OPINI

Sinovac, Vaksin Merdeka yang Tidak Merdeka!

by Mochamad Toha Jakarta FNN - Selasa (25/08). “Vaksin Merdeka”. Begitu judul tulisan Dahlan Iskan (DI) di Disway.id, Minggu (23 August 2020). Berita baik minggu ini datang dari Hainan. Menteri BUMN Erick Thohir dan Menlu Retno L.P. Marsudi terbang ke kota Sanya. Itulah 'Pantai Kuta'-nya pulau Hainan. Di situ mereka bertemu Menlu Tiongkok Wan Yi. Perjanjian awal pun ditandatangani: Indonesia bisa membeli 50 juta ampul vaksin Covid-19 dari Sinovac pada Januari 2021. Memang, berita media tidak rinci: apa yang disebut membeli 50 juta ampul itu. Bukankah Bio Farma Bandung bisa memproduksi sendiri – berdasar perjanjian dagang antara Sinovac dengan Bio Farma. Kemungkinan Indonesia ingin lebih cepat mendapat vaksin itu. Tanpa menunggu Bio Farma. “Yang baru bisa berproduksi setelah hasil tes klinis tahap 3 disahkan BPOM,” tulis Mas DI. Mas DI menyebutkan, di Tiongkok (China) uji klinis tahap 3 itu sudah dilakukan lebih dulu. Tiongkok sudah bisa memproduksinya lebih awal. Ketika yang 50 juta itu habis dipakai tepat ketika Bio Farma sudah diizinkan mulai memproduksi. “Saya memperkirakan seperti itu,” tulisnya. Kemungkinan lain, lanjut Mas DI, selama ini uji klinis tahap 3 di Bandung tersebut belum disertai perjanjian dagangnya. Maka di pertemuan Hainan itulah Bio Farma mulai mendapat hak memproduksi 50 juta. Juta-juta berikutnya akan dibicarakan kemudian. “Terutama berapa yen yang harus dibayar Bio Farma ke Sinovac untuk setiap satu juta ampulnya. Kemungkinan yang mana pun tidak ada masalah. Saya anggap itu sebagai langkah cepat yang harus dilakukan,” lanjutnya. “Ups.... Akhirnya saya mendapat konfirmasi dari Bio Farma. Kemarin. Ternyata kemungkinan pertama itu yang benar. Pembelian 50 juta unit itu semata-mata karena di sana sudah boleh diproduksi,” ungkap Mas DI. Sedang untuk bisa produksi di Indonesia masih harus menunggu hasil uji klinis tahap 3 yang di Bandung itu. Juga masih harus menunggu izin edar dari BPOM. Berarti akan ada kiriman 50 juta unit vaksin langsung dari Tiongkok. Kiriman itu, menurut Iwan Setiawan, dalam bentuk bulk. Bukan dalam bentuk botol-botol kecil. Iwan adalah Kepala Departemen Komunikasi Bio Farma. Kiriman itu dilakukan secara bertahap mulai tiga bulan lagi. “Di November 10 juta unit. Desember 10 juta. Januari, Februari dan Maret masing-masing 10 juta,” ujar Iwan. Setelah vaksin itu tiba di Bandung, Bio Farma melakukan pembotolan dan seterusnya. “Jadi akan ada untuk komponen dalam negerinya,” ujar Iwan. Bio Farma, baru akan memproduksi sendiri setelah uji klinik tahap 3 selesai dievaluasi dan dinyatakan berhasil. “Maka membeli dulu dari Tiongkok itu saya anggap langkah yang sigap. Saya salut tim Erick Thohir mampu menemukan jalan kuda itu. Dirut Bio Farma Honesti Basyir sampai hari ini masih di Tiongkok. Untuk bisa bertemu langsung Sinovac di tengah pandemi,” tulis Mas DI. Pertemuan dua menteri Indonesia dengan Menlu Tiongkok sendiri memilih tempat di Hainan. Pilihan yang tepat. Hainan hanya 3,5 jam terbang langsung dari Jakarta. Dengan pesawat carter. Mereka bisa langsung balik ke Jakarta hari itu juga. Tanpa harus bermalam di sana. Mas DI pun memuji Erick Thohir. “Gerak cepat itu memang menjadi ciri khas orang seperti Erick Thohir. Apalagi pemerintah sudah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan antara 4,5 sampai 5 persen. “Angka yang sangat optimistis. Saya sampai terkaget-kaget. Berarti prioritas vaksinasi nanti harus dikaitkan dengan sektor-sektor ekonomi: para karyawan pabrik, para pramugari dan awak angkutan, komunitas pasar, dan seterusnya,” ungkapnya. Siapa pun yang diprioritaskan tetap saja baik untuk semua. Dengan 40 juta orang yang akan divaksinasi berarti potensi penularannya juga turun.Sejauh ini isu negatif yang sempat ramai sudah reda. Tidak ada lagi isu halal-haram. Tanpa harus terjadi caci-maki. Mas DI juga mengungkapkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bersama Pangdam Siliwangi dan Kapolda Jabar telah mendaftar sebagai Relawan Uji Klinis Tahap III di Bandung pada Selasa, 25 Agustus 2020. Gubernur yang akrab dipanggil Kang Emil itu merasa sudah mendapat penjelasan lengkap mengenai konsekuensi menjadi relawan. Termasuk harus menjalani dua kali suntikan. Ia merasa aman-aman saja. Kenapa harus dua kali? “Karena vaksin ini bukan dari virus Covid-19 yang dilemahkan, tapi dari virus yang dimatikan,” katanya. Itulah penjelasan yang ia terima. Maksudnya: vaksin ini lebih aman. Sejauh ini di Tiongkok sendiri belum ditemukan efek negatif dari vaksin ini. Berarti nantinya Bio Farma harus memproduksi 2 kali lebih banyak dari jumlah orang yang harus divaksinasi. Kalau pun Erick kini juga lagi bicara dengan dua perusahaan vaksin Tiongkok lainnya, bukan berarti meragukan Sinovac. Itu semata-mata melihat kemampuan produksi pabrik vaksin. Yang tidak akan sebesar keperluan seluruh dunia. Bio Farma bukan baru sekali ini bekerjasama dengan Sinovac. Di program vaksinasi polio, misalnya, Bio Farma juga bekerjasama dengan Sinovac. Saham Sinovac, yang sudah lama go public di pasar modal Nasdaq New York, mengalami kenaikan besar bukan di vaksin Covid-19 ini, tapi saat mulai memproduksi vaksin hepatitis A dan B dulu. Sedang nama Bio Farma ngetop saat memproduksi vaksin flu burung. Kini semua orang memang menunggu vaksin Covid-19 itu. Apalagi kalau melihat berita Harian DI's Way kemarin: kini di Beijing tidak wajib lagi pakai masker. Rasanya di bulan Agustus ini justru orang Beijing yang merdeka. Apa yang dinyatakan Mas DI dalam penutup tulisannya itu memang benar. Vaksin Merdeka lebih tepat untuk China. Tapi, Vaksin Merdeka yang Belum Merdeka itu untuk Indonesia. Itu fakta yang sebenarnya! *Belum Aman!* Jika memang Vaksin Sinovac yang siap Uji Klinis di Indonesia itu dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan atau dimatikan”, itu sama saja dengan China sedang menginfeksi rakyat Indonesia dengan Covid-19 secara massal. Sebab, diantara virus yang “dimatikan” itu, dipastikan ada yang dorman (tidur). Nah, yang dorman dan dikira mati itulah pada saat atau dengan suhu tertentu akan hidup lagi! Ingat! Virus atau bakteri corona itu mahluk hidup yang cerdas! Misalnya, bila virus corona dihantam desinfektan chemikal (kimia), maka asumsi umumnya mereka mati. Tapi, ternyata saat ini mutasi corona sampai di atas 500 karakter atau varian. Ternyata, karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor ACE2 (Angiotensin Converting Enzyme 2) saja, tetapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis (contoh kasus artis Glen Fredly kemarin). Ada juga yang langsung berikatan atau nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit. Itu adalah fakta klinis yang ditemukan di rumah sakit. Jadi, Covid-19 itu tidak hanya menginfeksi di saluran pernapasan seperti yang selama ini beredar! Perlu diingat, Covid-19 itu terjadi dan meledak sekitar 5-6 bulan lalu. Padahal, kalau tidak salah, fase membuat vaksin itu butuh waktu 12-18 bulan. Dari mana specimen virusnya itu diperoleh? Karena, kabarnya, basic dari vaksin ini adalah kasus SARS-Corona 5 tahun yang lalu, bukan Covid-19 ini. Apakah efektif untuk Covid-19? Bagaimana pula kalau sekarang ini varian baru yang telah ditemukan di Malaysia, Thailand, Philipina, yang kemampuannya 10 kali lebih mematikan dibanding Covid-19? Terutama mampu menyerang saluran pencernaan dan syaraf. Varian baru itu diberi Kode D614G. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID

Berharap Jokowi Jadi Negarawan Penyelamat NKRI

by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Rabu (25/08). Ini Persoalan yang sangat serius. Jokowi kemungkinan akan menghadapi dua keadan yang sangat tidak mengenakkan. Tetapi, Jokowi bisa dikenang sebagai negarawan yang menjadi teladan generasi mendatang. Pikiranku masih saja terganggu. Penilaian Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), bahwa kehidupan bangsa dan negara sudah menyimpang dari tujuan dibentuknya republik ini. Penyimpangan ini sesuatu yang sangat serius. Tidak bisa dipandang enteng alias sebelah mata. Sebab, ini berarti penyelenggara negara telah menyimpang dari Falsafah Negara, menyeleweng dari Pancasila. Berulang kali KAMI dalam maklumatnya, baik secara eksplisit maupun implisit, menuntut penyelengara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD, dan MPR untuk mengembalikan penyelenggaraan dan pengelolaan negara pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 sesuai Dekrit 5 Juli 1959. Khusus kepada Presiden, KAMI menuntut untuk bertanggungjawab sesuai dengan sumpah dan janji jabatannya. Mengelola negara meyimpang dari Pancasila? Itu adalah pengingkaran terhadap sumpah dan janji jabatan. Itu melalaikan kewajiban, melalaikan amanah rakyat atau dalam istilah agama disebut sebagai khianat. Itu betul-betul persoalan serius. Bicara Pancasila dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan Republik Indonesia. Bukan pula Republik Indonesia Serikat. Haruslah merujuk pada pembukaan UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 sebagaimana Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Bukan Pancasila lain, apalagi Pancasila 1 Juni 1945. Mengelola negara berdasarkan Pancasila yang bukan Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah penyelewengan, penghianatan terhadap rakyat dan konstitusi. Mari kita simak ulang aline ke empat Pembukaan UUD 1945 ini. “Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. “Sila-sila Pancasila” dalam alenia ke empat itu sesungguhnya adalah merupakan landasan negara untuk menjadi pedoman pemerintah menunaikan fungsinya, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Jadi, Pancasila itu adalah amanah rakyat kepada negara untuk dilaksanakan pemerintah dalam upaya mencapai tujuan dibentuknya negara. Ini harus digaris bawahi. Dalam kata lain, pemerintah berkewajiban melaksanakan Pancasila. Ada pun rakyat, sebagai pemberi amanah, adalah mereka yang harus menerima manfaat dari hasil kerja pemerintah mengelola negara sesuai dengan Pancasila. Hal ini dipertegas oleh anak kalimat terakhir dari alenia ke 4 itu, yakni : ”...serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosia bagi seluruh rakyat Indonesia.” Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tentulah tugas Pemerintah Indonesia. Bukan rakyatnya. Rakyat, malah sebaliknya, berwenang mengawasi pemerintah dalam melaksanakan Pancasila. Lain dari itu, tanda baca “koma” di antara sila-sila Pancasila, juga kata sambung “dan” setelah Persatuan Indonesia dan “serta” sebelum sila “dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia” menunjukan Pancasila adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahlkan. Dengan demikian, upaya memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila adalah suatu yang terlarang dan adalah merupakan upaya merongrong Pancasila itu sendiri. Ini pula yang membedakannya dengan Pancasila 1 Juni 1945 (Pancasila rumusan pribadi Soekarno). Bagi rakyat, alat ukur untuk menilai apakah pemerintah sedang menjalankan pemerintahan berdasarkan Pancasila atau tidak, sederhana saja, yakni apakah rakyat mendapatkan hak-haknya. Kembali merujuk alenia ke empat, hak-hak utama rakyat adalah mendapatkan perlindungan dari negara. Mendapat kesejahteraan, mendapat pendidikan, mendapat keadilan sosial (termasuk berserikat dan mengeluarkan pendapat di muka umum) dan bebas menjalankan agama yang diyakininya. Jika rakyat merasa semua terpenuhi, berarti pemerintahan sudah on the tract. Tetapi kalau tidak, berarti terjadi penyimpangan. Begitu pulalah KAMI menilai jalannya pemerintahan akhir-akhir ini. Kesimpulan KAMI, Pengelola Negara telah menyeleweng dari Pancasila. Dalam konteks RUU HIP dan RUU BPIP, pengelola negara bukan saja tidak menjalankan Pancasila. Dengan RUU HIP, DPR bahkan ingin mengganti pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan Pancasila rumusan Pribadi Soekarno. Menurut KAMI, ini adalah upaya nyata untuk meruntuhkan NKRI. Sementara RUU BIP dapat dipandang sebagai keinginan pemerintah untuk mengambil alih kewenangan rakyat sebagai pemberi mandat kepada pemerintah berupa Pancasila. Pemerintah ingin membentuk lembaga (pengganti rakyat) penafsir tunggal yang sah tentang mandat rakyat (Pancasila) itu. Maka, dengan ini rakyat bukan lagi menjadi pengawas pemerintah dalam menjalankan Pancasila, tetapi sebaliknya akan diawasi oleh pemerintah dengan Pancasila. Keadaannya menjadi terbalik, seolah-olah rakyatlah yang wajib menjalankan Pancasila. Pancasila menjadi alat pemukul bagi pemerintah terhadap rakyatnya ! Ngeri, akan berapa banyak lagi korban berjatuhan ? Memperhatikan betapa dahsyatnya kerusakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang akan ditimbulkan oleh RUU HIP dan RUU BIP, itulah maka KAMI secara khusus menuntut yang berkenaan dengan kedua RUU ini. Tuntutannya adalah, agar pemerintah mengusut secara sungguh-sungguh dan tuntas pihak-pihak yang berupaya melalui jalur konstitusi mengubah Dasar Negara Pancasila. Tetapi, persoalan besarnya adalah bagaimana tindak lanjut dari penyelewengan Pancasila yang dilakukan oleh pengelola negara itu? Sebagai bandingan dan sekaligus preseden, Hizbut Thahrir Indonesia (HTI) dicabut status badan hukumnya oleh Kemenkumham karena dinilai tidak sesuai dengan Pancasila. Demikian juga Front Pembela Islam (FPI), mengalami persoalan perpanjangan tanda terdaftarnya karena alasan yang lebih kurang sama. Maka, bagaimana kalau penyelenggara negara –yang memang berkewajiban mengelola negara berdasar Pancasila, melenceng dari Pancasila ? Mengingat Pemerintah adalah penerima mandat dari rakyat, maka logikanya, rakyat berhak menarik mandat dan membubarkan pemerintahan yang melenceng dari Pancasila. Azas Contrarius actus sungguh tepat dijadikan alasan. Sebab tanpa mandat, siapa pun tak berhak memerintah rakyat. Inilah persoalan sangat serius yang mengganggu pikiranku. Amin Rais, dalam Risalah yang disampaikannya 13 Agustus 2020, menawarkan pilihan untuk Pak Jokowi : mundur atau terus. Ada 13 persoalan besar “prestasi negatip” pemerintahan Jokowi. Ya, jika ditilik ke 13-nya, lebih kurang samalah dengan penilaian KAMI. Kalau mau terus, kata Amin Rais, “bersihkan istana dari elemen-elemen yang merusak kehidupan Bangsa Indonesia”. Jokowi jelas berada pada posisi sangat sulit. “Membersihkan Istana” sekaligus mengusut pihak-pihak yang terkait dengan RUU HIP dan RUU BPIP serta memperbaiki keadaan seperti yang dituntut KAMI bukanlah pekerjaan gampang. Jokowi akan berhadapan keras dengan kekuatan besar yang ada dibalik layar, termasuk partai-partai pendukungnya. Meneruskan apa yang ada sekarang, dan mengabaikan tuntutan KAMI, Jokowi akan berhadapan dengan rakyat. Harus diakaui, dengan semaraknya dukungan dari seluruh tanah air, KAMI saat ini menjadi corong suara rakyat. Tampaknya, gerakan semacam itu akan terus tumbuh dan berkembang pesat. Dengan kondisi demikian, Jokowi akan menghadapi dua keadaan. Dimundurkan oleh pendukungnya, atau dimundurkan oleh rakyat-rakyat yang menyabut mandat dengan caranya sendiri. Dua-duanya jelas tidak mengenakkan. Maka, yang enak dan terhormat itu adalah mengundurkan diri. Mundur dengan kesadaran. Melepaskan diri dari terlibat dalam penyelewengan dan terlepas dari berhadapan dengan rakyat. Jokowi akan dikenang sebagai negarawan, menjadi teladan bagi generasi mendatang : Jokowi penyelamat NKRI. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia Masyumi Reborn.

