektabilitas dan popularitas tinggi. Gula selalu didatangi semut. Partai Nasdem misalnya, sudah memberikan sinyal dan ancang-ancang kalau bakal mendorong Anies sebagai Calon Presiden pada Pilpres 2024 nanti. Saat ini rezim status quo sedang berupaya dengan segala cara untuk mengganjal laju Anies. Konspirasi dilakukan dengan sangat masif. Baik itu melalui bully buzzer, opini yang melemahkan, bahkan melalui peraturan perundang-undangan. Akting "blusukan" Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini juga bagian dari upaya-upaya penjegalan tersebut. Namun Anies Baswedan tetap bergerak dengan prestasi dan penghargaan yang dinilai obyektif. Tidak mengeda-ngada dan melakukan rekayasa. Tidak juga membuat pencitraan di sana-sini. Serangan demi serangan dilayani Anies dengan sikap tenang dan modal pengalaman yang matang. Semua serangan dijawab dengan kerja nyata. Bukan dijabwab dengan kata-kata. Terakhir rencana revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada serentak untuk dilaksanakan tahun 2022. Namun dimentahkan oleh "buldozer Jokowi” yang mengarahkan Pilkada tetap tahun 2024. Bersamaan dengan Pileg dan Pilpres. Sebagian partai koalisi pendukung yang semula menghendaki Pilkada di 2022 dan 2023 segera balik badan mengamini. Dengan demikian, berubah sikap semua Partai Politik dari semangat awal yang menghendaki revisi UU Pildaka, kecuali PDIP. Dengan Pilkada tahun 2024, maka Anies harus menyerahkan jabatan Gubernur kepada Plt Gubernur pada tahun 2022. Maksud konspiratifnya adalah Anies Baswedan dalam kompetisi Pilpres 2024 tidak lagi berstatus sebagai Gubernur DKI. Ini dianggap kelemahan dari Anies kelak. Benarkah rencana? Belum tentu benar juga. Bisa jadi ini merupakan keuntungan politik untuk Anies. Sebab, jika Pilkada dilakukan pada tahun 2022, meskipun Anies berpeluang memenangkan kompetisi untuk menjadi Gubernur lagi, akan tetapi biaya ekonomi dan politiknya sangat besar untuk mampu fit kembali bertarung di Pilpres 2024. Sebaliknya, dengan konsentrasi penuh bagi Pilpres 2024, maka persiapan akan lebih baik dan ringan. "Kampanye" lebih dini dapat berjalan, dukungan pun mulai digalang jauh-jauh hari. Anies bisa keliling Indonesia dengan mudah, tanpa terganggu dengan tugas-tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta. Waktu lebih banyak untuk konsolidasi dan menyapa rakyat di daerah-daerah. Jadi agenda yang semula untuk "memotong" Anies, akan berubah menjadi "menolong". Suka atau tidak, mendukung atau menolak, namun faktanya hari ini Anies Baswedan masih menjadi kandidat terkuat. Belum terlihat ada lawan yang sepadan. Kesempatan besar untuk melakukan pilihan Partai. Pilpres 2024 menjadi momen untuk mengukuhkannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Upaya mengganjal Anies adalah pengakuan betapa sulit untuk mengalahkannya bila sudah memasuki fase kompetisi. Upaya yang kemungkinan hasilnya hanya sia-sia. Bahkan bisa jadi sebaliknya, semakin meningkatkan elektabilitas dan popularitas Anies. Apalagi pengakuan lembaga-lembaga internasional atas prestasi dan kemampuan Anies semakin berdatangan dari mana-mana. Ada yang menarik dari pandangan mantan Waketum Partai Gerindra Arief Poyouno yang menyatakan bahwa satu-satunya orang yang dapat mengalahkan Anies Baswedan di Pilkada DKI adalah Gibran Raka Buming. Jika Pilkada dilaksanakan tahun 2022. Tentunya setelah menjadi Gubernur, Gibran seperti ayahnya mungkin saja maju lagi untuk Pilpres 