OPINI

Indonesia Berhikmat Pada Maunya Oligarki (Bag. Pertama)

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum I care not what puppet is place upon the throne of England to rule the Empire on which the sun never sets. The man that controls Britain’s money supply controls the British Empir, and I control the British money.” (Nathan Mayer Rotshild 16/9/1777-28/7/1836). Jakarta FNN – Jum’at (08/08). Bernegara bukan sekadar menyelenggarakan kekuasaan. Benar-benar bukan seperti itu. Bernegara merupakan cara untuk memuliakan umat manusia, dalam wujud menyejahterakan dan mencerdaskan mereka. Itu yang para pendiri negara ini mau, sehingga digariskan di dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk tujuan itu, pendiri negara membayangkan pemimpin penyelenggaran pemerintahan negara adalah orang yang memiliki kecerdasan intelektual dan moral di atas rata-rata. Pemimpin yang harus berkhidmat penuh pada denyut kemuliaan manusia, yang tarpatri dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Presiden, siapapun orangnya harus tahu tentang tujuan bernegara ini. Uang Tuhan Oligarki Para pendiri negara bukan tak mengerti soal demokrasi. Tetapi demokrasi yang diimpikan oleh mereka bukanlah demokrasi liberal. Bung Karno, Soepomo, Bung Hatta, Ki Bagoes Hadikusomo, semuanya sangat mengerti soal demokrasi itu. Mererka tahu demokrasi liberal punya anak kandung yang namanya imprialisme. Nah, imprialis itulah yang hari ini menghina pribumi Indonesia. Demokrasi liberal bertuhankan uang. Kenyataan itu terbentang telanjang disepajang rute sejarahnya. Hebatnya demokrasi tipikal ini diseluruh penjuru dunia hanya dapat didefenisikan secara indikatif. Akibatnya, terciptalah ruang kreasi liar, yang pada semua aspeknya hanya memuliakan orang kaya. Padahal mereka punya tabiat licik, picik, tamak dan culas. Tabiat untuk menindas rakyat kecil yang tidak punya sandaran kepada kekuasaan. Kreasi liar itu dipakai sebagai cara menyembunyikan semua kerusakan yang ada dalamnya. Polesannya selalu sangat dan sangat canggih. Sedemikian canggihnya, sehinga demokrasi liberal mampu untuk menampilkan semua kerusakan itu sebagai sesuatu yang biasa. Amerika dan Indonesia yang mutakhir, sejauh ini sukses dengan sangat spektakuler dalam cara itu. Sialnya politisi abal-abal, odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-beleng di negara Pancasila ini, sudah terlanjur mendewakan demokrasi impor yang menindas ini. Akuntabilitas, responsibilitas, keadilan dibanggakan sebagai elemen hebat demokrasi impor ini. Di luar itu tidak. Terlalu banyak orang yang tak mampu mengenal sisi mematikan, setidakinya seisi manipulative yang tersembunyi dalam konseop Supremasi hukum dan equality before the law misalnya. Orang-orang ini tidak mengetahui bahwa sejarah konsep-konsep itu disodorkan oleh oligarki kuno. Dan terus digunakan oleh oligarki modern sebagai cara mereka untuk mempertahankan eksistensinya dalam hirearki politik, sosial dan ekonomi. Tersaji dalam sejarah sebagai pencipta utama demokrasi liberal, kaum oligarkis menjadi pemberi bentuk kongkrit terhadap jalannya pemerintahan. Merekalah yang mengisi konsep-konsep demokrasi. Mereka inilah yang dalam sejarahnya merancang arah pembangunan negara yang harus dan harus dilaksanakan oleh presiden, siapapun orang yang mejabat presiden itu. Oligarki, dalam sepenggal sejarah Amerika, menentukan siapa yang harus menjadi capres dan siapa yang tidak boleh menjadi capres. Siapa yang harus menang dan siapa yang harus kalah dalam pilpres. Itu telah menjadi khidmat kebijaksanaan mereka. Mereka bekerja dengan uang. Namanya itu sumbangan. Hebatnya konstitusi liberal yang bekerja dalam kasus Amerika dan Indonesia, justru memberi sifat konstitusional atas sumbangan itu sebagai ekspresi hak konstitusional. Itulah kenyataannya. Dihormati sebagai hak konstitusional, mengakibatkan sumbangan kaum oligarkis dalam pemilu dimanapun, terutama di Amerika dan Indonesia tidak bisa dilarang. Para pendiri negara ini sangat dan sangat mengerti itu. Mereka meolaknya, dengan menyodorkan nilai-nilai Pancasila untuk menjinakannya. Sayangnya, generasi sesudahnya memiliki jarak moral terlalu jauh dengan moralitas mereka para pendiri bangsa. Dunia politik, hukum dan ekonomi sungguh beracun dan mematikan. Inilah soal terbesar bangsa sekarang. Terus Terkonsolidasi Indonesia dengan Pancasilanya dalam bernegara, justru semakin jatuh hati dan mempraktikan pemilihan presiden dan pilkada langsung. Akibatnya uang jadi panduan utama demokrasi. Miskin, pas-pasan dalam banyak aspek, tetapi sombong dengan demokrasi, yang setiap aspeknya penuh dengan tipu-tipu. Konyol namanya. Demokrasi tipu-tipu mainan kaum korporasi dan oligarkis licik, picik, culas dan tamak. Kekonyolan itu terlihat juga begitu jelas pada politik keuangan. Politik keuangan bangsa ini bekerja di lintasan tangan korporasi dan oligarki keuangan dunia dan domestik. Terjebak dalam penaralarn The Fed. Kemiskinan pengetahuan bangsa ini, telah mengakibatkan orang membanggakan independensi Bank Sentral. Dampaknya korporasi dan oligarkis bisa dengan leluasa mengatur inflasi dan deflasi. Padahal gagasan dasar inderopendensi bank sentral, awalnya diciptakan oleh Kolonel Mendel House, mentor politik dari Presiden Woodrow Wilson. Bank Sentral di Amerika hanya diatur dengan undang-undang. Celakanya, Indonesia malah mengaturnya dalam UUD 1945 yang telah diubah sebanyak empat kali secara berturut-turut itu. Sukses besar mereka. Dalam sejarahnya Bank Sentral, tersaji sebagai kreator paling ulung mengatur inflasi, deflasi, pemberian utang, utang dan utang. Namanya kredit dan pinjaman, juga bank note dan sejenisnya. Lini nalar khas Wall Street itu memunculkan lembnaga yang bermana International Monetery Fund (IMF ) dan World Bank, organisasi keuangan dunia. Bekerja dalam lini itu, utang dan pinjaman kepada negara anggota, terutama Indonesia yang telah menjadi primadona. Konsep politik ekonominya dinamakan pinjaman. Politik itu mengambil rute macam-macam. Salah satunya adalah celah defisit anggaran. Beginilah cerdasnya para politisi tak berakal tersebut. Mereka membiarkan dan memperbesar nafsu untuk membangun. Lalu uangnya nanti dari hasil pinjam dan utang. Tragis sekali. (bersambung). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Penangkapan Joko Tjandra, Konfirmasi Masalah Besar di Kepolisian

