OPINI
Civil Disobedience Dimulai
by Zainal Bintang “Saya dengan sepenuh hati menerima motto, pemerintahan yang terbaik yang mengatur paling sedikit, dan saya ingin melihatnya bertindak lebih cepat dan sistematis. Dilakukan, akhirnya mencapai ini, yang juga saya yakini pemerintahan yang terbaik yang tidak mengatur sama sekali, dan ketika orang-orang siap untuk itu, itu akan menjadi jenis pemerintahan yang akan mereka miliki. Saya minta, jangan seketika tidak ada pemerintah, tetapi sekaligus pemerintahan yang lebih baik”. Demikian Filusuf Amerika penggagas Civil Disobidience Henry David Thoreau ((12 Juli 1817 - 6 Mei 1862) Jakarta FNN – Sabtu (10/10). Pernyataan “keras” Profesor Zainal Abidin Mochtar, yang mengajak masyarakat menggugat UU Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan DPR RI pada tanggal 5 Oktober 2020 untuk menempuh jalur “Civil Disobedience”. Sikap “Pembangkangan Sipil” ini sempat mengejutkan. Soalnya pakar hukum tata negara yang akrab dipanggil Uceng itu satu almamater dengan presiden Jokowi di Universitas Gajah Mada(UGM) Yogyakarta. Menurut Uceng, yang kelahiran Makassar (1978), diperlukan teriakan bersama dari masyarakat sipil untuk menyuarakan penolakan terhadap undang-undang tersebut. “Pembangkangan sipil atau apalah bentuknya itu bisa dipikirkan. Tapi maksud saya ini cara kita melihat baik-baik UU ini. Jangan dibiarkan begitu saja. Kalau tekanan publik kuat, itu merupakan bagian dari partisipasi sipil”, ujarnya. Berbicara tentang “Civil Disobedience” membawa ingatan kita kepada penulisnya Henry David Thoreau (12 Juli 1817 - 6 Mei 1862). Filsuf Amerika itu juga dikenal sebagai, naturalis, esais, dan penyair terkemuka. Terkenal dengan esainya yang berjudul "Ketidaktaatan Sipil” (Civil Disobedience). Sebuah argumen untuk ketidaktaatan kepada keadaan yang tidak adil. Judul aslinya "Perlawanan Terhadap Pemerintah Sipil" (Resistance to Civil Government) yang ditulis pada 1848. Di dalam esainya, Thoreau menekankan, individu tidak boleh mengizinkan pemerintah untuk mengesampingkan atau menghilangkan hati nurani mereka. Karenanya mereka memiliki kewajiban untuk menghindari pemberian persetujuan semacam itu. Untuk memungkinkan pemerintah menjadikan mereka agen ketidakadilan. Sikap Thoreau itu lebih karena dipengaruhi dengan kemuakannya pada perbudakan dan Perang Meksiko-Amerika (1846–1848). Filsafat pembangkangan sipil Thoreau kemudian mempengaruhi pemikiran dan tindakan politik dari tokoh-tokoh terkenal seperti Leo Tolstoy (Sastrawan Rusia), Mahatma Gandhi (Pemimpin Spritual India) dan Martin Luther King Jr (tokoh kulit hitam dan Pemimpin Gerakan Hak Sipil di Amerika). Banyak kalangan beranggapan Thoreau sebagai anarkis. Dalam "Pembangkangan Sipil", Thoreau menulis, “saya dengan sepenuh hati menerima motto, pemerintahan yang terbaik yang mengatur paling sedikit, dan saya ingin melihatnya bertindak lebih cepat dan sistematis. Dilakukan, akhirnya mencapai ini, yang juga saya yakini pemerintahan yang terbaik yang tidak mengatur sama sekali, dan ketika orang-orang siap untuk itu, itu akan menjadi jenis pemerintahan yang akan mereka miliki. Saya minta, jangan seketika tidak ada pemerintah, tetapi sekaligus pemerintahan yang lebih baik”. Namun demikian definisi pembangkangan sipil yang paling diterima secara luas, yang ditulis oleh John Rawls (81) pada tahun 1971,- sebagai gerakan tanpa kekerasan dan dilakukan dengan hati-hati, dengan tujuan untuk membawa perubahan dalam hukum atau kebijakan pemerintah. Pengajar di Universitas Cornell dan Universitas Harvard itu yang meninggal 2002, menyebutkan, “pembangkangan publik” adalah gerakan yang dilakukan oleh warga secara terorganisasi, yang bisa jadi melawan hukum, dan digunakan untuk mengoreksi hukum atau kebijakan publik. Gagasan menempuh jalan “pembangkangan sipil” dalam konteks pro dan kontra atas UU Omnibus Law Cipta Kerja tentu bukanlah pekerjaan yang mudah. Mengingat pengesahan UU Cipta Kerja telah final. Palu telah diketuk 5 Oktober 2020 tengah malam. Meskipun konstitusi masih membuka pintu bagi masyarakat yang mau melakukan uji materi (Judicial Review) di Mahkamah Konstitusi (MK). Setidaknya memang, ada tiga jalur yang tersedia untuk menggugat UU itu. Pertama, jalur eksekutif dengan jalan mendesak presiden mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang). Atau meminta presiden tidak menanda tangani UU itu dalam 30 hari. Langkah ini tentu saja berat. Karena inisiator pembentukan UU Omnibus Law adalah pemerintah. Bahkan promotornya Jokowi sendiri ketika menyampaikan pidato pertamanya di MPR setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, Minggu (20/10/2019). Yang kedua melalui jalur yudikatif dengan uji materi (Judicial Review) di MK. Ataukah melalui jalur ketiga, “pembangkangan sipil”. Namun jalur yang manapun mau ditempuh, kelihatannya tetap saja rumit. Persoalannya keadaan sudah kadung kusut. Disebabkan adanya ledakan kerusuhan di awal perjalanan UU itu. Rentetan unjuk rasa buruh, mahasiswa dan pelajar yang masif untuk penolakan di hampir sebagian besar di Indonesia berujung kerusuhan di sejumlah daerah selama tiga hari berturut-turut. Mendorong negara, atas nama penegakan hukum-berhadap-hadapan dengan masyarakat dalam posisi adu kuat! Semangat konfrontatif itu tak terhindarkan. Kasus penangkapan ribuan pelajar dan mahasiswa pengunjuk rasa oleh kepolisian di berbagai daerah dengan kualifikasi sebagai provokator semakin memperkeruh keadaan. Efek destruktif dari konfrontasi itu melahirkan pula masalah baru, karena mendorong akumulasi kekecewaan rakyat lewat saluran dunia maya. Presiden dan wakil rakyat menjadi bahan olok-olok di media media sosial yang penyebarannya bagaikan kilat. Berindikasi tergerusnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan lembaga wakil rakyat secara bersamaan. Distrust! Terlihat upaya keras pemerintah mencoba merehabilitasi keadaan. Melalui banyak menteri dan dua menko, pemerintah menegaskan isu yang mengatakan UU Omnibus Law Cipta Kerja memihak pengusaha atau kapitalis adalah hoaks. Dihembuskan orang tak bertanggung jawab. Jika itu memang benar itu adalah hoaks, menjadi pertanyaan publik, apa saja yang dikerjakan selama ini tim “Public Relation” alias juru bicara negara? Meskipun memiliki sumber daya yang sangat besar nampaknya tidak mampu merembes ke jantung pemukiman masyarakat kelas bawah. Bukankah karena kegagalan tim itu harus dikatakan telah membuat masyarakat kecil menjadi korban dua kali? Pertama, mereka menjadi korban berita hoaks yang bebas tidak terpantau. Kedua, rakyat kecil itu yang buta informasi dan sedang terlilit kesulitan ekonomi orang tuanya, terseret menjadi korban kekerasan aparat atas nama penegakan hukum. Hari ini, bangsa Indonesia tidak bisa bersembunyi dari duka yang melanda negeri ini. Harapan indah tentang kedamaian dan kesejahteraan sebagai janji kampanye terhalang. Di atas segalanya, kerusuhan patut disesalkan. Terutama penyebab awalnya karena telah mengoyak rajutan semangat persatuan. Akankah jalan konstitusional uji materi yang tersedia di MK dapat berlangsung fair play memenuhi harapan masyarakat? Hakim Agung MK harus bisa membuktikan netralitasnya. Itu penting untuk menghapus stigma miring sebagai efek dari hasil revisi UU MK yang memberi perpanjangan masa jabatan kepada para Hakim Agung itu. Melebarnya kembali jurang disharmoni negara dengan masyarakat sipil memprihatinkan. Perlu waktu panjang, energi besar dan kerendahan hati semua pihak untuk memulihkan. Tentu saja tidak mudah. Karena pandemi Covid 19 telah mempersulitnya. Kemampuan negara telah menurun karena memikul beban baru. Disisi lain, kekecewaan masyarakat telah bereskalasi akibat lemahnya perhatian pemimpinnya. Rehabilitasi fasilitas umum yang rusak memang mudah. Tapi kekecewaan rakyat yang cedera adalah soal lain. Dengan hati teriris, rakyat dipaksa menyaksikan gedung wakil rakyat dan Istana tertutup bagi rakyat walaupun hanya beberapa hari. Dijaga pasukan bersenjata dilengkapi mobil penyemprot air atau water canon. Pertanyaan lain, apakah jalur “pembangkangan sipil” dapat memberi lebih banyak ruang aspirasi publik yang dijanjikan demokrasi dan dijamin konstitusi? Wallahualam bishawab! Penulis adalah Wartawan Senior & Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Pemerintah Sengaja Bakar Ilalang Sudah Lama Kering
