OPINI

Pigai, Aktivis ‘98 Hebat, Top Markotop dan Mengagumkan

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Akhirnya Ambroncius Nababan ditetapkan sebagai Tersangka oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dalam kasus penghinaan kepada Natalius Pigai. Ambroncius sendiri sudah meminta maaf kepada Pigai. Penetapan status tersangka ini mengejutkan di tengah hukum yang biasa berpihak hanya kepada pendung penguasa. Natalius Pigai adalah tokoh kemanusiaan dan mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Tokoh Papua ini juga yang dikenal sangat kritis kepada pemerintah sejak pertengahan priode pertama Jokowi menjabat sebagai Presiden. Dalam membela masalah-masalah yang terkait dengan kejahatan kemanusiaan, Pigai tidak perduli pada latar belakang agama dan status sosial. Siapun pejabat negara yang berprilaku melanggar HAM dan hukum, dipastikan akan dilawan oleh Pigai yang aktivis 98 di Yogyakarta ini. Bahkan pernah tampail paling depan sebagai Ketua Tim Pembela ulama dan Habib Rizieq Shihab (HRS) ketika dikriminalisasi dulu, sebelum akhirnya hijrah ke Mekah Arab Saudi selama dua setengah tahun. Hebat, top markotop dan mengagungkan Pigai. Biasanya laporan kepada "lawan penguasa" dari tokoh kritis diabaikan oleh Kepolisian. Bahkan sangat sering laporannnya ditolak. Apalagi Ambroncius Nababan ini adalah Ketua Umum Relawan Pro Jokowi-Amin (Projomin) yang tentu masuk dalam klaster "kebal hukum". Namun kali ini Kepolisian bersikap lain. Tampaknya mau menegakan hukum kepada siapa saja. Mudah-mudahan semoga. Akun Facebook yang memuat foto Pigai dengan Gorilla konon sudah banyak beredar. Ambroncius Nababan hanya ikut-ikutan membuat narasi tentang Pigai dan Gorilla. Ditambah alasan pembelaan kepada Pemerintah atas penolakan Pigai terhadap vaksin Sinovac. Namun masalah ini menjadi serius, karena berkaitan dengan penghinaan kepada Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Persoalan Pigai dan Gorilla ini juga sangat tidak etis dan pantas. Sebab sudah menyentuh persoalan kemanusiaan yang disamakan dengan binatang. Hanya orang yang tidak berprikemanusiaan yang menyamakan manusia dengan binatang. Dengan demikian, orang tersebut tidak Pancasilais, sehingga tidak pantas hidup di negara dengan Falsafah Pancasila. Sikap Bareskrim Polri yang menetapkan Ambroncius Nababan sebagai tersangka, dan langsung ditahan menimbulkan tanda tanya. Apakah ini murni hukum menerobos budaya diskriminatif atau memang ada ketakutan politik soal rasisme yang dihubungkan dengan Papua? Takut juangan sampai peristiwa yang pernah terjadi Surabaya beberapa tahun lalu, yang mengakibatkan protes keras dan masif dari masyarakat Papua terulang kembali? Pigai selalu berteriak keras semasa Pemerintahan Jokowi terkait masalah-masalah yang berkaitan erat dengan pembunuhan, pembantaian, dan pelanggaran HAM di Papua. Pigai juga melawan mengkritik keras setiap prilaku yang berkaitan dengan rasisme kepada siapapun. Mabes Polri mewanti-wanti agar warga Papua tidak melakukan tindak pidana akibat isu rasisme ini. Dugaan nyali ciut atas Papua ini pantas muncul. Karena rasisme adalah isu yang tergolong sensitif. Isu yang dapat saja menggumpal hingga berskala Internasional. Gerakan separatisme juga semakin menguat sampai ada deklarasi Negara Papua Barat oleh Benny Wenda. Disamping itu Papua terus menjadi "mainan" kepentingan negara tertentu seperti Australia dan Amerika. Natalius Pigai memang hebat, top markotop dan mengagumkan. Sekarang akibat kasusnya, justru mendapat simpati warga Papua. Pigai bukan tokoh separatis. Namun Pigai tokoh yang sangat ansionalis. Rasa nasionalismenya yang tinggi membuat dirinya menjadi tokoh yang disegani. Sering berkorban untuk kepentingan orang lain. Pigai juga pelaku sejarah dan aktivis ‘98 tulen dari Yogyakarta. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jendral TNI (Purn.) Kehormatan (Hor.) Hendropriyono pun dibuat gelisah oleh sentilannya soal ancaman kepada eks Front Pembela Islam (FPI). Pembelaan Pigai kepada umat Islam mendapat apresiasi sangat tinggi. Pigai konsisten dengan pembelaan HAM dan keadilan tanpa mau melihat siapa dan apa latar belakang orang yang dibela tersebut. Soal pembantaian enam anggota Laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) Pigai dengan tegas dan jelas mengatakan sebagai “pelanggaran HAM berat”. Menurut Pigai, sangat mudah untuk membuktikan terjadinya “pelanggaran HAM berat” oleh aparat kepolisian. Namun snagat disayangkan, karena hasil penyelidiakan Komnas HAM tidak berani menyimpulkan terjadi “pelanggaran HAM berat”. Cuitan Twitter akun pribadi Pigai menohok PDIP dan Jokowi. Ketika menyatakan dari 34 menteri anggota kabinet Pemerintahan Jokowi, tidak satupun yang berasal dari putra Papua. Pigai juga menyatakan di "Jaman Jokowi dan PDIP yang memproduksi rasisme secara masif". Sikap dan pernyataan kritis dari Pigai ini sering membuat kuping penguasa panas. Salah satunya dampaknya adalah Ambroncius Nababan ditetapkan sebagai tersangka. Kini Ketum Jokowi-Amin telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mabes Polri. Proses lanjutan akan terus dipantau. Apakah Ambroncius Nababan benar-benar obyektif diadili atau proses hanya berfungsi sebagai peredam saja? Publik tentu saja akan mengikuti penangan masalah ini dengan serius. Apakah akan berunjung di pengadilan? Kita tunggu. Apapun itu, Natalius Pigai telah sukses membuat ciut nyali para pendukung Jokowi dalam membela perjalanan pemerintah Jokowi akibat berbagai masalah sosial ekonomi. Apalagi kegagalan pemerintahan Jokowi kini menumpuk di bidang kesehatan, terutama pengedalian pandemi covid-19 yang nyata-nyata gagal. Angka rakyat yang positif covid -19 menembus satu juta orang. Kenyataan ini semakin diperparah dengan resesi ekonomi yang terjun bebas dengan roket ke bawah, dengan minus. Bank Indonesia yang semula ada rencana mencetak uang Rp. 300 trilun kemungkinan batal, karena terlanjur dibocorkan oleh FNN.co.id. Bank Indonesia kemudian membatah rencana mencetak uang Rp. 300 triliun itu. Natalius Pigai memang tokoh muda bangsa dan aktivis ’98 yang fenomenal. Tetap konsisten, dan tampil apa adanya sebagai aktivis dan anak Papua. Tidak ada yang dibuat-buat dan direkayasa. Namun seorang Pigai berhasil memporak-porandakan pertahanan lawan dari jendral sampai relawan. Harap tetap menjadi kesahatan bung Pigai. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi bung Pigai dan keluarga untuk selalu mengawal dan menjaga tegaknya penghormatan kepada kemanusiaan manusia dan keadilan di Indonesia. Bung Pigai adalah “mutiara hitam dari upuk timur Indonesia”. Mutiara kalau dilempar ke lumpur, lalu diangkat lagi, tetap saja mutiara. Mutiara yang tidak pernah berubah warna, bentuk dan makna. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Tentara Cina Berdatangan ke Indonesia?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Setelah sebelumnya banyak kecurigaan bahwa Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Cina yang masuk ke Indonesia itu bukan semata-mata sebagai pekerja, tetapi juga tentara. Karena terlihat dari postur tubuh yang tegap. Kini kedatangan 153 orang melalui bandara Soekarno Hatta di masa pandemi juga sangat patut untuk dicurigai. Diantara 153 orang Cina yang masuk melalui bandara Soekarno-Hatta dengan alasan sebagai pekerja tersebut, 3 orang memegang visa diplomatik. Sisanya sebanyak 150 lainnya memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dan Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP). Entah mereka adalah rombongan yang ke berapa ratusan atau mungkin juga ribuan. Kedatangan warga Cina dengan alasan pekerja ini sungguh mengejutkan dan mencurigakan. Apalagi 153 pendatang tersebut menggunakan pakaian hazmat. Mengenakan Alat Perlengkapan Diri (APD) yang lengkap, sehingga sulit untuk bisa dilihat siapa mereka. Sangat mungkin tentara pula. Mengapa begitu seleluasa WNA Cina dapat masuk ke Indonesia dengan alasan sebagai pekerja? Ada apa dengan Direktorat Jendral (Ditjen) Imigrasi dan Pemerintah Indonesia sekarang ini? Demi kewaspadaan nasional dan keamanan negara, hal ini harus diusut dan diklarifikasi. Jangan sampai bangsa ini kelak dikejutkan dengan hal-hal yang tidak diinginkan bersama. Hanya karena kelengahan kecerobohan sebenarnya bisa dicagah dari awal. Presiden Republik Indonesia atau sekurangnya Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) harus menjelaskan