OPINI
Tanpa Peran Soeharto, Indonesia Jadi Negara Komunis
by Basir Al-Haddad Jakarta FNN – Senin (21/09). Nasakom adalah sebuah gagasan populer yang tak pernah dilupakan oleh sejarah di Indonesia. Nasakom singkatan dari Nasionalis, Agama dan Komunis. Penggagasnya adalah Presiden Soekarno. Memang terkesan aneh. Indonesia berideologi Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Beda dengan komunisme, sebuah ideologi trans-nasional anti terhadap Tuhan Yang Esa, pernah diberi ruang untuk hidup di negara Pancasila. Ada kesan dipaksakan. Pancasila itu dasar utamanya Ketuhanan, sementara komunis itu anti Tuhan. Dua ideologi yang bertolak belakang antara langit dan bumi. Tidak bisa menyatu, tetapi dipaksakan untuk bersatu. Pada akhirnya, tak bisa bersatu juga. Tahun 1948 Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan. Tetapi gagal. Tahun 1965, dimana presiden Soekarno sakit-sakitan dan dianggap sudah mulai uzur, PKI mengulang lagi pemberontakan yang kedua kalinya. Dalam pemberontakan kali ini, sejumlah Jenderal Angkatan Darat yang selama ini dianggap menentang PKI dibantai. Mereka dibunuh dan mayatnya di buang kedalam sumur di Lubang Buaya. Lepas dari kontroversinya, terlalu banyak bukti dan saksi-saksi terpercaya ,yang membenarkan sejarah pemberontakan dan kekejaman PKI. TNI dan umumnya umat Islam meyakini kebenaran peristiwa ini. Walaupun ada juga yang berkeinginan untuk mengaburkan fakta pembrontakan itu. Dalam waktu yang tak begitu lama, tampillah seorang Mayor Jenderal Soeharto, Pangkostrad saat itu, yang tak diperhitungkan oleh PKI. Dalam situasi nasional yang kacau balau, Soeharto mendapat mandat dari Soekarno untuk mengatasi dan menormalkan kembali situasi keamanan nasional saat itu. Mandat itu kemudian dikenal dengan Supersemar. Langkah paling penting yang ditempuh Soeharto adalah membubarkan PKI. Meski Soekarno seperti merasa kecolongan. Langkah pembubaran PKI itu, di kemudian hari ditindaklanjuti dengan keluarnya TAPMPRS No 25 Tahun 1966. Inti dari TAP MPRS itu adalah tidak memberi ruang kepada paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme hidup di Indonesia. Artinya, PKI dimatikan. Tanggal 12 Maret 1967, ketika Soeharto diangkat menjadi presiden melalui sidang MPRS, ia kemudian membuat keputusan fundamental. Soeharto melarang seluruh keluarga, anak turun dan semua yang memiliki hubungan dengan PKI menjadi bagian dari pengelolaan negara. Mereka tak boleh menjabat apapun di negara ini. Tidak boleh jadi presiden, tentara, polisi, PNS, pemimpin daerah, anggota DPR dan semua jabatan kenegaraan lainnya. Atas keputusan tegas, konsistensi dan kebijakan yang diambil Soeharto sebagai kepala negara saat itu, telah berhasil mematikan peran PKI. Dengan didukung oleh TNI, terutama Angkatan Darat, maka Soeharto betul-betul membuat PKI tiarap. Satu generasi PKI mati. Pada masa Orde Baru berkuasa, PKI tidak bisa bernapas. Seluruh keluarga, anak cucu dan kelompok yang pernah punya hubungan dengan PKI terpantau. Soeharto sukses mengebiri seluruh kekuatan PKI serta pengikut-pengikutnya. PKI tidak bisa bergerak apa-apa. Dengan kata lain, Soeharto berhasil menyelamatkan Pancasila dari PKI yang berupaya menggantinya dengan komunisme. Jika PKI bilang bahwa komunisme itu pro Pancasila, atau tidak bertentangan dengan pancasila, secara ideologis itu tidak bisa diterima akal. Karena Pancasila berbasis pada Ketuhanan Yang Maha Esa, sementara yang komunisme itu anti Tuhan. Jika konsep "Tri Sila dan Eka Sila" ingin ditawarkan di Indonesia, maka harus memiliki arti Ketuhanan Yang Maha Esa. Diambil dari Sila pertama Pancasila. Bukan gotong royong atau yang lain. Sebab "Tri Sila dan Eka Sila" yang berujung di gotong-royong, maka itu jelas ngaco, ngawur dan bebal terhadap Pancasila. Pancasila menjadi tempat bersemai semua agama dan pemeluknya di Indonesia. Sementara PKI tak bisa hidup dalam satu ideologi dengan masyarakat yang beragama. Akan selalu terjadi benturan ideologis. Pemberontakan Tahun 1948 dan Tahun 1965 adalah bukti benturan ideologis yang dibungkus dan dinarasikan dalam perebuatan kekuasaan politik. Pemberontakan PKI ini sesuai dengan fitrah komunisme yaitu revolusi. Kalau boleh kita berandai, jika tanpa Soeharto yang dengan sangat tegas dan disiplin menjaga Pancasila dari ancaman PKI selama 32 tahun masa kekuasaannya, mungkin Indonesia sudah menjadi negara komunis. Kesimpulan ini tentu tidak terlalu berlebihan. Mengingat PKI pernah menjadi partai besar. Mempunyai kekuatan sosial dan dukungan internasional, serta memiliki pendukung yang solid dan militan. PKI juga punya pasukan berani mati. Jika PKI terus dibiarkan bergerilya. Apalagi pada akhirnya berhasil menguasai Indonesia, dengan cara revolusi, maka Indonesia bukan hanya berideologi Nasakom, tapi akan jadi negara komunis. Disinilah langkah tegas Soeharto terhadap PKI sangat tepat. Situasi obyektif saat itu memang menghendaki untuk diambil ketegasan seperti itu. Lepas dari apapun kekurangan dan kelebihan. Pro-kontra terkait kekuasaan Orde Baru, namun Soeharto adalah orang yang paling berjasa menyelamatkan Indonesia dan Pancasila dari bahaya komunisme. Jasa Soeharto itu fakta. Juga nyata terjadi. Dapat disaksikan dqan dibaca. Setelah Pancasila selamat, agama terjamin hidupnya di Indonesia, akankah kita beri peluang PKI bangkit kembali? PKI bangkit dengan cara membuat stigma negatif terus-menerus terhadap Soeharto dan Orde Baru? Ini namanya bangsa yang nggak tahu berterima kasih. Penulis adalah Pemerhati Indonesia.
