OPINI
Mengenang Mas Bowo; Kepergianmu Meninggalkan Terlalu Banyak Jejak Kemanusiaan
by Agi Betha Jakarta FNN - Jumat (04/12). Siapapun yang ingin menuliskan memori tentang sosok yang satu ini, pasti akan bingung hendak memulainya dari mana. Sulit memilih peristiwa yang terpenting, karena hampir seluruh jejak kehidupannya begitu berharga. Mas Nurbowo, lelaki Jawa berpenampilan sederhana. Ia wafat pada Rabu dini hari, 2 Desember 2020, ketika sedang melakukan kegiatan safari dakwah yang dicintainya. Sebagian sahabat memanggilnya kang, yai, ustadz, banyak sekali julukannya. Tapi dari semua atribut panggilan itu, sepertinya yang paling tepat adalah julukan guru. Guru Bowo adalah guru bagi semua orang yang mengenalnya. Ia adalah guru dakwah, guru menulis, guru manajemen kehumasan, gurunya para aktivis dan relawan, serta guru mitigasi dan tanggap darurat bencana. Sedangkan bagi sebagian orang lainnya, Mas Bowo adalah guru kesabaran dan kesederhanaan. Ia mencontohkan kepada teman-temannya tentang bagaimana cara merangkul lawan tanpa menyakiti, dan bagaimana memenangkan sebuah pertarungan idealisme tanpa merasa jadi pahlawan.Dengan semua kepiawaiannya itu, menjadi sangat jelas mengapa Mas Bowo 'dipaksa' menjadi Ketua Umum Aksi Relawan Mandiri (ARM) Himpunan Alumni IPB periode pertama. Karena ia adalah guru. Di dalam dirinya melekat keteladanan. Ia adalah contoh manusia yang istiqomah kepada jalan kemanusiaan yang menjadi pilihan hidupnya. Berbekal pengalaman luasnya, maka Guru Bowo harus membuat cetak biru ARM. Ia wajib mengajari para anggota ARM tentang bagaimana sebuah lembaga nirlaba kemanusiaan dan kebencanaan yang baru menetas itu dapat langsung berlari, tanpa harus belajar merangkak. ARM yang merupakan badan otonom bentukan Himpunan Alumni IPB yang baru diresmikan pada tanggal 10 Desember 2019. Namun organisasi relawan yang memiliki visi 'Bermartabat Menebar Manfaat' ini mempunyai misi menjadikan alumni dan organisasi sebagai elemen pemasyarakatan kebajikan secara seluas-luasnya. Kala itu Nurbowo menuturkan, "Program yang dilakukan ARM ini menyentuh seluruh fase kebencanaan, yaitu mitigasi, tanggap bencana, pemulihan (recovery), dan pembangunan kembali atau rekonstruksi." Jika nama-nama Pengurus HA-IPB seperti Ketua Umum Fathan Kamil, Sekjen Walneg S. Jas, Emy Mupid, Agus Rusli, dan Ali Fathoni adalah penggagas serta para bidan yang menggodok lahirnya ARM, maka Nurbowo bisa disebut sebagai dokternya. Ia bersama sahabatnya Ahmad Husein, yang berpengalaman sebagai jurnalis dan pejabat di Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), menjadi otak penggerak dari jabang bayi yang baru dilahirkan. Di masa awal berdirinya ARM, kedua sejoli itu seperti sepasang tangan kanan dan kiri yang saling melengkapi. Mengapa para pendiri ARM begitu perlu mendaulat Mas Bowo yang sehari-hari sudah sangat sibuk dengan aktivitasnya sebagai pengurus di Dewan Dakwah Indonesia pusat? Itu karena ARM adalah sebuah organisasi kemanusiaan yang unik. Sebetulnya di berbagai universitas lain di Indonesia telah banyak organisasi tanggap darurat bencana yang memiliki misi serupa seperti ARM IPB. Bedanya, ARM murni lahir dari tangan para alumnus IPB yang tergabung dalam wadah Himpunan Alumni IPB sebagai hasil pemikiran mereka yang merasa memiliki energi lebih untuk menolong sesama. ARM ingin mendarmabaktikan kekuatan sosial berupa jaringan alumni yang luas di seluruh penjuru negeri, kepada setiap peristiwa bencana yang menimpa tanah air tercinta ini. Dalam diskusi antara para pemangkunya, ARM IPB bercita-cita tinggi untuk tidak hanya hadir sesaat setelah bencana melainkan juga harus dapat menjadi kepanjangan tangan yang amanah bagi penyaluran bantuan kepada para penyintas bencana yang selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, harus hidup di tenda-tenda pengungsian. Kiprahnya tidak sekadar membangun fasilitas MCK, melainkan juga memikirkan cara agar penduduk sebuah peradaban kecil di kaki gunung nan terpencil, misalnya, dapat merajut kembali harapan hidup, jauh setelah riuh rendah tanggap darurat berlalu. ARM bermimpi tetap terus mendampingi dan memantau para penyintas bencana yang hidupnya terlanjur luluh lantak, ketika media dan sorot kamera sudah pergi meninggalkan lokasi. Salah satu program kerja terpenting pascabencana yang ingin digarap ARM adalah bidang Ekonomi, yakni program stimulus untuk UKM serta pendampingan kepada petani, peternak, pekebun dan nelayan yang terdampak. Sedangkan bidang kemanusiaan dan pendidikan mencakup pembentukan 'Alumni Siaga Bencana' dan melakukan pelatihan penanggulangan bencana dengan target civitas akademik, alumni IPB, dan masyarakat di lokasi bencana. Atas dasar memiliki mimpi yang tinggi itulah maka ARM harus memiliki dana abadi dan harus dapat memperlakukan para relawannya secara profesional. ARM sejak awal wajib membangun sistem audit mandiri yang akuntabel dan kredibel, sebelum auditor profesional meneliti kinerjanya. Pendeknya, ARM harus mampu membuktikan diri sebagai saluran yang amanah bagi para mitra dan masyarakat donaturnya. Untuk mencapai semua harapan itu, ARM memerlukan komando dari sosok yang tidak saja sanggup bekerja profesional. Hidup pribadi kesehariannya pun harus seperti organisasi yang dipimpinnya, sama-sama kredibel dan akuntabel. Tidak boleh ada jejak hitam dalam riwayatnya. Dan persyaratan itu ada pada Nurbowo. Siapa Nurbowo? Meski sama-sama pernah mengenyam pendidikan di IPB, mungkin banyak juga yang belum mengenalnya , atau tidak mengetahui sepak terjang beliau, yang tercatat sebagai mahasiswa angkatan 24 (masuk tahun 1987) Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan. Patut dimaklumi, karena nama Nurbowo tidak renyah untuk diperbincangkan oleh kalangan cafe addict atau high lifestyle minded. Mas Bowo adalah sosok sederhana, baik dari penampilan maupun wajahnya. Bersahaja dengan ide-ide yang megah. Mereka yang pernah bertemu dengannya akan langsung paham bahwa Bowo adalah orang lapangan. Kerut-merut dalam di wajahnya seolah mewakili setiap tugas kemanusiaan yang telah dijangkau oleh kedua tangannya. Cita-cita kemanusiaan Nurbowo jauh menjulang jika dibandingkan dengan tinggi badannya yang hanya sekitar 165 cm. Kedua kaki kecilnya itu menjadi barang mewah karena mampu menjangkau dusun dan pulau-pulau di perbatasan, yang namanya tak dikenal khalayak. Mas Bowo tidak pernah lelah berdakwah sekaligus menyalurkan bantuan ke pelosok-pelosok yang kebanyakan para wakil rakyat setempat pun tidak paham peta kemiskinan di sana.Selama satu tahun memimpin ARM, Nurbowo dan tim telah menjejakkan misi kemanusiaan di berbagai daerah bencana seperti kebakaran hutan di Riau, gempa Ambon, banjir besar awal tahun di Jabodetabek, banjir dan longsor Garut, penanganan dampak ekonomi Covid-19, dan berbagai misi kemanusiaan lainnya. ARM dengan cepat dilirik oleh para mitra, baik para donatur potensial, sesama LSM bidang kemanusiaan, maupun pemerintah pusat dan daerah. Bayi yang secara resmi belum genap satu tahun ini menjelma menjadi lembaga yang dianggap matang dan diakui keberadaannya di kancah nasional. Jauh sebelum menakhodai ARM, nama Nurbowo sebagai relawan telah lama hadir hampir di semua operasi penanggulangan bencana alam besar yang terjadi di seluruh Indonesia. Kisah penulis yang juga pecinta tugas kemanusiaan ini dimulai sejak ia masih menjadi mahasiswa IPB. Dan berlanjut pada tahun 1990-an saat ia menjabat Pemimpin Redaksi Jurnal Halal LPPOM MUI, lalu menjadi amil sekaligus jurnalis di Dompet Dhuafa. Ia sempat mendirikan dan memimpin berbagai media, sebelum akhirnya bergabung dengan LAZNAS Dewan Dakwah. Tugasnya termasuk mengurusi media dan kehumasan. Hingga terakhir nama Nurbowo tercatat sebagai Ketua Bidang Kominfo Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang kini dipimpin oleh Dr. Adian Husaini. Saat terjadi bencana seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, dan berbagai bencana alam lainnya, Mas Bowo bersama LAZ Dewan Dakwah hadir mengurusi para korban, mulai menyalurkan bantuan makanan, sandang, kebutuhan medis, perlengkapan ibadah dan sekolah, hingga memetakan dan membangun kembali masjid-masjid yang roboh dan rumah penduduk yang rusak. Ia orang yang lentur dalam membangun kerjasama dengan berbagai pihak di