di depan publik, siapa mereka? Selain itu apa antisipasi yang telah dilakukan pemerintah dalam merespons kekhawatirkan masyarakat atas kedatangan "makhluk misterius" seperti ini? Jangan sampai semua menjadi terlambat. Jangan sampai mereka adalah penyusupan yang difasilitasi oleh agen-agen bangsa kita, yang menjadi penghianat negara. Bekerja untuk kepentingan Cina dengan memasukan manusia-manusia misterius, dengan alasan TKA. Ketergantungan ekonomi tidak boleh menyebabkan ketergantungan maupun keterjajahan para pemimpin negara kepada Republik Rakyat Cina. Itu bahaya. Kita jadi teringat kembali bagaimana proses aneksasi Nina atas Tibet dahulu. Para tentara Cina itu ketika masuk ke Tibet menyamar sebagai pekerja. Namun berujung pada invasi militer Cina ke Tibet. Mega proyek dibuat sebagai investasi Cina di Tibet. Baik itu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Kereta Api (KA), Bandara Udara, maupun Jaringan Telekomunikasi. Proyek-proyek besar yang nyatanya sama sekali tidak menyejahterakan masyarakat Tibet. Akan tetapi lebih menguntungkan Pemerintah Cina dan migran Cina itu sendiri. Pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama terusir ke India. Industrialisasi Cina telah mengubah budaya rakyat Tibet. Tibet kini sepenuhnya dalam genggaman pemerintan komunis Cina. Masyarakat dan bangsa Indonesia gelisah dengan kebijakan Pemerintahan Jokowi yang membuka lebar-lebar pintu investasi, hutang luar negeri, dan migrasi WNA Cina ke Indonesia. Proses pewarganegaraan yang dipermudah sangat mengkhawatirkan. DPR harus melakukan pengawasan intensif dan serius atas kebijakan pemerintahan yang cenderung menerapkan politik luar negeri "tidak bebas aktif". Sekali lagi jangan sampai semua menjadi terlambat hanya karena alasan ekonomi yang berujung pada penghianatan . Mumpung belum terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan, terkait dengan keamanan dan stabilitas negara. Lakukan segera langkah-langkah penyelamatan. Nah, kembali kepada masuknya WNA Cina melalui Bandara Internasional Soekarno Hatta dengan berpakaian hazmat (hazardous material suit) yang patut untuk dicurigai, maka pertanyaan mendasar kita adalah apakah mereka itu Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Republik Rakyat China ? Waspada terhadap kemungkinan tentara yang siap melatih, mengkoordinasi, dan menginvasi. Waiting for the right moment to invade. Penulis adlah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Wakaf Ditengah Perampokan Yang Berlindung di Sekeliling Istana

Umat Islam bukannya tak senang bagian dari syari'at agama dicanangkan sebagai program nasional. Namun masalahnya, pemerintah menerapkan kebijakan yang ambivalen. Pada satu sisi umat Islam dicoba untuk dilumpuhkan melalui isu-isu radikalisme, intoleransi, terorisme, dan ekstrimisme. Juga melalui kriminalisasi terhadap para ulama dan aktivis. Sementara di lain sisi dana umat via zakat, haji, dan wakaf justru akan diambil untuk biayai infrastruktur. Para perampok banyak yang berlindung di sekeliling Istana by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sedang ramai bangsa ini menyoroti perampokan uang rakyat oleh mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dan rekan-rekannya dari partai Pertai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ini perampokan yang benar-benar brutal, dahsyat, jijik dan sangat bejat. Karena merampok dan memakan dana Bantuan Sosial (Bansos) yang seharusnya diperuntukan untuk rakyat kecil di saat pandemi. Disamping masyarakat menghendaki diberlakukannya hukuman mati untuk Juliari Batubara, juga muncul tuntutan dan desakan agar PDIP dibubarkan saja. Karena PDIP kini menempati urutan teratas sebagai penyumbang kader terbanyak yang terlibat korupsi. Tuntutan yang terbilang wajar, karena prikaku penipuan kepada rakyat, dengan mengusung tagline “Partai Wong Cilik”. Di tengah perampokan uang rakyat yang masif dan berkelanjutan dari Jiwasraya, Asabri, Pertamina, BPS Tenaga Kerja, hingga Lobster dan kini Bansos, justru Pemerintah mencanangkan Gerakan Nasional Wakaf Uang. Suatu gerakan mobilisasi uang rakyat yang sepertinya biasa-biasa saja. Tetapi menjadi luar biasa karena dicanangkan di saat “negara sangat membutuh uang ". Gerakannya sekilas terlihat seperti yang berpihak kepada umat Islam. Tetapi sebenarnya umat Islam sendiri menduga ada motif lain dari pencanangan ini. Motif ekonomi yang lebih dominan ketimbang ibadah. Sebagaimana diungkapan sendiri oleh Presiden yang menyatakan wakaf tidak hanya sebagai ibadah, tetapi juga sosial dan ekonomi. Sungguh pencanangan kebijakan yang menunjukkan kedangkalan keagamaan, dan pandangan sekuler yang memisahkan ibadah dan sosial ekonomi. Seorang muslim yang baik itu akan memandang aspek sosial dan ekonomi sebagai ibadah. Sementara yang terjadi pada penguasa sekarang adalah berupaya dengan sekuat tenaga agar memisahkan sosial ekonomi dari ibadah. Ibadah hanya identik dengan melaksanakan sholat, berpuasa selama bulan ramadhan dan puasa-puasa sunnah, pergi haji dan umroh, mengeluarkan zakat, infah dan shadaqah, mengurus dan menguburkan orang yang meninggal dunia, membangun mesjid dan musholla, mendirikan pasantren dan rumah sakit. Selain ibadah-ibadah muamalah itu, tidak dianggap sebagai ibadah. Mengkritik pemerintah yang zalim dan otoriter itu bukan ibadah. Mengingatkan pemerintah untuk tidak membangun dinasti politik keluarga, itu juga bukan ibadah. Tidak adanya penegakkan hukum kepada mereka yang pro kepada pemerintah, itu bukan ibadah. Berlaku tidak adil kepada sebagian warga negara, itu bukan ibadah. Tidak melaksanakan tujuan bernegara sebagaimana diamantkan Pembukaan UUD 1945, itu bukan ibadah. Membunuh rakyat sendiri tanpa proses pengadilan, itu bukan ibadah. Rezim ini sudah seperti kapal keruk yang karam di tengah laut. Sehingga perlu untuk dilakukan langkah-langkah penyelamatan. Mengeruk dana investor kini semakin tersendat dan susah. Mengeruk hutang dari asing, sudah sampai Rp 6.000 triliun. Itu rupanya belum cukup. Mengeruk uang umat Islam melalui eksploitasi zakat dan dana haji. Kini mencoba lagi mengeruk dana wakaf dari umat Islam. Potensi dana wakaf dari umat Islam setahun ada Rp. 188 Trilyun. Besarnya dana wakaf umat Islam itu membuat Menteri Kekuangan Sri Mulyani sudah bermimpi-mimpi untuk menggunakan dana itu. Mau dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur. Sayangnya, umat Islam terlanjur tidak percaya kepada rezim memelihara koruptor dan perampok berlindung di sekeliling kekuasaan ini. Umat Islam bukannya tak senang bagian dari syari'at agama dicanangkan sebagai program nasional. Namun masalahnya, pemerintah menerapkan kebijakan yang ambivalen. Pada satu sisi umat Islam dicoba untuk dilumpuhkan melalui isu-isu radikalisme, intoleransi, terorisme, dan ekstrimisme. Juga melalui kriminalisasi terhadap para ulama dan aktivis. Sementara di lain sisi dana umat via zakat, haji, dan wakaf justru akan diambil untuk biayai infrastruktur. Para perampok banyak yang berlindung di sekeliling Istana. Lagi-lagi infrastruktur pula yang menjadi orientasi dan tujuan utamanya penacanangan wakaf dana umat Islam. Padahal di proyek-proyek infrastruktur inilah perampokan banyak terjadi. Karena lepas dari pengawasan masyarakat luas. Hanya kalangan tententu yang bisa dan punya kemampuan untuk punya akses dan mengasi dan menghitung biaya-biaya untuk pembangunan infrastuktur. DPR yang diharapkan untuk mengawasi juga kemasukan angin. Celakanya lagi uang yang ada di BUMN pun dikorupsi. Begitu juga dana pinjaman untuk menanggulangi pandemi covid-19 bansos ikut dirampok habis. Prilaku penguasa yang sangat bejat. Akibatnya, krisis ekonomi yang sudah di depan mata sekarang, membuat pemerintah menggaruk apapun, termasuk dana wakaf umat Islam. Sayangnya Wapres yang Kyai selalu tampil menjadi tukang stempel kebijakan yang berhubungan dengan keumatan. Soal wajib dan halal vaksin, dana haji yang digunakan untuk keperluan selain haji, eksploitasi zakat, serta pembenaran wakaf yang digunakan untuk hal "di luar ibadah". Wakaf uang di tengah perampokan uang negara yang marak adalah tema dari drama negara. Ada sindiran gambar foto seseorang yang sedang melirik tajam sambil tersenyum, lalu ada tulisan di atasnya "that moment" dan di bawahnya ada tulisan “when the corruptor hear Wakaf”??? he he he. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Ada Apa Dengan Presiden Jokowi?