Cukup Bilang "Anti PKI" , PDIP Selamat

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (25/08). Tak sedikit yang curiga bahwa keturunan PKI dan masyarakat yang berupaya untuk hidupkan kembali faham komunisme telah memilih untuk berafiliasi ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kecurigaan ini muncul terutama setelah salah seorang kader PDIP menulis buku dengan berjudul, "Aku Bangga Jadi Anak PKI". Kecurigaan makin menguat ketika ada sejumlah pihak yang mendesak Jokowi atas nama kepala negara meminta maaf kepada PKI. Alasannya, PKI itu korban. Bukan pelaku. Beruntung saja, Jokowi menolak. Jika tidak, akan ada gejolak yang tak perlu terjadi. Belakangan, muncul lagi usulan fraksi PDIP atas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila(RUU HIP). Gagasan RUU ini mengusung Pancasila 1 Juni 1945, yang memperjuangkan Pancasila Trisila dan Ekasila. Juga menolak TAP MPRS No 25 Tahun 1966 menjadi bagian dari konsederannya RUU HIP seperti anti klimaks terhadap kecurigaan itu. Jangan salah paham. Menuduh PDIP itu PKI tentu saja keliru. Tetapi, mencurigai bahwa ada orang-orang yang berpaham komunisme berdiam di PDIP memang tak mudah untuk dibuktikan secara hukum. Terlebih ketika hukum berada dalam kendali politik. Makanya, maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada poin kelima yang berisi tuntutan untuk mengusut tuntas konseptor dan pengusul RUU HIP nggak mudah untuk dipenuhi. Dengan kata lain “diabaikan atau didiamkan saja”. Tidak ada gelagat diproses oleh jajaran penegak hukum negeri ini. Dianggap seperti tidak ada tuntutan. Sebelumnya, keputusan Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) yang diselenggaran MUI di Pangkal Pinang Bangka Belitung, menuntut agar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dibubarkan, juga tak dipenuhi. Malah sebaliknya, pemerintah justru mengeluarkan usulan RUU BPIP. Ini adalah tamparan keras terhadap MUI dan semua ormas yang mengikuti KUII. Sekaligus menunjukkan bahwa MUI tak cukup kuat untuk menekan penguasa negeri ini. Beberapa pekan ini, isu HIP mulai meredup. Meski RUU HIP belum dicabut dari prolegnas. Mungkinkah Pemerintah dan DPR sengaja mengulur waktu dan berupaya melunakkan MUI dan pihak-pihak yang menolak HIP? Biar MUI yang jawab. Kembali pada PDIP, bahwa stigma terhadap partai yang dipimpin Megawati ini berkaitan dengan isu komunisme akhir-akhir ini memang semakin menguat. Apakah ini akan ada pengaruhnya terhadap elektabilitas partai banteng? Tunggu perkembangan lebih lanjut. Jika berpengaruh, maka PDIP hanya butuh satu kalimat saja. Melalui ketua umum, yaitu Megawati cukup membuat satu kalimat sebagai pernyataan resmi bahwa, "PDIP Anti PKI". Bisa juga PDIP cukup bilang”tidak kompromi dengan PKI atau tidak akan memberi ruang bagi tumbuh suburnya faham komunis di Indonesia”. Kalimat-kalimat ini mujarab. Cukup efektif untuk menghentikan stigma. Dengan kalimat ini saja, stigma PDIP terkait isu komunisme besar kemungkinan akan berangsur-angsur meredup. Apakah PDIP berani membuat pernyataanseperti itu? Biarlah Ibu Megawati yang menjawabnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Gedung Kejaksaan Terbakar, Kasus Korupsi Ambyar