Gila, Sejarah Penghianatan PKI Akan Dihapus?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (20/09). Wacana penghapusan pelajaran sejarah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan menjadi pilihan di Sekolah Menengah Atas (SMA) oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudyaan (Kemendikbud) mengemuka. Tidak jelas apa yang menjadi motif dan argumennya. Hanya saja yang ramai di Medsos adalah kekhawatiran adanya upaya menghapus sejarah kelam Partai Komunis Indonesia (PKI) serta serangkaian pemberontakannya. Pembrontakan PKI mau dianggap sesuatu yang tidak pernah ada. Kalau benar, makaini rencana gila. Setelah sejarah Islam di Madrasah berhadil dibuldozer oleh kebijakan Kementerian Agama (Kemenag), kini giliran Mendikbud melakukan langkah yang serupa. Mengingat tidak adanya visi dan misi Menteri, maka kebijakan mendasar seperti ini tentu menjadi tanggungjawab Presiden. Di tengah eskalasi penyusupan faham komunisme dan bangkitnya Neo PKI, maka diskursus penghapusan pelajaran sejarah dalam program penyederhanaan kurikulum Sekolah Lanjutan Atas (SLA), akan menjadi isu yang sensitif. Akhir-akhir ini penayangan film G 30 S PKI pun menjadi pro dan kontra. Rezim Jokowi memang kurang peduli dengan kekhawatiran masyarakat terhadap keberadaan Neo PKI. Termasuk upaya pengembangan faham Komunisme. Keresahan publik direspon dingin oleh Pemerintah. Tidak ada sedikitpun "warning" bahaya atau ancaman Komunisme. Hal ini menjadi sinyal bahwa pemimpin memang tidak sedang memikirkan rakyatnya. Sejarah penghianatan PKI mesti diajarkan kepada anak-anak didik. Dari generasi ke generasi. Tidak boleh dihapus begitu saja. Kekejian fitnah dan adu dombanya harus diketahui generasi muda. Kepura-puraan dalam membela Pancasila harus menjadi pelajaran utama. PKI mahir dalam menyusup ke elit kekuasaan. Sekelas Presiden Soekarno pun dapat tersentuh dan terpengaruh. Soekarno mati-matian berjuang agar PKI masuk Kabinet Ali Satro Amidjojo pasca Pemilu 1955. Memaksa membentuk Kabinet Gotong Royong. Menggunakan otoritas dan wibawanya untuk membentuk Front Nasional menuju Nasakom. PKI ditarik menjadi bagian dari pilar kekuatan bangsa. Sejarah mencatat pidato Soekarno saat HUT PKI bulan Mei 1965 dengan judul "Subur subur suburlah PKI". Anak Sekolah Menengah tingkat Atas tidak boleh didoktrin "menghafalkan kategori-kategori" seolah-olah PKI adalah korban pembantaian. PKI diperlakukan dengan zalim. PKI adalah sasaran fitnah, atau komunisme faham yang layak hidup. Doktrin seperti itu penuh dengan kepalsuan dan kebohongan dalam rangka mengelabui generasi muda. Anak atau cucu PKI berada dimana-mana. Baik itu birokrasi atau parlemen. Menjadi pengusaha atau mungkin rohaniawan. Mereka potensial untuk membangkitkan spirit perjuangan orang tua atau leluhurnya. Apalagi dengan dukungan penuh Partai Komunis Cina, yang terasa semakin akrab saja dengan istana dan partai berkuasa. Bahaya bangkit Neo PKI dan Komunisme jangan diremehkan. Fenomena pelecehan agama yang semakin marak, isu radikalisme umat beragama, hingga RUU HIP dan BPIP adalah tanda kebangkitan komunisme itu. Sejarah penyusupan dan pemberontakan PKI tahun 1926, tahun 1948, dan tahun 1965 adalah bukti bahwa PKI dan Komunisme itu selalu gigih dalam berjuang. Pengulangan adalah hukum yang absolut. Pak Menteri, jangan hapus pelajaran sejarah Penghianatan PKI dari kurikulum SMK dan SMA, karena menghapus artinya membodohi generasi muda. Membuka peluang bagi pemutarbalikkan fakta sejarah. PKI yang penghianat dicitrakan sebagai korban. TNI dan umat Islam yang menjadi korban dipropaganda sebagai penindas. PKI memang pandai menipu. Sekarang buktinya. Menjelang mengenang sejarah hitam bangsa akibat penghianatan G 30 S PKI, maka Presiden sebaiknya berpidato resmi. Gumanakan mimbar bagus dan pemnting di Istana Kepresiden itu untuk meminta agar rakyat selalu waspada akan bangkitnya Neo PKI dan Komunisme. Bila tidak berbuat dan masa bodoh, atau bahkan sampai menyatakan bahwa PKI itu tidak ada . PKI tidak mungkin tumbuh kembali, maka jangan salahkan jika rakyat yang mungkin saja meragukan kebersihan dirinya dari pengaruh PKI dan Komunisme tersebut. Sejarah merupakan bukti dari suatu perbuatan yang membangun atau menghancurkan. PKI dan Komunisme adalah musuh agama, tentara, dan ideologi Pancasila. Musuh dari seluruh rakyat Indonesia. Ingat dan pahami itu baik-baik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Jaksa Agung ST. Burhanuddin Sebaiknya Mundur (Bagian-3)
by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Kata Direkur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah, dalam dokumen proposal yang didapatkan tim penyidik, ada sosok berinisial DK. Nama ini diduga berkaitan dengan upaya pembebasan Djoko Tjandra saat masih berstatus sebagai buronan. Tetapi Pak Direktur Penyidikikan ini mengakui "kami enggak tahu identitas DK. Yang jelas DK itu ada data. Makanya kami lagi cari”. DK ini siapa? Namun sejauh ini, kata Febrie Jum’at kemarin, Pinangki belum mengungkapkan sosok tersebut (CNN Indonesia 11/09/2020). Siapa itu DK? Febrie menyebut belum mengetahuinya secara pasti. Sehingga tim penyidik Kejaksaan sedang mencari berbagai informasi soal sosok tersebut. "Nah justru kita cari siapa, belum dapat (Inews.com 11/09/2020). Informasi soal dugaan keterlibatan DK pertama kali disebutkan oleh koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Ada lima inisial yang disebut terlibat dalam proposal pengurusan fatwa Mahkamah Agung untuk Djoko Tjandra. "Untuk itu, KPK perlu mendalami berbagai inisial yang diduga sering disebut oleh PSM, ADK, dan JST dalam rencana pengurusan fatwa yaitu T, DK, BR, HA, dan SHD", “kata Boyamin. Transfer uang tersangka jaksa Pinangki Malasari ke rekening Grace Veronica Sompie, terungkap senilai Rp 20 juta. Direktur Penyidikan Jamidsus Febrie Adriansyah mengatakan, transaksi Pinangki dengan putri mantan Dirjen Imigrasi Ronnie Sompie tersebut, terkait dengan jual beli souvenir via toko daring (Republika, 10/9/2020). Boyamin, Bos MAKI ini pada kesempatan lain juga mengajukan fakta baru yang dia peroleh. Ada sosok “king maker” dalam komunikasi Jaksa Pinangki Sirna Malasari (PSM) dan seorang bernama Rahmat saat menemui Djoko Tjandra. Kata “King Maker” mengetahui proses-proses itu. Ketika Pinangki pecah kongsi dengan Anita (Anita Dewi Kolopaking), dan hanya mendapatkan rezeki seakan-akan Anita dari Djoko Tjandra. Maka “King Maker” ini berusaha membatalkan dan membuyarkan Peninjauan Kembali (PK) itu, sehingga terungkap di DPR segala macam, kalau “King Maker” di belakang itu semua," ujarnya (republika.co.id 18/0/2020) Tidak itu