OPINI
Pengkhinatan Terhadap NKRI dan Pancasila
by Dr. Ahmad Yani SH. MH. Jakarta FNN – Ahad (27/09). Sejarah harus tetap ada, terutama dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat. Sejarah harus hidup dalam ruang-ruang pendidikan. Menjadi bahan diskusi maupun perdebatan. Sejarah harus tetap dipelajari, karenamengandung makna kebudayaan yang besar. Memotong atau menghilangkan sejarah, bisa dikatakan sebagai kejahatan terhadap bangsa dan negara. Karena di dalam sejarah, kita dapat mengetahui, siapa pengkhianat dan siapa pahlawan. Sebab di sana ada kearifan budaya, jejak peradaban, dan nilai luhur bangsa yang menjadi spirit dari generasi ke generasi. Maka sejarah sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memiliki sejarah yang begitu kaya. Semenjak zaman perjuangan, zaman pergerakan, zaman revolusi dan zaman kemerdekaan, selalu menampilkan keunikan cerita. Dari cerita yang paling heroik, dramatis, hingga yang paling tragis. Maka sejarah menjadi penting bagi generasi muda untuk memahami karakter, sifat dan kepribadian bangsanya. Apabila sejarah dihilangkan maka identitas nasional kita akan didominasi oleh budaya-budaya luar yang menggempur budaya Indonesia. Bahkan sudah ada yang mengagumi budaya K-POP, seperti Wakil Presiden yang menyarankan generasi muda untuk membangkitkan spiritnya dengan belajar K-POP. Ini berbahaya. Sebab selain budaya generasi dari negeri Korea, K-POP juga dalam bahasa kritisnya "menciptakan generasi borjuis". Generasi yang tidak punya kepedulian pada jatidiri bangsanya sendiri. Sehingga sejarah perjuangan bangsanya sendiri bisa dilupakan. Begitu juga dengan keinginan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim untuk menghilangkan pelajaran sejarah dalam kurikulum pendidikan nasional kita. Ini menteri sangat ngawur dan ngoco. Sebab lebih berbahaya sekali. Bahkan bisa meruntuhkan bangsa dan negara. Keinginan Merubah Pancasila Dengan menghilangkan sejarah, maka sejarah perjuangan kemerdekaan dan perumusan falsafah bangsa Indonesia juga akan mulai dilupakan sedikit demi sedikit. Kenyataan itu dapat kita tangkap dari skenario RUU HIP dan RUU BPIP. Ada penyelundupan sejarah yang mencoba menghilangkan peran tokoh bangsa dalam merumuskan Pancasila. Ini juga ngoco dan ngawur. Pancasila yang dipahami oleh RUU tersebut adalah pancasila yang merupakan pidato Seorang Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Pidato itu berupa usulan seperti juga tokoh-tokoh Bangsa dalam BPUPK. Namun peran kolektif tokoh bangsa itu ingin dihilangkan dengan cara merumuskan Pancasila dalam pandangan seorang saja. Akhirnya sejarah Pancasila dirubah, dan isi Pancasila pun ikut dirubah pula. Pancasila yang dimaksud oleh RUU itu adalah Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Sebenarnya itu bukan Pancasila, itu hanya pidato Soekarno pada 1 Juni 1945. Tidak lebih, dan tidak kurang. Hari itu banyak tokoh bangsa yang berpidato tentang Pancasila. Bukan hanya Soekarno. Pancasila yang sesungguhnya itu lahir tanggal 22 Juni 1945 melalui Satu Panitia Kecil yang berisi 9 orang. Panitia itu berhasil merumuskan satu Staat fundamental Norm atau Filosofiche Groundslaag Indonesia Merdeka. Kemudian dokumen itu diberi Nama Piagaman Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Meski pada tanggal 18 Agustus 1945 terjadi perubahan dari Piagam Jakarta dengan mencoret 7 anak kalimat yaitu “Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun yang dimaksud adalah kesepakatan luhur bangsa Indonesia yang diwakili oleh pendiri bangsa. Tidak ada kesepakatan Ekasila dan Trisila. Melainkan kesepakatan Pancasila 18 Agustus 1945. Piagam Jakarta adalah Pancasila itu sendiri. Hal tersebut dirangkum dan ditegaskan kembali dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Artinya, Pancasila itu adalah lima dasar bangsa Indonesia. Jadi tidak ada tafsiran lain selain Pancasila sebagaimana yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Apabila yang ingin merubah Pancasila, berarti sedang merongrong NKRI. Hanya PKI dan faham Komunis yang ingin merubah Pancasila secara total. Ingin mengganti negara Indonesia menjadi negara komunis, dengan ideologi komunis. PKI Menghina NKRI dan Pancasila Tidak bisa dipungkiri bahwa Komunisme adalah musuh utama Pancasila. Peristiwa sejarah tahun 1948 dimana terjadi pemberontakan di Madiun yang menewaskan Ulama dan Santri adalah penghinatan PKI terhadap NKRI dan Pancasila. Ketika bangsa Ini berjuang melawan agresi militer Belanda, PKI justru memanfaatkan keadaan itu untuk memecah belah bangsa dari dalam. Pemberontakan Madiun menjadi bukti permulaan PKI yang anti terhadap NKRI dan Pancasila. Usaha PKI mendekat dan mempengaruhi Presiden Soekarno memanen keberhasilan, yaitu Soekarno memberikan jalan bagi ideologi komunis dengan NASAKOM. Tipu muslihat PKI dengan menghalalkan segala cara, hingga pada tahun 1959 setelah berhasil mempraktikkan demokrasi terpimpin. Soekarno justru menjadikan PKI sebagai Partai politik yang dekat dengan Soekarno. Sepanjang periode itu, umat Islam mengalami masa-masa kelam. Setelah Partai Masyumi dipaksa membubarkan diri pada tahun 1960. Sejak itu, PKI tidak lagi memiliki kekuatan tandingan, hingga bebas melakukan apa saja. Termasuk berhianat pada tahun 1965. Organisasi Islam seperti Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan mahasiswa Islam (HMI) menjadi bulan-bulanan PKI. Setiap saat organisasi-organisasi Islam itu mendapat ancaman, bahkan ancaman pembubaran akibat politik adu domba PKI. Sebab PKI berhasil mendapatkan kedudukan kuat di kekuasaan Demokrasi Terpimpin Soekarno. Dengan memanfaatkan kedekatan dengan Soekarno, dan keleluasaannya memainkan politik tanpa tandingan, maka pada Tahun 1965 tepatnya 30 September 1965, waktu dini hari, PKI melakukan pemberontakan. PKI menculik para Jenderal dan membunuhnya secara kejam. Peristiwa itu begitu tragis, yang terkenal dengan Kudeta PKI itu, hampir saja membuat bangsa Indonesia dikuasai oleh ideologi Komunis. Pancasila hampir saja hilang ditelan oleh pengkhianatan PKI itu. Sejarah kelam dan tragis itukah yang mau dihilangkan dari kurikulum pendidikan sejarah Indonesia? Gebleg… Atas pertolongan dan perlindungan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan PKI gagal total. Meski pemberontakan itu begitu kuat. Namun kekuatan pembela Pancasila bangkit. Rakyat mengambil bagian membantu ABRI untuk menumpas gerakan musuh Pancasila itu. Maka Gerakan 30 September 1965 adalah hari bersejarah yang menggambarkan penghinaan dan pengkhianatan terhadap NKRI dan Pancasila. Maka peristiwa tanggal 30 September itu adalah hari berkabung nasional. Hari dimana kita hampir saja tidak lagi menjadi NKRI yang berdasarkan Pancasila. Namun kita bersyukur. Pembela Pancasila lebih kuat dan banyak daripada musuh Pancasila itu. Ketika Pancasila dirongrong Rakyat bangkit untuk mempertahankannya. Itu dapat dibuktikan pada tahun 1965. Memperingati G30S PKI Untuk memperingati perakan pengkhianatan itu, maka Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menyerukan masyarakat untuk memutar kembali film G30SPKI. Kegiatan ini sebagai pelajaran bagi generasi muda untuk mengetahui kekejian kaum komunis terhadap bangsa Indonesia. Pemutaran film tersebut, tidak hanya untuk membuka kembali sejarah kelam itu. Tetapi juga menjadi pelajaran penting bagi generasi muda, bahwa meski beberapa kali PKI melakukan pemberontakan untuk merubah NKRI dan Pancasila, namun selalu saja gagal. Peristiwa berdarah itu kita rayakan dengan mengibarkan bendera setengah tiang pada tanggal terjadinya pemberontakan tanggal 30 September nanti. Dan tanggal 1 Oktober sebagai rasa syukur kita kepada Allah SWT, dan terima kasih dan penghormatan kita pada para pejuang yang menjadi korban keganasan PKI. Untuk mengingatkan peristiwa itu, kita kibarkan bendera satu ruang penuh. Selain rasa syukur dan terima kasih, pengibaran bendera satu ruang penuh sebagai bukti bahwa Pancasila tetap menjadi falsafah bangsa yang teruji oleh zaman. Maka KAMI mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk memutar film G 30S PKI dan mengibarkan bendera setengah tiang pada tanggal 30 September 2020. Pada tanggal 1 Oktober 2020 kita mengibarkan bendera satu ruang penuh. Demikian, semoga Allah menjadikan Indonesia sebagai negara Pancasila, yaitu negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Koordinator Komite Eksekutif KAMI dan Dosen FH dan FISIP UMJ.