by Anton Permana Jakarta FNN – Sabtu (10/10). Menko Perekopnomian Airlangga dalam press confrencenya mengatakan "tahu siapa yang mendanai aksi demonstrasi menolak UU Cilaka". Lalu Netizen menjawab, "kenapa tidak dibongkar dan tangkap saja siapa yang mendanai UU Cilaka ini, sehingga menimbulkan aksi amuk massa dari para buruh, mahasiswa dan pelajar"? Menko Polhukam Mahfud juga mengeluarkan ancaman "akan menindak tegas setiap pelaku rusuh dalam aksi demonstrasi kemaren". Netizen juga menjawab, "kenapa petugas yang anarkis yang menganiaya mahasiswa dan pelajar pendemo tidak juga ditindak tegas, karena melampaui tugas dan kewenangannya menganiaya demonstran"? Itulah wajah penguasa negeri kita hari ini. Selalu menganggap diri dan kelompoknyalah yang paling benar. Penguasa selalu paling benar. Paling berkuasa, sehingga timbullah berbagai macam komentar yang sungguh kadang penuh arogansi dan tidak lagi pakai akal sehat. Aksi besar-besaran tanggal 7-8 Oktober kemaren oleh gabungan mahasisswa, buruh, dan pelajar sungguh di luar dugaan semua pihak. Sebuah aksi serentak hampir di seluruh wilayah nusantara. Setidaknya beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Semarang, Yogjakarta, Surabaya, Malang, Makasar, Samarinda, Banjarmasin, Lampung, Lombok Sumbawa, bergelora dahsyat menyuarakan melawan dan menolak UU Cilaka yang baru saja disahkan oleh pemerintah. Ini sungguh aksi demonstrasi yang luar biasa. Meskipun nyaris tidak ada beritanya di TV Mainstream, karena dikuasai penguasa. Bahkan di beberapa daerah, aksi ini berhasil menguasai kantor DPRD setempat seperti di Padang Sumatera Barat, Sindrap, Yogjakarta. Membuat beberapa kepala daerah terpaksa berjanji akan menyurati Presiden secara resmi seperti Ridwan Kamil dan Irwan Prayitno bahwa atas nama pemerintah daerah akan menyampaikan aspirasi rakyat ini secara resmi. Tak ketinggalan Gubernur DKI Anies Baswedan juga turun langsung menenangkan massa aksi di bundaran Hotel Indonesia tadi malam. Didampingi Pangdam Jaya dan Kapolda Metero Jaya, Anies berjanji pagi ini (09/10/2020) akan menyampaikannya secara resmi dan tertulis kepada Presiden. Kenapa judul tulisan ini saya menyebutnya dengan istilah "ilalang yang sudah lama kering"? Sebab aksi dahsyat dua hari ini adalah akumulasi dari semua kemarahan, protes, kekesalan, dan kepanikan masyarakat atas situasi kondisi yang terjadi saat ini. Dimana hampir dari segala lini telah terjadi kerusakan dan tekanan hidup. Ditambah dengan kondisi pandemic covid 19 ini. Anehnya justru di saat kegalauan ini, pemerintah tanpa ada rasa empati terus memaksakan (malah ambil kesempatan) dengan mengeluarkan sebuah kebijakan yang sangat menyakitkan dan merugikan rakyat. Makanya saya berani mengatakan, kok pemerintah yang sengaja membakar tumbuh ilalang-ilalang yang sudah lama mengering di negeri ini? Maka jadilah aksi dahsyat selama tiga hari lalu. Dan saya yakin, kalau penguasa masih tak peduli dan percaya diri, sombong dan angkuh dengan kekuasaannya, maka aksi yang lebih besar dan dahsyat lagi akan terjadi. Kenapa saya punya asumsi demikian ? Berikut analisanya. Pertama, saya melihat penguasa hari ini super confident. Begitu percaya diri dan terkesan menyepelekan riak-riak yang sedang terjadi di tengah masyarakat ini. Kenyataan ini menurut hemat saya, karena penguasa yakin sudah memegang kendali semua sektor dan lini front pertempuran. Kekuatan itu berupa mapping terhadap kekuatan politik legislasi yang hampir meliputi semua partai di luar PKS dan Demokrat yang telah berhasil dijinakkan. Lembaga yudikatif juga sudah under control. Media mainstream, alat negara, pusat logistik, inteligent, hingga aturan untuk justifikasi penindakan terhadap siapa saja yang berseberangan dengan penguasa bisa dieliminir. Apalagi dengan kecanggihan alat inteligent. Punya perangkat aparatur yang mampu melakukan penetrasi ke dalam sel-sel terkecil masyarakat untuk melakukan infiltarasi, cegah dini dan tangkal dini. Maka wajar saja penguasa hari ini boleh dikatakan tidak ada lagi celah untuk bibit perlawanan masyarakat yang tidak bisa diatasi. Kedua, tetap disahkannya UU Cilaka ini, menandakan penguasa tentu sudah mengkalkulasikan setiap resiko yang akan terjadi. Artinya, bisa saja elit penguasa berkesimpulan, yang penting sahkan dulu sesuai target politik. Bahwa urusan akan ada aksi demonstrasi, serahkan kepada petugas dan aparat negara yang mengatasinya. Dan semua itu faktanya kita lihat hari ini. Rakyat head to head baku hantam di lapangan hingga jatuh korban. Ketiga, saya yakin, aksi demonstrasi dua hari para buruh, mahasiswa dan pelajar, di luar ekspektasi penguasa, termasuk kita semua. Selama ini kita terlanjur menganggap dan mencemooh mahasiswa-pelajar adalah generasi millenial yang manja, sibuk main gadget, dan anak rumahan alias anak mami. Namun kejadian dua hari ini telah menjawab itu semua dan mempermalukan kita. Bahwa ternyata para mahasiswa dan pelajar STM /SMK tampil terdepan dengan gagah perkasa. Mereka luar biasa melakukan aksi serentak dengan begitu heroik dan sangat berani. Para mahasiswa dan pelajar ini membuktikan bahwa, meskipun badan mereka kecil, tangan mereka halus, kumispun kadang baru tumbuh. Tetapi ketika hak hidup dan kedaulatan orang tua, bapak, dan ibunya dirampas oleh penguasa, mereka maju kedepan bertaruh nyawa menghadapi aksi aparat yang tak henti-hentinya menembakkan peluru gas air mata. Tak terhitung lagi korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Tapi sebagai orang tua yang juga punya anak remaja, sungguh saya antara haru dan miris melihat tubuh-tubuh kecil yang seharusnya belajar menimba ilmu di kampus dan sekolah. Namun mereka berada di garda terdepan melawan aparat yang bersenjata lengkap. Demi memperjuangkan dan menyuarakan hak masyarakat. Keempat, aksi dua hari ini adalah bukti telah hilangnya rasa kebersamaan, rasa persaudaraan, rasa moral, etika, dan rasa malu dari pada penguasa hari ini terhadap nasib rakyatnya. Ilalang yang kering itu terjadi karena keringnya ketidakadilan. Kering dari dari rasa kasih sayang dan perlindungan. Kering dari air dan pupuk kesejahteraan yang seharusnya menjadi hak dari setiap rakyat. Yaitu untuk mendapatkan kesejahteraan umum serta keadilan sosial. UU Cilaka hanya salah satu aturan yang merampas hak hidup dan kedaulatan rakyat. Belum lagi RUU BPIP/HIP, UU Pesantren, UU Corona, dan UU Minerba. Yang semua itu ibarat front-front pertempuran yang seolah sengaja diciptakan oleh penguasa hari ini demi mewujudkan agenda elit oligharkinya untuk menjajah negeri ini. Kelima, saya yakin, kalau penguasa hari ini tidak mengevaluasi diri. Tidak instropeksi diri dan mengalah, maka ancaman gelombang aksi yang lebih besar bisa saja terjadi lagi. Setidaknya ada dua front besar lagi yang akan juga meletus. Yaitu front RUU BPIP/HIP, dimana penguasa akan berhadapan dengan ummat Islam dan TNI, karena Pancasila bagi dua entitas ini adalah harga mati. Selanjutnya UU Pesantren yang saat ini juga sedang menggalang kekuatan. Saya tidak bisa membayangkan, seandainya masing-masing front pertempuran ini bersatu. Akan ada yang mengkoneksasikannya. Misalnya para buruh, mahasiswa, pelajar bersatu dengan ummat Islam 212, FPI, Ormas Nasionalis, para santri, Ormas Islam (NU-MU). Bahkan dengan para purnawirawan TNI seperti PPKN yang kemarin di TMP Kalibata. Saya tak tahu dan ngeri membayangkan apa yang terjadi nantinya. Pasti akan terjadi pertumpahan darah dan kerusakan dimana-mana. Yang kasihan adalah rakyat pendemo yang berbenturan dengan petugas dan aparat di lapangan. Rakyat melawan karena memperjuangkan hak dan kedaulatannya. Petugas dan aparat 'terpaksa' juga melawan, karena tuntutan tugas dan perintah atasannya. Yang enak dan tertawa tentu para pemimpin dan elitnya. Yang mengambil keuntungan dari semua ini. Tak peduli entah berapa korban nyawa dan harta yang akan jatuh nantinya. Bagi kelompok yang ingin melihat Indonesia hancur-lebur, pasti juga akan tepuk tangan dan bahagia. Kita semua hanya bisa menghimbau dan berdo'a. Semoga di tengah kondisi yang semakin tak menentu ini, masih ada celah penyelesaian masalah yang lebih sedikit mudharatnya. Yang paling sedikit dampak kerugiannya. Tidak bisakan kita kembalikan semua ini kepada jati diri bangsa, yaitu musyawarah dan konstitusional??? Kalau penguasa tetap jemawa memaksakan kehendaknya. Mengabaikan hak dan kedaulatan rakyat, maka patut kita duga bahwa, kondisi hari ini memang kesengajaaan penguasa yang membakar tumbuhan ilalang di negeri ini yang sudah lama mengering. Wallahu'alam. Salam Indonesia Jaya! Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.