by Asyari Usman Jakarta FNN - Jumat (07/08). Banyak yang memberikan aplus, bertepuk tangan. Memuji Polri, khususnya Bareskrim. Mereka berhasil menangkap Joko Tjandra (JT), narapidana buronan dalam kasus Bank Bali. Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, termasuk yang memuji Kepolisian. Kata Poengky, penangkapan ini akan memulihkan kepercayaan publik terhadap berbagai institusi penegak hukum. Sekjen Pemuda Pancasila (PP), Arief Rahman, juga memuji Polri, tepatnya Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo. Menurut Arief, penangkapan itu adalah prestasi yang pantas diapresisasi. Banyak lainnya yang turut memuji-muji. Mohon maaf. Kita, publik, tidak perlu lagi memberikan respon konvensional dalam bentuk pujian. Hari ini, kita harus melihatnya berbeda. Bagi saya, penangkapan Joko Tjandra merupakan konfirmasi bahwa ada masalah besar di Polri. Institusi ini, kelihatannya, dihuni oleh banyak oknum yang bermental bobrok. Persoalan inilah yang sejak lama dikeluhkan publik. Kebobrokan di kalangan para oknum pemegang jabatan penting di Kepolisian. Mungkin juga di instansi-instansi penegak hukum lainnya. Penangkapan yang ‘high profile’ ini bukanlah perstasi. Ada yang mengatakan itu prestasi Kepala Bareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo. Bagi saya, bukan. Listyo Sigit tidak perlu disanjung sebagai pahlawan. Mengapa itu bukan pretasi Komjen Listyo Sigit? Sederhana saja alur logika untuk itu. Pertama, Joko Tjandra bisa keluar-masuk Indonesia seenaknya antara bulan Maret dan Juni 2020. Lolos begitu saja. Bebas ke mana-mana. Tidak ada yang menangkap dia. Bahkan dibuatkan surat jalan, surat bebas Covid-19, dan entah dokumen papa lagi. Nah, siapa Kabareskrim-nya? Komjen Listyo Sigit bukan? (Dia dilantik pada Desember 2019). Kedua, kalau Joko Tjandra bisa ditangkap pada 30 Juli 2020 di Kuala Lumpur, terus apa rintangan untuk menangkap buronan pencoleng uang negara itu ketika dia berkeliaran di Jakarta? Mengapa tak ditangkap ketika Joko Tjandra membuat e-KTP di Kantor Kelurahan Jakarta Selatan? Mengapa Joko Tjandra tak bisa diciduk ketika mendatangi pengadilan negeri Jakarta Selatan untuk urusan sidang Penijauan Kembali (PK) perkaranya? Publik menuntut penjelasan, mengapa Joko Tjandra tidak ditangkap, atau tidak bisa ditangkap ketika dia melakukan banyak kegiatan di Indonesia dalam rentang tiga bulan. Apa alasan Pak Bareskrim Polisi? Ketiga, ada tiga polisi berbintang yang terlibat membantu Joko Tjandra. Semuanya sudah dijatuhi hukuman administrasi. Pertanyaannya, bisakah langsung disimpulkan bahwa ketiga polisi senior itu bertindak sendiri-sendiri? Mungkinkah itu tanpa koneksi dengan atasan mereka? Baik itu atasan dalam arti struktural maupun atasan dalam jenjang kepangkatan? Salah seorang yang jendral berbintang itu adalah Prasetijo Utomo, bekerja di lingkungan Bareskrim. Dialah yang menerbitkan surat jalan untuk Joko Tjandra. Lagi-lagi, siapa Kabareskrimnya waktu itu? Apakah ada Kabareskrim selain Komjen Listyo Sigit? Publik harus mengubah cara melihat ‘prestasi’ Polri. Atau juga institusi lain. Maksudnya begini. Bisa atau mampu menangkap buronan adalah keberhasilan yang biasa-biasa saja bagi Kepolisian. Polisi memang wajib bisa menangkap buronan. Tidak ada yang istimewa di situ. Penangkapan Joko Tjandra baru bisa disebut atau dikatagorikan istimewa kalau saya yang melakukannya. Itu baru bisa dikatakan luar biasa. Karena saya hanya masyarakat awam. Tidak dilatih seperti halnya polisi. Dan saya juga tidak punya apa-apa. Tidak dilengkapi dengan senjata dan kewenangan. Polri? Intitusi ini punya semuanya. Punya dana besar ratusan triliun setahun. Punya sistem pelatihan yang canggih. Alat-alatnya juga yang canggih-canggih. Punya jajaran intelijen kelas dunia. Plus, tingkat IQ yang tinggi-tinggi. Pintar, cerdas, dan sangat cendekia. Bareskrim itu, setahu saya, diisi oleh orang yang hebat-hebat. Bahkan paling hebat untuk ukuran negara-negara di kawasan ASEAN. Sejumlah orang penting di berbagai lembaga Hankam lainnya mengatakan, sebetulnya Polri itu jauh lebih canggih. Mereka ‘well-funded’, ‘well-maintained’, ‘well-resourced’. Pokoknya, semua ‘well-‘ ada di Polri. Semua hal yang bagus-bagus ada di sana. Yang jelas, lebih banyak uang dari APBN yang dikucurkan di Kepolisian dibandingkan anggaran pertahanan yang digunakan untuk tiga angkatan TNI, darat, laut, udara, Mabes TNI dan Kemenhan. Artinya, kalau cuma menangkap Joko Tjandra di Kuala Lumpur, pasti tidak ada sulitnya. Sebab, polisi dilengkapi macam-macam fasilitas perangkat lunak (software) yang diperlukan. Hubungan Polri dengan Polisi Di Raja Malaysia (PDRM), sangat bagus. Makanya yang menangkap Joko Tjandra di Malaysia pasti bukanlah dari Bareskrim Polri. Yang menangkap Joko Tjandara pastilah Polisi Malaysia (PDRM) atas permintaan dari Polri. Setelah ditangkap, barulah Joko Tjandra diserahkan kepada Bareskrim Polri untuk dibawa ke Indonesia. Penyerahan tersebut bisa saja di salah satu kantor Polisi di Malaysia. Bisa juga di salah satu bandar udara di Malaysia. Terus, ada juga kerja sama intelijen kedua negara. Ada saluran diplomatik lewat Kemenlu. Ada Interpol, dan lain sebagainya. Bisa melakukan operasi intelijen yang mampu membuat Joko Tjandra terlihat seperti ayam masuk comberan. Intinya, tidak ada yang berat bagi Polri untuk menangkap si penjahat rakus itu. Sangat tidak relevan memberikan tepuk tangan kepada Bareskrim Polisi, karena bisa menangkap buronan yang terbukti tidak ada apa-apanya. Kalau Joko Tjandra orang yang sangat kuat, dikawal Yakuza, Triad, dan geng Mafia, atau tentara bayaran (mercenary) boleh jadi sulit diciduk. Ternyata, tidak ada masalah ketika dia “ditangkap”. Barangkali, yang sulit itu adalah meminta maaf kepada Joko Tjandra bahwa dia “terpaksa” dibawa pulang. Dan harus diborgol di depan media. Tidak ada jalan lain. Publik terlanjur sudah tahu liku-likunya. Jadi, penangkapan Joko Tjandra adalah ‘operasi plastik’ untuk menyelamatkan muka sejumlah orang. Selain itu, ada aroma incar jabatan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Mundur...Mundur... Dan Mundurlah