saja. Boyamin Saiman juga sudah menyerahkan fakta baru ke KPK. Fakta itu menerangkan tentang adanya istilah “bapakmu dan bapakku” dalam percakapan Jaksa Pinangki dengan Anita Kalopaking (Sindonews, 16/9/2020). Cukup bagus Kejaksaan Agung merespons nama-nama inisial di atas. Hebat sekali. Sebab Ali Mukartono, sang Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus ini yang turun tangan sendiri untuk meresponnya. Responnya itu berstandar sebagai penyidik tulen. “Selama itu tidak ada kaitannya dengan pembuktian, untuk apa? “kata Tuan Ali, sang Jampidus ini. Kalau ada pembuktian, baru. Kalau hanya bapakku bapakmu, apa hubungannya dengan pembuktian?” (Republika, 19/9/2020). Top markotop tuan Ali Mukartono. Jawaban Tuan Ali Mukartono ini membuat beta teringat putusan Hakim Syuraih atas kasus yang diajukan oleh Sayidina Ali Bin Abu Thalib radiallahu anhu. Sayidina Ali mengklaim baju besi yang ada dalam penguasaan seorang Yahudi adalah miliknya. Syuraih diminta Sayidina Ali radiallahu anhu untuk memutuskan perkara itu. Sayidina Ali menjadi pemohon mengajukan dua orang sebagai saksi membuktikan tuduhannya. Tetapi kedua saksi itu tidak memenuhi syarat. Satu adalah anaknya sendiri Sayidina Hasan Bin Ali radiallahu anhu, dan satu lagi adalah pembantunya. Alhasil Sayidina Ali radiallahu anhu yang juga Khalifah dan Kepala Negara tersebut tidak dapat membuktikan tuduhannya. Akhirnya hakim Syuraih menjatuhkan putusan bebas untuk si yahudi. Kepada Tuan Ali Mukartono yang Jampidsus itu, beta mau bertanya. Begini pertanyaan beta. Atas alasan apa tuan punya penyidik memeriksa itu anak mantan Dirjen Imigrasi? Ini anak tidak terungkap namanya dalam percakapan antara Jaksa Pinangki dan Anita, tetapi tuan Ali Mukartono punya penyidik tetap periksa Grace Veronica Sompie. Kenapa itu wahai Tuan Ali Mukartono? Tuan akan bilang karena penyidik punya data. Data apa itu Tuan Ali Mukartono? Pasti Tuan Ali bilang data aliran uang kan? Faktanya aliran uang adalah transaksi. Logiskah itu tuan? Kalau beli barang orang, ya harus dibayar dong. Caranya bisa melalui transfer. Soalnya adalah, darimana saja fakta duit-duit itu tuan dapatkan? Tuan dapati fakta itu, beta yakin, setelah tuan-tuan mengembangkan berbagai rumors di tengah masyarakat. Rumor itu intinya berputar pada kasus ini ada duit sekitar U$ 500.000 dolar. Setara dengan tujuh miliar rupiah. Ini yang menjadi dasar pengembangan penyidikan kan? Tuan Ali Mukartono, beta yakin Tuan itu sangat jujur. Tetapi beta tidak tahu apakah orang lain menertawakan keyakinan beta, apa ini benar atau tidak? Mengapa? Pengakuan mantan Jamintel Jan Samuel Maringka kepada Komisi Kejaksaan, itu merupakan pengembangan dari rumors bahwa ada petinggi Kejaksaan Agung berkomunikasi dengan Djoko Tjandra. Memang pengakuan Jan Maringka itu tidak diberikan kepada penyidik kasus Jaksa Pinangki. Pengakuan itu diberikan kepada Komisi Kejaksaan pada waktu mereka memeriksa Jan Maringka. Alhasil rumors-rumors dalam kasus ini, sebagian telah terverifikasi. Benar adanya, bukan hanya bualan. Begitu Tuan Ali Mukartono. Tuan Ali Mukartono, tuan itu kan hebat, dan top. Punya jabatan top. Masa tuan tidak mempunyai insting sebagai profesional? Apa Tuan Ali mau isoloasi orang tertentu di kasus ini? Sehingga tuan mengabaikan rumors itu? Beta mau pesan sama Tuan Ali, bahwa tuan musti tahu, Boyamin itu firm dengan datanya. Data itu dia serahkan ke KPK lho. Dia malah desak KPK periksa nama-nama itu. Dia tidaki main-main. Tetapi beta tidak heran. Itu karena petinggi korporasi yang akan ditanam saham untuk proyek Power Plant, kan juga tidak ditelusuri penyidik. Jadi lagi-lagi, beta tidak heran. Jaksa Agung, yang mantan Jamintel Jan Maringka sebut memberi perintah padanya untuk menemukan Djoko Tjandra, kan tidak Tuan periksa juga? Jadi betul-bertul beta tidak heran. Beta lebih tidak heran lagi. Karena respon Tuan yang beta nilai tidak logis itu, ternyata tidak ditegur oleh Jaksa Agung. Tuan Jaksa Agung juga tutup mulut saja. Mungkin saja Jaksa Agung ST. Burhanuddin malah senang, sehingga tidak mempertanyakan pernyataan Tuan Ali Mukartono yang beta nilai tidak logis itu. Tuan Jaksa Agung malah tidak punya suara sama sekali mengenai kasus ini. Beta anggap ini juga aneh. Penuh dengan tanda tanya (?????). Menurut beta, Tuan Jaksa Agung harus menegur Tuan Ali Mukartono, karena Jaksa Agung adalah penanggung jawab tertinggi segala hal-ihwal yang terjadi dalam penyidikan dan penuntutan. Penanggung jawab tertinggi itu, bahasa formalnya. Bahasa umum kan bilang bahwa Jaksa Agung adalah kompas bagi seluruh Kejaksaan. Nafas dia menjadi ruh Kejaksaan diseluruh republik ini. Dia menjadi orang paling top di dunia Kejaksaan. Malah dunia hukum. Ternyata cuma begini penampilannya. Payah juga Jaksa Agung saat dijabat oleh ST. Burhanuddin. Tuan ST. Burhanuddin dan Tuan Ali Mukartono, anda berdua kan hebat. Kasus Jaksa Pinangki itu segera disidangkan di pengadilan. Penyidikannya super kilat. Penelitiannya juga super kilat. Hueebaatt seekalee. Top dan markotop. Lebih markotop lagi kalau disidangkan bersamaan dengan tersangka yang adalah kader atau mantan kader Partai Nasdem Andi Irfan Jaya itu. Top deh. Hanya benginikah prestasi Jaksa Agung menangani kasus ini? Maaf akal sehat beta bilang tidak begitu. Ini kasus sebagai kasus gagal. Malah bisa dibilang sangat jorok, karena begitu banyak fakta yang tercecer. Yang logis tiak dijadikan titik tindak. Malh menjadi logis. Lebih jauh lagi dibiarkan begitu saja, dengn alasan fersi Tuan Ali Mukartono. Suka-suka Tuan Ali sajalah. Akhirnya beta mau tanya sama Tuan ST. Burhanuddin, Jaksa Agung yang mulia, dan boleh saja dijawab oleh Jampidsus Tuan Ali Mukartono. Apa pandangan Tuan Jaksa Agung terhadap temuan penyelidik Kepolisian bahwa Kebakaran di Gedung Kejaksaan Agung bukan karena korsleting listrik? Apakah itu kecorobohan dari kuntilanak atau gondoruwo? Apa kuntilanak dan gondoruwo bergentanyangan di gedung Kejaksaan Agung pada hari libur? Mana ada kuntilanak dan gondoruwo yang sehebat itu? Bisa punya akal dan kehendak dengan sangat sadar. Datang bergentayangan di gedung Kejaksaan Agung, tepat ketika Kejaksaan sedang membongkar kasus yang melibatkan orang Kejaksaan Agung? Apa kuntilanak dan gondoruwo juga punya akal dan kehendak mau mempersempit kasus ini? Ah kuntilanak dan gondoruwo mana yang tahu hukum. Penyidik Bareskrim Polri dibawa komando Sigit, jendral bintang tiga ini akan memastikannya. Akhirnya beta mau tanya kepada Tuan Jaksa Agung ST. Burhanuddin, kapan Tuan mundur? Masih bersambung. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Pak Presiden Kok Tiba-tiba Jadi Luhut?