2024. Entah serius atau main-main, Mas Arief ini berpandangan seperti itu. Sulit untuk ditebak. Sama sulitnya dengan melihat status Gibran menjadi kompetitor melawan Anies sebagai Walikota Solo atau pengusaha Martabak? Yang jelas Gibran harus banyak belajar politik dulu sebelum mimpi terlalu jauh. Matang di pohon yang bukan karbitan, tidak menjadi mainan taipan, atau bermodal sekedar anak dari seorang Presiden. Istana bukan panggung drama atau sandiwara. Istana bukan tempat bergaya untuk para pemain sandiwara, lalu penonton pun terpaksa tertawa he he he, hanya karena rasa kasihan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Jokowi Rindu Kritikan Chrisye Beri Jawaban

by Jarot Espe Surabaya, FNN- Siapa tak kenal Christian Rahadi yang populer dengan sebutan Chrisye? Selain mewariskan album prima, legenda pop Indonesia itu menyimpan kisah religius di balik penciptaan karya fenomenal yang sarat makna. Chrisye larut dalam tangis, hatinya begitu terguncang, setiap kali mencoba melantunkan lagu yang baru tercipta. Ia akhirnya menyerah, sementara Yanti istrinya, tak kalah bingung. Chrisye pun bertanya, dari mana sastrawan Taufik Ismail yang diminta membuat syair lagu itu mendapat ilham? "Dari langit!" jawab Taufik Ismail yang bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah. Ia mengaku menukil surat Yasin setelah berhari hari gagal menemukan syair religius sesuai permintaan Chrisye. Di kemudian hari, publik mengenal lagu fenomenal itu bertitle "Ketika Tangan dan Kaki Berkata". Taufik tidak menyadur seluruh surat Yasin, melainkan hanya ayat 65. Namun itu sudah cukup menggambarkan peringatan keras dari Sang Khalik. Tidak berlaku pembatas untuk bersandiwara. Semasa hidup, manusia memang pandai bersandiwara, lihai menyusun kata, pintar beralibi untuk menutupi aksi. Berapapun jumlah buruh menuntut keadilan atas kedzoliman rezim, yang terjawab adalah sikap berpura-pura, seolah tidak terjadi apa-apa. Ranah keadilan diklaim merupakan hak mutlak penguasa. Begitu pula, manakala nyawa melayang, tubuh bergelimpangan di ruas tol akibat diterjang peluru polisi, yang muncul adalah skenario mulut manusia. Padahal ini menyangkut nyawa khalifah di muka bumi, yang tak seorangpun sanggup mengembalikan ruh yang terlepas dari raga. Dalam batas ini, karya klasik Chrisye dan Taufik Ismail, sampai kapan pun tetap relevan. Betapa tidak, ini terkait janji Allah. Seluruh mulut manusia akan terkunci rapat, tidak bisa bicara. Ini juga yang akan dialami ratusan petugas KPPS yang tewas selama pelaksanaan Pemilu 2019. Kelak anggota tubuh lain yang akan menggantikan peran mulut, untuk memberikan testimoni. Kesaksiannya sahih, tak bisa diragukan, karena diungkapkan saksi yang berada di tempat dan waktu yang tepat. Selama ini tidak ada penyelidikan atas kasus kematian petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Desakan berbagai kalangan agar pemerintah mengungkap kematian petugas KPPS menguap seiring berjalannya waktu. Padahal penyelidikan diperlukan untuk mengurai akar permasalahan agar tidak terulang di kemudian hari. Benarkah pileg dan pilpres tahun 2019 yang digelar serentak, telah menguras tenaga petugas KPPS dan menjadi penyebab kematiannya? Ataukah ada faktor lain? Dan bayang-bayang kematian petugas KPPS di tahun 2019 kembali terungkap ke permukaan, mengiringi proses politik di Tanah Air. Berdasarkan UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, pelaksanaan Pilpres, Pileg dan