OPINI
Prof. Malik Fadjar, M.Sc. Berpulang, Selamat Jalan
by Imam Abdan Tegal FNN - Senin (07/09). KETUA Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof. Dr. (H.C.) Drs. H. Abdul Malik Fadjar, M.Sc. berpulang di usia 81 tahun. Rektor UMM periode 1983-2000 ini menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 19.00 WIB di Rumah Sakit Mayapada, Kuningan, Jakarta Selatan. Kabar meninggalnya Prof. Malik Fadjar itu dibenarkan pihak UMM pada Senin (7/9) malam melalui siaran resminya. Abdul Malik Fadjar lahir di Yogyakarta pada 22 Februari 1939. Ia dikenal sebagai tokoh bangsa yang sangat peduli pada dunia pendidikan. Sebagai anak seorang guru yang juga aktivis Muhammadiyah, Malik Fadjar adalah sosok yang mewarisi jiwa aktivisme dan kepemimpinan ayahnya, Fadjar Martodiharjo yang di kalangan Muhammadiyah dikenal sebagai tokoh yang bijaksana dan mengayomi. Darah guru terbukti menancap kuat dalam dirinya, terutama sejak ia menjadi guru agama di daerah terpencil di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 1959, yaitu Sekolah Rakyat Negeri (SRN) Taliwang. Selanjutnya, perjalanan hidupnya tak pernah lepas dari dunia pengajaran dan pendidikan. Selepas dari SRN Taliwang, ia berturut-turut kemudian mengajar di Sekolah Guru Bantu (SGB) Negeri dan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Sumbawa Besar NTB pada rentang 1960-1963, dosen Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang pada 1972, dosen dan dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) hingga 1983, dan kemudian menjadi rektor di dua kampus, yaitu di UMM pada 1983-2000 dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada 1994-1995. Selama puluhan tahun menjadi guru di Muhammadiyah, ia tak sekadar menjadi seorang pendidik, tapi juga berkontribusi besar membangun sekolah-sekolah Muhammadiyah dan perpustakaan desa di daerah Yogyakarta dan Magelang. Kesuksesannya dalam mengembangkan pendidikan, terutama pendidikan Islam, membuat namanya kian disegani dalam dunia pendidikan Indonesia. Terlebih, ia mampu membawa UMM yang semula tak begitu dipandang menjadi kampus yang amat disegani dalam konteks nasional bahkan internasional. Hal itu membuatnya dipercaya sebagai Menteri Agama di era Presiden BJ Habibie pada 1998-1999 dan Menteri Pendidikan Nasional di era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri 2001-2004. Bahkan, ia juga sempat menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) ad-interim menggantikan Jusuf Kalla yang ketika itu mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pemilu 2004. Di samping itu, Malik juga aktif di Ikatan Cendekiwan Muslim Indonesia (ICMI) dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS). Jati diri Malik Fadjar sebagai seorang pendidik, begitu pula karakter kepemimpinannya yang memiliki pengaruh demikian besar itu tidak terjadi begitu saja. Dari riwayat pendidikannya, terlihat bahwa ia memang memiliki passion yang amat besar untuk menjadi seorang guru. Malik memulai pendidikannya di SRN Pangenan Kertoyudan, Magelang, Jawa Tengah pada 1947. Ia selanjutnya bersekolah di Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri (PGAPN) Magelang pada 1953 dan Pendidikan Guru Agama Atas Negeri (PGAAN) Yogyakarta pada 1957. Ia kemudian kuliah di IAIN Sunan Ampel Malang pada 1963 dan meraih gelar Sarjana Pendidikan Kemasyarakatan Islam pada 1972. Tujuh tahun setelahnya, yaitu pada 1979, ia melanjutkan studinya di Florida State University, Amerika Serikat, dan meraih gelar Master of Science di bidang pengembangan pendidikan pada 1981. Kepakarannya di bidang pendidikan kian lengkap setelah Malik dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel pada 1995. Kemudian pada 2001, Malik mendapat gelar kehormatan Doktor Honoris Causa di bidang kependidikan Islam dari Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak perlu diragukan lagi, pada diri tokoh pendidikan yang tak pernah berhenti berkarya ini, mengalir darah guru dan darah Muhammadiyah, demikian ungkap Anwar Hudijono, penulis perjalanan hidup Malik Fadjar. Sungguh lengkap kiprah Malik Fadjar, mulai dari praktisi pendidikan paling dasar, birokrat pendidikan, hingga cendekiawan Muslim yang senantiasa berpikir soal kemajuan bangsanya. Ibarat pena, Malik Fadjar adalah tinta yang tak pernah habis. Guru adalah jiwanya. Penghayatan terhadap filosofi guru menjadikannya seorang guru yang sebenar-benarnya guru, hingga menjadi Menteri para Guru (Mendiknas). Gugur lagi bunga persyarikatan ke bumi. Baunya semerbak mewangi, Aromanya menebar ke pelosok negeri Semua tersentak, merasa kehilangan, bunga yang satu ini. Sumbangan pemikiran & ilmunya tak diragukan lagi, Kiprahnya di dunia pendidikan patut diteladani, Selamat jalan Prof. Abdul Malik Fajar, Do'a tulus dari kami, Semoga Allah Rabbul Izati mengampuni & menerima amal sholeh yang menetes sepanjang hayatmu. Penulis adalah Guru SMA di Tegal.
MUI Diobok-Obok, Sekjen Ancam Mundur
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (07/09). Muballigh akan disertifikasi. Wacana ini berasal dari Menteri Agama. Luar biasa dan sangat serius. Pro dan kontra muncul. Menteri Agama Farul Rozi nggak peduli. Rencana jalan terus. Kabarnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan dilibatkan dalam program sertifikasi muballigh versi Menteri Agama ini. Apakah MUI setuju? MUI belum ambil keputusan. Apakah terima tawaran untuk terlibat, atau tidak? Sampai sekarang belum ada pernyataan resmi. Namun mendadak, Sekretaris Jenral (Sekjen) MUI, Anwar Abbas meradang. Sekjen membuat pernyataan yang mengejutkan. Jika sertifikasi muballigh ini diberlakukan, Sekjen MUI, Anwar Abbas akan mengambil sikap yang tegas, yaitu mundur. Anwar Abbas membuat surat pernyataan yang diposting di salah satu group WA. Pernyataan Anwar Abbas pun viral. Dan sejumlah media membicarakannya. Kenapa pernyataan Sekjen Anwar Abas mesti diposting keluar? Kenapa tidak dibicarakan saja dulu di internal MUI saja? Apakah bijak membuat pernyataan mundur dengan memviralkannya di luar MUI? Pernyataan Anwar Abbas yang diposting keluar seolah memberi petunjuk bahwa MUI tak satu suara soal "project" sertifikasi muballigh. Ini juga seolah memberi informasi bahwa di MUI sedang menguat kelompok yang setuju dan menerima rencana sertifikasi muballigh ini. Logikanya, jika penerimaan sertifikasi muballigh nggak menguat di MUI, untuk apa Anwar Abbas membuat ancaman seperti itu. Ancaman Anwar Abbas bisa dipahami sebagai pressure terhadap menguatnya penerimaan terhadap rencana sertifikasi muballigh tersebut. Kedua, Anwar Abbas menganggap sertifikasi muballigh ini bagian dari upaya pemerintah mengontrol, mengawasi dan membatasi para muballigh. Otomatis itu sama saja mengontrol, mengawasi dan membatasi para ulama. Bagaimana negara bisa menjadi baik, jika peran "nahi munkar" ulama dibatasi? Apalagi jika dikaitkan dengan keberhasilan pemerintah mengontrol partai, TNI, kepolisian, KPK, pers, kampus dan sejumlah ormas selama ini. Maka sertifikasi muballigh semakin meyakinkan adanya upaya pemerintah untuk mengontrol semua potensi kekuatan kontrol di luar pemerintah. Ulama ini benteng terakhir rakyat. Jika ulama juga dikontrol, kelarlah negara ini. Ketika kontrol umat menguat, banyak ulama yang semakin kritis dan