OPINI
Mainan Akhir Jokowi, Zugzwang Dan Kudeta Terselubung
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Ahad (26/07). Seperti dalam permainan catur, politik Jokowi sudah melewati permainan pembukan dan permainan tengah. Kini memasuki permainan akhir. Dalam permainan catur dikenal istilah "blunder" dan "zugzwang". Blunder apabila pemain melakukan kesalahan fatal. Sebab bisa merugikan posisinya. Zugzwang dilakukan, jika pemain tidak memiliki pilihan langkah lain. Akibatnya, apapun langkah yang dijalankan adalah langkah keterpaksaan. Langkah yang membuat posisinya semakin lemah. Kini kita bisa melihat permainan akhir Jokowi yang penuh dengan blunder dan zugzwang tersebut. Blunder dan fatal pertama, ketika Jokowi membuat Perppu Covid-19 yang sudah disahkan menjadi UU Nomor Tahun 2020. Dalam Perppu ini, untuk waktu tiga tahun ke depan (2020-2022), pemerintah Jokowi telah merampas hak budget rakyat yang diwakili DPR. Jadi, dapat dikatakan rezim Jokowi telah melakukan "kudeta terselubung". Kudeta atas hak konstitusional rakyat untuk mengontrol pemerintah melalui hak budget di DPR. Mengapa DPR menerima saja? Jelas ini buah dari grand coalition di pemerintahan Jokowi saat ini. Tidak mungkin fraksi-fraksi di DPR menentang kebijakan strategis eksekutif, karena parpol induknya ada dalam sistem eksekutif. Blunder dan fatal kedua, ketika Jokowi memaksakan syahwat politik “ajimumpung” untuk membangun dinasti kekuasaan di Solo. Langkah Jokowi ini tidak saja menampilkan, bahkan telah menelajangi diri dengan politik yang tidak bermoral dan tidak beretika. Meski tidak ada larangan dalam undang-undang untuk anaknya Gibran Rakabuming Raka ikut pilkada Walikota Solo. Bahwa benar ini kontestasi politik. Bukan jabatan dengan pengangkatan oleh Jokowi sebagai Kepala Pemerintahan. Tetapi semestinya seorang presiden paham akan situasi kebatinan pejabat struktural yang ada di bawah pemerintah pusat. Juga budaya ewuh pakewuh pejabat daerah di Solo yang masih kental dan selalu dijadikan pijakan oleh masyarakat Solo. Saya yakin, tanpa diperintah langsung oleh Jokowi pun, semua struktur pemerintahan daerah di Solo akan memenangkan anaknya Jokowi. Apalagi kondisi masyarakat kita yang belum matang dalam berdemokrasi. Pada situasi normal saja, masih sarat dengan "wani piro". Apalagi saat Covid-19 yang telah menekan ekonomi rakyat sampai ke panci dan penggorengan di dapur. Dengan guyuran uang yang melimpah, dan melebihi uang lawan (jika ada lawan) dipastikan siapun yang menantang Gibran pasti kalah. Apalagi jika melawan kotak kosong. Tidak ada persaingan dalam uang cendol saat pencoblosan. Memangnya siapa yang membiayai kampanye kotak kosong? Jika Jokowi tidak memahami situasi ini, itu artinya Jokowi tidak mengenal dengan baik kondisi dan budaya masyarakatnya sendiri. Atau memang ini dimanfaatkan untuk membangun dinastinya sejak sekarang. Jika mengenal betul karakter masyarakatnya, tentu sebagai pemimpin, harusnya memberi contoh yang baik dalam berdemokrasi. Jokowi harus tetap mengedepankan moral dan etika. Bukan syahwat untuk membangun dinasti. Dengan sistem threshold 20%, maka parpol-parpol menikmati previllege dengan mahar politik dari kontestan yang ingin diusung. Dengan grand coallition di pemerintahan, tentunya semua parpol yang pro pemerintah akan bergabung mengusung anaknya Jokowi. Sehingga yang tersisa hanya PKS. Namun sayangnya PKS tetap saja tidak bisa mengajukan calon lain akibat aturan threshold ini. Apakah kenyataan ini layak untuk disebut sebagai perhelatan demokrasi yang sehat? Apakah sistem kontestasi seperti ini yang kita mau untuk dilembagakan? Untuk dicatata sebagai sejarah perjalanan demokrasi yang membanggakan? Atas dasar itulah, mengapa bung Rizal Ramli sangat menentang aturan threshold ini. Aturan yang hanya akan membodohi rakyat dan memasung kehendak rakyat. Dalam prakteknya, calon-calon kontestasi politik dipilih oleh para cukong konglomerat. Setelah itu tawarkan kepada parpol. Jika uang kampanye yang dibutuhkan parpol deal, barulah sang calon ditawarkan oleh parpol kepada rakyat. Soal rating dan elektabilitas bukan soal yang sulit. Apalagi dengan uang yang melimpah. Inilah buah dari demokrasi populism. Sebaiknya jika ada calon kontestasi politik melawan kotak kosong, sebaiknya diganti saja dengan sendal jepit. Toh, setidaknya sebelum memilih, telah lebih dulu memberikan kesempatankepada rakyat untuk berpikir. Mana yang lebih bermanfaat, si calon tunggal atau sandal jepit? Kembali ke permainan catur dan langkah "zugzwang" Jokowi. Dalam situasi ekonomi negara yang sudah masuk dalam krisis ini, nampak sekali pemerintah dalam posisi terjepit. Langkah apapun yang diambil pemerintah sekarang, tidak lagi bisa meyakinkan rakyat bahwa itu adalah sebuah harapan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, kecuali menambah utang dan jual aset negara. Bahkan publik sekarang melihat bahwa porsi anggaran yang dialokasikan untuk penanganan Covid-19 ini, lebih besar pada sektor pemulihan ekonomi dari pada persoalan kesehatan rakyat. Jokowi sekarang membentuk tim baru pemulihan ekonomi dan penanganan Covi-19. Ketuanya adalah Erick Tohir, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Langkah ini menunjukkan bahwa adanya pemikiran untuk melakukan langkah shortcut. Lambat atau cepat akan mengarah ke sana. Idealnya itu, jika untuk pemulihan ekonomi, maka bidang ini dikendalikan langsung oleh Menko Perekonomian. Namun dari pembentukan tim penggulangan Covid-19 baru ini, sepertinya Presiden tidak yakin dapat memulihkan ekonomi. Akibatnya, pejabat yang ditunjuk adalah yang mengurusi ekonomi mikro (BUMN). Meneg BUMN ditugasi menyelesaikan persoalan makro ekonimi. Ya kacaulah. Ekonomi nasional itu bukan hanya urusan BUMN Pak Presiden. Tetapi menyangkut juga ekonomi secara menyeluruh, yang terkait hajat hidup rakyat banyak. Ada usaha sektor swasta, korporasi, Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), nelayan, petani, dan lain-lain. Masa diajarin juga sih? Selama ini yang sering dilakukan di BUMN hanya "operasi plastik". Dengan cara membagus-baguskan laporan keuangan tahunan. Hanya bermain di sekitar valuation, jualan aset, jualan saham, dimerger agar rasio hutang terhadap aset jadi kecil, main di bursa saham dan sejenisnya. Singkat cerita hanya permainan porto folio saja. Tidak ada yang membangun fundamental ekonomi nasional. Padahal sejak sebelum Covid-19, bung Rizal Ramli yang sangat paham permainan-permainan di BUMN sudah mengingatkan bahwa “badai krisis ekonomi akan mudah menyerang Indonesia” karena tidak memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Jadi pertanyaan besar lahir dari dibentuknya tim Erick Thohir ini adalah aset negara yang mana akan dijual? Berapa banyak lagi utang baru yang akan diciptakan? Dari tim Erick Thohir ini, terlihat juga kalau semakin jauhnya jangkauan kementerian kesehatan dalam menangani Covid-19. Pada banyak negara, yang menjadi leader dari penanganan Covid-19 adalah Menteri kesehatan langsung. Ini untuk menunjukkan tupoksi yang benar dan profesionalisme para pejabat kesehatan. Jadi, kesimpulannya sangat mungkin persoalan Covid tidak tertangani dengan baik. Juga untuk ekonomi, tidak pulih-pulih karena kebijakan yang tidak tepat dan hanya mengandalkan utang dan jual aset. Dari pemaparan di atas, sekarang ini kita sedang menyaksikan permainan akhir Jokowi yang penuh dengan langkah “blunder dan zugzwang”. Cepat atau lambat kekalahan Jokowi sudah tak bisa dihindari. Hanya menunggu waktu saja. Entah besok, lusa, minggu depan atau beberapa bulan lagi. Kita tonton saja akhir dari permainan ini. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Future Studies (INFUS).
Vaksin Sinovac Berbahaya: Virus “Mati” Bisa Hidup Lagi!