Bermimpi Menjadi Kepala Negara Negeri Dongeng
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Jum’at (09/10). Saya bermimpi menjadi Kepala Negara di Negeri Dongeng. Ketika itu, keadaan negara dan kondisi sosial sangat menyedihkan. Amburadul. Perbedaan sosial sangat menyolok. Di satu sisi, rumah gubuk tidak layak huni terpampang sejauh mata memandang. Di lain sisi, gedung bagaikan istana berjejeran dijaga petugas penjaga keamanan. Ekonomi Negeri Dongeng dikuasai sekelompok kecil kapitalis. Jumlahnya di bawah 1 persen penduduk. Bahkan mungkin hanya 0,5 persen. Mereka menguasai seluruh sektor ekonomi, termasuk sumber daya alam. Dari sumber daya mineral sampai sumber daya perkebunan. Jumlahnya berjuta-juta hektar. Kapitalis di Negeri Dongeng menguasai hampir 60 persen pendapatan nasional. Padahal jumlah mereka paling hanya ratusan ribu orang saja. Sedangkan pekerja yang jumlahnya sangat besar hanya menikmati sekitar 30 persen pendapatan nasional. Jumlah pekerja bisa sampai seratus juta orang lebih. Maklum, Negeri Dongeng yang padat penduduk. Kaum pekerja hanya mendapat remah-remah ekonomi. Kondisi ini terbalik dengan di Negeri Seberang. Di sana pekerja menikmati 50 hingga 70 persen pendapatan nasional. Pengusaha hanya dapat 20 hingga 30 persen saja. Memang Negeri Dongeng menyedihkan. Daya saing ekonomi Negeri Dongeng sangat lemah. Neraca perdagangan defisit, neraca transaksi berjalan defisit. Devisa mengalir keluar. Kurs RND (Mata Uang Negeri Dongeng) seharusnya terdepresiasi. Tapi di-doping terus dengan utang luar negeri untuk menutupi devisa yang mengalir ke luar negeri akibat defisit transaksi berjalan menahun. Tidak heran, utang luar negeri meningkat tajam. Keuangan Negeri Dongeng sangat lemah. Penerimaan pajak sangat rendah. Anggaran keuangan negara defisit terus menerus. Utang negara pun membengkak. Untuk bayar bunga harus dari utang lagi. Keuangan negara praktis bangkrut. Makanya, kepala negara Negeri Dongeng mendikte Bank Dongeng, nama Bank Sentral Negeri Dongeng, untuk membantu keuangan negara melalui cetak uang. Masyarakat berpendapat para kapitalis Negeri Dongeng sangat serakah. Mereka menguasai semua elemen negara. Dari eksekutif, legislatif sampai yudikatif. Sistem politik ini mencerminkan sistem kekuasaan. Selain membagi-bagi kekuasaan, rakyat curiga mereka membagi-bagi uang anggaran negara. Tentu saja melalui mega proyek. Sedangkan hukum hanya tajam ke rakyat jelata, tetapi tumpul kepada penjilat kekuasaan. Kapitalis dan kartel penguasa sangat serakah. Pekerja yang hanya menikmati remah-remah ekonomi masih mau diperas lagi. Hak mereka masih mau dirampas, untuk kembali ke era perbudakan. Dalam kondisi ekonomi dan politik yang kacau seperti itu, saya berhasil memenangi pemilihan kepala negara. Karena sepertinya rakyat sudah muak terhadap rezim oligarki kekuasaan, oligarki- tirani. Pada saat kampanye saya hanya berjanji tiga hal saja. Tidak banyak. Tidak sampai 60 janji. Pertama mengembalikan kedaulatan rakyat yang terampas. Kedua, menegakkan hukum seadil-adilnya bagi semua orang tanpa kecuali. Termasuk penegakan hukum bagi pejabat dan penguasa. Ketiga, memberi keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat yang sekarang hanya menerima remah-temah ekonomi. Fungsi legistor dikembalikan seutuhnya sebagai wujud kedaulatan rakyat. Legislator harus bekerja demi kepentingan rakyat dan bangsa. Pemilihan anggota legislator yang bermain uang akan diproses hukum, dengan ancaman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Partai yang minta mahar didiskualifikasi dengan ancaman dibubarkan. Pemimpinnya akan diproses hukum dengan ancaman hukuman mati. Dalam debat pemilihan kepala negara saya ditanya bagaimana memberantas korupsi yang sudah masif di Negeri Dongeng. Saya mengatakan, saya akan mengusulkan hukuman mati bagi pejabat hukum yang terbukti melakukan korupsi. Ancaman hukuman mati bagi pejabat hukum yang memainkan hukum demi uang, alias memperdagangkan hukum. Ancaman hukuman mati juga berlaku bagi pembela hukum swasta yang mencoba menyuap pejabat hukum negara. Ancaman hukuman mati juga belaku bagi pejabat pembuat perangkat hukum, atau legislator, yang menerima imbalan materi untuk membuat peraturan hukum yang merampok hak rakyat dan negara. Karena hukum adalah segalanya bagi kehidupan bangsa dan negara. Penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan penegakan hak azasi manusia yang hakiki, tanpa melihat status sosial. Seketika saya mendapat aplaus hangat dari para penonton. Pembangunan ekonomi fokus pada tiga hal utama. Perbaikan transaksi berjalan, perbaikan keuangan negara atau fiskal, perbaikan kesejahteraan rakyat dan kesenjangan pendapatan. Pembangunan ekonomi dimulai dengan mewujudkan kedaulatan industri. Artinya, bahan baku (input) produksi pada setiap tahapan industri dan kebutuhan konsumsi domestik sebisa mungkin dipenuhi dari dalam negeri. Pengusaha dalam negeri yang harus berperan lebih besar dalam pembangunan ekonomi. Ekspor juga harus ditingkatkan, khususnya ekspor berbasis produk manufaktur. Kedaulatan industri membuat neraca transaksi berjalan membaik. Tekanan utang luar negeri berkurang. Pajak penghasilan harus ditata ulang untuk mewujudkan kedaulatan fiskal dan memperbaiki kesenjangan sosial. Reformasi pajak penghasilan perlu segera dijalankan. Pajak penghasilan progresif perlu diberlakukan sehingga orang kaya dan super kaya dapat membayar pajak lebih adil. Reformasi pajak penghasilan akan meningkatkan pendapatan negara, membuat keuangan negara menjadi lebih mandiri. Saat ini pajak penghasilan orang kaya dan super kaya yang berasal dari laba perusahaan relatif rendah. Hal ini membuat penerimaan pajak negara rendah. Kedaulatan fiskal akan mengurangi kesenjangan sosial. Kedaulatan fiskal memungkinkan pemerintah melakukan transfer payment, yaitu subsidi pendapatan kepada masyarakat miskin dan masyarakat berpendapatan rendah. Pemusatan kekuatan ekonomi, monopoli dan oligopoli, sangat merugikan konsumen dan rakyat. Oleh karena itu, praktek monopoli dan oligopoli harus dilarang. Persaingan yang lebih sehat diharapkan membangkitkan ratusan ribu pengusaha kelas menengah. Semoga Negeri Dongeng menjadi lebih manusiawi dan lebih sejahtera bagi seluruh rakyatnya. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Anies Bukan Pengecut!