terlibat dengan urusan politik, pemerintah merasa nggak nyaman. Selalu takut dan was was. Dihantui kekhawatiran yang dibuatnya sendiri. Untuk menghadapi ini, isu radikalisme terus diproduksi. Menuduh "good looking" sebagai ciri radikalisme. Katrok... Katrok... Menggelikan! Rupanya, upaya ini tidak cukup berhasil. Bahkan belakangan, MUI justru terdepan menolak sejumlah kebijakan penguasa, terutama Perppu dan RUU. Terutama RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), Omnibus dan UU Minerba. Juga meminta pembubaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Hubungan MUI dengan pemerintah saat ini memang tidak begitu harmonis. Terutama sejak keluarnya Fatwa terkait kasus penistaan agama Ahok, dan maklumat MUI tentang RUU HIP. Sejak posisi ketum MUI ditinggal Kiai Ma'ruf Amin, MUI makin kritis, tegas dan berani. Sertifikasi muballigh yang digagas Kementerian Agama dengan melibatkan MUI telah menimbulkan sejumlah kecurigaan. Pertama, MUI bisa dimanfaatkan untuk menghadapi dan mengontrol kekuatan ulama dan umat yang selama ini kritis dan beroposisi terhadap pemerintah. Kedua, membatasi gerakan dakwah agar tidak masuk dalam wilayah politik. Intinya, dakwah nggak boleh kritik pemerintah. Nggak boleh bicara Khilafah, Trisila, dan Ekasila. Tidak boleh ngomongin kebijakan pemerintah dan menyinggung korupsi. Bicara iman taqwa yang hanya terkait surga neraka saja. Kalau begitu, buat apa agama ada di dunia? Oleh banyak ulama dan kalangan umat, sertifikasi muballigh jika diberlakukan, maka potensinya sangat besar mampu membonsai dan mengkriminalisasi para muballigh. Karena itu, Sekjen MUI tegas. Buat apa tetap bertahan di MUI, kalau kemudian MUI dijadikan alat penguasa untuk membonsai dan mengkriminalisasi ulama. Munduuuuuuuur! Penulis dalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Orang Minang Marah, Puan Tidak Paham Sejarah
by Pangi Syarwi Chaniago Jakarta FNN – Senin (07/09). Komentar Puan tentang Sumatera Barat mendukung negara Pancasila, jelas merugikan citranya sendiri. Bagaimana pun ucapan ini dapat dipastikan membuat orang Minang tersinggung. Orang Minang makin resisten. Makin tak empati terhadap cucu Praklamotor ini. Sekalipun Puan adalah cucu dari tokoh Proklamator Soekarno, tak ada jaminan Puan khatam sejarah Pancasila dan kontribusi pendiri bangsa. Termasuk kontribusi orang Minang untuk Indonesia. Hampir separoh dari saham pendirian Republik Indonesia ini, kita berani mengatakan adalah kontribusi nyata orang minang. Itu harus ditegaskan kembali, dan Puan harus paham soal ini. Jangan asal ngomong. Puan harus tahu, Rosihan Anwar (jurnalis kawakan) berdasarkan pengamatannya, ada benar pernyataan beliau, selama bergaul dengan tokoh-tokoh Minang, sejak zaman pergerakan sampai masa kemerdekaan, hampir keseluruhan para pendiri bangsa yang berasal dari ranah Minang. Apa untungnya Puan mengeluarkan pernyataan tendensius semacam ini? Apalagi beliau adalah pejabat negara sekelas Ketua DPR. Pernyataan ini sangat-sangat tidak pantas, sama saja mempermalukan dirinya sendiri dan mencoreng marwah DPR. Tampak kalai itu adalah omongan dari kelas politisi picisan dan kacangan. Bukan negarawan kelas Ketua DPR. Kelas anggota DPR saja tak pantas. Apalagi Ketua DPR. Apa dampak terhadap Puan? Jelas pernyataan ini akan sangat merugikan dirinya sendiri. Katanya, Puan mau maju menjadi capres atau cawapres di pilpres 2024. Namun sudah mulai mengeluarkan statmen yang blunder. Statemen yang bisa digoreng-goreng lawan-lawan politiknya di kemudian hari. Jelas tidak menguntungkan sama sekali terhadap citra Puan Maharani. Justru akan kena jebakan Batman. Menghambat ambisi beliau untuk mendapat dukungan, karena terbentur dengan kata-katanya beliau sendiri. Jejak digital bisa digoreng lawan politiknya di kemudian hari. Itu pasti. Saya tidak habis pikir, menggapa Puan sangat berani mengeluarkan statmen yang kurang tepat? Melenceng dari sejarah. Kita tidak menyangka beliau mencurigai ke-Pancasilais orang Minang ? Semestinya sikap politisi berkelas adalah merangkul. Bukan memukul, kalau ingin benar-benar ingin mendapatkan simpati dan dukungan. Banyak spekulasi yang menyebutkan bahwa Puan sangat tendensius. Mendiskriditkan masyarakat Minang tak mendukung negara Pancasila. Ssumsi kita mungkin karena kemarahan PDIP yang tidak sama sekali memperoleh kursi di DPR dari Sumbar. Barangkali ini adalah bentuk ekspresi keputus-asaan PDIP, karena gagal menyakinkan pemilih Minang. Termasuk Presiden Jokowi yang tidak cukup berhasil mendapatkan insentif elektoral dari pemilih Minang pada Pilpres 2019 lalu. Sulitnya PDIP menaklukkan Sumatera Barat, kemudian dengan enteng menyerang Sumbar agar diharapkan mendukung Negara Pancasila. Namun justru langkah ini kontra produktif dengan tujuan politik yang ingin diraih oleh PDIP. Kalau mau dapat dukungan, meraih simpati, bukan malah mencari-cari masalah yang malah membuat orang antipati. Puan nampak kurang baca sejarah. Kering dan dangkal pikirannnya membaca kontribusi orang Minang mendirikan Republik Indonesia. Yang punya pancasila itu bukan Soekarno saja. Bahkan konsep, ide, dan draf naskah Pancasila yang buat adalah founding father yang dalamnya banyak putra Minang. Itu fakta. Beliau mungkin lupa atau pura-pura lupa yang namanya Muhammad Yamin, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Agus Salim, Muhammad Hatta dan lain lain, masih banyak lagi adalah putra MInang. Mereka adalah orang Minang hebat yang menjadi tulang punggung merumuskan naskah Pancasila, dan menjadi penopang utama berdirinya NKRI. Bahkan yang memproklamirkan Pendirian Republik Indonesia bersama Soekarno adalah putra Minang, Bung Hatta. Kitapun hakul yakin, kalau pun nanti ada partai yang mau mengubah Pancasila, tetap saja orang Minang yang akan berdiri di garda terdepan, dan pasang badan all out dalam membela Pancasila. Mbak Puan sayang, nggak perlu meragukan jiwa Pancasilais orang minang. Jangan sampai Puan memercik air didulang, kepercik wajah sendiri. Kita justru curiga ada partai yang mau mengubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Partai mana yang membuat draf dan mengusulkan Rancangan Undang-Undang Trisila dan Ekasila? Silahkan dijawab sendiri. Jangan sampai tak rasional dan jernih berfikir hanya karena PDIP Sumbar nggak punya kursi di DPR. Lalu enak betul bilang Sumbar ngak mendukung Pancasila. Jangan sampai begitu. Jangan bersumbu pendek kaya anak TK, kekanak-kanakan. Sudah Ketua DPR, jangan cengeng jadi politisi. Model Pancasila macam apa yang mereka pertontonkan? Curiga terus-menerus sesama anak bangsa? Politik pecah-belah semacam ini adalah karakter yang kurang pas. Statmen Puan dalam momentum jelang pilkada ini, jelas merugikan pasangan Mulyadi- Ali Mukhni yang diusung koalisi partai Demokrat, PAN dan PDIP sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur Sumbar. Kerja keras pasangan kandidat selama ini bisa buyar akibat pernyataan blunder ini. Pasangan ini akan berpotensi menuai sentimen negatif dan resistensi pemilih orang Minang yang tinggi. Pasangan ini berpotensi besar ditinggal pemilih yang kecewa, hanya gara-gara dukungan partai yang pimpinannya membuat pernyataan ngawur dan semborono. Penulis adalah Direktur Esksekutif Voxpol Center Research and Consulting.