lapangan. Misi kemanusiaan yang pernah dilakukan Mas Bowo tidak hanya di Indonesia, tapi menjangkau hingga ke perkampungan Muslim Rohingya di Myanmar. Ia tidak hanya datang membantu para pengungsi yang jiwanya terancam, tapi juga mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri mengingat junta militer di sana sangat anti orang asing meski kehadirannya membawa misi kemanusiaan. Jika sedang tidak terjadi bencana, maka yang dilakukan Mas Bowo dan tim adalah melakukan safari dakwah. Seperti mengembangkan pendidikan, mengunjungi fasilitas pendidikan di pulau-pulau terpencil, dan menyambangi masyarakat yang memerlukan pendampingan. Pandemi yang merebak pun tak dapat menghentikan langkah sosok periang yang berhati lembut ini. Ketika orang lain memilih untuk menghentikan ritme kegiatan hidupnya, Mas Bowo justru lincah mendatangi kampung-kampung miskin yang rawan. Meski memiliki riwayat sakit jantung dan berkali-kali telah diingatkan oleh dokter agar banyak beristirahat, ia tetap berkeliling melaksanakan tugas kemanusian. Bersama LAZNAS-nya, lelaki berusia 52 tahun ini mengawali era pandemi covid 19 dengan sigap. Ia paham Covid-19 akan menjadi sebuah bencana besar kemanusiaan. Maka sejak dini, pada Bulan Maret 2020 lalu ia telah menggelar berbagai program sosialisasi dan tanggap darurat virus corona. Salah satunya dengan mengaktifkan fungsi masjid sebagai tempat pendidikan dan penyuluhan soal pandemi. Seperti yang dilakukan di Masjid Prana Sakti, yang terletak di Dusun Ngepet, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Dalam sejarahnya, masjid itu sempat kehilangan auranya sebagai rumah Allah akibat tenggelam oleh hiruk-pikuk kehidupan wisata pantai yang kental dengan budaya maksiat. Berkat bantuan tim DDII, masyarakat di sana dapat mengembalikan fungsi masjid sebagai tempat beribadah serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan di kala pandemi. Sepekan terakhir sebelum ajal menjemput, Mas Bowo sedang berkeliling bersama tim Dewan Da'wah. Pada Hari Sabtu, 28 November 2020, ia berada di Palembang mengikuti Pelantikan Pengurus Baru Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) Sumatera Selatan di rumah dinas gubernur. Ini penting karena lembaga tempatnya mengabdi itu menjadi mitra pemerintah setempat dalam melahirkan calon-calon pemimpin bangsa melalui banyak pesantren yang diasuhnya. Dari Palembang ia menuju Bengkulu. Senin, 30 November 2020, Mas Bowo mendampingi Ketua Umum DDII yang baru, Dr. Adian Husaini, meresmikan pendirian Akademi Dakwah Indonesia (ADI) di Bengkulu yang merupakan lembaga pendidikan program diploma 2. Esok harinya, 1 Desember 2020, ia memilih memisahkan diri dari tim untuk menempuh perjalanan ke Padang, memenuhi undangan Dinas Pariwisata untuk promosi wisata halal. Menjelang tengah malam, bus travel yang ia tumpangi melewai kawasan Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Di lokasi terakhir inilah Sang Khalik rupanya memutuskan bahwa tugas Mas Bowo di dunia telah selesai. Maut menjemput ketika Mas Bowo sedang berada di tengah ladang pengabdiannya, dekat dengan masyarakat yang dibantunya, serta dikelilingi oleh teman-teman seperjuangannya. Karya kemanusiaan Mas Bowo boleh jadi tak banyak tercatat di buku besar manusia. Tapi jika kita bisa bertanya kepada malaikat yg selalu mendampingi orang-orang baik, mungkin malaikat pun sudah berat membawa buku tebal yang berisi catatan amal almarhum selama hidup di dunia. ARM HA-IPB kehilangan sosok pemimpin yang selalu mampu menularkan semangat kegembiraan kepada organisasi. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia kehilangan salah satu kakinya yang lincah. Para alumni IPB kehilangan sahabat terbaiknya. Negeri yang masih dibalut kemiskinan seperti Indonesia kehilangan sosoknya yang tak kenal lelah berjuang di lapangan. Selamat jalan Mas Nurbowo, sosok bersahaja di atas bumi yang karya besarnya dicatat oleh langit. Penulis adalah alumni IPB; anggota Dewan Pengawas ARM HA-IPB.
Apa Kabar Renegosiasi di PLN
by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Rabu (02/11). Direktur Utama PLN Zulkifli Hasan menyadari benar apa permasalahan yang terjadi di Perusahaan Listrik Negara tersbut sejak dia menjabat sebagai orang nomor satu. Masalah utama di PLN datang dari kebijakan pemerintah. Kebijakan yang berkaitan dengan harga bahan bakar dan harga listrik swasta yang wajib dibeli PLN. Satu lagi permasalahan krusial datang dari sektor keuangan. Masalah itu sebagai akibat dari utang PLN yang membengkak sangat besar dalam mengejar ambisi mega proyek 35.000 megawatt. Masalah tersebut telah mengakibatkan PLN rugi besar-besaran. Meski harga batubara dan minyak mentah dunia telah turun hingga level terendah dalam sejarah, tetapi PLN tetap saja merugi. Kerugian yang diperkirakan tidak akan pernah berakhir. Untuk ahun 2020 saja, PLN diprediksi menderita kerugian Rp 44,3 triliun. Kerugian seperti selalu melekat dengan PLN. Kerugian yang terus meningkat dari tahun ke sebelumnya. Lebih gawat lagi tahun 2021 nanti. Kerugian PLN akan diperkirakan mencapai Rp 83,7 triliun. Sudah tak ada untung lagi dalam kamus PLN, baik dimasa kini maupun yang akan datang. Kerugiannya akan terus membengkak dan membengkak. Keuntungan menjadi barang langka untuk PLN. Dari mana saja sumber kerugian PLN tersebut? Ada tiga sumbernya. Pertama, dari pembelian bahan bakar. Jumlahya mencapai 34,6% dari total biaya. Kedua, pembelian listrik swasta yang mencapai 41,2% dari total biaya. Ketiga, biaya depresiasi dan keuangan sebesar 15,8% . Ketiga komponen biaya tersebut 91,6% dari total biaya yang harus dikeluarkan PLN setiap tahun. Siatuasi yang terjadi di PLN ini adalah bisnis BUMN paling konyol. Dimana sebagian besar pengeluaran atau biaya PLN ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan yang terbilang konyol untuk membuat PLN merugi dari tahun ke tahun. Kalau PLN bangkrut, maka membangkrutkan PLN adalah pemerintah. Kalau PLN merugi, maka yang membuat PLN merugi terus-menrus adalah pemerintah. Pembelian bahan bakar misalnya, harganya dipatok dalam formulasi yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Begitu juga dengan pembelian listrik swasta. Harga pembelian PLN ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Kedua biaya ini sudah mencakup 75,8 % dari total biaya yang harus ditanggung oleh PLN. Konyol kan pemerintah? Pertanyaannya, siapa yang untung dengan kebijakan harga bahan bakar dan harga listrik swasta yang konyol tersebut? Yang pasti bukan PLN. Yang diuntungkan adalah oligarki yang menjadi pebisnis bahan bakar, terutama pebisnis batu bara. Setelah itu siapa lagi yang untung paling besar? Yang pasti adalah pebisnis pembangkit batubara. Mereka selain punya tambang batubara, namun mereka sekaligus juga punya pembangkit listrik swasta. PLN tidak akan pernah untung. Sebaliknya pebisnis pembangkit tak akan pernah merugi. Demikian juga dengan pemasok batubara ke PLN, yang akan pernah merugi. Mereka akan terus dan terus untung sepanjang perjalanan PLN melakukan bisnis listrik. Selian PLN, siapa lagi yang dirugikan? Tidak lain adalah masyarakat Indonesia. Harga listrik Indonesia adalah salah satu yang paling mahal di dunia sekarang. Harga listrik Indonesia lebih mahal dari harga listrik India, China dan beberapa negara lain yang merupakan pesaing utama dalam perdagangan global. Jika dibandingkan dengan pendapatan perkapita rakyat Indonesia, harga listrik Indonesia adalah salah satu yang paling menghisap atau tertinggi di dunia. Hanya satu kata kunci bagi PLN untuk selamat dan keluar dari jebakan kerugian. Segera lakukan renegosiasi, baik untuk harga listrik swasta maupun harga pembelian batubara. Lalu, apa saja yang harus direnegosiasi? Pertama adalah harga bahan bakar, terutama batubara. Kedua, harga listrik yang wajib dibeli dengan skema take or pay milik swasta. Ketiga adalah utang-utang PLN warisan masa lalu. Renegosiasi ini telah menjadi komitmen Dirut PLN Zulkifli Hasan dalam membenahi struktur keuangan PLN. Langkah ini sebagai upaya terakhir menyelamatkan PLN dari kebangkrutan yang lebih parah. Publik bertanya, “apa kabar renegosiasi ini ya”? Semoga saja telah berjalan sebagaimana yang telah dijanjikan kepada publik. Penulis adalah Peneliti Pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).