by Tony Rosyid Jakartta FNN – Jum’at (09/10). Tengah malam, tanggal 5 oktober 2020 RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) diketuk dan disahkan menjadi UU. Kenapa tengah malam? Kenapa harus di luar waktu yang berlaku untuk orang umum orang bekerja? Sangat mendesakkah? Pertanyaan-pertanyaan itu terus ada di pikiran rakyat hari ini. Rakyat protes. Terutama kaum buruh, mahasiswa, pelajar, dan ormas Islam. Esok harinya, tanggal 6 Oktober 2020, demo terjadi di berbagai wilayah. Serentak. Tumpah ruah mahasiswa, pelajar, buruh dan sebagian aktifis di depan istana, kantor kepala daerah, DPR dan DPRD. Di sejumlah wilayah, para pendemo bersitegang dengan aparat kepolisian. Saling dorong, dan lempar batu. Sejumlah demonstran kena gebuk, tonjokan dan tendangan aparat. Entah sudah berapa korban berjatuhan. Mobil dan fasilitas umum juga ada yang terbakar. Rusuh! Siapa pemicunya? Demonstran selalu disalahkan! Satu tuntutan mereka, “Omnibus Law dibatalkan”. Titik! Kenapa? Pertama, cacat prosedur. Memang ada diskusi. Panggil buruh, perwakilan ormas dan para akademisi yang kompeten untuk ikut membahasnya. Tetapi, semua hasil diskusi dicatat, dijanjikan, tapi setelah itu dibuang ke tong sampah. Pasal-pasal yang diprotes tetap masih ada saat diketuk menjadi UU. Kedua, sejumlah pasal UU Omnibus Law Cipta Kerja merugikan rakyat. Diantaranya kaum buruh dan lembaga pendidikan. Hak-hak mereka dipreteli. Pesangon ada, tapi berkurang. Upah minimum ada, tapi disesuaikan dengan korporasi. Soal PHK, perusahaan lebih leluasa. Kontrak kerja bisa diperpanjang terus-menerus. Belum lagi soal cuti dan seterusnya. Dua sasaran protes demo kali ini. Pertama, DPR. DPR lah yang mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Kedua, presiden. Sebab, UU Omnibus Law Cipta Kerja berasal dari pemerintah. Pemerintah yang mengusulkan ke DPR. Dalam pembahasan di DPR, presiden utus sejumlah menteri untuk hadir dan mengawalnya. Disinilah tampak kerjasama yang kompak antara pemerintah dan DPR. Antara eksekutif dan legislatif. Irama kekompakan ini sebenarnya sudah terbaca saat keduanya bersepakat "matikan KPK" melalui revisi UU. Saat itu, demo meluas dan dua mahasiswa kendari jadi korban. Peristiwa itu seolah sudah terlupakan. Para pendemo minta presiden menemui mereka, dengarkan aspirasii dan tuntutanya. Tapi, presiden tak ada di tempat. Mungkin bagi presiden, UU Omnibus Law Cipta Kerja sudah diketuk dan disahkan. Jadi, untuk apa dibahas lagi. Kehadiran perwakilan mahasiswa, buruh dan ormas untuk ketemu presiden sepertinya dianggap tidak terlalu penting. Jokowi justru memilih ke Kalimantan Tengah, setelah lebih dulu ke Jogja dan nginep di Gedung Agung. Sempat berziarah ke makam ibu dan bapaknya. Peristiwa ini dimaknai Ki Surau sebagai langkah untuk ambil kekuatan Spiritual, agar nggak lengser. Rakyat nggak kenal siapa Ki Surau ini. Validkah fatwanya? Kepergian Jokowi ini mengingatkan memori kita pada demo 411 (4 november 2016) terkait penistaan agama (Ahok). Perwakilan ulama minta ketemu Jokowi di Istana. Tapi, karena dianggap nggak terlalu penting, Jokowi lebih memilih pergi ke Cengkareng, menengok project kereta bandara. Para ulama kecewa, dan meledaklah demo 212. Sekitar tujuh juta umat Islam hadir. Apakah mahasiswa, pelajar, buruh dan ormas yang kecewa karena ditinggal pergi Jokowi ke Jogja dan Kalimantan Tengah? Apakah mereka akan datang lagi dengan massa yang jauh lebih besar sebagaimana demo 212? Seberapa besarkah spirit dan semangat para mahasiswa, buruh dan ormas ini memperjuangkan aspirasinya? Ini akan sangat bergantung seberapa besar keteguhan para pimpinan mahasiswa, sebagai pihak yang mengkonsolidasikan massa, baik BEM maupun organisasi ekstranya seperti HMI dan PMII untuk tetap konsisten menjaga idealismenya dalam memperjuangkan nasib rakyat. Tidak "nglokro" dan masuk angin. Sebab, penguasa tidak akan diam dan intel akan terus bergerilya. Tawaran dan ancaman boleh jadi ddatang silih berganti. Di tengah kekecewaan buruh, pelajar, terutama mahasiswa yang gagal menemui Jokowi di Istana, Anies, gubernur DKI Jakarta turun ke lapangan. Di malam hari. Saat kekecewaan mereka membucah dan sempat menaikkan eskalasi ketegangan antara para demonstran dengan aparat keamanan. Di tengah ratusan, mungkin ribuan massa, Anies yang didampingi Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya minta kepada mereka menyampaikan aspirasinya. Satu persatu hingga tuntas. Para mahasiswa yang hadir malam itu antusias menyampaikan harapannya. Mahasiswa keluarkan semua uneg-unegnya. Detil dan lengkap dengan data pendukung . Mantan ketua BEM UGM yang sudah jadi orang nomor satu di DKI ini dengan serius dan sabar mendengarkannya. Setelah semua aspirasi tersampaikan, Anies dengan tenang bicara kepada mereka. "Semua aspirasi ini sudah direkam dan dipastikan akan disampaikan. Mohon untuk dikawal dan dipantau. Ini bagian dari hak demokrasi kita". Begitu kata Anies. Anies juga sarankan kepada yang hadir malam itu untuk pulang dengan tertib. "Memperjuangkan hak rakyat harus dengan menjaga rasa aman bagi seluruh rakyat. Pastikan masyarakat merasa aman dan nyaman. Maka, Anies minta para demonstran tetap tertib. Sebelum mengajak para mahasiswa itu pulang, Anies meminta semua yang hadir berdiri dan menyanyikan lagu "padamu negeri". Kenapa lagu "padamu Negeri"? Apa pesan dari ajakan Anies dengan lagu ini? "Bahwa kita semua hadir disini berjuang untuk negeri ini. Berjuang dengan jiwa raga yang dimiliki". Begitulah kira-kira pesannya. Anies ingin para mahasiswa menjaga Komitmennya dan terus berjuang dengan segenap jiwa dan raga untuk negeri ini. Baik ketika masih mahasiswa, atau kelak ketika lulus dan punya posisi sebagai pejabat. Lagu "Padamu Negeri" harus bergelora dan menjadi nafas serta jiwa pengabdian. Itu intinya. Diterima dan didengarkan aspirasinya, mahasiswa tenang dan senang. Merasa didengarkan, diperhatikan, dihargai dan diayomi. Begitulah semestinya seorang pemimpin bersikap. Inilah yang dilakukan Anies ketika menghadapi setiap protes rakyat. Tidak pergi, lari dan meninggalkan warganya. Sebab, Anies bukan Pengecut. Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Jokowi Di Ujung Tanduk
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (09/10). Ulang tahun satu tahun bagi Jokowi menjabat Presiden periode kedua bulan Oktober ini, tidak dalam posisi "happy anniversary". Tetapi sebaliknya justru "unhappy anniversary". UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) yang diketuk DPR sebagai hadiah ulang tahun pertama priode kedua menjadi palu godam politik yang membuat Jokowi pusing dan ruwet. Berjalan pun Jokowi nampaknya bakal limbung. Demonstrasi masif yang menandai "Oktober Prihatin". Jengkel, kecewa bahkan mungkin muak pada cara Jokowi mengelola negeri. Tata kelola pemerintahan yang terlihat amburadul, amatiran, kacangan. Bahkan cenderung primitif. Jauh dari tata kelola pemerintahan mendekati benar. Apalagi sampai profesional. Perencanaan dan kebijakan yang asal-asalan dan amatiran telah memberi bukti bahwa manajemen pemerintahan Jokowi tanpa perencanaan yang matang dan konsisten. UU Omnibus Law Cilaka hanyalah salah satu cara mempermainkan hukum demi kepentingan politik. Disangkanya dengan otak-atik legitimasi Pilpres, maka segalanya beres. Nampaknya Jokowi tidak mengenal apa dan bagaimana yang namanya sejarah. Mengabaikan dan memusuhi rakyat adalah hitungan mundur untuk dimundurkan. Manggali kolam atau lobang besar untuk menguburkan sendiri pemerintahan. Jokowi sebaiknya belajar dari sejarah. Paling kurang dari belajar dari sejarah kegagalan Soekarno dan Soeharto. Jokowi goyah di ujung tanduk, karena bermain-main untuk merealisasikan misi sesat. Diawali dengan memusuhi umat Islam melalui rekayasa Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), yang