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (19/09). Akhirnya Presiden Jokowi menurunkan Menko Marinvest Luhut B Panjaitan dalam palagan “perang” melawan Corona. Instruksinya jelas. Luhut, bersama Kepala BNPB Doni Monardo, diperintahkan menurunkan tingkat penularan Covid-19 di sembilan provinsi, termasuk DKI Jakarta. Waktu yang diberikan sangat pendek. Hanya dalam dua pekan. Jelas ini bukan tugas main-main. Mission imposible. Karena itu figur yang dipilih juga bukan figur orang atau pejabat biasa. Luhut selama ini dikenal sebagai tangan kanan dan pembantu utama Jokowi. Banyak yang menjulukinya sebagai super minister. Orang ketiga setelah Jokowi dan Wapres Ma’ruf. Bila dilihat dari peran dan kewenangannya, dia sesungguhnya jauh lebih penting dan lebih powerful dibandingkan dengan Ma’ruf. Perannya selama ini kira-kira seperti Perdana Menteri. RI-3! Tugas-tugas berat yang tidak bisa diselesaikan oleh menteri atau Menko lainnya, biasanya diserahkan ke Luhut. Sudah biasa bagi Luhut masuk ke sektor lain, di luar tugas pokok dan fungsinya sebagai Menko Marinvest. Luhut selalu menjadi andalan dan senjata pamungkas. Jadi penugasan yang disampaikan oleh Jokowi Selasa (15/9) sesungguhnya bisa dibilang sangat terlambat. Kok Luhut baru diturunkan setelah 10 bulan, atau setidaknya 6 bulan setelah Covid-19 membuat babak belur pemerintahan Jokowi. Dengan background Luhut, kita tidak perlu bahkan tidak boleh bertanya-tanya. Mengapa Luhut yang diturunkan. Kalau mau dicari-cari hubungannya, sebagai Menko Maritim dan Investasi, jelas posisi Luhut erat kaitannya dengan Covid-19. Virus ini berasal dari Cina. Dari seberang lautan (maritim). Dampaknya membuat investasi Indonesia babak belur. Covid-19 adalah masalah lautan dan investasi. Langsung Menggebrak Setelah mendapat mandat, Luhut langsung menggebrak. Bukan Covid-19 yang digebrak. Tapi lawan-lawan politik. Kritikus pemerintah. Dia minta agar tidak nyinyir. “Kami kerja kok. Kami juga punya otak, punya kekuatan dan tim yang bagus. Jadi, tidak usah merasa bahwa ini tidak bisa, Anda belum pernah dipekerjakan jadi tidak usah berkomentar kalau belum paham,” tegasnya. Gertakan model begini sangat khas Luhut. Sebagai perwira tinggi militer, etnis Batak pula, dia terbiasa bersuara keras. Bagi yang belum kenal gayanya, dijamin langsung mengkeret. Tapi apakah resep yang sama juga manjur dan bisa diterapkan ke Corona? Apakah virus made in China itu juga bakal mengkeret dan kabur setelah digertak Luhut? Dipilihnya Luhut, menunjukkan cara pikir dan pendekatan Jokowi terhadap virus tidak berubah. Dia tidak melihat masalah utama terus meningkatnya penyebaran Covid karena masalah kesehatan. Luhut berada dalam madzhab yang sama dengan Jokowi. Dia lebih khawatir ekonomi Indonesia ambyar karena Covid. Kali ini yang menjadi sasaran adalah disiplin masyarakat. Pemerintah menilai terus menyebarnya Covid-19 karena masyarakat tidak disiplin. Karena itu perlu diterapkan operasi penegakan hukum (yustisi) yang tegas. Polisi dan militer dilibatkan. Luhut sebagaimana kata seorang anggota DPR dari PDIP, lebih bisa berkoordinasi dengan para Pangdam dan Kapolda karena latar belakang militernya. Penugasan Luhut juga menunjukkan bahwa manajemen pemerintahan Jokowi benar-benar acakadut. Selalu berubah-ubah, tanpa pernah menyentuh persoalan utama. Sejak awal, jika benar Jokowi memahami bahwa masalah utama adalah kesehatan, maka seharusnya yang menjadi penanggung jawab Menkes Terawan. Kalau Menkes tidak mampu, dia tinggal diganti. Cari figur yang jauh lebih mampu, lebih memahami persoalan dibanding Terawan. Terawan hanya difungsikan sebentar, pada awal-awal pandemi bulan Maret. Karena kebijakan dan pernyataannya sering blunder, dia langsung diberangus. Tak boleh bicara. Peran itu kemudian diserahkan kepada Kepala BNPB Doni Monardo. Namun Doni lama-lama tampak frustrasi karena tidak mendapat kewenangan dan dukungan sepenuhnya. Tanggal 20 Juli peran Doni diamputasi. Posisinya diturunkan di bawah kendali Meneg BUMN Erick Thohir. Erick membawahi Satgas Pemulihan Ekonomi dan Satgas Kesehatan. Sementara Menko Perekonomian Airlangga Hartarto ditunjuk sebagai koordinatornya. Tiba-tiba saja sekarang Jokowi menunjuk Luhut dan Doni untuk menangani dan menurunkan tingkat penularan dan kematian akibat Covid-19 di sembilan provinsi. Keputusan itu mengingatkan kita pada pepatah lama “tiba masa, tiba akal.” Sebuah keputusan yang diambil secara tiba-tiba, tanpa pemikiran dan pertimbangan yang matang. Tiba-tiba saja mewanti-wanti para menterinya agar mendahulukan kesehatan. Ekonomi tidak akan berjalan bila kesehatan rakyat terganggu. Padahal sebelumnya Jokowi dengan bangga memuji sendiri kebijakannya tidak melakukan lockdown. Membuat ekonomi Indonesia lebih baik dibanding negara lain. Semua kebijakan, termasuk anggaran pemerintah, menunjukkan Jokowi lebih mengutamakan ekonomi ketimbang kesehatan. Tiba-tiba saja kita jadi kian tersadar, punya Presiden yang cara berpikir dan bertindaknya tiba-tiba. Ah seandainya saja tiba-tiba…………. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Bagi Jenderal Gatot, KAMI Tidak Punya Persneling Mundur
by Asyari Usman Jakarta FNN - Sabtu (19/09). Gatot Nurmantyo (GN) mengutip pepatah Melayu tentang ‘Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.” Ini yang dikatakan oleh mantan Panglima TNI itu ketika menyampaikan orasi pada acara peresmian pengurus Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Magelang, Jumat (18/9/2020). Pepatah di atas tidak main-main. Salah satu artinya adalah bahwa, bagi Pak GN, KAMI “tidak punya persneling mundur”. Secara kebetulan pula, Pak Jenderal mengucapkan ini di “kota tentara”. Di Magelang. Di sinilah, tepatnya di akademi militer Magelang, GN menjalani penempaan karakter dan mentalitas “tanpa persneling mundur” itu. Tidak ada istilah surut bagi tentara ketika langkah maju telah diayunkan. Pernyataan GN itu merupakan “stern warning” (peringatan keras). Istilah “stern warning” adalah frasa bahasa diplomasi yang terlembut ketika pihak yang mengeluarkan peringatan itu melihat situasi yang sangat berbahaya menunggu di depan. Para tokoh KAMI teleh mendeteksi dan mengidentifikasi bahaya yang mengancam Indonesia. Jenderal Gatot setuju. Ada ancaman desintegrasi bangsa. Ada ancaman terhadap eksistensi Pancasila. Bahkan, Pak Jenderal menyebutkan ada upaya dari satu kelompok besar yang ingin menghilangkan Pancasila sebagai dasar negara. Ancaman serius juga sedang terarah pada kedaulatan negara. Banyak tokoh bangsa yang merasa negara berserta sumber daya alamnya akan diserahkan kepada orang asing. Khususnya kepada China. Ini bisa terlihat dari pengistimewaan terhadap negara komunis itu. Dalam segala hal. Inilah salah satu ancaman yang nyata. Ancaman-ancaman tsb bersinergi kuat ketika negara berada di bawah kelola pemerintahan yang lemah. Di bawah pimpinan yang minus kapabilitas dan kapasitas. Segala macam ancaman itu diperparah oleh kondisi minus ekonomi. Karena itu, Pak GN menyediakan diri untuk ikut berjuang menyelamatkan Indonesia. Ketika para mantan jenderal lain memilih untuk diam, atau didiamkan dengan kenikmatan pribadi, Pak GN memilih untuk bersimbah keringat bersama para tokoh KAMI lainnya. Memilih untuk menghadapi banyak risiko ketimbang