KAMI Justru Ditakuti Karena Gerakan Moral Itu
by Asyari Usman Medan FNN - Senin (07/09). Sangat mengherankan. Pihak hotel di Bandung membatalkan secara sepihak penggunaan ruangan yang disewa untuk acara deklarasi KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) Jawa Barat. Seharusnya berlangsung hari Senin (7/9/2020). Acara kemudian dipindahkan ke rumah salah seorang aktivis KAMI setempat. Hotel setempat membatalkan penggunaan fasilitas ruangan karena rekomendasi Satgas Covid-19 dicabut kembali. Semula Satgas mengizinkannya. Tapi, kemarin (6/9/2020) KAMI menerima surat Satgas yang berisi pencabutan rekomendasi “boleh buat acara”. Pencabutan rekomendasi ‘last minute’ ini sangat mengherankan. Sebab, persetujuan Satgas itu bukan dikeluarkan secara sembarangan. Sudah dicermati bersama panitia pelaksana tentang aspek protocol Covid-19. Singkatnya, panitia bisa meyakinkan Satgas tentang penataan acara agar tidak menjadi masalah. Tapi, mengapa Satgas berubah pikiran? Dan berubah pikiran sangat cepat? Surat rekomendasi boleh dan surat pencabutannya dikeluarkan sama-sama bertanggal 6 September 2020. Banyak yang menduga pencabutan rekomendasi Satgas tidak murni karena Satgas merasa informasi kegiatan tidak sesuai dengan penjelasan panitia. Ini yang menjadi alasan Satgas. Kalau benar, bukankah Satgas masih bisa menekankan kembali kepada panitia bahwa acara deklarasi harus dilaksanakan seketat situasi Covid. Pasti bisa. Satgas kelihatannya harus berhadapan dengan sesuatu yang tidak rasional. Yaitu, sesuatu yang berada “di luar kendali mereka”. Ada indikasi kuat bahwa KAMI dianggap sebagai musuh oleh para penguasa. Indikasinya? Di hari deklarasi KAMI pusat di Jakarta pada 18 Agustus 2020 ada aksi tandingan. Orang KAMI menduga aksi tandingan itu diatur oleh pihak tertentu. Kemudian, beruntun muncul reaksi-reaksi negatif. Terutama dari orang-orang besar yang sekubu dengan penguasa. Intinya, penguasa tidak berkenan. Orang-orang KAMI mencoba mencari sebab mengapa gerakan mereka dianggap sebagai musuh. KAMI menegaskan mereka hanya melakukan gerakan moral. Tidak bermaksud mengganggu penguasa. Tepatnya, tidak punya tujuan untuk menggoyang posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, mengapa ada yang tak berkenan dengan KAMI? Semestinya tidak ada yang harus merasa terusik. Apalagi merasa terancam. Nah, justru gerakan moral itulah yang membuat banyak orang di lingkaran kekuasaan merasa gelisah. Merasa takut. Kalau KAMI melakukan gerakan politik, para penguasa malah tenang dan senang. Mereka tidak takut gerakan politik. Sebab, tidak ada satu pun gerakan politik yang bisa menandingi kekuatan penguasa. Penguasa memiliki semuanya. Hampir semua parpol ada dalam genggaman mereka. Mereka punya sekutu oligarki finansial yang sangat ‘powerful’. Mereka juga memiliki perangkat keras keamanan dan pengamanan. Gerakan apa pun dan oleh siapa pun yang mengarah ke kegiatan politik akan ditumpas dengan mudah. Sebentar saja bisa dilenyapkan. Tidak demikian halnya denga gerakan moral. KAMI bisa dengan cepat menghimpun simpati dan dukungan di seluruh pelosok Nusantara. Dari A sampai Z. Dari lintas agama sampai lintas profesi hingga lintas etnis. Sehingga, KAMI yang tak punya apa-apa dilihat oleh penguasa memiliki kekuatan besar. Memang harus diakui gerakan moral KAMI adalah ruang terbuka. Dan sangat luas. Yang sekarang menjadi tempat persinggahan orang-orang yang melihat bahaya ketimpangan sosial-ekonomi dan penegakan keadilan. Ruang terbuka itu berpotensi mengumpulkan jutaan pikiran kritis. Jutaan pikiran kritis itu pasti akan melahirkan tuntutan perubahan dan perbaikan. Tuntutan perubahan dan perbaikan itulah yang dirasakan oleh penguasa sebagai ancaman. Sebab, pemerintah pada saat ini sedang berada di titik terlemah. Mereka sangat rentan. Perekonomian rapuh. Pengangguran menggelinding terus. Beban utang sangat berat. Plus, wabah Covid-19 yang sangat menguras semua sumber negara. Para penguasa menjadi sangat sensitif. Bahkan paranoid. Sedikiti saja ada suara berdetak di luar, semua cemas. Alarm peringatan mereka langsung berbunyi. Ini yang membuat gerakan moral KAMI pun dianggap sebagai ancaman. Padahal, KAMI hanya ingin membantu. Menawarkan formula kuratif yang diramu oleh para pakar yang berhimpun secara sukarela di gerakan ini. Semoga saja pembatalan acara deklarasi KAMI di Bandung tidak terjadi karena tekanan dari penguasa.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Democracy For Sale
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Jumat 04 September 2020 beredar luas berita di berbagai media kalau, “Parpol Pendukung Berbelok. Akibatnya, Pasha Ungu Terancam Gagal Maju Jadi Cawagub Sulteng”. Hari itu juga melalui WhatsApp terkirim foto Pasha Ungu bersama Adhyaksa Dault mantan Menteri Pemuda Olah Raga era SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) 2004 – 2009. “Sudah pasti bang Pasha Ungu gagal maju” kata Adhyaksa dalam percakapan tilpon dengan saya. Semalam Pasha Ungu bertandang ke rumah mantan Ketua Kwartir Nasional Pramuka itu. Tentu banyak yang dibicarakan di rumah Adhiyaksa. Mengiringi kegagalan Pasha, bermunculan meme sindiran di sosial media “Pasha Korban Begal Politik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), begal artinya penyamun atau merampas di tengah jalan. Tidak mengherankan jika banyak pengamat maupun aktivis demokratis menunjuk Pasal 222 UU pemilu No. 7 Tahun 2017 sebagai biang kerok pembegalan nasional. Pasal 222 itu mensyaratkan parpol pengusung capres/cawapres kudu memenuhi perolehan kursi minimal 20 persen di parlemen yang disebut PR (Presidential Threshold) hasil Pemilu 2019. Sebuah persekongkolan jahat yang memungkin hanya dua pasangan calon presiden yang dapat maju bertarung. Dengan kata lain peluang figur yang kompeten dan bersih telah dibegal secara sistemik oleh elite politik. Ketatnya persaingan mengumpulkan suara sebanyak itu memaksa terbukanya jalan transaksional antar partai politik yang menguatkan praktik jual – beli suara. Harold Dwight Lasswell, ilmuwan politik terkemuka Amerika Serikat dan seorang pencetus teori komunikasi (lahir 13 Februari 1902) menyebutkan, proses politik sebagai konflik atas definisi dan distribusi nilai-nilai sosial dan sudah merumuskan kalimat terkenal "Politik adalah studi tentang siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana" ( Politics: Who Gets What, When, How). Buku dengan nama yang sama, diterbitkan pada tahun 1936, meringkas gagasan utama dari "Politik Dunia dan Ketidakamanan Pribadi". Lasswell mendefinisikan, “politik ini telah merangkum perilaku politik di seluruh dunia. Dengan politisi didorong oleh posisi politik, distribusi sumber daya, dan bersaing dengan pesaing mereka. Kenyataan ini telah menyebabkan banyak sikap apatis politik di seluruh dunia. Bersama korporatisasi negara, dengan kepentingan terselubung yang menembus sistem politik dan memiliki suara besar atas perumusan kebijakan dan undang-undang”. Menarik membaca buku “Democracy for Sale” (Demokrasi Untuk Dijual), ditulis oleh Ward Berenschot, Peneliti Koninklijk Institiuut Vor Taal – Land en Volkenkunde (KITLV) bersama Edward Aspinall, Profesor pada Departemen Perubahan Politik dan Sosial, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University. Secara garis besar, buku ini menggambarkan politik dan demokrasi di Indonesia dalam ruang informal. Pemfokusan pada ruang informal sengaja diambil karena jarangnya studi yang menelaah kondisi politik Indonesia pada ruang informal. Dalam buku yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Yogyakarta (2019) sang peneliti menulis, “Seringkali orang kalau bicara politik Indonesia, mereka bicara soal politik formal. Yang dibicarakan adalah pidato calon atau strategi mereka di media massa. Maka, kita bicara apa yang ada di belakang politik formal, seperti jaringan calon, masalah uang, dan politik transaksional,” jelas Ward pada acara bedah buku di Gedung Widya Graha Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gatot Subroto, Jakarta Selatan,10 April setahun lalu. Secara terang – terangan Ward mengatakan, dirinya menemukan tiga praktik yang khas dalam politik informal Indonesia. Pertama, politik transaksional yang salah satu kategorinya adalah jual beli suara. Ward menganalisis, jual beli suara yang dilakukan pada pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia tak hanya dilakukan melalui jaringan partai, melainkan juga oleh orang-orang yang merupakan bagian dari jaringan calon. Praktik ini tak ditemukan di India dan Argentina. Sebab jual beli suara di kedua negara tersebut hanya dilakukan melalui jaringan partai politik. Kekhasan kedua, yakni adanya tim sukses. Cerita mengenai tim sukses dan broker politik tak akan ditemukan pada politik India dan Argentina, sebab kampanye calon dilakukan oleh jaringan partai politik. Kekhasan ketiga, yaitu broker politik. Para kandidat di Indonesia membentuk jaringan broker politik mulai dari tingkat nasional hingga rukun tetangga. Jaringan inilah yang dimanfaatkan oleh kandidat untuk melakukan politik uang sebagai cara menjalin hubungan dan meraup dukungan dari masyarakat. Broker politik, barang asing bagi India dan Argentina, kata Ward, “sebabnya, partai politik di India dan Argentina yang memiliki akses terhadap sumber daya negara telah menjalin hubungan dengan masyarakat setempat. Masyarakat India dan Argentina mendatangi kantor partai politik untuk mengurus berbagai hak atas pelayanan publik. “Kalau anda mengunjungi kantor partai politik di daerah (Indonesia), sepi. Tidak ada banyak orang. Kenapa sepi? Karena di Indonesia, kalau anda mau mengurus pelayanan publik, seperti mengurus kamar rumah sakit, orang tidak datang ke partai politik, tetapi ke institusi negara seperti Pak RT, Pak RW, Pak Lurah dan Pak Camat. Jadi, semua akses terhadap kekayaan negara, itu lewat aparatur negara. Tapi kalau di India dan Argentina tidak begitu. Di sana, partai politik juga menguasai kekayaaan negara sehingga masyarakat mendekati partai politik,” urai Ward. Berbicara situasi dan kondisi perpolitikan hari ini di Indonesia, sungguh banyak narasi negatif yang mengotori udara demokrasi. Demokrasi hanya menjadi pajangan dan pemanis konstitusi. Demokrasi telah dibegal kekuatan hitam kuasa politik gelap. Dalam banyak kajian, sejumlah pakar menyebutkan, sejak era reformasi, demokrasi telah diambil alih para pembegal yang sejatinya adalah para kapitalis bersekutu dengan politisi pemburu rente yang menafikan dimensi moralitas. Menonjolnya praktik begal politik menjelang Pilkada serentak akhir 2020, sejatinya itu hanya bentuk repetitif rusaknya pondasi politik yang dibalut dengan jubah sarana berbasis moralitas. Demokrasi telah terjebak di dalam lingkaran setan daerah tak bertuan (terra in cognito). Para pembegal formal dan legal itu, bebas menetukan hitam putihnya regulasi sesuai kepentingan perkuatan kekuasaan politik dan perluasan wilayah kerajaan bisnis mereka. Dalam kenyataannya jalan demokrasi yang meniscayakan kehadiran partai politik sebagai penyalur aspirasi tetap saja jauh panggang dari api. Partai politik bermutasi menjadi hantu kejahatan koruptif yang begitu perkasa. Terlegitimasi lewat sakralisasi pemilihan umum yang diagung-agungkan sebagai panggung politik tertinggi daulat rakyat. Kekacauan perundang-undangan yang diproduksi eksekutif dan legislator sejak era reformasi ditandai banyaknya langkah Judicial Review (JR) atau uji materi yang dilakukan tokoh masyarakat sipil di Mahkamah Konstitusi (MK). Konsistensi hakim MK dipertanyakan. Mereka baru saja menerima “bonus” dari wakil rakyat. DPR mengesahkan UU Mahkamah Konstitusi yang baru pada rapat paripurna, Selasa (01/09/20). Masa jabatan hakim bisa sampai 15 tahun. Ada hakim MK saat ini yang bisa menjabat hingga 2034. Ada perpanjangan masa usia menjadi 70 tahun sebagai hakim MK. Rizal Ramli ekonom papan atas Indonesia dan aktivis demokratis tak kenal lelah menjadi salah seorang yang kini melakukan JR menggugat pasal 222 UU No.7/2017 itu. Rizal Ramli menyebutnya sebagai “Demokrasi Kriminal”. Pembegalan politik nampaknya terjadi di semua lembaga publik yang seharusnya melindungi kepentingan publik. Beberapa teman aktivis senior kembali mengirim pesan lewat group WhatsApp. “Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi gangguan pandemi lain yang bernama “Begal Politik” itu. Saya hanya terdiam. Membisu. Memandangi plafond yang serasa berputar mengejek kebisuan saya. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Membedah Dan Memetik Buah Amandemen UUD 1945 (Bagian-3)
by Mayjen TNI (Purn) Prijanto Jakarta FNN – Senin (07/09). Pembatasan. Untuk membedakan dan mempermudah dalam artikel berseri ini, hasil amandemen UUD 1945, kita sebut dengan UUD 2002. Baca membedah dan memetik buah amandemen UUD 1945 (2), “Generasi Muda Anton Permana cs Turun Gunung” (Google). Setelah Veteran Komisi Konstitusi Prof. Dr. Tjipta Lesmana, Prof. Dr. Maria Farida Indrati dan Dr. Laode Ida, dan dilanjutkan dengan Generasi Muda Anton Permana cs bicara dalam Webinar Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI)-Panji Masyarakat, pada 18/8/2020, tak ketinggalan senior pejuang ikut bicara. Apa kata mereka? Irjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruky, Mantan Ketua KPK. Untuk mengetahui situasi MPR waktu amandemen, sebelum Webinar, moderator minta gambaran kepada Irjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruky, yang ketika itu anggota MPR. Tersiar kabar bahwa perubahan pasal-pasal itu tidak didukung dokumen kajian dan tahapan sosialisasi. Benarkah ? Irjen Pol Ruky memberikan penjelasan, ketika perubahan pertama, dirinya masih anggota BP MPR RI. Secara diplomatis menjawab, seingat saya tidak ada seminar atau diskusi ilmiah untuk membahas dan mengkaji pasal yang diubah dengan pendekatan keilmuan. Apalagi pendekatan dengan ideologi Pancasila. Justru pada perubahan pertama, sudah muncul keinginan mengubah Pasal 29. Dengan menambah tujuh kata. Dari titik inilah amandemen “liar” bermunculan, termasuk perubahan Pasal 6, Pasal 33. Langkah ini diikuti dengan peniadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Situasi pada perubahan pertama sudah nampak. Adanya perbedaan pandang golongan nasionalis dengan golongan Islam. Golkar sepertinya tidak punya pegangan dan Fraksi ABRI membeku. Perubahan berikutnya tidak tahu persis, karena tahun 2000 sudah ke Polkam, kata Ruky menutup penjelasannya. Penjelasan Irjen Pol Taufiqurachman Ruky, dikuatkan pengakuan Dr. J. Sahetapy yang videonya viral di medsos. Dengan bangganya Sahetapy mengatakan dia satu-satunya orang yang usul dihilangkannya syarat Presiden orang Indonesia asli. Pertanyaanya, adakah kajiannya? Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, Lulusan Akademi Militer Yogyakarta 1948. Sebagai lulusan terbaik Akademi Militer Yogya, di usia 93 tahun, pengabdian Letjen Sayidiman kepada negara tiada putus. Pengalaman sebagai Wakasad, Gebernur Lemhannas, Dubes di Jepang dan Dubes Keliling untuk Wilayah Afrika, jelas memberikan ketajaman pengamatan atas situasi yang berkembang saat ini. Dikatakannya, ada indikasi campur tangan asing dalam amandemen UUD 1945, yakni National Democratic Institute (NDI). Sinyalemen ini seperti di artikel “Ada Campur Tangan Asing Dalam Amandemen UUD 1945”. (google). Jenderal Sayidiman memberikan dorongan, agar Indonesia di usia 100 tahun bisa menjadi negara yang kuat, maju, adil dan makmur. Untuk itu, diperlukan sikap dan sifat kepemimpinan bangsa Indonesia yang jujur dan tidak menjadi pengkhianat. Terkait konstitusi, juga tidak kalah penting. Diperlukan kaji ulang terhadap UUD 2002. Apabila hasil kaji ulang ternyata UUD 2002 membuahkan pecahnya persatuan Indonesia dan pemiskinan rakyatnya, maka perlu kita kembali ke UUD 1945. Selanjutnya, dalam menyongsong masa depan perlu penyempurnaan UUD 1945. Harus dilakukan secara adendum, kata Jenderal Sayidiman diakhir pendapatnya. Prof. Dr. Sofian Effendi, Ketua Forum Rektor Indonesia 2006-2007, Ketua Komisi Aparat Sipil Negara (ASN). Di awal pembicaraan, Prof. Sofian menunjukkan buku yang ditulis Prof. Donald D. Horowitz : “Constitutional Change and Democracy in Indonesia”. Dikatakannya, dalam buku itu menunjukkan betapa besar keterlibatan National Democratic Institute (NDI) dalam proses amandemen atau lebih pasnya penggantian UUD 1945. NDI menyusun pasal-pasal perubahan UUD 1945, yang diserahkan ke Panitia ad Hoc MPR yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar. NDI dapat tempat di Sekretariat MPR, dan mendapat kucuran dana dari pemerintah Amerika melalui Secretary of State America, Madeleine Albright, tutur Prof. Sofian. Dalam penelusurannya di surat kabar New York Times, tahun 1998, Prof Sofian menemui lima artikel yang menguatkan isi buku Donald Horowitz. Artinya, keterlibatan NDI menjatuhkan Presiden Soeharto dan mengganti sistem pemerintahan Indonesia. Isi buku Horowitz dan lima artikel di New York Times, tahun 1998, sebagai bukti empirisnya. Pembukaan UUD 1945 berisi “philosphische grondslag” tidak diubah. Pertanyaan kritisnya, apakah pasal-pasal perubahan sesuai dengan nilai-nilai “philosopische grondslag” Pancasila? Kalau sudah menyimpang jauh dari ruhnya, maka UUD 2002 tidak layak disebut UUD 1945. Apabila saat ini sistem pemerintahan dan sistem ekonomi kacau, itu semua akibat UUD 2002. Artinya, tujuan mereka atau asing mengganti sistem pemerintahan Indonesia berhasil, kata Prof. Sofian menutup pembicaraannya. Dubes Nurrachman Oerip, Duta Besar RI untuk Kerajaan Kamboja (2004-2007). Melihat jabatannya, Dubes Nurrachman tidak bisa lepas urusan luar negeri. Sebelum Dubes di Kamboja, Kepala Bidang Politik Perutusan RI untuk Masyarakat Eropa dan Wakil Kepala Perwakilan RI di Rusia. Karena itulah, melihat proses amandemen UUD 1945, juga tidak lepas dari perspektif hubungan internasional. Tumbangnya Orde Lama, mengandaskan konsep Tri Sakti Bung Karno. Ambruknya Orde Baru, telah merombak “sistem sendiri pemerintahan Indonesia” melalui amandemen UUD 1945. Menurut Nurrachman, dalam upaya mencapai tujuan nasional, UUD 2002 lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Itu semua tidak lepas dari pertarungan kepentingan politik global. Dubes Nurrahman mencermati isi buku Donald D. Horowitz : “Constitutional Change and Democracy in Indonesia” terbitan Cambridge University Press, 2013. Dikatakannya ada indikasi intervensi kekuatan asing, yakni LSM Amerika, National Democratic Institute (NDI), yang berkolaborasi dengan LSM lokal dalam amandemen UUD 1945. Keikutcampuran asing dalam amandemen UUD 1945 dikuatkan artikel Tim Weiner pada surat kabar “New York Times, 20 Mei 1998” : “Unrest in Indonesia : The Opposition; U.S. Has Spent $ 26 Million since ’95 on Soeharto Oppenents”. Dalam artikel ini tampak keterlibatan United State Agency for International Development (USAID), kata Nurrachman menutup pendapatnya. Menyimak artikel seri-1, seri-2 dan seri-3 ini, dapat ditarik kesimpulan : (1) Pasal-pasal perubahan UUD 1945 tidak koheren dengan nilai-nilai falsafah bangsa, Pancasila. (2) Buah amandemen tidak terasa manis. UUD 2002 banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. (3) Ada indikasi kuat keterlibatan asing, berkolaborasi dengan LSM lokal. Penulis, sebagai moderator, menutup dengan menyampaikan pendapat : “Undang Undang Dasar yang buruk, jauh dari nilai-nilai falsafah bangsanya, akan menghancurkan bangsa dan negaranya”. Semoga hasil Webinar pada peringatan Hari Konstitusi Indonesia, 18/8/2020 yang diselenggarakan Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) – Panji Masyarakat bermanfaat. Amin. (selesai). Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Karena Puan Setitik, Rusak Suara Se-Minang Raya
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Senin (07/09). Nasib PDIP di Sumatera Barat sungguh tragis. Partai Moncong Putih itu bak penyakit menular yang harus dihindari. Tak cukup hanya mengenakan masker. Apapun bentuknya, hubungan, afiliasi, bahkan hanya “bau-bau” PDIP harus dijauhi. Cut off. Tak ada hubungan apapun! PKB yang semula bersama PDIP mendukung pasangan Mulyadi-Ali Mukhni mengambil langkah seribu. Mereka mencabut dukungan dan mengalihkan ke pasangan cagub yang lain. PKB tak mau tertular virus. Terkena penyakit menular bernama PDIP. Risikonya berat dan tidak sebanding. Paling dramatis justru langkah yang diambil oleh Mulyadi-Ali Mukhni. Tanpa ba-bi-bu, mereka mengembalikan mandat PDIP. Jadilah pasangan ini tinggal diusung oleh Partai Demokrat dan PAN. Meninggalkan PDIP sepi sendiri. Tak ada pilihan lain bagi PDIP. Menarik diri dari gelanggang perebutan kursi gubernur-wagub. Tak ada cagub, dan partai politik yang mau dekat, apalagi bersekutu dengan PDIP. Untuk mengusung calon sendiri, tidak mungkin. Kursi PDIP di DPRD Sumbar hanya seuprit. Tiga kursi tidak memenuhi syarat. “Melihat dinamika seperti ini, kita tidak lagi ikut Pilgub. Kita tidak mengusung siapa-siapa lagi,” kata Ketua DPD PDIP Sumbar Alex Indra Lukman. Keputusan teramat sulit yang harus diambil oleh pimpinan daerah PDIP. Semua gegara ucapan Puan Maharani. Putri Mahkota PDIP itu dinilai melecehkan karena pernyataannya sangat jelas terkesan mempertanyakan dukungan warga Sumbar terhadap Pancasila. Puan pasti tidak pernah mengira bila ucapannya itu berdampak begitu besar. Menjadi kado pahit ulang tahunnya yang ke 47, Ahad (6/9). Upaya para petinggi PDIP menyodorkan fakta, bahwa Puan dari sisi darah masih keturunan Minang, tidak mungkin menghina negeri para leluhurnya, tidak bisa menghapus luka. Ibarat nasi telah menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi. Benarlah seperti dikatakan banyak orang, Puan tidak pernah membaca sejarah. Terlebih lagi, kalau benar dia masih merasa keturunan Minang, tidak tahu apa-apa tentang sumbangsih dan peran besar para ninik mamak dalam ikut mendirikan bangsa ini. Puan telah tercerabut dari akar budaya dan sejarah. Dia tak paham petatah petitih: Kato mandaki, kato Manurun. Kato malareang, kato mandata. Tata krama dalam tradisi Minang yang sangat ketat aturannya. Berpengaruh ke Bobby Nasution Kehebohan di Sumbar jangan hanya dipandang sebagai persoalan lokal. Dampaknya bisa menyebar cepat seperti bola salju. Di berbagai daerah lain yang banyak bermukim warga Minang, ucapan Puan bisa mengubah konstelasi politik. Calon-calon yang didukung PDIP dan tengah berlaga di Pilkada, bisa terkena dampaknya. Yang paling dekat adalah Bobby Nasution, menantu Presiden Jokowi tengah berlaga di Pilwakot Medan. Di Medan komunitas Minang perantauan jumlahnya cukup besar. Mereka juga memegang peran penting dalam sektor