digagas atau diprakarsai oleh kader PDIP melalui kadernya Rieke Dyah Pitaloka. Akibatnya umat Islam melalui Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam meradang. Umat Islam tampil memberikan perlawanan.hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada biasanya berada di "tengah" pun membuat "political distancing" dengan pemerintah. MUI mngeluarkan produk Maklumat yang cukup keras. Bahkan menyaipkan Panglima Masiroh Qubro. Umat Islam telah memukul keras RUU HIP agar masuk gorong-gorong. Sementara RUU badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) layu sebelum berkembang. Keduanya dalam keadaan "hidup segan mati tak mau". Mundur kena maju kena. Hal ini adalah akibat dari ulah DPR yang mempersetankan aspirasi rakyat, dan terjebak pada domein kekuasaan dan mungkin juga besaran bayaran. Banteng coba menanduk rakyat dengan beringas. Tanduk satu RUU HIP-BPIP yang berbau komunis. Setelah itu tanduk lagi RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang berbau kapitalis. Lagi-lagi Ideologi Pancasila dicoba untuk digoyahkan. Presiden yang loncat-loncat dari tanduk kiri ke tanduk kanan. Mencoba berpegangan erat untuk tidak jatuh. Ada saatnya rakyat melawan rezim. Rezim yang menganggap aspirasi rakyat sesuatu yang enteng. Sejarah bergulir menuju ke arah perubahan. UU Omnibus Law Cilaka adalah pintu pembuka gelombang rakyat melawan kesewenang-wenangan. Jokowi semakin di ujung tanduk. Banteng Puan lesu tertunduk. Cari celah simpati dengan aturan turunan. Tapi itu mempertontonkan kebodohan. Aturan derivasi tak boleh bertentangan dengan undang-undang. UU Omnibus Law membawa malapetaka. Tanduk Joko dan tanduk Puan mulai retak hampir patah. Saat ini Jokowi berada di ujung tanduk, dari banteng yang dikendarainya. Mungkinkah Esok bakal terpeleset? Terinjak-injak kah? Atau terjatuh ke pasir hisap yang menenggelamkan kekuasaannya dengan pelan-pelan? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Jokowi Lebi Pentingkan Bebek Dari Persoalan Rakyat
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Jum’at (09/10). Semestinya hari Kamis kemarin 8 Oktober 2020, Presiden Jokowi menemui mahasiswa yang hendak berunjuk rasa memprotes ke istana negara terkait pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) yang telah disahkan DPR. Undangan aksi yang telah disosialisasikan beberapa hari sebelumnya melalui media sosial dan media online. Tentu kabar ini juga sudah diketahui pihak Istana. Tetapi pada hari yang sama Presiden Joko memutuskan tetap melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Pagi harinya, di akun Instagram @jokowi pada Kamis 8 Oktober 2020 Jokowi menegaskan acaranya. “Selamat pagi. Hari ini saya menuju Kalimantan Tengah untuk kunjungan sehari. Setiba di Bandara Tjilik Riwut, Kota Palangka Raya, saya melanjutkan perjalanan dengan helikopter menuju Kabupaten Pulang Pisau...Di sana saya hendak meninjau kawasan lumbung pangan yang sedang kita kembangkan, berikut penanaman padi, keramba ikan, serta peternakan bebek yang terletak di Kecamatan Pandih Batu”. Ya, mungkin acara Kunker itu sudah disusun jauh-jauh hari. Dan Jokowi tetap menjalankan rencananya, meski situasi di masyarakat berubah sejak UU OmnibusLaw Cipta Kerja disahkan DPR. Hal itu bisa dilihat dari keterangan yang disampaikan pihak istana bahwa Kunker Jokowi tak ada hubungannya dengan rencana aksi mahasiswa ke istana negara. Kesimpulannya, memang Jokowi tidak pernah ingin menemui mahasiswa yang berunjuk rasa hari ini. Seperti pernah terjadi dalam peristiwa demontrasi 411. Saat itu, Jokowi meninggalkan Istana, justru di saat jutaan masyarakat mendatangi istana untuk menemui presidennya. Padahal sebagai presiden, Jokowi seharusnya mampu memilah mana yang prioritas untuk ditemui dan diselesaikan. Sila ke-4 Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah narasi kepemimpinan yang berpengetahuan luas. Pemimpin yang berpengalaman hidup, sehingga memiliki kebijaksanaan. Bukan hanya memutuskan sesuatu masalah, tetapi juga mengajak rakyat berdialog dalam proses pengambilan keputusannya melalui musyawarah perwakilan. Kepemimpinan sama tuanya dengan sejarah manusia. Khalifah Umar bin Khattab Radiallahu Anhu pernah memberikan nasihat kepada kita. Amirul Mukminin mengajarkan, bagaimana seorang pemimpin harus mengambil sikap yang tegas untuk menyelesaikan sebuah masalah. Untuk menyelesaikan suatu masalah, seorang pemimpin hendaknya tidak menyepelekan masalah. Karena, jika masalah itu disepelekan dan tidak diselesaikan, maka dampaknya akan terus menerus. Melihat foto-foto Jokowi hari ini yang menikmati pemandangan bebek-bebek, amatlah ironis dengan pemandangan aksi mahasiswa di berbagai daerah. Apalagi jika foto Jokowi bersama bebek disandingkan dengan kebakaran dan kerusakan yang terjadi saat aksi mahasiswa. Bayangkan saja berapa puluh milyar kerugian material dalam aksi mahasiswa ini, yang sangat mungkin bisa dihindari jika Jokowi bersedia menemui mahasiswa. Peristiwa ini tentunya akan dilihat di berbagai daerah yang dapat menenangkan mahasiswa. Seperti dicontohkan oleh Gubernur Anies Baswedan dan Ridwan Kamil menenangkan para demonstran. Saya kuatir Jokowi telah kehilangan akal sehatnya. Bahkan hilang hati nuraninya sebagai seseorang yang diberikan oleh rakyatnya kepercayaan untuk menyelesaikan seluruh permasalahan bangsa dan negara. Dalam Alkitab, Ayub 12:24 juga tentang kepemimpinan. "Dia menyebabkan para pemimpin dunia kehilangan akal, dan membuat mereka tersesat di padang belantara yang tidak ada jalannya". Jokowi mungkin saja menganggap remeh aksi mahasiswa. Ya mereka memang sekumpulan remaja, tak bersenjata pula. Mengapa harus ditakuti. Ibarat sekumpulan domba-domba yang jinak. Tapi Jokowi harus membaca quote Alexander The Great, "Aku tidak takut pada pasukan singa yang dipimpin oleh domba. Aku takut akan pasukan domba yang dipimpin oleh seekor singa.” Penulis adalah Direktur Eksekurif Indonesian Future Studies (INFUSS)
Anak-Anak Revolusi Bergerak
by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Jum’at (09/10). Risma, walikota Surabaya memaki maki seorang remaja yang dijaring demo di Surabaya. Anak ini berasal dari Madiun. Risma marah karena kota Surabaya rusak gara-gara demo tolak Omnibus Law Cilaka datang dari luar kota. Menurutnya, seharusnya demo itu di Madiun saja, jangan anak itu datang ke Surabaya. Di jakarta, Anies Baswedan mendatangi demonstran. Kebakaran halte busway dan MRT mencapai 15 halte. Anies senyum menghadapi demonstran di bundaran Hotel Indonesia (HI), minta anak-anak muda itu membubarkan diri. Namun, Anies mengingatkan kalau mau melanjutkan demo, silakan besok lagi. Hari kemarin puluhan ribu mahasiswa dan buruh di Bandung mengepung Gedung Sate. Bentrokan dengan aparat keamanan terjadi. Keganasan anak-anak muda itu ditunjukan secara bringas menginjak-injak mobil yang dan brikade lainnya yang menghalangi mereka. Video beredar mahasiswa tersebut diperbolehkan beberapa tentara membacakan tuntutan mereka di malam hari. Kemarin dan hari ini sesungguhnya semua daerah para bergejolak. Anak-anak muda belia SMA dan STM, mahasiswa dan juga kaum buruh perempuan mengamuk dari Sabang sampai Merauke. Puluhan konfederasi dan federasi Serikat Buruh meminta semua buruh di manapun mogok kerja. Jakarta tentu jelas pusat pergolakan. Bukan saja buruh dan mahasiswa. Namun anak-anak STM dan SMA tampil juga sebagai kelompok militan. Mahasiswa-mahasiwa merasa menjadi kakak senior yang bangga menyambut anak-anak STM dan SMA itu. Memberi mereka jalan untuk masuk ke barisan. Buruh, mahasiswa, pemuda dan anak-anak remaja (STM/SMA) tampil sekarang melakukan gerakan perlawanan terhadap rezim Jokowi. Isu yang diusung adalah penolakan atas Omnibus Law. Berbagai pihak meragukan pemahaman mahasiswa dan anak-anak STM/SMA ini memahami UU Omnibus Law itu. Sebab, mereka dianggap terlalu rendah pengetahuannya tentang UU 906 halaman itu. Namun, tentu bisa saja keraguan itu datang juga ketika puluhan ribu orang-orang muda itu meneriakkan revolusi di depan Istana. Apakah memang mahasiswa dan pemuda-pemuda itu bodoh-bodoh alias tidak nyambung? Kenapa mereka dianggap belum paham, namun meneriakkan revolusi ???? Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian dan Ketua Umum Golkar, memberikan statemen bahwa mereka ditunggangi. Airlangga menyebutkan sudah mengantongi kelompok penunggang tersebut. Selanjutnya Mahfud MD dan jajaran pejabat keamanan negara menyatakan akan menindak tegas pendemo. Mahfud dan jajarannya mewakili Jokowi, karena Jokowi meninggalkan ibukota ketika demonstrasi meluas di Jakarta. Heroisme dan Unconsciousness Mind Mengkambing hitamkan dan menyepelekan serta dianggap ditunggangi para aktor kepada anak-anak STM, SMA atau Mahasiswa terlalu menyepelekan situasi. Kaum buruh memang vis a vis dengan kekuasaan Jokowi, karena nasibnya dimarginalisasi sampai hancur. Lalu kenapa dengan mahasiswa? Kenapa remaja STM/SMA? Kesadaran manusia atas situasi dalam teori psikoanalisis terdiri dari kesadaran nyata maupun kesadaran di bawah nyata (unconsciousness). Unconsciousness itu adalah sebuah kesadaran yang terpendam. Anak-anak STM dan SMA yang dipukuli serta dipenjara pada November 2019 lalu, ketika demo di DPR-RI menolak revisi UU KPK telah memendam sebuah kesadaran bawah nyatanya tentang kekejaman terhadap mereka. Begitu juga kekejaman yang dialami anak-anak remaja pada demo 21/22 Mei 2019 paska pilpres. Jaman internet of things sekarang ini, jejak digital, dan pengetahuan anak-anak muda atas situasi dengan mudah masuk ke pikiran mereka. Namun, realitas ini tidak mudah dikonstruksi anak-anak muda ini dalam dunia nyata. Baik karena faktor ketakutan, maupun lainnya. Namun, kesadaran itu tidak hilang. Dia dapat berupa dendam. Namun, dapat juga sebagai sebuah kesadaran nyata ketika bertemu momentumnya. Seperti situasi sekarang ini. Dendam maupun kesadaran yang bergeser jadi nyata. Menurut saya, telah terjadi pada anak-anak belia ini. Pemahaman mereka atas UU Omnibus Law mungkin terbatas. Namun, mereka memaknai gerakan penolakan kaum buruh sebagai sebuah kebenaran, karena sebuah versus antara buruh dengan pemerintah, membuat mereka lebih yakin dengan buruh. Apalagi berbagai faktor kegagalan pemerintah dalam urusan kesehatan dan situasi krisis ekonomi berkelanjutan membuat hampir semua rakyat depresi. Unconscious Mind yang bergeser nyata berimpit dengan semangat anak-anak muda, yang dalam sejarahnya menginginkan sebuah heroisme. Perasaan membela nasib bangsa dalam situasi bangsa yang sulit, muncul begitu besar. Seorang Mahasiswi yang dipukuli aparat, yang tersebar dalam video beredar, misalnya, akan memunculkan heroisme. Karena mereka merasa di front depan bertempur dengan kekuasaan. Heroisme bagi kaum buruh tentu saja juga terjadi. Sebab mereka sedang membela nasibnya. Namun, kesadaran kaum buruh adalah kesadaran nyata. Mereka mempunyai organisasi dan elit-elit buat mengkaji pasal-pasal yang merugikan pada Omnibus Law. Bagimana kalangan kampus? Professor dan dosen-dosen dari berbagai perguruan tinggi sudah banyak mengecam UU Omnibus Law ini. Kesadaran mereka juga nyata. Tentu saja sebagai cendikiawan mereka harus memilih apakah tetap berada di "menara gading" atau menyuarakan kebenaran. Saat ini semakin nyata perlawanan dari kalangan perguruan tinggi semakin menggema dan meluas. Faktor ini juga mendukung keberadaan gerakan mahasiswa dan remaja tadi. Sekali lagi, menuduh adanya aktor penunggang tentu menyepelekan analisis situasi saat ini. Meskipun berbagai ekses telah terjadi, seperti pembakaran, pengrusakan berbagai fasilitas maupun penjarahan dibeberapa tempat. Anaka-anak muda ini adalah anak-anak revolusi. Seperti anak-anak muda di Thailand dan Hongkong, mereka tampil gagah dijalanan berdemonstrasi. Sebagiannya disiksa aparat, sebagiannya ditangkap. Namun, perlawanan mereka kelihatannya sudah mempertimbangkan resiko. Kenapa? resiko terbesar adalah keluar rumah berkerumun di masa covid-19. Resiko pandemi hanya berani diambil oleh orang-orang tolol atau orang sadar. Tentu saja demonstrasi mahasiswa dan SMA ini punya tujuan. Begitu juga kaum buruh. Sehingga resiko yang diambil pasti dipilih dengan mempertimbangkan tujuan kemanusian yang mulia. Kedua, resiko dipukulin aparat sudah bukan hal baru bagi anak-anak muda itu. Justru mereka sudah melihat ganasnya aparat dalam menangani demo. Bahkan, berita terbengis terakhir adalah mahasiswa demo di Kendari dibubarkan dengan Helikopter, sebuah keganjilan baru di dunia. Mereka adalah anak-anak revolusi. Karena mereka berani mengambil resiko besar baik pandemi maupun kekejaman aparat. Mereka telah menyadari tujuan dari demonstrasi itu sendiri, yakni membela hak-hak rakyat. Penutup Demonstrasi anak-anak muda belia berkibar di seantero Indonesia. Orang-orang tua sebagian menangis melepas anak-anak itu menemukan kekerasan di jalanaan serta juga resiko Covid-19. Risma memaki-maki anak anak muda itu karena dari luar Surabaya merusak kotanya Risma. Anies Baswedan tersenyum minta anak-anak muda pulang dulu sudah malam. Airlangga Hartarto menuduh ada penunggang. Mahfud MD menuduh ada aktor aktor dan akan ditindak tegas. Perlawanan mahasiswa, buruh dan anak-anak STM/SMA ini adalah peristiwa revosioner dalam sejarah. Sebab, resiko perjuangan terlalu besar dan tujuan perjuangannya terlalu mulia menolak UU penindasan. Namun, sejarah akan menemukan jalannya sendiri. Revolusi akan mencari jalannya sendiri. Berbagai elemen dan ekosistem dalam sebuah revolusi maupun perubahan sosial besar harus dimaknai secara benar. Diantaranya adalah lahirnya elemen anak-anak revolusi itu. Saatnya semua pihak membaca situasi secara benar. Melihat dalam bingkai demokrasi. Agar menempatkan analisis sosial secara tepat demi menghormati keberadaan anak2 revolusi ini. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Bagaimanam Demokrasi Mati
by Zainal Bintang Jakarta FNN – Jum’at (09/10). Sidang paripurna DPR RI Senin (05/10/20) akhirnya berhasil mengesahkan UU tentang Cipta Kerja yang diformat dalam frasa Omnibus Law. Membuktikan betapa perkasanya kekuatan koalisi 7 parpol pendukung pemerintah di parlemen. Koalisi yang tidak tergoyahkan. Mengulang sukses UU sebelumnya, seperti revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK), revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Juga mengulang sukses revisi UU Mahkamah Konstitusi(MK) yang memberi hadiah perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga 15 tahun. Melancarkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 9 September 2020. Prosesnya yang sangat singkat dan cepat membuka anggapan adanya operasi “senyap” yang dilancarkan pemerintah dan DPR. Demokrasi modern berbasis rezim suara terbanyak, memang memberikan kekuatan posisi politik kepada pemerintah. Bersama dengan partai politik pendukungnya leluasa memuluskan UU demi UU sesuai dengan design kesepakatan. Hanya saja jalan tol yang diberikan oleh model perkoalisian yang demikian tetap saja diperlukan terpenuhinya persyaratan dasar. Persyaratan bagi maksimalisasi partispasi publik. Jika tidak, politik koalisi atau koalisi politik yang tidak memenuhi persyaratan dasar itu. Untuk jangka panjang, tidak sehat bagi proses demokratisasi. Terutama, harus dibebaskan dari anasir dominasi semangat “mumpung” sedang berkuasa dan mumpung sedang mayoritas. Bahwa di dalam diri UU Cipta Karya memiliki sejumlah instrumen hukum yang mempermudah masuknya investasi besar. Investasi berskala transnasional untuk