Kalau Bukan PKI, Nyatakan Terbuka Kalau PKI Itu Penghianat
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (26/09). Banyak kalangan dari pejabat negara, bahkan Presiden yang meragukan keberadaan atau kebangkitan kembali Neo PKI dan faham Komunisme. Bahkan dengan sinis menyatakan bahwa itu hanyalah koar-koar untuk kepentingan politik semata. Namun ketika indikasi tuduhan mengarah padanya, maka semua cepat-cepat menyakal. Membantah bahwa dirinya bukan PKI dan faham komunisme, baik itu sebagai simpatisan ataupun keturunan. Keberadaan aturan tentang larangan pengembangan PKI dan faham Komunisme, sekarang dijadikan tameng untuk "bersih diri". Masyarakat pada sisi lain, khususnya umat Islam, merasakan adanya peningkatan pengaruh faham komunisme dalam kehidupan kemasyarakatan atau kenegaraan. Tercium aroma kemunculan gerakan Neo-PKI dan faham komunisme itu sangat kental. Anak tokoh sentral PKI DN Aidit saja sudah berani tampil mengecam Jndral TNI (Punr.) Gatot Nurmantyo dan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Memang "like father like son". Sama saja ayah dan anak. Kalau Gibran sama dengan Jokowi, ya Ilham Aidit juga pasti sama dengan DN Aidit. Kebangkinan PKI dan faham Komunisme itu tak bisa dianggap remeh. Ketika sulit untuk membantah adanya peningkatan eskalasi, namun pada saat itu juga bantahan tentu saja meningkat frekwensinya. Misalnya, mana itu PKI? Komunis kan sudah punah dan sudah mati. PKI dulu hanya sebagai korban. Film G 30 S PKI manipulatif dan seribu dalih lain dilemparkan. Semburan fitnah pun diarahkan pada elemen-elemen keagamaan. Dituduh sebagai kelompok yang radikal dan intoleran. Ini persis seperti gaya-gaya khas Komunis dulu yang dikenal dengan sebutan "firehose of falsehood". Nembak orang, lalu sembunyi diri. Sudahlah, sekarang ambil gampangnya saja. Nyatakan secara terbuka bahwa “PKI adalah penjahat dan penghianat bangsa”. Aapalagi kalau merasa diri bukan PKI dan faham komunisme. Bukan juga sebagai simpatisan. Bukan sebagai anak-cucu keturunan PKI dan faham komunis. Kalau Aada juga bukan sebagai penyebar faham komunisme, lalu sadar sebagai patriot yang cinta bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, maka sampaikanlah secara tegas dan nyatakan terbuka saja bahwa “PKI itu adalah penjahat dan penghianat bangsa. Ajak masyarakat waspada akan kejahatan dan penghianatannya. Nah itu kan gampang, atau gamang? Bila tak mau dan tak berani terbuka, berarti ada rasa simpati atau yakin akan kebenaran perjuangan PKI dan faham Komunisme. Masih "ada rasa" dalam dada. Jika iya, maka konsekuensinya tentu harus siap-siap untuk berhadap-hadapan dengan semangat kerakyatan yang telah muak dengan ulah PKI dan faham Komunisme di negeri ini. Penghianat yang pandai pura-pura sebagai membela Pancasila. Padahal dengan berbagai cara, masih punya keinginan untuk mengubah ideologi negara Pancasila. Sebagai contoh, adanya inisiator untuk membuat Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang disahkan menjadi RUU Hak Inisiatif DPR. Sekarang menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Jangan salahkan rakyat, khususnya umat islam jika punya tekad yang membara untuk membasmi PKI dan faham Komunisme sampai keakar-akarnya. Tak peduli dengan tuduhan intoleran atau radikal sekalipun. PKI dan Komunis adalah musuh TNI, musuh Polisi, musuh Rakyat, dan musuh umat beragama. Aparat TNI dan Polisi harusnya berpihak pada rakyat dan negara. Bukan pada Pemerintah yang Pro PKI dan faham Komunis. Dimana dan kapanpun itu. Penulsia adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Robohnya Hambatan Energi Ramah Lingkungan
by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Sabtu (26/09). Presiden Jokowi telah berjanji untuk menurunkan emisi hingga 26 persen pada tahun 2020, dan pemanfaatan Energi Baru Terbaharukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Janji tersebut, tampaknya tidak bisa ditarik mundur. Sebab Presiden telah menandatangani Perjanjian Conference of the Parties (COP) 21 Paris. Sebuah komitmen yang besar dalam mewujudkan dunia yang lebih bersih dari polusi gas rumah kaca. Berbagai organisasi internasional yang bergerak di bidang lingkungan hidup telah datang menagih janji Pemerintah Indonesia. Greenpeace, sebuah organisasi ternama yang sangat kredibel misalnya menyoal banyaknya Pembangkit Listrik Tenga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara yang tumbuh dan berkembang di tanah air. Greenpeace mengatakan, bahwa pemerintahan Jokowi bergerak ke arah yang salah dalam kaitan dengan mega proyek listrik 35.000 megawatt. Proyek yang justru menjauhkan pemerintah dari pencapaian komitmen pada perjanjian perubahan Ikllim CPO 21 di Paris. Sasaran tembak Greenpeace mengarah kepada pembangkit listtik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan anak perusahaannya. Mungkin ini adalah sasaran yang paling empuk. Sebab PLN merupakan BUMN yang seluruh rencana dan proyeknya berhubungan langsung dengan penguasa dan birokrasi. Meskipun sebetulnya mega proyek 35.000 megawatt sebagian besar yang dibangun adalah pembangkit listrik batubara. Juga sebagian besar milik swasta. Keberadaan pembangkit swasta atau Independent Power Producer (IPP) seringkali lepas dari pemantauan banyak pihak. Sebagian besar masyarkat umum masih beranggapan bahwa semua pembangkit listrik adalah milik PLN. Padahal tidak demikian. Sebagian listrik sekarang yang dihasilkan oleh 100 pembangkit PLTU batubara yang dikonsumsi masyarakat juga milik swasta. Jika proyek 35.000 megawatt selesai, maka sebagian besar PLTU nantinya adalah milik swasta. Sementara PLN sendiri telah berjuang keras mengembangkan pembangkit non batubara. Namun upaya ini tidak mudah karena harus berhadapan dengan kendala keuangan. Termasuk kendala regulasi dan birokrasi. Berbagai macam peraturan perundang undangan yang berlaku saat ini belum memberikan keleluasaan bagi tumbuh dan berkembangnya pembangkit non batubara. Akibatnya, pertumbuhan pembangkit batubara dua sampai tiga kali lebih cepat dari pembangkit pembangkit non batubara. Janji Jokowi Pada Dunia Presiden Jokowi memang berjanji yang besar pada perjanjian Paris COP 21. Dunia selalu memperhatikan komitmen Indonesia pada perjanjian perubahan iklim ini. Lagipula presiden Indonesia telah membuat komitmen yang kuat, yang mesti dilaksanakan semua pihak dengan sungguh sungguh. Jangan sampai mbah lelo. Sebab itu membuat Indonesia malu di mata masyarakat dunia. Perjanjian Paris COP 21 adalah perjanjian dibawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang diselenggarakan pada tanggal 30 November hingga 12 Desember 2015 di Paris. Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris ke dalam dokumen legal penyelenggaraan pemerintahan pada tahun 2016, dan berkomitmen untuk melakukan penurunan emisi sebelum tahun 2030. Komitmen untuk penurunan emisi Indonesia dalam Persetujuan Paris adalah sebesar 29 persen dengan usaha sendiri. Sedangkan penurunan sebesar 41 persen lagi dengan bantuan dari pihak eksternal, seperti organisasi internasional maupun dari negara anggota UNFCCC lain. Sebagai tindak lanjut dari komitmen selama COP 21, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris ke dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Dengan demikian perjanjian ini telah bersifat mengikat atau legally binding. Jika pemerintah mengabaikannya, maka berpotensi Melanggar UU yang berlaku. Untuk itu, sebagai upaya mitigasi dan adaptasi, pemerintah Jokowi telah berkomitmen untuk meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan dari 17 persen menjadi 23 persen. Jumlah tersebut, dari total konsumsi energi pada tahun 2025, dan 29 persen tahun 2030. Permasalahnya, upaya pemerintah Jokowi ke arah pencapaian tersebut, hingga sekarang belum menunjukkan hasil yang berarti. Banyak sekali aral yang melintang yang justru datang dari regulasi yang ada. Birokrasi pemerintahan Jokowi sebagai penghambat utama. Gugatan Serikat Pekerja PLN Upaya untuk menerobos hambatan bagi pengembangan energi yang ramah lingkungan datang dari Serikat Pelerja