perekonomian. Bobby diusung oleh PDIP. Caranya memperoleh tiket dari partai moncong putih itu juga tak elok. Melalui lobi-lobi politik tingkat tinggi dan istana, dia menyingkirkan Plt Walikota Medan Akhyar Nasution. Akhyar dipecat dari PDIP. Dia kini menjadi calon walikota Medan diusung oleh Partai Demokrat dan PKS. Dia akan menjadi pesaing berat Bobby. Diaspora Minang di seluruh Indonesia juga tidak bisa diremehkan. Secara populasi kecil. Namun mereka sangat solid. Dampak lain dari ucapan Puan yang sangat serius adalah mempertajam pembelahan di tengah masyarakat. Sangat jelas Puan mempertontonkan sikap merasa paling Pancasilais. Di luar pendukung PDIP, dinilainya tidak Pancasilais. Sebuah cara pandang yang sangat berbahaya dan tengah dipertontonkan oleh rezim dan para pendukungnya. Ucapan Puan menunjukkan trah Soekarno dan PDIP, merasa diri mereka satu-satunya pewaris sah negeri ini. Satu-satu-satunya yang bernasab sambung kepada pencetus Pancasila. Hal itu dipertegas dengan peresmian Hari Lahir Pancasila 1 Juni oleh Presiden Jokowi. Padahal sejarah mencatat secara resmi, Pancasila lahir pada tanggal 18 Agustus 1945. Saat para perumus di BPUPKI mensahkannya sebagai dasar negara Indonesia yang merdeka. Tidak berhenti sampai disitu. Melalui Fraksi PDIP di DPR RI mereka mengusulkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Dalam RUU tersebut mereka memasukkan formula Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Persis sebagai mana usulan Soekarno pada sidang pertama BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Pandangan dan cara berpolitik semacam ini sangat berbahaya. Mereka mencoba menegasikan peran kekuatan politik dan kelompok yang berseberangan, dengan stigma anti Pancasila. Seakan hanya keluarga Soekarno dan para pendukungnya yang paling Pancasilais. Merekalah bangsa pilihan Tuhan di republik ini. Selain mereka, bukan penganut dan pengikut Pancasila. Dalam konteks politik semacam inilah mengapa reaksi dari warga Minang mendapat dukungan begitu luas. Bukan hanya dari mereka yang berasal dari Minang. Tapi juga mereka yang merasa disingkirkan dengan stigma: anti Pancasila, radikal, dan intoleran. Miri-mirip seperti bunyi pepatah: Karena Puan setitik, rusak suara se-Minang Raya……End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
KAMI Gerakan Moral, Dihalangi “Gerakan Tidak Bermoral”
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (07/09). Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) memang fenomenal. Sambutan masyarakat luas cukup besar. Dukungan juga sangat luar biasa. Mungkin karena menaruh harapan ada gerakan moral yang diusung oleh KAMI. Situasi politik, ekonomi, budaya hingga ideologi yang sedang bergoyang-goyang mungkin sekali segara goyah. Penegakan hukum juga amburadul. Makelar Kasus (Markus) bermunculan di kantor-kantor yang menjadi simbol penegakan hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Terakhir asus Joko Tjandra sebagai contoh paling telanjang. Hukum hanya tajam ke bawah, dan tumpul ke atas. Masyarakat khawatir terhadap resesi ekonomi, budaya atau politik di kalangan penyelenggara negara. Baik itu yang di Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Teta kelola negara kacau-balau, matiran dan amburadul. Baca tulisan Margarito Kamis, “Politik Setan Dalam Pembentukan UU” (FNN.co. edisi 06/09). Untuk itu, harus ada koreksi kepada penyelenggara negara. KAMI yang mau deklarasi di Jawa Barat ternyata tidak mudah. Rencana akan dilaksanakan deklarasi di Gedung Bikasoga sudah "clear". Tapi entah tekanan dari mana "ujug-ujug" melakukan pembatalan sepihak. Begitu juga dengan pemindahan ke Hotel Grand Pasundan, pada H-1 tiba tiba juga dibatalkan sepihak dengan alasan adanya Surat Satgas Covid 19 Provinsi Jawa Barat. KAMI Jawa Barat mempertimbangkan untuk melakukan tuntutan hukum. Rupanya ada hambatan dan penghalangan dari pelaksanaan asas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Polanya mempersulit kegiatan yang dinilai tidak sejalan dengan pandangan dan kebijakan Pemerintah. Demo-demo murahan juga dimunculkan. Covid 19 selalu menjadi alasan bahkan tunggangan dari kepentingan. KAMI sebagai gerakan moral tidak boleh menyerah. Kebenaran dan keadilan harus terus diperjuangkan walaupun menghadapi seribu kesulitan. Tekanan politik biasa dilakukan oleh penguasa yang takut terusik akan kemapanannya. Penguasa yang mengalami sindroma berat penyakit takut diturunkan dari singgasana. Menghantui siang dan malam. KAMI sebagai Gerekan Moral dipastikan bakal dihalang-halangi oleh “Gerakan Yang Tidak Bermoral”. KAMI di daerah-daerah terus bermunculan. Tumbuh sebagai kekuatan yang ingin meluruskan arah kiblat berbangsa dan bernegara. Buzzer, influencer, maupun "covider" (mereka yang menunggangi pandemi covid) boleh berusaha untuk mengotak-atik dan melemahkan. Sayangnya, dimana dan kapanpun gerakan moral itu sulit untuk ditangkal. Karena suara langit yang ikut menggemakan. KAMI memang dipersulit, tetapi tidak akan lari terbirit-birit. Apalagi hanya didasarkan pada alasan covid. Walaupun protokol sudah dinyatakan siap dijalankan dengan tertib. Masih saja dicari-cari alasan untuk mempersempit. Makin dipersulit, makan betrsemangat KAMI. KAMI berjuang untuk agama, bangsa, dan negara bukan untuk menduduki kursi kekuasaan. Bukan pula untuk menjatuhkan siapapun. Meski kursi kekuasaan yang diduduki itu semakin lapuk atau tak terawat. Keyakinan KAMI adalah penguasa itu akan jatuh disebabkan oleh perbuatannya sendiri, oleh kebodohannya sendiri, dan oleh penghianatannya sendiri kepada rakyat. Sekali lagi KAMI memang terpisah dari KAMU. Apalagi KALIAN yang bukan saja beda nama, tetapi beda haluan perjuangan. KAMI Jawa Barat yang dizalimi tidak dendam pada siapapun. Tetapi secara ksatria mengajak untuk bertarung gagasan, konsep, maupun program dengan siapapun. Mari beradu gagasan, konsep dan program untuk menyelamatkan Indonesia. Marilah kita memulai langkah itu dengan berkoalisi dalam aksi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Narasi Islamphobia, Instrumen Pemecah Belah Bangsa
by Anton Permana Jakarta FNN – Senin (07/09). Berhentilah menuduhkan hal yang sangat tidak baik kepada ummat Islam Indonesia. Apalagi dengan narasi basi seperti isu radikalisme, khilafah, dan intoleransi. Tak ada gunanya. Hasilnya pasti akan mengecewakan. Lambat laun, ummat Islam akhirnya tahu juga ada apa dibalik semua narasi itu. Semua tak lain hanyalah agenda Islamphobia. Agenda membangun kebencian dan ketakutan terhadap agama Islam. Ummat Islam semua sudah tahu, bahwa agenda Islamphobia ini adalah "pesanan" asing para globalis yang ingin secepatnya menguasai negeri ini. Stigma Islamphobia ini sudah terjadi berulang kali sejak fase zaman kolonial dulu. Hanya corak dan polanya saja yang berbeda. Kenapa pentingnya agenda Islamphobia ini semakin menjadi-jadi belakangan ini ? Jawabannya adalah : Pertama, sejak masa penjajahan, kelompok yang paling terdepan melawan dan mengusir penjajahan adalah ummat Islam. Mayoritas pejuang tangguh, pemberani, pahlawan, dan konseptor negara ini dari dari dulu adalah ummat Islam. Kedua, dari masa ke masa, dari orde ke orde, yang selalu terdepan menentang setiap penyelewengan terhadap negara ini adalah ummat Islam. Baik itu orde lama dalam melawan PKI, orde baru menentang azas tunggal dan KKN, maupun orde reformasi hari ini dalam menentang upaya mengganti Pancasila dan upaya menjadikan negeri ini berhaluan komunis. Ketiga, ummat Islam selalu sensitif terhadap nilai ketidakadilan, penjajahan, dan kesewenang-wenangan