By Hersubeno Arief PRESIDEN Jokowi Senin (25/1) menyampaikan perasaan syukurnya. Pemerintah bisa mengendalikan pandemi dan ekonomi. "Kita bersyukur Indonesia termasuk negara yang bisa mengendalikan dua krisis tersebut dengan baik," kata Jokowi dalam acara Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Persekutuan Gereja-gereja (PGI) di Indonesia. Pernyataan itu sesungguhnya agak janggal, sekaligus mengejutkan. Sebab pada saat Presiden menyampaikan pidato, angka positif Covid-19 999.256. Beberapa ratus kasus lagi, bakal menyentuh angka 1 juta. Sembuh 809.488, dan meninggal dunia 28.132 jiwa. Sebuah media media mencatat, dalam 1 bulan terakhir Presiden bahkan menyampaikan rasa syukurnya itu sebanyak tiga kali. Artinya pernyataan itu tidak salah. Presiden sangat puas dengan kinerja pemerintahannya mengendalikan krisis. Tiba-tiba selang sehari kemudian, Selasa (26/1) Presiden menyampaikan duka citanya karena positif Covid-19 melampaui angka 1 juta. Persisnya positif Covid-19 1.012.350 kasus. Dari jumlah itu, sebanyak 820.356 orang dinyatakan telah pulih, 163.526 orang menjalani perawatan di RS atau isolasi mandiri. Sementara 28.468 orang lainnya meninggal dunia. Sebagaimana diungkapkan oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin, Presiden Jokowi mengundang sejumlah menteri untuk Rapat Terbatas. Kepada media, Menkes Budi Gunadi mengaku mendapat titipan pesan dari Presiden Jokowi. Budi mengatakan pemerintah sangat berduka karena banyak masyarakat yang meninggal akibat Covid-19. Selain itu, sambungnya, ada lebih dari 600 tenaga kesehatan yang sudah gugur dalam menghadapi pandemic Covid-19. “Mungkin sebagian dari keluarga dekat dan teman dekat kita juga sudah meninggalkan kita. Itu momen pertama yang harus kita lalui, bahwa ada rasa duka yang mendalam dari pemerintah dari seluruh rakyat Indonesia atas angka ini,” ujar Menkes. Bila kita cermati dari redaksinya, Presiden sesungguhnya tidak secara langsung menyatakan duka citanya. Menkes menggunakan kosa kata “pemerintah,” juga seluruh “rakyat Indonesia. ”Hanya saja media kemudian menggunakan judul “Presiden Jokowi berduka cita, kasus Covid-19 Tembus 1 juta.” Dua pernyataan berbeda itu menunjukkan situasi paradok dalam pemerintahan, khususnya Presiden Jokowi. Bagaimana mungkin hanya dalam waktu 24 muncul dua pernyataan yang sangat jauh berbeda. Sebuah media menggambarkan situasi ini dengan sindirin kocak, sekaligus memprihatinkan. Harian Rakyat Merdeka membuat headline dengan judul “Syukur Alhamdulillah, Berubah Menjadi Innalillah.” Ucapan syukur Presiden ketika angka Covid-19 hampir menyentuh 1 juta, sesungguhnya membuat banyak kening berkerenyit. Angka tersebut, tidak layak disyukuri. Apalagi berdasarkan perhitungan para ahli pandemi, angka sesungguhnya bisa berkali lipat. Ada yang menyebutnya tiga kali lipat. 10 kali lipat. Bahkan sampai 27-28 kali lipat. Intinya jauh lebih besar dibandingkan data yang setiap hari dipublis pemerintah. Soal kacaunya data milik pemerintah itu sudah diakui oleh Menkes Budi Sadikin. Dia mengakui strategi testing pemerintah salah. Dampaknya bisa dipastikan, tracing (penelusuran) dan treatmentnya juga salah. Kacau balau lah semuanya. Bahkan untuk pelaksanaan vaksin, Menkes sampai mengaku kapok menggunakan data Depkes. Mengapa bisa begitu? Mengapa Presiden Jokowi mengeluarkan berbagai pernyataan yang ajaib untuk masalah seserius Covid-19. Pernyataan yang membuatnya, jadi bulan-bulanan media dan media sosial? Mereka kemudian membanding-bandingkan pernyataan Jokowi dengan berbagai kepala negara lain. Akun Instagram Pandemitalks membuat perbadingan pernyataan Presiden Filipina Duterte dengan Jokowi. Dengan populasi 110 juta jiwa, Presiden Filipina langsung mengakui kesalahannya. Padahal saat itu angka positif Covid “baru” tembus 100 ribu. “Kami gagal total. Tidak ada yang mengantisipasi ini,” tegasnya. Di Indonesia, dengan populasi 270 juta, dan angka Covid nyaris tembus 1 juta, Presiden Jokowi menyatakan “bersyukur. ”Situs Pandemitalks biasanya hanya memaparkan data-data saja, tak mampu menahan diri untuk tidak bersikap nyinyir. Ketika akhirnya angka positif Covid tembus 1 juta, Presiden menyatakan duka cita secara tidak langsung. Sehari kemudian Rabu (27/1) PM Inggris Boris Jhonson mendapat pemberitaan besar-besaran di media. Angka kematian di Inggris tembus 100 ribu. Jhonson secara gentlemen menyampaikan permintaan maaf. Dia bertanggung jawab atas semuanya. "Saya sangat menyesal untuk setiap nyawa yang hilang. Tentu saja sebagai perdana menteri ini menjadi tanggung jawab penuh saya terhadap apa-apa saja yang pemerintah telah lakukan," kata Boris dalam konferensi pers dan dikutip dari BBC. Silakan Bandingkan Pada hari yang sama angka kematian di Indonesia yang dilaporkan sebanyak 28.855 orang. Mengingat kacaunya data yang dimiliki pemerintah, kemungkinan angkanya jauh lebih besar. Tidak menutup kemungkinan sudah mendekati, atau bahkan lebih dari 100 ribu. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi Pak Jokowi? End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Presiden & Kapolri Baru, Kunci Penuntasan Pembunuhan Laskar FPI

by Dr. Margarito Kamis SH. Mhum. Ternate FNN - Terbunuhnya enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) tanggal 7 Desember 2020, hampir dua bulan yang lalu, memunculkan dua fakta. Fakta yang ditemukan oleh Polri, dan fakta yang ditemukan Kimisi Nasiona Hak Asasi Manusia (Komnas Ham). Kedua temuan itu berbeda pada sejumlah aspek krusialnya. Fakta itu muncul pada waktu yang berbeda. Fakta yang ditemukan Polisi mendahului fakta yang ditemukan Komnas Ham. Fakta yang ditemukan Polisi terlihat selaras dengan pernyataan Irjen Pol. Fadhil Imran, Kapolda Metro Jaya. Esensi pernyataannya adalah Laskar menyerang petugas. Serangan itu membahayakan keselamatan petugas, sehingga terjadi baku tembak. Baku tembak versi Kapolda itulah yang direspon Bareskrim, yang dipimpim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo. Mereka telah melakukan reskonstruksi. Aspek Non Hukum Rekonstruksi terlihat berbasis kasus menurut Muhamad Fadil Imran, Kapolda Metro Jaya. Sekarang ini buntu. Ini disebabkan Komnas Ham menemukan kenyataan yang berbeda. Empat orang mati setelah diangkut dengan mobil petugas. Dua lainnya mati, entah saat baku tembak atau setelah jedah. Empat orang yang mati setelah diangkut dengan mobil petugas, jelas. Unlawfull killing. Dua lainnya tidak diberi sifat lawfull atau unlawfull killing. Apapun itu, kematian mereka mewakili satu kecenderungan. Bahkan pola kematian mereka yan teridentifiksi kritis terhadap pemerintah. Kematian itu, untuk alasan apapun, tidak bisa dilepaskan dari gairah pemerintah menandai Habib Rizieq Shihab (HRS). Nampaknya HRS ditandai sebagai oposan tulen terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. Terus saja begitu setelah HRS kembali dari mengasingkan dirinya ke Arab Saudi. Segera setelah tiba di tanah air, HRS yang kritis ini menggaungkan apa yang beliau sebut “revolusi ahlak.” Entah untuk merealisasikan hasratnya atau bukan, terlihat secara empiris HRS melakukan serangkaian kegiatan. Sangat akseleratif. Setelah merayakan Maulid Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam, yang dihadiri lautan kecil manusia di Petamburan, beliau bergerak ke Mega Medung. Mirip di Petamburan, sambutan orang di Mega Mendung juga terlihat bagai lautan kecil. Di Mega Mendung, entah saat itu juga atau setelahnya, HRS telah berada dalam pantauan aparatur kepolisian. Polda Metro nampaknya menemukan justifikasi untuk mengintensifkan pemantauan itu. Sadar atau tidak, diperhitungkan atau tidak oleh Habib, ketidakhadiranya memenuhi penggilan penyidik Polda Metro dalam kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan, menjadi justifikasi Polda. Waktu terus berjalan, hingga tiba pada tanggal 14 Januari 2021, Komnas Ham menyerahkan laporan penyelidikannya ke Presiden. Apa respon Presiden? Presiden tidak menyatakan sendiri sikapnya. Melainkan sikap Presiden dinyatakan oleh Menko Polhukam. Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan kalau Presiden Joko Widodo sudah menerima kesimpulan maupun rekomendasi Komnas HAM terkait insiden “baku tembak” (tanda petik dari saya) laskar FPI dengan aparat kepolisian. Tadi Presiden sudah menerima laporan investigasi dengan semua rekomendasinya. (Lihat CNN. Indonesia.com. 14/1/2021). Apa betul Presiden memiliki persespi peristiwa ini sebagai baku tembak? Baku tembak atau menembak? Semoga tidak begitu. Bila betul begitu, maka tantangan pengungkapan kasus ini tidak bisa dianggap sepele. Sebab kenyataannya, tidak persis sama dengan persepsi Presiden, yang dinyatakan oleh Menko Polhukam itu. Dalam konfrensi pers penyampaian kesimpulan investigasi mereka, Komnas membagi, dalam esensinya, area peristiwa kematian keenam orang laskar FPI ini. Dua orang mati, entah pada saat kejar-kejaran, serempet-menyerempet dan seruduk-menyeruduk, terutama disepanjang jalan Internasional Karawang Barat, diduga hingga Kilometer 49, dan berakhir di Kilometer 50. Komnas menyebut bahwa di Kilometer m 50 Tol Jakarta Cikampek (Japek), 2 (dua) orang anggota Laksus ditemukan dalam kondisi meninggal. Empat lainnya masih hidup, dan dibawa dalam keadaan hidup oleh petugas Kepolisian. Dua orang mati saat baku tembak didalam mobil? Empat orang itu ditembak di dalam mobil petugas yang membawa mereka dari Kilometer 50 menuju Polda Metro Jaya. Penembakan ini, menurut Komnas Ham merupakan respon petugas atas sikap