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Jumat (24 Juli 2020). Pada awal Agustus 2020, Universitas Padjadjaran Bandung bersama BUMN Biofarma akan melakukan melakukan uji klinis calon vaksin Virus Corona (Covid-19) yang akan disuntikkan kepada 1.620 orang. Uji klinis itu akan dilakukan setelah mendapatkan izin penelitian dari Komite Etik Penelitian Universitas Padjadjaran (UNPAD). Manajer Lapangan Tim Penelitian Uji Klinis Tahap Ketiga calon Vaksin Covid-19 Fakultas Kedokteran UNPAD dr. Eddy Fadliana mengatakan, meski dinyatakan aman untuk manusia, pada uji klinis fase pertama dan kedua yang telah dilakukan di China. Yaitu, adanya efek samping yang akan ditimbulkan ketika vaksin tersebut disuntikkan kepada manusia. Hal itu disampaikan Eddy dalam konferensi pers di Rumah Sakit Pendidikan (RSP) UNPAD Jalan Prof Eyckman, Kota Bandung, Rabu (22/7/2020). Menurutnya, kita berpatokan pada penelitian. Dari penelitian yang dipublikasikan, ada reaksi lokal berupa nyeri di tempat suntikan 20 sampai 25 persen (dari jumlah orang yang menjadi relawan uji klinis fase satu dan dua),” kata Eddy, seperti dilansir Kompas.com. Lebih lanjut Eddy menambahkan, pada uji klinis fase satu dan fase dua, beberapa relawan yang telah disuntik calon vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Sinovac Biotech Ltd (Sinovac), mengalami radang paru-paru, diare dan penyakit lainnya. Tapi, “Setelah diaudit tidak berhubungan dengan vaksin,” ungkapnya. Selain itu, dari uji klinis fase satu dan dua, calon vaksin yang dibuat dari virus corona yang dimatikan ini dipastikan tidak menimbulkan penyakit baru. “Fase satu dan fase dua menunjukkan tingkat keamanan cukup tinggi. Pada fase satu dan dua tidak timbul demam, hanya reaksi lokal nyeri di tempat suntikan tadi,” jelasnya. Ketua Tim Penelitian uji Klinis tahap 3 calon Vaksin Covid 19 dari Fakultas Kedokteran UNPAD Prof. Kusnandi Rusmil menambahkan, nyeri bekas suntikan calon vaksin covid-19 tersebut akan hilang dengan sendirinya. “Nyerinya akan hilang sendiri dalam berapa jam. Yang nyerinya hilang sampai 2 hari paling hanya beberapa orang,” tandasnya. Seperti diketahui, sebanyak 2.400 sampel calon vaksin Covid-19 dari Sinovac Biotech Ltd, China, tiba di Indonesia. Bakal vaksin itu akan diuji klinis di laboratorium milik PT Bio Farma (Persero) dan fasilitas penelitian lain di dalam negeri. Kedatangan ribuan kandidat vaksin tersebut diharapkan membuat peluang produksi vaksin Covid-19 di Indonesia bisa dilakukan pada awal tahun depan. Uji klinis di Indonesia akan dilakukan selama 6 bulan. Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengatakan, calon vaksin yang dikirim Sinovac diterima Bio Farma pada 19 Juli 2020. Kandidat vaksin itu akan diuji klinis tahap tiga. Melalui akun Twitternya, @jokowi, Presiden Joko Widodo juga menyampaikan rencana uji klinis vaksin virus corona dari Sinovac tersebut. “Kita akan melaksanakan uji klinis vaksin Covid-19 tahap ketiga dengan melibatkan 1.620 sukarelawan. “Proses dan protokolnya mendapat pendampingan secara ketat oleh BPOM. Apabila berhasil, BUMN Bio Farma siap memproduksi vaksin ini dengan kapasitas 100 juta dosis per tahun,” demikian Jokowi, seperti dilansir Kompas.com, Kamis (23/07/2020, 15:16 WIB). Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma Bambang Heriyanto menjelaskan, uji klinis vaksin yang dilakukan di negara lain adalah sesuatu hal yang lumrah. “Ini hal lumrah dan berlaku untuk semua di selurh dunia untuk uji klinis,” ungkap Bambang. “Bio Farma juga pernah melakukan itu. Pernah uji klinis suatu produk dilakukan di Swedia, Afrika. Memang enggak ada masalah,” lanjut Bambang dihubungi Kompas.com, Kamis (23/7/2020). Uji klinis fase ketiga vaksin Sinovac ini tak hanya dilakukan di Indonesia. Uji klinis juga dilakukan di Brazil, Turki, dan Cile. Alasan lainnya, kata Bambang, saat ini kasus Covid-19 di China sendiri sudah menunjukkan penurunan. Sementara, kasus di Indonesia, Brazil, dan Cile masih terjadi peningkatan dengan angka yang tinggi. Menurutnya, ada keuntungan bagi Indonesia dengan uji klinis ini. Keuntungannya, kita bisa mengetahui langsung respons vaksin virus corona pada penduduk Indonesia. Dengan demikian, bisa dilihat kesesuainnya dibandingkan jika harus membeli vaksin yang sudah jadi. Menurut Bambang, vaksin Sinovac yang akan diuji klinis di Indonesia juga telah melalui sejumlah tahap pengujian sehingga aman untuk diujikan pada manusia. Ia menjelaskan, baik vaksin ataupun obat sesuai standar WHO harus dilakukan uji dari uji hewan terlebih dahulu atau yang disebut dengan praklinis. Selanjutnya, baru dilakukan uji klinis pada manusia. “Uji hewannya bisa macam-macam. Bisa marmut, monyet, dan sebagainya. Ada standar. Ini untuk melihat vaksin aman atau enggak untuk manusia dan melihat khasiatnya di hewan,” kata Bambang. Setelah uji praklinis, dilakukan uji pada manusia yang meliputi fase I, II, dan III. Adapun, vaksin Sinovac yang akan diuji klinis di Indonesia telah memasuki fase ketiga. Bahaya Sinovac Menurut dr. Tifauzia Tyassuma, pertanyaan besar dan paling fundamental adalah: Mengapa Uji Klinis Fase III Vaksin Cina, harus dilakukan pada Manusia Indonesia? Dan ternyata jenis Vaksin Cina ini adalah virus yang dilemahkan dari virus yang ada di Cina. Vaksin dari virus yang dilemahkan adalah jenis vaksin paling sederhana alias paling primitif. Sementara itu, Uji Klinis Fase II, yang dilakukan di Cina, baru dilakukan pada sampel kecil, hanya 603 subjek. Jumlah yang terlalu kecil untuk Uji Coba Vaksin. Sementara untuk diketahui, pada waktu bersamaan, Vaksin Mandiri yang berasal dari seed virus lokal yang ditemukan di Indonesia, sedang dikembangkan oleh Lembaga Eijkmann, Lembaga kebanggaan milik Indonesia. Eijkmann saat ini sedang membangun tahap ke tahap menuju pengembangan vaksin yang sesuai dengan virus asli yang berkembang di Indonesia. Vaksin yang sedang dibuat adalah Vaksin Tipe Protein Rekombinan. “Menguliti mRNA virus dan membuat fondasinya dan membuat scaffolding dan membuat kloningnya dan seterusnya dan seterusnya yang membuat saya sangat bangga dengan Lembaga Eijkmann, atas pilihan teknologi pembuatan vaksinnya,” ungkapnya. Menurut Arie Karimah Mochamad, Pharma-Excellent, Alumni ITB, Pemerintah sebaiknya membuka informasi seluas-luasnya tentang hal berikut, sehingga kaum ilmuwan seperti dia bisa ikut memonitor dan mengontrol jalannya uji klinis: Jenis vaksin apakah Coronavac yang diproduksi oleh Sinovac, China itu: Tradisional, Viral Vector atau m-RNA? Perbedaannya: Tradisional: menggunakan virus yang sudah dilemahkan atau dimatikan. Kabarnya vaksin jenis ini tidak mudah dikembangkan dalam waktu cepat. Viral vector: menggunakan viral vector, versi yang tidak berbahaya (harmless) dari virus lain untuk menghasilkan materi genetik dari Covid-19. Ini semacam rekayasa genetika dengan bakteri E.coli. “Vaksin jenis ini yang sedang dikembangkan oleh Oxford University bekerja sama dan AstraZeneca, serta vaksin Cansino Biologics, China,” ungkap Arie dalam akun FB-nya. m-RNA (messenger RiboNucleic Acid): Hanya menggunakan platform m-RNA, yang mengandung instruksi agar sel-sel tubuh kita menghasilkan protein yang menyerupai permukaan virus covid. “Yang kemudian oleh tubuh dikenali sebagai benda asing dan akan diserang oleh respon immune. Vaksin ini menggunakan kode Spike protein yang digunakan oleh virus untuk menginfeksi manusia,” lanjutnya. Dikenal juga sebagai faktor kejahatan (virulence) dari virus. Uji klinis National Institute of Health di atas menggunakan vaksin jenis ini. Vaksin yang dikembangkan lembaga Eijkman juga Belum menyebutkan jenis yang mana? Dugaan dia, jenis yang pertama, karena berbicara tentang virus asli Indonesia. Seperti halnya India yang juga menggunakan indigenous vaccine. Jika memang Vaksin Sinovac yang siap Uji Klinis di Indonesia itu dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan atau dimatikan”, itu sama saja dengan China sedang menginfeksi rakyat Indonesia dengan Covid-19 secara massal. Di antara virus yang “dimatikan” itu, dipastikan ada yang dorman (tidur). Nah, yang dorman dan dikira mati itu pada saat atau dengan suhu tertentu akan hidup lagi! Catat! Virus atau bakteri corona itu mahluk hidup yang cerdas! Misalnya, bila virus corona dihantam desinfektan chemikal (kimia), maka asumsi umumnya mereka mati. Tapi, ternyata saat ini mutasi corona sampai di atas 500 karakter atau varian. Ternyata, karena gennya bermutasi, mutannya ada yang "bersifat" tidak hanya ke reseptor ACE2 saja, tapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis (contoh kasus artis Glen Fredly kemarin), Ada juga yang langsung berikatan/nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit. Jadi, Covid-19 itu tidak hanya menginfeksi di saluran pernapasan seperti yang selama ini beredar! *** Penulis adalah wartawan senior.