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (07/08). Nampaknya seruan agar Pak Jokowi mundur akan semakin kencang dan menggaung. Ini efek dari tak ada kebijakan solusi atas keadaan saat ini yang menukik menuju multi dimensi krisis. Ekonomi, politik, moral, hingga ideologi. Pandemi juga melengkapi semua krisis yang ada. Penyelenggara negara seperti terbengong-bengong menghadapinya. Rakyat sulit berharap pada tim yang diberi amanah, tetapi tak mampu berbuat apa-apa. Kondisinya menjadi terus menerus melakukan kesalahan. Keluar Perppu salah, otak atik undang-undang salah, urusan kesehatan salah, pindah ibukota salah, ngurus keluarga Pilkada salah juga. "Salah melulu si dia". Sementara rakyat seperti dibiarkan mengatasi sendiri permasalahannya. Untuk sebaiknya, mundur..mundur..mundur sajalah. Mundur pertama, adalah mundurnya para pendukung Pilpres yang kecewa dengan kinerja junjungan. Tak sesuai harapan dan janji-janji pada saat pencitraan dan kampanye dulu. Kini sang pemimpin hanya bisa memikirkan diri, keluarga dan kelompok dekatnya saja. Kalau cebong mati karena tidak diberi makan. Menggelepar di daratan. Mundur kedua, adalah kelakuan para Menteri. Para pembantu Presiden yang "dimarah-marahin lagi", disalah-salahkan lagi, dan diancam-ancam akan diresafel. Menteri yang tidak dihargai oleh pemimpin yang sebenarnya tidak mengerti soal harga. Harga diri yang tergadai. Mundur ketiga, tentunya adalah mundurnya bapak. Koordinasi tim work yang amburadul membuat semua program "ambyar". Alih-alih investasi, nyatanya tumpukan hutang. Kepercayaan dan kesabaran publik sedauh semakin rendah. Mundur adalah keniscayaan. Tap MPR No. VI tahun 2001 bisa saja dijadikan sebagai sandaran pembenaran. Reformasi, restorasi, rekonstruksi atau apapun namanya mungkin segera terjadi. Perubahan politik secara konstitusional adalah biasa dalam proses ketatanegaraan Indonesia. UUD telah memfasilitasi hal demikian. Para pendahulu telah mengajarkan bagaimana pola suksesi. Bukan kudeta. Kemunduran adalah ketika kedaulatan rakyat dipermainkan dan elemen strategis bangsa diam saja. Kemunduran adalah hukum yang menjadi kepanjangan tangan politik pragmatik. Kemunduran adalah kemajuan yang tidak tercapai akibat Kulusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang semakin merajalela pada hampir strata pemerintahan hari ini. Kemunduran adalah jalan menuju keterpurukan dan pemiskinan rakyat. Jika kondisi sudah sangat ruwet...ruwet... dan ruwet, maka mundur...mundur...mundur adalah jalan terbaik untuk menuju kemajuan. Meski untuk maju lagi itu bertahap, namun maju..maju..maju. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Bertemu Tokoh Oposisi, PDIP Bermanuver?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (07/08). Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Cakra Buana, organisasi sayap PDIP bertandang ke rumah Rizal Ramli. Publik tahu, Rizal Ramli dikenal sebagai salah satu dari sembilan tokoh oposisi. Sekarang Rizal Ramli bersama-sama dengan tokoh yang lain membuat gerakan bernama Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Ada hal ganjil ketika Satgassus PDIP ini audiens ke rumah tokoh oposisi yang selama ini dikenal sangat kritis kepada pemerintah. Ganjil ketika pertama, oposisi sudah mulai terlihat menguat. Terutama ketika sejumlah tokoh oposisi membuat gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Kedua, PDIP sedang dalam posisi sedang terhakimi oleh umat Islam dalam kasus Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Ketiga, keadaan ekonomi ke depan membuka peluang terjadinya situasi politik yang tak terprediksi. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Tentu, kedatangan Satgassus PDIP ini bukan silaturahmi biasa. Tapi, ini langkah politik yang cukup cerdas. Apakah langkah ini sepengetahuan atau seijin Megawati? Di PDIP, hampir tak ada langkah penting yang dilakukan oleh kader yang tak terkordinasi dengan ketua umum. Silaturahmi politisi itu langkah politik. Bisa juga terobosan politik untuk membuka saluran dan kemungkinan politik beku. Untuk kembali mencair lagi. Jika silaturahmi itu ke kubu yang berseberangan, maka publik menyebutnya dengan istilah manuver politik. Itu hal yang biasa saja. PDIP itu pengusung Jokowi. Bahkan Jokowi adalah kader PDIP. Megawati menyebutnya sebagai petugas partai. Sementara Rizal Ramli adalah tokoh yang sangat aktif dan masif melakukan kritik kepada Jokowi. Berseberangan! Maka, silaturahmi Satgas PDIP ke Rizal Ramli itu tak salah jika dianggap sebagai bagian dari manuver politik. Lalu, apa targetnya? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, sebagai alat bergaining terhadap Jokowi. Silaturahmi ini mengirim pesan ke istana bahwa PDIP bersama oposisi bisa saja melakukan langkah politik yang tak bisa dikendalikan oleh istana. Pesan ini terbaca dari ungkapan Kadiman Sutedy, Ketua Satgassus Cakra Buana yang merasa kecewa terhadap Jokowi. Jokowi dianggapnya sudah tidak jujur dan nggak punya hati dalam memimpin rakyat. Kadiman seolah menegaskan bahwa Jokowi saat ini adalah pemimpin bermasalah. Ungkapan ini sekaligus digunakan untuk memancing reaksi Rizal Ramli terkait Jokowi. Dari reaksi Rizal Ramli, Satgassus akan mendapat bahan bacaan untuk menganalisis bagaimana respon dan pandangan kalangan oposisi terhadap situasi sekarang? Kedua, PDIP berupaya membuka komunikasi dengan para tokoh oposisi. Rizal Ramli bisa dianggap sebagai representasi dari para tokoh oposisi yang tergabung dalam KAMI. Manuver ini juga bisa dijadikan sebagai upaya untuk membaca kemana langkah gerakan oposisi, dan jika diperlukan sekaligus bisa untuk melunakkan para tokohnya. Ketiga, silaturahmi Satgas PDIP ini bisa dimaknai sebagai langkah pro-aktif dalam menghadapi situasi bangsa kedepan yang tak menentu. Ancaman resesi ekonomi membuka peluang terjadinya perubahan politik. Jika kekhawatiran ini terjadi, PDIP setidaknya telah menjajagi kebersamaannya di gerbong oposisi. Upaya cari selamatkah? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Reziki Wartawan Politik Meliput Olahraga (Bag. Pertama)