Pilkada dilakukan serentak di tahun 2024. Awalnya, hanya PDIP yang menolak revisi UU Pilkada. Artinya Kepala daerah yang berakhir masa baktinya di tahun 2022 akan diganti oleh pejabat pelaksana tugas (PLT). Adapun mayoritas partai lain, menginginkan revisi, untuk mencegah korban berjatuhan. Sebab pada Pilpres dan Pileg 2019, sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dunia tanpa diinvestigasi. Revisi UU untuk memisahkan pelaksanaan Pilkada di tahun 2022 dan 2023. Adapun Pilpres dan Pileg tetap digelar di tahun 2024. Revisi UU Pilkada diharapkan juga membantu pemilih jangan sampai gagal fokus. Sebab dengan Pemilu serentak tahun 2024, puluhan nama serta wajah kandidat dicetak memenuhi kartu coblosan. Namun apa yang terjadi kemudian, sungguh diluar nalar akal sehat. Undangan Presiden Jokowi kepada pimpinan parpol ke istana, mengubah peta politik. Hanya PKS dan Partai Demokrat yang tetap menginginkan revisi UU. Nasdem pun berbelok arah mendukung Pak Jokowi. Partai partai itu dengan enteng menyampaikan alibinya, meskipun tak bisa menghapus kesan motif politis di balik pelaksanaan pesta demokrasi serentak tahun 2024. Bercermin pada Pemilu terakhir, apakah para politisi dan Pak Jokowi, bertanggung jawab jika nantinya korban jatuh bergelimpangan pada pemilu serentak 2024? Atau akan dibiarkan sebagaimana peristiwa tahun 2019? Terlontar pula pertanyaan bernada skeptis; adakah cara ampuh untuk menggugah hati nurani? Mereka tampaknya lupa atau pura pura alpa, atau memang benar benar tidak paham pesan religi lagu Chrisye yang syairnya dinukil dari firman Allah SWT. Jadi Pak Jokowi, ketimbang Anda berlama-lama menunggu kritikan, sebaiknya lebih bermanfaat digunakan untuk berlatih bernyanyi, meneladani sosok Chrisye. Sepanjang kaki masih berpijak di bumi, mumpung mulut belum rapat terkunci. Mari pak, bernyanyi untuk mengingat mati. Penulis adalah Pemerhati Seni

Pak Hakim, Jangan Hukum Syahganda dan Jumhur

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum (Bagian Pertama) Ternate FNN - Tim penasihat hukum Syahganda yang berjumlah 25 orang terlihat skeptis terhadap persidangan Syahganda. Sikap itu diperlihatkan, pada satu sidang dengan walk out. Skeptisisme itu terlihat juga pada persidangan Jumhur Hidayat. Sama, ada keraguan terhadap bobot kejujuran hakim yang menyidangkan perkara mereka. Kalau kasus yang dipaksankan kepada Sahghanda, telah memasuki pemeriksaan bukti. Ini berbeda dengan peradilan untuk kasus yang dipaksakan kepada Jumhur. Sidang perkara Jumhur baru sampai tahap putusan sela. Tetapi apapun itu, skeptisisme telah melilit kencang tubuh kejujuran peradilan. Kemuliaan Artifisial “Yang Mulia”, itu panggilan untuk hakim di peradilan manapun. Sebutan itu harus duiberikan kepada mereka saat para hakim yang memeriksa dan mengadili sebuah perkara, apapun itu. Hakim, entah berkelakuan baik, berpengetahuan top atau tidak, harus dipanggil dengan sebutan “Yang Mulia” kala mereka memeriksa dan mengadili perkara. Itu absolut. Sebegitu mulianya hakim, sehingga penghormatan kepada mereka diberikan sejak hakim itu memasuki ruang sidang. Bahkan hingga meninggalkan ruang sidang itu. Berdiri dan bersikap hormat, itu sikap yang diharuskan oleh adab peradilan kepada siapapun kala hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang. Begitu peradaban hukum memuliakan para ahli yang putus perkara ini. Sebutan mewah itu disodorkan peradaban hukum, karena “adil” bekerja dan menemukan