Wahyu Setiawan: Dari Justice Collaborator Menjadi Justice Collaps-borator
by Asyari Usman Jakarta FNN - Jumat (24 Juli 2020). Banyak yang sempat bersemangat. Pasalnya? Mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan (WS), akan membongkar kecurangan dalam pemilu, Pilpres dan pilkada 2019. Wuih! Pasti bakal seru sekali. Om Wahyu akan maju sebagai ‘justice collaborator’. Artinya, dia akan menjadi ‘rekanan keadilan’. Hebat, bukan? Pastilah. Menjadi ‘rekanan keadilan’ atau ‘rekanan penegakan hukum’ itu sangat mulia. Akan membongkar kecurangan Pilpres 2019 pula lagi. Makin mantaplah barang ‘tu. Eh, eh. Sehari kemudian berbalik. Tim pengaranya mengatakan, itu tidak benar. Tidak benar Om Wahyu akan menjadi ‘juctice collaborator’. Itu hanya pernyataan pribadi Saiful Anam –salah seorang anggota tim pembela Om WS. Yang mengatakan bahwa itu adalah pernyataan pribadi adalah Tony Akbar Hasibuan (22/7/2020), juga pengacara. Kata Tony, yang akan dibongkar WS hanya hal-hal yang terkait dengan kasus sogokan dari Harun Masikhu. Yaitu, kemungkinan keterlibatan partai, lembaga, perorangan, hingga komisioner KPU terkait proses penggantian antar waktu (PAW) untuk Masikhu. Banyak yang geleng kepala. Kok Om Wahyu berubah sikap. Dalam waktu 24 jam saja. Tapi, publik perlu paham bahwa membongkar kejahatan Pilpres 2019 sangat tinggi taruhannya. Siraman air keras bisa jadi harga yang terendah. Om Wahyu bisa menakar konsekuensi yang akan dia terima. Kecuali dia sudah paham bahwa membongkar kejahatan Pilpers 2019 akan membuat dia menjadi terhormat setelah kehinaan yang dirasakannya karena menerima sogok. Apakah ada tekanan terhadap WS? Bisa jadi juga. Sebab, para pelaku kecurangan Pilpres 2019 pastilah sadar apa yang akan terjadi kalau Om Wahyu benar-benar membongkar kecurangan itu. Para pelaku tak bakalan bisa mengelak. Karena si mantan komisioner KPU itu tentu tahu seluruh proses kecurangan. Sekarang, publik gigit jari. Kecurangan Pilpres 2019 itu secara otomatis diakui keberadaanya oleh WS lewat pernyataan Saiful Anam. Tetapi, tak jadi dibeberkan oleh si mantan komisioner yang memilih untuk tetap menjadi orang yang hina. Wahyu lebih suka menjadi ‘justice collaps-borator’ alias ‘ penghancur keadilan’ alias ‘peruntuh penegakan hukum’. Dia memilih untuk terus-menerus menjadi buronan penyesalan. Di dunia dan di akhirat. Semoga besok-lusa berbalik lagi menjadi ‘juctice collaborator’.[] (Penulis adalah wartawan senior)
Wahyu Setiawan Bongkar Kecurangan Pilpres 2019?
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (23/07). Kesiapan Wahyu Setiawan, mantan komisioner KPU untuk menjadi Justice Collaborator terhadap korupsi pada Pemilihan Presiden 2019 menjadi penting. Meski terlambat, karena saat ini sudah masuk persidangan, tetapi "simpanan" informasi bisa terkuak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyesalkan "kerjasama" tidak sejak awal. Akan tetapi, dari data keterlibatan pihak-pihak yang terbuka, meski terlambat, sebenarnya sangat bermanfaat. Tidak ada istilah keterlambatan terhadap informasi penting yang berkaitan dengan “kejahatan korupsi dan kejahatan demokrasi”. Pengacara Wahyu Setiawan menjelaskan bahwa Justice Collaborator (JC) ini terbatas pada kasus suap Harun Masiku. Namun dengan bahasa "terbatas" sebenarnya ada informasi "tak terbatas" yang dimiliki Wayu. Semua faham bahwa kasus Masiku adalah bagian dari permainan politik tingkat tinggi. KPK belum bersikap atas tawaran JC dari Wahyu. KPK hanya menilai bahwa itikad dan apa yang "dikerjasamakan" itu dapat menjadi unsur yang meringankan bagi pertimbangkan mejelis hakim. Meskipun demikian sekurang-kurangnya fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dapat menjadi bahan bagi KPK untuk pengusutan lebih lanjut. Ada pihak lain yang terlibat dalam kasus ini. Konon Hasto atau Megawati pun bisa diuji. Apapun kelak ujung dari proses hukum Wahyu Setiawan akan berkaitan dengan sikap Wahyu sendiri. Apakah "ilmu" nya akan terus dikeluarkan atau tidak. Maknanya adalah Wahyu Setiawan memiliki "pengetahuan luas" mengenai perilaku dan kebusukan dan kebobrokan komisioner KPU. Keterangan Wahyu tentu bukan saja untuk kasus Harun Masiku, tetapi juga yang lainnya Pilkada. Bahkan mungkin saja berkaitan dengan Pilpres. Keterbukaan Wahyu Setiawan inilah yang ditunggu-tunggu publik. Pilpres dengan hasil kontroversial masih menjadi misteri hingga kini. Kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin masih diragukan publik. Sejak Quick Count hingga Putusan MK yang dinilai janggal. Pertanyaan besar masih menggelayut. Komisioner KPU dan Tim Pemenang tentulah yang lebih tahu, dan Wahyu Setiawan adalah salah satu komisioner saat pelaksanaan pemilu legislative dan Pelpres 2019 lalu. Tawaran JC berfungsi sebagai batu ujian bagi KPK. Sekarang KPK pun diuji keseriusan dalam pengusutan kasus korupsi. Bila KPK ragu atau tidak serius, maka publik akan menilsi bahwa KPK bukan saja bermain hukum. Tetapi juga ikut juga bermian politik. Ini tentu tidak diharapkan. Karena kasus Harun Masiku bagai sodokan permainan bola bilyard. Dapat menyodok bola lain. Wahyu Seiawan mantan komisioner KPU mesti kini menjadi pesakitan masih dapat berbuat sebagai pahlawan. Wahyu Setiawan bisa menjadi pahlawan kejujuran. Pahlawan untuk membongkar kecurangan dan kejahatan korupsi. Sakaliguas membongkar kejahatan terhadap demokrasi. Pelaku yang terlibat kemungkinan hanya dua pihak, yaitu KPU sebagai penyelenggara pemilu dan peserta pemilu. Bisa dari partai politik. Namun bisa juga pasangan Capres. Kebenaran itu biasanya selalu datang dan terbukti belakangan. Sedikit sekali yang terbukti di awal-awal kejadian. Bangsa dan negara butuh kepahlawanan Wahyu Setiawan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Vaksin China Diduga Bermasalah dan Diragukan, Indonesia Ngotot Mau Pakai?