PLN. Baru-baru ini mereka mengajukan Judicial Review (JR) terhadap UU No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU Ini adalah pengganti UU Sumber Daya Air sebelumnya yang dibatalkan secara keseluruhan oleh MK, karena bertentangan dengan konstitusi. UU yang lama tersebut digugat oleh PP Muhammadiyah. Keberadaan UU ini menyebabkan upaya untuk memanfaatkan air sebagai sumber energi yang murah dan ramah lingkungan kembali harus berhadapan dengan berbagai macam pungutan. Pemanfaatan setiap liter air untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik serta kegiatan pemanfaatan air lainnya “dipalak” oleh sebuah lembaga yang ditunjuk pemerintah sebagaimana termaktub dalam pasal 58 UU No 17 Tahun 2019 tersebut. Mengapa dikatakan dipalak? Karena ini pungutan bukan pajak dan tidak diterima langsung oleh negara. Namun oleh sebuah lembaga yang dibentuk pemerintah untuk memungut. Pemanfaatan pungutan pun tidak jelas untuk apa, dan untuk siapa? Tampaknya pungutan itu tidak masuk di APBN. Pasal mengenai pungutan itu yang kini digugat oleh Serikat pekerja PLN. Alasan kunci pekerja, karena keberadaan pasal “pemalakan” ini telah menjadi beban keuangan bagi PLN yang saat ini tersandera berbagai macam pajak, pungutan dari berbagai lembaga hingga pemerintah daerah. Inilah yang semakin memberatkannya beban tarif listrik yang harus dibayar rakyat ditengah hantaman covid 19. Pungutan air ini merupakan kendala paling serius bagi pengembangan energi ramah lingkungan yang berbasis pada sumber daya lokal atau setempat. Akibatnya peluang bagi pengembangan energi ramah lingkungan hanya tersedia bagi pengembangan pembangkit yang seluruh bahan tehnologi dan SDM nya harus diimpor. Ini adalah bagian paling menyedihkan dalam urusan konsitensi pemerintah indonesia terhadap komitmen global dalam isue climate change. Langkah ke Depan Pemerintah memang tidak bisa apriori dengan tuntutan Greenpeace dan gerakan lingkungan lainya. Mereka berjuang atas landasan kepentingan publik internasional yang menginginkan lingkungan yang lebih baik. Mereka tidak mengurus Indonesia saja, atau menyerang penggunaan batubara yang ada di Indonesia saja, namun juga di seluruh dunia. Kebetulan saja Indonesia penghasil batubara dan eksportir terbesar di dunia saat ini. Sehingga menjadi fokus perhatian organisasi lingkungan tersebut. Namun tuntutan menutup pembangkit batubara yang telah dibangun oleh PLN karena desakan organisasi internasional sama sekali bukan merupakan jalan keluar. Apalagi alasan juga mereka belum cukup memadai. Pembangkit yang telah dibangun PLN selama ini adalah suatu upaya untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. PLN sebagai tulang punggung bangsa Indonesia dalam memperoleh energi listrik. Sehingga upaya untuk meluruskan kembali jalur yang ditempuh pemerintah dalam menjalankan COP 21 Paris, dan UU ratifikasinya adalah membenahi semua regulasi yang menghambat pemerintah memanfaatkan sumber daya lokal bagi pengembangan energi ramah lingkungan. Diharapkan urusan memenuhi Penjajian COP 21 Paris ini tidak membebani neraca perdagangan Indonesia. Bahkan bisa meningkatkan serapan sumber daya lokal. Mengingat ketersediaan sumber daya air yang melimpah di dalam negeri, dan PLN merupakan pioner dalam pengembangan PLTA. Dengan dihapuskan berbagai hambatan bagi pengembangan energi ramah lingkungan, maka tidak ada alasan bagi investor asing maupun nasional untuk tidak melakukan investasi. Karena penggunaan energi fosil ke depan akan berhadapan dengan dengan pajak karbon yang tinggi. komitmen seluruh perbankkan dan lembaga keuangan global untuk menghentikan pembiayaan energi fosil pada 2030 mendatang. Bagi PLN sebagai perusahaan penyelenggara ketenagalistrikan nasional, akan dapat meningkatkan komitmennya dalam penurunan emisi dengan mengurangi secara progres pembangkit batubara dan minyak. PLN juga dapat diberi kewenangan oleh pemerintah untuk merenegosiasi kembali pembelian listrik swasta dalam skema Take Or Pay (TOP) yang berlaku saat ini. Dengan strategi ini, dirahapkan dapat mengurangi, bahkan menghentikan sistem pembelian listrik wajib dari pembangkit swasta berbahan bakar batubara dan minyak. Semoga tercapai. Penulis dalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Jokowi For Next Sekjen PBB, Oh No?
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (26/09). Apa karir yang paling cocok bagi Presiden Jokowi pasca periode kedua masa jabatannya? “Jadi Sekjen PBB!” Jangan anggap ini hanya bercanda. Jangan pula buru-buru tertawa. Usulan serius ini datangnya dari pendukung garis keras Jokowi Ananda Sukarlan. Didukung oleh komposer kondang Addie MS. "Pidato Pakde Jokowi di Sidang Umum PBB keren banget. Berani, lugas, tegas, akurat. Jokowi for next Sekjen PBB," ujar Ananda Sukarlan. Cuitan Ananda di akun twitternya itu kemudian menjadi berita di sebuah media. Judulnya “Pidato Jokowi di PBB Dapat Pujian: Keren Banget, Jokowi For Next Sekjen PBB.” Addie MS kemudian membuat cuitan dengan melampirkan link berita tersebut. Cuitan Ananda dan Addie membuat dunia maya riuh rendah. Ada yang pro kontra. Jadi salah satu trending topic. Banyak yang mendukung, tapi banyak juga yang mengecamnya. Komentarnya cukup beragam. Ada yang lucu, dan pedas. Ada yang lucu-lucu pedas. Ada yang seolah mendukung dan menyatakan masih ada waktu empat tahun bagi Jokowi untuk belajar bahasa Inggris. Ada pula yang menganggap aneh dan memberi analogi. Ibarat anak sekolah yang sering bolos, sekali masuk, maunya jadi ketua kelas. Sebab Jokowi selama lima tahun terakhir selalu absen di Sidang Umum Majelis PBB. Biasanya diwakili oleh Wapres Jusuf Kalla. Baru kali ini dia hadir, itu pun hanya melalui pidato virtual yang sudah direkam lebih dahulu. Wajahnya tampil di SU PBB. Tapi raganya tetap ada di Jakarta. Bukan hanya medsos yang riuh. Media konvensional juga menyorotinya. Kornelius Purba, Editor senior media berbahasa Inggris The Jakarta Post membuat sebuah tulisan satire berjudul: Jokowi’s UN speech: Playing it safe on Palestine. Sebagai wartawan, Purba mengaku bingung bagaimana harus mengutip pernyataan Jokowi. Bagi Purba, hanya dua hal yang paling menonjol dalam pidato Jokowi. Pertama, janjinya yang berulang mendukung kemerdekaan Palestina. Kedua, nah ini yang unik, kalimat penutup Jokowi yang sangat simple dan lucu. “That is all from me!” Rasionalitas Pendukung Fenomena pendukung Jokowi seperti ditunjukkan oleh Ananda dan Addie MS mengingatkan kita pada sebuah syair lagu Gombloh. Penyanyi eksentrik asal Surabaya itu secara berkelakar bersenandung “Kalau cinta sudah melekat, tahi kucing terasa coklat.” Cinta berlebihan membutakan. Kehilangan rasionalitas. Too much love will kill you. Bahkan untuk seorang sekelas mereka berdua. Bayangkan bagaimana sikap para pendukung Jokowi yang secara intelektual jauh di bawah mereka. Para pendukung yang mau disuruh berbunyi apa saja. Gak pakai mikir. Dengan fakta bahwa Jokowi sangat menghindari persidangan PBB, hanya ada dua kemungkinan muncul usulan semacam itu. Pertama, dari pendukung bodoh. Tidak well informed. Tidak pernah baca dan nonton berita. Pendukung katrok dan culun. Kedua, dari orang yang ingin menjerumuskan dan mengolok-olok Jokowi. Dua-duanya tidak cocok dengan profil Ananda dan Addie. Mereka adalah maestro di bidang musik. Ananda adalah pianis dan komposer musik klasik. Punya reputasi dunia. Addie dikenal sebagai komposer dengan karya-karya yang menawan. Dia konduktor Twilite Orchestra yang sudah tampil di panggung-panggung Internasional. Keduanya pemuja Jokowi. Tidak mungkin mengolok-olok, apalagi sengaja menghinakan. Mereka sangat serius. Tidak sedang bercanda. Dengan fakta itu terpaksa kita harus membuka opsi ketiga. Pendukung yang cinta buta seperti digambarkan oleh Gombloh. Saking bingungnya, seorang netizen sampai membuat sebuah kesimpulan yang salah pula. Bunyi statusnya begini: Tidak benar musik klasik bisa membuat pintar. Buktinya Addie MS tambah bodoh! Ampyuuuunnnn…….End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Cicero, "Salus Populi Suprema Lex Esto"