bentuk kongkrit melalui putusan mereka. Peradaban hukum tak membekali mereka dengan senjata dan pasukan. Tidak. Peradaban hukum hanya membekali mereka dengan “independensi.” Itu benteng dan senjata mereka yang tercanggih. Peradaban hukum betul-betul memandang mereka sebagai hal penting ,yang tidak terkira. Contemp court, untuk tujuan itu, disodorkan untuk mengaja kehormatan mereka. Tetapi semulia-mulianya hakim didunia ini, pasti tak lebih mulia dari wali Allah Subhanahu Wata’ala. Kemulian hakim diberi oleh hukum, sedangkan kemuliaan para wali Allah datang dengan sendirinya. Wali malah menyembunyikan kemuliaannya dihadapan manusia. Kemuliaan yang didemonstrasikan, sejatinya bukan kemuliaan. Itu sebabnya wali tak mencari dan meminta orang memuliakan mereka. Sama sekali tidak. Hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang tahu kewalian mereka. Top markotop. Hakim pasti tak mencarinya. Kemulian mereka diberikan oleh peradaban hukum. Karena sejumlah pertimbangan, yang epistemologisnya jelas. Itulah beda hakim dan wali. Hakim dimuliakan oleh peradaban politik dan hukum karena dalam sifat epistemologisnya berinduk pada keadilan. Main golf, bukan pekerjaan wali. Entah kalau hakim. Boleh jadi ada yang melepas penat dengan cara main golf. Mungkin seiring datangya kepenatan berurusan dengan tumpukan erkas yang harus diselesaikan. Apakah hakim-hakim di pengadilan negeri Depok, yang saat ini sedang memeriksa, mengadili dan akan memutus perkara sahabat Dr. Syahganda Nainggolan, melepas penat dengan cara golf? Entahlah. Hebatkah mental hakim-hakim ini? Entahlah. Sikap hakim yang tidak membolehkan Dr. Syahganda Nainggolan hadir di persidangan merupakan sikap terkordinasi? Entahlah. Bila ya, dengan siapa kordinasi dilakukan? Layakkah kordinasi dipertimbangan dalam menganalisis kenyataan pahit nan pedih ini? Tak ada alasan untuk spekulasi bicara. Hakim-hakim yang hebat atau biasa-biasa saja, dimanapun di dunia ini tahu, mereka bukan tukang hukum orang. Pasti itu. Tukang hukum itu pekerjaan orang tak berakal. Bandit pun belum tentu mampu melakukannya. Mereka juga punya rasa, punya belas kasih, punya akal dan hati. Para hakim didunia ini tahu pekerjaan mereka adalah menemukan hukum untuk perkara yang mereka periksa, adili dan putus. Tidak lebih. Menemukan itu setara pekerjaan meniti titian tipis terjal. Sekejab saja hilang fokus, keseimbangan melayang, anda akan terjatuh, terjerembab dalam derita nan pedih. Itu dicontohkan oleh hakim Syuraih, sang ahli fiqih, yang diangkat Sayidina Abubakar menjadi hakim ini. Syuraih, hakim top sepanjang masa ini, dalam sejarah peradaban hukum Islam terukir utuh dengan konsistensi, tawaddu tanpa batas. Tawaddu, karena ia mengerti risiko dirinya, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai hakim. Kedalaman pemahamannya terhadap Din Islam, hak dan bathil, asbabun nudzul teks dari kalam Allah, sungguh mengagumkan. Syuraih tahu keharusan berlaku adil dalam memutus perkara. Dia juga tahu akhir hidup yang pasti. Kedalaman ilmunya menenggelamkan diri di lautan kalam Allah, tersaji menjadi kunci utama dia menghidupkan samudara keadilan. Sebab di jalan itu dia memperlakukan para Khulafa Ar-Rashidin, Sayidina Umar dan Sayidina Ali, sebiasa dia memperlakukan rakyat biasa. Dia, terlihat pada perkara baju besi yang diklaim Sayidina Ali Bin Abi Thalib, memperlakukan teks tidak sebatas huruf demi huruf. Dia mengerti yang dikenal dengan beyond the