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Kamis (23 Juli 2020). Fakta berikut ini adalah sebuah ironi. Mengapa uji coba tahap ketiga Vaksin Sinovac produk Sinovac Biotech asal China tidak dilakukan di Negeri Tirai Bambu sendiri? Sementara, kita dengan mudahnya menerima untuk uji coba di Indonesia. Vaksin Sinovac ini akan diuji-coba oleh PT Bio Farma di Kota Bandung. Konon, untuk tahap pertama dan kedua sudah dilakukan di China. Tapi, mengapa untuk tahap ketiga tidak di China lagi? Hal tersebut muncul karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksin setelah terjadi skandal oleh perusahaan vaksin di China. Skandal besar pada 2018 tersebut membuat kepercayaan masyarakat lokal menurun. Menurut investigasi South China Morning Post menemukan perusahaan vaksin terkemuka, Changchun Changsheng Biotechnology telah dengan sengaja membuat produk vaksin yang kadaluarsa. Tidak hanya itu, mereka juga melaporkan hasil yang difabrikasi mengenai pembuatan vaksin rabies pada 2018 silam. Perusahaan yang berada di Provinsi Jilin, China tersebut mendapat gugatan sebesar 1.3 miliar Dolar Amerika pada Oktober tahun lalu. Seperti dilansir Gelora.co, Kamis (23 Juli 2020), skandal tersebut dibicarakan pada media sosial China dan menjadi debat heboh yang setelah dihimpun oleh tim ilmuwan Amerika, ditemukan lebih dari 11 ribu pesan mengenai kepercayaan rakyat terhadap vaksin. Bahkan, semenjak insiden tersebut, rakyat juga tidak percaya dengan pemerintah mereka. Kini, perdebatan di Weibo meningkat lagi mengenai tingginya keraguan penduduk dan ketidakpercayaan mereka dengan pemerintah China. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Pengambil Keputusan Laboratorium Universitas George Washington, David Broniatowski. Setahun kemudian, diskusi tersebut telah terpecah menjadi beberapa bagian. Namun, banyak orang mengutarakan kekhawatiran mereka terhadap ancaman yang mungkin muncul dari vaksin tersebut. “Kekhawatiran itu membesar tidak hanya untuk vaksin rabies tetapi semua vaksin yang dibuat dari Changchun Changsheng Biotechnology,” ujarnya. Hal ini jelas mengkhawatirkan. Sebab, jika begitu maka penanganan penyakit Covid-19 di China bisa terhambat hanya karena persepsi masyarakat telah menyamaratakan semua vaksin dan semua perusahaan farmasi. Pada Juli 2018, pemerintah China menyebut jika perusahaan vaksin tersebut telah melanggar peraturan nasional dan prosedur standar dengan memproduksi 250 ribu dosis vaksin rabies. Berita itu dengan cepat beredar di Weibo tidak lama setelah insiden tersebut, yang membuat pimpinan perusahaan dan 14 pegawainya ditangkap. Beberapa pegawai nasional, provinsi dan lokal juga ditahan atas keterlibatan mereka dalam skandal tersebut. Termasuk dari para aparatur negara adalah empat dari Balai Makanan dan Obat China. Yang membuat warga sulit percaya adalah mantan pimpinan Balai Makanan dan Obat China adalah salah satu yang terlibat dalam skandal tersebut. Broniatowski menyebut meski Covid-19 tidak ada saat skandal itu terjadi, tapi kemungkinan vaksin Covid-19 tidak dipercaya oleh warga China masih sangat tinggi sampai saat ini. “Hasil kerja sebelumnya menunjukkan kecenderungan jika warga yang memiliki kepercayaan rendah pada pemerintah akan lebih tidak mau untuk mempercayai (kepada) pihak medis yang mendesak mereka menggunakan vaksin tersebut,” ungkap Broniatowski. “Jika kekhawatiran mereka menyebar luas, maka orang lain akan ragu untuk menggunakan vaksin tersebut, sehingga akan menambah kasus pasien Covid-19,” lanjutnya. WHO sendiri menemukan keraguan pada vaksin sebagai satu dari 10 tantangan terberat mereka pada 2019. Peneliti menyebut, pemerintah dan petugas medis di seluruh dunia harus memprioritaskan usaha mengkomunikasikan kesehatan lebih baik lagi. Pentingnya vaksin saat ini adalah karena beberapa ilmuwan, termasuk Broniatowski, percaya satu-satunya cara mencegah penyebaran virus Corona adalah dengan pengembangan “herd immunity”. Herd immunity adalah kekebalan manusia yang terbangun setelah terkena penyakit Covid-19 dan sembuh. Kekebalan juga bisa terbangun melalui vaksinasi. Jika herd immunity tercapai dengan cara pertama, tingkat kematian yang dicapai sangatlah tinggi dari total populasi seluruh manusia di dunia. Oleh sebab itu vaksin saat ini sangatlah penting untuk segera bisa digunakan dan efektif sembuhkan penyakit Covid-19. WHO-China Sekongkol? Dokter asal China yang juga pakar dalam virologi dan imunologi di Hong Kong School of Public Health, Li-Meng Yan, melarikan diri ke Amerika Serikat (AS) sejak 28 April 2020 lalu. Mengutip Law-justice.co, Selasa (14/07/2020 08:07 WIB), pasalnya ahli virus ini menuduh pemerintah negaranya menutup-nutupi virus corona baru penyebab Covid-19. Beberapa jam sebelum dia naik pesawat Cathay Pacific 28 April ke AS, dokter terkemuka ini telah merencanakan pelariannya, mengemas tasnya dan menyelinap melewati sensor dan kamera video di kampusnya di Hong Kong. Dia saat itu sudah membawa paspor dan dompetnya dan akan meninggalkan semua orang yang dicintainya. Jika dia tertangkap, dia tahu dia bisa dijebloskan ke penjara, atau, lebih buruk lagi, menjadikan dirinya salah satu dari “orang yang hilang”. Yan mengatakan kepada Fox News dalam sebuah wawancara eksklusif bahwa dia percaya pemerintah China tahu tentang virus corona jauh sebelum mengklaim itu. Menurut Yan, atasan yang terkenal sebagai beberapa ahli top di lapangan, juga mengabaikan penelitian yang dia lakukan pada awal pandemi yang dia percaya bisa menyelamatkan nyawa manusia. Hingga saat ini virus corona masih menjadi misteri, pasalnya kabar apakah virus itu dibentuk dari alam atau buatan manusia hingga kini belum terjawab. Namun banyak sebagian ahli berpendapat bahwa virus ini buatan manusia. Hal inilah yang turut diungkap oleh Dr. Li-Meng Yan, seorang virologi lulusan Universitas Hongkong yang melakukan penelitian virus dan berhasil melarikan diri ke AS itu. Li-Meng Yan mengaku pernah bertugas di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hongkong. Laboratorium tempat Yan bekerja itu adalah salah satu laboratorium terbaik di dunia untuk penelitian virus pneumonia Wuhan. Dalam wawancaranya dengan Fox News itu Yan banyak mengungkapkan sejumlah kebenaran yang menakjubkan. “Alasan saya datang ke AS adalah karena saya menyampaikan pesan kebenaran Covid,” katanya kepada Fox News dari lokasi yang dirahasiakan. Dia menambahkan bahwa jika dia mencoba menceritakan kisahnya di China, dia “akan menghilang dan dibunuh”. Kisah Yan dengan klaim yang luar biasa tentang virus corona yang ditutup-tutupi di tingkat tertinggi pemerintahan bisa mengekspos dorongan obsesif Presiden Xi Jinping dan Partai Komunis China-nya untuk mengendalikan narasi coronavirus. Yakni apa yang diketahui China, kapan diketahui dan apa informasi yang diedit yang dijajakan ke seluruh dunia. “Pemerintah China menolak untuk membiarkan para ahli di luar negeri, termasuk yang di Hong Kong, melakukan penelitian di China,” katanya. “Jadi saya menoleh ke teman-teman saya untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,” ungkap Yan. Yan memiliki jaringan kontak profesional yang luas di berbagai fasilitas medis di China daratan, yang telah tumbuh dan menyelesaikan banyak studinya di sana. Dia mengatakan itu adalah alasan tepat dia diminta untuk melakukan penelitian semacam ini, terutama pada saat dia mengatakan timnya tahu mereka tidak mendapatkan seluruh kebenaran dari pemerintah. Seorang teman, seorang ilmuwan di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) di China, memiliki pengetahuan tangan pertama dari kasus-kasus tersebut dan telah dilaporkan mengatakan kepada Yan pada 31 Desember 2020 tentang penularan virus dari manusia ke manusia jauh sebelum China atau WHO mengakui penyebaran semacam itu mungkin terjadi. Beberapa hari kemudian, pada 9 Januari 2020, WHO justru mengeluarkan pernyataan virus tidak menular dari manusia ke manusia. “Menurut pihak berwenang China, virus tersebut dapat menyebabkan penyakit parah pada beberapa pasien dan tidak mudah menular di antara orang-orang...Ada informasi terbatas untuk menentukan risiko keseluruhan cluster yang dilaporkan ini,” kata WHO. Yan frustrasi, tapi tak terkejut. “Saya sudah tahu itu akan terjadi karena saya tahu korupsi diantara organisasi internasional seperti WHO kepada pemerintah China, dan PKC,” katanya. “Jadi pada dasarnya...saya menerimanya tetapi saya tidak ingin informasi yang menyesatkan ini menyebar ke dunia.” WHO dan China selama ini telah membantah keras klaim telah menutup-nutupi virus corona. Kedutaan Besar China di AS mengatakan kepada Fox News bahwa mereka tidak tahu siapa Yan dan menegaskan China telah menangani pandemi secara heroik. “Kami belum pernah mendengar tentang orang ini,” bunyi pernyataan Kedubes China yang di-email tersebut. “Pemerintah China telah merespons Covid-19 dengan cepat dan efektif sejak wabahnya,” lanjutnya. “Semua upayanya telah didokumentasikan dengan jelas dalam buku putih `Fighting COVID-19: China in Action` dengan transparansi penuh. Fakta menunjukkan semuanya,” lanjut klaim Kedubes China. WHO juga terus membantah melakukan kesalahan selama hari-hari awal virus. Kementerian Luar Negeri China dan para ilmuwan yang dituduh Yan telah dihubungi Fox News untuk dimintai komentar. Namun, sejauh ini belum merespons. Li-Meng Yan mengatakan bahwa dia akan terus berbicara – meski tahu ada target di punggungnya. Masih akan paksakan Vaksin China dipakai di Indonesia? *** Penulis adalah wartawan senior.