by Edy Mulyadi Jakarta FNN - Senin (24/08). Gedung Kejaksaan Agung terbakar, Sabtu (22/8). Api barkobar dahsyat, dan baru bisa dipadamkan pada Ahad pagi. Rakyat pun bertanya, ini terbakar atau dibakar? Maklum, di gedung itu tersimpan berkas-berkas kasus korupsi. Terbakar atau dibakar, bisa membahayakan kelangsungan penyelesaian kasus-kasus korupsi, yang bukan saja kelas kakap, tapi sudah level ikan paus. Tapi belum apa-apa, Menkopolhukam Mahfud MD di akun twitternya menyatakan, bahwa berkas-bekas kasus korupsi aman. Dengan begitu, kata dia, kelanjutan penanganan perkara tak kan terlalu terganggu. Mahfud bahkan mengklaim sudah bicara langsung dengan Jaksa Agung Burhanuddin dan Jampidum Fadhil Zumhana. Mahfud boleh saja super PD dengan keamanan berkas-berkas kasus korupsi. Tapi Kabid Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus menyebut titik kebakaran ada di Gedung Utama. Artinya, semua berkas tak selamat. Jadi bagaimana? Kepada siapa publik harus percaya? Mahfud apa polisi? Terlepas dari keduanya, Tempo menulis berita dengan judul Kebakaran di Kejaksaan Agung Dicurigai untuk Hilangkan Bukti Kasus Djoko Tjandra. Proposal US$100 juta Masih belum selesai, kawan. Tempo.co menulis jaksa Pinangki mengajukan proposal fatwa untuk pembebasan Djoko Tjandra seharga US$100 juta. Dia mengaku melaporkan pertemuannya dengan Djoko kepada Jaksa Agung. Nah… Adakah kaitan antara peristiwa terbakar atau dibakarnya gedung Kejagung dengan upaya penghilangan berkas kasus-kasus korupsi, khususnya terkait skandal hak tagih Bank Bali yang melibatkan Djoko? Bisa ya, bisa juga tidak. Tapi untuk media sekelas Tempo tentu terlalu harga yang harus mereka bayar, andai menurunkan berita asal-asalan. Apalagi media yang punya jam terbang puluhan tahun ini antara lain memang dikenal dengan liputan investigatifnya. Omong-omong, besar sekali nilai proposal fatwa pembebasan Djoko, ya? US$100 juta! Dengan kurs US$1 setara Rp15.000, maka harga fatwa tersebut mencapai Rp1,5 triliun. Dahsyat! Tentu saja, namanya juga proposal. Pasti akan ada tawar-menawar. Berapa angka finalnya? Hanya mereka dan iblis, juga tentu saja Allah SWT, yang tahu. Tapi semua ini menggambarkan betapa amburadulnya penegakan hukum di negeri ini. Di mata para elit itu, hukum benar-benar menjadi komoditas yang gurih diperdagangkan. Ingat, Proposal tadi bukan ditawarkan pak Dullah, tukang cendol yang keliling keluar masuk gang menjajakan dagangannya. Proposal itu juga bukan dibuat oleh mpok Minah, tukang gado-gado di samping rel kereta. Tapi proposal itu diajukan oleh jaksa. Bukan sembarang jaksa, melainkan jaksa yang menangani kasus korupsi tersebut. Benar-benar rusak! Ini pula yang menjelaskan kenapa rakyat tidak terus terpuruk nasibnya, kendati hidup di negeri yangtelah 75 tahun merdeka. Ini pula yang mengabarkan, betapa cita-cita para pendiri bangsa seperti yang tercantum dalam paragraph keempat UUD 1945, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, makin jauh. Apa arti dari semua ini? Artinya, Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Indonesia sedang dalam masalah besar. Indonesia sedang sakit. Sekarat. Indonesia di ambang ambyarrr… Presiden pas-pasan Semua ini terjadi karena presiden yang tengah berkuasa gagal memenuhi mandat konstitusi. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk memimpin negara besar seperti Indonesia. Negara yang nyaris remuk-redam karena selama enam tahun ini penguasa telah salah urus. Kapasitas dan kapabalitas Joko Widodo sebagai presiden jauh di bawah standar yang dibutuhkn seorang pemimpin. Jangan pula bicara soal integritas, wuiihhh… sangat mengerikan! Bagaimana mungkin seorang pemimpin berintegritas bisa menggunakan Istana untuk urusan pribadi dan keluarga. Di Istana pula dia memanggil lawan politik anaknya untuk diminta mundur. Yang lebih buruk lagi, dia menyogok dengan menawarkan jabatan kepada orang yang diminta mundur itu. Jadi, kalau Indonesia mau bangkit, mau lepas dari krisis yang membelit, tidak ada jalan lain kecuali meminta dengan hormat agar Presiden mengundurkan diri. Kasihan rakyat yang harus berjibaku sendiri mempertahankan hidup di tengah pandemi dan himpitan harga-harga yang melangit. Kasihan petani dan nelayan kita karena impor yang ugal-ugalan. Kasihan Indonesia yang sumber daya alamnya dikuras secara brutal dan illegal. Kasihan bangsa ini yang kedaulatannya jatuh ke titik nadir akibat utang luar negeri yang serampangan dan berbunga amat mahal. Jadi, mas Joko, mbok mundur, lah. Please, deh… Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID

Perbaiki Prosedur Vaksin Covid 19 Baru Bisa Lolos

by Mochamad Toha Jakarta, FNN (Senin 23/08). Uji klinis 3 kombinasi obat untuk virus Corona (Covid-19) di Universitas Airlangga diwarnai kontroversi. Sempat diklaim sebagai bakal jadi obat Corona pertama di dunia, namun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berkata lain. “Ditemukan ada critical finding,” kata Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito kepada pers di channel YouTube BPOM, Rabu (19/8/2020). Ada beberapa catatan yang disampaikan Penny dalam kesempatan tersebut. Pertama, terkait validitas. Hasil inspeksi di pusat penelitian di Bandung menunjukkan perlunya beberapa klarifikasi data yang kritikal terkait efektivitas kombinasi obat yang diuji. “Belum menunjukkan perbedaan yang signifikan,” ungkap Penny. Catatan lainnya adalah soal subjek uji yang belum merepresentasikan randomisasi. Semua kasus di Secapa TNI AD di Bandung yang diteliti merupakan pasien dengan gejala ringan. “Sehingga efektivitas pada subjek dengan derajat penyakit sedang dan berat tidak terwakili,” lanjutnya. Bahkan, beberapa pasien adalah OTG (orang tanpa gejala). Menurut Penny, sesuai protokol yang berlaku OTG seharusnya tidak perlu mendapat obat tersebut. Atas beberapa catatan tersebut, BPOM akan menilai perbaikan dan klarifikasi yang diberikan oleh tim peneliti maupun sponsor. “Jika perbaikan dan klarifikasi itu tidak dapat mendukung validitas hasil uji klinik, maka peneliti harus mengulang pelaksanaan uji klinik,” rilis BPOM. Ketiga kombinasi obat yang menjalani uji klinis, bekerja sama dengan TNI-AD dan BIN itu adalah sebagai berikut: 1. Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin; 2. Lopinavir/Ritonavir dan Doxycyclin; 3. Hydrochloroquine dan Azithromycin. Obat yang dikembangkan tim peneliti Unair, TNI AD, dan BIN itu diberikan kepada 1.308 pasien di Secapa AD, Bandung. BIN menyebut sebanyak 85 persen pasien positif Covid-19 telah sembuh. Uji klinis itu dilakukan pada 7 Juli hingga 4 Agutus 2020, dalam keterangan yang diterima CNNIndonesia.com, protokol uji klinis telah mendapatkan persetujuan pelaksanaan uji klinik (PPUK) oleh BPOM dengan Nomor PP.01.01.1.3.07.20.06. Sementara, Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono menyebut pengembangan obat virus corona hasil penelitian Unair bersama dengan TNI AD dan BIN belum teregistrasi uji klinis di Badan Kesehatan Dunia (WHO). Ingat, hingga kini WHO belum merekomendasikan satu pun obat untuk mencegah/mengobati infeksi Covid-19. Obat dari gabungan Unair-TNI AD-BIN ini juga belum mendapatkan izin edar dari BPOM. Selain itu, tim Unair-TNI AD-BIN pun belum mengungkapkan secara rinci hasil serta metode uji klinis. Melansir SINDOnews.com, Minggu (16 Agustus 2020 – 19:16 WIB), Ahli Epidemologi UI Pandu Riono menegaskan bahwa yang paling penting dari sebuah riset adalah prosedurnya. Jika obat Covid-19 hasil penelitian Unair bekerja sama dengan BIN dan TNI itu tidak memenuhi secara prosedural, maka obat itu tidak layak terdaftar BPOM. Ia pun siap menggugat jika BPOM menerimanya. “Yang paling penting adalah prosesnya, apakah diikuti nggak standar prosedurnya. Itu yang paling penting. Makanya saya berani bilang, jangan percaya. Karena itu berdasarkan kaidah standar, kalau itu udah dilanggar sama mereka, jangan dipercaya,” lanjutnya. “Apalagi sampai didaftarkan oleh Badan POM, dan Badan POM menerima, saya gugat,” kata Pandu saat dihubungi SINDOnews, Minggu (16/8/2020). Menurut Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI ini, untuk semua penelitian yang bersifat nasional apakah itu obat atau vaksin, harus di-review oleh Komite Etik Balitbangkes. Selain me-review, Balitbangkes juga akan memonitor setiap proses penelitian tersebut. Obat Covid-19 ini tak sesuai standar prosedur yang seharusnya. “Saya menggugatnya bukan ke TNI/BIN, tapi ke akademis Unair-nya, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap integritas ilmu pengetahuan,” tegasnya. “Mereka tahu itu, tidak ada jalan pintas untuk pengembangan ilmu,” ujar Pandu. Menurutnya, semua tahu bahwa Covid-19 ini bencana dunia, tetapi WHO membuat Clinical International Trial, di mana ada multi center study terkait obat-obatan yang semuanya mengikuti prosedur. Di Indonesia pun Balitbangkes berperan sebagai motornya. Semua harus patuh pada regulasi karena hasilnya nanti digunakan masyarakat. “Buat apa mengobati jika tidak ada manfaatnya. Seperti Hydrochloroquine,” ungkap Pandu mencontohkan. Hasil studi dunia di beberapa negara sudah mengomunikasikan bahwa hydrochloroquine itu tidak ada manfaatnya. Di Amerika sudah dicabut sebagai obat untuk pengobatan Covid-19, di Indonesia belum dicabut. Apakah masih mau diberikan Covid-19 karena ada efek sampingnya yang sampai meninggal. Di daerah ada kematian, dia meninggal karena ada obat yang tidak perlu diberikan,” ungkap Pandu lagi. Karena itu, ia mempertanyakan kenapa Unair tidak bekerja sama dengan lembaga penelitian lainnya agar ada saling koreksi, dan justru bekerja sama dengan BIN dan TNI. “Kok Unair tidak kerja sama dengan lembaga penelitian lain dan malah kerja sama dengan lembaga militer. Unpad Bandung misalnya, Unpad juga kuat kok clinical trial-nya, kerja sama akademik itu diperlukan untuk saling koreksi,” katanya. Dokter Tifauzia Tyassuma, Peneliti dan Penulis Presiden AHLINA Institute mengatakan, Uji Klinis untuk obat itu harus Randomized Controlled Trials atau RCT. Tahapannya juga harus diikuti dengan ketat: Uji Klinis Fase 1; Uji Klinis Fase 2; Uji Klinis Fase 3. Dan, semua harus dipublikasi terlebih dahulu dengan pengujian Peer Review yang ketat. Baru bisa di-BPOM-kan. Baru bisa diproduksi. “Kecuali kalau formula obat itu hanya utak-atik dosis dari formula obat yang sudah ada sebelumnya,” ungkap Dokter Tifauzia. “Maka Anda bisa langsung lompat ke Uji Klinis Fase 3. Kepada orang sakit dengan beberapa tahapan,” lanjut Dokter Tifauzia. Tahapan pertama Uji Klinis Fase 3 Hospital-Based. Dengan pengawasam ketat untuk menguji efficacy-nya (keamanannya). Tahapan kedua Uji Klinis Fase 3 Population Based (karena ini obat maka populasinya tetap Hospital Based dengan jumlah sampel lebih besar dan multi site multi center dari berbagai ragam karakteristik populasi) dan Gold Standar (Baku Emas). “Yaitu obat yang sudah digunakan sebelumnya yang sudah teruji,” katanya. Setelah itu baru publikasi. Berhasil harus publikasi. Gagal pun harus publikasi. Baru setelah itu BPOM akan melakukan verifikasi apakah obat ini layak edar atau tidak. Pengembangan obat untuk pasien positif Covid-19 dilakukan Unair, TNI AD, dan BIN. Mereka menggunakan tiga kombinasi obat. Pertama, Lopinavir-Ritonavir-Azithromycin. Kedua, Lopinavir-Ritonavir-Doxycycline. Ketiga, Hydrochloroquine-Azithromycin. Lopinavir dan Ritonavir adalah dua jenis yang telah lama digunakan dalam mengobati pasien HIV/AIDS. Azithromicin adalah Anti bakteri jenis makrolid yang sudah sering digunakan untuk infeksi kulit dan pernafasan. Doxycycline adalah Antibiotika yang sudah sering digunakan untuk berbagai infeksi dari paru-paru hingga saluran kemih. Hydrochloroquine adalah obat Malaria yang sudah dikenal puluhan tahun. “Sepertinya yang dikutak-katik adalah dosis dan kombinasinya. Artinya aspek Novelty atau Kebaruannya adalah dari kedua sisi tersebut,” tegas Dokter Tifauzia. Bukan menemukan obat yang sama sekali baru. “Dan ini ok saja tidak ada masalah. Asal jangan ada klaim ini penemuan obat baru yang belum pernah ada di dunia. Hanya masyarakat perlu tahu ini formulasi obat yang bukan main-main, baik dari level kekerasan obatnya maupun kemungkinan efek sampingnya,” lanjutnya. Obat yang lagi dibuat ini kelas Rumah Sakit semua dan untuk kasus Moderate sampai Severe. Jadi, kalau obat ini jadi pun, dan lolos BPOM, “Anda jangan mengharapkan obat ini nanti dijual di Alfamart apa Indomaret ya. Apalagi dijual di warung kaya panadol apa Komix.” Apa Ahli Epidemiologi Klinik atau Farmakologi tidak dilibatkan? Inisiatif untuk membuat obat itu bagus dan sah dilakukan. Tetapi prosedurnya harus dijalankan. Prosedur Uji Klinis itu kaidahnya Zero Mistakes. Tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun. Dokter Tifauzia menyarankan: perbaiki prosedur! Arie Karimah Muhammad, Pharma-Excellent, Alumni ITB, mengungkapkan, benchmarking akan membuat kita menyadari “How good are we?”, sekaligus “Where are we now?”. Masih tentang klaim bahwa Unair “Sudah Menemukan” obat untuk Covid-19, yang ternyata Hanya mengkombinasikan existing products yang sudah lama ada di pasaran, digunakan untuk penyakit infeksi lain. Produk tersebut adalah antibiotik, antivirus dan antimalaria. Mari kita tengok headline pada Juni 2020 tentang satu langkah keberhasilan terapi Covid-19. Universitas Oxford, yang memimpin uji klinis Recovery (Randomised Evaluation of Covid-19 Therapy) Terbesar di Dunia. Universitas Oxford berhasil menemukan fakta bahwa injeksi deksametason secara intravena 6 mg selama 10 hari terbukti Mengurangi Risiko Kematian pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit: Sebanyak18% pada kategori parah yang memerlukan tambahan oksigen, dan 6% kategori kritis yang membutuhkan life support ventilator. Kedua kategori tersebut mengindikasikan bahwa pasien sudah mengalami ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) atau kegagalan fungsi pernafasan akut. Studi tersebut membandingkan 2.104 pasien yang mendapat deksametason dengan 4.321 pasien yang mendapat perawatan biasa (usual care). Apakah lantas Universitas Oxford mempublikasikan hasil itu dengan mengatakan “Sudah Menemukan Obat” untuk mengurangi risiko kematian pasien Covid-19? Nope. Mereka hanya mengatakan, telah menemukan sebuah terobosan (breakthrough) atau sebuah langkah besar ke depan (a msjor step forward) dalam mengobati infeksi Covid-19. Temuan itu kini menjadi guideline baru dalam penanganan pasien Covid-19 di seluruh dunia, karena sudah dibakukan oleh WHO. “Jadi sekali lagi, Unair….please segera lakukan klarifikasi di depan publik. Bukan KSAD atau pihak TNI AD yang harus melakukannya. Diantos nya ku abdi dan netizen/masyarakat,” tulis Arie Karimah Muhammad dalam status FB-nya, 21 Agustus 2020. Namun, kalau BIN menyebut sebanyak 85 persen pasien positif Covid-19 di Secapa Bandung telah sembuh, berarti ada formula lain yang membantu proses penyembuhan mereka! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID

Buzzer Dan Influencer Penyakit Demokrasi

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad 923/08). Konon dana yang dikeluarkan Pemerintah hingga Rp. 90 miliar untuk membiayai buzzer dan influencer. Dana itu berasal daru uang rakyat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tugas buzzer dan infulencer adalah membela, mengkampanyekan, membangun citra hingga memprovokasi. Buruknya jika sampai pada membohongi rakyat. Rakyat dibohongi pakai uang rakyat. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyatatakan buzzer dan influencer mengkampanyekan positif segala kerja pemerintah. Isinya bermacam-macam. Tergantung pada orderan. Tentu tidak gratis, tetapi ada sejumlah bayaran. Menurutnya dalam proses politik, hal ini dapat menurunkan kualitas dari demokrasi. Sebenarnya bukan hanya menurunkan. Tetapi telah menjadi penyakit demokrasi. Merusak demokrasi yang sangat dibanggakan rezim penguasa saat ini. Melanggengkan budaya politik transaksional, premanisme, serta menghalalkan kebohongan dan kecurangan dalam berpolitik. Penyakit buzzer dan influencer sangat berbahaya. Di negara komunis seperri Rusia, dan juga China, buzzer dan influencer dapat disetarakan dengan departemen agitasi dan propaganda (agitprop) pada partai komunis. Tugasnya adalah menyosialisasikan visi, misi, dan atau hasil-hasil kerja pemerintah. Bila perlu dengan memutarbalikkan fakta dari yang sebenarnya. Melemahkan hal-hal yang diungkap oposan atau pengeritik. Bahkan bila perlu mencari kelemahan dan kelasahan pribadi pengeritik. Setelah itu menyerang juga pribadi pengeritik. Tidak perduli benar atau. Sumua dana yang dipakai adalah uang rakyat. Agitprop tidak lain "is political propaganda especially the communist propaganda that is spread to the general public through popular media such as literature, plays, phamplets, film, and other art forms with an explicity political message". Keberadaan buzzer dan influencer bukan ciri dari negara demokratis. Prilaku seperti ini adalah ciri negara komunis. Dimana informasi dicengkeram Pemerintah. Hukum yang menjadi alat kekuasaan untuk menjerat semua lawan-kawan politik. Lawan-lawan politik dari kelompok sivil society yang kritis dibungkam. Juga dikriminalisasi dan dijebloskan ke dalam penjara. Untuk itu, adu-domba pun dilakukan. Opini publik dimainkan dan dibolak-balik. Opini yang benar dibang salah, dan sebaliknya yang salah dibilang nenar. Pemerintah sudah memiliki Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkoinfo). Kementerian ini diberikan beranggaran pasti dari APBN triliunan rupiah. Keberadaan buzzer dan influencer dengan anggaran tersendiri jelas merupakan bagian dari penyimpangan dan korupsi. Seharusnya anggota Dewan berteriak keras terhadap pelanggaran keuangan negara ini. DPR jangan hanya berdiam diri. Kalau DPR tidak berteriak, jangan berperilaku seolah-olah menjadi bagian dari buzzer dan influencer pula. Rezim yang menggunakan dan mengedepankan buzzer dan influencer adalah rezim yang kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Tidak menghormati rakyat, serta menghalalkan segala cara. Rezim seperti ini sulit dipercaya sebagai penyelenggara negara. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Buzzer Rupiah Dan Potensi Konflik Bangsa

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Ahad (23/08). Sepekan ini ramai pembicaraan soal buzzer rupiah. Yang disoal adalah anggaran negara. Dana puluhan miliaran rupiah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipakai untuk biayai operasi buzzer. Sejumlah institusi negara terlibat. Infonya dana untuk buzzer dan infulencer itu senilai Rp 90.45 miliar . Sangat kecil jika diukur dari prosentase besaran APBN 2020 atau 2019. Tapi, cukup besar jika melihat keadaan pertumbuhan ekonomi minus -5,32 persen. Di saat rakyat sedang sulit karena efek pandemi covid-19 dan defisit APBN yang mencapai 3,38 persen, bahkan lebih dan tidak terbatas defisit APBN. Suka-suka pemerintah menetapkan defisit APBN, buzzer mendapatkan suntikan dana senilai Rp 90.45 muliar. Luar biasa kan? Sebenarnya bukan soal besar atau kecil dana yang dikeluarkan pemerintah itu. Ada persoalan yang lebih mendasar. Pertama, apa manfaat buzzer buat bangsa atau rakyat negeri ini? Kedua, ini lebih serius, ada dampak yang cukup menghawatirkan akibat operasi buzzer. Menjawab pertanyaan pertama, kalau ada manfaat dari operasi buzzer, itu manfaat buat siapa? Yang pasti bukan untuk negara. Bukan untuk rakyat. Bukan pula untuk bangsa. Sesuai dengan design operasinya, buzzer dipakai untuk menghadapi lawan politik penguasa dan orang atau kelompok civil society yang kritis kepada penguasa. Buzzer bekerja untuk kepentingan penguasa, lebih dari kepentingan untuk negara. Karenanya, tak memiliki institusi dan kelembagaan khusus. Maka, anggarannya pun nempel ke program-program di berbagai kementerian dan institusi lainnya. Fokus buzzer adalah mengcounter segala bentuk kritik terhadap program dan kebijakan pemerintah. Stigmatisasi makar, bahaya khilafah, Islam garis keras, ekstremisme dan radikalisme adalah bagian narasi yang terus dikelola oleh para buzzer untuk membunuh karakter dan gerakan kelompok civil society yang diidentifikasi sangat kritis kepada pemerintah. Swiping, intimidasi dan persekusi oleh kelompok swasta berseragam juga seringkali menjadi bagian dari operasi buzzer. Tentu, ada anggarannya sendiri. Kalau nggak ada anggaran, ya nggak akan jalan. Nggak ada kerjaan juga Operasi buzzer diduga menjadi salah satu sebab utama kegaduhan sosial dan politik selama ini. Sejumlah aktor yang selalu muncul ketika datang kritik kepada pemerintah adalah bagian dari salah satu model operasi buzzer yang selalu membuat kegaduhan situasi politik di negeri ini. Lu lagi… Lu lagi... Lu lalgi… Orang-orang itu aja. Kalau dilihat aktornya, macam-macam jenis buzzer. Dari yang ecek-ecek, buzzer kelas kampung yang hanya cukup diprovokasi, hingga yang paling canggih dan profesional. Kalau sudah berurusan dengan IT, maka buzzer yang diterjunkan dan beroperasi adalah dari kalangan profesional. Sebagaimana yang dialami oleh sejumlah deklarator KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) beberapa waktu lalu. Ada sejumlah akun deklarator KAMI diretas, rapat wibinar diganggu, nomor WA dicloning, dan seterusnya. Anggaran senilai Rp 90.45 miliar, sesungguhnya terlalu kecil jika dibandingkan dengan dampak dan potensi social-destruction yang diakibatkan oleh operasi para buzzer. Yaitu potensi konflik sosial-horisontal di masyarakat. Hubungan antar kelompok dan agama dirusak. Kehidupan sosial dan berbangsa menjadi tak nyaman. Kegaduhan selama ini sumbernya bukan ada tidaknya kaum radikal dan makar. Tetapi problem utamanya adalah adanya kelompok-kelompok bayaran yang bekerja secara sistemik menggaungkan isu radikalisme dan makar. Dari sinilah potensi konflik yang sangat menghawatirkan itu. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Oh Tekuak, Pendiri PAN Ternyata Bukan Amin Rais