berpangku tangan. Pak GN tentu sadar betul tentang semua risiko perjuangan yang akan dihadapinya untuk menyelamatkan Indonesia. Jenderal “Tangkap Saya” ini siap menghadapi itu semua. Tentu sikap dan langkah GN membuat para penguasa sangat terganggu. Tapi, yang mengganggu bukan sembarang orang. Beliau, insyaAllah, bukan jenderal yang mudah ditipu dengan nasi goreng. Jalan KAMI bukanlah jalan orang-orang yang akan mengkhianati rakyat. Sebaliknya, KAMI akan memberikan pencerahan kepada rakyat tentang orang-orang yang sedang melakukan pengkhianatan terhadap bangsa, negara, kedaulatan, dan Pancasila. KAMI akan mengajak rakyat untuk ikut berjuang menghentikan pengkhianatan dan penzoliman. Jenderal Gatot akan tegak lurus bersama rakyat. Beliau tidak akan meluntur. Meskipun hari-hari ini para herder kekuasaan terus melengkingkan gonggongan untuk menakut-nakuti KAMI. Sebagai seorang tentara yang telah kenyang dengan intimidasi lawan tempur, kecil kemungkinan GN akan melangkah surut teratur. Apalagi beliau telah memberikan aba-aba bahwa KAMI tidak dilengkapi dengan persneling mundur. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
BPIP Segera Dibubarkan Saja
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Setelah penundaan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) maka Pemerintah mengajukan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Katanya sebagai pengganti RUU HIP. Namun hingga kini taidk jelas proses pembahasan RUU mana yang akan dilakukan. Semua masih mengambang. Sementara itu umat Islam dan juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah meminta, bahkan mendesak agar RUU HIP dicabut dari Pragram Legislasi Nasional (Prolegnas). Sedangkan RUU BPIP ditolak, sehingga BPIP juga sebaiknya dibubarkan saja. Tidak ada manfaatnya lagi. Hanya menghambur-hambirkan uang rakyat, ratusan miliar hingga triliun rupiah. Namun tidak jelas kerjanya apa? RUU BPIP meski disebut berbeda dengan RUU HIP, namun bila ditelaah sebenarnya substansinya masih tetap sama saja. Karenanya beralasan bahwa BPIP itu menjadi badan yang tidak diperlukan dan patut untuk segera dibubarkan. Ada enam alasan utama mengapa RUU BPIP harus ditolak, dan lembaga BPIP segera untuk dibubarkan : Pertama, RUU BPIP tidak masuk Prolegnas. Dengan demikian tidak menjadi agenda legislasi DPR RI. Bila alasannya hanya sekedar mengganti RUU HIP dengan adanya DIM dari Pemerintah, maka ini artinya Pemerintah yang mengajukan RUU jelas melanggar hukum. Adanya DIM memberi arti RUU HIP masih eksis dan tetap berlaku. Kedua, RUU BPIP menafsirkan Pancasila secara inkonsisten. Pada satu sisi, Pancasila disebut sebagai sesuai Pembukaan UUD 1945. NBamun di sisi lain, dalam konsideran a dan b mengaitkan dengan Pancasila Tanggal 1 Juni 1945. Asal-usul yang mesti dilestarikan dan dilanggengkan. Kepres Nomor 24 Tahun 2016 tentang hari lahir Pancasila dijadikan sebagai landasan. Ketiga, ketika Pancasila tanggal 1 Juni 1945 dijadikan sebagai landasan historis dan filosofis, maka Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 menjadi tulang-belulang yang berbungkus yuridis semata. RUU BPIP nyata-nyata telah membunuh Pancasila. Dengan jiwa kelahiran Pancasila tanggal 1 Juni 1945, maka masih melekat historika Trisila dan Ekasila. Keempat, ketika RUU BPIP yang hanya bermodal landasan yuridis, maka lahirnya pun menjadi cacat. Tidak memenuhi syarat yuridis. Mestinya UU dahulu baru Perpres. Ini terjadi terbalik, Justru Perpres dahulu baru UU. Disamping itu, anehnya lembaga BPIP yang sudah ada dan berjalan baru akan dibuat payung hukum berupa UU. Serba terbalik-balik. Kelima, tidak ada jaminan BPIP untuk tidak bergeser dari "pembina" Pancasila menjadi "penafsir" tunggal Pancasila. Bahkan dengan UU, maka BPIP mendapat legalitas sebagai "satu satunya" institusi yang dapat menafsirkan dan merumuskan hal-ihwal mengenai ideologi Pancasila. Keenam, BPIP menjadi konten juga dari RUU HIP yang terdahulu. RUU yang berbau komunis. Untuk itu, RUU BPIP tidak steril dari jiwa RUU HIP. Sebab HIP adalah akar dan BPIP itu hanya cabang. Kelahiran BPIP hanya untuk memperjelas misi RUU HIP yang gagal, karena ditolak umat Islam. Pemerintah dan DPR tidak boleh membuat kedua RUU mengambang, dan terus-meneru membodohi masyarakat. Karenanya pilihan terbaik adalah batalkan kedua RUU dan segera bubarkan saja BPIP. Keamanan dan kepastian hukum adalah prioritas. BPIP akan menjadi lembaga "trouble maker" bagi bangsa dan negara Indonesia. Lembaga yang "membina", tetapi sesungguhnya "mengacak-acak" Pancasila. Teringat dahulu PKI yang menyatakan "membela" Pancasila, tetapi realitanya justru "menghianati" Pancasila. Sejarah tak boleh terulang. Ingat itu baik-baik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Presiden Yang Hobinya Hipokrisi
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Sabtu (19/09). Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta yang semula akan berlangsung ketat berujung pada PSBB kompromistis non-total. Berdasar data terpercaya, Gubernur DKI Anies Basweda dan sejumlah pakar pandemi berkesimpulan, PSBB ketat harus segera berlaku, agar transmisi Cocid-19 yang naik 25% dalam dua minggu pertama September 2020 dapat ditekan. Anies bertambah confident menerapkan PSBB total karena yakin dengan sikap Presiden Jokowi yang menguatamakan kesehatan dibanding ekonomi. "Kesehatan yang baik akan menjadikan ekonomi kita baik. Artinya fokus kita tetap nomor satu adalah kesehatan," kata Jokowi di Istana Negara (7/9/2020). Tweets Presiden Jokowi “agar ekonomi kita baik, kesehatan harus baik. Ini artinya, fokus utama pemerintah dalam penanganan pandemi corona adalah kesehatan, dan keselamatan masyarakat. Jangan sampai urusan kesehatan ini belum tertangani dengan baik, namun kita sudah merestart ekonomi. Masalah kesehatan harus tetap nomor satu". Ternyata rencana Anies diprotes sejumlah menteri Jokowi. Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto rencana PSBB Anies menjadi penyebab turunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Menteri Perdagangan Agus Suparmanto bilang PSBB Jakarta menghalangi distribusi logistik yang bisa menghancurkan PDB. Sedangkan Menteri Perindustrian Agus G. Kartasasmita sebut PSBB dapat menghancurkan industri manufaktur yang tengah menggeliat. Sikap ketiga menteri yang pro ekonomi itu, ternyata dibiarkan saja oleh Presiden Jokowi. Karena pada dasarnya itulah sikap asli Presiden. Terbukti, tiga hari berselang, Presiden Jokowi mengatakan agar kepala daerah berhati-hati dalam menetapkan PSBB. Katanya, banyak aspek terkait, misalnya kondisi sosial dan ekonomi yang bisa terdampak akibat PSBB. Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM) atau komunitas lebih efektif diterapkan untuk disiplin protokol kesehatan dibanding PSBB total. Akibatnya, publik bertanya-tanya, mengapa Presiden cepat berubah? Presiden inkonsisten? Padahal, jika punya ingatan kuat, mereka tidak perlu banyak tanya. Selama ini memang demikian sikap kepala negara kita. Inkonsisten, lain kata dengan perbuatan atau hipokrit. Rakyat harusnya sudah terlatih untuk tidak lagi terkecoh akibat sudah seringnya hipokrisi Presiden terjadi. Terlepas dari itu, kita berharap semoga saja angka positif korona menurun. Hipokrisi terkait kororna itu pernah sekitar April-Mei 2020. Pemerintah pernah mengizinkan moda transportasi umum untuk beroperasi. Padahal sebelumnya dilarang, karena berhubungan dengan zona merah. Mudik dilarang, tetapi pulang kampung boleh. Begitu juga penerbangan domestik dilarang, tetapi penerbangan internasional dibolehkan. Kedatangan orang asing dilarang, tetapi Tenaga Kerja Asing dari Cina boleh masuk. Ujungnya, angka positif korona terus meningkat. Sekarang baru nyaho kan? Terkait pemberantasan korupsi, Jokowi bilang akan konsisten memberantas korupsi. Sikap ini sesuai janji kampanye Pilpres-2014 dan Pilpres-2019. Namun pada sisi hipokritnya, revisi UU KPK justru didukung. Akibatnya wewenang KPK diberangus, maka para terduga koruptor kakap lolos jerat hukum. Upaya pemberantasan korupsi justru mengalami langkah mundur. Ujung-ujungnya, korupsi semakin merajalela.Lihat saja yang terjadi pada kasus-kasus korupsi Jiwasraya, Asabri, Meikarta, dan Djoko Tjandara. Beginilah Presiden kita ini. Pagi tempe, namun sore sudah dele lagi. Pada 29 Mei 2017, Jokowi dengan heroik mengatakan, "Pancasila itu jiwa dan raga kita. Perekat keutuhan bangsa dan negara. Saya Jokowi, saya Indonesia, saya Pancasila". Ternyata pernyataan tersebut hanya slogan kosong. Lagi-lagi Presiden bersikap hipokrit. Lihat saja sila ke-5 Pancasila yang mengamanatkan keadilan sosial atas sumber daya alam milik negara bagi kemakmuran rakyat. Perintah konstitusi ini sesuai Pasal 33 UUD 1945. Namun justru dikangkangi dengan disahkannya UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020. Perampokan dan dominasi kelompok oligarkis, korporasi dan konglomerasi atas SDA rakyat akan terus berlanjut. Pancasila mengandung ajaran moral dan musyawarah. UUD 1945 menjadi dasar perumusan Indonesia sebagai negara hukum, persamaan warga negara di depan hukum dan tidak adanya tempat bagi pemerintahan yang otoriter. Ternyata Perppu Nomor 1 atau UU Nomor 2/2020 tentang Korona justru mengangkangi dasar negara dan amanat konstitusi. Pemerintahan Jokowi justru memberangus hak budget rakyat melalui DPR (lihat Pasal 2 UU Nomor 2/2020). Begitu juga eksekutif mendapat status kebal hukum (lihat Pasal 27), dan semakin otoriter dengan dieliminasinya sejumlah ketentuan dalam 12 UU yang berlaku (Pasal 28). Pasal 28 UU Korona Nomor 2/2020 dengan sadis menghapus berbagai UU yang disusun sebagai amanat reformasi, yakni UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia, UU Nomor 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), UU Nomor 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Semua UU ini dipersiapkan sebagai payung hukum dalam rangka mencegah perampokan uang rakyat oleh para taipan dan konglomerat seperti terjadi pada megaskandal BLBI dan Obligasi Rekapitalisasi. Megskandal BLBI ini mewariskan utang Rp 645 triliun bagi rakyat. Lalu, Pancasila mana yang dimaksud Jokowi? Inilah bukti lain tentang sikap hipokrit itu Saat menyambut kemenangan sengketa Pilpres 2019 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (27/6/2020), Jokowi mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu kembali. Bersama-sama membangun Indonesia. Katanya, tidak ada lagi 01 dan 02. Yang ada hanyalah persatuan Indonesia. Disampaikan, presiden dan wakil presiden terpilih adalah presiden dan wakil presiden bagi seluruh anak bangsa. Untuk seluruh rakyat Indonesia. Ternyata “pidato” rekonsiliasi tersebut hanya basa-basi bernuansa hipokrit. Sambil terus memainkan isu-isu radikalisme, intoleran, anti kebinnekaan dan anti Pancasila, anak bangsa terus dibelah dan terbelah. Bahkan pemerintah Saudi Arabia pun “dipengaruhi” untuk mencegah kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) ke Indonesia. HRS dicegah keluar Arab Saudi atas permintaan “satu pihak” dari Indonesia. Saat yang sama, sejumlah Menko dan petinggi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf ramai-ramai menyuarakan HRS pergi atas keinginan sendiri. Masih terjerat banyak kasus. Melanggar aturan overstay, dan terkena denda. Jokowi yang mengaku Presiden seluruh rakyat dan ingin rekonsiliasi. Namun terbukti diam saja terhadap fitnah dan manipulasi tentang kasus HRS yang disuarakan para Menko dan TKN. Terus dihalanginya kepulangan HRS hingga saat ini, sebagai sandiwara dan sikap hipokrit pemerintah yang memang nyata adanya. Sikap yang ironis dan memalukan. Gara-gara pandemi Covid-19, masyarakat global mengenal istilah baru yaitu new normal. Tatanan, kebiasaan dan perilaku hidup baru berbasis pada adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat. Agar dapat bertahan hidup, masyarakat bangsa-bangsa di dunia perlu menyesuaikan diri dengan budaya hidup baru. Kenormalan baru, terutama dalam bidang kesehatan, sosial dan ekonomi. Sebelum Covid-19 mewabah, di bawah kepemimipinan Presiden Jokowi, sebagian rakyat Indonesia telah hidup dalam suasana pelanggaran norma moral dan hukum. Kondisi ini berlangsung rutin. Berulang dan semakin menjadi-jadi dalam berbagai aspek kehidupan. Perlahan, sebagian rakyat telah beradaptasi, sehingga kondisi ini menjelma menjadi kebiasaan berbangsa dan bernegara yang baru, new normal. Bangsa ini digiring untuk biasa hidup di tengah pemerintahan yang semakin otoriter, inkonstitusional, inkonsisten atau hipokrit. Anda-anda para tokoh, aktivis, cerdik-pandai, kaum terdidik, pemimpin partai dan para mahasiswa hanya pasrah menunggu nasib? Penulis adalah Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
BI Rate Bisa Rugikan Rakyat Rp 250 Triliun/Tahun
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) tanggaL 16 dan 17 September 2020 akhirnya memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) 4 persen. Salah satu alasannya untuk “mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah inflasi yang diperkirakan tetap rendah”. Padahal, suku bunga acuan 4 persen itu sudah termasuk tinggi. Bisa menghambat pemulihan ekonomi nasional. Karena kebijakan moneter yang seharusnya dilakukan di tengah resesi ekonomi adalah menurunkan suku bunga acuan dan suku bunga kredit. Tujuannya untuk membangkitkan permintaan, konsumsi dan investasi. Juga untuk membangkitkan ekonomi nasional. Alasan BI mempertahankan suku bunga acuan 4 persen sangat aneh. Malah ajaib. Sebab inflasi yang diperkirakan rendah, tetapi suku bunga tidak diturunkan. Karena mau menjaga stabilitas nilai tukar? Artinya, kebijakan moneter Bank Indonesia sekarang ini lebih mengutamakan dan menjaga “stabilitas” rupiah, dari pada upaya pemulihan ekonomi. Padahal, pemulihan ekonomi sangat penting, karena dibutuhkan oleh rakyat. Pemulihan ekonomi misalnya, dapat menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja baru. Juga dapat mengurangi kemiskinan. Sedangkan stabilitas rupiah untuk kepentingan siapa? Kebijakan moneter BI memang sangat dilematis. Kalau BI menurunkan suku bunga, maka pemulihan ekonomi akan lebih cepat terealisasi. Dan kebijakan penurunan suku bunga ini yang diharapkan rakyat. Kebijakan yang memang berpihak pada kepentingan rakyat. Dilematis, karena penurunan suku bunga acuan akan diikuti penurunan suku bunga kredit, termasuk suku bunga obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN). Penurunan suku bunga SBN bisa membuat investor menarik diri. Khususnya investor asing. SBN menjadi kurang diminati. Investor