Demokrasi Itu Dihancurkan Oleh Partai Politik
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (23/07). Achmad Purnomo didukung oleh "arus bawah" Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun dukungan arus bawah itui kemudian “dilibas” oleh partai dan keputusan "atas" bahwa PDIP harus mendukung "putera mahkota" Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Walikota Solo. Putra sulung Presiden Joko Widodo tersebut, harus didahulukan untuk menjadi calon Walikota Solo. Purnomo pun secara terang terangan diundang ke Istana Negara. Tawaran jabatan diberikan sebagai kompensasi dari kursi Walikota Solo terebut. Peristiwa ini menggambarkan oligarhi yang dominan dari partai politik. Oligarki partai politik yang menjadi pembunuh demokrasi. Bahwa benar, proses yang terjadi adalah masalah internal dan kewenangan partai itu sendiri. Akan tetapi mengingat partai politik adalah institusi dari suatu negara demokrasi, maka "pembuldozeran" adalah perusakan kultur politik demokratis dalam sistem politik. Kasus Purnomo hanya satu contoh dari penghancuran demokrasi oleh partai politik. Realitasnya adalah hampir di semua partai politik yang ada di Indonesia itu tidak demokratis. Penentuan pimpinan partai di tingkat bawah, proses pencalegan hingga penetapan calon kepala daerah yang diajukan oleh partai seluruhnya ditentukan oleh pimpinan di tingkat atas. Ketua Umum DPP sangat berkuasa. Oligarki atau otoritarian berjalan pada partai politik. Akibatnya, partai politik kehilangan fungsi yang semestinya sebagai sarana pendidikan politik, sosialisasi politik, artikulasi politik, maupun agregasi politik. Partai politik kini hanya mampu melakukan fungsi rektkrutmen dan mempengaruhi kebijakan politik. Itupun untuk memenuhi kepentingan hasrat dan syahwat politik dirinya sendiri. Bukan untuk membela dan memperjuangkan rakyat. Pimpinan partai politik terlihat berjalan di jalan yang berseberangan dengan jalan yang dipakai rakyat. Berbagai kebijakan rezim yang tidak pro rakyat, bahkan membuat kesusahan dan kegaduhan pada rakyat, tak bisa dipisahkan dari perilaku politik partai yang memang tidak pro rakyat. Partai lebih berkhidmad pada kekuasaan atau elit kekuasaan. Demokrasi hanya menjadi slogan bahkan bualan penipuan. Repotnya lagi ketika sistem politik yang dibangun adalah korporatokrasi, maka persoalan kapital menjadi dominan. Untuk menjadi ketua partai di tingkat pusat maupun daerah, menjadi calon anggota legislatif "jadi" ataupun untuk diusung sebagai calon kepala daerah, maka faktor modal atau uang itu sangat menentukan. Pemilik modal ikut pula berjudi untuk jabatan-jabatan politik yang tersedia. Reformasi tidak membuat perilaku partai politik lebih baik. Partai politik tidak tereformasi. Justru semakin lebih doyan materi. Korupsi di lingkungan partai politik juga termasuk tinggi menyaingi birokrasi. Perjuangan untuk menjadikan Menteri atau jabatan di perusahaan milik negara juga bagian dari upaya "penggemukan" partai. Artinya menjadi mesin korupsi. Kembali ke kasus Achmad Purnomo dan Gibran Rakabuming Raka, yang didukung oleh hampir semua partai politik, merupakan gambaran dari hancurnya demokrasi yang dihancurkan oleh partai politik. Seorang figur yang semua tahu kualitas politiknya, karena anak Presiden, maka support politiknya menjadi luar biasa. Sumber dukungan tersebut tak lain adalah oligarki, otokrasi, atau ketumkrasi. Demokrasi memang sedang dihancurkan oleh institusi demokrasi yang bernama partai politik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Melawan Rencana IPO Anak Perusahaan Pertamina (Bag. Kedua)
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Kamis (23/07). Menteri BUMN Erick Thohir telah meminta Dirut Pertamina Nicke Widyawati menawarkan saham perdana Initial Public Offering (IPO) anak usaha Pertamina di Bursa Efek Indonesia (BEI). Jangka waktunya dalam waktu 1-2 tahun ke depan (12/6/2020). Alasan terpenting IPO untuk mendapatkan dana (murah). Alasan berikutnya untuk meningkatkan governance, transparansi dan akuntabilitas. Terlepas dari semua alasan dan ada manfaat lain, hal yang sering dipakai menjustifikasi IPO adalah memperoleh dana murah tanpa bunga dan perbaikan governance. Penerapan prinsip pengelolaan perusahaan berdasarkan Good Corporate Governance (GCG). Seperti diuraikan pada tulisan sebelumnya, IPO dapat saja diterima jika Pertamina bukan BUMN. Sebab Pertamina harus mengemban amanat Pasal 33 UUD 1945. Jika pemegang kekuasaan mau memahami dan patuh terhadap konstitusi, maka alasan dan perdebatan untuk menjustifkasi rencana IPO menjadi tidak perlu. Untuk memenuhi amanat konstitusi dan ketahanan nasional, negara memang harus siap berkorban dana tanpa perlu dana murah dari hasil IPO. Sedangkan untuk mencapai level GCG tertentu, tersedia cara lain yang lebih efektif selain melalui IPO. Semua pintu mentaapi konstitusi terbuka lebar. Tegaknya kedaulatan, berjalannya konstitusi, terjaganya ketahanan energi dan meratanya pembangunan melalui cross-subsidy oleh BUMN yang dikelola tanpa IPO, sangat tidak layak diperbandingkan dengan keuntungan akses dana murah yang diperoleh dari melakukan IPO. Keuntungan nilai dana murah yang diperoleh dari IPO sangat minim. Apalagi dibandingkan dengan besarnya manfaat strategis yang diperoleh jika BUMN dikelola sesuai konstitusi tanpa IPO. Salah faktor yang sangat merugikan adalah dengan IPO, profit yang dapat diraih akan berkurang. Hanya sesuai berapa persen besar saham yang dijual. Faktor lain, sebagai pelaksana tugas perintisan dan pembangunan daerah, lambat laun BUMN akan kehilangan kemampuan cross-subsidy. Anak-anak usaha Pertamina yang menguntungkan (cream de la cream) akan segera dijual. Tinggal menyisakan anak-anak usaha yang kurang profitable. Seperti diketahui, pola pembentukan sub-holding bertujuan memilih anak usaha yang paling profitable dan kemudian menjual sahamnya, merupakan cara umum yang dipakai asing dan kapitalis-liberal untuk meraih untung maksimal dari berbagai korporasi. Pola unbundling ini akan menjadikan BUMN semakin kerdil. Negara pun akan mangalami penerimaan yang semakin mengecil. Sementara pada sisi lain, pola unbundling juga akan membuat biaya penyediaan produk dan jasa semakin mahal. Kemahalan biaya ini menjadi dibebankan kepada konsumen atau masyarakat. Ringkasnya, terlepas dari aspek strategis konstitusional, IPO anak usaha Pertamina melalui proses unbundling, sub-holding, menjual yang paling menguntungkan, akan membuat portfolio bisnis mengecil. Keuntungan akan menurun. Penerimaan negara juga menurun. Harga produk atau layanan yang dibayar konsumen naik. Kemampuan Pertamina untuk melakukan cross-subsidy menurun dengan sendirnya. Sementara dominasi swasta dan asing terus meningkat. Karena lingkup bisnis mengecil dan tidak profitable, lambat laun Pertamina akan hidup dari APBN seperti halnya TVRI. Tak mampu membangun daerah-daerah yang tertinggal dan minim konsumen. Kondisi ekstrim yang merugikan di atas, bisa saja berkurang jika ada batasan-batasan. Misalnya, anak usaha yang dijual adalah yang secara bisnis tidak mengurangi penerimaan negara. Tetapi siapa yang mau beli saham perusahaan yang kurang profitable? Atau penjualan saham dibatasi maksimum 25% atau hanya 49%. Makin besar saham yang dijual, maka makin besar kehilangan BUMN dan negara untuk memperoleh penerimaan. Kita pilih yang mana? Argumentasi yang sering jadi alasan. IPO dengan penjualan saham maksimum hanya sampai 25% atau 30%. Sehingga kontrol masih ada di tangan negara. Padahal dengan jumlah saham yang