keempatnya melawan petugas. Sikap keempat almarhum, yang hanya diterangkan oleh petugas itu, membahayakan keselamatan petugas, (Lihat Press Rilis Komnas Ham, tanggal 8 Januari 2021). Kalau begitu, mengapa Presiden tidak bicara sendiri? Mengapa sikap Presiden disampaikan oleh Menko Polhukam? Apa yang membuat Presiden tidak menyampaikan sendiri sikapnya? Ini menarik dianalisis. Transparansi penyidikan kasus ini, mungkin akan menjadi sesuatu yang sangat sulit diwujudkan. Sikap Presiden, suka atau tidak harus dipertimbangkan. Presiden boleh saja bicara buka kasus ini setuntas-tuntasnya. Tetapi masalahnya tidak disitu. Masalahnya mengapa lebih dari sebulan tidak ada instruksi spefisik kepada Kapolri dan Kabareskrim untuk mengusut secepat, tepat dan transparan kasus ini? Setidaknya instruksi itu dikeluarkan segera setelah Komnas menyampaikan temuannya ke masyarakat. Apakah kelambanan itu menjadi cerminan Presiden memiliki persepsi FPI sebagai Ormas yang memecah belah? Berkarakter rasis? Berada di atas negara? Apakah Presiden memiliki persepsi FPI sebagai Ormas yang terus-terusan menyusahkan Presiden? Semoga saja tidak. Pelarangan FPI berkegiatan, pemblokiran rekening-rekening FPI, dengan alasan adanya aliran dana dari luar negeri sekalipun, semuanya menyatu menjadi tirai tebal antara Presiden dan FPI. Menumpuknya tuduhan kepada HRS, suka atau tidak, telah menandai soal lain, yang menghasilkan kesulitan bekerjanya transparansi dalam pengungkapan kasus ini. Menjadi ajudan Presiden, mungkin menghasilkan keadaan tertentu antara Kapolri dengan Presiden. Mungkin saja. Tetapi lupakan saja itu. Soal terbesarnya bukan disitu. Soal terbesarnya adalah Bareskrim di bawah Komjen Listyo Sigit terlihat kelewat lambat menyidik kasus ini. Kabareskirm memiliki wewenang menyidik kasus ini. Tanpa perlu menunggu rekomendasi Komnas HAM yang berada di tangan Presiden. Apa yang membuat Kabareskrim lambat? Mengapa Kabareskrim tidak responsive? Mengapa responsif baru diucapkan dalam fit and proper test sebagai calon Kapolri? Tidak Bisa Berharap Bisakah faktor teknis, apapun itu, disodorkan sebagai penyebab lambatnya pengungkapan kasus ini? Bila iya, maka soalnya beralih ke level kerja transparansi berbasis due process of law penyidikan kasus ini. Pada titik ini tantangan baru segera menemui Kapolri baru. Apa tantangan itu? Dapatkah dua mobil yang menurut Komnas Ham tak teridentifikasi dari satuan mana, tetapi aktif terlibat dalam pembuntutan itu, disajikan secara tuntas? Ini bukan soal penyidik pemeriksa. Sama sekali bukan. Soal ini berada diluar kendali mereka. Ini bukan soal Kabareskrim baru. Ini soal Kapolri baru nanti. Termasuk dalam soal itu adalah menemukan fakta yang kokoh atas kematian dua orang yang terpisah dari kematian keempat orang lainnya. Logiskah penyidik bekerja hanya sebatas kesimpulan lemah Komnas Ham? Berhenti pada petugas yang ada dalam mobil? Kematian dua orang yang terpisah dari empat almarhum, seolah telah beres dengan kesimpulan Komnas Ham. Tidakkah bekas tembakan justru menghadirkan keharusan untuk meragukan temuan Komnas? Tembak-menembak lalu peluru kena dada keduanya? Diturunkan dari mobil di Kilometer 50 dalam keadaan telah mati? Keraguan juga menemukan alasan untuk diketengahkan dalam mengenal sebab sesungguhnya dari kematian keempat orang almarhum. Area peristiwa itu (dalam mobil) memang memudahkan penyidik menemukan pelakunya. Tetapi bukan disitu soalnya. Soalnya adalah setepat apakah penyidik menyajikan fakta secara utuh. Untuk apa? Agar distribusi tanggung jkawab menjadi adil. Konsekuensinya penyidik tidak memiliki pilihan lain selain harus menggali setuntas-tuntasnya prosedur penanganan keempat almarhum itu. Pada titik ini, penyidik mau tidak mau, akan berhadapan dengan tuntutan teknis yang logis. Penyidik dipaksa secara teknis mendapatkan keterangan, misalnya apakah para petugas melaporkan keadaan keempat orang yang telah berada dalam mobil kepada atasan atau tidak? Termasuk bagaimana keputusan membawa keempat almarum ke rumah sakit. Apakah keputusan membawa keempat almarhum ke rumah sakit, dibuat sendiri oleh petugas dalam mobil itu atau diperintahkan oleh orang lain? Logiskah petugas dalam mobil mengambil prakarsa menembak mereka? Rumitkah ini secara teknis? Terlihat tidak. Kerumitan non teknis, untuk sejumlah alasan, merupakan tantangan terberat yang melingkari kasus ini. Politik hukum pemerintahan Presiden Jokowi mungkin tak bakal dapat menyediakan energi untuk transparansi bekerja setuntas-tuntasnya. Itu sebabnya siapapun dapat memasuki soal ini dengan menyatakan serelatif apapun kasus ini terungkap, mungkin sudah sangat hebat. Tidakkah kematian 7 (tujuh) pendemo tanggal 21 Juni 2019, dalam protes hasil pemilu juga berlalu begitu saja? Tak ada yang dibawa ke depan pengadilan. Mereka diidentifikasi melalui investigasi sebagai pembuat kekacauan. Membuat kekacauan diambil dan disodorkan sebagai alasan pembenar. Argumen itu membut peristiwa tragis ini berlalu begitu saja bersama waktu. Sebanyak 989 petugas KPPS pemilu 2019, yang juga mati ditengah dan dalam waktu berdekatan dengan penyelesaian penghitungan pemilu, hanya jadi cerita pilu dan hitam ditengah gelora demokrasi dan rule of law. Tak ada satu pun manusia yang dihadapkan ke pengadilan. Terlihat sama polanya. Kematian demonstran penolak RUU KUHP dan UU KPK juga berlalu begitu saja saja. Dilansir dari Merdeka.com tanggal 17 Okober 2019, total ada lima korban meninggal pasca demo berujung ricuh dengan polisi tersebut. Mereka adalah Maulana Suryadi (23), Akbar Alamsyah (19) dan Bagus Putra Mahendra (15) di Jakarta dan dua mahasiswa Universitas Haluoleo yakni Immawan Randi (21) serta Muhammad Yusuf Kardawi (19). Sementara jumlah korban luka tak diketahui persis berapa banyaknya. Satu yang paling parah adalah mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia, Faisal Amir (Merdeka.com, 17 Oktober 2019). Kematian-kematian dalam lintasan berdimensi politik, sejauh ini terlihat memola menjadi hal biasa disepanjang pemerintahan Jokowi. Bikin ricuh, bikin kacau atau ditunggangi, terlihat menjadi alasan terpola, yang membenarkan kematian tersebut. Itu sebabnya mengharapkan lebih dari yang bakal disajikan dalam penydikan kasus Kematian laskar FPI, pasti terasa aneh. Akan muncul berbagai keadaan justifikasinya. Toh hukum dalam dimensi politik, untuk semua alasan yang mungkin dipakai, selalu begitu, menjadi hamba politik. Politik putih, hukum putih. Politik hitam, hukum hitam. Politik busuk, hukum jadi alat tercaggih memukul oposan. Begitulah sejarah bangsa ini menuliskannya. Presiden Jokowi dan Pak Kapolri sekarang dan baru nanti mau ditulis sejarah sebagai apa? Sejarah akan menemukan dan menulis bapak berdua, entah sebagai apa. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Mimpi Partai Islam Ideologis

by DR. Masri Sitanggang Medan FNN - Nasib Umat Islam Indonesia terkait erat dengan kendali politik dan kekuasaan. Bila memiliki pengaruh kuat, umat islam bisa bernafas lega. Sayangnya, sejarah Indonesia lebih banyak diwarnai lemahnya pengaruh umat Islam terhadap kendali politik. Kekuasaan pun sering tak ramah (untuk menghindari kata phobi) terhadap Islam. Padahal, para penguasa negeri ini, sebagaimana rakyatnya, mayoritas beragama Islam. Presiden pun, sejak Indonesia menyatakan merdeka, belum pernah beragama selain Islam. Setidaknya, itulah yang tertulis di KTP mereka. Memang, ada masa-masa dimana Umat Islam bisa bernafas lega. Tetapi itu sebentar saja ketika awal-awal merdeka. Awal Soeharto berkuasa dan masa akhir kekuasaan Soharto. Di awal-awal merdeka, itu terjadi karena pejuang kemerdekaan bisa dibilang lebih 95 persen adalah muslim dan perjuangannya pun berspirit Islam. Jadi, pada masa itu, banyak pemimpin yang menentukan politik negara memiliki spirit Islam. Pada awal Suharto berkuasa, bisa dibilang Umat Islam adalah korban utama, sekaligus front terdepan dalam menumpas, PKI dan menghantarkan Soeharto ke kursi presiden. Pada akhir-akhir kekuasaannya, muncul kesadaran sang Prabu Orde Baru itu untuk lengser keprabon madeg pandhita. Turun tahta kemudian menjadi seorang pandhita (baca muslim yang baik). Bersamaan dengan itu, kemungkinan sekali muncul pula kesadaran Soeharto bahwa membangun Indonesia tidak mungkin mengabaikan umat Islam. Begitulah. Selebihnya, sedikit lega di awal reformasi dan akhirnya kini menukik ke titik nadir. Terpinggirkan. Apakah jumlah umat Islam di lingkaran kekuasaan dan pengambil kebijakan politik merosot dari tahun ke tahun sejak Indonesia merdeka? Sehingga umat Islam kian terpinggirkan? Bisa jadi iya. Tetapi Umat Islam tidak pernah punya data persentase pejabat negara berdasarkan agama. Apakah masih tetap proporsional dengan persentase pemeluk agama di Indonesia atau tidak? Berkaca pada partai politik sebagai representasi kelompok perjuangan ideologi yang menentukan kekuasaan, perolehan kursi di DPR oleh partai-partai Islam pada Pemilu 2019 sangat rendah. Bila PKB, PKS, PAN dan PPP bisa disebut milik umat Islam, maka perolehan kursi partai-partai itu hanya 29,7% dari total kursi yang tersedia. Turun 4 kursi dari pemilu 2014, atau berkurang 14,03 persen dari hasil pemilu tahun 1955. Pemilu tahun 1955 itu, total perolehan partai-partai Islam mencapai 43,73 persen. Kekuatan poltik di DPR jelas memperngaruhi perbandingan pejabat negara berdasarkan pemeluk agama. Artinya, untuk saat sekarang, diduga (sekali lagi karena belum ada data) jumlah pejabat Islam yang menduduki jabatan penting