TNI Dantara Rakyat Yang Terbelah
by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Rabu (02/12). Rakyat sudah terbelah. Itu nyata adanya. Kita bisa memulai kekacauan ini kapan saja. Namun tidak tahu kapan bagaimana bisa mengakhirinya. Maka, TNI aku dan TNI kita semua menjadi tumpuan harapan terakhir agar negeri ini tidak terkoyak-koyak. Pemerintahan boleh saja berganti kapan saja berkali-kali. Tetapi TNI, negara dan bangsa ini harus tetap bediri tegak. Harus kita pertahankan skeberadaannya ampai titik darah penghabisan. Bulu kudukku sempat juga berdiri, dan merinding. Sebuah video yang menunjukkan kerumunan massa mengelilingi mobil zeep tentara menyebar luas. Massa bernyanyi dengan irama “mana dimana anak kambing saya” dengan syair yang di ubah. Syair lagu itu menyindir. Malah bisa disebut menghujat tentara. Tidak jelas, dimana dan kapan kejadian itu persisnya? Aku menerima postingan itu 24 November 2020 lalu. Teks yang menyertai postingan video hanya menyebut, “mobil tentara yang mau copotin baliho HRS, dicegat massa di Padarincang, Serang, Banten. Maka terbayang aku akan hal-hal buruk akan segera terjadi. Masalahnya, dua video viral yang lain tentang pernyataan sikap petinggi TNI. Pernyataan itu dalam rentang waktu yang berdekatan sejak kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) tanggal 10 November 2020 yang beredar luas pula. Keduanya bisa dihubungkan, baik langsung maupun tidak, dengan aktivitas kepulangan HRS dan senarai acara kemudiannya yang digelar simpatisan HRS. Video pertama adalah peringatan tegas Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto terkait pentingnya persatuan dan kesatuan demi menjaga stabilitas nasional. Hadi berkata, “jangan kita biarkan persatuan dan kesatuan bangsa itu hilang atau dikaburkan oleh provokasi dan ambisi yang dibungkus dengan berbagai identitas". Hadi juga mengingatkan, “siapa saja yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa akan berhadapan dengan TNI". Peringatan ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai mendadak. Diunggah di akun Twitter @Puspen_TNI, Minggu 15 November 2020, lima hari setelah penyambutan HRS di bandara Soeta yang fenomenal itu. Memang, Panglima tidak mengarahkan peringatannya kepada pihak tertentu. Tapi dapat dirasakan bahwa peringatan itu mengarah pada ancaman keamanan dari dalam negeri, bukan dari luar. Karena trending topic pada hari-hari itu menyangkut politik dan itu berkaitan dengan kedatangan IB HRS. Maka sangat sulit untuk dipungkiri bahwa peringatan mendadak itu dimaknai oleh banyak pengamat sebagai respon terhadap situasi “demam” kepulangan sang Imam HRS. Video kedua adalah instruksi Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurahcman, ke jajarannya untuk mencopoti baligho HRS. Pangdam dengan tegas menyatakan, “kalau perlu FPI bubarkan saja. Kalau coba-coba dengan TNI, mari”. Pernyataan itu terkonfirmasi. Seusai apel kesiapan bencana dan Pilkada serentak, di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, Jumat (20/11/2020) pagi, Dudung kepada wartawan berkata, ”oke, ada berbaju loreng menurunkan baliho Habib Rizieq, itu atas perintah saya,” kata Dudung, Kejadian di Padarincang berupa pencegatan massa terhadap mobil tentara yang mau copotin baliho HRS, tentu dapat dilihat sebagai respon balik masyarakat terhadap dua video sikap petinggi TNI itu. Sikpa spontanitas masyarakat inilah yang membuat aku merinding. Nggak habis pikir aku. Terbayang olehku darah akan segera tertumpah membasahi bumi pertiwi. Perang saudara kapan saja akan terjadi. Ngerinya lagi, TNI diperhadapkan dengan rakyatnya sendiri. Hiiiiii,,,, Indonesia akan segera meluncur ke jurang kehancurannya? Sungguh, aku belum rela hal itu terjadi di masa hayatku ini. Untunglah Pangdam Jaya segera melakukan klarifikasi yang membuat rasa lega aku. Senin (23/11/2020), di Makodam Jaya, Pangdam didampingi Kapuspen TNI, Mayjen TNI Ahmad Riad mengatakan, "saya sampaikan kalau perlu, kalau perlu bubarkan kan FPI itu. Kalau Pangdam, TNI tidak bisa membubarkan. Itu harus pemerintah," katanya. Ditegaskan pula bahwa Panglima TNI tidak pernah bicara soal pembubaran FPI. Kata Kapuspen Ahmad Riad, pencopotan baligho HRS pun bukan atas perintah Panglima TNI. Selanjutnya, Rabu (25/11/2020), saat ngopi bareng ulama di kantornya, Pangdam Jaya berkata, "saya tidak pernah mengajak bahwa FPI atau yang lainnya sebagai musuh. Itu tidak ada. Itu saudara-saudara kita semua. Alangkah baiknya kalau ada mediasi, dan berdialog. Dihadiri oleh seluruh komponen." Dudung meminta agar tidak ada lagi pihak-pihak yang membenturkan antara TNI dengan ormas Islam, termasuk FPI. Sikap Dudung yang sungguh sangat melegakkan kita semua yang mendengarnya. Sekali lagi, pernyataan klarifikasi itu sunggguh sangat melegakan hati. Bayangan akan petumpahan darah sesame anak bangsa sirna seketika. Tetapi kekhwatiran hal yang menakutkan itu akan terjadi, tetap saja ada. Soalnya, di lapangan, memang sangat dirasakan adanya pihak-pihak yang berkeinginan membenturkan umat Islam dengan TNI dan Polri. Ini berpotensi besar menimbulkan kekacauan. Rajinnya pihak tertentu mencari-cari kesalahan para ustadz ketika berceramah, dan kemudian melaporkannya ke pihak kepolisian adalah indikasi kuat ke arah itu. Arah untuk membenturkan Umat Islam dengan TNI dan Polri. Keinginan itu ada, dan dirasakan sangat nyata. Munculnya “gerakan” kirim karangan bunga ke Markas Kodam Jaya. Terlepas dari apakah itu real atau tidak, yang memberikan dukungan ke Pangdam Jaya atas instruksi pencopotan baliho HRS dan “kalau perlu” bubarkan FPI, juga indikasi ke arah itu. Apalagi kemudian, ada pula rakyat sipil yang secara demonstrative ikut menurunkan bahkan membakar baliho itu, dan menyatakan penolakan terhadap HRS dalam berbagai bentuk ekspresi. Tetapi memang, ini resiko dari sebuah masyarakat yang terbelah. Dalam masyarakat yang terbelah seperti ini, lembaga yang sejatinya berada di tengah dan jadi penengah dalam hal ini TNI dan Polri serta penegak hukum lainnya, oleh satu pihak diupayakan untuk ditarik dan digunakan alat untuk memukul pihak sebelah. Tidak pula sulit menentukan pihak sebelah mana yang berpeluang besar mempengaruhi TNI dan Polri dan