berkurang, profit pun ikut berkurang. Apakah manfaat dana murah dari IPO 25% atau 30% itu lebih besar dibandingkan profit yang turun? Adakah jaminan kelak tidak akan terjadi penjualan saham lanjutan atau right issue? Dengan IPO, terbuka jalan bagi oligarki penguasa dan pengusaha asing untuk menjual saham lebih lanjut. Kelak pemerintah bisa menjadi pemegang saham minoritas. Untuk itu, akan disediakan “ribuan alasan” manipulatif dan sarat kebohongan agar bisa IPO. Misalnya, saham negara perlu dijual untuk membantu orang miskin, membangun jalan desa, membangun sekolah dan lain-lain. Ironi yang bernuansa moral hazard ini terjadi pada Indosat yang di “IPO” sebanyak 35% pada 1994. Saat itu dikatakan penjualan saham negara sudah maksimal. Ternyata pada 2002 saham kembali dijual, sehingga negara hanya menjadi pemegang saham minoritas (14%) pada sektor sangat strategis dan menguntungkan tersebut. Selain memperoleh dana, IPO diperlukan untuk meraih governance yang lebih baik. Itu pula yang dinyatakan Erick Thohir selepas RUPS pelantikan Nicke Widyawati menjadi Dirut Pertamina pada 12 Juni 2020. Kata Erick, Pertamina perlu IPO-kan 1-2 sub-holding sebagai bagian dari transparansi dan kejelasan akuntabilitas. Apakah untuk meraih governance, IPO menjadi satu-satunya jalan? Banyak cara meningkatkan GCG di Pertamina tanpa harus IPO. Salah satu terpenting menjadikan Pertamina sebagai non-listed public company (NLPC). Dengan pola NPLC, Pertamina menjadi perusahan terdaftar di bursa (BEI). Namun tidak ada (1% pun) saham yang dijual. Dengan terdaftar di BEI, Pertamina menjadi perusahaan terbuka yang diawasi public. Namun kepemilikan negara di Pertamina tetap 100%. Sehingga, BUMN dikelola sesuai konstitusi. Saham 100% tetap milik Negara. Tanpa prospek negara menjadi minoritas seperti Indosat. Salah satu aspek penting dalam GCG adalah mencegah intervensi pejabat pemerintah terhadap BUMN. Sebagaimana terjadi selama ini. Faktanya, Pertamina telah menjadi korban kebijakan pemerintah yang merugikan keuangan korporasi terkait crude domestic, signature bonus Blok Rokan, harga BBM, LPG 3kg, dan lain-lain. Terkait crude domestik, signature bonus dan lapangan migas luar negeri, Pertamina harus mengeluarkan dana bernilai puluhan triliun rupiah. Semua itu sebagai beban biaya operasi “tambahan”. Sedangkan terkait harga BBM, sejak April 2017 hingga Desember 2019, Pertamina harus menanggung beban public service obligation (PSO) lebih dahulu sebesar Rp 95 triliun, yang hingga Mei 2020 belum dilunasi. Akibat beban PSO, kondisi keuangan dan cash flow perusahaan terganggu, sehingga Pertamina harus menerbitkan obligasi. Ini akibat kebijakan pemerintah yang melanggar UU dan prinsip GCG di atas. Minimal Pertamina harus menanggung beban: (1) biaya “tambahan” puluhan triliun rupiah dan, (2) beban bunga obligasi akibat tugas PSO yang nilainya juga puluhan triliun rupiah. Beban kerugian tersebut bisa bertambah jika credit rating Pertamina yang juga turun. Pertamina bisa mengalami gagal bayar atas utang jatuh tempo tahun ini, jika pemerintah tidak segera melunasi piutang Pertamina tersebut. Artinya, yang lebih mendesak dilakukan adalah penegakan GCG oleh pejabat pemerintah, dibanding IPO utk perbaikan GCG. Terbukti, karena pejabat pemerintah bermasalah, meskipun telah menjadi perusahaan terbuka IPO, prinsip GCG tetap dilanggar. Kasus ini pernah terjadi pada kasus Laporan Keuangan BUMN PT Garuda Indonesia Pada RDPU dengan Komisi VII DPR (29/6/2020), Pertamina mengatakan, perlu melakukan IPO karena membutuhkan dana yang sangat besar. Namun di sisi lain, uraian di atas menunjukkan bahwa keuangan Pertamina bermasalah akibat kebijakan intervensi dan kesewenang-wenangan pemerintah. Jika akhirnya IPO terlaksana, maka salah sebab tergadainya sebagian saham milik negara di Pertamina adalah sikap pemerintah yang selama ini menjadikan Pertamina sebagai sapi perah. Sekaligus melanggar UU dan prinsip GCG. Kembali kepada pernyataan Erick Thohir, maka IPO bukan satu-satunya cara untuk meraih transparansi dan akuntabilitas. Tetapi yang paling relevan dan mendesak untuk perbaikan GCG adalah menertibkan dan mengendalikan pejabat tertinggi di istana Negara. Juga sejumlah menteri yang justru membuat kebijakan dan melanggar aturan, yang secara faktual telah merugikan negara dan korporasi. Sejalan dengan itu, Erick pun perlu segera menjadikan Pertamina (juga PLN) sebagai non-listed public company. Dalam road map pengembangan bisnis Pertamina yang beredar pertengahan Juni 2020, tersusun rencana aksi korporasi untuk 2-3 tahun mendatang. Selain rencana IPO anak usaha, terdapat pula rencana-rencana merger, strategic partnership, sinergi, transfer, konsolidasi untuk sinergi BUMN dan divestasi saham. Menyangkut rencana IPO, sepanjang anak-anak usaha atau sub-holding tersebut merupakan bagian dari rantai utama bisnis Pertamina, maka jelas langkah tersebut harus dibatalkan. Alasannya, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Terkait anak usaha yang bukan core business, maka berbagai aksi korporasi, termasuk penjualan saham atau divestasi, dapat saja diterima. Sepanjang pelaksanaannya dilakukan secara terbuka dan bebas moral hazard. Untuk memperoleh nilai tertinggi, penjualan saham non-core harus ditunda setelah pandemi korona. Dikhawatirkan penjualan yang terburu-buru akan ditumpangi oleh para pemburu rente yang memanfaatkan pendemi. Mereka akan kolaborasi dengan pengambil keputusan untuk meraih untung besar. Disinilah kampanye governance yang diusung Erick akan butuh pembuktian! Dalam road map tersebut juga tercantum rencana divestasi Saka Energi dan sejumlah anak usaha di lingkungan PHE. Dalam kondisi harga minyak dunia rendah, maka rencana divestasi Saka Senergi seharusnya ditunda. Begitu pula dengan rencana divestasi anak usaha di PHE. Rencana share-down saham Blok Mahakam dan Rokan juga perlu ditunda. Khusus divestasi Blok Rokan, beban signature bonus sekitar Rp 11,5 triliun harus diperhitungkan kembali. Prinsipnya, karena telah dikuasai Pertamina 100% dan merupakan bagian dari core business, maka share-down Blok Mahakam dan Blok Rokan menjadi tidak relevan. Divestasi kedua blok akan bermasalah jika tetap diakukan dengan mengacu harga minyak yang rendah. Bisa terjadi tanpa adanya transparasi pula. Moral hazard dalam divestasi saham pada kedua blok ini sangat potensial terjadi. Karena prosesnya berlangsung tanpa tender. Pada sisi lain, prosedur baku proses divestasi belum tersedia. Pengawasan dari lembaga lain tidak optimal. Sehingga, potensi kerugian negara pada Pertamina dari divestasi atau share-down kedua blok akan sangat besar. Oleh sebab itu, IRESS mengajak publik dan menuntut DPR untuk mengawasi secara seksama rencana divestasi kedua blok migas dan juga keseluruhan aksi-aksi korporasi yang akan dijalankan Pertamina dan Kementrian BUMN sesuai road map. Rencana IPO dan seluruh rencana aksi korporasi dapat saja sarat kepentingan kapitalis-liberal. Kepentingan perburuan rente dan oligarki penguasa-pengusaha. Rakyat butuh bukti dari Erick Thohir bahwa Pertamina adalah korporasi milik negara yang perlu dikelola secara konstitusional. Sesuai prinsip GCG dan bebas moral hazard. Rakyat tidak lagi butuh retorika hipokrit pembrantasan mafia minyak atau pengangkatan Komisaris Utama yang cacat hukum. Selain itu, kita menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan yang telah menjadikan Pertamina sebagai sapi perah. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS).
Indonesia Punya Formula, Mengapa Harus Vaksin China?