by Zainal Bintang We know how to bring the economy back to life, What we do not know is how to bring people back to life. "Kami tahu cara untuk menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang yang mati", kata Presiden Ghana, Nana Akufo Addo di twitternya yang viral 28 Maret lalu, terkait sikap tegasnya melockdown negaranya menghadapi wabah Covid19. Jakarta FNN – Sabtu (26/09). Jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 9 Desember 2020 direcoki kebisingan suara pro dan kontra. Pemerintah dalam hal ini presiden Jokowi melalui juru bicaranya Fadjroel Rahman dengan tegas menolak Pilkada ditunda! Sementara sejumlah tokoh Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) besar Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta MUI (Majelis Ulama Indonesia) plus Jusuf Kalla(JK) meminta Pilkada Serentak ditunda. Pemerintah beralasan akan terjadi kekosongan pemerintahan di daerah apabila Pilkada ditunda karena banyak pejabat yang akan berakhir masa jabatannya. Berdasarkan Data Satuan Tugas Penanganan Covid 19, Jumat (25/09) jumlah pasien yang positif Covid-19 sudah menjadi 266.845 orang. Penambahan 4.823 kasus dalam sehari kemarin. Kesembuhan mencapai 196.196 orang. Yang meninggal dunia sebanyak 10.218 orang. Grafik korban pasien positif Covid-19 melaju setiap hari. Pada saat yang sama kualitas layanan petugas maupun fasilitas kesehatan sangat kewalahan. Inilah yang mendorong ungkapan filsuf Romawi kuno Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM), “Salus Populi Suprema Lex Esto” (Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi) dikutip oleh siapa saja, ditulis dimana-mana dan viral kemana-mana. Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tidak hanya sebagai agenda rutin politik, tetapi juga berfungsi menjadi lokomotif penggerak ekonomi di tengah masyarakat. Tapi gawe Pilkada saat ini cukup dilematis. Terperangkap kasus pandemi Covid-19 yang meningkat setiap hari. Sesuai kodratnya sebagai pesta demokrasi lima tahunan, proses Pilkada sejak dari tahapan pendaftaran sampai pencoblosan memastikan adanya kerumunan massa pendukung para kontestan. Pahami kodratnya itu baik-baik. Pilkada serentak secara nasional pertama kali digelar 9 Desember 2015. Ironisnya perhelatan demokrasi itu sekaligus menjadi bursa transaksi jual-beli suara masyarakat kepada kandidat melalui jasa tim sukses atau relawan. Bukan rahasia umum terjadinya operasi “serangan fajar” praktik politik uang (money politics) untuk memastikan keterikatan suara calon pemilih. Praktek money politics itu bagian kecil dari skenario besar pragmatisme politik yang membudayakan percukongan. Politik yang menyandera kandidat terpilih memikul beban kewajiban, untuk memberikan kompensasi kemudahan perizinan dan lisensi kepada cukong yang mendanai biaya kandidat. Sejenis dengan “success fee”. Sebuah media cetak ibukota Kamis pagi (24/09) memuat berita berjudul “Kuasa Kapital Picu Regresi Demokrasi”, mengutip Prof. Emil Salim (90) yang mengakui, mencatat demokrasi di Indonesia memang mudur. Partai politik kehilangan legitimasinya. Kekritisan pers dan media yang dalam ancaman. Pelemahan institusi demokrasi dan negara hukum salah satunya KPK. Demokrasi yang berbasis kekuatan kapital, yang disebutnya sebagai “demokrasi cukong”. Mantan Menteri Perhubungan dan Lingkungan Hidup era Soeharto itu menjadi salah seorang pembicara di dalam suatu acara peluncuran buku. Istilah cukong itu sinonim dengan kata oligarki yang suka disebut oleh Jeffrey A.Winters (60). Ilmuwan politik Amerika di Northwestern University itu mengkhususkan diri dalam studi oligarki. Demokrasi di Indonesia, kata Winters, yang bertujuan untuk memeratakan kekuasaan dan ekonomi, nyatanya justru berjalan di arah yang sebaliknya. Winters menilai, demokrasi Indonesia dikuasai oleh kaum oligarki, sehingga makin jauh dari cita-cita untuk memakmurkan rakyat. Winters yang telah banyak menulis tentang Indonesia dan tentang oligarki di Amerika Serikat melanjutkan, demokrasi dikuasai kaum oligarki itu terlihat dengan makin dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin di Indonesia. Konsentrasi kekayaan meningkat dan ketimpangan juga meningkat. Indonesia jauh lebih merata antara yang kaya dan miskin pada 1945 daripada sekarang. Apa yang salah? Padahal partisipasi rakyat minimal harus membawa lebih banyak kemakmuran. Kenapa ini tidak terjadi? Yaa itu tadi, karena oligarki dan elite di Indonesia sudah menguasai sistem demokrasi dan mengontrol sehingga Indonesia punya “oligarki demokrasi”. Winters pengarang buku “Oligharcy” (2011) yang memenangkan Luebbert Award dari Asosiasi Ilmu Politik Amerika (2012) untuk “buku terbaik” dalam perbandingan politik. Kembali kepada “sengketa” jadwal Pilkada yang terjadi pada saat posisi demokrasi yang dilematis ini, state actor (pejabat negara) justru berkonfrontasi dengan non state actor (masyarakat sipil). Memperdebatkan model solusi mitigasi atas ancaman nyawa rakyat akibat transmisi pandemi di dalam proses tahapan Pilkada. Penyelenggara tetap ngotot Pilkada jalan terus. Hantu kekosongan pemerintahan di daerah jadi alasan tambahan. Dikarenakan banyak kandidat yang akan berakhir masa jabatannya. Itu memerlukan legitimasi baru. Sebagai Pjs (Pejabat Sementara) posisi itu tak memiliki kewenangan membuat kebijakan. Sehingga akan menghambat program pembangunan. Regulasi kampanye secara virtual (daring) dijanjikan disiapkan untuk mengganjal tradisi kerumunan. Kebutuhan belanja para kandidat untuk pernak-pernik seperti alat peraga, berbagai format sosialisasi, lembaga survei, operasional tim sukses dan relawan plus harga tiket rekomendasi beberapa partai politik termasuk dana “serangan fajar”, jumlahnya cukup besar. Merujuk informasi mutakhir KPU telah menerima pendaftaran sebanyak 741 paslon (pasangan calon) di seluruh Indonesia. Jumlah 741 pasangan calon itu meliputi 270 daerah. Dengan rincian 25 paslon 9 di propinsi, 224 di Kabupaten dan 37 di Kota. Dari jumlah tersebut, ada 25 kabupaten/kota yang menggelar pilkada dengan satu paslon calon. Melibatkan 105 juta orang pemilih yang akan mendatangi kurang lebih 312 ribu TPS (Tempat Pemungutan Suara). Sebuah asumsi obrolan warung kopi, jika itu memang benar , menyebutkan dana yang harus dikeluarkan setiap kandidat mencapai antara Rp 35 - Rp 50 miliar dikonversi 741 paslon, total uang yang berputar mencapai Rp 35 triliun - Rp 50 triliun. Jika merujuk teori ekonomi, angka itu dilipatkan dua kali jumlah dana yang akan beredar mendekati Rp 100 triliun. Katakanlah, hanya setengah dari jumlah itu yang kejadian, yaa tetap besar Rp 50 triliun! Merupakan mesin besar penggerak ekonomi di masa pandemi. Bagi pemerintah, anggaran tahapan Pilkada itu harus ditangkap untuk dijadikan agregator perputaran roda ekonomi rakyat yang mandek selama pandemi. Persolannya terpulang kepada kapasitas kemampuan dan kesiapan organisasi negara mengendalikan kerumunan orang, agar tidak terjadi ledakan klaster baru. Pemerintah harus cermat menghitung sebelum melangkah. Karena taruhannya keselamatan jiwa rakyat yang mutlak dilindungi sesuai amanat konstitusi. Banyak kalangan yang memperingatkan, bahwa mempertaruhkan nyawa rakyat untuk kepentingan politik sesaat adalah kejahatan atas kemanusiaan, “crimes against humanity”. Ingat dan fahami peringatan itu baik-baik. Sebab bisa saja menjadi persoalan kemanusiaan kelak. "Terima kasih atas pesan kuat untuk dunia saudaraku Nana Akufo Addo Presiden Ghana. Bersama untuk menciptakan dunia yang lebih sehat, aman, dan adil. Bersama untuk melawan Covid 19". Kata Dirjen WHO Ghebreyesus mengapresiasi ucapan presiden Ghana di twitternya. Ghana adalah negara kulit hitam Afrika pertama yang merdeka dari Britania Raya pada tahun 1957. Sebutan untuk negeri ini sebagai “Pesisir Emas” memang terpantul dari sikap Presiden Nana Akufo Addo yang memang berhati “emas” untuk melindungi rakyatnya. Pada layar WhatsApp saya ada tulisan cukup menggelitik, “di Ghana itu tidak ada hiruk pikuk kampanye soal Pancasila setiap hari lho”! Penulis adalah Wartawan Senior & Pemerhati Sosial Budaya.