negara berkurang sejalan melemahnya kekuatan mereka di parlemen. Secara statistik, persentase umat Islam di DPR sebagai lembaga pertarungan ideologi, mungkin saja masih unggul. Tetapi persoalannya adalah, tokoh-tokoh Islam yang berasal dari partai-partai sekuler sudah memiliki beban ideologis partainya sendiri. Cilakanya, pada banyak hal, ideologi yang diemban partai sekuler itu berseberangan dengan Islam. Nada ini tentu saja seirama dengan pejabat-pejabat penting negara, terutama yang pengangkatannya kuat dipengaruhi kekuatan politik. Setidaknya, ditinjau dari aspek ideologis, kualitas keislaman mereka bisa dibilang lemah. Bukan saja lemah dibandingkan dengan nilai Islam ideal, tetapi juga lemah bila dibanding pendukung ideolog selain Islam. Sementara itu, partai-partai Islam pun kurang teguh berpegang pada ideologinya. Pertimbangan praktis-pragmatis sering lebih mengedepan dari pada pertimbangan ideologis. Salah satu pertimbangan praktis-pragmatis itu adalah demi “menyelamatkan” partai dari sasaran tembak. Artinya, partai partai Islam lebih mengutamakan wadah (partai) dari pada perjuangan ideologinya. Akhirnya, partai-partai Islam kehilangan militansinya sekaligus wibawanya dalam pertarungan politik. Akhirnya, keberadaan partai-partai Islam tak lebih sebagai pelengkap demokrasi. Karena itu masuk akal jika kemudian ada yang memimpikan lahirnya Partai Islam yang Ideologis. Sebuah partai massa kader yang benar-benar dilandaskan pada prinsip-prinsip Islam serta berjuang menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan diri orang per orang, keluarga, masyarakat dan berbangsa. Partai ini diharapkan tampil sebagai gerakan perlawanan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Islam. Akankah mimpi ini bisa terwujud ? Waktulah yang bisa menjawabnya. Namun harus pula disadari bahwa sejumlah persoalan internal umat Islam masih menjadi kendala. Jumlah umat Islam yang begitu besar di Indonesia, ternyata minim dalam sumber daya untuk membangun partai Islam Ideologis. Kembali berkaca pada Pemilu 2019, dengan berpatokan pada persentase penduduk Muslim Indonesia yang 86% (data ini juga masih simpang siur antara 85% sampai dengan 87%), berarti ada lebih dari 56% dari 86% lebih umat islam memilih partai sekuler. Ini kenyataan yang bisa terbaca hari ini. Yang manarik, bahwa yang bersemangat untuk mendirikan partai Islam ideologis adalah mereka yang bukan dari latar belakang pendidikan agama Islam. Atau, kebanyakan malah kurang terdidik secara Islam. Mereka yang dibesarkan di lingkungan pendidikan Islam (atau boleh disebut ulama) cendrung pasip. Menunggu atau malah tak ingin terlibat sama sekali soal perjuangan politik. Pertanyaaannya adalah, bagaimana kualitas ideologi Islam yang diemban partai Islam Ideologis nantinya? Sebagai bandingan, para petarung partai-partai sekuler (terutama sosialis dan kumonis) –yang menjadi lawan tanding partai Islam Ideologis, mengunyah habis dan berpegang teguh pada kitab dasar ideologi mereka seperti Das Capital-nya Marx, Manifesto Komunis dan secara konsisten pula membangun kerangka berfikir seperti Madilog-nya Tan Malaka. Ini tentu saja, sangat mengakhawatirkan. Para petarung ideologis Islam maju ke gelanggang dengan minim penguasaan terhadap Kitab Pedomannya (alqur’an dan hadits, sebagai sumber nilai yang akan diperjuangkan). Pepatah Arab mengatakan “teko yang kosong tidak mungkin mengisi gelas”. Karenanya, para petarung partai Islam Ideologis yang kosong dari nilai-nilai qu’an dan sunnah, tidak mungkin akan mengalahkan (mengisi ) lawan. Malah sebaliknya, akan tersisi (larut) dengan ideologi lawan. Maka, kelahiran Partai Islam Ideologis hanya akan menambah bilangan partai saja. Mungkin akan ada yang membantah pandangan ini. Tetapi Muahmmad Ghazali dalam bukunya Islam, Arab dan Yahudi Zionis yang terbit di awal 1980-an telah menguraikan panjang lebar tentang bukti kekalahan negara-negara Arab dalam perang Arab-Israel yang beruntun sejak 1948-1967. Inti soalnya adalah, bahwa Arab turun ke gelanggang dengan semangat nasionalisme Arab. Bukan semangat nilai Islam yang dibawa arab ketika melawan Israel. Sementara Israel turun dengan keyakinan bahwa mereka sedang menjalankan missi suci agama merebut tanah yang diberkati. Tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka. Ada sebahagian yang berkeyakinan, bahwa Islam dapat menang dan mencapai kejayaanannya tanpa harus mengisi diri dengan Al-qur’an dan sunnah. Mereka begitu percaya diri dengan teori-teori yang dibangun berdasar rasionalitas. Dalam banyak hal, nilai Islam harus disembunyikan dalam rangka berjuang menegakkan Islam. Lebih dari itu, mereka bahkan memandang ulama sebagai orang yang kurang punya kemampuan politik (untuk menghindari kata Sufahaau dalam QS 2: 13). Oleh karena itu, sering sekali parta-partai Isam menjadikan Ulama hanya sebagai pemanis, sebagai pajangan supaya partai terlihat Islami dan indah dipandang mata. Namun ulamanya tidak diberi peran yang menentukan. Fenomena inilah yang telah dilukiskan oleh Abul A’la Maududi dalam bukunya Penjajahan Peradaban (1986). Para sarjana Islam, kata Maududi, bersemangat membangun kembali kejayaan Islam. Tetapi dengan metode dan pemikiran rasionalitas yang dibangun oleh musuh-musuh Islam. Ini sama saja cerita bohong. Para sarjana ini, menurut Maududi, sesungguhnya tak lebih dari perpanjangan tangan para penjajah untuk melanggengkan penjajahan peradaban di dunia Islam. Fenomena menjadikan ulama hanya sebagai pajangan, boleh jadi menjadi salah satu alasan mengapa banyak ulama yang kemudian enggan untuk terlibat dalam urusan partai. Memang, sangatlah tak menyenangkan bila orang yang diberi predikat “warisatul anbiayai” ditempatkan di pinggiran oleh orang-orang yang seharusnya mendapat pencerahan nilai-nilai Islam. Sikap ini pernah juga terjadi pada Masyumi setelah Kongres 1949, yang mendapat kritik keras dari Nahdatul Ulama dan A. Hasan Persis. Sementara sebagian ulama lebih suka mengalah untuk menghindari konflik. Menjaga hati agar tetap ikhlas. Menghindari tuduhan “punya ambisi” ingin jabatan. Padahal, konflik itu sendiri adalah bagian dari pertarungan menegakkan kebenaran. Mengalah karena menghindari konflik dengan kebathilan pada hakekatnya membiarkan kebathilan terus berlangsung dan menumbuhkan konflik-konflik lanjutan. Dalam konteks bernegara misalnya, kita lihat peristiwa-peristiwa ini. Sehari sesudah merdeka, Piagam Jakarta yang telah digodok berhari-hari dan disahkan oleh BPUPK untuk dijadikan falsafah negara, dirubah dalam hitungan beberapa menit di luar sidang pada tanggal 18 Agustus 1945. Tokoh-tokoh Islam mengalah, tidak ngotot, konon “demi menjagja persatuan” karena ada ancaman dari Indonesia bagian Timur yang tidak akan ikut dalam republik jika Piagam Jakarta tidak diubah. Hilanglah kewajiban negara untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rasakanlah dampaknya kini. Ketika Soekarno dan Hatta “menyerah” serta Jogja sebagai ibu kota Indonesia dikuasai sekutu, Syafruddin Prawiranegara memimpin Republik Indonesia dari pengasingan. Tokoh Islam sekaligus tokoh Mayumi ini menjadi Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia menyelamatkan eksistensi republik dari agresi meliter maupun diplomasi internasional. Namun setelah Soekarno dibebaskan, jabatan Presiden itu diserahkan lagi kepada orang yang sudah menyerah. Mungkin takut dikata sebagai punya ambisi jabatan. Masih banyak catatan “keikhlasan” (bisa disebut kelemahan) masa lalu yang membuat nasib umat sekarang seperti ini. Andaikan dua hal itu, soal Piagam Jakarta dan PDRI, waktu itu kita ngotot, mungkin sejarah repuiblik ini akan sangat berbeda. Sebagai bandingan, cerita tentang respon utusan Taliban, Gulbuddin Hekmatiyar atau Rasul Sayaf? terhadap nasehat Anwar Haryono ketika mereka berkunjung ke Markas Dewan Dakwah di Jalan Kramat Raya 45 pertengan 1990-an. Anwar Haryono menasehatkan para Taliban menerima proposal rekonsiliasi di bawah Presiden Rabbani untuk mengakhir konflik, dan demi persatuan rakyat Afghanistan. Yang penting merdeka dulu. Rabbani adalah Presiden Afghanistan dukungan Amerika Serikat. Utusan Taliban itu merespon lebih kurang begini, “kami tidak ingin mengulangi pengalaman Indonesia tentang Piagam Jakarta”. Maka, kita saksikan, mereka terus berjuang dan akhirnya menang dengan Islamnya. Amerika pun menyerah kepada para pejuang Taliban. Kita harus merubah sikap mental bila ingin mewujudkan mimpi Partai Islam Ideologis. Ulama harus betul diposisikan sebagai pemimpin dan panduan. Nilai-nilai Islam (argumentasi berdasar nash-nash alqur’an dan sunnah) senantiasa menjadi budaya dan landasan setiap aktivitas. Sikap mental petarung, termasuk merebut jabatan dalam rangka menegakkan yang haq untuk mewujudkan kemaslahatan. Menghindari jabatan itu jatuh kepada orang yang kita khawatirkan kemaslahatannya, harus menjadi karakter. Itulah militansi. Hadits tentang tidak dibolehkan meminta jabatan harus dipahami secara benar dengan membandingkannya dengan sejumlah hadits lain, diantaranya hadis dari Usman bin Abil ketika ia meminta kepada Rasul, “jadikanlah aku sebagai pemimpin kaumku”. Nabi mengabukan dengan menjawab, “kamu adalah pemimpin mereka (HR Ahmad no. 16270). Atau dengan kisah Nabi Yusuf yang minta jabatan, dengan diangkat menjadi bendaharawan negara (QS 12:55). Pemahaman saya, hadits-hadits ini akan mengarahkan pada berkesimpulan bahwa jabatan harus diberikan kepada yang amanah dan berkopetensi. Penulis adalah Sekjen Masyumi Reborn.