penegak hukum lainnya. sudah barang tentu pihak yang dekat dengan kekuasaan. Jujur harus diakui, rakyat tampaknya terbelah sejak Pilkada DKI 2017 menyusul kemenangan Anies Baswedan. Kenyataan ini semakin terbelah menjelang dan sesudah Pilpres 2019. Sayangnya, pemenang Pilpres 2019 pun sepertinya kurang mampu secara persuasip mendinginkan suasana dan menyatukan kembali anggota keluarga besar bangsa yang bernama Indonesia ini. Umat Islam, yang merupakan bagian terbesar anak bangsa ini, diakui atau tidak, merasa diperlakukan secara tidak adil. Meraka merasa terus dipojokkan dengan berbagai isu, seperti radikalime dan intoleransi. Umat islam merasa sedang dijadikan objek kriminalisasi. Dalam suasana kebathian seperti itu, wajar saja umat Islam mendambakan sosok pemimpin yang dapat mewakili mereka untuk menumpahkan pikiran dan perasaannya. Apalagi memang, saat ini partai-partai yang mestinya menjadi penyuara nurani rakyat, ternyata asyik dengan mainannya sedndiri-sendri. Tidak bisa menangkap getar-getir hati rakyatnya. Munculnya sosok ulama seperti HRS adalah satu sosok pilihan yang kekosongan tokoh yang dikagumi rakyat. Dengan demikian, upaya “kriminalisasi” terhadap HRS, hanya akan membangkitkan semangat perlawanan. Apalagi merosotnya situasi ekonomi yang dialami bangsa saat ini. Semua pihak, terutama pemerintah, lebih fokus pada upaya keluar dari kesulitan. Persatuan dan kesatuan sangat penting. Hal-hal yang bisa menimbukan disharmoni antar anak bangsa harus sekuat tenaga dihindari atau diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan. Bukan dengan pendekatan kekuasaan yang menggangi hukum. yang terkenal tebang pilih atau tajam sebelah. Langkah nyata pemerintah mengembalikan rakyat yang sudah terlanjur terbelah menjadi solid kembali harus ada dan jelas. Jangan ada bagian anak bangsa ini, apalagi yang mayoritas merasa terdzalimi. Kemunculan RUU-RUU kontroversi, yang telah nyata memicu munculnya berbabagai keributan, agar ditiadakan. Keberadaan Buzzer, yang kerjanya tak lebih dari menghancurkan kelompok yang dianggap lawan, sudah saatnya diakhiri. Buzzer diperlukan untuk membangun citra penguasa, tapi tidak untuk membangun bangsa. TNI saat ini, betul-betul menjadi tulang punggung keutuhan bangsa. Sebagai alat utama pertahanan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. TNI menjadi tumpuan harapan terakhir agar bangsa ini tidak terkoyak dan tercabik. TNI harus bisa menempatkan diri sebagai penjaga keutuhan bangsa dengan bijak dan beribawa diantara masyarakat yang terbelah. TNI tidak boleh ditarik-tarik ke sebelah untuk memukul sebelah yang lain. TNI harus tetap berdiri tegak senbagai penjaga bangsa dan negara. Pemeritahan boleh berganti atau bubar berkali-kali. Tetapi TNI, negara dan bangsa ini tidak boleh terkoyak sekali pun. Dengan alasan apapun itu. Cepat atau lambat, percayalah, bila pihak tertentu sudah berhasil membenturkan TNI dengan rakyatnya, maka itulah saat di mana negara ini menuju kehancuran. Kekacauan itu bisa kita mulai kapan saja. Tatapi percayalah, kita tidak akan tahu kapan bisa mengakhirinya. Itu yang harus kita hindari bersama. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Sekjen DPP Masyumi Reborn.
Jokowi Hadapi Tiga Gelombang Aksi
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Rabu (02/12). Kasus pencarian terhadap kesalahan Habib Rizieq Shihab (HRS) dapat menimbulkan gelombang aksi masyarakat. Mencari-cari kesalahan dengan target penahanan dan proses peradilan atas HRS akan menciptakan gelombang aksi dari Front Pembela Islam (FPI) yang anggota tercatat sebanyak lima orang, massa alumini 212, dan pendukung HRS lainnya. Aksi massa akan datang pada setiap sesi proses mulainya pemeriksaan terhadap HRS di Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Berita-berita tentang aksi tersebut akan memenuhi media dalam dan luar negeri. Isu pendzaliman terhadap HRS akan mengemuka sejalan dengan militansi yang tinggi dari peserta aksi. Keriuhan tercipta dengan sendirinya. Gelombang aksi kedua adalah buruh yang belum puas dengan pengundangan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Agenda aksi pun diperkirakan akan terus berkelanjutan. Kerugian pada penciptaan stabilitas politik, dan perusahaan yang terdampak akibat seringnya aksi-aksi buruh. Dampak dari seringnya aksi buruh adalah produksi barang dan jasa akan jeblok dengan sendirinya pada banyak perusahaan. Pengusaha bisa gulung tikar, atau ikut turut menekan pembatalan UU Omnibus Law yang dinilai telah membuat sial tersebut. Pengusaha dihadapkan pada pilihan yang sangat pahit. Maju kena, mundur juga ikut terkena dampak. Gelombang potensial ketiga adalah bangkitnya massa pereaksi Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasil (BPIP). Sinyal kuat yang terkirim dari DPR adalah pemaksaan RUU HIP dan BPIP untuk masuk agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Perlawanan terhadap pemaksaan RUU HIP dan BPIP ini diperkirakan akan keras, apapun resiko yang dihadapi para penentang. Perlawanan atas penyelundupan nilai-nilai kiri faham komunis pada RUU HIP dan BPIP tersebut, akan membangun solidaritas umat Islam yang anti komunis atau mewaspadai bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI) model baru. Gelombang perlawanan ideologis bukan masalah kecil. Temanya strategis membela dan menjaga keselamatan ideologi Pancasila. "Tiga Ledakan" ini awalnya tentu saja dapat dikendalikan. Tetapi jika spirit perjuangan menguat, maka seperti biasa dalam pergerakan politik dimana pun berujung pada situasi yang tak terkendali. Gerakan perubahan politik dan desakan untuk mundur Presiden Jokowi merupakan suatu keniscayaan. Perasaan sama pada rakyat tak akan reda oleh penangkapan atau penekanan. Sikap pemerintah yang represivitas hanya menjadi sebab dari perubahan yang bakalan lebih cepat. Apalagi pemerintahan Jokowi sebenarnya rapuh. Banyak faktor lain yang menyulitkan keajegan pemerintahan Jokowi. Milsanya, kondisi keuangan negara yang semakin ambyar, tekanan kehidupan atas pendapatan dan kebutuhan hidup keluraga, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) utang yang hampir mencapai Rp 7.000 triliun membuat kondisi pemerintahan makin goyah. Rakyat