by Emron Pangkapi Jakarta FNN – Jum’at 907/08). Tahun 1981 saya bekerja sebagai wartawan pada Harian Pelita Jakarta. Bidang tugas peliputan adalah Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam). Meliput bidang olahraga adalah benar-benar barang garapan baru bagi saya. Pada akhir 1981, ada pesta olahraga Sea Games di Manila Filipina. Pesta Olahraga negara-megara anggota ASEAN. Harian Pelita menugaskan wartawan olahraga Ahmad Istiqom untuk meliput kegiatan Sea Games di Manila. Tiga hari sebelum pembukaan Sea Games, Istiqom ternyata berhalangan. Istiqom tidak bisa berangkat. Maka harus dicari wartawan pengganti. Sebab seluruh proses administrasi dengan OC Sea Games Manila sudah rapi dan selesai. Tidak ada wartawan olahraga yang siap berangkat. Bahkan sebagian rekan di Harian Pelita, paspor pun belum punya. Redaktur Olahraga Budiman Tos menawarkan saya yang wartawan politik, untuk dua minggu menjadi wartawan olahraga. Pendek kisah, berangkatlah saya ke Manila bersama rombongan SIWO PWI. Ketika itu SIWO PWI dipimpin Sondang Meliala. Menurut Istiqom, ikut rombongan SIWO "aman semua". Tiba di Manila, kami tinggal di Silahis Hotel. Proses administratif semua di tempat ini. Markas wartawan di Press Room Rezal Memorium Stadium. Ada ruangan Indonesia. Tidak terlalu luas dan masih kering dengan fasilitas yang layak untuk wartawan. Zaman itu kirim berita masih menggunakan telex dan sambungan telepon internasional. Belum ada faksimile, modem, email maupun WhatsApp (WA). Telepon di Press Room masih berebut. Di bussiness centre belum ada wartel. Pokoknya semua penuh persaingan. Bahkan jatah makan pun masih rebutan. Di hari pembukaan Sea Games, kami di tribun wartawan Rezal Memorial Stadium di tengah kota Manila. Acara pembukaan sangat meriah. Berbagai atraksi dan parade kontingen gegap gempita. Marching Band Angkatan Laut Filipina membawakan lagu lagu hits, antara lain aransemen lagu Suzana yang lagi ngetop. Upacara diawali Laporan Ketua OC/President Olympiade Filipina Bongbong Marcos. Dilanjutkan dengan sambutan Gubernur Metro Manila Emelda Marcos, dan pembukaan Sea Games oleh Prsiden Ferdinand Marcos. Di tribun juga ada putri presiden, Emee Marcos, yang cantik berkacamata hitam. Terlihat jelas dari tribun wartawan. Saya ingat semua ketua delegasi 'diperkenalkan" oleh Presiden Marcos. Delegasi Indonesia dipimpin Ketua KONI Pusat Sri Sultan Hamengkubuwono IX (mantan Wapres RI). Sejumlah pejabat RI juga hadir, antara lain Menpora Abdul Gafur. Sebagai pendatang baru di rombongan SIWO PWI, saya merasa tersisih. Hampir tidak punya teman. Teman teman wartawan olahraga itu "terkesan ekslusif". Bersaing keras, menyembunyikan info kegiatan. Saya merasa seperti "diplonco". Teruntang-anting. Agak keteteran dan sering ketinggalan info. Hanya satu dua wartawan yang berkenaan mengajak saya jalan bersama. Sekali sekali saya ikut Adhi Wargono, dan Indri. Maklum wartawan olahraga umumnya para senior. Mereka memandang saya sebagai "anak bawang" dengan sebelah mata. Saya sering salah lokasi venues, bahkan pernah tertinggal bis dari lapangan. Akibatnya laporan Sea Games saya tidak terlalu sempurna. Untunglah redaktur Olahraga Harian Pelita bisa maklumi. Akhirnya, saya lebih banyak mendampingi petenis nasional Suzana, yang kebetulan atlet asal daerah Babel. Saya juga kerepotan mengejar jatah SIWO. Titipan "memo" dari Istiqom untuk wartawan kordinator cabor Nurman Chaniago, baru bertemu dua tahun kemudian. Sedih saya. Untunglah ada Calon Ketum PSSI Syarnubi Said (Krama Yudha) dan Sespri beliau Syaiful Anwar Husein. Pak Syarnubi Said manajer Timnas, sedang kampanye untuk menjadi Calon Ketum PSSI. Maka dapatlah saya "sangu" dana transportasi lokal dari Pak Syarnubi. Belakangan Syaiful Anwar Husein jadi sahabat saya hingga akhir hayatnya. Di tengah kerepotan liputan olahraga itu, saya ke KBRI Manila. Nasib baik menghampiri saya. Bisa berkrnalan dengan Prof. Ilyas Ismail, penduduk Filipina asal Aceh yang menjadi staf lokal di KBRI. Beliau adalah guru besar di Philippines University. Banyak buku-buku karangannya, terutama tentang Islam dan perbandingan agama. Berdiskusi saya dengan Pak Ilyas Ismail, membuat saya merasa mendapat tantangan baru. Apalagi waktu itu pemerintah Filipina masih menghadapi pemberontakan MNLF (Front Pembebasan Nasional Moro) pimpinan Nur Misuari. Sebagai wartawan politik, cerita soal MNLF ini bahan liputan yang menarik. (bersambung). Penulis adalah Wartawan Senior dan Politisi PPP.

MK Gelar Karpet Merah Untuk Dinasti Politik

by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Kamis (06/08). Lima tahun lalu, tepatnya 18 Juli, koran The New Yorker membahas Dinasti politik di Indonesia, khususnya dinasti politik di Banten. Juga disinggung tentang parlemen Indonesia (DPR-RI) yang telah mengeluarkan undang-undang yang melarang siapa pun dengan satu derajat pemisahan dari petahana yang memiliki hubungan darah atau perkawinan sebagai calon Gubenur, Bupati dan Walikota Aturan itu telah nyata-nyata melarang politik dinasti keluarga. Malarang siapapun untuk mencalonkan diri ikut dalam pemilihan lima ratus lebih kursi Gubenur, Bupati dan Walikota, bupati jika memiliki hubungan keluarga dengan petahana. Mereka dilarang memiliki hubungan keluarga itu dengan yang sedang menjabat. Setidaknya satu masa jabatan selama lima tahun. Ketentuan tersebut adalah Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. UU ini disahkan tanggal 2 Oktober 2014 pada era pemerintahan Presiden SBY. Hanya berselang delapan belas hari sebelum Jokowi dilantik sebagai presiden. Pada pasal 7 memuat 2 ayat yang mengatur untuk terselenggaranya pilkada yang demokratis dan berkualitas. Yang mensyaratkan uji publik . Selian itu melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Syarat uji publik pada pasal 7 hruf (d) sangat bermanfaat bagi masyarakat pemilih. Tujuannya agar pemilih mengetahui kapasitas, integritas dan kapabilitas sang calon. Uji publik tentu berbeda dengan debat calon. Uji publik memungkinkan interaksi langsung pemilih kepada para kontestan. Uji publik setidaknya dapat mengimbangi disinformasi dari suatu pencitraan kontestan di media. Sedangkan pada pasal 7 huruf (q) menyebutkan bahwa, calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Dalam bab penjelasan UU tersebut, yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan” adalah tidak memiliki ikatan perkawinan atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, dan ke bawah. Juga ke samping dengan petahana kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan. Penjelasan ini tentunya telah mempertimbangkan fenomena negatif yang muncul di setiap pilkada langsung sejak 2005. Sebab ketika itu di beberapa daerah terjadi kemunculan dinasti politik lokal yang dimungkinkan oleh pemilihan langsung. Dengan dukungan uang, pengaruh