Mengapa Semakin Kuat Desakan PDIP Dibubarkan?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Jika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan alasan ideologi, Front Pembela Islam (FPI) soal administrasi dan anggota yang terlibat terorisme, maka Partai demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang beralasan ideologi dan terlibat korupsi juga patut untuk dibubarkan. Asas keadilan dan kesamaan di depan hukum mesti ditegakkan pemerintah. Hanya dengan "pernyataan" berbingkai hukum, maka HTI dan FPI dibubarkan. Kalau HTI dibubarkan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Sedangkan dan FPI dibubarkan melalui Surat Keputusna Bersama (SKB) enam menteri dan pejabat tinggi negara. Keenam pejabat tersebut adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala Badan Nasional Penggulangan Terorisme (BNPT). HTI dan FPI, keduanya dibubarkan tanpa melalui proses peradilan. Suatu proses yang seharusnya dilalui untuk tegaknya keadilan dan kepastian hukum. Sementara PDIP selain persoalan ideologi, juga kadernya terbanyak terlibat korupsi diantara partai-partai politik. PDIP pun kini didesak banyak pihak untuk dibubarkan dengan tiga alasan utama. Pertama, menjadi sponsor utama Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi pancasila (RUU HIP) yang jelas-jelas keberatan untuk mencantumkan Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran PKI, dimana PKI dinyatakan sebagai Organisasi Terlarang dan Larangan untuk Menyebarkan Faham Komunisme/Marxisme-Leninisme. PDIP juga banyak menampung kader-kader berhaluan kiri yang membela PKI dan faham komunisme. Kedua, PDIP menjadikan Trisila dan Ekasila sebagai misi perjuangan Partai. Ini artinya secara sadar atau tidak, telah merongrong kewibawaan ideologi Pancasila. Disamping itu, Pancasila menurut versi PDIP adalah rumusan 1 Juni 1945. Bukan rumusan kesepakatan 18 Agustus 1945. Ini sama saja dengan makar kepada Pancasila itu sendiri (vide Mukadimah Aanggaran Dasar (AD) PDIP, khususnya alinea ketiga dan Pasal 6 ayat 2 AD PDIP). Ketiga, banyak kader yang terjerat kasus korupsi, sehingga PDIP adalah partai politik yang menyumbang pelaku korupsi terbesar di negara Republik Indonesia. Kasus terakhir adalah korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) Menteri Sosial Juliari Peter Batubara yang juga bakal menyeret kader-kader PDIP lainnya. Sangat dahsyat dan brutal merampok uang rakyat di masa pandemi covid-19. Ketika, penguasa negara mengarahkan pembubaran organisasi kepada aspirasi keumatan, maka wajar muncul desakan bahwa yang lebih pantas dan layak untuk dibubarkan adalah PDIP. Tentu sepanjang partai ini belum mau melakukan perubahan platform perjuangan maupun perilaku mental dan moral para kadernya yang hobby melakukan tindak pidana korupsi. Awalnya PDIP adalah partai yang merakyat dengan slogan partai "wong cilik". Namun kini setelah menjadi "the ruling party", karakter PDIP berubah menjadi partau politik yang elitis. Bahkan cenderung kurang peka dengan penderitaan yang dialami oleh rakyat. Kemenangan Pemilu bukanlah ukuran kepercayaan rakyat yang sesungguhnya. Terutama pada iklim politik yang pragmatis dan kapitalistik. Jadi teringat kepada pidato Ketum Partai Nasdem Surya Paloh di depan Civitas Akademica Universitas Indonesia dan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI) beberapa waktu yang lalu. Surya Paloh berpidato dengan menggebu-gebu dan menyatakan bahwa "kita ini malu-malu kucing untuk mendeklarasikan diri kalau Indonesia hari ini adalah negara kapitalis yang sangat liberal. Itulah kenyataan Indonesia yang hari ini". Kompetisi "wani piro" berujung pada melahirkan pejabat negara yang bermental maling atau korup. PDIP tak mampu menepis kultur ini. Bahkan kini kader-kader PDIP tampil menempati posisi terdepan, dan menjadi juara satu partai dengan kader paling banyak melakukan tindak pidana korupsi diantara parati-partai politik yang ada di tanah air. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Islam Menjadi Zona Merah Kebijakan Politik

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Tanpa ada situasi yang "genting dan memaksa" melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemerintah Jokowi membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ternyata persoalan tidak selesai dengan pembubaran oragnisasi HTI semata. Disosialisasikan juga bahwa HTI adalah organisasi terlarang, sesuatu yang tidak berdasar hukum. Kacaunya lagi, tidak ada ketentuan atau pasal-pasal mengenai pelarangan HTI. Yang ada adalah politisasi menipu rakyat secara tidak fair. Pemerintah lagi-lagi memperlihatkan keangkuhan kekuasaan tanpa bersandar pada aturan-aturan hukum positif yang berlaku di negara hukum. Di kalangan umat Islam, mungkin ada atau bahkan banyak yang sangat tidak setuju dengan pola perjuangan HTI. Akan tetapi penzaliman yang berlebihan, juga tidak dapat diterima. Apalagi dengan cara-cara licik membohongi rakyat. Manipulasi hukum untuk tujuan politik. HTI bukanlah organisasi terlarang seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pelarangannya jelas-jelas tertuang dalam Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966. Persoalan HTI muncul terus atau terus dimunculkan. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum ( Pemilu) yang masuk dalam Prolegnas 2021 secara eksplisit melarang eks anggota HTI untuk ikut sebagai kontestan dalam Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres), dan Pemilihan Kepala daerah (Pilkada). Ini bentuk kezaliman yang sangat berlebihan kepada HTI. Di Universitas Padjadjaran (UNPAD ) Bandung, dengan alasan sebagai aktivis HTI, seorang Wakil Dekan yang baru dilantik, langsung dicopot kembali. Sementara di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ada anggota dewan dr. Ribka Tjiptaning dari Fraksi PDIP yang dengan bangga menyatakan kepada publik bahwa “saya bangga menjadi anak PKI”. Tidak sampai disitu saja. Partai Politik seperti PDIP dengan jelas-jelas mencantumkan Trisila dan Ekasila dalam anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Trisila dan Ekasila mengacu pada Pancasila 1 Juni 1945 yang tahun lalu diperjuangkan dalam RUU Haluan Idelogi Pancasila (HIP) yang ditentang keras oleh umat Islam dan ormas-ormas Islam dibawah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pancasila 1 Juni 1945 dengan Trisila dan Ekasila sangat kental dengan Orde Lama dan faham komunis. Ini bertentangan dengan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 yang diakui bangsa Indonesia. Anehnya, yang yang jelas-jelas mencantumkan Trisila dan Ekasila di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, malah dibiarkan hidup dengan leluasa, bahkan mengatur negara. Setelah HTI diobrak abrik, giliran Front Pembela Islam (FPI) yang kini terus dihabisi gerakannya. Setelah dibubarkan dan dilarang secara sewenang-wenang, maka kelak eks anggotanya bisa dipersekusi secara politik. Kini saja HRS sudah dibombardir dengan beragam tuduhan dan tuntutan, yang mengesankan tidak memberi kesempatan HRS untuk bernafas. Mungkin hal ini menjadi upaya yang sukses, tetapi sejarah esok bisa berbalik menghukum. Baru dua organisasi Islam yang dibubarkan. Bila agendanya adalah Islamophobia seperti Bung Karno dulu, atau pelumpuhan kekuatan-kekuatan Islam, maka usaha pembubaran akan terus berlanjut. Entah target berikutnya bisa MUI atau Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Isu radikalisme, intoleransi hingga ekstrimisme dan terorisme fokusnya dapat diduga adalah umat Islam. Kelompok politik sekuler atau bahkan komunis dalam sejarahnya selalu anti terhadap Islam. Karena lawan terberatnya adalah Islam. Kini Islam sudah menjadi zona merah kebijakan politik. Sikap politik anti Islam tak boleh hidup di negeri Republik Indonesia. Disamping akan menghadapi perlawanan umat Islam. Sebab cara pandang seperti itu akan menjadi a historis. Negara ini didirikan oleh perjuangan dan pengorbanan kekuatan besar umat Islam. Saat harimau yang sedang tenang dalam kandang mulai diusik, ia akan gelisah. Ketika semakin terang-terangan diganggu, maka kuku-kukunya akan keluar terasah. Lalu menggeram siap untuk menerkam para pengganggunya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kemenangan Biden : Optimis Iya, Euphoria Tidak!