hingga menjaga kedaulatan bangsa. Ummat Islam juga sangat peduli terhadap pembangunan akhlak generasi bangsa agar jauh dari segala perbuatan maksiat yang dapat melemahkan bangsa dari dalam. Artinya, Ummat Islam sebagai mayoritas 88 persen di negeri ini mempunyai tanggung jawab moral dan peran penting secara kolektif untuk menjaga negeri tetap berjalan dengan baik menggapai tujuan bernegara. Islam adalah sejatinya benteng utama dan terakhir negeri ini. Namun ternyata, hal ini menjadi masalah besar bagi kelompok yang ingin sekali mengusai secara total negeri ini. Ternyata ada kelompok orang yang menganggap Islam adalah "benteng utama" yang menjadi penghalang untuk agenda mereka menjajah dan menjarah negeri kaya raya ini. Karena, secara ekonomi, politik, hukum, sosial budaya dan Hankam, kelompok ini hampir total dikuasai. Melalui kekuasaan politik yang secara halus sistematis sudah mereka ambil alih. Ini adalah fakta buruk hari ini. Sejenak, mari kita lihat secara logika jernih dan akal sehat. Yang menjadi permasalahan utama di negeri ini adalah korupsi, ketidak adilan hukum, narkoba, LGBT, penjarahan terhadap sumber kekayaan alam oleh negara asing. Juga hilangnya identitas dan karakter asli bangsa Indonesia menjadi latah tidak berjati diri. Belum lagi rusaknya tata kelola dalam pemerintahan. Betul bukan? Tak terhitung hasil kekayaan alam negeri ini disedot keluar, baik lewat udara, darat, dan lautan. Tak terhitung triliunan dolar Amerika uang negara menguap untuk kepentingan para elit oligharki, korporasi dan konglomerasi bersama cukong-cukongnya. Akibat semua itu, hari ini negara bangkrut. Hutang menggunung. Kemiskinan menjadi-jadi. Lapangan kerja sulit, harga sembako melambung, keharmonisan antar masyarakat terpecah belah. BUMN tergadai dan terancam lepas. Kedaulatan negara hilang di bawah dikte negara asing. Sarana prasarana kehidupan rakyat lebih banyak di kuasai asing dari pada negara dengan kedok investasi. Namun anehnya, semua permasalahan itu seolah diabaikan saja. Jarang dijadikan isu untuk sebuah perbaikan agar negeri ini menjadi lebih baik. Bagaimana bayar hutang yang menembus angka Rp 6.000 triliun ini? Kemana hasil sumber kekayaan alam kita yang luar biasa ini? Kemana uang hasil hutang Rp. 1.000 triliun UU Corona, karena faktanya rakyat tetap mesti bayar rapid-swab test dan beli masker? Kemana Harun Masiku? Apa penyebab terjadinya kebakaran kantor Kejagung? Siapa dalang di balik kasus memalukan Tjoko Chandra? Siapa aktor kuat di balik banjir narkoba di negeri ini? Kenapa pesta sex gay LGBT bisa leluasa? Kenapa semakin banyak TKA China masuk? Banyak lagi permasalahan kritis negeri ini kalau mau kita urai. Namun faktanya. Penguasa justru berupaya sebaliknya. Penguasa menyeret permasalahan agama seolah yang menjadi penyebab segala kerusakan bangsa hari ini. Apa hubungannya? Sangat aneh bukan? Jauh panggang dari api. Agama seolah dipaksa jadi sasaran kondikte otentik yang wajib dipersalahkan untuk menutupi semua kebusukan yang terjadi. Kenapa ini mereka melakukan? Ini jawaban dan analisanya Pertama, narasi Islamphobia sangat ampuh untuk mengalihkan perhatian publik dari "kejahatan" yang mereka lakukan terhadap negara. Sekalian membungkam duluan para kelompok agama khususnya Islam yang mau protes (melawan). Kedua, untuk menguasai negeri ini, berarti harus menaklukan Islam terlebih dahulu. Caranya? buatlah ummat Islam itu benci, takut, jijik, dan meninggalkan ajaran agamanya. Buat opini seolah Islam itu sumber segala sumber masalah di negeri ini. Bukan menjadi sumber segala nilai kebaikan lagi. Balikan semua persepsi itu dengan sihir media dan kekuasaan. Strateginya? Agenda Islamphobia dengan isu narasi radikalisme, khilafah, dan intoleransi. Termasuk pembunuhan karakter terhadap para tokoh bangsa yang beragama Islam di buat seburuk-buruknya. Congkel dan publish segala keburukan tokoh Islam. Kalau tidak ada keburukan, ciptakan fitnah atau jebak dengan berbagai cara. Tujuannya apa? Agar terbentuk opini tak ada satupun tokoh bangsa yang beragama Islam yang baik di negeri ini. Semua rusak dan bermasalah. Ada saja salah dan buruknya. Hanya tokoh dari kelompok mereka saja yang baik. Dilakukan melalui bombardir media, buzze rupiah, dan influencer yang di biayai. Ketiga, kuasai politik, ekonomi dan pemerintahannya. Ketika Islam mayoritas, jual dengan indah bahasa toleransi dan buat agama itu sakral agar jauh dari politik. Agar ummat Islam terbuai dan tidak peduli akan politik dan ekonomi. Namun setelah kekuasaan di tangan, baru buat aturan untuk menghabisi setiap sendi-sendi ajaran Islam tanpa basa-basi. Keempat, angkat dan jadikan para pejabat yang lemah iman, korup dan bisa diatur. Sebagai jagal (pelayan) untuk menghabisi sesama ummat Islam sendiri. Yang patuh diberi uang, fasilitas dan jabatan. Yang tidak patuh diisolasi dan dihabisi kariernya. Kalau perlu dipenjarakan apapun alasannya. Kelima, sudah terbukti bahwa yang selalu terdepan menentang setiap kezaliman dan ketidak adilan itu adalah tipikal ummat Islam yang taat ibadah, berilmu pengetahuan dan dekat dengan Al Quran. Untuk itu, identifikasi tipikal seperti ini harus dibalik seolah ummat Islam yang taat dan sholeh ini adalah bayangan penjahat dan berbahaya. Caranya beri stigma negatif bahwa identifikasi ummat Islam yang rajin ibadah, hafiz Qur'an, berilmu pengetahuan itu punya motivasi ke-Islaman tinggi adalah para calon teroris radikal dan berbahaya. Tetapi bagi ummat Islam yang sekuler, liberal, opportunis, suka maksiat, bahkan penjahat, dipelihara dan berikan fasilitas jabatan dan uang. Agar terdepan mengisi pos-pos strategis dalam kemasyarakatan. Sebagai corong kekuasaan. Keenam, pecah belah ummat Islam dengan cara merebut jabatan penting organisasi dan lembaga-lembaga ke-Islaman. Pecahkan mereka menjadi banyak kubu, dan selalu provokasi dengan adu domba sesama Ummat Islam agar kemudian saling cakar, saling habisi, dan saling bunuh (devide at ampera). Setelah semua kelompok ini hancur dalam pertikaian, baru terakhir ketika mereka sudah lemah terpecah belah dihabisi sampai ke akar-akarnya. Agenda Islamphobia di negeri ini semakin sporadis dan sistematis. Melalui regulasi dan lembaga negara (kementrian) mereka membuat aturan regulasi yang mempreteli dan memporak-porandakan tatanan keagamaan Islam. Mulai dari pendidikan, pesantren, kurikulum, sejarah, dan politik ekonomi. Pokoknya, mereka selalu berupaya dengan gigih bagaimana membuang sejauh-jauhnya agama Islam dari kehidupan bernegara hari ini. Pengaruh Islam tidak boleh ada dalam pusaran kekuasaan. Yang ujungnya tentu kita semua sudah tahu, yaitu menjadikan negara ini menuju berhaluan komunis dan super liberalis (tanpa agama lagi). Lalu apakah semua ini akan berhasil mulus seperti Andalusia, Singapura dan Manila? Dimana dulunya negeri itu semua adalah negeri Islam. Lihatlah hari ini. Islam menjadi minoritas dan tertindas. Menjadi penonton, bahkan babu di negerinya sendiri? Apakah kondisi ini bisa terjadi di Indonesia? Jawabannya pada diri kita semua. Apakah tetap diam? Tetap jadi pengecut? Atau bangkit dan berjuang membela Negara, Pancasila, dan Agama? Semua kembali kepada diri kita masing-masing. Yang jelas negeri ini sudah sekarat dan selangkah lagi menjadi negara super otoriter berhaluan komunis. Arah dan langkahnya sudah semakin jelas dan nyata. Sudah terang benderang bak matahari di siang bolong. Dan jawaban terakhinya adalah, "Bangkit berjuang, atau punah!". Wallahu'alam. Penulis adalah Dikrektur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.