by Luqman Ibrahim Soemay Jakarta FNN – Ahad (23/08). Hari Partai Amanat Nasional (PAN) merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke 22. Banyak tokoh nasional yang berpidato di HUT PAN kali ini. Dari internal PAN, selain Ketua Umum Zulkifli Hasan, Ketua Dewan Kehormatan PAN Sutrisno Bachir juga ikut memberikan sambutan. Dari kalangan eksternal PAN, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Jokowi memberikan sambutan. Dalam sumbutannya, Jokowi menyampaikan tentang perlunya melakukan langkah luar biasa atau extraordinary untuk mencapai kemajuan bangsa. Presiden berharap memontum pandemi Covid 19 dimanaaftkan untuk mengambil lompatan besar. Mengejar ketertinggalan Indonesia. Jokowi berharap PAN sejalan dengan semangat yang disampaikannya. Juga PAN sejalan dengan semangat yang sedang dijalankan pemerintah. (Tempo.co 23/08/2020). Sementara Ketua Umum PDIP Megawati menyampaikan selamat ulang tahun ke 22 kepada PAN. Megawati berterima kasih kepada PAN, karena telah diundang menghadiri acara tersebut. Megawati yakin di usia ini, PAN terus memegang semangat reformasi. Selain Jokowi dan Megawati, tokoh nasional dari luar PAN yang ikut memberikan pidato adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Agus Harimurti Yudhoyono mengatakan, PAN dan Partai Demokrat banyak memiliki kesamaan dan kebersamaan. Terutama saat Soesilo Bambang Yudhoyono r(SBY) menjadi presiden selama dua periode. Alhamdulillah kebersamaan ini terus kita lanjutkan sampai hari ini. “Saya berharap PAN semakin sukses, dan ke depan bersinergi dengan Partai Demokrat”, ujar AHY. Ramainya tokoh-tokoh nasional yang hadir di HUT PAN ke 22 ini menjadi tidak lengkap. Bahkan terasa hambar, karena tidak tampak wajah Prof. Dr. Amin Rais, baik secara fisik maupun vurtual. Publik tentu bertanya-tanya, kemana gerangan Pak Amin Rais? Mengapa Pak Amin Rais tidak terlihat di perayaan ulang tahun PAN kali ini? Jawabannya, hubungan PAN dengan Pak Amin Rais belakangan ini tidak akur. Kenyataan ini akibat hasil dari kongres PAN di Kendari Sulawesi Tenggara Februari lalu. Ketika itu Amin Rais mendukung calon Ketua Umum Mufachri Harahap yang menjadi penantang Zulkifli Hasan. Hasilnya, meskipun kongres berjalan, dan terbilang paling primitif dan tidak bertabat, karena terjadi baku-hantam dan saling lempar kursi sampai berdarah-darah, namun Zulkifli Hasan terpilih sebagai Ketua Umum. Hasil dari pelaksanaan kongres yang brutal inilah yang mendorong Pak Amin Rais untuk meninggalkan PAN. Setelah terpilih sebagai Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan yang adalah kader dan dibesarkan oleh Pak Amin Rais tidak lagi melibatkan Pak Amin Rais di PAN. Padahal Zulkifli dan Pak Amin masih ada hubungaN besanan (Mumtaz, putra Rais menikA dengan putrinya Zulkifli Hasan). Posisi Ketua Dewan Kehormatan PAN yang dulu dijabat Pak Amin Rais, sekarang ditempati oleh Sutrisno Bachir. Saat menyampaikan sambutan, Sutrino Bachir sempat menangis ketika menyebut nama Pak Amin Rais. “Saya dan kami semua mengucapkan terima kasih kepada pendiri PAN Bapak Profesor Doktor Amin Rais. Mudah-mudahan beliau selalu sehat walafiat, dan selalu dalam lindungan Allah SWT”, ujar Sutrisno Bachir. Sutrisno tetap berharap Profesor Doktor Amin Rais menyaksikan acara HUT PAN ke 22 kali ini. Semoga saja mau Pak Amin mengikhlaskan estafet kepemimpinan PAN kepada generasi saat ini. Sutrisno juga berharap, semoga Pak Amin selalu bersama-sama kita untuk membawa PAN lebih besar dari sekarang. Baik Sutrisno Bachir, Hatta Raja dan Zulkifli Hasan adalah Ketua Umum dan mantan Ketua Umum PAN yang dibasarkan oleh Pak Amin Rais. Dikaderkan oleh Pak Amin Rais. Tanpa campur tangan Pak Amin Rais, mereka bertiga tidak mungkin bisa menjadi Ketua Umum PAN. Termasuk Zulkifli Hasan yang terpilih pada periode pertama lima tahun lalu. Sebelum mengahiri tulisan ini, sahabat wartawan senior FNN.co Kisman Latumakulita pernah bercerita tentang sepak-terjang Pak Amis Rais di awal-awal begulirnya reformasi 98. Catatan mengenai Pak Rmin Rais, reformasi dan PAN adalah tiga serangkai yang sulit untuk bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Catatannya selalu saja saling kait-mengkait. Menurut ingatan Kisman, setiap kali mau keluar rumah atau gedung pertemuan, Pak Amin Rais selalu mengingatkan anggota rombongan, agar selalu dalam keadaan bersih (bersuci). Jangan memakai celana dalam yang dapat membatalkan wudhu. Sebaiknya selalu dalam posisi sedang berwudhu. Kalau wudhunya batal karena kentut, hadats kecil (kecing), hadats besar atau akibat lain, sebaiknya secepatnya segera berwudhu lagi. Supaya kalau nanti di perjalanan, meninggal dunia karena terkena tembakan atau sebab lain, sangat aman kalau dalam posisi sedang berwudhu. Insya Allah meninggalnya syahid. Menjwab WhatsAap (WA) teman tentang siapa pendiri PAN setelah 22 tahun terbentuk, oh sekarang terkuak, siapa pendiri PAN yang sebenarnya? Ternyata bukan bukan Pak Amin Rais pendiri PAN. Kalau begitu siapa pendiri PAN? Dijawab oleh teman lagi melalui WA, “mungkin yang satu diantara yang memberikan sambutan di HUT PAN ke 22 tadi”. Penulis adalah Watawan Senior FNN.co.

BI Menjadi Rentenir Saat Krisis Ekonomi Parah?