Kesadaran Palsu Dan Budaya Politik Kekerasan
by Radhar Tribaskoro Bandung FNN – Sabtu (26/09). Ancaman Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Surabaya untuk membubarkan acara deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) adalah salah satu contoh mengapa Indonesia harus diselamatkan. Ancaman itu menunjukkan budaya politik yang mengandalkan kekerasan massa dan kedekatan kepada kekuasaan untuk memaksakan kemauan. Baru saja berlalu ketika sebuah organisasi massa menyerbu sebuah pesantren. Mereka melakukan tindak pemaksaan dan kekerasan verbal kepada pimpinan pesantren yang notabene seorang ulama. Kita ingat saat pilpres yang lalu, kekerasan yang sama menimpa Ahmad Dhani dan Bunda Neno Warisman. Dalam situasi seperti itu aparat penegak hukum malah mengabaikan kewajiban konstitusional. Apara abai untuk melindungi kebebasan berbicara dan berkumpul. Mereka arapat memilih mengabaikan panggilan konstitusional itu dengan dalih khawatir adanya bentrokan massa. Apa yang terjadi? Sebab di seluruh dunia aparat penegak hukum mempertahankan konstitusi sampai titik darah penghabisan. Namun di sini, aparat hukum memilih mendukung kepentingan penguasa. Sekalipun harus mengabaikan kewajiban konstitusi melindungi rakyat. Kejadian yang berulang menjadikan kebiasaan. Kebiasaan yang berlangsung lama membentuk budaya. Budaya politik yang dicirikan oleh kekerasan massa (bukan cara-cara demokrasi dan konstitusi) sebetulnya sudah pernah terjadi dulu, yaitu pada era Demokrasi Terpimpin. Pada ketika itu PKI membangun aksi massa untuk membubarkan Organisasi Politik (Orpol) dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), yang notabene adalah musuh politik mereka. PKI tahu bahwa keinginan mereka itu akan mudah dipenuhi oleh Presiden Soekarno, sebab Soekarno pada akhirnya menganggap Muhammad Natsir, Bung Syahrir, bahkan Bung Hatta sebagai musuhnya. Makanya hasilnya mudah saja untuk ditebak. Presiden Soekarno akhirnya memenuhi tuntutan PKI. Soerkarno berturut-turut membubarkan Partai Masyumi, PSI, dan partai Murba. Hampir saja Soekarno juga membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Budaya politik kekerasan massa hilang di era Orde Baru, karena Soeharto tidak membutuhkan massa untuk menindas musuh-musuhnya. Soeharto langsung menggunakan aparat untuk keperluan itu. Tentara dari Angkatan Darat, dan intelijen yang bekerja untuk menjaga kekuasaan Soeharto. Sementara di era reformasi muncul kekerasan massa yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) terhadap Ahamdiyah dan Syi’ah. Aparat malah seperti mengipasi karena praktis mengiyakan tuntutan FPI untuk membubarkan pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi. Alasan aparat penegak hukum sama, untuk menghindari bentrok massa. Namun pada saat yang sama aparat mengabaikan kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi kebebasan berpendapat dan berkumpul. Sikap aparat yang tidak proper itu membakar kemarahan rakyat kepada FPI. Semakin sering FPI beraksi rakyat semakin marah. Rakyat kebanyakan tak menyadari bahwa banyaknya aksi FPI hanya bisa terjadi bila aparat membiarkan. Semakin membaranya kemarahan rakyat, besar kemungkinan adalah sebuah set-up atau sebuah cipta-kondisi dalam bahasa intelejen Indonesia. Dalam kenyataannya, kemarahan publik tersebut dimanfaatkan oleh suatu golongan politik. Mereka meniupkan isu kebangkitan politik identitas, radikalisme, anti-pluralisme dan sektarianisme. Pada awal pemerintahan Jokowi, isu itu semakin menguat terutama karena tidak ada tindakan kongkrit dari aparat untuk mencegah berulangnya kekerasan massa. Suatu elit politik dalam pemerintahan Jokowi membakar sentimen itu lebih hebat dengan menjadikan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai bukti adanya upaya mengganti Pancasila. HTI memang sering mengungkapkan, secara lisan maupun tulis, cita-cita mereka untuk membangun negeri khilafah di Indonesia. HTI adalah ormas damai, mereka tidak pernah melakukan kekerasan massa. Namun aksi damai HTI itu tidak mencegah pemerintah membubarkan HTI. Keberadaan HTI kemudian dijadikan prima causa bahwa ide-ide radikal dan anti-pancasila, telah merasuk ke dalam lembaga-lembaga negara, ormas, perguruan tinggi. Bahkan ke mesjid-mesjid. Semua itu dijadikan dalih untuk melakukan pembersihan orang-orang yang tidak mendukung penguasa, harus disingkirkan. Padahal sebetulnya hanya ada dua kasus. Pertama adalah kasus kekerasan massa FPI, dan kedua adalah kasus khilafah HTI. Kedua organisasi itu sangat kecil dalam perspektif Indonesia. Keduanya tidak mengangkat senjata. Keduanya juga tidak berhubungan satu sama lain. Tetapi keributan sosial-politik sengaja diciptakan begitu hebat. Seakan-akan Indonesia kini sedang berperang. Juga seakan-akan rakyat hanya dihadapkan kepada dua pilihan, menjadi negara Pancasila atau negara khilafah? Indonesia sudah seperti dalam keadaan darurat. Dalam situasi seperti itu, orang-orang yang tidak waspada didorong untuk mempercayai penguasa tanpa reserve. Orang-orang itu kemudian menjadi toleran terhadap kekerasan dan kecurangan penguasa. Mereka juga mengambil sikap tidak peduli terhadap tindakan pemerintah yang semakin otoriter dan mengkonsentrasikan kekuasaan dengan mengambil kewenangan legislatif maupun eksekutif. Mereka tidak peduli bahwa produk-produk hukum belakangan ini telah menimbulkan kerugian besar bagi generasi masa depan. Misalnya dari ekstraksi UU Minerba. Mereka masa bodoh terhadap potensi penjarahan yang mungkin terjadi akibat undang-undang yang menjadikan pemerintahan kebal hukum. Mereka juga tidak mau tahu bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnubus Law Cipta Kerja telah mengubah buruh dan tani menjadi budak. Tanah sepenuhnya dikomersialisasikan, sehingga jutaan petani hanya berpeluang menjadi buruh tani. Pesantren-pesantren berubah dari produk amal-ibadah menjadi produk pasar komersial, dan seterusnya dan sebagainya. Selian itu, realitas politik saat ini telah memperkuat cengkraman oligarki atas Indonesia. Dari RT/RW sampai presiden tidak ada tindakan yang bisa berjalan tanpa restu oligarki. Puncak dari semua kebobrokan yang berlangsung di tengah kesadaran palsu itu tercermin dalam kasus RUU HIP dan BPIP. Kedua RUU itu mau meletakkan kembali “Demokrasi Terpimpin”. RUU HIP dan BPIP menjadikan konsep “Demokrasi Terpimpin” yang dibangun Soekarno mau dihidupkan kembali. Mau menjadi pedoman kehidupan politik Indonesia. Dalam “Demokrasi Terpimpin”, demokrasi sebenarnya menjadi ambyar. Semua kekuasaan berada di tangan presiden. Trias Politica bubar jalan. Itulah agenda politik paling puncak saat ini. Untuk keberhasilan agenda tersebut, suatu kelompok elit di Istana memberi jalan bagi kaum oligarki merampok Indonesia. Juga menghancurkan martabat rakyat, sehingga sekadar menjadi budak kapitalis. Menjadikan Indonesia semakin tergantung kepada Cina dalam keuangan, ekonomi dan politik. Sekarang orang-orang yang tidak waspada, karena diliputi dengan kesadaran palsu, mau diperalat untuk menindas KAMI. Berbeda dengan mereka, KAMI adalah orang-orang yang waspada. KAMI membaca rencana dan perbuatan sampai jauh ke alam pikiran dan kebudayaan. KAMI tidak akan tertipu dan termakan kampanye kesadaran palsu tersebut. KAMI ingin menyelamatkan Indonesia. Pertama, menyelamatkan saudara-saudara kami dari kesadaran palsu. Demikian terjadi pada saudara-saudara kami dari FPI. Mereka telah membuang kesadaran palsu ketika melihat sendiri bahwa orang yang dulu memfasilitasi mereka sekarang justru menindas mereka. Mereka adalah pejuang Pancasila. Kedua, menunjukkan jalan kebenaran, yaitu jalan dimana tujuan tidak menghalalkan segala cara. Artinya, politik memang memiliki tujuan, tetapi tujuan itu hendaknya dicapai dengan basis moral. Kemenangan dalam politik bukan untuk kemenangan itu sendiri. Kemenangan, keberhasilan dan kemajuan harus juga berarti membawa seluruh rakyat ke tingkatan moral yang lebih tinggi. Itulah perilaku Pancasilais yang KAMI pahami. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Soal Pilkada, Mendagri Tito Jangan Ngaco & Ngawur