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Kamis (23 Juli 2020). Ketika musim haji pada 2012 mewabah Flu Burung varian baru, New Corona, di sekitar Arab Saudi, melalui Onta, apakah vaksin yang dikirim ke sana itu dari China, Amerika Serikat atau negara lainnya yang selama ini dikenal sebagai produsen virus? Bukan! Bukan dari China atau AS yang biasanya memang rajin bikin vaksin! Tahukah Anda jika yang dikirim ke Arab Saudi itu ternyata formula bioto atau probiotik siklus/komunitas, berasal dari Indonesia yang dikemas dalam bentuk ampul vaksin? Atas permintaan Unicef, sebanyak 5.000 liter bioto dikemas oleh PT OM dalam ampul vaksin. Pengiriman ke Arab Saudi diatasnamakan Unicef, kemudian dibagikan kepada jamaah haji dan relatif berhasil menghindarkan jemaah haji dari wabah new corona. Beberapa waktu yang lalu, bioto dengan merk BJ dikirim ke Glenn Eagles, Singapore serta RS Malaya Malaysia, dan diberi merk sendiri, dengan indikasi untuk toksoplasma dan flu burung. Produk bioto tersebut dijual ke pasien, yang mayoritas orang Indonesia, dijual laris dengan harga Rp 1,5 juta rupiah. Di tempat lain, di Indonesia, ada profesor yang menjual suatu produk mikrobakteri dan diklaim hanya untuk toksoplasma, dijual dengan harga Rp750.000,-per botol (1,5 lt) dan laris. Faktanya ternyata produk yang dijual ini merupakan fermentasi bioto generasi ke 8 atau 9. Melalui riset yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa penyakit flu burung adalah murni buatan pihak tertentu yang tidak menginginkan adanya keseimbangan dunia ini. Sifat virus flu burung, di tiap negara, bahkan tiap daerah bisa berbeda. Bahkan beberapa waktu terakhir ini, sering kita dengar adanya berbagai varian flu burung diantaranya H1N1, H5N1, H7N9 (di China), New Corona, yang konon dianggap lebih mematikan dibanding varian terdahulu. Yang membedakan tiap varian virus flu burung sebenarnya adalah jumlah bulu getar pada virus tersebut. Bulu getar/flagel itu sebanarnya adalah semacam alat penghangat pada virus itu yang berfungsi untuk mempertahankan hidup mereka sendiri. Maka bila telah dijumpai terdapat jumlah bulu getar yang berbeda, oleh para ahli virologi dikatakan sebagai mutasi genetik dari virus flu burung. Tamiflu jelas tidak akan efektif untuk tiap kasus flu burung. Tiap jenis obat hanya akan efektif pada daerahnya sendiri, dan obat itupun belum mampu mematikan virus flu burung tersebut. Pengobatan yang paling efektif untuk flu burung adalah dengan probiotik atau bioto karena jumlah laktat yang tinggi. Formula ini sudah banyak membuktikan efektifitas probiotik/bioto terhadap kasus flu burung, sehingga bagi yang sudah tahu, sekarang flu burung bukanlah penyakit yang menakutkan dan mematikan. Kasus flu burung di China telah memakan korban cukup banyak, hal tersebut terjadi karena China menolak produk probiotik dan lebih bangga dengan produk herbal mereka, sehingga penanggulangan flu burung menjadi kurang efektif. Perlu dicatat, di dunia ini, pusat pengembangan produk bakteri terdapat di negara Jepang, Israel, dan Jerman. Sementara AS merupakan pusat produk virus. Jepang dengan revolusi mikrobakteri yang dilakukan melalui proses penanaman tumbuhan dengan menggunakan teknologi pupuk alami non kimia, telah berhasil menghidupkan serta menghijaukan kembali wilayah Hiroshima dan Nagasaki. Orang yang sangat berperan pada proses tersebut bernama Teruo Higa, yang terkenal sebagai penemu teknologi EM (efektif mikroorganisme). Vaksin Sinovac Mulai pekan ini tersebar berita Vaksin Corona buatan China bernama Sinovac sudah datang di Indonesia. Senin, 20 Juli 2020, tiba di Kota Bandung. Vaksin buatan China ini diproduksi perusahaan China bernama PT Sinovac. Di Indonesia uji coba dilakukan PT Biofarma, sebuah BUMN yang laboratorium besarnya di Bandung. Biofarma akan mencari relawan dalam jumlah banyak yang mau disuntik Sinovac. Tulisan Dahlan Iskan, Menanti Sinovac, Rabu (22 Juli 2020) menarik disimak. Itulah orang yang disebut dengan relawan uji coba klinis tahap tiga. Khusus untuk uji coba tahap tiga ini jumlah relawannya harus banyak. Boleh dikata: sebanyak mungkin. Kalau bisa sampai 3.000 orang. Setidaknya 300 orang. Kian banyak dari angka 300 kian baik. Agar bisa mendapatkan hasil evaluasi yang terbaik. Berdasarkan evaluasi uji coba tahap tiga itulah badan-badan dunia akan memberi ijin edar. Yakni badan yang terkait dengan obat/vaksin baru. Setelah izin keluar barulah vaksin itu boleh dipakai secara umum. Istilahnya pun belum disebut 'resmi boleh dipakai' melainkan 'uji coba tahap empat'. Tapi, untuk uji coba tahap empat itu sasarannya bukan relawan lagi. Siapa pun boleh disuntik dengan vaksin baru itu. Sambil terus dimonitor oleh badan-badan perizinan obat/ vaksin-baru dunia. Itulah sebabnya penemuan obat baru itu mahal sekali. Untuk uji coba tahap 4 ini saja, biayanya bisa mencapai Rp 200 miliar. Itu kalau di negara-negara Barat. Padahal di sana tidak ada Pilkada. Karena itu untuk mencari relawan tidak mudah. Mereka sangat takut pada efek samping obat baru itu. Di sana relawan jenis ini mirip relawan Pilkada/ Pilpres kita: harus dibayar. Di samping harus ada gizi, mereka juga harus menandatangani banyak dokumen: misalnya tidak akan menuntut apa pun kalau ternyata ada masalah dengan obat/vaksin itu. Mereka juga harus lebih dulu menjalani pemeriksaan kesehatan. Lengkap. Pun setelah sebulan disuntik. Pemeriksaan setelah penyuntikan itu bisa sampai dua kali. Berarti dua bulan. Kalau pun uji coba tahap 3 ini berhasil, berarti paling cepat Oktober izin pakai dari badan-badan dunia akan keluar. Katakanlah: November. Di bulan November tepat setahun Presiden Jokowi menjabat, vaksin itu sudah bisa diproduksi masal. Itu sudah sungguh-sangat- amat-luar-biasa cepat. Hanya 10 bulan setelah Covid-19 menyerang Wuhan, China, vaksin sudah ditemukan – dan sudah bisa dipakai secara umum. Normalnya, jika di dunia barat, vaksin atau pun obat baru seperti itu baru bisa meluncur ke pasar paling cepat lima tahun. Rasanya ini rekor sepanjang masa. Pun tidak mungkin terjadi kalau bukan China. Bukan saja perizinannya cepat tapi mencari relawan di sana tidak perlu ada tim sukses. Terutama untuk relawan tahap satu. Yang fokusnya pada dampak efek samping. Betapa bahayanya. Di tahap ini perlu waktu dan penelitian yang sangat cukup untuk mengetahui aman tidaknya obat baru. Itu masih diteruskan dengan uji coba untuk tahap dua: untuk mengetahui tingkat keberhasilan. Dengan jumlah relawan sampai 60 orang. Semua itu sudah sukses dilakukan di China. Tinggal uji coba tahap tiga. Yang sasarannya tidak boleh hanya di satu negara. Itulah sebabnya biayanya mahal sekali. Jika di dunia barat. Dengan uji coba di banyak negara maka efektivitas obat/vaksin baru bisa diketahui secara luas. Pun terhadap berbagai jenis manusia. Yang gen dan darahnya berbeda-beda. “Saya bersyukur Indonesia dipilih menjadi salah satu dari banyak negara lain untuk uji coba tahap tiga itu. Itu sebagai pertanda bahwa kita akan boleh memproduksi sendiri nantinya,” tulis Dahlan Iskan, seperti dikutip Disway.id, Rabu (22 Juli 2020). Relawan tahap tiga ini harus dari berbagai macam manusia: anak, remaja, muda, setengah umur dan orang tua –asal jangan tua sekali. Masing-masing dengan jenis kelamin yang berbeda-beda: laki, perempuan dan yang half-half. Mengapa harus Vaksin China? Apakah di Indonesia tidak ada ahli yang bisa membuat vaksin untuk atasi Virus Corona atau Covid-19? Padahal China sendiri pernah gagal saat menangani Flu Burung sehingga memakan korban cukup banyak. Hal itu terjadi karena China menolak produk probiotik, China lebih bangga dengan produk herbal mereka, sehingga penanggulangan flu burung menjadi kurang efektif. Masih adanya serangan Virus Corona di China sekarang ini bukti kegagalan China. Sebagai warga biasa, saya cuma bisa menyarankan, sebaiknya Biofarma tak perlu lakukan uji coba (lanjutan dari China) Vaksin Sinovac pada orang Indonesia. Jika ada kemauan, di sini sudah ada formula probiotik yang terbukti efektif atasi Covid-19. Sudah banyak uji klinis yang membuktikan, formula probiotik berhasil “mengobati” pasien Covid-19. "Kalau pake probiotik kan gak bisa korupsi. Covid-19 ini sangat menguntungkan pemain, Mas!" ujar seorang sumber. Penulis adalah Wartawan Senior.