by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Ahad (23/08). Pandemi corona membuat mata masyarakat terbuka lebar. Betapa lemahnya ekonomi Indonesia. Kebijakan fiskal harus di-doping dengan dua dosis. Pertama, defisit anggaran ditingkatkan, dari tiga persen menjadi tidak terbatas. Tetapi tetap tidak memadai. Maka diperlukan doping kedua dengan menarik Bank Indonesia (BI) untuk membiayai defisit anggaran tersebut. BI diminta membeli sebagian besar surat utang negara di pasar primer?. Bahasa awamnya adalah mencetak uang. Direksi BI sudah berulang-ulang menyatakan tidak mau mencetak uang. BI iuga tidak mau membeli surat utang negara di pasar primer. Apalagi aturan tentang larangan itu masih berlaku di UU tentang BI. Ancamannnya adalah menghabiskan sisa hidup hari tua di dalam dinding penjara menanti mereka bila kekuasaan ini telah berganti kelak. Kedua doping tersebut sebenarnya nyata-nyata ilegal. Melanggar UU tentang Keuangan Negara dan UU tentang BI. Tetapi diterabas dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2020 yang kemudian disahkan menjadi UU No 2/2020. Untuk melengkapi doping ini agar sempurna, Perppu dilengkapi pasal “kekebalan” hukum. Mereka tidak bisa dituntut dalam kondisi apapun, meskipun doping tersebut ternyata salah guna, atau disalahgunakan, alias diselewengkan. Tapi perlu diingat, undang-undang yang berlawanan dengan UUD dan dibentuk dengan niat kurang baik, tidak bisa menghalangi hukum kebenaran, ketika kebenaran itu telah datang. Kebijakan moneter BI saat ini sangat tidak memadai untuk menahan krisis ekonomi. Bahkan bisa kontra produktif. BI seharusnya menurunkan suku bunga acuan (BI-rate) secara agresif. Tidak seperti sekarang, penurunan BI-rate tidak banyak arti. Hanya turun satu persen sejak 23 Januari 2020 hingga sekarang. Masing-masing turun 0,25 persen pada 20 februari 2020, 19 Maret 2020, 18 Juni 2020, dan terakhir 16 Juli 2020. BI-rate bertahan di 4 persen sampai sekarang. Sebagai perbandingan, Bank Sentral AS (The FED) sangat agresif menurunkan suku bunga acuan (FEd-rate) dalam menghadapi pandemi ini. FED-rate turun 1,5 persen dalam waktu kurang dari dua minggu. Turun 0,5 persen pada 3 Maret 2020 dan turun 1 persen pada 15 Maret 2020, membuat FED-rate mendekati 0 persen. Bank of England juga menurunkan bunga acuan secara agresif. Turun dari 0,75 persen menjadi 0,25 persen pada 16 Maret 2020. Kemudian turun lagi menjadi 0,1 persen pada 19 Maret 2020. Penurunan BI-rate sangat penting bagi pemulihan ekonomi. Karena, kalau BI-rate turun maka suku bunga pinjaman juga turun. BI-rate ditetapkan 4 persen di tengah krisis ekonomi yang parah ini sangat tidak masuk akal. Akibatnya, suku bunga pinjaman perbankan tetap tinggi. Saat ini masih setidak-tidaknya 8 persen, bahkan ada yang di atas 10 persen. Suku bunga pinjaman yang tinggi menjadi beban pemulihan ekonomi. BI-rate 4 persen juga membuat suku bunga (yield) obligasi (korporasi maupun pemerintah) tetap tinggi. Jauh lebih tinggi dari yield obligasi sejenis di Vietnam, Philipina atau Thailand. Oleh karena itu, BI seharusnya menurunkan BI-rate menjadi 1 persen atau 1,5 persen, untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Bukannya menurunkan BI-rate, BI dan pemerintah malah sepakat menjalankan skema burden-sharing. Artinya, BI membeli surat utang negara dengan bunga efektif 0 persen. Karena BI akan mengembalikan kepada pemerintah semua bunga yang diterima. Ini kebijakan yang ngawur dan amburadul. Burden sharing merupakan istilah kamuflase saja. Istilah ini bisa masuk kategori “pembodohan atau pembohongan pubik”. Karena burden sharing pada dasarnya adalah mencetak uang, di mana BI membeli surat utang negara dengan bunga efektif nol persen. Dalam hal ini, BI sebenarnya tidak menanggung burden sama sekali. Karena uang BI berasal dari hasil “mencetak uang”. Kebijakan moneter di atas sangat tidak pantas dilakukan oleh bank sentral negara terbesar ke empat dunia, anggota G20. Ini merupakan kebijakan moneter diskriminatif terhadap warga negara. Ini sama dengan pertarungan Korporasi, UMKM dan masyarakat melawan pemerintah. Kenapa pemerintah diberi suku bunga nol persen, tetapi masyarakat warga negara lainnya harus dibebani bunga tinggi? BI seharusnya mengambil kebijakan menurunkan BI-rate dan suku bunga pinjaman, sehingga masyarakat dapat menikmati manfaat yang sama. Tetapi, BI tidak melakukannya. Pertanyaannya, kenapa? Ada apa? Siapa yang diuntungkan? Di tengah krisis dan resesi ekonomi, bank besar di Indonesia (BUKU 4) masih dapat menikmati margin bunga bersih, atau Net Interest Margin (NIM) sebesar 5,09 persen pada April 2020. Sungguh besar sekali. BI bagaikan rentenir. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Pertarungan Jokowi vs Puan Maharani

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (23/08). Usia nggak ada yang tahu. Umumnya, yang tua lebih dulu meninggal dunia dari yang muda. Meski ada juga yang muda meninggal duluan. Itu semua rahasia Tuhan. Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri sudah sepuh. Usianya kini sudah mencapai 73 tahun. Tentu kita semua mendo’akan semoga beliau selalu sehat dan diberi usia yang panjang. Jasanya sangat besar, terutama bagi kader PDIP. Lalu pertanyaannya, siapa pengganti beliau di PDIP kelak? Ini yang menarik. Tokoh paling potensial sekarang ada dua. Pertama adalah Puan Maharani Ketua DPR. Anak biologis dan trah Soekarno. Kedua adalah Jokowi. Kader yang saat ini memegang kekuasaan politik sebagai Presiden. Hitung-hitungan ini, dengan catatan jika kita mengesampingkan posisi Prananda, putra Megawati yang lain. Apakah Puan Maharani atau Jokowi yang akan mengganti Megawati? Ini tentu nsangat bergantung pada situasi obyektif. Jika pergantian itu masih disaksikan oleh Megawati, maka Puan Maharani lebih besar peluangnya. Sebab, Megawati bisa mengontrol semua jalannya suksesi di PDIP ini. Ucapan Megawati adalah Sabdo Pandito Ratu buat kader PDIP. Tak ada yang berani melawan. Megawati layak mempertimbangkan untuk melakukan suksesi yang lebih cepat. Ini akan jadi strategi yang efektif untuk memuluskan regenerasi kepemimpinan sesuai ekspektasi Megawati. Sebut saja "suksesi calon tunggal". Jika tidak disaksikan Megawati, maka akan menjadi bola liar yang sangat sulit untuk dikendalikan Jika suksesi itu ternyata terjadi tanpa kesaksian Megawati, maka Jokowi tentu saja punya peluang yang lebih. Meski bukan anak biologis, juga bukan "kader yang dirindukan", kekuasaan yang saat ini ada di tangan Jokowi punya peranan besar. Ingat ketika Jusuf Kalla, wapres saat itu, menggusur Akbar Tanjung dari ketum Golkar? Ingat ketika Jokowi inginkan Setya Novanto ambil Golkar, meski Ade Komaruddin menguat? Soal pengaruh, Jokowi sudah jadi legenda di mata kader PDIP. Fakta ini tak bisa dipungkiri. Meski kalangan elit PDIP lebih bersikap rasional. Maksudnya, punya hitung-hitungan pragmatis. Bergantung mana yang menguntungkan bagi mereka. Dalam konteks ini, pasti lebih menguntungkan jika mereka dukung Jokowi. Sebab, Jokowi adalah penguasa. Akses logistik dan tawaran posisi berlimpah. Jika Jokowi ditakdirkan jadi Ketua Umum PDIP, maka Gibran dan Bobby, anak dan menantu Jokowi punya masa depan karir politik yang lebih menjanjikan. Disini ada peluang untuk membangun dinasti politik baru. Sebaliknya, jika Jokowi turun sebelum 2024, otomatis Jokowi tamat dengan sendirinya. Tak perlu ada analisis lagi. Semua buku analisis terututup rapat. Tapi, jika Jokowi sampai 2024, dan suksesi terjadi minus Mega, ini akan menarik. Jokowi tetap punya kekuatan untuk melawan Puan Maharani. Setidaknya, kolega dan kekuatan logistik, Jokowi lebih siap. Adu kuat trah Soekarno dengan Jokowi akan seru. Buku analisis politik tentang PDIP jadi menarik lagi untuk dibuka. Kelompok ideologis akan dukung Puan Maharani. Sementara, Jokowi akan didukung oleh kelompok pragmatis. Mana yang lebih besar? Apakah kelompok ideologis atau pragmatis? Ini akan menentukan siapa pemenangnya. Semua akan bergantung pada situasi obyektif saat terjadi peralihan kepemimpinan di PDIP. Inilah yang akan menentukan siapa pemenang antara Jokowi vs Puan Maharani. Kita tunggu saja waktu yang tepat untuk menyaksikan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.