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Jum’at (25/09). Kerumunan orang dalam rangkain Pelihan Kepala Daerah (Pilkada) bukan hanya saat pendaftaran dan sosialisasi. Prakteknya kontestan juga lakukan distribusi "uang cendol". Para Tim Sukses (Timses) juga perlu mengamankan uang cendol agar dipastikan sampai ke pemilih. Jika saat normal saja praktek distribusi uang cendol selama ini terkesan dibiarkan oleh panitia Pilkada. Apalagi saat pandemi virus covid dan krisis ekonomi. Pemilih tentu saja berharap dapat uang cendol, yang meski sedikit sangat berarti di saat krisis ekonomi. Sedangkan siapa yg terpilih, saya yakin sebagian pemilih sudah tidak perduli lagi. Juga perlu dipertimbangkan berkumpulnya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara(KPPS) relawan atau saksi dari para kontestan. Pengumpulan dan pengelompokan relawan dan saksi ini sudah terjadi secara intensif sejak tahap sosialisasi hingga penghitungan suara. Jangan terulang lagi KPPS banyak meninggal (989 orang) saat bertugas seperti di Pemilu 2019 lalu. Jadinya, sangat sulit untuk menjamin protokol bisa dijalankan dengan disiplin penuh untuk masyarakat. Jangankan kita yang sudah dikenal sebagai bangsa yang kurang disiplin, masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat saja masih banyak yang tidak disiplin dalam memakai masker. Jika kita melihat kisah aturan tentang penggunaan helm pertama kali diterapkan, perlu berapa tahun masyarakat sadar mau pakai helm. Ini sebagai contoh saja. Sehingga mengharapkan masyarakat sadar dan disiplin dalam penggunaan masker, serta menjaga jarak dalam berinteraksi saat Pilkada nanti, sama dengan menyuruh masyarakat menyebarkan virus covid diantara sesama. Itulah yang harus dipikirkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Jangan asal negomong. Jangan juga ngawur kalau ngomong. Apalagi Mendagri mentakan bahwa “Pilkada bisa bangkitkan ekonomi”. Saya pikir itu pernyataan seperti itu bukan saja tidak tepat. Tetapi ngawur dan asal ngomong. Sebab omongan pejabat yang asal, bisa berakibat pada pemahaman yang keliru dan sesat. Supaya tidak gagal faham, Mendagri Tito sebaiknya baca lagi berulang-ulang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 01/2020 yang telah menjadi UU Nomor 02/2020. Sebab tidak ada satu pasalpun yang menjadikan alasan ekonomi sebagai dasar pelaksanaan Pilkada. Di luar rumah, ada virus corona yang bergentayangan. Masyarakat tidak bisa keluar rumah untuk bekerja, karena ada virus Corona yang bergentayangan. Banyak Pemerintah Daerah telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSPB) untuk mencegah penyebaran virus. Masyarakat tidak keluar rumah sebagian upaya mecegah dan memotong rantai penyebaran virus corona. Anehnya, Mendagri Tito malah terlihat ngaco dan ngawur ngomong mengenai alasan dilaksanakan Pilkada. Terlihat kalau Mendagri Tito tidak memahami tujuan kita bernegara, seperti diperintahkan oleh alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Sebab melindungi rakyat dari ancaman kematian (tumpah darah Indonesia) adalah hukum tertinggi kita dalam bernegara. Pahami itu baik Pak Tito. Daripada uang diedarkan ke daerah-daerah untuk Pilkada dengan alasan ekonomi bangkit, tetapi beresiko meningkatkan penyebadan pandemi corona, ya lebih baik dana Pilkada dibagikan kapada daerah untuk menaikkan daya beli masyarakat. Ini anggaran Pilkada ibarat pisau bermata dua. Satu sisi dianggap dapat bangkitkan ekonomi, sisi lain beresiko meningkatkan pandemi virus corona. Jadi pemerintah harus jelas, konsisten dan bijak. Jika ingin bangkitkan ekonomi di daerah, ya buatlah kebijakan yang tepat untuk itu. Yang didesign sedemikian rupa untuk tujuan ekonomi yang terukur. Bukan ditempel pada penyelenggaraan Pilkada. Seba Pilkada tujuannnya menjalankan demokrasi. Mana yang lebih pas dijalankan dalam kondisi normal? Yang terpenting adalah kejujuran dari pemerintah, DPR dan KPU. Sebenarnya separah apa masalahnya jika Pilkada ditunda tahun depan? Sampai pandemi virus corona mereda. Demi untuk kita semua dapat menjaga masyarakat dari penularan virus covid-19? Salah satu solusi yang paling tepat adalah Presiden segera menebitkan Perppu, yang memberikan kewenangan Pemerintah Daerah dijabat oleh Palksana Tugas (Plt) Kepala Daerah. Toh, itu sudah sering dilakukan, terutama untuk daerah-daerah yang baru dimekarkan dan kekosongan akibat Pilkada. Penulis adalah Anggota Komite Politik & Pemerintahan KAMI.
Tanpa Rahmat, Jaksa Pinangki Tidak Kenal Djoko Tjandra!
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Jumat (25/09). Pada Kompas.com, Selasa (22/09/2020, 18:22 WIB) melansir, Penyidik Kejaksaan Agung, Selasa (22/9/2020), kembali memeriksa seorang saksi bernama Rahmat dalam kasus dugaan korupsi kepengurusan fatwa untuk Djoko Tjandra di Mahkamah Agung (MA). Rahmat adalah orang yang pertama kali mengenalkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari kepada Djoko Tjandra. “Saudara Rahmat selaku karyawan swasta atau pemilik Koperasi Nusantara," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono. Dalam kasus ini, teman Pinangki tersebut sebelumnya telah diperiksa pada 3 dan 9 September 2020. Hari mengatakan, dalam pemeriksaan kali ini, penyidik menggali keterangan Rahmat soal dugaan pemberian suap dari Djoko Tjandra kepada Pinangki. “Untuk mencari fakta hukum tentang pemberian dan janji tersangka Djoko S. Tjandra kepada Jaksa PSM dan bagaimana teknis dan caranya serta maksud dan tujuan pemberian tersebut,” ungkapnya. Dalam kasus ini, Djoko Tjandra diduga bersedia memberikan imbalan sebesar 1 juta dollar AS atau sekitar Rp 14,85 miliar kepada Pinangki. Berdasarkan keterangan Kejagung, Pinangki Sirna Malasari menyusun proposal action plan untuk membantu Djoko Tjandra mengurus fatwa di MA. Proposal itu telah diserahkan ke Djoko Tjandra melalui perantara. Tapi, Djoko Tjandra membatalkan kerja sama mereka lantaran tak ada rencana seperti dalam proposal Pinangki yang terlaksana. Padahal, Djoko Tjandra sudah memberikan uang 500.000 dollar AS (50 persen) dari imbalan yang dijanjikan kepada Pinangki sebagai uang muka. Dari total uang itu, Pinangki diduga memberikan 50.000 dollar AS kepada Anita Kolopaking sebagai pembayaran awal jasa penasihat hukum. Anita Kolopaking adalah mantan pengacara Djoko Tjandra. Dalam kasus ini, Anita juga diduga bersedia membantu Djoko Tjandra mengurus fatwa itu. Sementara, uang yang masih tersisa digunakan Pinangki untuk membeli mobil BMW X-5, membayar dokter kecantikan di Amerika Serikat, menyewa apartemen atau hotel di New York, membayar kartu kredit, serta membayar sewa dua apartemen di Jakarta Selatan. Dalam kasus ini, Pinangki akan menjalani proses persidangan pada Rabu (23/9/2020). Ia dijerat dengan pasal berlapis terkait dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sementara, penyidik Kejagung masih merampungkan berkas perkara untuk tersangka Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya. Sejauh ini, Anita tidak berstatus tersangka di kasus ini. Tapi, ia ditetapkan Bareskrim Polri sebagai tersangka kasus lain yang masih terkait Djoko