feodalisme lokal juga struktur politik dan pemerintahan lokal, dinasti politik lokal sangat mudah dibangun. Yang penting sudah memenuhi syarat formal demokrasi. Maka hampir pasti dipilih rakyat. Sayangnya di kemudian hari, aturan uji publik dihapus. Keputusan penghapusan itu melalui uji publik itu berdasarkan pembahasan yang dilakukan Panitia Kerja Revisi UU No 1 Tahun 2015 tentang Pilkada antara DPR dan Pemerintah. Penghapusan syarat uji publik ini tertuang dalam UU Nomor 8 tahun 2015. Ketentuan ini ditandatangi oleh Jokowi sekitar enam bulan setelah dilantik. Kemudian di bulan Maret 2015, MK mengabulkan gugatan atas aturan calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Yang kemudian aturan tersebut direvisi dalam UU Nomor 10 tahun 2016 yang ditandatangani oleh presiden Jokowi. Kesimpulannya dalam waktu 21 bulan pertama pemerintahan rezim Jokowi sudah mencabut dua aturan penting yang dibutuhkan dalam membangun demokrasi. Lalu apa yang terjadi dengan kualitas Pilkada di Indonesia? Rakyat tidak punya kesempatan untuk menguji calon-calon yang disodorkan parpol. Rakyat harus terima calon-calon yang diusung Parpol. Apalagi dengan threshold 20%, tentu saja sangat mudah Parpol mengendalikan bursa calon Kepala Daerah. Ini semacam "blind democracy" bagi rakyat. Sementara itu, rakyat dibombardir dengan informasi searah dari timses masing-masing kontestan yang tidak lebih dari pencitraan belaka. Lalu terbentuknya dinasti politik lokal di berbagai daerah yang melibatkan estafet kemimpinan di daerah hanya berputar-putar dalam hubungan keluarga. Bahkan terbentuk pula monopoli kekuasaan satu keluara yang menguasai lembaga eksekutif dan legislatif oleh satu keluarga di berbagai tingkat pemerintahan daerah, provinsi maupun kabupaten/kota. Hasilnya adalah di era Jokowi ini, ada 46 kepala daerah terjerat kasus korupsi (Data 2018). Yang terbaru adalah di Kabupaten Kutai Timur, suami Bupati dan istri ketua DPRD terkena OTT KPK. Belum lagi jumlah pejabat pemerintahan daerah di berbagai level yang terjerat kasus korupsi. Ini pun tak bisa dipisahkan dari kepemimpinan pemerintahan daerah yang merupakan hasil dari kontestasi politik. Ini tentu sangat menghawatirkan demokrasi di Indonesia yang usianya masih sangat muda. Rakyat yang sedang belajar demokrasi seharusnya diberikan contoh tauladan. Bukan diberikan tontonan yang membuat ketidakpercayaan rakyat pada demokrasi. Kontestasi politik bukan ajangf membangun dinasti politik. Ini salah besar, sesat dan menyesatkan rakyat. Semestinya negara membangun kecerdasan rakyat. Bukan malah membodohi rakyat. Dinasti politik tidak mempersoalkan diangkat atau dipilih rakyat. Dalam terminologi akademis pun, dimana saat ini negara demokrasi menerapkan pemilihan langsung, dinasti politik sudah pasti merujuk pada pemilihan langsung oleh rakyat. Demokrasi di negara-negara yang sudah maju dan matang juga terjadi dinasti politik, namun menjadi jadi sorotan publik. Di Amerika Serikat, politik dinasti jauh lebih sedikit merusak daripada dalam mengembangkan demokrasi seperti Indonesia. Itu karena Amerika memiliki lembaga peradilan yang independen dan kredibel. Peradilan untuk memeriksa penyalahgunaan kekuasaan secara aktif, baik selama kampanye pemilihan maupun setelahnya. Wassalaam. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studie (INFUS).

Boedi Djarot Ribut Soal Khilafah

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (06/08). Beredar Video menantang Boedi Djarot yang muncul dari persembunyiannya. Boedi Dfjarot berteriak teriak menyatakan bertanggungjawab atas peristiwa 27 Juli 2020 di depan gedung DPR. Lalu menantang sambil menyebut nyebut soal Khilafah segala. Jika berpedoman pada undang-unang ITE "teriakan" itu masuk kategori ujaran kebencian. Benci kepada Khilafah. Entah Boedi Djarot mengerti atau tidak Khilafah? Bahwa Khilafah itu adalah sistem pemerintahan para sahabat Rasulullah SAW sepeninggal Beliau. Pemerintahan Abubakar Shiddiq adalah Khalifah. Begitu juga dengan pemerintahan Umar bin Khattab, Usman bin Affan, serta Ali bun Abi Thalib. Umat Islam sangat menghormati para Khalifah tersebut. Mengingkari para Khulafa'ur Rasyidin sama dengan mengingkari Rosulullah SAW. Artinya yang bersangkutan telah keluar dari Islam. Murtad namanya. Memang timbul pertanyaan Boedi Djarot itu Muslim atau bukan. Seorang Muslim tidak mungkin membenci Khalifah dan Khilafah. Sejarah kenabian dan shahabat tidak bisa dihapus oleh suara berisik sinisme dan kerut kebencian seorang Boedi Djarot. Itu melekat dengan keimaman dan keislaman. Mencaci maki sama saja dengan menodai. Pasal 156 a KUHP mengancam perbuatannya. Khilafah yang ditentang keras adalah modus sembunyi dari peringatan umat Islam yang mewaspadai kebangkitan kader-kader neo-PKI dan faham Komunisme. Pembenci agama itu, dipastikan mereka adalah kaum Komunis. Tidak yang lain. Mereka hanya menjadikan agama sebagai alibi untuk menyembunyikan diri dari yang sebenarnya. Disangkanya dengan membenci Khilafah otomatis bisa menafikan kewaspadaan umat terhadap bahaya kebangkinan kader-kader neo PKI dan faham Komunisme. Tentu itu tidak mungkin terjadi. Tantangan angkuh, yang sebenarnya adalah ketakutan Boedi Djarot. Lalu dikai-kaitkan dengan Khilafah, justru memercik muka sendiri. Boedi Djaroe sebenarnya membongkar borok tanpa disadari. Ada ideologi yang kini berbahaya bagi NKRI, yaitu mereka Gerombolan Trisila dan Ekasila yang berpedoman kepada Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Bukan konteks historis tetapi menjadi ideologi perjuangan saat ini. NKRI adalah Pancasila tanggal 18 Agustus 1945. Bukannya Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Kalau yang 1 Juni 1945 bukan Pancasila dan NKRI. Jika diperjuangkan agar berlaku, maka itu masuk kategori subversif atau makar. Upaya untuk merongrong, dan dapat mengganti Pancasila. Ini kejahatan terhadap keamanan negara. Melanggar ketentuan Pasal 107 KUHP. Bila ada narasi "partai sebagai alat perjuangan untuk membentuk karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945" dan tugas partai "mempengaruhi dan menjiwai jalannya penyelengaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945" dapatkah itu dibenarkan ? Jelas sangat inkonstitusional. Telah merongrong kewibawaan Pancasila 18 Agustus 1945. Jelas itu adalah makar atau subversif? Tidak ada devini yang lain. Mungkin bung Boedi Djarot yang ribut soal Khilafah bisa menjawab pertanyaan tersebut. Jangan bersikap seperti "kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak". Adil dan jujurlah dalam berteriak atau ribut-ribut itu. Jika tidak, ya rugi sendiri. Jangan sok membela NKRI, tetapi nyatanya menghianati NKRI. Model seperti itu adalah gaya perjuangan PKI dahulu. Diulangi oleh kader-kader yang neo-PKI kini. Nah, Mas Boedi Djarot, "A germ on the other side of the sea is visible, an elephant under one's own eye-lid is not !". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Dukun-dukun dan Jimat Corona