text. Tahu penyebab lahirnya teks itu. Pengetahuannya membawa dirinya menyelami apa yang disebut asbabul nudzul-nya, atau apa yang P.S Atiyah, ahli hukum Inggris sebut sebagai black box. Syuraih tak mungkin dicampakan sejarah. Ia terlalu anggun untuk dibiarkan tercecer dalam memori pemikiran dan peradaban peradilan Islam. Tak canggung, atau harus berkoordinasi dengan Sayidina Ali. Ia memutus berdasarkan hukum dan ilmu yang dipunyainya. Status Sayidina Ali sebagai Imam dan Amirul Mukminin, tak mampu membuat Syuraih kehilangan iman. Kebesaran Sayidina Ali, tak membuatnya membungkuk khas jongos, yang terampil dengan suka menjilat kekuasaan. Hebat, sebab adil itu perkara besar. Lebih besar dari semesta. Adil itu jelas, bukan perkara politik kelas pecundang. Bukan. Ini perkara, yang terlalu besar untuk dianggap biasa. Adil bukan perkara teknis hukum. Adil bukan perkara, yang John Rawls, Hakim Agung Amerika yang top itu sebut fairness. Memahami teks, adalah step awal absolut bagi hakim. Tetapi teks tidak pernah sempurna sebagai penanda maksud pembuatnya. Teks selalu memiliki konteks. Konteks hanya dapat dimengerti kalau diinterpretasi. Interpretasi, bukan kegiatan yang lepas tuntas dari kedalaman pengetahuan dan derajat nilai yang dianut oleh hakim. Interpretasi tidak mungkin tidak merupakan pengujian, tes, terhadap keselarasan norma dengan prinsip-prinsip yang melembaga dalam sistem hukum, yang menjadi bagian integralnya. Derajat keterterimaan norma yang bersifat hipotetikal, dan justifikasi keputusan yang didasarkan padanya, tergantung pada seberapa tepat sebab timbulnya aturan itu dimengerti secara utuh oleh hakim. Cukupkah itu? Tidak. Itu masih tergantung pula pada apakah derajat keterterimaannya terlihat konsisten dan koheren atau tidak. Praktis aturan yang bersifat hipotetik harus dicari konteksnya, lalu ditimbang konsistensi dan koherensinya dalam penerapannya. Itulah jalan kecil menemukan hukum yang adil. Telusuri Konteks Lahirnya UU Hakim dalam perkara kawan-kawan ini, mau atau tidak mau, harus menemkukan secara tepat konteks teks pasal 14 dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Menyiarkan “berita atau pemberitaan bohong” atau “kabar yang berlebihan” bukan teks tanpa konteksnya. Konteksnya harus kongkrit, tak hipotetikal. Teks itu harus dikenali dengan sangat cermat oleh majelis hakim. Terminologi “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong” dalam pasal 14 ayat (1) itu, untuk semua alasan apapun, terus terang, tak memerlukan penjelasan ahli bahasa. Sama sekali tidak perlu. Tidak diperlukan juga ahli bahasa, juga ahli administrasi negara untuk membuat terang maksud norma “kabar yang tak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” dalam pasal 15 UU 1 Tahun 1946 itu. Sekali lagi tidak. Mengapa? Tidak ada ilmu hukum yang dapat dipakai menunjuk “berita-berita yang telah tersiar oleh media resmi” sebagai berita tak pasti. Terminologi “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong” dalam pasal 14 ayat (1) itu, untuk semua alasan apapun, terus terang, tak memerlukan penjelasan ahli bahasa. Sama sekali tidak perlu. Tidak juga diperlukan ahli bahasa untuk membuat terang maksud norma “kabar yang tak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” dalam pasal 15 UU 1 Tahun 1946 itu. Sekali lagi tidak. Mengapa? Tidak ada ilmu hukum yang dapat dipakai menunjuk “berita-berita yang telah tersiar oleh media resmi” sebagai berita tak