Tjandra. Dalam kasus dugaan gratifikasi dan suap ini, Jampidsus telah menetapkan 3 orang tersangka. Yakni Djoko Tjandra, Jaksa Pinangk, dan eks kader Partai Nasdem, Andi Irfan Jaya. Sebelumnya, Kejaksaan Agung merespons pernyataan sejumlah pihak ihwal tak dibukanya nama-nama yang diduga membantu Jaksa Pinangki saat menawarkan kepengurusan fatwa bebas di MA untuk Djoko Tjandra. Dilansir Tempo.co, Sabtu (19 September 2020 09:38 WIB), Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono menuturkan, selama penyidikan sejumlah pihak itu tidak memiliki pembuktian keterlibatan. “Selama itu tidak ada kaitannya dengan pembuktian, untuk apa? Kalau ada pembuktian, baru. Kalau hanya bapakku bapakmu, apa hubungannya dengan pembuktian?” ucap Ali saat dikonfirmasi pada Sabtu, 19 September 2020. Namun, jika dalam gelaran sidang perdana Jaksa Pinangki pada Rabu, 23 September 2020 muncul pembuktian baru maka pihak Kejaksaan Agung akan menelusuri. “Kalau misalkan nanti mengandung nilai pembuktian baru kami cek,” kata Ali. Munculnya pihak-pihak baru yang diduga berperan dalam kasus Jaksa Pinangki berawal dari laporan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Koordinator MAKI Boyamin Saiman yang menyebut ada istilah 'bapakku' dan 'bapakmu' dalam kasus tersebut. Selain itu ada juga lima nama baru, yakni T, DK, BR, HA, dan SHD. Mulanya, MAKI hanya mendorong Kejagung menyelidiki sejumlah informasi tersebut. Namun belakangan ia juga melaporkan nama-nama tersebut ke KPK, sehingga KPK ikut diminta mendalami. Permintaan itu dilakukan Boyamin lantaran menilai Kejagung terburu-buru melimpahkan berkas perkara Jaksa Pinangki. Alhasil, ia menduga penyidik Kejagung enggan mengusut tuntas nama-nama lain yang ditengarai ikut terlibat. Joshua Rahmat? RMOL.id menulis berita berjudul “Beredar Foto Perantara Djoko Tjandra Bersama Wapres Laporan”, Rabu (23 September 2020, 12:11 WIB). Rahmat yang menjadi perantara mengenalkan Djoko Tjandra ke Jaksa Pinangki diduga punya hubungan dekat dengan Wapres Maruf Amin. Rahmat, diduga mengenal baik Wapres Maruf Amin. Dugaan tersebut dipicu oleh beredarnya foto kompilasi yang menunjukkan Rahmat bersama Wapres Ma’ruf Amin. Dari tiga foto yang digabung atau kompilasi tersebut memperlihatkan pria berkepala plontos itu bersama Abah, panggilan Wapres Maruf Amin. Foto lainnya memperlihatkan Rahmat tengah berada di Istana Merdeka. Dalam foto itu Rahmat berjalan mengiringi Presiden Joko Widodo bersama Wapres Maruf Amin. Apakah ketiganya punya hubungan dekat? Wallahu ‘alam. Siapa sebenarnya Rahmat yang disebut-sebut sebagai “perantara” Jaksa Pinangki dan Tjoko Tjandra itu? “Saudara Rahmat selaku karyawan swasta atau pemilik Koperasi Nusantara,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono. Jawaban Hari Setiyono tersebut telah membuka jejak digital siapa Rahmat sebenarnya. Dari jejak digital diketahui, nama lengkap Rahmat itu adalah Joshua Rahmat. Ia tercatat sebagai Ketua Dewan Pengawas Koperasi Nusantara. Nama dan wajahnya muncul saat Koperasi Simpanan Pinjam (KSP) Nusantara (KopNus) dan PT Pos Indonesia (Persero) melakukan Peresmian gedung sekretariat KOPNUSPOS yang di Bandung pada Jumat, 12 Juni 2020. Peresmian yang dilanjutkan dengan Kick Off meeting KOPNUSPOS itu dilakukan bersama Direktur Jaringan dan Layanan Keuangan PT.Pos Indonesia (Persero) Ihwan Sutardiyanta dengan Ketua KopNus Dedi Damhudi dan Ketua Dewan Pengawas KopNus Joshua Rahmat. Nama Joshua Rahmat sebelumnya juga muncul saat Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Koperasi Simpanan Pinjam (KSP) Nusantara (KopNus) dengan Pos Indonesia untuk joint operation di bidang Layanan Keuangan. Dilansir TribunNews.com, Sabtu (16 Mei 2020 15:39 WIB), acara penandatanganan tersebut berlangsung pada Jumat (15/5/2020), di Kantor Pusat PT Pos Indonesia, Bandung. Penandatangan kerjasama dilakukan oleh Direktur Utama PT Pos Indonesia Gilarsi Wahyu Setijono dengan Ketua KopNus Dedi Damhudi dan Ketua Dewan Pengawas KopNus Joshua Rahmat. Direktur Utama PT Pos Indonesia Gilarsi Wahyu Setijono mengatakan, Pos Indonesia dan KopNus sudah punya hubungan kerjasama yang sangat panjang. “Hari ini kita melahirkan sebuah embrio baru dan mempunyai cita-cita yang jauh lebih besar, bagaimana kita bisa menjadi kolaborasi dari sebuah proses untuk memberikan lending yang terbesar, yang terluas jangkauannya dan yang paling modern,” katanya. Gilarsi berharap embrio baru kerjasama ini dapat tumbuh agresif dalam melayani masyarakat Indonesia. Dari jejak digital itu jelas sekali. Bahwa Rahmat itu bukan pegawai KopNus. Keluarganya yang punya KopNus, makanya dia bisa menjadi Ketua Dewan Pengawas KopNus. Karena, itu milik keluarganya. Anak perusahaan KopNus, yaitu Mytour Travel, itu salah satu penyelenggara travel Umroh yang belakangan membesar. Mungkin dari situ masuknya dia ke Maruf Amin, sehingga dia bisa jalan bareng Presiden Jokowi. Kembali ke soal Jaksa Pinangki. Jadi jelas, tanpa Rahmat, Jaksa Pinangka tidak mungkin bisa mengenal Djoko Tjandra. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Belasan Tahun di Penjara Bersama Tokoh & Kader PKI (Bagian-2)
by Sudirman Timsar Zubil Jakarta FNN – Kamis (24/09). Aku bertemu lagi dengan Pak Isnanto di dalam acara Temu Raya mantan Tahanan Politik (Tanapol) pada tahu 2002 di Hotel Grand Cempaka, Jakarta Pusat. Para Tanapol yang dibebaskan oleh Presiden BJ. Habibie. Kami sama-sama masuk di Stering Comite (SC). Acara Temu Raya itu disponsori oleh saudara Yopi Lasut, Ketua Yayasan Hidup Baru yang dulu rajin dan selalu membesuk para Tanapol di penjara. Sehingga punya hubungan yang cukup akrab dengan para Tanapol dari semua aliran dan penjuru mata angin. Baik kiri, kanan maupun tengah. Aku berangkat lebih awal dari teman-teman lainnya, karena aku masuk di Stering Comite, sehingga perlu mengikuti pertemuan-pertemuan, yang menurutku semua itu merupakan skenario Tanapol kiri. Karena dari pokok-pokok pikiran yang mereka kemukakan, aku membaca target mereka adalah tercapainya kesepakatan dan pernyataan bersama minimal tentang dua hal. Pertama, tuntutan agar dibatalkannya TAP MPR Nomor 25 Tahun 1966 tentang larangan ajaran komunis, marxis dan lenin. Kedua, pelurusan sejarah, yang dimaksud mereka adalah sebagai pembentukan opini bahwa PKI adalah korban peristiwa 1965. Bukan sebagai pelaku. Tanapol kiri terlalu percaya diri dan memandang rendah peserta yang lain. Mereka juga tidak malu berbohong di hadapan ratusan peserta acara Temu Raya tersebut. Suatu pagi (hari keberapa aku lupa persisinya) panitia memintaku hadir di suatu ruangan untuk rapat Komisi Pelurusan Sejarah. Setiba di ruangan itu telah hadir sekitar 20 orang, dan tidak seorang pun Tanapol kanan. Semua Tanapol kiri. Aku dipersilakan duduk di depan. Sebagai pimpinan sidang kata "panitia" yang menjemputku ke kamar. Insting politisku begitu cepat menangkap maksud mereka hendak menjebakku. Akan tetapi aku ikuti saja permainan mereka. Setelah duduk sebagai pimpinan sidang, aku mempertanyakan adanya Komisi Pelurusan Sejarah yang dalam rapat-rapat Stering Comite tidak pernah dibicarakan. Tidak juga pada sidang pleno pengesahan Tata Tertib Acara. Beberapa dari mereka yang ada di ruangan itu angkat bicara. Mencoba meyakinkanku bahwa komisi itu ada disahkan dalam sidang pleno. Sungguh, aku baru kali itu bertemu dengan orang-orang yang di dalam rapat seperti itu mau dan berani berbohong secara bersama-sama begitu. Mungkin saja mereka pikir, dengan cara berbohong seperti itu, akan dapat mempengaruhi dan meyakinkan aku untuk percaya dan menerima apa yang mereka katakan. Menghadapi