yang semakin jenuh dengan kebijakan penanganan pandemi Covid 19. Apalagi pemerintah terlihat tidak konsisten dan tak jelas arahnya. Suka berubah-ubah sesuai yang dimimpikan. Pagi tempe, sore bisa saja dele. Konflik global Amerika-Cina yang memang"diundang" untuk hadir meramaikan dinamika politik domestik. Kini Polisi dan TNI cukup mampu terkendali "secara baik". Namun bukan mustahil perkembangan politik ke depan akan terjadi pembelahan disana-sini. Pemihakkan pada rakyat bakal terbentuk secara gradual atau mungkin bisa lebih cepat yang diperkirakan sebelumnya. Pemerintahan Jokowi diharapkan arif menimbang cara menangani perbedaan dalam masyarakat. Jangan arogan, sok punya kekuasaan dan sekedar mengandalkan kekuatan aparat untuk membungkam rakyat. Api kejengkelan rakyat sulit diredam dengan alat paksa sekuat apapun. Ada fase fase yang tidak lagi peduli dengan rambu-rambu protokol. Situasi akan semakin sulit. Untuk itu, sebaiknya segera kembali untuk berbenah diri. Membangun kembali iklim dialogis dan konsensus yang terlanjur berantakan. Bukankah kandungan sila-sila Pancasila merupakan filosofi, metodologi, dan solusi bagi masalah yang dihadapi bangsa dan negara ? Jokowi tentu menyadari bahwa dirinya adalah figur yang tidak hebat amat. Karenanya perlu antisipasi atas kekuatan rakyat yang dipastikan amat hebat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Seandainya Jokowi dan Habib Rizieq Bertemu
by Nuim Hidayat Jakarta FNN - Rabu (02/12). Melihat hiruk pikuk politik di tanah air, kadang kita jenuh. Mengapa tidak ada terobosan baru dalam dunia politik di Indonesia? Mengapa Habib Rizieq harus dicurigai terus menerus? Mengapa pemerintah tidak melihat prestasi Habib dalam menyadarkan kaum penzina, pemabuk dan preman? Seandainya Jokowi mau bertemu Habib saya yakin banyak masalah di Indonesia bisa diselesaikan. Habib bisa membantu Jokowi menyelesaikan masalah dengan umat Islam Indonesia. Habib bisa menjelaskan tentang aspirasi apa sebenarnya yang diinginkan mayoritas umat Islam Indonesia. Jika pemerintah melakukan pendekatan kepada Habib –melalui bidikan hukum- seperti sekarang ini, masalah tidak akan selesai. Karena Habib mempunyai ratusan ribu/jutaan pendukung. Apalagi bila Habib dipenjara, bukan tidak mungkin akan terjadi kerusuhan terus menerus di negeri ini. Para founding fathers kita sebenarnya telah mengajarkan agar para pemimpin bangsa ini mengedepankan dialog atau musyawarah bila ada masalah. Lihatlah ketika bangsa ini akan merdeka, untuk menentukan dasar negara maka mereka berdialog, berdebat berhari-hari. Meski kemudian aspirasi tokoh Islam dipinggirkan -Islam sebagai dasar negara diabaikan- tokoh-tokoh Islam tetap mengedepankan dialog. Hingga dialog terjadi hampir tiga tahun lamanya (1956-1959) untuk menentukan dasar negara. Lagi-lagi setelah itu aspirasi Islam disingkirkan. Piagam Jakarta dikatakan menjiwai UUD 45, tapi dalam kenyataannya tidak pernah ada pendetailan undang-undang tentang hal ini. Puncaknya adalah organisasi terbesar umat Islam Partai Masyumi dibubarkan 1960. Tokoh-tokoh Islam dipenjara, seperti M Natsir, Burhanuddin Harahap, Yunan Nasution, Hamka dan lain-lain (ekonomi politik di Indonesia). Proklamasi Darul Islam dan Pemberontakan Kartosuwiryo dan kawan-kawan terjadi karena ‘pemerintah menyerah kepada Belanda 1949’. Masalah dengan Habib Rizieq bila pendekatannya hukum, maka tidak akan selesai. Masalah ini akan selesai bila Jokowi mau bertemu dengan Habib. Dan Habib saya yakin akan berterus terang menyampaikan aspirasi umat Islam Indonesia. Habib adalah seorang ulama terkemuka Indonesia saat ini yang punya jiwa ukhuwah. Ketika masalah Syii dan Sunni meruncing, Habib memberikan jalan keluar. Ketika masalah Jaringan Islam Liberal dan Kaum Muslim memuncak, Habib menulis buku tentang kesesatan kaum liberal. Meski terjadi ‘kekerasan kecil terhadap kaum liberal’ tapi Habib terbuka bila tokoh Islam Liberal mau dialog atau debat dengannya. Habib juga tidak pengecut, menghindar dari hukum, ketika ia dituduh Sukmawati melecehkan Soekarno. Ketika Habib menyatakan bahwa usulan Soekarno tentang Pancasila menempatkan Ketuhanan di pantat (nomer lima)… Tuduhan chat pornonya dengan Mirza Husein juga Habib hadapi dengan ‘gentle’. Habib tidak lari dari masalah. Ia keluar negeri untuk umroh dan ‘merenung sejenak’. Makanya ia berani kembali ke tanah air, karena ia bukan pengecut. Menkopolhukam saat itu ‘bohong’ ketika menyatakan bahwa kalau Habib ingin pulang, pulang saja. Padahal dalam kenyataan saat itu –menurut Dubes Saudi- yang menghalangi kepulangan Habib ke tanah air bukan pemerintah Saudi, tapi pemerintah Indonesia. Karena sikap sinis Mahfud MD yang ‘terus menerus’ kepada Habib Rizieq, jangan heran kini masyarakat Pamekasan ramai-ramai mendemo rumahnya di Madura. Masyarakat bawah –mungkin dari seluruh Indonesia- menyadari bahwa Habib Rizieq sedang dizalimi pemerintah. Maka jalan terbaik menyelesaikan masalah ini adalah Jokowi harus membuka diri dan berani bertemu dengan Habib Rizieq. Jangan dengarkan bila ada orang-orang sekelilingnya yang mencegah pertemuan ini. Kalau Jokowi tidak berani bertemu dengan Habib Rizieq maka ia adalah ‘pengecut’. Contohlah dulu para founding fathers kita yang berani berdialog tentang dasar negara, meski saat itu berwarna warni ideologi yang dianut mereka. Untuk menyelesaikan masalah bangsa itu dengan dialog, bukan dengan pendekatan hukum, pemenjaraan dan lain-lain. Pemenjaraan terhadap Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan dan lain-lain tidak menyelesaikan masalah. Ideologi tidak bisa dihapus dengan penjara, bahkan senjata. Tetapi ideologi –dalam tataran praktis- bisa didalogkan. Bisa dimusyawarahkan, untuk mencari jalan terbaik. Dan ini adalah nilai mulia al Quran. Musyawarah antar tokoh bangsa (atau intelektual/ulama) untuk memecahkan masalah bangsa ini. Banyak masalah bangsa yang harus diselesaikan, mulai dari kebodohan, kemiskinan, ketamakan dan lain-lain. Marilah kita renungkan ayat Al Quran yang mulia ini, "Maka berkat rahmat Allah lah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal. – (Q.S Ali Imran: 159)" ll Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Kemasyarakatan.
