Jenazah Ustadz Maheer Perlu Diotopsi Tim Dokter Independen
by M. Rizal Fadillah
Bandaung FNN - Ustadz Maheer At Thuwailibi telah meninggal dalam status tahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Mengapa dalam keadaan sakit, masih tetap dipaksakan untuk ditahan? Mengapa tidak ditangguhkan saja dulu penahanannya sesuai permohonan penagguhan penahanan dari istri almarhum Ustadz Maheer?
Tentu dengan alasan terbuka meninggalnya Ustadz Maheer adalah akibat sakit yang belum jelas jenis penyakitnya apa? Konon masalah lambung. Diantara kuasa hukumnya, ada yang mencurigai kematian Ustadz Maheer itu sebagai meninggal tidak wajar. Sebab itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berniat menyelidiki sebab meninggalnya ustadz Maheer.
Sayangnya niat baik Komnas HAM tersebut direspon dengan tidak antusias oleh publik. Ada rasa tak percaya kepada Komas HAM berdasarkan pengalaman penyelidikan atas terbunuhnya enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Khawatirnya hasil penyelidikan Komnas HAM malah mirip-mirip dengan penjelasan polisi.
Meski ada dugaan yang menguat di masyarakat. Tetapi tidak bisa dipastikan bahwa Ustadz Maheer meninggal sebagai korban dari pembunuhan politik. Apalagi akibat diracun segala. Untuk itu, ada baiknya dilakukan otopsi dan klarifikasi kebenaran bahwa pendakwah ini meninggal dengan wajar. Bukan meninggal karena diracun atau sejenisnya.
Otopsi melibatkan tim kesehatan yang independen. Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dokter Mer-C dan Dokter Rumah Sakit Muhammadiyah perlu dilibatkan dalam tim yang melakukan otopsi. Sebab bagaimanapun kematian dalam status sebagai tahanan patut untuk dicurigai. Aapalagi akses publik yang terbatas terhadap tahanan adalah faktor-faktor keniscayaan itu.
Dalam sejarah, kematian aktivis HAM Munir dalam perjalanan pesawat Garuda 747 rute Jakarta-Amsterdam Belanda tahun 2004 adalah bukti pembunuhan politik dengan diracun lewat makanan dan minuman. Pilot senior pesawat Garuda, almarhum Pollycarpus Budihari yang ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Munir. Pollycarpus dihukum oleh Pengadilan dengan penjara 14 tahun.
Pada bulan Oktober 2020 lalu, Pollycarpus meninggal dunia setelah selesai menjalani hukuman di penjara. Publik sangat faham kalau Pollycarpus hanya sebagai fasilitator pembunuhan Munir. Orang yang dipilih untuk dikorbankan. Sedangkan aktor intelektual hingga kini tidak terungkap. Aktornya masih bergentayangan sampai sekarang.
Kecurigaan pembunuhan melalui racun juga terjadi pada saat meninggalnya Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Malik dengan indikasi wajah yang penuh bintik merah. Husni Malik menjadi penanggungjawab atas pelaksanaan Pilpres 2014. Tidak ada penyelidikan apa-apa atas kematiannya itu. Dugaan bisa iya bisa juga tidak, karenanya semestinya ada otopsi dan penyelidikan yang mendalam.
Dugaan racun yang mengakibatkan kematian juga terjadi pada mantan Jaksa Agung, alhmarhum Baharuddin Lopa. Publik mengenal Baharuddin Loppa sebagai Jaksa Agung yang tidak memberi ampun kepada para koruptor yang terlibat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLIB). Lopa meninggal di Arab Saudi. Jasadnya hitam, yang diduga kebakaran akibat racun.
Racun sebagai alat pembunuhan politik telah tercatat sejak lama digunakan oleh penguaa. Pada masa Kerajaan Romawi Kuno, para Kaisar maupun lawan-lawan politiknya biasa dibunuh dengan cara diracun. Racun menjadi salah satu alat paling ampuh untuk membunuh lawan. Nero dan Caligula membunuh penentangnya dengan berbagai cara, diantaranya dengan racun.
"Janda Hitam dari Roma" tiga peracik racun terkenal yang dipekerjakan oleh Kaisar untuk membunuh lawab politiknya adalah Martina, Locusta, dan Canidia. Kaisar perempuan Cina Wu Zetian juga gemar meracun pihak yang berseberangan dengannya, termasuk terhadap anggota keluarganya sendiri. Dilakukan secara terang-terangan maupun diam-diam.
Alexei Novalny tokoh oposisi Rusia koma karena diracun pada teh yang diminum saat tinggal landas dari bandara Omsk. Kim Jong Nam, adaik tiri penguasa tertinggi Korea Utara Kim Jong Un, bulan Februari 2018 dibunuh di Kuala lumpur dengan mengoleskan racun saraf kimia VX di wajahnya. Racun menjadi alat paling ampuh untuk menghabisi lawan politik.
Georgi Markov yang menjadi salah satu pengeritik Pemerintah Bulgaria meninggal karena diracun dengan zat O,2 miligram risin. Dan banyak lagi tokoh politik yang dibunuh dengan cara diracun. Tentu saja tidak boleh ada kecurigaan, kalau Ustadz Maheer yang meninggal di Rutan Bareskrim Polri karena diracun. Untuk itu, perlu dilakukan otopsi oleh tim independen.
Supaya tidak ada kecurigaan yang berkiatan dengan wafatnya ustadz Maheer, perlu dioptimalkan klarifikasi dan pertanggungjawaban. Perlu dilakukan dengan pembuktian kesehatan dan penanganan pada saat masih sakit. Sebelumnya publik telah dikejutkan oleh peristiwa sesak nafas berat yang dialami Habib Rzieq Shihab (HRS) dalam tahanan Polda Metro Jaya. Sehingga tabung oksigen selalu disiapkan untuk HRS.
Kini pun konon HRS masih sakit-sakitan. Tragis memang prilaku penegak hukum republik ini. Harus memaksakan kewenanganya untuk menahan orang di dalam Rutan, meskipun dalam keadaan sakit. Entah sila kemanusiaan yang adail dan beradab yang seperti apa yang dipahami oleh mereka? Dimana saja sila yang kedua dari Pancasila ini ditempatkan dalam panduan penegakan negeri ini?
Ulama dan aktivis Islam serta pejuang demokrasi banyak ditahan dan dalam proses peradilan. Akses komunikasi sangat terbatas dengan alasan pandemi Covid 19. Agar terjamin kondisinya dan terhindar dari kecurigaan atas perlakuan yang di luar hukum dan melanggar HAM, perlu selalu terinformasikan keadaannya baik kepada keluarga maupun masyarakat luas.
Sebenarnya kasus Ustad Maheer hanya berkaitan dengan delik penghinaan yang sifatnya "personal". Rasanya tidak perlu sampai mendapat tekanan hukum yang berlebihan, sehingga menderita sakit parah di dalam Rutan Bareskrim. Ungkapan Novel Baswedan perlu menjadi pelajaran "orang sakit kenapa dipaksakan ditahan?". Menurutnya kematian ini bukan persoalan sepele.
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.