pasti. Berita mengenai demonstrasi buruh, itu nyata. Dapat diverifikasi. Demonstrasi yang diberitakan itu, nayat-nyata terjadi. Itu sebabnya, untuk alasan apapun, berita yang diberitakan oleh siapapun yang merujuk berita itu, atau berita lain dari siapapun, tidak dapat dikategori sebagai “berita tak pasti, dan bohong yang disengajakan menciptakan keonaran”. Begitu Pak Hakim. Kecuali jongos kekuasaan, ilmu hukum tidak menyediakan argumen untuk siapapun menginterpretasi, apapun metode atau pendekatannya, demonstrasi sebagai keonaran. Tidak itu. Demonstrasi yang ricuh, jelas tidak sesuai dengan hukum. Onarkah ini? Tidak juga. Kericuhan itu hanya berakibat secara hukum menjadi alasan hukum demonstrasi dibubarkan. Kalau ada yang membakar, dan sejenisnya, ilmu hukum mengharuskan pelakunya dihukum. Hanya itu titik. Tidak lebih dari itu Pak Hakim. Tindakan melawan hukum pada demonstrasi itu, sama sekali tidak dapat ditunjuk ilmu hukum sebagai “keadaan hukum yang mengubah sifat demontrasi itu sebaga peristiwa hukum sah menjadi melawan hukum. Ini juga disebabkan norma “memberitakan berita yang berlebihan dan dengan sengaja membuat onar” sama sekali tidak bersifat hipotetikal. Norma “menyebarkan berita bohong, dan dengan sengaja menerbitkan keonaran” dalam pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946, menunjuk keadaan kongkrit Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Norma pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) juga pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 ini bertolak dari keadaan kongkrit pada Dr. Syahganda, Jumhur dan teman-temannya. Situasi politik dan keamanan jauh dari beres dalam arti minimal sekalipun di tahun 1946 itu. Kabinet baru terbentuk tanggal 4 September 1945, organ pemerintah dan negara belum terbentuk. KNIP masih jadi badan pembantu Presiden. TNI baru belum ada. Polisia apalagi, entah dimana? TKR memang dibentuk tanggal 5 Okober 1945, tetapi organisasinya jauh dari masuk akal untuk sebuah negara yang akan berperang. Desas-desus Belanda akan masuk lagi terus menghantui masyarakat. Benar tanggal 15 September 1945 sekutu masuk. Belanda, si tukang jajah membonceng di dalamnya. Namanya NICA, di dalamya ada tentara. Politik dalam negeri tidak juga stabil. Ada ketidakpercayaan terhadap pemerintahan Bung Karno. Pemerintahannya dinilai antek jepang dan fasis. Pemerintah ini dinilai tidak menguntungkan diplomasi Indonesia. Sekutu tidak akan suka bicara dengan pemerintah. Cara untuk menghindarinya adalah mengubah sistem pemerintahan itu. KNIP yang dari awal dirancang menjadi badan yang membantu Presiden, diubah jadi badan legislatif. Karena situasi, maka fungsi itu cukup diselenggarakan oleh satu Badan Pekerja (BP). BP KNIP akhirnya dibentuk, dengan 15 personl. Sjahrir, orang yang sedari awal tidak sejalan dengan Bung Karno memimpin Badan ini. Kelak setelah melewati perbincangan politik yang perlu, sistem pemerintahan diubah. Dinyatakan dalam Maklumat X yang ditandatangani Bung Hatta. Tanggal 14 November 1945 sistem pemerintahan Presidensial dengan Bung Karno sebagai Presiden berakhir. Diganti dengan Kabinet Sjahrir I, diresmikan pada tanggal itu juga. Bung Karno tak keberatan. Tetapi Ali Sastroamidjoyo jelas menilai tindakan ini bertentangan dengan UUD 1945, apapun alasannya. NICA Belanda, beraksi keras. Begitu juga tentara sekutu. NICA malah merekrut sebagian personil KNIL, tentara lokal yang dipekerjakan sebagai tentara mereka. Sebagian lagi, yang terbanyak tentu saja, tetap bekerja untuk Indonesia yang masih muda itu. KNIL Belanda sangat ganas. (Bersambung). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