Penguasa Baru Itu Bernama Satgas Covid 19
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (30/11). Kasus Ketua Satgas Penanganan Covid 19 Bima Arya yang Walikota Bogor menunjukkan watak arogansi dan kesombongannya. Bima melaporkan Direktur Rumah Sakit UMMI Bogor ke Polisi. Menurut Bima Arya, Rumah Sakit UMMI tidak terbuka dalam menyampaikan prosedur dan hasil test swab atas Habib Rizieq Shihab (HRS) yang dirawat di RS UMMI Bogor. Rumah Sakit dan dokter tentu punya aturan dan kode etik sendiri mengenai pasiennya. Sehingga apa yang dilakukan tentu dengan dasar dan pertimbangan medis. Bukan pertimbangan non medis. Sikap seenaknya saja main lapor adalah cermin keangkuhan seorang pejabat. Bahkan prilaku Bima Arya dinilai sarat akan muatan politis. Politisasi masalah kesehatan. Walikota Bima Arya semestinya dilaporkan juga oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atau pihak Rumah Sakit UMMI ke pihak Kepolisian. Bima Arya bisa saja dituduh mau mengacak-acak aturan dan kode etik yang sudah baku, dan berlaku di dunia kedokteran selama ini. Dokter berhak untuk tidak menyampaikan hasil pemeriksaan dan data pasien kepada publik. Satgas Covid kini adalah raja atau penguasa baru. Dimana-mana urusan ditentukan oleh Satgas. Tidak bakal keluar izin tanpa rekomendasi Satgas atau Gugus Tugas (Gutas). Jadi teringat ketika Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jawa Barat (Jabar) akan mengadakan Deklarasi. Ketika itu, semua persyaratan izin sudah selesai dipenuhi. Bahkan hotel pun telah dibayar. Namun gagal untuk melakukan deklarasi KAMI Jabar di tempat yang telah dicantumkan dalam pengumuman hanya karena Gugus Tugas membatalkan rekomendasi. Seenaknya saja. Sesuka hati saja. Apa dasar hukum kekuasaan Satuan Tugas Penanganan Covid 19, sehingga menjadi raja diraja. Satgas menjadi penentu dari segala aktivitas kehidupan bermasyarakat saat ini. Padahal soal pandemi Covid 19, semua masyarakat sudah tahu dan memahami situasinya, karena sudah berlansung hampir sembilan bulan. Tragisnya, Satgas Covid 19 dijadikan alat oleh rezim sekarang ini sebagai penguasa baru untuk menghambat dan menghalangi kegiatan masyarakat sipil (civil society) yang dianggap oposisi. Situasi pandemi Covid 19 tidak boleh dijadikan sebagai legitimasi bagi Satgas Penanganan Covid 19, sehingga memiliki kewenangan yang tidak terbatas (extra ordinary). Kewenangan untuk menyatakan seseorang atau sekelompok orang melakukan perbuatan pidana lalu dengan semaunya, sehingga melaporkan ke pihak kepolisian. Bisa terjadi penyalaggunaan kekuasaan. Indonesia ini negara hukum. Bukan negara Satgas, pak Bima Arya. Jika Direktur Rumah Sakit atau Dokter diproses hukum atas dasar alasan tidak membuka rahasia pasien, maka betapa banyak kelak korban akan berjatuhan. Semestinya jika dinilai ada kekeliruan, maka kepada lembaga profesi seperti IDI pengaduan disampaikan. Baru setelah ada kejelasan menurut kompetensi medis, maka diputuskan dapat atau tidaknya berlanjut ke ranah hukum melalui Kepolisian. UU Kekarantinaan Kesehatan dilaksanakan penuh dengan multi tafsir. Ketika pilihan kebijakan adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan bukan Karantina Nasional, maka ada tidaknya sanksi pidana masih diperdebatkan di kalangan ahli hukum. Demikian juga soal test swab tentang kewajiban rakyat atau pasien membuka informasi, itupun perlu penjelasan dan aturan yang jelas. Demikian juga kewenangan Satgas yang berada di ruang administrasi atau hukum. Menjadi sama dengan aparat keamanan kah atau berstatus sebagai "Polisi Kesehatan"? Sebab, yang jelas UU No 44 tahun 2004 tentang Rumah Sakit mengatur adanya hak pasien untuk mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita beserta data-data medisnya. Kacau negara ini jika seenaknya memberi kewenangan tanpa dasar hukum yang jelas. Pandemi Covid 19 tak boleh menjadi alat untuk merampok uang negara, atau menghukum sewenang-wenang seseorang atau institusi hanya dengan tafsir sepihak saja. Pak Bima Arya yang terhormat, kembali lagi dipertegas bahwa Indonesia ini menurut Konstitusi adalah Negara Hukum (Rechstaat). Bukan Negara Kekuasaan (Machstaat). Apalagi Negara Satgas (Satgasstaat)! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.
Nguber HRS, Bima Arya Berharap Masuk Kabinet?
by Tony Rosyid Jakarat FNN – Senin (30/11). Tiga hari bekalangan ini, nama Walikota Bogor Bima Arya jadi pembicaraan hangat di publik. Pasalnya, Sang Wali Kota lagi nguber Habib Rizieq Shihab (HRS) terkait hasil tes swabnya di Rumah Sakit Ummi Bogor. Nggak dapat hasil tes swab itu, Bima Arya hendak melaporkan pihak rumah sakit Ummi Bogor ke polisi. Tuduhannya? Rumah sakit dianggap tak transparan. Lho, apa kepentingan Bima Arya harus mengetahui hasil tes swab HRS? Emangnya hasil tes swab petinggi negara seperti Presiden Jokowi, Ibu Negara Iriana, dan para menteri juga dibuka ke publik untuk diketahuai masyaralat luas? Kenapa Bima Arya ngebet untuk kejar Habib Rizieq? Ini menarik untuk ditelusuri. Sebab, semangat memburu hasil swab oleh publik dianggap aneh bin ajaib. Ngapain kelas Walikota ngurusin hasil swab Habib Rizieq? Kenapa tidak ngurusin saja hasil swab warga dan masysarakat Bogor lainnya? Sebaliknya, kapada lima anak buah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kota Bogor yang korupsi Rp 17,2 miliar dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Sang Wali Kota Bima Arya malah minta untuk penangguhan penahanan. Yang jelas-jelas melakukan tindak pidana korupsi malah dibelain. Sementara yang tes kesehatan diuber-uber. Publik menilai, apa yang dilakukan Wali Kota ini aneh saja! Publik jadi bertanya-tanya. Apakah ini murni inisiatif dan berasal dari rasa ingin tahu Walikota Bogor saja? Atau ada pihak lain di belakang Bina Arya yang berkepentingan terhadap hasil swab Habib Rizieq? Atau Bima Arya memang lagi caru muka kepada istana negara, karena berharap bisa masuk dalam anggota kabinet Jokowi yang akan dilakukan peromabakan dalam waktu dekat? Masuk pada pertanyaan normatif, apa ada keharusan bagi pasien untuk memberi tahu hasil tes swabnya kepada Kepala Daerahnya? Ada-ada saja prilaku aneh Walikota Bima Arya. Jangan panik gitu dong Pak Walikota. Kalau bernasip baik, ya masuk kabinet. Kalau belom reziki ya sabat sajalah. Kalau Habib Rizieq di rumah pribadi, ada interaksi dan berkerumun bersama warga yang lain, maka Walikota punya kewenangan untuk meminta yang bersangkutan melakukan a, b, c, dan seterusnya. Ini memang tugas Walikota sebagai pamong Tetapi, kalau Habib Rizieq berada di dalam sebuah Rumah Sakit, dimana Habib dalam pengawasan dokter, maka mau dites suhu, mau di-USG, mau di-CT Scan, mau di-Swab, itu semua urusan dokter dan tim medis di Rumah Sakit. Nggak ada urusannya dengan Walikota Pak Bima Arya. Keputusan medis itu urusan dokter. Bukan urusannya Walikota. Keputusan medis yang menjadi urusan dokter rumah sakit itu diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), kode etik Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan lain-lain. Nah, pemeriksaan pasien itu keputusan medis, bukan keputusan politis Pak Bima Arya. Walikota, Camat, Gubernur dan jajaran pemerintahan yang lain tidak punya kewenangan mencampuri urusan medis dan hasil pemeriksaan dokter. Tidak boleh ikut-ikutan dalam keputusan medis ini dan itu. Itu dengan otoritas urusannya rumah sakit. Masa Pak Bima Arya nggak ngerti juga? Perlu Bima Arya harap tahu, kalau yang ini adalah pemahaman amat dasar soal otoritas. Mosok nggak paham juga sih. Payah amat sih Pak Bima Arya. Apa yang dilakukan Bima Arya sebagai Walikota Bogor dianggap melampaui batas otoritasnya. Over laping. Walikota Bogor perlu belajar lagi tentang etika kedokteran, kata MER-C. Wajar jika publik bertanya, ada maksud apa dibalik upaya Bima Arya memburu hasil swab Habib Rizieq? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Duka Yang Mendalam di Koalisi Tetangga