by Shamsi Ali New York City FNN- Dalam menilai sesuatu, manusia pastinya bersifat relatif. Karena selain memang keterbatasan, juga karena penilaian itu banyak ditentukan oleh situasi dan realita yang sedang menggeluti jalan pikirannya (mindset). Maka wajar jika pada akhirnya penilaian itu akan berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Kemenakan Joe Biden melawan Donald Trump pada Pilpres Amerika lalu ditanggapi ragam oleh banyak orang. Sebagian optimis, bahkan euphoria dengan kemenangan Biden. Sebagian lainnya pessimis dan khawatir dengan kemenangan itu. Apapun itu, pastinya kami masyarakat Maslim Amerika dan mayoritas bangsa Amerika legah dengan kemenangan Biden. Kemenangan ini juga berarti berakhirnya pemerintahan Donald Trump selama 4 tahun dengan segala beban dan permasalahannya. Mulai dari masalah rasisme, diskriminasi kepada segmen masyarakat minoritas, Muslim Ban. Politik isolasi dengan berbagai kebijakan unilateral, termasuk keluar dari World Health Organization (WHO). Ketidak seriusan dan inkapabilitas dalam menangani Covid yang menyebabkan hingga pagi ini 409,000 lebih warga Amerika meninggal dunia, hingga pengakuan Jerusalem sebagai Ibukota Israel sekaligus pemindahan Kedubes Amerika ke Jerusalem. Semua itu dan banyak lagi yang lain menjadikan komunitas Muslim merasa legah dengan berakhirnya kepresidenan Donald Trump di Amerika. Tentu bagi Umat Islam, hal yang paling berat adalah anti Islam Donald Trump secara pribadi, dan akhirnya membentuk lingkungan kebencian kepada Islam. Ada beban psikologis yang berat dalam empat tahun terakhir. Biden Antara Harapan & Kekhawatiran Kini Biden telah resmi jadi Presiden Amerika dan Kamala Harris sebagai Wakil Presiden Amerika. Kamala sendiri kembali mencetak sejarah sebagai wanita non white, berketurunan Jamaica-India, yang menduduki jabatan Wakil Presiden pertama di Amerika. Kemenangan Biden bagi masyarakat Amerika, atau tepatnya bagi mayoritas warga Amerika, termasuk Komunitas Muslim, memberikan optimisme tersendiri. Ada harapan bahwa Biden akan membawa perbaikan terhadap berbagai damages (kerusakan-kerusakan) yang telah dilakukan oleh Donald Trump selama menjabat Presiden. Termasuk image Amerika di dunia internasional yang sangat rusak akibat karakter Donald Trump yang cukup memalukan. Mungkin yang paling memalukan adalah kenyataan bahwa Donald Trump memang kekanak-kenakan dalam menyikapi proses demokrasi. Kekalahan yang cukup jelas dan signifikan, baik secara electoral (berdasarkan jumlah district) maupun secara popular votes (jumlah suara) tidak menjadikannya mau mengakui kekalahan itu. Tramp bahkan pada akhirnya, karena teori konspirasi mengatakan bahwa pilpres itu tidak jujur. Maka pada tanggal 6 Januari lalu terjadi pendudukan Capitol Hills pendukung Donald Trump. Sebuah peristiwa yang tidak saja merendahkan Amerika di mata dunia. Tetapi sesungguhnya merupakan pelecehan yang nyata kepada demokrasi itu sendiri. Kemenangan Biden memiliki harapan bahwa Amerika akan kembali rasional. Baik dalam kebijakan domestik maupun kebijakan global (foreign policy). Berbagai kebijakan yang sejalan dengan karakter Donald Trump dinilai banyak pihak tidak rasional dan ugal-ugalan. Secara domestic (kebijakan dalam negeri) misalnya, Donald Trump mengeluarkan Executive Order yang dikenal dengan Muslim Ban. Pelarangan orang-orang Islam dari beberapa negara mayoritas Muslim untuk masuk Amerika. Peraturan ini jelas oleh sebagian dianggap semena-semena karena tidak mempertimbangkan asas keadilan untuk semua (justice for all). Biden pada hari pertama menjadi Presiden langsung menanda tangani Executive Order yang salah satunya berisikan penghapusan aturan pelarangan orang-orang Islam masuk Amerika (Muslim Ban). Keputusan ini sangat melegakan warga Muslim. Karena tidak saja memang terasa bagi mereka yang dari negara-negara yang disebutkan dalam aturan. Tetapi suasana yang diakibatkan oleh aturan itu sangat merugikan Komunitas Muslim. Karena terasa kebencian dan diskriminasi sistem itu nyata. Kebijakan Donald Trump juga salah satunya membatalkan Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA) atau status khusus bagi anak-anak di bawah umur yang masuk ke Amerika secara illegal. Pada masa Obama anak-anak yang berstatus illegal masuk Amerika di saat di bawah umur mendapat status kemudahan, termasuk izin kerja (work permit). Oleh Trump status tersebut berusaha dibatalkan. Mungkin hal yang paling terasa adalah penanganan Covid yang sejak awal terasa inkapabel dan tidak profesional. Bahkan ada kecenderungan setengah hati akibat teori konspirasi yang merasa bahwa Covid ini hanya asumsi, dan bukan realita. Karenanya Trump entah memang tidak punya rencana atau memang tidak mau menangani masalah Covid ini secara serius. Akibatnya Amerika menjadi negara yang paling terbanyak korban Covid. Bahkan bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Tentu sangat kontras dengan asumsi yang terbangun bahwa Amerika adalah negara super power dunia. Biden sejak awal telah menjadikan penyelesaian Covid sebagai prioritàs utama pemerintahannya. Bahkan secara khusus sebelum pelantikannya, presiden terpilih telah membentuk tim khusus penanganan covid. Termasuk upaya vaksinasi sebagai bagian dari solusi. Harapan itu tentu besar. Biden nampaknya berusaha memenuhi aspirasi masyarakat luas. Termasuk pembentukan kabinet yang berwajah Amerika. Artinya, kabinet yang merangkul seluruh elemen masyarakat Amerika. Pada tataran inilah kemudian terjadi dilema. Maju kena, mundur kena. Karena ekslusifitas itulah yang kemudian menjadikan Biden harus mengakomodir semua keinginan warganya. Memang banyak keinginan warga yang terakomodir. Walau nampak sekali dalam pembentukan tim pemerintahan ini terasa “Kamala Power” atau pengaruh Kamala Harris dalam pembentukannya. Dari sekian anggota tim tersebut, ada sekitar 20-an keturunan India mewakili elemen warga India Amerika yang sangat kecil. Yang paling disoroti khususnya oleh sebagian Komunitas Muslim adalah pemilihan warga “gay dan transgender”pertama dalam tim pemerintahan Biden. Tetapi sekali lagi, itulah kontekwensi dari pemerintahan yang terbuka atau ekslusif. Dari semua harapan di tengah kekhawatiran-kekhawatiran itu, kebijakan luar negeri (Foreign Policy) Biden juga menjadi sorotan Umat, khususnya yang ada di negara-negara mayoritas Muslim. Bagaimana Biden akan menangani isu Palestina dan Jerusalem khususnya? Akankah Biden membalik keputusan Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel secara sepihak? Bagaimana pula dengan isu-isu keumatan lainnya, termasuk Isu Uighur, Rohingyah, Kashmir, Yaman, Suriah dan lain-lain? Jawaban yang pasti adalah tidak ada salahnya optimis. Karena memang harusnya demikian. Tetapi kemenangan Biden tidak perlu terlalu disambut dengan euphoria berlebihan. Amerika tetap saja Amerika yang punya karakter dan kepentingan sendiri. Belum lagi tentunya kita harus sadar bahwa pada semua bangsa seringkali di balik layar itu ada “hidden power” (kekuatan tersembunyi) yang mengontrol setiap kebijakan. Pada akhirnya Umat Islam harus sadar bahwa perubahan nasib Umat ini tidak pernah dan memang tidak harus ditentukan oleh orang lain. Perubahan hanya akan terjadi ketika Umat ini sadar akan Urgensi melakukan perubahan itu. perubahan itu harusnya dimulai dari diri sendiri! Penulis adalah Imam di New York City & Presiden Nusantara Foundation.