merealisasi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sesuai amanat salah satu sila Pancasila itu tidak perlu dibantah. Pasti sepakat seluruh elemen bangsa ini. Bahwa penyebabnya karena sebelumnya telah dilahirkan sejumlah UU yang pada kenyataanya tumpang tindih satu sama lain, iyaa. Bahwa oleh karenanya telah menjadi penghalang terciptanya kesejahteraan yang melekat di dalam semangat demokrasi, iyaa. Akan tetapi tumpukan kekisruhan UU masa lalu itu tidak boleh dijadikan semacam tiket bebas hambatan untuk melahirkan UU baru yang melabrak prinsip dasar musyawarah mufakat. Kehadiran UU Cipta Kerja itu yang menimbulkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat, terutama kalangan buruh dan pekerja, memperlihatkan kurang sempurnanya elemen dasar proses penggodokannya. Langkah ketergesagesaan yang diperlihatkan pemerintah dan DPR menguatkan kecurigaan publik. Masyarakat menengarai adanya “penyelundupan” pasal yang merugikan kalangan buruh dan menguntungkan kalangan pengusaha dan pemodal. Tingginya daya penolakan yang dihadang dengan tingginya tekanan pemulusan oleh pemerintah dan DPR. Ini menunjukkan tidak tersemangatinya prinsip transparansi, check and balances serta fair play yang dipersyaratkan oleh sebuah hakekat demokrasi. Sebegitu jauh belum dapat diketahui dengan pasti faktor apa yang mendorong proses penggodokan UU Omnibus Law harus menafikan akomodasi yang sebesar-besarnya bagi partispasi publik. Pihak pemerintah dan DPR kemungkinan tidak tahu atau tidak mau tahu, bahwa dengan bermain-main dibalik kekuatan “suara” terbanyak yang disediakan oleh instrumen demokrasi, sesungguhnya telah berbalik menjadi pembunuh demokrasi atas nama demokrasi. Terkait dengan hal itu, penting membaca ulang buku karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Die : What History Reveals About Our Future (Bagaimana Demokrasi Mati. Apa Yang Diungkapkan Sejarah Tentang Masa Depan Kita). Buku dari dua Profesor Pemerintahan di Universitas Harvard itu dirilis 12 Desember 2018. Mereka mengatakan, terkadang demokrasi mati dengan keras, kudeta yang menjatuhkan pemerintah, pawai ke ibu kota saat darurat militer diberlakukan dan media pemerintah diambil alih. Inilah yang biasanya terjadi dalam film dan program televisi. Dengan cepat dan tegas. “Tetapi lebih sering, demokrasi mati perlahan. Secara kasat mata, di tangan pejabat terpilih. Melalui erosi bertahap dari norma dan institusi politik”. Kedua ilmuwan politik itu berpendapat , “sejarah tidak terulang, ia berirama. Dengan memeriksa sejarah dan melihat polanya, kita dapat menemukan rambu-rambu yang menandai otoritarianisme yang merayap - ancaman terhadap check and balances yang seharusnya mencegah pemilihan demagog”. Lebih jauh dikatakan “kemunduran demokrasi hari ini dimulai dari kotak suara. Empat indikator utama yang harus diperhatikan adalah penolakan (atau komitmen yang lemah untuk) aturan permainan yang demokratis, penolakan legitimasi lawan politi, toleransi atau dorongan kekerasan, kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media”. Levitsky dan Ziblatt memberikan contoh dari sejarah tentang bagaimana bertindak dalam kasus seperti ini. “Kadang-kadang anda harus bekerja dengan orang-orang yang secara ideologis berlawanan dengan anda untuk mempertahankan cita-cita demokrasi, seperti yang terjadi di Belgia dan Finlandia pada tahun 1930-an, demikian kami diberitahu”. Mengingat iklim politik saat ini, kebangkitan global dalam partai-partai ekstremis populis dan hiper-nasionalisme. Buku ini menjadi pengingat tepat waktu bahwa demokrasi tidak selalu mati dalam kegelapan. Terkadang mereka mati dengan lampu menyala, oleh orang-orang yang dipilih melalui cara-cara demokratis. Tetapi dengan mempelajari sejarah kita dapat memperoleh wawasan tentang langkah-langkah yang dapat kita ambil masing-masing untuk melindungi hak-hak demokrasi kita. “Melindungi demokrasi kita membutuhkan lebih dari ketakutan dan kemarahan. Kita harus rendah hati dan berani. Kita harus belajar dari negara lain untuk melihat tanda-tanda peringatan, dan mengenali tanda peringatan palsu. Dan kita harus melihat bagaimana warga negara telah bangkit untuk menghadapi krisis demokrasi besar di masa lalu, mengatasi perpecahan yang mengakar untuk mencegah kehancuran", ujar Levitsky dan Zilbatt. Ezra Klein (36) jurnalis, penulis blog, dan pengamat politik Amerika Serikat, yang pernah mewawancarai Levitsky dan Ziblatt untuk podcastnya mengatakan, ada gambaran yang muncul di benak kita saat membayangkan akhir demokrasi. Demokrasi jatuh dalam kudeta dan revolusi, terbakar api dan kerusuhan, runtuh di tengah perang dan wabah. Saat mereka mati, mereka mati sambil berteriak. Menurut Klein “tidak lagi” bagi Levitsky dan Ziblat dalam buku “How Democracies Die”. Klein yang sebelumnya seorang penulis blog dan kolomnis The Washington Post dan editor yang terafiliasi dengan The American Prospect itu melanjutkan, dalam kebanyakan kasus modern, demokrasi terkikis perlahan, dengan langkah yang nyaris tidak terlihat. Klein menambahkan, “mereka membusuk dari dalam, diracuni oleh para pemimpin yang merusak proses yang membawa mereka ke tampuk kekuasaan. Mereka dilubangi, perangkap demokrasi hadir lama setelah jiwa sistem dipadamkan”. Tanggapan publik di berbagai media, mayoritas menyebutkan UU Cipta Kerja itu merugikan pekerja. Pemerintah dan DPR bersikukuh menyebut UU itu akan memperlancar masuknya investasi berskala besar ke Indonesia. Pemerintah menawarkan jalan keluar, kepada yang menolak UU itu dapat menggugat melalui uji materi ke MK (Mahkamah Konstitusi). Sejumlah pakar hukum mengatakan model Omnibus Law tidak dikenal di dalam sistem hukum di Indonesia dimana satu UU baru dibentuk untuk menyederhanakan sejumlah UU lainnya, dalam konteks ini disebutkan ada 72 UU yang diperas paksa menjadi satu. Pasalnya, pada faktanya UU Cipta Kerja itu tidak hanya terbatas bekerja di wilayah ketenagakerjaan, tapi malah merangsek masuk ke substansi lain. Memasuki sektor seperti, tata ruang, tenaga nuklir, hak adat, soal imigrasi, hak paten, produk halal. Hal mana membuat UU itu berwatak etatisme. Suatu paham dalam pemikiran politik yang menjadikan negara sebagai pusat segala kekuasaan. Menjadikan segalanya akan berada di bawah kontrol secara ketat dengan menggunakan instrumen kekuasaan. Meniscayakan resentralisasi yang berkarakter kapitalistik. Ini yang menjelaskan mengapa UU itu dianggap lebih menguntungkan kalangan pemodal atau pengusaha besar alias kapitalis. Secara substansial postur etatisme itu lebih memperlihatkan semangat sebagai demokrasi elitis. Kebalikan dari demokrasi partisipatoris yang menghargai dan menghormati hak-hak demokrasi dengan membuka partisipasi publik seluas-luasnya sebagai pengejawantahan kedaulatan rakyat. Katakanlah pemerintah dan DPR saat ini memang berhasil “memenangkan” pertarungan politik di parlemen melalui metode voting dengan senjata pamungkasnya yang bernama suara terbanyak. Palu sudah diketuk. Nasi sudah jadi bubur. Dan kegaduhan sudah tersulut. Unjuk rasa merebak di banyak daerah. Isunya bergeser menjadi “mosi tidak percaya kepada pemerintah dan DPR. Namun demikian, untuk jangka panjang, sejauh pola ini selalu dijadikan palu godam pemukul untuk kepentingan subjektif jangka pendek (politis), maka ia adalah racun yang pelan-pelan akan membunuh demokrasi dan melumpuhkan tubuh sebuah bangsa. Sebuah tragedi yang dapat dianalogikan dengan legenda “Malinkundang”. Sang anak yang sukses dan kuat itu, malah mendadak lupa akan ibu kandungnya. Ibu yang menyebabkannya hadir di bumi ini. Di bumi Pancasila, di dalam mana marwah musyawarah mufakat menjadi mercu suar demokrasi! Penulis adalahWartawan Senior & Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Mereka Berteriak Keras: Apakah Kalian Akan Menonton Saja?