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (27/11). Tetangga pada umumnya adalah lingkungan paling dekat untuk berbagi cerita. Bercengkerama, bersenda gurau, hingga bertengkar. Ada suka dan duka dalam bermitra dengan tetangga. Mengisi ruang bangsa dan negara. Istri Nasrudin Hoja kesal pada suaminya sang sufi. Sambil menggerutu meminta Nasrudin agar keluar rumah untuk mencari nafkah. Kemiskinan membuatnya menderita. Keluarlah Hoja bersujud dan berdo'a keras berharap Allah memberi uang kepadanya. Tetangganya melihat dan mendengar Nasrudin yzng berdoa dengan suara keras, segera berfikir untuk segera mempermainkannya. Tetangganya melemparkan seratus keping perak ke atas kepalanya. Nasrudin mengumpulkan uang perak itu dan bergegas masuk ke dalam rumahnya. Tetangganya terkaget-kaget, karena uangnya dibawa Nasrudin. Lalu terjadi pertengkaran antara Nasrudin dengan tetangganya. Nasrudin beralasan uang itu pemberian Allah yang dijatuhkan melalui kepalanya. Sementara tetangganya ngotot bahwa itu adalah uang miliknya. Tetangganya mengusulkan kepada Nasrudin agar masalah ini dibawa ke depan Hakim. Akan tetapi Nasrudin menyatakan tidak punya sorban, pakaian, dan kuda yang bagus untuk pergi ke kota menghadap Hakim. Lalu tetangganya putuskan untuk meminjamkan semua keperluan itu kepada Nasrudin. Demi perjuangan hak dan keadilan. Di depan Hakim, tetangganya mengadukan masalah yang dipersengketakan. Hakim bertanya tentang argumen Nasrudin Hoja atas gugatan tetangganya. Nasrudin menjawab bahwa tetangganya itu gila. Sikapnya selalu menyatakan segala adalah miliknya. Ketika tetangga Nasrudin berteriak "pak Hakim, memang benar uang perak dan sorban, kuda, serta pakaian yang dikenakan Nasrudin adalah milik saya", maka Hakim segera memutuskan. "Saya sudah mengerti". Nasrudin tersenyum. Menang. Hukuman Untuk Pengkhianat Begitulah jika memiliki tetangga koalisi yang gemar bermain-main. Sementara mitra koalisinya adalah politisi cerdik tapi licik, maka kelak panggung pertunjukan kekuasaan hanya menghasilkan kejengkelan dan senyum senyum membatin yang dalam. Bagai peran orang gila di panggung sandiwara. Panggung orang gila yang memimpin negara. Namun lebih dari itu, semua yang terjadi hari pada koalisi tetangga adalah hasil dari buah yang ditanam sendiri. Siapa yang meniup angin akan menuai badai. Setiap prilaku pengkhiatan, akan dilabalas dengan pekhiatan yang lebih keras lagi. Tragisnya, pengkhianatan yang lebih keras itu kemungkinan bisa saja dilakukan oleh koalisi yang bari dibentuk. Apalagi koalisi yang baru terbentuk tersebut, bukan didasarkan pada dasar dan cara pandang terhadap permasalahan sosial kemasyarakan yang sama. Bukan pada mengatasi tata kelola kekuasaan yang kacau-balau, amburadul dan amatiran. Namun koalisi yang dibangun hanya didasarkan pada kalkulasi kepentingan jangka pendek. Perhitungan untung-rugi, mengganti dan kembalinya biaya-biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan. Kalkulasi yang betujuan untuk mendapatkan pembagian kue kekuasaan semata dan angka semata. Meskipun untuk mendapatkan itu, harus dilakukan dengan mengkhianati teman seperjuangan yang telah berkorban segala-galanya. Rakyat yang terlanjur berkoran jiwa, darah, harta, keringat dan waktu. Sayangnya, yang didapat adalah kehinanaan semata. Duka yang mendalam. Duku dan luka yang mendalam, sehingga susah untuk bisa melangkah kembali bergabung dengan para pendukung setia dulu. Kini publik (kawan dan lawan) sedang menyaksikan dukanya yang mendalam pada koalisi tetangga. Koalisi yang menjanjikan akan datangnya pelimpahan kekuasaan yang besar pada tahun-tahun mendatang, atau priode berikutnya. Walaupun koalisi tersebut, belum sempat membuahkan hasil pendahuluan sesuai harapan, tetapi duka dan luka itu sudah datang menghampiri. Begitulah cara alam menghukum sebuah pengkhinatan. Semoga menjadi pelajaran berharga untuk yang lain. Amin Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Gara-gara Benur, Prabowo & Gerindra Babak Belur
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (27/11). Dua menteri di kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin berasal dari Partai Gerindra. Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), dan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP). Nasib malang menimpa kader Partai Gerindra. Edhy Prabowo ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bandara Soekarno Hatta, Rabu dini hari 25 Nopember 2020, setelah lawatannya ke Amerika. Edhy Prabowo ditangkap KPK terkait kasus ekspor benur lopster. Penyidik senior KPK Novel Baswedan yang memimpin penangkapan tersebut. Apakah ini Operasi Tangkap Tangan (OTT)? Masih tanda tanya. Disebut OTT kalau sedang, akan atau baru saja melakukan tindak pidana koruptif. Mungkinkah Edhy Prabowo cs sedang melakukan tindak pidana korupsi di dalam pesawat atau di bandara? Atau melakukan tindak pidana korupsi di Amerika? Atau saat transit di Jepang? Namun karena masuk wilayah yuridiksi negara lain sehingga untuk penangkapannya harus menunggu sampai di Indonesia dulu? Kalau dugaan terjadinya tindak korupsi tidak di wilayah Amerika. Bukan pula di dalam pesawat atau bandara, apakah masih bisa disebut OTT? Kalau tidak memenuhi unsur OTT, kenapa nggak dikirimkan saja surat pemanggilan lebih dahulu? Pemanggilan sebagai saksi. Setelah dikonfirmasi ini dan itu, meyakinkan ada unsur pidananya, baru dinaikkan jadi tersangka. Kenapa harus langsung ditangkap? Seolah kalau Edhy tidak ditangkap ia akan lari. Dia pejabat tinggi negara lho. Nggak mungkin lari bro. Nah soal salah atau benar proses OTT tersebut, nanti akan dibuktikan di sidang praperadilan. Inipun kalau Edhy mau mengajukan gugatan ke praperadilan. Sudah jatuh ketimpa tangga pula. Begitu pepatah yang bilang. Gerindra nyeberang ke istana, lalu para pendukung berbondong-bondong meninggalkannya. Ditinggalkan atau meninggalkan? Itu bergantung anda di posisi mana? Pendukung Gerindra atau pihak yang kecewa terhadap Prabowo. Oleh sejumlah mantan pendukung, “Prabowo dianggap berkhianat dan pengkhianat kelas berat. Tak tahu berterima kasih. Nyawa, darah, harta dan keringat yang dikorbankan oleh para pendukung saat Pilpres 2019, seolah nggak dihargainya. Goodby! Hubungan Prabowo cq Gerindra putus dengan sejumlah pihak yang tadinya mendukung. Naifnya lagi, sesampainya Gerindra di istana, kader terbaik Gerindra dan anak didik terbaik Prabowo ditangkap KPK. Yaitu Edhy Prabowo. Tokoh papan atas yang dikirim Gerindra untuk menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP). Kader terhuebat. Kualat kepada PKS? Dalam nalar politik, tak ada ruang untuk analisis mistis. Istilah karna hanya ada di dalam diskusi agama. Nasib sial. Mungkin kalimat ini lebih mewakili. Tertangkapnya Edhy Prabowo tentu punya risiko politik. Pertama, partai Gerindra jatuh di mata publik. Elektabilitas Gerindra terancam turun. Bahkan bisa terjun bebas. Kondisi ini mungkin bisa berpengaruh terhadap kader-kader Gerindra yang sedang menjadi calon kepala daerah. "Ah, nggak mau nyoblos calon dari partai korupsi". Narasi ini bisa dimainkan oleh rival-rivalnya di pilkada Desember 2020 nanti. Setiap tokoh partai