by Hersubeno Arief Jakarta FNN – Kamis (06/08). Barisan pembela Anji dan Hadi Pranoto. Fenomena menarik ini dalam beberapa hari terakhir bermunculan di media sosial. Gegara obrolan mereka ditayangkan di channel youtube, Anji dan Hadi jadi korban bully. Tayangannya di-takedown youtube. Keduanya juga dilaporkan ke polisi dan terancam pidana. Bukan karena mereka setuju dengan pandangan Anji yang kontroversial. Apalagi percaya obat pencegah dan penyembuh corona temuan Hadi. Tapi lebih pada perlakuan yang tidak adil. Munculnya fenomena Anji dan Hadi adalah dampak kekacauan dan disinformasi dalam penanganan corona di Indonesia. Mereka bisa dikategorikan sebagai korban. Badan kesehatan dunia WHO bahkan menyebutnya “penyakit” baru yang tidak kalah berbahaya itu dengan sebutan unik. Infodemic. Disinformasi, pengobatan palsu. Dalam sepekan terakhir, dua media asing berpengaruh The New York Times dan The Guardian menyoroti kekacauan penanganan Covid di Indonesia. Sikap pemerintah Indonesia dinilai meremehkan. Mendorong pengobatan palsu. Para pejabat pemerintah lebih percaya kepada obatan-obatan buatan dukun. Quack remedies, begitu Richard C Paddock dari New York Times menyebutnya. Kita tentu masih ingat, sebelum ditemukan pasien positif pada awal Maret, para petinggi negara sangat yakin bahwa Indonesia kebal dari Covid. Mereka malah menjadikannya sebagai bahan candaan. Menhub Budi Karya Sumadi yakin orang Indonesia kebal. Alasannya karena sering makan nasi kucing. Sejenis nasi bungkus murah yang banyak dijual di kota Yogyakarta. Budi akhirnya menjadi pejabat tinggi pertama yang kena Covid. Syukurlah kemudian dia berhasil sembuh. Menkes Terawan juga menyampaikan pesan sangat meremehkan soal masker. Menanggapi petanyaan wartawan soal mahalnya harga masker, Terawan malah menyalahkan masyarakat. Salah sendiri kenapa beli? Menurutnya yang harus menggunakan masker adalah mereka yang positiv covid. Bukan yang sehat. Dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi juga kedapatan tidak mengenakan masker dengan baik di ruang publik. Presiden Jokowi hanya mengenakan masker yang menutupi dagunya. Hidung dan mulutnya dibiarkan terbuka. Mentan Syahrul Yasin Limpo mengaku Litbang Departemen Pertanian menemukan kalung anti Covid. Kalung itu terbuat dari pohon ekaliptus, yang selama ini dikenal sebagai bahan minyak kayu putih. Syahrul sangat serius dengan temuannya itu. Dia berharap kalung itu jadi terobosan. Memutus mata rantai penyebaran Covid. Gubernur Bali Wayan Koster meyakini minuman tradisional arak Bali sebagai obat ampuh penyembuh covid. Dengan sangat pede dia mempromosikannya kepada Menko Marinvest Luhut Panjaitan dan Menteri Pariwisata Wisnutama. Koster berharap keampuhan Arak Bali bisa menjadikannya sebagai komoditi yang menembus pasar internasional. Lantas apa bedanya Syahrul dan Koster dengan Hadi Pranoto? Sama-sama mengaku menemukan obat anti virus. Soal kompetensi medis, ketiganya juga sama-sama tidak punya. Kalau dianggap menyesatkan publik, menyebarkan kabar bohong, bukankah dampaknya lebih berat yang dilakukan Syahrul dan Koster. Syahrul dan Koster pejabat publik. Punya pengaruh besar. Ucapan dan tindakannya mendapat coverage media yang sangat luas. Hadi hanya profesor abal. Begitu kedoknya terbongkar, ambyar semua bualannya. Orang tidak percaya. Penyanyi Dangdut Iis Dahlia pernah mengenakan kalung Syahrul dan membagikan infonya kepada 12 juta followernya. Dia mengaku merasa aman dan lebih terlindungi setelah mengenakan kalung itu. Penyanyi lawas Yuni Shara juga mengaku membentengi diri dengan mengenakan kalung ekaliptus ketika keluar rumah. Baik Iis dan Yuni menggunakan kosa kata yang sama. “Bangga menggunakan produk Indonesia.” Netizen menghubung-hubungkan pemakaian jimat anti corona itu setelah mereka sebelumnya bertemu Presiden Jokowi di istana. Jokowi mengundang para seleb untuk membantu sosialisasi penanganan corona. Jadi apa bedanya Anji dengan Is Dahlia dan Yuni Shara? Apa bedanya Hadi dengan Syahrul dan Koster. Lebih serius lagi pertanyaannya, “Apa bedanya Menkes Terawan sebagai figur yang harusnya paling bertanggung jawab dalam penanganan pandemi dengan Anji dan Hadi?” Terawan juga semula sangat meremehkan Covid. Menganggap kita tak perlu mengenakan masker. Dia juga sempat membagikan jamu kepada pasien pertama covid ketika sembuh. Terawan merayakannya sambil memberi bingkisan jamu yang katanya biasa diminum Presiden Jokowi. Inilah yang disebut oleh the Guardian "Negara dengan dampak terparah di Asia Tenggara terhambat oleh kurangnya pengujian, buruknya komunikasi dari pemerintah, dan promosi obat palsu.” Sementara The New York Times menyebut penggunaan pengobatan palsu justru didorong oleh mereka yang seharusnya tahu lebih baik. Maksudnya tentu para pejabat pemerintah. Kalau Anji dan Hadi harus dipenjara, bagaimana dengan Terawan, Syahrul dan Koster? Kalau publik harus didisiplinkan dan didenda bila tidak mengenakan masker di area publik, bagaimana dengan Presiden Jokowi? Dia sering mengenakan masker yang tak sesuai standard. Tidak proper. Hanya jadi asesoris. Bukankah negara kita negara hukum. Ada persamaan di mata hukum. Equality before the law. Ayolah Berlaku Adil. Pepatah mengajarkan. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Lha ini para pejabat yang harus jadi teladan, bukan lagi kencing berdiri. Mereka sudah kencing sambil berlari. Terus rakyatnya disuruh kencing gaya apa? End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Caligula…………