Republik Buzzer
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (07/09). Dunia medsos meniscayakan tumbuh suburnya infuencer atau buzzer. Dua kata yang nggak perlu dibedakan. Karena kerja dan fungsinya sama. Jauh sebelum era medsos, influincer atau buzzer itu dipakai di dunia usaha. Untuk iklan produk. Sebagai alat pemasaran. Di era medsos, buzzer lebih banyak dimanfaatkan jasanya untuk iklan politik. Buzzer saat ini jadi lahan pekerjaan baru yang cukup menggoda. Di sini, ada anggaran besar. Baik untuk buzzer asal-asalan, hingga buzzer kelas profesional. Terutama di tengah angka pengangguran yang semakin besar jumlahnya di masa pandemi, buzzer menjadi salah satu alternatif lapangan kerja yang menggiurkan. Tak semua buzzer itu negatif dan destruktif. Banyak orang yang "secara suka rela" menjadi buzzer atas nama keprihatinan dan moral. Tentu saja, gratisan. Namanya juga relawan. Aktifitas buzzer oleh para relawan dijadikan sebagai alat perjuangan. Buzzer 212 misalnya. Motifnya adalah menuntut keadilan. Ini, tentu positif. Selama tetap menjaga obyektifitas. Kalau kelompok buzzer diklasifikasi, setidaknya ada tiga jenis buzzer. Pertama, buzzer moral. Tidak terikat kecuali pada obyektifitas moral. Pembelaannya hanya pada kebenaran yang dianggapnya rasional. Kalau harus membela dan mendukung seseorang, itu karena secara moral orang tersebut layak dan perlu dibela. Baca, cocok, lalu share. Ini buzzer moral. Pembelaan dilakukan bukan karena faktor kedekatan, juga tidak ada motif uang dan jabatan. Tidak ada ikatan sosiologis karena satu etnis atau organisasi. Tidak pula ada ikatan psikologis, karena teman atau pernah mendapat bantuan. Murni karena yang bersangkutan itu tepat dan rasional untuk dibela. Fenomena dukungan masif terhadap Anies-Sandi di pilgub DKI 2017 menggambarkan hadirnya buzzer moral. Para buzzer tidak membela Anies-Sandi, tetapi melawan ketidakadilan penguasa yang dianggap terlalu jauh intervensinya di Pilgub DKI. Bukan semata-mata faktor Ahok, tapi kekhawatiran sejumlah pihak jika Anies nyapres 2019. Secara teoritis, semakin banyak model buzzer moral, negara akan menjadi lebih baik. Sebab, proses pengelolaan negara akan secara ketat mendapatkan kontrol atau pengawasan. Disinilah terjadi check and balances. Dengan begitu, negara "relatif" bisa diselamatkan dari segala bentuk penyalahgunaan. Buzzer model seperti ini diperlukan untuk menjaga moralitas bangsa. Kedua, buzzer fanatik. Buzzer macam ini sangat militan. Faktor psikologis dan sosiologis seringkali menjadi dasar bagi lahirnya buzzer fanatik. Karena satu kampung, sesama etnis, berada dalam satu partai atau organisasi, simpati berlebihan terhadap performence tokoh, terhipnotis oleh pencitraan, karena faktor "kegantengan" membuat para buzzer itu seringkali bersikap tidak rasional. Bahkan ada yang nggak peduli benar salah. Mereka militan dan membela mati-matian. Bahkan buzzer model ini rela berkorban dan siap mati untuk para tokoh yang dibela. Para buzzer fanatik ini lahir diantaranya karena kekagumannya terhadap kharisma seorang tokoh. Seperti Habib Rizieq di kalangan FPI, Megawati di mata kader PDIP, para tokoh agama bagi para jemaatnya. Tokoh-tokoh kharismatik umumnya berlimpah dukungan buzzer fanatik. Tidak berarti bahwa para pendukung tokoh kharismatik itu hanya dari kalangan orang-orang yang abai terhadap rasionalitas. Tidak juga. Jangan salah paham. Hanya saja, secara teoritis, orang yang tingkat rasionalitasnya tinggi biasanya tidak terlalu fanatik. Ketiga, buzzer komersial. Orang menyebutnya sebagai buzzerRp. Menjadi buzzer adalah profesi. Disini, mereka numpang hidup dan cari nafkah. Sistem kerjanya bervariasi. Mulai ngoceh di medsos, bikin akun palsu, produksi video dan meme, kerahkan demo, sampai menulis artikel. Tugas mereka hanya dua. Pertama membuat iklan untuk pihak yang mensponsori. Namanya juga iklan, pasti bagus-bagus. Mana ada kecap nomor dua. Kedua, melakukan counter attack, atau serangan balik. Untuk menjalankan tugas yang kedua, mereka bersikap reaktif. Muncul hanya ketika ada yang menyerang pihak pembayar. Ciri utama mereka, menyerang orang atau kelompok. Seringkali membabi buta. Kalau ada sedikit otak, mereka menggunakan data. Data yang digunakan kadang ngawur. Dipaksakan supaya analisisnya meyakinkan. Dan di dalam narasinya sering ada kebohongan, bahkan fitnah. Pokoknya, bebas moral. Yang penting dapat bayaran. Biasanya, buzzer komersial ini tidak banyak jumlahnya. Ini berkaitan dengan keterbatasan anggaran. Tapi, mereka profesional. Ini bisa dilihat pada buzzer penguasa sebagai samplenya. Yang bicara di tv, nge-vlog, bikin video, buat tulisan, komen di medsos, ya orang-orang itu aja. Yang pakai blankon, udeng-udeng, kaca mata, nulisnya keinggris-inggrisan. Jumlahnya nggak lebih dari 10 orang. Karena gencar, masif, terlatih dan ada fasilitas, akibatnya berisik juga. Seolah isi medsos hanya mereka. Mereka hanya muncul saat ada kritik pada kebijakan pemerintah. Sekali lagi, ini hanya sekedar sample. Sample yang lain adalah munculnya para konsultan politik berbungkus survei saat pemilu. Kalangan ini lebih banyak iklan. Dan mereka dibayar untuk terus beriklan. Ngecap, maksudnya. Sesekali bikin meme. Namanya juga lagi nyari duit. Inilah buzzer komersial juga. Maraknya dunia per-buzzer-an di Indonesia ini cukup menghawatirkan. Sebab, dunia persepsi rakyat akan dikendalikan oleh iklan. Tepatnya, pencitraan. Jadi, banyak pemimpin daerah, anggota DPR, boleh jadi juga presiden yang terpilih bukan karena integritas dan kemampuannya. Bukan pula karena track record kerjanya, tapi karena iklan. Ini bahaya. Dan inilah yang terjadi selama ini. Maka muncullah istilah "petruk dadi ratu". Jika banyak Bupati, Walikota, Gubernur, anggota DPR dan presiden lahir karena iklan buzzer, maka negeri ini sudah jadi "Republik Buzzer". Sungguh ini telah jadi petaka! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.