tertangkap KPK. Ada konsekuensi hilangnya sebagian pendukung. Hal ini pernah dialami oleh sejumlah partai diantaranya Demokrat dan PPP. Ketua umum ditangkap, elektabilitas langsung ngedrop. Khususnya PPP di Pileg 2019 kemarin. Megap-megap! Kedua, jika Gerindra tidak cepat dan piawai untuk recovery, ini bisa mengancam rencana Prabowo yang akan maju di Pilpres 2024. Santernya isu Prabowo-Puan Maharani yang digadang-gadang di Pilpres 2024 mendatang bisa berantakan. Bagi Gerindra sendiri, ini tidak masalah. Karena, majunya Prabowo di Pilpres akan menaikkan suara untuk para calon anggota DPR dan DPRD. Soal kalah-menang, itu nomor 12. Bukan soal yang utama. Menang syukur, nggak menang, juga masih untung. Bagitu umumnya para kader dan caleg Gerindra berpikir. Beda dengan PDIP, kalau susah dijual, untuk apa ikut mengusung Prabowo? Adakah ada partai lain yang masih mau mengusung Prabowo? Tanya saja ke PKS dan PAN. Lalu, bagaimana hubungan Gerindra dengan istana? Adakah keterlibatan istana dalam penangkapan Edhy Prabowo? Secara hukum, presiden tak boleh intervensi. Faktanya begitu? Walaupun sulit anda membuktikannya. Kecuali anda nekat dan siap dipenjara. Dari aspek politik, muncul banyak spekulasi. Apakah langkah KPK ini semata-mata iklan? Sejak UU KPK No 19 Tahun 2019 diamandemen DPR, KPK nyaris kehilangan kepercayaan publik. Apalagi baru-baru ini, ketua KPK Firli Bahuri membuat pernyataan salah dan blunder ketika mengomentari buku berjudul "How Democracies Die" yang sudah dibaca sejak tahun 2002. Padahal bukunya baru terbit 2018. Maka, penangkapan seorang menteri akan menjadi iklan besar-besaran untuk mengembalikan geliat KPK. Ada juga yang bertanya, apakah penangkapan ini berkaitan dengan rencana resuffle kabinet? Atau apakah ini bagian dari upaya menjegal Prabowo nyapres? Publik tahu, Prabowo punya banyak pesaing, khususnya dari kalangan militer. Atau apakah ini dampak dari persaingan antar partai? Karena kabar yang juga santer, sebelum Edhy Prabowo ditangkap, ada pengurus partai lain yang lebih dahulu ditangkap. Hanya saja sepi dari berita. Kalau ini dibuka, partai itu juga akan babak belur. Soal kebenaran kabar ini masih perlu ditelusuri. Munculnya kecurigaan publik ini wajar, karena publik menganggap bahwa penangkapan pejabat kakap itu biasanya ada unsur politisnya. Apalagi ini sekelas menteri. Publik sering menyaksikan ada adu kuat pihak-pihak tertentu ketika KPK mau menetapkan seseorang jadi tersangka. Lihat saja kasus e-KTP, PAW Harun Masiku, kasus Indosat, dan lain-lain. Semuanya seperti mandek. Kemandekan ini seolah mengkonfirmasi adanya unsur politik yang membuat publik curiga dan selalu mengaitkan dengan politik. Namun yang pasti, kasus ekspor benur lopster ini membuat Gerindra Babak belur. Sebab, kasus ini terjadi saat Prabowo sedang banjir hujatan dari para mantan pendukungnya. Makin berat saja Gerindra dan Prabowo. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Pertarungan Politik Dalaman Istana Dimulai?
by Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (26/11). Tertangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan Eddy Prabowo, kader asal Partai Gerindra cukup mengejutkan masyarakat. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kali cukup mengagetkan publik. Apalagi sudah lama KPK terbilang sepi dari OTT terhadap pejabat negara. OTT KPK kali seakan melengkapi tekanan gerakan politik moral Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), dan revolusi akhlak yang digagas oleh Habib Rizieq Shihab (HRS). Apalagi persoalan bangsa yang semakin berat, terutama persoalan ekonomi akibat efek covid 19, kini muncul masalah baru muncul. Publik terhentak mendapat kabat Menteri Edhy Prabowo terkena OTT KPK. Kalimat ruwet-ruwet Jokowi semakin menggema, baik ke seantero negara maupun ruang-ruang di sekitar pagar istana negara. Terjepit oleh kepentingan para pencari keuntungan dari "all the president's men". Termasuk cara kerja Menteri yang terlihat mulai berantakan. Menteri yang kehilangan visi dan koordinasi. Menteri yang berfikir untuk mengkapitalisasi keuntungan jangka pendek. Eddy Prabowo adalah orang penting dan tangan kanan Prabowo Subianto Ketua Umum Partai Gerindra yang menjadi Menteri Pertahanan. Penangkapannya cukup aneh dan mengagetkan. Apakah OTT KPK ini menjadi bagian dari skenario Presiden Jokowi atau bukan? Pertanyaan yang sangat wajar mengingat sejak direvisi UU tentang KPK, lembaga ini tidak lagi bisa mandiri. KPK tidak lagi bisa lepas dari peranan Dewan Pengawas, yang tak lain adalah "orang-orangnya" Presiden. Mereka diseleksi, dipilih dan diangkat oleh Presiden. Suka-suka presiden saja. Jika OTT kali bukan karena maunya Presiden, maka artinya ada musuh dalam selimut yang sukses menerobos pagar istana. Kementrian di bawah Eddy Prabowo menjadi sarang bisnis Gerindra. Sebagaimana Menteri dari parpol lain juga membawa misi kepentingan partainya, khususnya dalam menghimpun dana. OTT Menteri Edhy Prabowo bernilai politis untuk mematikan semua jalinan bisnis ikutannya. Ini akan menjadi tekanan dan ancaman bagi Prabowo Subianto yang sudah berupaya menjadi "anak manis" Jokowi. Prabowo sekarang menjadi orang yang paling dipercaya oleh Jokowi. Prabowo dan Jokowi selalu tampil berduaan untuk memperlihatkan kepada publik tentang kedekatan mereka berdua tersebut. Bahkan Prabowo juga sudah bernai ngomong ke kalangan terbatas bahwa Jokowi sangat mempercayai dirinya sekarang. Banyak kewenangan dan kebejikan strategis yang dipercayakan kepada Prabowo. Misalnya, Prabowo ditunjuk sebagai Panglima ketahanan panga nasional. Namun apakah sekarang ada keretakan Prabowo dengan Jokowi? Apakah keretakan itu juga mungkin dengan Megawati yang membawa Prabowo kepada Jokowi?. Tapi bukan mustahil pula ada keretakan antara Jokowi dengan Megawati yang jengkel melihat Jokowi tak kunjung mereshuffle kabinet. Megawati tidak puas atas peran yang dinilainya terlalu kecil. Sementara Jusuf Kalla (JK) bersama dengan Golkar sudah mulai bermain babak baru. JK kembali menyatu bersama HRS dan Anies Baswedan, Gubernur DKI. Golkar sekarang mendukung pencabutan RUU HIP dari Prolegnas Prioritas 2021. Sementara Nasdem telah lebih dulu "hengkang" dari Jokowi dengan mengelus-ngelus Anies sebagai Capres Nasdem 2024 nanti. Sesuatu yang sebenarnya sangat tabu untuk kepentingan Jokowi ke depan. Ketika Polisi babak belur disorot sebagai alat kekuasaan, TNI begitu bagus di depan rakyat. Teori perimbangan sebagaimana dimainkan Orde Lama dahulu menghendaki TNI yang tidak terlalu kuat. Pelemahan TNI menjadi keniscayaan. TNI harus dibuat babak belur pula di depan rakyat. Kasus ancaman Panglima TNI Hadi Tjahjanto bersama komandan pasukan Komando Utama (Kotama), penurunan baliho HRS atas peringtah Pangdam Jaya, dan karangan bunga di Makodam Joya adalah momen untuk meruntuhkan wibawa TNI di mata rakyat. Kini Eddy Prabowo, istri dan petinggi KKP telah tertangkap. Telah resmi ditetapkan KPK sebagai tersangka. Entah apa peran Ali Ngabalin yang ikut dan sepesawat dengan Menteri Edhy Prabowo dari Amerika. Tetapi kemudian dilepas KPK. Mata-matakah Ali Ngabalin? Ada agenda apa pula Menteri Edhy Prabowo dan rombongan di Amerika? Menjadi sensitif dalam pertarungan global dengan kepentingan China di Indonesia. Peristiwa ini menyimpan misteri pertarungan politik di lingkaran istana. Bakalan ada episode lanjutan yang bakal jauh lebih menarik. Mungkinkah itu pembersihan atau penggulingan kekuasaan dari dalam? Semua serba mungkin saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.