asing mungkin lebih memilih obligasi negara lain. Misalnya Vietnam, Thailand, Singapore, atau Malaysia. Hengkangnya investor asing membuat supply dolar (mata uang asing) ke Indonesia turun. Ada tiga kelompok kebutuhan dolar dari Indonesia. Pertama, kebutuhan untuk membiayai defisit transaksi berjalan. Kedua, Kebutuhan untuk membayar utang luar negeri (pemerintah dan swasta) yang jatuh tempo. Ketiga, kebutuhan untuk membayar utang luar negeri (pemerintah dan swasta) yang belum jatuh tempo, tetapi dicairkan investor bersangkutan melalui pasar obligasi. Defisit transaksi berjalan tahun 2019 sekitar U$ 30 miliar dolar. Defisit ini turun di masa pandemi 2020. Karena impor turun tajam. Kondisi ini membuat neraca perdagangan mengalami surplus yang cukup besar. Defisit transaksi berjalan pada Semester I/2020 U$ 6,6 miliar dolar. Kalau defisit ini berlanjut di semester II/2020, maka kebutuhan dolar hingga akhir tahun diperkirakan minimal U$ 5 miliar dolar. Total Utang Luar Negeri (ULN) pada 31 Desember 2019 yang akan jatuh tempo pada tahun 2020 U$ 63,3 miliar dolar. Terdiri dari utang pemerintah (dan Bank Indonesia) U$ 11,25 miliar dolar, dan utang swasta (termasuk BUMN) U$ 52,06 miliar dolar. Jumlah ini belum termasuk pembayaran bunga. Kelompok ketiga lebih berbahaya karena tidak terukur. Ketika asing tidak tertarik lagi memberi pinjaman ke Indonesia, misalnya karena suku bunga dianggap rendah, dan asing menjual obligasinya, maka kurs rupiah mengalami tekanan dan akan anjlok. Seperti terjadi pada akhir Maret 2020 lalu, dimana kurs rupiah di pasar spot sempat mencapai Rp17.000 per dolar Amerika. Untuk menjaga agar investor terus tertarik memberi pinjaman ke Indonesia, dan untuk menutupi kebutuhan dolar yang membesar tersebut, maka Bank Indonesia harus mempertahankan suku bunga yang tinggi. Tragisnya, kebijakan Bank Indonesia ini akan membuat ekonomi tidak bergerak. Selain itu, hanya menguntungkan investor luar negeri. Dilematis, karena suku bunga tinggi akan menghambat pemulihan ekonomi nasional. Juga merugikan perusahaan dan nasabah perorangan yang mempunyai pinjaman dalam rupiah. Total kredit dalam rupiah mencapai Rp 5.000 triliun lebih, termasuk perusahaan pembiayaan. Dari jumlah total kredir tersebut, kredit konsumsi mencapai Rp 1.600 triliun. Kelompok peminjam rupiah ini sangat dirugikan dengan kebijakan moneter yang mempertahankan suku bunga tinggi. Sebab notabene hanya untuk menguntungkan investor asing. Setiap penurunan 1 persen bunga kredit, akan memberi tambahan likuiditas Rp 50 triliun per tahun kepada kelompok peminjam rupiah. Penurunan bunga kredit yang ideal dan seharusnya di masa resesi seperti ini bisa mencapai 5 persen dibandingkan bunga kredit yang berlaku sekarang. Sehingga potensi kerugian masyarakat mencapai Rp 250 triliun per tahun. Kerugian mempertahankan suku bunga acuan jauh melampaui bantuan stimulus fiskal. Sehingga, menghambat pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan moneter saat ini tersandera dengan kondisi ekonomi yang lemah. Defisit transaksi berjalan yang akut dan ULN yang besar. Bank Indonesia lebih memilih mempertahankan stabilitas rupiah yang menguntungkan investor asing. Juga merugikan masyarakat. Sebab meskipun kebijakan ini berpotensi menghambat pemulihan ekonomi nasional serta merugikan peminjam dalam rupiah di dalam negeri. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
Kodok Peking Yang Mulut Comberan
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Mantan narapidana kasus penista Agama Ahok tidak berubah. Dia masih asal ngomong (asmong). Ngomong asal tanpa kendali. Bahaaa kerennya Ahok “asal negbacot”. Kata Ahok, “kalau saya Dirut Pertamina, kadrun demo mau bikin gaduh". Kadrun adalah panggilan untuk "kadal gurun" yang mengarah kepada umat Islam. Atau konteks Ahok mungkin saja peserta aksi demonstrasi 411 dan 212 yang telah berhasil "memenjarakan" Ahok, dan membrikan label “penista Agama”. Kadrun dinilai sebagai panggilan yang rasialis Ahok. Mereka yang biasa menjuluki kadrun adalah para Kodok Peking (Doking). Mereka itu pengabdi negara Cina di Indonesia. Meraka juga Islamophobis, serta agen yang hanya bisa berlindung di ketiak kekuasaan. Sebenarnya Ahok tak pantas menjadi pejabat apapun di negeri ini. Disamping kinerjanya yang memang sangat buruk, juga ngomongnya gede selangit. Ngebacotnya itu yang terlalu ketinggian. Ahok sulit untuk bisa memperbaiki karakter sompral bawaannya. Akibatnya, Ahok suka menciptakan kegaduhan di masyarakat. Karakter bawaan yang sangat tidak pantas dan layah untuk menyandang jabatan sekelas Komisaris Utama Pertamina. Komisaris Utama kok membongkar dapur Pertamina sendiri? Bukan itu saja. Malah menyeret-nyeret Menteri segala. Ahok memang sok jago, sok kuasa, dan sok paling bersih. Peran Komisaris itu bukan marah-marah atau berkeluh kesah. Bukan juga membongkar dapur sendiri Yang utama dan mesti dilakukan Ahok adalah membenahi dengan membuat langkah konkrit sesuai kewenangan sebagai Komisaris Utama Pertamkina. Apalagi cuma bisa teriak-teriak bahwa kadrun kadrunan dengan rasa yang penuh sentimen. Mau ngomong bersih bersih. Padahal orang juga sudah tahu kalau sapunya “kagak bersih”. Bahkan sangat kotor sapunya. Gaji gede, namun prestasi kerja tidak jelas dan kabur. Orang yang buruk track record begini bisa ditempatkan di Pertamina, Komisaris Utama lagi? Yang menempatkan Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina kemungkinan juga sudah mati rasa. Sikap masyarakat yang sangat keras menolak Ahok dengan berprilaku buruk, sudah tidak lagi diiandahkan pemerintah. Pemerintah menutup mata saja dengan semua prilaku Ahok. Tahun 2020, Pertamina mengalami kerugian sampai Rp 11,3 triliun. Kerugian itu terjadi pada saat Pertamina di bawah kendalinya Ahok. Padahal sebelumnya Ahok sesumbar kepada publik, “kalau Pertamina itu tidur saja masih bisa untung”. Faktanya Pertamina mengalami kerugian besar. Padahal keuntungan yang didapat Pertamina dari hasil memeras rakyat, melalui penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) sekitar Rp 60 triliun rupiah. Pemerasan dilakukan Pertamina sejak awal tahun sampai sekarang. Semua negara tentangga seperti Malaysia, Thailand, Philipina dan Vietnam sudah menunrunkan harga jual BBM di dalam negeri. Namun tidak untuk Pertamina Kalau sudah begini kondisinya, Presiden Jokowi juga harus ikut bertanggungjawab. Karena Ahok adalah kroni terdekat Presiden Jokowi. Publik sudah sangat mengetahui dan faham soal kedekatan Ahok dengan Presiden Jokowi tersebut. Tanpa campur tangan Presiden Jokowi, tidak bakalan Ahok menjadi Komisaris Utama Pertamina. Para doking si Kodok Peking selalu menyebut pihak yang kritis pada kebijakan pemerintah sebagai kadrun. Mereka bisa buzzer, bisa pula influencer. Seperti Kodok Peking asli yang melompat sana sini. Mereka mencari makan dari semak semak ke semak lain. Bersuara pun berisik melulu. Wahai para Kodok Peking, jangan lecehkan umat. Kalian telah banyak menikmati hasil tanah dan air bangsa ini. Menguras dan menguasai. Saatnya untuk lebih tahu diri dan berterimakasih. Bukan dengan petantang petenteng sok kaya dan sok kuasa. Pribumi telah lama disakiti. Kini saatnya bangkit. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Perlukah Pam Swakarsa?