Pola Orde Baru Bangkit Melalui Perpres No.7/2021

KEKUASAAN Orde Baru memang telah berakhir dengan sikap Presiden Soeharto yang menyatakan berhenti sebagai Presiden pada 21 Mei 1998. Sejak itu segala organ kekuasaan penopang Orde Baru yang terkenal represip kepada kelompok opisi berakhir. Kebebasan bependapat, terutama untuk mengkritik penguasa hidup dan mendapatkan tempat yang luas. Sayangnya kebebasan mengkritik penyelenggara negara itu mau dibungkam kembali dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penaggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme. Ahli Huku Tata Negara dari Universitas KhairunTernate Dr. Margarito Kamis menybutnya dengan nama “Perpres RAN PE”. Dulu, Orde Baru kokoh dan kuat selama 32 tahun. Karena didukung instrumen hukum dan senjata yang selalu mengawalnya. Instrumen sejata di tangan tentara, dengan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Panglima Kopkamtib (Pangkopkamtib) pernah dijabat Jendral TNI Soemitro, Laksamana TNI Sudomo dan Jendral TNI Benny Moedani. Belakangan, menjalang kejatuhannya, lembaga Kopkamtib diganti namanya dengan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas). Kerjanya masih sama. Kepala Bakorstanas secara ex officio dijabat Panglima ABRI. Kepala Bakorstanas pernah dijabat Jendral TNI Try Sutrisno, Jendral TNI Edi Sudrajat, Jendral TNI Feisal Tanjung dan Jendral TNI Wiranto. Tugas dan kerja Bakorstanas tetap sama dengan Kopkamtib. Cuma namanya yang disederhanakan agar tidak terkesan seram-seram dan menakutkan. Tugas pertama adalah mengawasi semua gerak-gerik, dan sepak-terjang kelompok masyarakat sipil (civil society) yang selalu kritis kepada penguasa. Apalagi yang berseberangan dengan kekasaan Orde Baru. Untuk kelompok yang pertama ini ada ex dan simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI), pimipinan Prof. Sumitro Djoyohadukumo. Orde baru biasanya menyebut kelompok dengan “Sosialis Kanan atau Soska”. Sama dengan “Soska”, ada lagi kelompok “Ekstrim Kanan atau Eka”. Eka ini sebutan untuk kelompok Islam yang berlawanan dengan Orde Baru. Gabungan “Soska dan Eka”, sebagian tokoh-tokohnya terhimpun lagi dalam “Kelompok Kerja Petisi 50”. Beberapa jendral yang terkenal tidak sejalan, bahkan kritis kepada pemerintahan Soeharto bergabung di Petisi 50. Tercatat nama Lentnal Jendral TNI (Mar.)Ali Sadikin, Jendral TNI Abdul Haris Nasution, Jendral Polisi Hoegeng Iman Santoso, dan Letnal Jendral TNI HR. Dharsono. Perlakuan kekuasaan Orde Baru kepada kelompok sipil yang kritis seperti Soska, Eka dan Petisi 50 adalah “garap dan ajak orang-orangnya untuk bekerjasama dengan kekuasaan Orde Baru”. Kalau tidak mau diajak bekerjasama, maka langkah selanjutnya adalah jebloskan ke penjara. Karena keberadaan meraka dapat mengganggu stabilitas pembangunan nasional. Lalu apa pelanggaran pidana yang dilakukan kelompok Soska, Eka dan Petisi 50 itu? Soal itu sangat gampang dan sepele? Pasal itu tugas dan urusannya Kopkamtib, Bakorstanas, Polisi, Jaksa dan Hakim untuk cari dan menemukan pasalnya. Paling kurang sudah tersedia di Undang-Undng Nomor 11 Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subvensi, penggalan Presiden Soekarno, yang dibuat pada tahun 1963. Mungkin UU ini tujuannya untuk membungkam kelompok kritis. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1963 ini, meski dibuat oleh Sokarno, namun dipakai dengan sangat sempurna oleh Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya selama 32 tahun. Baru setelah BJ. Habibie berkuasa menggantikan Soeharto, setahun kemudian, tanggal 19 Mei 1999 undang-undang suversif ini resmi dicabut. Hebat dan mengagungkan Presiden Habibie yang ahli pesawat terbang ini. Tugas Kopkamtib atau Bakorstanas yang kedua adalah mengawasi sepak terjang dan kegiatan mantan aktivis dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Termasuk mengawasi para anak dan cucunya PKI Untuk kelompok yang kedua ini sandinya “ekstrim kiri atau Eki”. Harus dihalang-halangi dengan segala cara untuk tidak masuk menjadi anggota partai politik di Golkar, PDI dan PPP. Tidak sampai di situ saja. Simpatisan Eki juga dihambat dengan segala cara untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai di Badan Usama Milik Negara (BUMN) dan anak-cucu perusahaan BUMN. Stempel yang diberikan kepada anggota dan simpatisan Eki dengan para anak-cucunya adalah “tidak bersih lingkungan”. Ini stempel yang paling mengerikan, karena menjadi kematian perdata. Kini Presiden Jokowi membuat Perpres Nomor 7 Tahun 2021. Mungkin Jokowi saja anggap ektrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme semakin meningkat. Peningkatan itu tampaknya telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam rasa aman dan stabilitas nasional. Bigitu kira-kira justifikasi sosiologis Presden Jikoiwi menerbitkan Perpres bercitarasa Orde Baru tersebut. Namun bila dicermati lebih lanjut, kebijakan Jokowi membuat Kepres Nomor 7/2021 ini bukan murni soal hukum dan ekstrimisme. Ini sepenuhnya masalah politik. Ini soal kalkulasi untung-rugi, selamat atau tidak mengahadapi datangnya situasi dan kemungkinan terburuk. Apalagi politik tidak mengenal benar atau salah. Politik itu urusan ketepatan mengkalkulasi perhitungan. Salah menghitung politik, bisa bernasib buruk. Bisa terjerembab ke jurang yang dalam. Nasib Jokowi mungkin saja tidak berbeda jauh dengan Soekarno, Soeharto dan Gus Dur di akhir masa jabatan. Untuk itu, Perpres Nomor 7/2021 ini tidak terbatas hanya ditujukan kepada mereka yang pernah dihukum karena melakukan pidana terorisme. Targetnya dari Perpres tersebut sangat luas. Karena terminologi ekstrimisme dalam Perpres ini sama sekali tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun tentang Pemberantasan Tindah Pidana terorisme. Dengan demikian siapapun orangnya, yang karena keyakinannya berbicara kritis terhadap kebijakan pemerintah, maka siap-siaplah untuk dicap sebagai “orang ekstrim”. Perpres Nomor 7/2021 ini akan menempatkan siapapun kelompok masyarakat yang kritis kepada kekasaan Jokowi, akan diberikan stempel sebagai “orang ekstrim”. Kebijakan yang seperti ini sudah diprektekan oleh kekaisaran Yunani kuno dan manusia yang mengaku diri Tuhan Fir’aun di jaman bahula dulu. Namun kini dicoba untuk dihidupkan kembali. Kebijakan mengamankan kekuasaan ini diteruskan di Inggris, Francis dan Jerman di akhir 1800-an. Pada di awal tahun 1900-san pola ini dipakai lagi oleh Musolini, Stalin, Hitler, Yuri Andropov, Konstantin Chernenko, dan Joseph Broz Tito. Masa kebijakan dari kekuasaan yang primitif dan bar-bar seperti ini mau dipakai Pak Jokowi di era modern dan revolusi industri 4,0 (four point zero) lagi? Sebenarnya Presiden Jokowi tidak perlu membuat “Kepres Kepanikan” seperti ini untuk mengamankan kekuasaannya. Kalau saja tata kelola negara negara berjalan dengan baik dan benar sesuai konstitusi dan tujuan bernegara. Kalau Pak Jokowi tidak gagal dan berantakan mengurus pandemi covid-19. Kalau saja ekonmi di era Pak Jokowi tidak resesi, sehingga terjun bebas dengan pertumbuhan ekonomi minus. Kalau saja anak bangsa tidak dibelah kekuasaan menjadi pendukung pengausa dan bukan pendukung penguasa. Kalau saja Hukum berdiri tegak untuk semua anak bangsa. Kondisi ini semakin diperparah dengan persiapan dinasti politik di keluarga di Pak Jokowi. Apalagi dugaaan adanya “Anak Pak Lurah”, dan lingkaran istana yang terlibat korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) trilunan rupiah. Balum lagi kenyataan ini semakin diperparah dengan korupsi yang meningkat di era Pak Jokowi. Kader-kader partai penguasa terlibat masif atas kacaunya penyaluran Bansos dengan data data fiktif dan NIK ganda 17.760.000 orang, dengan nilai korupsi Rp. 5,238 triliun. Ada lagi korupsi Jiwasraya Rp. 16,8 triliun, korupsi Asabri Rp 17 triliun. Belakangan korupsi BPJS tenaga kerja Rp 43 triliun. Mungkin saja masih banyak lagi. Namun belum terungkap saja. Perpres Nomor 7/2021 mengkonfirmasi kepanikan Pak Jokowi untuk menyelamatkan kekuasaannya. Kepanikan itu telah didahului dengan penangkapan-penakapan terhadap aktivis dan tokoh krtis seperti Habib Rizieq Shihab (HRS), Dr. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Dr. Anton Permana, Ustazah Kingkin Anida dan para aktivis lainnya. Membungkam kelompok kritis melalui UU ITE rupanya belum cukup. Sehingga masih perlu Perpres Nomor 7/2021. Padahal cara ini telah dilakukan Soeharto untuk menyelamatkan singgasananya. Namun tidak berhasil. Akhirnya Soeharto tumbang juga. Maka belajarlah dari kejatuhan presiden yang sudah-sudah. Yang perlu untuk diingat juga adalah Soekarno dan Soeharto itu jatuh dari kekuasaannya saat Partai Demokrat berkuasa di Amerika. Partai Demokrat adalah wadah politik berkumpulnya para politisi dari kalangan Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Partai Demokrat sangat konsen dan pedulu terhadap masalah-masalah demokratisasi, Hak Asasi Manusia (HAM), lingkungan, korupsi, buruh dan kearipan lokal. Sedangkan Partai Republik, tempat berkumpulnya para politisi dari kalangan pengusaha. Partai Republik ada pengusaha senjata, pengusaha minyak, gas (oil and gas) dan pertambangan umum. Kelompok pengusaha pasar keuangan dunia yang bermarkas di bursa saham Wall Steert juga bergabung di Partai Republik. Semoga bermanfaat.