by Asyari Usman Jakarta FNN - Kamis (08/10). Indonesia sedang berada di ambang kehancuran. Akibat pengelolaan negara yang dilakukan secara ugal-ugalan. Para pemimpin negara ini kelihatan tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan. Atau, mereka mengerti tetapi tidak peduli negara ini hancur-lebur. Sekarang, akumulasi masalah semakin menggunung. Para pemimpin hanya berpikir sektoral saja: bahwa semua ini bisa selesai dengan investasi asing. Dasar pemikiran sempit inilah yang melahirkan UU Cipta Kerja (Ciptaker). Yang sekarang diprotes rakyat. Di seluruh Indonesia. Dalam rangka menarik investasi sebanyak mungkin, pemerintah percaya bahwa kemudahan bisnis harus diciptakan. Kemudahan bisnis itu, menurut mereka, adalah kesewenangan dunia usaha terhadap kaum buruh. Selain itu, mereka percaya pula bahwa kemudahan bisnis itu kesewenangan terhadap sumber daya alam (SDA). Intinya, buruh harus tunduk pada keinginan pemilik usaha. Begitu juga SDA harus bisa dirusak sesuka hati mereka. Dua hal ini, yaitu buruh dan SDA, harus berada dalam genggaman wewenang dan kesewenangan para pengusaha. Khususnya, para pengusaha rakus. UU Ciptaker ini adalah ‘jalan tol’ para pengusaha untuk mempercepat dan mempermulus tindakan penghancuran bangsa dan kekayaan negara. Juga inilah ‘jalan tol’ menuju penyerahan kedaulatan negara kepada asing –khususnya kepada China. Presiden Xi Jinping sudah sejak lama menginginkan kemudahan untuk menjajah Indonesia dengan utang dan dengan menjadikan negeri ini sebagai pangkalan produksi mereka. Sekaligus sebagai pasar. Jauh sebelum UU Ciptaker disahkan, China sudah lebih dulu menyandera Indonesia dengan pinjaman untuk infrastruktur yang dikerjakan sendiri oleh China. Sejak itu, para pekerja dari China leluasa datang ke sini. Untuk bekerja. Mulai dari mengerjakan pekerjaan yang memerlukan ‘skill’ (keterampilan) sampai ke pekerjaan kategori kasar. China kini sudah berada di posisi mendikte para penguasa Indonesia. Mereka berkolaborasi dengan para pengusaha besar negeri ini yang kebetulan satu nenek moyang dengan mereka. Patut diduga, merekalah yang menjadi sponsor UU Ciptaker. UU baru yang dibanggakan oleh Presiden Jokowi itu, karena dianggap akan mempercepat kemajuan Indonesia, diprotes banyak pihak. Kaum buruh melihat UU Ciptaker akan menindas mereka. Kaum intelektual menafsirkan bahwa UU ini akan mengancam kepemilikan lahan. Para aktivis lingkungan memperkirakan kerusakan lingkungan akan menjadi-jadi. Sementara itu, kalangan mahasiswa kelihatannya menyadari bahwa masa depan mereka sebagai anak Indonesia akan terancam jika UU Ciptaker diberlakukan. Para mahasiswa, kalangan buruh, pelajar, dan elemen-elemen masyarakat lainnya melancarkan unjuk rasa dalam tiga hari ini. Mereka menuntut agar UU Ciptaker dibatalkan. Mereka berjuang keras dengan risiko besar. Bisa berdarah-darah bahkan bisa hilang nyawa. Macam-macam tindakan aparat keamanan yang dialami oleh para pengunjuk rasa. Umumnya, tindakan polisi rata-rata keras. Di sana-sini terekam kebrutalan terhadap pendemo. Boleh jadi para pendemo yang mempertaruhkan nyawa itu tidak saja berteriak agar UU Ciptaker dibatalkan. Melainkan juga berteriak keras, “Apakah kalian akan menonton saja?” Penulis wartawan senior FNN.co.id
Pak Idham Azis, Mana Janjimu Dulu?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (08/10). Dulu saat pertama dilantik sebagai Kapolri, janji Jenderal polisi ini sangat indah dan menyejukkan. Pak Idham Azis mengecam cara-cara penanganan demonstran yang brutal oleh aparat kepolisian. Untuk itu, dalam kepemimpinannya, akan mengubah cara penanganan aksi unjuk rasa tersebut agar lebih manusiawi dan simpatik. Tetapi di akhir masa jabatannya Kapolri, janji manis dan indah itu tidak terlihat di bawah kasus pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Ketika buruh dan mahasiswa berunjuk rasa menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, penanganan terhadap para pengujuk rasa yang manusiawi dan simpatik itu tidak terlihat dan terbukti. Penanganan aparat kepolisian sama saja. Masih tetap brutal seperti pada eranya Jendral Muhammad Tito Karnavian menjadi Kapolri. Bahkan dalam beberapa tempat lebih brutal lagi dari eranya Pak Tito. Peristiwa ini menjadi catatan buruk, bahkan hitam bagi anda pada saat pensiun nanti. Rakyat pemilik sebenarnya negeri ini, yang berunjuk rasa menutuk haknya sebagai warga negara untuk perbaikan bangsanya, dihadapi polisi seperti menghadapi teroris dan penjahat narkoba. Diperlakukan seperti musuh negara. Padahal dengan unjuk rasa seperti inilah Polisi bisa keluar, bahkan berpisah dari genggaman serta ketiaknya TNI. Modus bentrokan dan penganiayaan selalu sama. Yaitu diawali dengan provokasi satu dua orang terhadap aparat, lalu terjadi lempar-lemparan. Setelah itu, muncul sekelompok orang yang sepertinya "sangat dikenal" dan dipersiapkan oleh aparat untuk menyerang. Lalu terjadilah bentrokan dengan tembakan gas air mata. Buruh atau mahasiswapun terbawa arus. Ujungnya buruh atau mahasiswa itulah yang akan teraniaya, dan menjadi korban kejaran aparat kepolisian, anak buah anda Pak Idham. Kelompok yang suka memancing keributan itu tetap saja sehat dan segar bugar. Entah kemudian pergi kemana, karena sangat mahir untuk lolos dari penangkapan aparat kepolisian. Rupanya mereka spesialis dalam berbagai aksi dan pergerakan. "Harap jangan pukul kepala, karena di kepala itu bisa ada hafalan Qur'an dan Hadits" demikian himbauan seorang ustadz ketika berceramah di depan aparat kepolisian pada rakornas atau rapimnas kepolisian seluruh Indonesia. Kegiatan itu juga dihadiri juga oleh Kapolri Jenderal Idham Azis. Pak Kapolri sangat merespon ceramah dan himbauan sang ustaz agar jangan pukul kepala itu dengan positif. Pak Idham mengapresiasi dan menyatakan setuju dengan ceramahnya sang ustadz. Bahkan Pak Idham menyatakan akan memegang itu sebagai salah satu prinsip kepemimpinannya. Sayang di hari kemarin dan hari ini, aparat kepolisian yang bertugas di beberapa tempat untuk mengawal serta menangani unjuk rasa buruh dan mahasiswa, ternyata tidak mampu merealisasikan amanat janji Pak Kapolri itu dengan baik. Penanganan terhadap pengunjuk rasa yang humanis dan simpatik hanya ada dalam ceritra. Di lapangan, sama saja realitanya. Kita berharap pak Jenderal Idham Azis mengakhiri jabatannya dengan manis dan indah. Bukan dengan "su'ul khotimah". Sebab terlalu banyak banyak buruh atau mahasiswa yang merintih kesakitan akibat pukulan aparat pada badan dan kepalanya. Ingat Pak Idham, buruh dan mahasiswa yang berunjuk rasa tidak dibayar. Mereka berunjuk rasa dengan kesadaran sendiri. Mereka para buruh dan mahasiswa itu terpanggil jiwanya, raganya untuk memperbaiki nasib dirinya, nasib keluarganya dan nasib bangsanya yang mulai tergelincuir akibat salah kelola oleh penyelenggara negara. Mereka didorong untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sekedar berjuang untuk menjaga makan diri dan anak istrinya. Hak untuk mendapat perlindungan dari negara. Penangkapan, penganiayaan, bahkan konon ada korban yang tewas telah menjadi goresan hitam dari pemaksaan sebuah undang-undang yang merugikan rakyat. Diproduk dengan cara yang tidak sehat oleh para wakil rakyat yang tidak terhormat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.