by Anton Permana Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Dikeluarkannya Peraturan Kapolri nomor 4 Tahun 2020 tentang Pam Swakarsa ini cukup menarik perhatian publik. Karena, dalam memori publik istilah "Pam Swakarsa" adalah pasukan era orde baru yang dibentuk dengan tujuan 'insurgency' (pertahanan negara) bagian dari tugas-tugas TNI AD. Sementara itu, di masa awal reformasi sempat menjadi sasaran pro dan kontra tentang keberadaan Pam Swakarsa. Yang pro mengatakan, pasukan Pam Swakarsa ini adalah strategi pembinaan teritorial ABRI (TNI hari ini) pada penggalangan masyarakat sipil. Ketika itu, dalam menggalang partisipasi rakyat untuk menangkal upaya mobilisasi masyarakat, khususnya mahasiswa. Ketika itu, mahasiswa ditenggarai sudah diboncengi "gerakan kiri ekstrim" ( PKI dan simpatisannya) untuk menggulingkan pemerintah. Artinya, membuat pasukan sipil untuk menghadapi sipil. Dan ini murni konsep perperangan anti gerilya dalam dimensi pertahanan. Atau dalam istilah Wikipedia, kelompok sipil bersenjata tajam yang dibentuk ABRI yang menolak Sidang Istimewa (SI) MPR. Karena image ABRI saat itu memerlukan kekuatan pendukung untuk menangkal isu pelanggaran HAM. Bagi yang kontra, Pam Swakarsa ini dianggap melanggar HAM. Perbuatan melawan hukum dengan mengadu domba sesama masyarakat. Bertentangan dengan prinsip negara demokrasi. Berbagai kecaman muncul, baik dari dalam negeri dan luar negeri. Hal ini karena sesungguhnya dari kelompok kotran ini, penilaian Pam Swakarsa berasal dari posisi yang anti tesis dengan tujuan awal. Namanya sudah berbeda pandangan, maka akan sulit disamakan. Oleh sebab itu, publik tentu perlu penjelasan yang lebih jelas dan tegas. Untuk apa ujug-ujug di era reformasi ini, pemerintah khususnya melalui Polri perlu membentuk Pam Swakarsa ini kembali ? Jika negara pada masa Orde Baru sangat jelas meletakkan tujuannya dalam wilayah pertahanan. Bagaimana dengan era reformasi sekarang? Secara pribadi saya yakin, Kapolri Jendral Idham Azis tentu punya maksud baik dan strategi tertentu. Sehingga beliau mengeluarkan Peraturan Kapolri yang ditandatanganinya tanggal 5 Agustus 2020 kemaren. Tetapi hal ini, apakah hal ini telah dikonsultasikan dahulu dengan pihak Menkopolhukam, Kementrian Pertahanan bahkan TNI AD ? yang secara doktrin memiliki aspek pembinaan perlawanan wilayah atau ketahanan wilayah? Juga dikonsultasikan dengan para akademisi dan pakar-pakar? Dikonsultasikan dengan mereka yang selama ini telah banyak memberikan bantuannya untuk menegakkan pembangunan dan menjunjung demokrasi di era reformasi. Agar tidak terjadi "distorsi pemahaman" ? Jika ingin mengatakan nantinya bahwa tidak ada pihak yang salah dalam hal ini, Polri sebagai institusi yang bertanggung jawab tentang Kamtibmas pasti punya alasan untuk itu. Begitu juga masyarakat civil society. Tentu perlu juga penjelasan yang lebih jelas dan rinci dari pihak yang berwenang agar tidak menimbulkan keraguan dan kecurigaan yang tidak perlu. Untuk era digital sekarang, yang rentan terjadi "miss-understanding", penjelasan itu sangat diperlukan. Adapun beberapa pendapat yang saya tangkap di tengah masyarakat terkait dengan Pam Swakarsa tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, masyarakat tentu perlu mengetahui apa permasalahan paling substansial dari pembentukan Pam Swakarsa ini? Karena, ada yang berpendapat kenapa tidak memanfaatkan begitu banyak organisasi massa berbasis bela negara yang sudah ada saja? Yang setidaknya sudah mendapatkan pelatihan disiplin dan dasar-dasar militer dan keamanan. Misalnya FKPPI, PPM, Pemuda Pancasila, Laskar Merah Putih, HIPAKAD, KBP3, GBN, atau ormas yang tergabung dalam KNPI. Yang paling terakhir gerakan kader belanegara yang digagas oleh Jenderal Ryamizard (2015) saat menjabat Menhan? Padahal gagasan Ryamizard telah menghabiskan anggaran tidak kecil, dan para kadernya pun saat ini masih menunggu-nunggu kelanjutannya. Selain pemberdayaan wilayah pertahanan adalah tugas TNI, Organisasi Kemasyarakatan (Oramas) ini tentu sudah familiar dengan masyarakat. Saya yakin, para Ormas ini akan senang apabila mendapat kepercayaan dari pemerintah, khususnya kerjasama dengan komponen utama Pertahanan. Kedua, perlu juga dijelaskan, apa saja tugas pokok dan fungsi Pam Swakarsa ini? Apakah dibentuk untuk sementara dalam menangani PSBB pandemi covid19 saja? atau untuk permanen? Tentu perlu analisa serta jaminan bahwa pasukan Pam Swakarsa ini tidak akan disalahgunakan, yang akan menimbulkan konflik baru sesama masyarakat. Untuk itu diperlukan kejelasan batas waktunya. Karena tidak ada dasar hukum acuan dalam KUHP atas pembentukan Pan Swakarsa ini. Dimana bisa memangun sekelompok masyarkat tertentu dalam penegakan hukum. Atau setidaknya perlu terminologi nama lain dalam penyebutannya. Setidaknya dapat menjawab serta meyakinkan para pihak yang meragukan efektifitas, dan ketakutan penyalahgunaan pembentukan pasukan ala semi-milisi ini. Ketiga, perlu juga dijelaskan, apa spesifikasi dari persyaratan untuk menjadi anggota Pam Swakarsa ini? Karena banyak yang meragukan seberapa disiplin dan proteksi dari penyalahgunaan kewenangan di lapangan nantinya. Tentu yang dapat merugikan nama baik institusi kepolisian itu sendiri. Apakah "Preman" bisa masuk kategori Pam Swakarsa juga? Keempat, TNI sebagai alat pertahanan negara dan komponen utama negara, mempunyai juga binaan komponen cadangan. Komponen yang terlatih disamping sebagai kader bela negara. Yang sengaja dibentuk melalui UU PSDN Nomor 23 tahun 2019. Apakah ini sama atau berbeda? Atau timbul pertanyaan, kenapa tak bersinergi dengan TNI saja, kalau memang membutuhkan bantuan personil ? Kelima, bumi nusantara ini sangat beragam. Baik dari segi Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) dan kultur budaya. Pendekatan kultur budaya kepada masyarakat lebih baik dari pada pendekatan struktural pemerintahan. Apalagi kalau hal itu terkait dengan upaya penegakan budaya dan prilaku. Memanfaatkan ketokohan agama, tokoh adat, serta kearifan lokal setempat akan lebih baik dan efektif. Di dalam Perkap Kapolri tersebut, memang ada disebutkan bahwa anggota Pam Swakarsa ini bisa diambil dari kelompok pranata sosial kearifan lokal. Namun ini tentu perlu dijelaskan dan ditegaskan, apakah itu lembaga yang sudah ada diberdayakan? Atau membentuk yang baru? Kenapa hal ini diperlukan? Untuk menjawab keraguan dan asumsi negatif dari beberapa pengamat dan akademisi, yang ragu kalau ujungnya Pam Swakarsa . Karena nama ini rentan menimbulkan gesekan baru sesama masyarakat, bahkan dengan aparat TNI. Secara psikologis, pembentukan Pam Swakarsa ini juga bisa menimbulkan keluar image di mata publik internasional dan nasional. Bahwa pemerintah Indonesia hari ini seakan-akan ada "gap distrosi" (tidak harmonis) yang begitu dalam dengan rakyatnya sendiri. Sehingga perlu membentuk Pam Swakarsa, yang kalau dalam kaca mata internasional bisa diasumsikan sama dengan pasukan milisi. Wajar berbagai keraguan dan pertanyaan kritis keluar dari masyarakat, mengingat negara kita selama ini selalu menggaungkan sebagai negara demokrasi. Negara Pancasila dengan semangat persatuan Gotong Royong yang sangat hebat dan kuat. Namun, tetap saja masih mau menggunakan pola yang dulu di akhir Orde Baru banyak dikecam dan dicap negatif. Apakah ini tidak bertentangan juga dengan semangat reformasi? Ataukah hendak mengatakan bahwa Orde Baru itu benar adanya dan ingin kembali lagi? Kita berharap, semua keraguan dan kegelisahan negatif itu tidak terjadi. Semoga pemerintah, melalui Menko Polhukam sudah menganalisa semua ini dengan seksama. Sebagai masyarakat sipil, kita semua pasti mendukung program Pam Swakarsa kalau memang ditujukan untuk mengayomi, melayani, dan melindungi masyarakat. Agar tentram dan damai di tengah pandemic Covid-19 ini. insya Allah. Jawab keraguan ini. Salam Indonesia Jaya. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.