by Zainal Bintang “Tidak, Caligula tidak mati. Dia ada disana, dan selalu disana. Dia ada di dalam dirimu masing-masing. Jika kekuasaan diberikan kepadamu. Untuk itu senantiasa ada, dan hidup dalam nafas atas kita, satiap kali aroma ketidakadilan menyebarkan bau yang tidak sedap. Bersumber dari kekuasaan yang menghalau kontrol, menyingkirkan sikap krtis, dan marampas sumber mata air demokrasi dari tangan alam ini. Alam kemerdekaan berpendapat beda dan berbeda pendapat”, (Albert Camus). Jakarta FNN – Rabu (02/08). Hari Minggu pagi, 02 Agustus pukul 10.13 WIB, saya menerima postingan dari Ilham Bintang (Ketua Dewan Kehormatan PWI) yang berjudul “Caligula”. Dimulai dengan tulisan begini, “…barusan nonton lagi film cerita jadul yang mengisahkan kiprah Caligula, Kaisar Romawi (Tahun 37 - 41 M). Kaisar paling buruk dan kacau dalam sejarah Romawi. Demi melanggengkan kekuasaan, dia labrak seluruh tatanan masyarakat Rowawi masa itu…dst..dst.. Mendengar kata “Caligula” ingatan melayang ke tahun 1970. Ketika itu di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Jakarta, sedang dipentaskan drama “Caligula” dari 13 – 15 Januari 1970. Saya sempat menontonnya. Dimainkan oleh grup “Teater Kecil” pimpinan sutradara dan sastrawan papan atas Indonesia, Arifin. C.Noer. Saya mengenal dekat Arifien C. Noer. Pada tahun 70-an dia bolak balik ke Makassar melakukan riset mengenai adat istiadat orang Bugis-Makassar. Dia yang menulis skenario film “Sanrego” produksi Alam Film Makassar. Film yang berlatar belakang kultur Bugis-Makassar yang berprofesi sebagai bajak laut itu. Dibintangi WD. Mochtar dan Rakhmat Hidayat. “Caligula” adalah sebuah reportoar (lakon drama) kelas dunia karya Alber Camus. Diterjemahkan Asrul Sani. Tokoh sastrawan Indonesia pendiri Akademi Teater Indonesia (ATNI) itu, telah melahikran banyak aktor besar Indonesia, baik di pentas teater maupun di perfilman. Sebutlah aktor Soekarno M.Noer dan adiknya Ismet Noer. Ada nama Pietradjaya Burnama, Wahab Abdi. Kalangan sutradara teater dan film ada Wahyu Sihombing dan Teguh Karya dan lain lain. “Caligula” bercerita tentang seorang kaisar muda yang memerintah Roma dengan ambisi dan obsesi di luar akal manusia. Karena ambisinya, ia mengorbankan semua yang dimilikinya, termasuk orang-orang Roma, bahkan kekasihnya sendiri Drusilla, yang juga adalah saudara perempuannya yang diperisterikannya. “Caligula” adalah kaisar ketiga Roma. Dinobatkan pada musim semi tahun 37. Pada masa tujuh bulan pertama pemerintahannya, dia merupakan teladan dari hidup sederhana. Dia meyakinkan senat bahwa akan mematuhi nasehat mereka. Bahwa dirinya adalah hamba mereka. Seringkali mengadakan perjamuan-perjamuan besar bagi umum. Bersikap akomodatif terhadap para penentangnya. Pada waktu akhir musim gugur, tiba-tiba dia terserang penyakit “aneh” . Dan ketika telah sembuh sifatnya berubah total. Sebagian besar kerabatnya di Istana maupun rakyatnya menganggapnya sudah "gila". Tanda-tanda kegilaan “Caligula” misalnya, ketika memutuskan mengawini Drusilla adik kandungnya sendiri tanpa merasa berdosa. Sang kaisar bejat ini, suka mengambil paksa pengantin – pengantin wanita dari suaminya dan meniduri mereka. Memerintahkan orang-orang untuk mengangkat kuda kesayangannya yang bernama Incitatus untuk menjadi imam di kuil. Gemar menyebar teror. Tiba-tiba di dalam suatu jamuan makan di Istana, “Caligula” beteriak lantang , “aku sedang berpikir bahwa hanya dengan satu anggukan kepala, aku dapat menitahkan leher kalian digorok”. Hadirin langsung senyap. Sipir penjara diperintahkan mengeksekusi tahanan yang botak, kemudian dicincang-cincang sebagai makanan hewan-hewan yang ada di kebun binatang. Ketika itu sejumlah kebun binatang kehabisan persediaan daging lantaran pemerintah kesulitan keuangan akibat “Caligula” berfoya-foya. Sampai suatu hari, ada pemberontakan yang tidak tahan dengan kekejamannya. Mereka merencanakan untuk melenyapkan sang kaisar. Di akhir cerita, “Caligula” meninggal di tangan pemberontak. Albert Camus lahir di Mondovi (sekarang Deraan), Aljazair, 7 November 1913. Meninggal dunia pada umur 46 tahun dalam sebuah kecelakaan mobil di Villeblevin pada 5 Januari 1960. Camus adalah penulis dan filsuf Perancis yang terkenal dengan karya – kayanya yang absurd. Perkenalan saya yang lebih intens dengan jalan fikiran Albert Camus serta beberapa sastrawan dunia seperti Ionesco, Sartre, Anton Chekov dan Bertold Brecht atau Sophocles yang terkenal dengan trilogi Oedipus Rex dan lain-lain. Perkenalan dengan beberapa sastrawan dunia, bersumber dari pergaulan saya yang bertahun-tahun dengan tokoh-tokoh sastrawan Indonesia. Termasuk dengan Umar Kayam, WS Rendra, Putu Wijaya, Taufik Ismail dan Salim Said untuk menyebut beberapa nama. Umar Kayam pernah bertugas beberapa tahun di Makassar. Setiap hari kami bertemu dan berdiskusi berjam-jam di TIM siang dan malam. Kami berdiskusi masalah sastra pada kurun waktu yang lama. Bertahun-tahun. Aapalagi diskusi kami, didukung dengan tersedianya buku-buku dan literatur berkelas dunia di Perpustakaan HB. Jassin di komplek kesenian Jakarta tersebut. Berbagai analisis dan ulasan tentang Camus yang bertebaran di media mainstream Indonesia menyebutkan, bahwa menurut Camus, hidup manusia itu absurd. Absurd adalah sesuatu yang dianggap yang tidak masuk akal. Bahkan konyol. Letak absurditasnya adalah, karena di satu sisi manusia hidup mengarah atau menuju pada masa depan. Sementara di sisi lain, masa depan itu makin mendekatkan manusia pada kematian. Menghadapi absurditas itu, manusia sering kali melakukan kompensasi mencoba melarikan diri, dengan jalan memusatkan perhatian pada agama tertentu atau ideologi tertentu atau bahkan bunuh diri. Namun demikian, tindakan menyibukkan diri ke dalam agama atau ideologi maupun melakukan bunuh diri ditolak oleh Camus sebagai jalan keluar dari absurditas hidup manusia. Jalan keluar yang tegas baginya, adalah dengan melakukan pemberontakan atas hidup (revolt). Maksudnya, ketika menghadapi hidup, manusia harus berani. Manusia tidak boleh lari dari konflik. Tapi harus berani hidup bersama konflik! Tidak perlu takut pada bahaya kematian yang bisa datang setiap saat tanpa diketahui. Melalui karyanya “Caligula”, Camus menggambarkan bahwa manusia mati tidak bahagia dan hidup mereka tidak berarti. “Caligula” memberontak menentang ide ini. Dia memilih tindakan pembunuhan dan kekejaman untuk menegakkan ketertiban dan kontrol atas hidupnya. Camus menerbitkan karyanya ini pada tahun 1944. Namun diceritakan, dalam salah satu karyanya, Camus mengajukan sebuah epilog