tekanan seperti itu, aku menyatakan dengan tegas, bahwa akan bertanya dulu kepada teman-temanku dari Tanapol kanan. Bila mereka mengatakan memang ada Komisi itu, aku akan kembali memimpin sidang. Tapi jika tidak, maka aku tidak akan kembali lagi. Ternyata teman-teman Tanapol kanan tidak seorangpun yang membenarkan adanya Komisi Pelurusan Sejarah itu. Aku tidak kembali lagi ke ruang rapat tadi. Aku segera berkoordinasi dan konsolidasi untuk menyikapi perkembangan itu. Ditetapkan di dalam pertemuan singkat itu, aku menjadi juru bicara Tanapol kanan pada sidang pleno terakhir. Benar juga sebagaimana perkiraan kami. Pada sidang pleno terakhir mereka yang hadir di ruang rapat "Komisi Pelurusan Sejarah" minta diberi kesempatan bicara untuk menyampaikan laporan mereka. Selesai wakil mereka bicara, aku langsung bicara (setelah ijin pimpinan sidang), membantah dan menolak adanya komisi tersebut. Itu terjadi sampai beberapa kali. Setiap mereka bicara meyakinkan peserta Temu Raya bahwa Komisi Pelurusan Sejarah itu memang ada, setelah itu aku terus membantahnya. Mereka baru berhenti setelah saudara Casman Prawiro, Tanapol kiri yang kukenal ketika sama-sama ditahan di Irehab Sukamulia Medan, berbicara meluruskan persoalan. Dinyatakannya bahwa Komisi Pelurusan Sejarah memang tidak ada. "Apa yang dikatakan saudara Timsar memang benar, "katanya di hadapan sekitar 800 orang peserta acara Temu Raya mantan Tanapol itu. Dari pengalaman yang kuceritakan di atas, aku menemukan bukti bahwa prinsip menghalalkan segala cara memang dianut oleh paham komunis. Tidak mengherankan bila mereka menyatakan bahwa mereka adalah korban di dalam peristiwa 1965 bukan pelaku. Kegigihan mereka berusaha patut diacungi jempol. Tetapi bohongnya tentu saja wajib untuk dihindari. Aku mengkhiri secercah catatan batinku ini dengan kesimpulan sebagai berikut : Pertama, kader komunis sangat militan. Kedua, mereka bekerja sistematis dan terencana. Ketiga, infiltrasi yang mereka lakukan seperti yang dikatakan Pak Tamat sejak tahun 1980 yang lalu ,telah membuahkan hasil nyata sekarang ini. Keempat, waspada, jangan terlena oleh suara-suara yang meremehkan mereka. Apalagi terhadap pernyataan PKI sudah mati, tidak mungkin bangkit lagi. Kelima, RUU HIP sangat kuat indikasi pengaruh kepentingan komunis, karenanya harus ditolak. Keenam, banyaknya TKA asal Cina yang umumnya berpostur seperti meliter. Juga banyaknya cerita tentang masuknya senjata ilegal, seperti yang pernah ditangkap Jenderal Gatot Nurmantiyo semasa jadi Panglima TNI amat patut diwaspadai. Ketujuh, konsolidasi, dan bekerja dengan berpedoman kepada tuntunan yang Allah SWR berikan di dalam firmanNYA pada S. Ali Imran ayat 200. Artinya “hai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan (kuatkan) kesabaran (itu) dan bersiaga (hati-hati, teliti, waspada), dan bertaqwalah kepada Allah, niscaya kamu beroleh kemenangan (keberuntungan, dunia dan akhirat). selesai... Penulis adalah Mantan Narapidana Mati.
Financial Engineering, Doping Rupiah Semakin Tak Terkendali
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Jum’at (25/09). Keuangan negara semakin tertekan. Penerimaan perpajakan (penerimaan pajak ditambah penerimaan bea dan cukai) sampai akhir Agustus 2020 turun 13,39 persen dibandingkan periode sama tahun 2019. Penerimaan pajak malah turun 15,64 persen. Semua komponen penerimaan negara turun kecuali cukai. Khususnya cukai rokok yang naik setiap tahun. Selama lima tahun belakangan ini, cukai rokok naik menjadi sekitar dua kali lipat. Sedangkan perokok kebanyakan terdiri dari masyarakat berpenghasilan rendah. Ironi memang. Pengeluaran dari kelompok masyarakat lapisan bawah ini yang justru meningkat. Defisit anggaran sampai dengan Agustus 2020 mencapai Rp 500,5 triliun. Defisit ini harus ditutupi dari utang. Namun, pemerintah ternyata menarik utang jauh lebih besar dari jumlah defisit tersebut, yaitu Rp 667,8 triliun. Sehingga ada kelebihan utang Rp 167,3 triliun, yang dinamakan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran atau SiLPA. Atau sekitar U$ 11,15 miliar. Sungguh jumlah yang sangat besar. Mencapai 33,4 persen dari total defisit anggaran. Pemborosan anggaran melalui utang yang berlebihan ini ditengarai untuk intervensi kurs rupiah. Alias doping. Jumlahnya semakin lama semakin besar. Dikhawatirkan akan overdosis, dan tumbang. Total SiLPA sampai akhir Agustus 2020 menjadi Rp 380 triliun. Mendekati 7 persen dari total utang pemerintah. Semuanya diperoleh dari utang, dan harus bayar bunga. Dengan suku bunga 8 persen, maka pemborosan beban bunga akibat penarikan kelebihan utang ini mencapai 30 triliun per tahun. Selain itu, pemerintah masih ada pengeluaran lain yang dikategorikan investasi. Misalnya, Penyertaan Modal Negara (PMN) di BUMN atau kementerian. Namanya investasi, tetapi uangnya juga dari utang. Sehingga total (pembiayaan) utang pemerintah sampai Agustus 2020 menjadi Rp 693,6 triliun. Artinya, ada tiga jenis utang terkait pengelolaan keuangan negara: utang terkait defisit anggaran sebesar Rp 500,5 triliun, utang terkait pembiayaan anggaran (termasuk SiLPA) sebesar Rp 667,8 triliun, dan utang secara keseluruhan (termasuk investasi) Rp 693,6 triliun. Berdasarkan perkiraan PDB sampai Agustus 2020, defisit anggaran mencapai sekitar 5 persen. Defisit pembiayaan anggaran sekitar 6,65 persen, dan pembiayaan utang sekitar 6,9 persen. Dari total utang Rp 693,6 triliun ini, yang dibeli Bank Indonesia mencapai Rp 188,8 triliun. Terdiri dari pembelian SBN (Surat Berharga Negara) di pasar perdana dan sebagai standby buyer Rp 45,3 triliun, pembelian SBN melalui private placement di pasar perdana untuk barang publik Rp 99,1 triliun, dan pembelian SBN untuk barang nonpublik (bantuan kepada UMKM dan Korporasi) Rp 44,4 triliun. Pola pembelian SBN di pasar perdana masih menjadi kontroversi hukum karena ada gugatan terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 yang telah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Jumlah yang diperlukan untuk doping rupiah semakin besar. Jumlah juga SiLPA semakin membengkak. Menjadi Rp 167,3 triliun atau sekitar U$ 11,15 miliar untuk 8 bulan pertama tahun 2020. Mengindikasikan fundamental ekonomi Indonesia semakin lemah. Transaksi berjalan masih defisit terus-menerus sejak triwulan IV/2011. Mencapai 111,7 miliar dolar AS selama periode 2015-2019. Defisit ini harus ditutupi dari investasi asing atau utang luar negeri. Seharusnya, pemerintah membiarkan kurs rupiah mencari nilainya sendiri tanpa intervensi, tanpa di-doping. Kalau kurs rupiah terdepresiasi, ekspor akan meningkat. Karena produk Indonesia akan lebih kompetitif. Neraca perdagangan akan membaik. Tanpa intervensi rupiah, pemerintah tidak perlu menarik utang luar negeri berlebihan. Beban bunga di APBN menjadi lebih ringan. Konsep doping atau memperkuat kurs rupiah di tengah fundamental ekonomi yang lemah akan menjadi bumerang. Suku bunga kredit tidak bisa turun karena tersandera menarik utang luar negeri untuk menutupi defisit transaksi berjalan. Rezim suku bunga tinggi ini mengakibatkan biaya ekonomi tinggi. Membuat daya saing produk Indonesia melemah. Membuat defisit transaksi berjalan semakin akut. Pada akhirnya, doping rupiah akan menempatkan pembangunan ekonomi nasional dalam bahaya. Financial engineering melalui doping rupiah yang berlebihan bisa membuat bubble pada kurs rupiah terus membesar. Kalau bubble ini pecah, kalau kurs rupiah pada akhirnya tergelincir, biaya kerusakan ekonomi yang harus ditanggung rakyat Indonesia sangat besar. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)