“Magic If”

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Istilah “Magic If” atau “keajaiban jika”, itu saya kutip dari salah satu cukilan teori ilmu seni peran atau teori teater yang ditemukan dedengkot teater dunia dari Rusia, Constantin Stanislavsky (1863-1938). Salah satu sistem akting yang digagas oleh Stanislavsky adalah “magic if” atau “keajaiban jika”. Sebuah upaya membangun ruang imajinasi seorang aktor untuk dapat mendalami karakter tokoh. Pertanyaan kunci dari metode “keajaiban jika” adalah, “apa yang saya lakukan jika saya adalah tokoh”, “apa yang saya pikirkan jika saya adalah tokoh”, dan “apa yang saya rasakan jika saya adalah tokoh”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membantu aktor untuk lebih jauh mengenal tokoh yang akan diperankannya. Teori itu punya korelasi dengan adagium klasik, "Politics is the art of the possible". (Politik adalah seni dari kemungkinan). Diucapkan Pangeran Otto von Bismarck, kelahiran Schonhausen, Germany (1815 – 1898). Otto adalah seorang pembangun kekaisaran Jerman yang ultra-konservatif dan manipulator ahli. Berbicara tentang seni dan teater, tentu analog dengan panggung pentas yang memantulkan fragmen arus besar kehidupan manusia sehari-hari. Dari atas panggung sejumlah seniman teater mencoba merefleksikan kembali “daun-daun kecil” kehidupan yang tercecer dari pohon-pohon besar yang kadangkala luput ditangkap mata biasa. Daripadanya potret tumpukan catatan kehidupan manusia yang sendu, hipokit, psikopat dan riang gembira tersimpan. Adagium “politik adalah seni dari kemungkinan” yang dimainkan dengan cara berseni membuka sejuta kemungkinan. Itu yang menjelaskan mengapa Stanislavsky menyebutnya “magic if” (keajaiban jika). Bayangan tokoh teater dunia itu berkelebat, ketika terjadi kegaduhan mendadak dunia politik akibat kasus isu “kudeta” Demokrat. Ketua Umum Partai Demokrat AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) menyampaikan pidato resmi di sebuah panggung yang dirancang, Senin siang (01/02/2021). Mewartakan partainya sedang dalam keadaan bahaya. Ada gerakan gelap menggagas pergantian pengurus partai berlambang mercy itu. Melibatkan elemen negara, meminjam istilah Andi Mallarangeng, mantan Menpora kader ideologis SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) presiden dua priode (2004 – 2014). Moeldoko, Jenderal bintang empat purnawirawan TNI – AD yang kini menjabat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) sedang menjadi “tertuduh” selaku aktor utama yang disebut dalam rancangan “kudeta”. Mantan Panglima TNI itu menjadi repot membantah semua “tembakan” yang diarahkan kepadanya. Kasus ini terangkat ke ranah publik. Kasus ini menjadi santapan menu utama “premium time” media elektronik. Mendongkrak nama Demokrat yang selama ini sepi pemberitaan. Jika dirunut seluruh rangkaian tuduhan dan digabung dengan potongan demi potongan bantahan, tidak bisa dipungkiri tersajilah sebuah “teater politik” yang dramatis terkait “politik adalah seni dari kemungkinan”. Jika jeli mencermatinya : Stanislavskypun hadir disitu. AHY memaparkan kegundahannya melalui panggung terbuka yang sangat teateral. Frasa “kudeta” yang seksi dibumbui narasi merangsang “telah mengirim surat kepada presiden Jokowi mempertanyakan langkah Moeldoko”. Mesin giling tersembunyi “magic if” bekerja cepat. Apakah Surat Partai Demnokrat itu ditanggapi atau tidak oleh Jokowi? Itu bukan soal. Isu kudeta Demokrat berhasil melampaui jumlah berita semrawutnya penanganan Covid 19. Tudingan budaya “playing victim” oleh nitizen bermunculan ditujukan kepada AHY. Karekter yang dianggap sebagai penerus “warisan” budaya itu. Sejatinya bagi Moeldoko tembakan isu kudeta menguntungkan dirinya. Sesungguhnya dia sadar bisa menangguk manfaat sebagai “plying victim” di luar rencana. Sejumlah tokoh pendiri Demokrat merapat kepadanya. Membeberkan adanya timbunan keresahan terhadap Demokrat. Ketidakpuasan atas kinerja pengurus lama dibawah komando SBY selaku ketua umum yang kemudian berkelindan kegalauan atas proses keterpilihan AHY sebagai Ketua Umum baru pada Kongres V Demokrat 15 Maret 2020. “Politik itu memang seni dari kemungkinan”. Sesuatu yang tak mungkin dapat diubah menjadi mungkin. Sebaliknya, sesuatu yang mungkin dapat diubah menjadi menjadi tidak mungkin. Dalam politik, strategi dan taktik poco-poco sangat penting. Mendadak berubah itu bukan aib. Bukan kinistaaan, tetapi malah keniscayaan. Kegesitan “merubah haluan mendadak” dimaknai publik sebagai kecerdasan “buatan” khusus yang dimiliki para ketua umum. Semacam bakat alam dan diklaim sebagai karya seni yang bermutu tinggi. Tarik ulur revisi UU Pemilu adalah bagian tak terpisahkan dari dramatisasi teater politik yang sarat dengan “magi if”. Politik sebagai seni dari kemungkinan yang digunakan penguasa, termasuk penguasa partai politik untuk bermain-main dengan kewenangannya. Panggung besar teater politik menampilkan tampang parpol yang terlihat telanjang kehilangan busana idealisme. Telanjang dari perilaku tidak satunya kata dan perbuatan. Tanpa rasa berdosa. Molornya proses Prolegnas (program legislasi nasional) adalah bagian dari inkonsistensi elit politik. Polemik seputar RUU Pemilu dinilai terlalu berkutat pada ambisi kepentingan politik praktis dan kalkulasi parpol dalam menghadapi kontestasi Pemilu 2024. Menurut sementara pengamat, partai yang bersikeras melaksanakan Pilkada Serentak 2024 memiliki kepentingan tersendiri. Inkonsistensi verbal sikap dari partai yang menolak Pilkada pada 2022 dengan alasan Indonesia masih menghadapi pandemi Covid 19 berbanding terbalik ketika penuh sukacita mendukung Pilkada 2020 tetap diadakan 09 Desember 2020. Yang menarik, nyaris semua perubahan haluan politik yang mendadak – mendadak itu, oleh sebuah parpol atau lebih, dibungkus dengan cover apologis : demi kepentingan nusa dan bangsa! Atau harus menyesuaikan diri dengan haluan pembangunan presiden! Politik sebagai seni dari kemungkinan. Bergabung bersama lawan politik sebelumnyapun bukan masalah. Perburuan kekuasaan seakan memberi kartu “kekebalan” moralitas kepada elit politik untuk berubah-ubah seenaknya. Menukarnya dengan opsi lain yang murahan. Karenanya berakibat pupusnya integritas. Mengapa begitu? Bayangan tokoh teater dunia itu-Stanislavsky berkelebat kembali “magic if” itu lagi. Seorang teman mengirim pesan WhatsApp tepat jam tiga subuh saat sholat tahajud. Isinya mengutip sepotong nyanyian “dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah……”. Potongan syair lagu Si Kribo Ahmad Albar itu membuat saya sempat tersenyum . Tetapi, mendadak berubah getir. Getir lantaran benarnya!! Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sasalah Sosial Budaya.