di ujung lakon ini dengan mengatakan, “Tidak, Caligula tidak mati. Dia ada disana dan selalu disana. Dia ada di dalam dirimu masing-masing. Jika kekuasaan diberikan kepadamu, jika engkau memiliki hati, jika engkau mencintai kehidupan, kau akan mendapati kekuasaan itu tidak terkendali, monster atau malaikat yang kau bawa itu akan masuk ke dalam dirimu. Waktu kita sangat ingin percaya pada nilai dan benda bisa menjadi indah dan berhenti menjadi tidak masuk akal. Selamat tinggal, saya akan kembali ke sejarah dan di sana, saya sudah dikurung begitu lama sehingga mereka takut untuk terlalu mencintai “. “…Alangkah berat, alangkah pedihnya upacara untuk menjadi manusia ini”, kata “Caligula.” Dengan luapan marahnya dia berucap lirih, “Aku mau menyemarakkan kejahatan dengan kebaikan, aku mau memeras tawa dari kesakitan.” Selain menciptakan maha karya “Caligula”, Camus juga melahirkan beberapa novel yang sangat kesohor ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Paling tidak ada empat yang bisa disebutkan, seperti Ke Mythe de Sisyphe (Mitos Sisifus), L’Etranger (Orang Asing), Le Malentendu (Kesalahpahaman) dan Novelnya berjudul (Prancis: La Peste) dikarang tahun 1947, dan memperoleh hadiah nobel pada tahun 1957. Dalam bahasa Inggris novel La Peste dikenal dengan nama ''The Plague''. Diterjemahkan oleh NH Dini pada 1985 dengan judul “Sampar”. Diterbitkan Yayasan Obor Jakarta. Tentu masih ada lagi karya-karya hebat lainnya. Seperti kumpulan esainya yang berjudul “Perlawanan, Pemberontakan, dan Kematian” atau Resistance, Rebellion, and Death. Tema utama dari cerita-cerita tersebut adalah kesendirian manusia, perasaan asing dan terisolasi dalam masyarakatnya sendiri. Akhirnya, sayapun sulit menjawab menjawab pesan WhatsApp dari teman-teman yang bergerak di luar lingkar kekuasaan. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Gerindra Dan Prilaku Nepotisme

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (05/08). Banyak yang menggeleng-geleng kepala melihat perkembangan Gerindra sekarang ini. Awalnya banyak yang melihat prospek ke depan yang cerah bagi partai ini. Karena pandangan Partai Gerindra politik yang kritis dan korektif. Tapi lama-kelamaan pengagum atau pengharap mulai kehilangan respek. Terasa sia-sia dahulu mendukung Ketua Umum Partai Gerindra untuk menjadi Presiden. Ketua Umum dan partai semakin loyo saja terhadap berbagai permasalahan rakyat dan bangs belakangan ini. Untung saja tidak terpilih menjadi Presiden. Bahkank ada yang menyatakan syukur, karena Prabowo tidak terpilih menjadi Presiden. Jangan-jangan kalau menjadi Presiden, bisa lebih parah dari yang sekarang. Rakyat yang tadinya bersemangat berharap adanya perubahan ke arah yang lebih baik, ternyata tak bisa menggantungkan harapan itu. Di Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) Gerindra senyap suara. Tragisnya, di Badan Legislasi DPR, Gerindra malah menyetujui usulan RUU gila ini untuk dibahas bersama-sama dengan pemerintah. Belakangan setelah umat Islam melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah beserta 200 lebih Ormas Islam menyatakan penolakan, barulah Gerindra ikut-ikutan menyatakan penolakan. Partai Gerindra tidak ada pembelaan kepada rakyat yang gelisah oleh permainan acak ideologi oleh partai pengusung RUU HIP. Umat berteriak keras akan bahaya dan ancaman terhadap dasar dan ideologi negara Pancasila. Gerindra seperti diam dan nyaman-nyaman saja. Yang lebih menyakitkan umat Islam adalah sang Ketua Umum ikut-ikutan mengantar lembaran busuk RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai pengganti RUU HIP. Konyol memang karena seperti tidak membaca konstelasi keumatan. Padahal Kongres Umat Islam telah menyatakan sikap, agar lembaga BPIP dibubarkan saja. Habis-habiskan anggaran, namun tidak jelas apa kerjanya BPIP. Pada Pilkada Desember 2020 nanti, lagi lagi Gerindra berperilaku aneh. Kasarnya menjilat yang tidak perlu dijilat. Anak Presiden didukung untuk menjadi calon Walikota Solo. Menantu Presiden juga didukung untuk menjadi Calon Walikota Medan. Besan Presiden didukung untuk menjadi Bupati Tapanuli Selatan (Tampsel). Anak Wakil Presiden didukung untuk menjadi calon Walikota Tengerang Selatan. Anak Sekretaris Kabinet didukung maju di Pilkada. Sebagai hak politik, hal demikian adalah sah-sah saja. Tetapi ini merupakan dukungan menuju pengabsahan nepotisme. Kultur yang diwanti-wanti oleh Tap MPR No. XI/MPR/ 1998 dan Tap MPR No. VIII/MPR/2001 sebagai perbuatan yang harus dihindari. Bahkan harus diberantas. Bukan malah mendukung, atau menjadi penyokong prilaku politik nepotisme. Pendukung benih nepotisme tentu bukan hanya Gerindra. Tetapi Gerindra patut disorot mengingat Ketua Umumnya adalah Calon Presiden yang mendapat dukungan jutaan suara, yang berharap memiliki pemimpin yang berintegritas dan mandiri. Pemimpin yang membasti nepotisme dalam segala aspek kehidupan berbagngsa dan bernegara. Sayangnya Geridra kini sangat pragmatisme. Kalkulasi politik, mungkin juga apologi demi strategi, maka para pemeran sandiwara politik lebih suka mempermainkan perasaan hati rakyat. Sekedar untuk mendapatkan sejumput keuntungan bagi kelompok atau partai. Lagi pula Pemilu waktunya masih lama. Bukankah Parpol itu membutuhkan dukungan rakyat hanya di saat Pemilu? Nepotisme harus diberantas, jika negara ingin kuat dan bersih. Nepotisme ada dalam satu nafas dengan Kolusi dan Korupsi (KKN). Penyelenggara negara mesti memiliki komitmen untuk melakukan pemberantasan KKN. Jika komitmen itu sudah hilang, maka baiknya Ketetapan MPR atau peraturan perundang-undangan yang ada dibuang saja ke bak dan tong sampah. Rakyat sudah semakin muak pada karakter pemerintahan yang didukung partai-partai politik yang sudah tidak menperdulikan aturan aturan hukum. Silahkan ber-KKN dengan bebas dan leluasa sesuka hati. Tidak peduli pada pandangan luar selain dari diri, kelompok, dan partainya. Mengelola negara seperti miliknya sendiri. Kekuasaan adalah aku--l'etat cest moi. Sebaiknya Gerindra introspeksi dan evaluasi atas langkah yang menenggelamkan diri itu. Hukum politik selalu ada "reward" dan "punishment". Jangan abaikan dan persetankan suara rakyat. Kekuasaan dan jabatan itu tidak abadi. Pada akhirnya akan berakhir juga. Tentu semua sudah sangat tahu akan hal itu. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.