Djoko Tjandra, Pembeli Kekuasaan dengan Predikat “Best Buyer”
by Asyasi Usman Jakarta FNN - Kamis (23 Juli 2020). Terima kasih Tuan Djoko Tjandra. Anda telah menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa Anda bisa mengatur siapa saja di negeri ini. Anda bisa membeli siapa saja yang Anda perlukan. Anda bisa menyewa siapa saja yang Anda inginkan. Anda bisa membeli orang-orang berbintang yang sedang berkuasa. Anda bisa merekrut ‘bodyguard’ berpangkat brigjen. Anda bisa membeli pengacara yang memberikan ‘bantuan hukum’ dan ‘bantuan untuk melanggar hukum’. Saya bisa memahami perasaan Anda sekarang. Dan bisa juga memahami perasaan Anda sejak dulu. Yaitu, perasaan Anda yang bahagia luar biasa. Karena Anda yang berhasil menginjak-injak harga diri bangsa kami. Bangsa Indonesia. Anda tidak salah. Anda hanya berperilaku sebagai seorang pembeli. Pembeli kekuasaan semata. Pepatah mengatakan, “Pembeli itu Raja”. Tentunya maksud pepatah ini adalah bahwa penjual kekuasaan akan melayani Anda seperti raja. Anda itu adalah seorang ‘customer’ istimewa di mata para pedagang kekuasaan. Pastilah para pedagang kekuasaan akan selalu mendekati Anda. Mulai dari pedagang kekuasaan level asongan sampai pedagang kekuasaan level plaza. Anda memang beruntung bisa membeli kekuasaan apa saja yang Anda perlukan. Anda juga bisa membeli kekuasaan di tingkat kelurahan sampai ke tingkat menteri. Berbahagialah Anda, Tuan Djoko. Berbahagia karena berhasil mempermalukan kami yang masih merasa terhina oleh tindakan Anda. Harus diakui, banyak orang yang merasa tidak terhina oleh perilaku Anda. Anda tidak salah, Tuan Djoko. Yang salah adalah kami-kami yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perasaan normal para pemimpin dan pejabat tinggi kami. Yang sejak lama sudah terbiasa direndahkan, dihina, dan dilecehkan oleh orang-orang hebat seperti Anda. Kami belum sanggup seperti mereka. Mereka merasa tak terhina, tak tercela, ketika mendengar Anda bisa keluar-masuk di ruangan kerja para petinggi negara yang kami anggap mewakili martabat rakyat. Anda tidak salah, Tuan Djoko. Yang salah adalah kami semua. Kami sangka Pancasila itu diamalkan oleh para pemimpin kami sesuai dengan ceramah mereka. Ternyata sudah lama dilakukan ‘penyesuaian’ pengamalan Pancasila dengan ‘kebutuhan’ zaman. Rupanya, selama ini para pemimpin atau pejabat kami meneriakkan Pancasila hanya untuk menyebut kami teroris, radikal, ISIS, khilafatis, anti-NKRI, dan lain sebagainya. Kami sangka mereka benar-benar berpancasila. Kami tak menduga kalau mereka itu sudah lama berpura-pura. Kami yang tak sadar bahwa Pancasila sudah disimplifikasikan menjadi panduan yang luwes (fleksibel) agar para petinggi bisa beradaptasi dengan suasana kompetitif. Kami terlambat tahu bahwa belakangan ini memang dibangun kompetisi di kalangan para petinggi. Yaitu, kompetisi menjual kekuasaan supaya ada ‘penerimaan non bujeter’ yang lebih besar. Dengan kompetisi itu, para pemegang kekuasaan akan berlomba atau bersaing untuk mendapatkan hasil penjualan terbanyak. Termasuk bersaing dalam merebut pembeli kekuasaan kelas paus. Tampaknya, Tuan Djoko bisa dikategorikan ke dalam daftar pembeli papan atas. Bisa diberi penghargaan “best buyer”. Pembeli terbaik. Pantasanlah kemarin itu Tuan Djoko Tjandra memberikan teladan kepada para konsumen penikmat kekuasaan. Teladan tentang bagaimana cara melecehkan martabat rakyat, bangsa dan negara ini. Penulis adalah Wartawan Senior.
Papua Butuh Desekuritisasi
by Natalius Pigai Jakarta FNN – Rabu (22/07). Seorang Mama warga pengungsi berdiri dan berorasi dengan mengatakan, “dirinya melahirkan anak tidak untuk mati sia-sia. Mama itu membesarkan anaknya untuk menjaga Tanah Papua”. Sambunnya lagi, “sebelum Indonesia ada di Papua, tidak pernah ada orang Papua yang dibunuh sembarang”. Inilah kata-kata yang keluar dari mulut Mama Papua saat unjuk rasa protes penembakan Aparat TNI terhadap dua orang warga di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua, Sabtu (18/7) lalu. Peristiwa ini kemudian menyulut aksi unjuk rasa pada Senin (20/7). Korban bernama Elias Karunggu (45 tahun) tewas bersama seorang anaknya dari Seru Karunggu (20 tahun). Senin lalu (20/7) keluarga korban bersama sejumlah masyarakat Kabupaten Nduga telah turun ke jalan melakukan aksi protes atas kasus penembakan ini. Dalam aksi tersebut, masyarakat meminta pemerintah Indonesia bertanggungjawab terhadap seluruh insiden penembakan dan kekerasan, yang kini menyulut perlawanan dari warga Papua di Ndugama. Pengunjuk rasa meminta Presiden Joko Widodo menarik pasukan TNI/Polri. Presiden harus segera menghentikan operasi militer yang telah dan sedang berlangsung di wilayah Ndugama. Mereka menilai, aparat keamanan kerap salah sasaran dalam melakukan operasi. Sebab, beberapa warga tanpa memegang senjata telah menjadi sasaran penembakan. Pemerintah masih meletakkan militer sebagai instrumen penting untuk mencegah konflik di Papua. Bahkan negara kini berpandangan bahwa jalan kekerasan militer itu satu-satunya cara untuk mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sayangnya, skenario Jakarta ini sangat tidak tepat. Karena Jakarta tidak hanya menghadapi kelompok TPN/OPM, tetapi wilayah Papua yang terpisah dengan Jakarta jika dilihat dari etnologi dan antropologi ragawi, memiliki ciri-ciri fisik sebagai orang-orang berkulit hitam dan suku bangsa Melanesia. Di dalam hukum pertahanan, telah diajarkan bahwa kekuasaan negara akan jatuh dikala negara merdeka menghadapi satu rumpun etnik yang berbeda. Hal ini telah dibuktikan di Rusia yang melepaskan 13 negara Eropa Timur dan 3 negara Kaukasia Selatan. Jugoslavia pecah akibat multi etnik. Sudan Selatan dan Utara serta India, Pakistan dan Bangladesh. Karena itu problem di Papua tidak akan selesai jika Jakarta mengambil jalan kekerasan militer. Negara perlu mengambil jalan penyelesaian secara bermartabat melalui desekuritisasi. Pilihan desekuritiasasi diperlukan di Papua untuk menjamin keamanan dan perlindungan hak asasi manusia. Apalagi menyusul tidak ada pergeseran kebijakan keamanan di wilayah itu. Sudah bukan jamannya lagi untuk mempertahankan kekuatan militer sebagai satu-satunya jalan penyelesaian masalah Papua. Oleh karena itu, desekuritisasi di Papua agar segera dilakukan, karena pendekatan militer melahirkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM. Berbagai penangkapan, penyiksaan, pembunuhan dan operasi militer di Papua telah menanam bibit-bibit kebencian. Yang tidak hanya kepada negara, tetapi juga kepada penduduk sipil kaum migran. Selama ini negara terkesan mengabaikan persoalan di Papua. Persoalan Papua dianggap Jakarta tidak penting. Pemerintah Jakarta hanya sibuk mengurusi pusat kekuasaan dan mengabaikan masalah social kemasyarakat dan keamanan di Papua. Sejak tahun 1969, secara umum pola pendekatan keamanan di Papua tidak bergeser. Pemerintah masih meletakkan militer sebagai instrumen penting untuk mencegah konflik di Papua. Namun pemerintah tidak sadar, bahwa sejak tahun 2010 Rakyat Papua telah menempu jalan penyelesaian masalah Papua secara diplomasi dan tanpa kekerasan. Pola baru pendekatan di Papua ini telah menyebabkan simpati dari berbagai negara dan komunitas internasional. Namun untuk menghadapi kekerasan militer, sayap militer di TPN/OPM masih melakukan perlawanan. Militer dan TPN/OPM masih dianggap sah dalam konteks antar combatan (inter-combat) berdasarkan hukum perang. Sesuai hukum humaniter dan konvensi Jenewa. Persoalannya, semua jenis operasi militer yang diterapkan di Papua yaitu operasi perbatasan. Operasi pengamanan daerah rawan dan obyek vital. Operasi intelijen dan operasi teritorial. Rakyat Papua telah dan sedang menjadi korban penangkapan, penyiksaan, pembunuhan. Ini masalah serius. Pemerintah Jakarta jangan menganggap enteng masalah ini. Otonomi Khusus Papua tidak lantas ikut merubah pola pendekatan militer atau desekuritisasi. Justru yang ada adalah berbagai kebijakan yang dapat dilihat untuk menyatakan secara lantang Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOP). Salah satunya indikatornyta dengan pengiriman aparat TNI/Polri secara terus menerus, sebagaimana juga dituliskan dalam hasil penelitian Imparsial . Pertama, kebijakan keamanan yang melibatkan militer. Kedua, masih berjalannya operasi militer. Ketiga, diteruskannya pengiriman pasukan non-organik ke Papua. Keempat, perluasan dan penambahan struktur komando teritorial baru di Papua. Kelima, pembangunan pos-pos TNI di sekitar pembangunan sarana sipil. Keenam, penumpukan dan penyimpangan anggaran APBN, APBD dan swasta untuk TNI terkait dengan operasi militer. Ketujuh, rencana pembangunan gelar kekuatan TNI yang baru di Papua. Operasi militer menghadapi insurgensia domestik tidak dapat dibenarkan. Karena akan menyebabkan kerusakan substantial, yaitu tragedi kemanusiaan. Rakyat Papua seakan-akan berada di daerah jajahan. Itulah sebabnya Rakyat Papua menolak secara serempak, simultan, masif dan meluas menolak penerapan Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan.