OPINI
Ngebut Omnibus Law Saat Corona, Kepentingan Siapa?
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (07/04). Dalam buku yang berjudul "Conflict and The Web of Group Affiliations", George Simmel membuat teori bahwa keberadaan seseorang, bagaimana dia berpikir dan bertingkat laku akan dipengaruhi oleh keanggotaannya dalam sebuah kelompok. Perintis mazhab interaksionisme simbolis ini ingin mengatakan bahwa sikap, perilaku, cara berpikir, kepentingan dan keberpihakan seseorang akan ditentukan oleh keanggotaan di dalam kelompok. Dalam konteks Omnibus Law Cipta Kerja, pengusaha tetap satu suara dalam kata "setuju" . Lalu berhadapan dengan buruh di sudut yang berbeda. Pengusaha dan buruh, atau dalam bahasa Marx, borjuis dan proletar selalu berada di dalam kutup kepentingan yang berbeda. Pengusaha ingin "untung besar" dengan mengurangi upah dan hak buruh. Sementara buruh ingin "upah layak" dengan mengurangi keuntungan pengusaha. Antara pengusaha dan buruh berebut hasil di tempat yang sama. Yaitu di dunia industri dimana kedua kelompok ini sama-sama berada di dalamnya untuk berebut hasil produksi. Dalam konteks ini, siapa pemenangnya? Di negara modern seperti Amerika, Eropa, Australia, Jepang dan Korea Selatan, negara hadir untuk melindungi kepentingan buruh. Regulasi dibuat agar buruh mendapatkan kelayakan upah. Upah yang tidak hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari, tetapi juga cukup untuk biaya pendidikan, berlibur dan memenuhi kebutuhan pengembangan diri. Sementara di negara berkembang seperti Indonesia, borjuis hampir selalu menang. Kehadiran negara justru seringkali berpihak dan melindungi kepentingan kapitalis. Alasannya selalu "demi menggenjok pertumbuhan ekonomi". Pertumbuhan ekonomi buat siapa? Buat si kapitalis? Tanya para buruh. Regulasi undang-undang yang mestinya dihadirkan untuk melindungi kepentingan kaum buruh yang selalu dalam posisi lemah, justru seringkali direkayasa untuk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi para pengusaha. Ini terjadi karena pengusaha seringkali hadir, ikut serta dan intervensi dalam penyusunan regulasi dan kebijakan itu. Jadi, penindasan terhadap buruh selalu dimulai dari regulasi. Kok bisa para kapitalis itu intervensi? Setiap kapitalis ingin memanen hasil investasinya yang ditanam saat pemilu. Jadi, ada pihak-pihak yang harus bayar hutang? Tanyakan pada mereka! Musim pandemi covid-19 seperti sekarang ini adalah saat yang tepat untuk bayar hutang kepada korporasi, kata Margareto. Mumpung ada aturan "social and physical distancing". Buruh gak boleh demo, karena akan menciptakan kerumunan. Awas tertular virus! Akhir-akhir ini mulai bermunculan banyak cerita atas kehadiran para pengusaha di gedung parlemen saat penyusunan undang-undang. Salah satu cerita diungkap oleh Hamdan Zulfa, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan mantan anggota DPR. Ia pernah menyaksikan sendiri cek yang dibawa pengusaha tercecer di lantai gedung parlemen. Beberapa waktu lalu, juga viral tulisan seorang profesor dalam obrolan dengan salah satu ketua partai terkait dengan operasi cek dan dolar di parlemen. Cerita klasik. Tapi, tetap menyedihkan. Kalau legislatif saja masuk angin, apalagi eksekutif? Jadi, dalam konteks Omnibus Law, ada dua kelompok yang tidak saja berbeda, tetapi bertabrakan kepentingan, yaitu pengusaha vs buruh. Jika ada pengusaha kok nggak setuju Omnibus Law, mengacu pada teorinya George Simmel, hampir dipastikan itu kepura-puraan. Dobol. Pengusaha adalah pengusaha. Mereka hidup dalam habitat atau kelompok yang sama dalam kepentingan. nggak mungkin menolak. Kata Karl Marx, monyet nggak mungkin memotong dahan dimana ia duduk. Maaf, itu kata Karl Marx. Buruh meradang atas RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Ada sembilan poin yang membuat mereka protes lalu kerahkan ribuan massa dan ancam akan mogok massal. Diantara poin yang membuat mereka meradang adalah soal hilangnya upah sektoral, pesangon dikurangi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dipermudah, Tenaga Kerja Asing (TKA) bebas bekerja di Indonesia, dan tidak ada saksi pidana untuk perusahaan. Ini mah kapitalis banget. Lalu bagaimana penyelesaiannya? Apakah dengan konflik ala Marxis? Tentu tidak. Indonesia negara Pancasila. Pancasila tak memberi ruang buat cara-cara Marxisme dan komunisme untuk digunakan. Era 1948 dan 1965 sudah berakhir. Komunisme akan selalu ditolak di negeri pancasila, meski data sejumlah Jenderal TNI AD, ada upaya membangkitkan kembali. Komunisme mestinya cukup jadi fosil sejarah di Indonesia. Komunis ditolak, apakah kapitalisme diterima? Cara yang paling damai adalah dialog dan kompromi. Dalam hal ini langkah yang harus ditempuh. Pertama, negara mesti berada di tengah. Negara adalah wasit, tidak boleh berpihak. Kedua, negara harus ajak bicara dan dengarkan suara buruh. Gak boleh budge. Ketiga, pengusaha gak boleh diberi ruang untuk intervensi dan menekan negara, meski oknum pengelola negara banyak yang berhutang budi dan dipelihara oleh pengusaha. Singkirkan oknum itu? Nggak mungkin. Terlanjur keluar duit banyak. Tapi, jangan beri ruang mereka untuk bertingkah semaunya. Negara harus kuat, tak boleh kalah dengan borjuis. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Harapan Kepada Ketua Mahkamah Agung Terpilih M. Syarifuddin
By TM Luthfi Yazid Jakarta FNN – Selasa (07/04). Di tengah keprihatinan pandemik Covid-19 atau corona virus yang belum memberikan kepastian kapan akan berakhir, Mahkamah Agung (MA) RI mengadakan sidang paripurna khusus untuk memilih ketuanya yang baru, menggantikan M Hatta Ali. Setelah dilakukan pemilihan melalui voting oleh para hakim agung (dengan 47 kartu suara) dalam dua kali putaran. Terpilihlah Ketua Mahkamah Agung yang baru, yaitu Dr. H. M. Syarifuddin SH. MH. yang memperoleh 32 suara, meninggalkan pesaingnya Dr. H. Andi Samsan Nganro SH. MH. yang hanya mengantongi 14 suara. Dalam pidato setelah terpilih sebagai Ketua MA dalam pemilihan yang berlangsung demokratis, M Syarifuddin, itu berjanji bahwa dunia peradilan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Dunia peradilan esok harus lebih baik dari hari ini. Syarifuddin juga berjanji bahwa kepemimpinannya bukan hanya akan dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan negara, namun juga kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Janji ini merupakan amanah dan tanggungjawab, sehingga karenanya harus diwujudkan. Selamat kepada Dr. H. M. Syarifuddin. Beberapa tugas berat telah menunggu untuk disikapinya, sekaligus sebagai harapan publik kepada Ketua MA yang baru. Pertama, Ketua MA Syarifuddin harus melanjutkan reformasi dunia peradilan. Blue print reformasi dunia peradilan perlu diteruskan dan direalisasikan. Reformasi ini mencakup integritas personal para hakim maupun kelembagaan. Integritas personal hakim menyangkut integritas pribadi dan kapabilitas. Soal integritas adalah persoalan yang sangat fundamental dalam pembaruan dunia peradilan. Sebab sesungguhnya norma-norma atau aturan hukum itu, kata Pitlo, hanyalah tumpukan benda-benda mati. Dan karenanya tergantung kepada hakimnya. Itu sebabnya yang utama dituntut dari seorang hakim adalah integritas. Setelah itu, baru kapabilitas. Bukan kapabilitas dahulu, baru integritas. Karena itu seorang hakim dituntut bukan hanya memiliki kapabilitas membaca teks-teks hukum (legal text) dan menguasai teknik-teknik hukum, namun juga harus sanggup menggali jiwa keadilan (essence of justice). Tentu saja tidak cukup syarat integritas dan kapabilitas. Melainkan harus ditambah dengan kearifan (wisdom). Seorang hakim yang memiliki integritas, kapabilitas dan wisdom inilah yang akan sanggup mendistribusikan keadilan sesuai amanat Sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Hakim yang memiliki syarat lengkap seperti inilah yang sanggup menjaga independensinya terhadap diri sendiri, terhadap orang lain maupun terhadap lembaga. Tujuannya, agar sang hakim meletakkan keadilan di atas dirinya. Dia harus bersandar hanya pada nilai keadilan dan kebenaran (truth and justice). Kedua, Ketua MA yang baru Syarifuddin diharapkan memiliki kemampuan manajerial, termasuk meningkatkan kualitas para hakim yang jumlahnya sekitar 8.000 hakim di seluruh Indonesia, yakni bagaimana dapat melahirkan hakim-hakim yang bersih, jujur dan amanah. Catatan gelap dunia peradilan di masa lalu, seperti pernah ditulis oleh Sabastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse (Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung) harus dikubur dan tak boleh terulang kembali. Termasuk di sini adalah bagaimana agar penumpukan perkara (backlog cases) dapat terus diminimalisasi. Untuk itu penyelesaian perkara secara mediasi di pengadilan (court connected mediation) harus ditingkatkan keberhasilannya secara substantif. Selama ini upaya mediasi di pengadilan hanyalah sekedar pelengkap formalitas saja. Padahal di negara-negara maju keberhasilan mediasi di pengadilan prosentasenya sangat tinggi. Ketiga, jika syarat pertama dan kedua di atas terpenuhi, maka yang akan tercipta adalah Justice Machinery System. Sistem pendistribusian keadilan yang berjalan secara otomatis. Inilah cara mendistribusikan pelayanan guna menciptakan kepastian hukum yang berkeadilan sesuai mandat konstitusi Pasal 28 UUD 1945. Keempat, Ketua MA Syarifuddin harus sanggup menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga negara lainnya dengan tetap menjaga marwah dan independensinya sebagai lembaga utama tempat berlindung bagi para pencari keadilan (justice seeker). Pada titik inilah faktor kepemimpinan (leadership) menjadi sangat penting. Kelima, Ketua MA Syarifuddin perlu melanjutkan kebijakan pendahulunya Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali terkait Organisasi Advokat. Bagaimana pun Organisasi Advokat adalah salah satu pilar penegakan hukum di dunia peradilan. Dalam Refleksi Akhir Tahun, mantan Ketua MA Hatta Ali menyatakan bahwa MA tidak akan terlibat dan tidak akan berpihak kepada organisasi advokat yang ada. Hatta Ali tak akan mengintervensi soal kisruh wadah tunggal organisasi advokat. Ia menyatakan, biarkan pasar dan masyarakat pencari keadilan yang menentukan sendiri. Kebijakan mantan Ketua MA M. Hatta Ali sudah tepat dan sudah sejalan dengan mandat konstitusi, UUD 1945. Yang perlu dibenahi adalah bagaimana agar dibuat limited threshold of lawyers association, seperti parliamentary threshold dalam partai politik. Organisasi Advokat yang tidak memenuhi threshold dan beberapa kualifikasi lainnya, maka harus didiskualifikasi. Sejarah telah membuktikan bahwa upaya yang hanya membentuk single bar telah banyak menguras energi, dan dalam sejarah terbukti telah mengalami kegagalan. Penulis adalah Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia
Perpu Terbit, Wewenang Dari DPR BPK dan Pengadilan Hilang
Wahai Manusia, sekarang aku memimpin urusan kalian. Padahal aku bukanlah manusia terbaik di antara kalian. Jika aku melakukan kebenaran, dukunglah aku. Namun, jika aku berbuat kesalahan luruskanlah aku! Ingatlah, sesungguhnya aku adalah orang yang lemah di antara kalian, Dia kuat dalam pandanganku hingga aku berikan hak kepadanya. Dan sesungguhnya orang kuat di antara kalian, dia lemah dalam Pandanganku hingga aku mengambil hak darinya. Patuhilah aku, selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Dan janganlah kalian patuhi aku, jika aku mengingkari Allah dan Rasul-nya! (Sayidina Abubakar As Siddiq RA) By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Selasa (07/03). Ya Allah ya Rab Al Haq. Engkau cek kualitas iman kami pada-Mu, dengan mengutus mahluk-Mu yang bernama corona. Sungguh dia menyeramkan. Kami hampir tak berdaya. Corona, mahluk tak terlihat dengan indra kasar itu. Datang dengan cara yang satu dan lainnya belum dapat dijelaskan hingga kini. Subhanallah. Mahluk tak berbentuk dan tak terlihat itu, dengan kuasa alam-Mu, membuat manusia terlihat jauh lebih kecil darinya. Tak sedikit orang di seantero dunia ini terhenyak, terdekap takut tak berujung, tak berdaya dan harus sembunyi darinya. Sungguh ini ujian, yang terlalu sulit untuk dilupakan. Orang-orang berseru tinggal saja dirumah. Jangan begini dan jangan begitu. Seruan itu membahana, memekik telinga lalai dan hati yang abai, untuk sekadar saling mengingatkan. Kematian yang tak seorangpun dapat mendekatkannya, dan tak seorang juapun yang dapat menjauhkan dari setiap mahluk yang memiliki ruh, kini menyempitkan nafas setiap orang. Itu menjadi sebab banyak hal berantakan. Ekonomi, begitu para ahli di bidang ini menyebut, berantakan. Korporasi, dengan tabiat bawaannya yang cerdas menindas dalam keadaan normal. Jago dalam urusan lobi-melobi, atur sana atur sini dengan cara yang tak dapat dijangkau orang kecil, ternyata oleng juga. Orang-orang kehilangan kerja. Duit menjauh, sebegitu jauhnya sehingg tak lagi dapat dibayangkan datangnya. Tak bisa bayar ini dan bayar itu. Utang melekat dalam setiap denyut nadi. Ia menyatu dalam setiap hentakan nafas. Sesak. Berat jadinya. Korporasi yang ahli akal-akal laporan keuangan, terpojok juga. Uang berkurang. Rugi muncul menjadi nyanyian nelangsa disepanjang waktu teror corona. Seperti anak ayam diteror elang kecil, lari meminta proteksi ke induknya. Seperti bocah yang tak mampu menghalau gangguan dengan tangisannya, lari menuju bundanya meminta perlindungan. Rakyat pun menanti uluruan tangan ihlas dan tulus pemerintah. Begitulah panorama di sepanjang teror corona ini. Sedih, sungguh sedih. Marahkah engkau Ya Rab? Sungguh alam kecil para Wali terus menyeru betapa Rahim-Mu terlalu besar. Sebegitu besarnya sehingga tak terbayangkan dibandingkan dengan marah-Mu. SayangMu, begitu seruan para Wali dengan kejuhudannya, lebih besar dari dunia dan seisinya. Sedih Ya Allah, ujian kecil-Mu ini telah mengakibatkan akal sehat sebagian orang melayang. Entah kemana. Padahal kalam-Mu mengingatkan kelak disuatu hari nanti, semua raga akan bicara. Mulut terkunci. Tiada sepatah kata pun dapat terucap sekadar meluruskan keterangan raga lain. Sungguh sedih, di tengah peringatan tak tertimbang nilainya itu, keluarlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020, yang judulnya amat sangat panjang itu. Ya Allah Azza wa Jallah. Kau siapkan hari akhir, hari perhitungan, hari meminta penjelasan dari hamba-hamba-Mu. Itu hari yang berat, dan menakutkan. Tetapi duhai Allah Yang Maha Tahu, Perpu ini membenarkan, memberi hak kepada beberapa pejabat untuk tidak bisa diminta pertanggung jawaban, dan bebas dari harus memberi penjelasan. DPR, yang memang sudah begitu payah, sudah begitu sulit diharapkan, juga tak bisa minta penjelasan mereka para pejabat itu. Mereka, para pejabat yang nyaring menyanyikan syair lagu transparansi, akuntabilitas dan profesionalitas di sepanjang nafasnya, menurut Perpu ini, tak bisa dituntut di pengadilan perdata dan pidana. Bahkan pengadilan tata usaha negara sekalipun. Duhai Allah Yang Maha Rahman, rahmatilah kami dengan rahmat-Mu yang tak terbilang. Hindarkanlah kami ya Allah dari tipuan hukum dunia ini. Tolonglah duhai Allah Yang Maha Penolong. Jauhkan kami dari hukum yang terlalu sulit untuk kami mengerti ini. Ya Allah Yang Maha Pelindung. Lindungi kami semua dari akibat yang bisa membuat kami melalaikan-Mu. Duhai Engkau Yang Maha Bijak. Hidupkanlah akal fikiran kami dalam urusan ini dengan petunjuk-petunjuk-Mu. Jangan biarkan pejabat-pejabat kami tenggelam dalam kelalaian yang membinasakan kami. Entah hadis atau ucapan Sayidina Ali Bin Abu Thalib, Jalaluddin Rumi mengutip dan memenuliskan “Barang siapa yang akalnya bisa menguasai nafsunya, ia menjadi lebih mulia dari malaikat. Barangsiapa yang nafsunya mengalahkan akalnya, ia sungguh lebih rendah dari binatang. Subhanallah. Sinarilah para pejabat yang mengurus urusan ini dengan Nur Muhammad Rasulullah Sallahi Alaihi Wasallam, kekasih-Mu yang Agung itu. Ya Allah, beritahukanlah mereka tentang bagaimana mengetahui sesuatu itu buruk, kalau tak ditunjukan sesuatu yang lain. Buruk ada karena dilawankan dengan baik. Hitam ada karena dilawankan dengan putih.Warak ada karena dilawankan dengan tamak. Kalau uang negara yang dikeluarkan untuk urusan penanganan efek Corona terhadap ekonomi dan keungan tak bisa dikualifikasi kerugian keuangan negara, tak usah dijelaskan. Lalu BPK mau diapakan? Mau periksa apa? Untuk apa? Cari kerjaan apa? Jangan mengada-ada. Kan yang diperiksa adalah level dan derajat akuntabilitas pengeloaan dan tanggung jawab penggunaan keuangan negara. Subhanallah. Ini Perpu membikin DPR tak bisa minta penjelasan mengenai rencana penambahan belanja, sumbernya, dan ruang defisit yang diperlebar lebih dari 3%. Masa Allah, pengadilan juga tak bisa cek pengelolaan dan tanggung jawab pejabat yang menangani urusan besar ini. Uang negara untuk semua biaya kebijakan ini, tak bisa dikualifikasi kerugian negara. BPK mau periksa apa? Untuk apa? Cilaka betul Perpu ini. Bagaimana tidak? Selain soal-soal di atas, soal lainnya adalah menurut UUD 1945, Perpu ini harus diajukan ke DPR pada persidangan berikut untuk mendapatkan persetujuan. Apa nalarnya? Cek argument dibalik Perpu. Untuk apa? Untuk mengetahui apakah alasan yang digunakan masuk akal atau tidak. Apa maknanya? Akuntabilitas. Titik. Praktis DPR, Pengadilan dan BPK yang menajdi tiga organ yang kewenangannya diatur dalam konstitusi. Subhanallah, semuanya dipukul telak dengan Perpu ini. Perpu ini mencabut kewenangan utama lembaga-lembaga negara itu. Ini ilmu apa? Entahlah, mungkin ilmu konstitusi ala Wall Street dari negeri kapitalistik, Amerika. Ilmu tentang pelebaran defisit anggaran kan ilmunya Harry Hopkins, Marriene Eccless, Henry Wallace, orang-orang di lingkaran utama Franklin D. Rosevelt. Ilmu ini, dalam sejarah Amerika muncul di tengah Krisis Keuangan Hebat tahun 1929-1933. Tahun 1933 itu juga Franklin D. Rosevelt dilantik jadi presiden. Memang Henry Morgenthau Jr, menteri keuangan Rosevelt mengusulkan “balanced budget”. Tetapi usul ini dikesampingkan Rosevelt. Selain orang-orang di atas, Rosevelt juga mendapat nasihat dari John Meynard Keynes, Ekonom kenamaan itu. Ilmuan ini memiliki tesis “permanent budget deficit”. Dia, Keynes dipertemukan dengan Rosevelt oleh Felix Frankfurther, penasihatnya yang ahli hukum kenamaan dari Harvard Law School. Sebelum dibawa ke Rosevelt, Felix Frankfurther terlebih dahulu jumpa Keynes, Ekonom top yang dikenal berhaluan politik Socialis Democrat. Sama dengan Rosevelt. Setelah jumpa Frankfurther, Keynes menulis satu artikel di New York Times. Materinya seputar cara menangani krisis. Artikel ini dibawa Felix Frankfurther ke Rosevelt. Dan Rosevelt menyetujuinya, lalu mengikutinya. Berubahlah Tata Negara dan ekonomi Amerika mengikuti alur gagasan Keynes, dan untuk sebagian pemain-pemain utama di Wall Street. Perpu ini tidak spesifik bicara tentang Bank Sentral. Disitulah keanehannya. Apa anehnya? Terdapat ketentuan tentang kewenangan baru Bank Sentral. Sungguhpun tidak persis sama dengan perluasan organ The Fed tahun 1935, tetapi dalam sifatnya sama. Apa samanya? Krisis itu membawa Amerika menambah kewenangan dewan Gubernur The Fed. Itu diatur dalam The Banking Act 1935. Bank sentral kita juga dapat kewenangan baru. Mirip. Kewenangan siginifikan yang dimunculkan The Banking Act 1935 adalah Dewan Gubenur The Fed diberi wewenang mengontrol kebijakan moneter nasional. Di Perpu ini, Bank Indonesia yang tidak lain merupakan Bank Sentral itu, diberi kewenangan memberi bantuan likuiditas tanpa syarat tertentu sebagaimana UU Bank Indonesia sebelumnya. Karena semuanya telah dinyatakan tidak bisa dicegah, maka tidak ada faedahnya bicara prinsip-prinsip hukum administrasi. Presumption of legalitiy, presumption of authenticity, dan presumption of veracity, dan administrative due process. Semuanya tak perlu. Tak ada gunanya. Itu sampah. Tidak berlaku di sini. Sampai kapan keadaan itu? Setidak-tidaknya sampai tahun 2022. Mengapa? Pasal 2 huruf a angka 1 mengatur durasi bahaya dan atau ancaman bahaya corona sampai tahun 2022. Itulah hukum dari ketentuan yang menyatakan defisit APBN sebesar di 3 % (tiga persen) berlaku sampai tahun 2022. Praktis sampai dengan tahun itu, semua tindakan administrasi dalam kerangka menangani bahaya dan ancaman bahaya corona tidak bisa dicek. Titik. Top Markotop. Masa Allah. Lalu bagaimana? Pemerintah sudah sedemikian kuat. DPR saudah sedemikian tak berdaya, sehingga yang bisa dilakukan hanyalah menghaturkan kata bjiak Ibnu As-Sammak kepada Harun Ar-Rasyid, Amirulmukinin ini. Amirulmukinin berkata kepada As-Sammak apa yang bisa engkau berikan kepadaku? Sammak menjawab “saya ingin anda selalu ingat bahwa kelak anda akan berdiri sendirian dihadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Kemudian anda akan dimasukan ke surga atau neraka”. Mendengar kata-katanya begitu tajam, seorang pelayan Harun menyela. Tapi As-Sammak tak gentar. Dengan tatapan matanya yang tajam kepada Harun, As-Samak melanjutkan “anda tidak akan didampingi orang ini untuk membela anda pada hari itu.” Masih ada waktu, begitu judul lagu Ebit G. Ade, lagu lama yang dilantunkan kembali bersama Andrea, anaknya. Dan baru saja dirilis. “Mumpum masih ada kesempatan buat kita kumpulkan bekal untuk perjalanan abadi.” Itulah sebait syairnya yang terlalu berat untuk diabaikan. Burung terbang dengan kedua sayapnya, seorang mukmin terbang dengan tekdanya, kata Jalaludin Rumi. Wallau A’alam Bissawab. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Bisakah Dipercaya Data Korban Covid-19 di China?
By Asyari Usman Jakarta FNN - Per siang tadi, Ahad, 5 April 2020, angka kematian Covid-19 di China tercatat 3,329 orang. Angka ini terlihat “kecil” kalau dibandingkan jumlah korban nyawa di Eropa dan Amerika Serikat (AS). Kematian di Italia menembus angka 15,362. Di Spanyol 11,947. Di Prancis 7,560. Di Inggris 4,313. Di Amerika Serikat 8,452. Nah, masuk akalkah korban jiwa Covid-19 di China hanya 3,329? Cukup menarik untuk dicermati. Sebab, berbagai pihak meragukan itu. China dituduh menyembunyikan angka kematian yang sebenarnya. Dan juga angka kasus positif yang sesungguhnya. Per pagi ini, jumlah positif Corona di China “hanya” 81,669. Bandingkan dengan jumlah positif di AS yang menembus 311,357. Di Spanyol mencapai 126,168. Italia mencatat 124,632. Di Jerman ada 96,092 dan di Prancis tercatat 89,953. Banyak yang menyangsikan tranparansi laporan resmi China. Komunitas intelijen Barat secara blak-blakan mengatakan China berbohong tentang jumlah positif Corona dan jumlah kematian. Dalam beberapa hari belakangan ini, kalangan media terpercaya di seluruh dunia menyoroti kebohongan China tsb. Di Inggris, surat kabar “The Daily Mail” melaporkan beberapa hari lalu bahwa sejumlah penasihat senior pemerintah menyampaikan peringatan kepada Perdana Menteri (PM) Boris Johnson mengenai angka-angka Covid-19 di China. Mereka mengatakan, angka-angka korban Corona diperkirakan 15 atau 40 kali lipat dari versi resmi pemerintah China. Sewaktu terjadi wabah SARS di tahun 2000-an, China juga ketahuan tidak jujur melaporkan angka-angka korban. Dan pemerintah Beijing mengakuinya, kemudian. Koran “The New York Times” edisi 2 April 2020 memberitakan, badan-badan intelijen AS menyimpulkan bahwa pemerintah China sendiri mungkin tidak tahu persis seberapa besar epidemi Corona di Wuhan –episentrum awal virus ganas itu. Para pejabat menengah di Wuhan berbohong tentang laju penularan Corona. Juga tentang pemeriksaan (test) massal dan tentang angka kematian. Mereka takut kalau dilaporkan terlalu tinggi, mereka akan dihukum, dicopot atau bahkan lebih dari itu. Laporan-laporan yang sifatnya ABS (asal bapak senang) menjadi semakin kronis di China belakangan ini. Khususnya sejak Presiden Xi Jinping menerapkan cara-cara keras dan otoriter. Sejumlah penduduk Wuhan mengatakan, sebagaimana dikutip media internasional, setiap hari ada 500 guci yang berisi abu kremasi diserahkan kepada keluarga-keluarga yang meninggal. Ada tujuh tempat kremasi besar di Wuhan. Berarti setiap hari 3,500 guci (7x500) diserahkan kepada ahli-waris mayat. Penyerahan itu berlangsung dalam masa 12 hari festival Qing Ming. Festival itu sendiri diselenggarakan hari ini, 5 April 2020. Jika dihitung dari penyerahan ribuan guci itu, maka total kremasi telah dilakukan terhadap 42,000 mayat (12x3,500). Ini berarti sekitar 12 kali dari angka kematian yang diumumkan pemerintah China sampai hari ini (5/4/2020). Kalau benar angka-angka Covid-19 China palsu, fakta ini berdampak besar terhadap pencegahan di nengara-negara lain. Para pakar epidemiologi berpendapat data palsu dari China itu sangat mungkin menyebabkan pemerintah di negara-negara lain cenderung ‘agak santai’ bertindak. Sebaliknya, kalau sejak awal China transparan, maka masyarakat internasional bisa memperhitungkan langkah-langkah pencegahan yang lebih keras. Kejadian yang sangat buruk di Italia, Spanyol, Prancis, Inggris, Belanda, Belgia, Austria, dlsb, kini memicu kecurigaan terhadap skala kejadian Corona di China. Presiden Donald Trump termasuk yang sangat curiga. Barat yakin angka-angka korban Corona di China jauh lebih besar dari yang dilaporkan pemerintah Beijing. Harus diakui, transparasi laporan korban Covid-19 di Eropa dan AS tidak mungkin ditutup-tutupi. Konsekuensinya terhadap para penguasa sangat berat. Keutuhan data di Barat menjadi salah satu “sembako” rakyat yang sangat esensial. Tidak ada yang berani memainkan angka-angka korban apa saja. Ditarik ke Indonesia, tentunya semua orang akan menuntut transparansi angka-angka Covid-19 dan peta penyebarannya. Sangat diharapkan agar para penguasa jangan pernah bermain dengan angka-angka korban dan data geografis Corona. Akibatnya akan sangat fatal.[] 5 April 2020 (Penulis Wartawan Senior)
Dahlan Iskan Abaikan Realita, Banyak Fakta yang Ditutupi China!
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Dalam tulisannya berjudul “Papa Zhang” di Disway.id yang tayang juga di Pepnews.com, Kamis (2 April 2020 | 07:20 WIB), Dahlan Iskan yang sejak awal mengenalnya saya panggil Mas Dahlan itu, terkesan mengunggulkan China atau Tiongkok. Papa Zhang adalah seorang dokter bernama Zhang Wenhong. Di Tiongkok kata-kata dokter Zhang sudah dianggap seperti fatwa ulama. Dokter ahli virus terkemuka di China ini umurnya 51 tahun. Kelahiran Zhang di sebuah kota pantai seberang Taipei. Dokter Zhang lulusan Fakultas Kedokteran Fudan University, Shanghai. Zhang juga pernah kuliah di Harvard Medical School, Boston, Amerika Serikat. Kini Zhang Wenhong menjabat ketua departemen penyakit menular di Huashan Hospital, Shanghai. Nama Zhang Wenhong melangit sejak Januari lalu. Yakni ketika wabah Covid-19 kian serius di Wuhan. Disebutkan Mas Dahlan, waktu itu ia memerlukan lebih banyak dokter lagi yang harus ke garis depan: mengatasi wabah Covid-19. Berarti harus lebih banyak lagi dokter Shanghai yang harus ditugaskan terjun ke Wuhan. Itu untuk menggantikan ”pasukan” gelombang pertama. Dokter Zhang tahu perasaan para dokter yang ditugaskan ke sana itu. Maka dokter Zhang mengeluarkan kata-kata keras. ”Kita tidak seharusnya mengingkari tanggung jawab kita kepada rakyat. Saya tidak peduli kalian suka atau tidak suka dengan tugas ini. Saya tidak peduli kalian melakukannya dengan sepenuh hati atau terpaksa. Pokoknya jalankan.” Video pidatonya itu langsung viral. Ditonton puluhan juta netizen di Tiongkok. Dokter Zhang Wenhong langsung jadi media darling. Menurut Mas Dahlan, Dokter Zhang memang dikenal sebagai dokter yang IQ dan EQ-nya sama-sama tinggi. Pinter, ahli, pandai berkomunikasi, dan mau melayani pertanyaan dari publik di seputar Covid-19. ”Fatwa”-nya tadi adalah jawaban dari salah satu pertanyaan masyarakat. Yakni tentang perlukah minum tambahan vitamin. Dokter Zhang Wenhong tidak memasukkannya dalam ”fatwa”-nya. Ia sangat menekankan ”jangan keluar rumah”. Itulah satu-satunya cara untuk memutus penularan. Kalau semua orang disiplin tidak keluar rumah, Covid-19 teratasi dalam dua bulan. Dokter Zhang tidak hanya diidolakan publik seluruh Tiongkok. Anak buahnya pun sangat mencintainya. ”Beliau suka membina dokter-dokter muda. Sampai-sampai kami memanggil beliau Papa Zhang,” ujar staf di rumah sakit itu. Orang Shanghai pun merasa aman dengan adanya Papa Zhang. Jumlah penderita Covid-19 di Shanghai sangat kecil – dibanding ukuran dan kepadatan penduduknya. Di Shanghai hanya 509 yang terkena Covid-19 dan hanya 5 orang yang meninggal. Di Shanghai 95 persen pasien Covid-19 berhasil disembuhkan. Bandingkan dengan New York: 67.000 yang terkena dan 1.300 lebih yang meninggal. Begitu pentingnya sosok Zhang di Shanghai sampai ada yang bersikap berlebihan. ”Silakan semua dokter Shanghai dikirim ke Wuhan, asal dokter Zhang tetap di sini,” komentar salah satu netizen. Selalu muncul pahlawan rakyat di tengah setiap kesulitan. “Umumnya dari mereka yang berbuat sesuatu dengan ikhlas – tanpa peduli dengan citra,” tulis Mas Dahlan. *Korban Dokter* Jika Mas Dahlan cermat, pahlawan rakyat di China yang sebenarnya adalah dr. Li Wenliang, dokter sekaligus whistleblower yang menyebarkan informasi tentang virus. Dokter Li yang memperingatkan publik terhadap potensi merebaknya virus Corona (Covid-19). Dokter Li lebih pantas disebut sebagai pahlawan rakyat. Dokter yang memperingatkan publik terhadap potensi merebaknya virus, Li Wenliang, Jiang Xueqing, dan Mei Zhongming lebih dulu meninggal akibat virus yang sama. Mengutip CNN Indonesia, Kamis (12/03/2020 14:44 WIB), seorang Kepala Departemen di RS Pusat Wuhan, Ai Fen, menyebut situasi penanganan Covid-19 di sana lebih mengerikan dibandingkan wabah lainnya. Melansir The Straits Times yang melaporkan pemberitaan media bisnis China Caixin Kamis (12/3), sebanyak 230 orang dari 4.000 paramedis di RS Pusat Wuhan dinyatakan terinfeksi Covid-19. Virus corona mulai merebak sejak akhir 2019 di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Diduga virus itu berasal dari hewan lalu menular kepada manusia. Virus itu kemudian menyebar ke penjuru negeri dan bahkan lintas negara. Pada awal penyebaran virus corona, mereka berusaha untuk bekerja semaksimal mungkin merawat para pasien tanpa mengetahui skala penyebarannya. Hingga Senin (9/3/2020), dokter yang meninggal akibat virus corona di RS itu sebanyak empat orang. Seorang Optalmologis bernama Zhu Heping adalah korban terbaru. Sebelumnya, dokter yang memperingatkan publik terhadap potensi merebaknya virus, Li Wenliang, Jiang Xueqing, dan Mei Zhongming lebih dulu meninggal akibat virus yang sama. Sementara, Wakil Kepala Departemen Bedah Torakoplastik dan Wakil Kepala Urologis dinyatakan masih dalam kondisi kritis. Dilaporkan Caixin, kengerian tersebut diperparah dengan pembatasan informasi oleh pemerintah dan penyebaran informasi yang keliru. Kepala Penyakit Menular di Pusat Pengendalian Penyakit di Wuhan, Wang Wenyong, bahkan sempat meminta RS untuk memalsukan informasi pasien corona. Mereka memerintahkan agar diagnosis dalam laporan diganti dengan jenis penyakit lain. “Informasi palsu yang dikeluarkan oleh departemen terkait, yang mengklaim penyakit itu dapat dikendalikan dan tidak akan menyebar antar manusia, membuat ratusan dokter dan perawat dalam kegelapan,” kata salah seorang kepala departemen RS kepada Caixin. Selain itu, para dokter menyalahkan pihak manajemen yang tidak kompeten, karena tidak ikut turun tangan menangani penyebaran virus corona. Seorang kepala departemen RS mengungkapkan, ia diminta untuk mengawasi stafnya agar tidak mengungkapkan “informasi rahasia” kepada publik, termasuk rekan mereka. Petugas medis bahkan tidak dapat melaporkan jika mereka jatuh sakit. Pekerja di RS dilarang membicarakan virus corona, atau mengirim pesan teks, foto, atau apa pun yang mungkin meninggalkan jejak. Para dokter yang diwawancara Caixin menyebut, virus corona diduga bersumber dari pasar ikan di selatan China. RS Pusat Wuhan merupakan yang paling dekat dengan lokasi tersebut, sehingga sebagian besar pasien dirawat di sana. RS pun mulai dipenuhi pasien dengan gejala Covid-19 sejak awal Januari 2020. Namun, campur tangan lembaga kesehatan berwenang di Wuhan membuat pihak RS sulit melaporkan jumlah kasus virus corona. Inilah yang tidak pernah disinggung dalam setiap tulisan Mas Dahlan ketika menulis terkait Covid-19 di China. Pada 12 Januari 2020, seorang petugas penegak hukum mendatangi RS tersebut dan memerintahkan perlunya konsultasi pakar tingkat kota dan provinsi sebelum mendiagnosis penyakit pernapasan dan melaporkannya. Pihak berwenang juga terlambat dalam pengambilan sampel dan memberikan konsultasi yang kemudian mempersulit dan memperlambat penanganan kasus Covid-19. Dengan demikian, masyarakat tidak bisa mendapat peringatan secara dini. Pada Desember 2019, RS menangani pasien terjangkit virus yang tidak memiliki riwayat bepergian ke pasar ikan. Mereka kemudian mengirimkan sampel ke laboratorium CapitalBio. Khawatir, Ai Fen pun membagikan informasi terkait hasil laboratorium di WeChat pada 30 Desember lalu. Informasi itu kemudian disebarkan oleh beberapa dokter lain, termasuk mendiang Dokter Li, untuk memperingatkan teman-teman dan kolega mereka agar dapat mengambil tindakan. Pesan ini pun semakin menyebar secara online, mendorong permintaan masyarakat terhadap informasi yang lebih lengkap. Tapi, beberapa diantara mereka, termasuk Dokter Li, justru dipanggil oleh pihak berwenang Wuhan untuk menandatangani surat peringatan berisi tuduhan bahwa dirinya telah “menyebarkan desas-desus online” dan “mengganggu ketertiban sosial”. Hingga Kamis (12/3/2020) pagi, virus corona telah menginfeksi 80.790 orang di China dan menewaskan 3.158 lainnya. Sedangkan pasien corona yang sembuh mencapai 61.624 orang. Berapa jumlah pasti dokter yang meninggal diantara 3.158 yang tewas di China itu, datanya tetap saja tertutup. Padahal, sebanyak 230 orang dari 4.000 paramedis di RS Pusat Wuhan dinyatakan terinfeksi Covid-19. Jadi, data yang disampaikan Mas Dahlan pun diragukan akurasinya. Apalagi, dalam sebuah pernyataannya yang diunggah dalam digital poster mengatasnamakan Makassar.terkini.id dengan gambar Mas Dahlan dan statement-nya yang bernada “miring”. "Anda sudah tahu Amerika mengalahkan Tiongkok dari segi jumlah kasus Covid-19. Anda sudah tahu Italia mengalahkan Tiongkok dari segi jumlah meninggal. Mungkin Anda belum tahu: Indonesia sudah mengalahkan Tiongkok dari segi jumlah dokter yang meninggal karena Covid-19." Dahlan Iskan. Tapi, Mas Dahlan “tidak tahu” kalau APD paramedis di Indonesia sangat terbatas dan benar-benar memprihatinkan. Sampai harus ada yang pakai jas hujan segala. Tidak seperti yang di Tiongkok. Lengkap dan serba modern. Jadi sekarang ini, setelah dua dokter ini dinyatakan meninggal karena Covid-19, total dokter Indonesia yang meninggal karena wabah virus corona ada 12 dokter. Bahkan, data terakhir yang saya terima hari ini, ternyata jumlahnya sudah mencapai 25 orang. Melansir Riau24.com, Jum'at (3 April 2020 pukul 19.06), dua perwira terbaik gugur dalam melaksanakan tugas menangani pasien penderita virus corona atau Covid-19. Kedua prajurit TNI, yakni Laksamana Pertama (Purn) Jeanne PMR Winaktu dan Letnan Kolonel W Mulatsih. Mereka gugur dalam tugas pada Kamis 2 April 2020. Dokter Jeanne meninggal di RSAL Mintoharjo, sedangkan Letkol W Mulatsih meninggal di RS Marinir Cilandak. Dokter Jeanne bukan tenaga medis biasa, dia adalah dokter spesilias bedah saraf pertama di negara ini. Sementara itu, Letkol W Mulatsih merupakan Kepala Departemen Keperawatan RS Marinir Cilandak. Mereka gugur berusaha menyelamatkan nyawa banyak pasien penderita Corona di kedua rumah sakit itu. Mereka telah berani mengambil beresiko tinggi! Mereka tidak peduli nyawanya sendiri sedang terancam. Mereka inilah pahlawan penyelamat nyawa rakyat Indonesia tanpa pamrih! *** Penulis Wartawan Senior.
Saya Ini Menko, Kekuasaan Saya Besar, Kalian Mau Apa?
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Ini bukan bercanda. Saya mau bertanya kepada pakar hukum pidana. Khususnya pakar pidana UU ITE. Sekaligus bertanya kepada para pakar politik dan demokrasi. Juga para pakar kebebasan berbicara. Yang ingin saya tanyakan begini. Saya duduk sebagai Menko yang memegang kekuasaan sangat besar. Dan saya juga punya bisnis yang menggurita. Saya mengurusi semua hal. Apa saja yang muncul, presiden selalu menghubungi saya dan meminta pendapat saya. Apa yang saya katakan, selalu diterima oleh persiden. Sering juga saya sendiri yang membisikkan berbagai solusi masalah kepada persiden. Dan persiden selalu setuju. Publik sudah sangat muak dengan kelakuan saya. Bahkan banyak yang jijik melihat cara saya mengendalikan pemerintahan. Cukup banyak pula yang mengatakan bahwa persiden adalah boneka saya. Sayalah persiden yang sesungguhnya. Terserah saja. Nah, sebelum pertanyaan itu saya tuliskan, ada baiknya saya akui terus terang peranan saya sebagai menteri yang memilik kekuasaan besar. Saya akui bahwa saya memang diberi wewenang eksekutif yang tidak pernah ada dalam sejarah kabinet di mana pun di dunia ini. Kekuasaan yang saya pegang itu boleh dikatakan tanpa batas sektoral. Plus, tanpa ada etika ministerial. Pokoknya, semua saya campuri. Semua saya yang atur. Semua menteri bisa saya kendalikan. Menteri bidang apa saja. Saking besarnya kekuasaan yang diberikan persiden kepada saya, saya bisa membungkam menteri apa saja. Sebaliknya, saya tidak bisa dilawan oleh menteri mana pun juga. Mereka semua harus patuh kepada saya. Resminya, saya dulu mengurusi masalah ombak laut saja. Tetapi, saya berhasil meyakinkan persiden bahwa masalah investasi pun harus saya yang urus. Siapa saja yang mau membawa modal ke sini, harus lewat saya. Yang saya utamakan adalah modal dari Cheena. Sekarang ini, apa saja yang mau dibangun harus diserahkan kepada Cheena. Pemerintah juga banyak ‘ngutang ke sana. Pokoknya, saya arahkan persiden untuk memperkuat kehadiran Cheena di sini. Tidak hanya duit Cheena yang dimasukkan ke sini. Orang-orang mereka pun dibawa untuk mengerjakan proyek-proyek yang dibiayai oleh mereka. Kebetulan pula, Cheena membuat syarat bahwa semua proyek yang mereka biayai harus ditangani sendiri oleh orang mereka. Saya sebagai Menko mengikuti saja apa yang diinginkan Cheena itu. Bahkan saya bantu mereka dengan kekuasaan besar yang saya miliki. Kalau, misalnya, ada instansi yang mencoba-coba menjalankan aturan izin masuk dan izin tinggal terhadap orang-orang Cheena, saya langsung turun tangan. Semua beres. Mereka bisa masuk dan bekerja. Semua pejabat lain diam. Tak berani melawan saya. Lantas, apakah saya dapat keuntungan pribadi dari semua ini? Nah, soal ini ‘kan tidak ada bukti. Orang di luar sana banyak yang bilang saya dapat komisilah, fee proyeklah, hadiahlah, dlsb. Tapi, bisakah mereka buktikan itu? Kalau saya lihat, tidak bisa. Itulah sebabnya saya ancam orang-orang yang mengatakan bahwa saya ini hanya memikirkan duit, duit, duit saja. Saya tersinggung. Dari mana mereka tahu bahwa saya mendapat keuntungan pribadi? Silakan mereka buktikan. Kalau tempohari ada laporan utama sebuah majalah bergengsi yang menguraikan tentang dugaan bahwa perusahaan-perusahaan saya memainkan pajak ekspor-impor, memang tidak saya layani. Saya diam saja. Kalian bisa menerka-nerka bahwa ke-diam-an saya itu pertanda isi laporan majalah itu benar. Terserah kalianlah. Ok. Kembali ke pertanyaan yang belum saya tuliskan di sini. Saya mau bertanya kepada para pakar hukum pidana, apakah labelisasi bahwa “saya ini hanya memikirkan duit, duit, duit saja” adalah ucapan kebencian dan penghinaan? Bagi saya, itu penghinaan. Karena itu, saya mengultimatum orang yang mengatakan itu agar meminta maaf kepada saya. Kalau tidak, saya akan bawa ke ranah hukum. Saya pasti menang. Orang itu pasti masuk penjara. Karena semua orang bisa saya atur. Belakangan saya dengar banyak publik yang membela orang itu. Saya tak peduli. Silakan saja. Biar mereka tahu siapa saya. Biar mereka tahu siapa yang punya negara ini. Biar mereka tahu siapa yang mengatur persiden. Terus, apakah ucapan itu bisa disebut kritik? Bagi saya, tidak. Itu bukan kritik. Kalau para pakar demokrasi mengatakan itu kritik, saya tak perduli. Saya mau hajar itu orang. Supaya yang lain-lain tak berani lagi mengkritik saya. Kebebasan berbicara? Kebebasan berpendapat? No way. Tidak ada itu. Mau kalian bawa ke mana, silakan saja. Saya ini Menko. Kekuasaan saya besar. Saya berkuasa penuh. Kalian mau apa?[] 04 April 2020. Penulis Wartawan Senior
Tuntutan LBP Antara Reputasi dan Hak Asasi
Oleh DR. Eddy Rifai, SH., MH. Jakarta, FNN - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Menhub Ad Interim Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) akan menuntut mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu (MSD), atas pernyataan yang dianggap menyudutkan dirinya. Hal itu merupakan buntut dari pernyataan Said Didu yang menyatakan Luhut dinilai mementingkan keuntungan pribadi saja tanpa memikirkan penanganan virus corona (Kompas.com, 3/4/2020). Jodi Mahardika, juru bicara LBP, melalui keterangan tertulis, membenarkan bahwa pimpinannya tersebut telah mengetahui kejadian pencemaran nama baik LBP. Maka dari itu, melalui Jodi, LBP meminta agar Said Didu menyatakan maaf secara langsung kepadanya dan melalui semua media sosialnya terhitung mulai hari ini. “Secara keseluruhan, seseorang dapat dikenakan pasal hate speech, Pasal 317 KUHP dan 318 KUHP dan juga dapat dikenakan Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 terkait ITE jika menyebarkan ujaran kebencian, yaitu bisa memprovokasi, menghasut, serta penyebaran kabar atau berita bohong melalui media sosial,” tegas Jodi. Asal mula tuntutan ini terjadi dari kanal YouTube Said Didu, Muhammad Said Didu yang diwawancarai Hersubeno Arief berdurasi 22 menit beberapa waktu lalu. Dalam video tersebut, Said Didu menyoroti soal isu persiapan pemindahan ibu kota negara (IKN) baru yang masih terus berjalan di tengah usaha pemerintah dan semua pihak menangani wabah Covid-19. Penghinaan dalam KUHP dan UU ITE Dalam KUHP, istilah pencemaran nama baik dikenal dengan istilah “penghinaan” yang diatur secara khusus dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang dimuat dalam Pasal 310 s.d. Pasal 321 KUHP. R. Soesilo menjelaskan, “menghina” dapat diartikan sebagai menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Adapun kehormatan yang dimaksud berkaitan dengan rasa malu seseorang. Penghinaan dalam KUHP dibagi menjadi 6 (enam) jenis, yakni: Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP), yakni perbuatan menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu yang bertujuan agar tuduhan tersebut diketahui oleh orang banyak. Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP), yakni perbuatan tuduhan tersebut dilakukan secara tertulis. Fitnah (Pasal 311 KUHP), yakni apabila perbuatan yang dituduhkan sebagaimana dimaksud pada Pasal 310 KUHP tidak benar. Penghinaan Ringan (Pasal 315 KUHP), yakni jika penghinaan dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina, maupun berupa perbuatan. Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP) dan Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP). UU ITE lebih menekankan pada media atau cara dari pencemaran nama baik tersebut dilakukan. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yakni: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Adapun berdasarkan penjelasan pasal tersebut, definisi pencemaran nama baik mengacu pada pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP. Dalam UU ITE lama, pencemaran nama baik merupakan delik atau tindak pidana biasa yang dapat diproses secara hukum meski tidak adanya pengaduan dari korban. Namun, ketentuan ini telah mengalami perubahan yang telah diatur di dalam UU ITE baru (2016). Di mana, dalam UUITE baru, tindak pidana pencemaran nama baik berubah menjadi delik aduan (klacht delict) yang mengharuskan korban membuat pengaduan kepada pihak yang berwajib. Berdasarkan Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 ketentuan pencemaran nama baik menjadi tindak pidana aduan tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di hadapan Pengadilan. Oleh karena itu, jika seseorang mendapatkan kasus pencemaran nama baik, ia harus melakukan pengaduan ke pihak yang berwenang. Karena kasus pencemaran nama baik hanya akan diproses jika pihak yang menjadi korban melakukan pengaduan kasus tersebut. Bunyi pasal 45A ayat (2) UUITE adalah “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Berdasarkan ketentuan KUHP dan UUITE, terdapat pelbagai bentuk delik pencemaran nama baik berupa penghinaan, fitnah, pengaduan fitnah dan perbuatan fitnah, juga terdapat delik penyiaran kabar bohong dan SARA. Antara Reputasi dan Hak Asasi Sebagaimana putusan MK di atas yang mengkualifikasikan delik pencemaran sebagai delik aduan, MK juga menentukan genus dari delik pencemaran terdapat dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Merujuk penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Dalam hal ini hakim barulah akan mengadakan pemeriksaan apakah betul-betul penghinaan itu telah dilakukan oleh terdakwa karena terdorong membela kepentingan umum atau membela diri, jikalau terdakwa meminta untuk diperiksa (Pasal 312 KUHP). Apabila soal pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh hakim, sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh terdakwa itu tidak benar, maka terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan Pasal 311 KUHP (memfitnah). Dalam perkara Prita Mulyasari yang telah dibebaskan dari hukuman berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung terdapat kaedah hukum penting untuk mengkualifikasikan, apakah suatu pernyataan di dunia maya merupakan delik pencemaran atau hanya kritik yang dijamin konstitusi dan tidak dapat dipidana. Seperti diketahui, kasus Prita Mulyasari berawal dari tulisannya melalui surat elektronik atau email yang berisi tentang keluhannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera Tangerang, yang kemudian menyebar, dan berbuah gugatan perdata, dan pidana oleh pihak RS Omni Internasional. Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat strategis dalam menopang jalannya kehidupan demokrasi. Hak ini dijamin dan dilindungi oleh Negara. Namun, dalam rezim hukum dan hak asasi manusia, selain menjamin kebebasan berekspresi ini, negara juga menjamin hak individu atas kehormatan atau reputasi. Dalam banyak kasus, Pengadilan lebih memilih untuk mendahulukan hak atas reputasi daripada mempertimbangkan keduanya secara seimbang dan seksama. Perlindungan terhadap hak atas reputasi tidak boleh mengancam kebebasan berekspresi. Berdasarkan kaedah hukum di atas, apakah pernyataan MSD merupakan delik pencemaran atau merupakan kritik yang tidak dapat dipidana adalah tergantung bagaimana penegak hukum menempatkan antara reputasi dan hak asasi. Apabila reputasi didahulukan, maka hal itu merupakan delik. Sebaliknya apabila hak asasi diutamakan sebagaimana putusan PK MA, maka pernyataan MSD bukan delik dan tidak dapat dipidana.*** Penulis Pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung
Kasihanilah Si Corona
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Jahat mana virus Corona atau para oligarki? Sekelompok orang yang mengendalikan bisnis dan kekuasaan di Indonesia. Kalau Anda sudah sempat membaca tiga regulasi yang baru diterbitkan pemerintah, pasti tidak akan ragu menjawab. Ketiganya adalah Perppu No 1 Tahun 2020 Tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem. Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, dan Keputusan Presiden (Keppres) Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Dibandingkan dengan oligarki, virus Corona tidak ada apa-apanya. Cemen. Oligarki lebih mengerikan, lebih jahat berkali-kali lipat. Mereka lebih pandai memanfaatkan situasi. Memanfaatkan kekacauan, ketakutan publik. Menarik keuntungan di tengah kemalangan. Menjadikan Corona sebagai kambing hitam, menimpakan kesalahan sepenuhnya kepada virus made in China itu. Padahal sesungguhnya dari mereka lah segala kekacauan negara ini bermula. Beda sekali dengan Corona. Sebagai mahluk Tuhan, dia hanya mengikuti “nalurinya.” Mencari inang, yang bisa menjadi induk tempat berkembang biak. Itu pun dia tidak berdaya ketika manusia disiplin menjaga jarak. Menjaga kebersihan. Dia hanya bisa melompat sejauh 1-2 meter. Kalau gagal, lama-lama dia akan mati sendiri. Para oligarki bisa masuk dan hinggap kemana-mana. Usianya juga sangat panjang. Berpindah dari satu penguasa-ke penguasa lainnya. Mengatur apa yang harus dilakukan oleh pemerintah. UU dan aturan mana yang harus diterbitkan, dan mana yang tidak. Siapa yang harus dikorbankan, dan siapa yang harus diuntungkan. Munculnya tiga aturan tadi, semakin membuka mata publik, ada pintu belakang di istana. Pintu yang digunakan lalu lalang, oleh orang-orang yang lebih dipercaya Presiden, dibandingkan para menterinya. Coba cermati kronologinya. Menko Polhukam Mahfud MD pada Jumat (27/3) menyatakan pemerintah sedang mempersiapkan Perppu tentang Karantina Wilayah. Empat hari kemudian, Selasa (31/3) Presiden Jokowi mengumumkan Peraturan Pemerintah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bukan Perppu Karantina seperti dikatakan Mahfud. Perppu justru diterbitkan untuk mengamankan kepentingan korporasi. Menjamin kepastian hukum bagi para pengambil kebijakan. Kesimpulan publik, omongan Mahfud tidak bisa dipegang. Toh dia hanya pembantu. Setiap saat bisa dipecat. Ada pembisik lain yang lebih didengar, dipercaya, dan sarannya dilaksanakan Presiden. Merekalah yang membiayai, mengantar, dan menjaganya agar tetap dalam tampuk kekuasaan. Menyelundupkan Pasal Selasa (2/4) Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menkumham Yasona Laoly menyerahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Perppu tersebut ke DPR. Hampir dapat dipastikan DPR akan menyetujuinya. Perppu akan segera berlaku secara efektif. Tinggal ketok palu. Selain tidak adanya oposisi yang kuat. Sudah menjadi rahasia umum, tangan-tangan oligarki menjangkau sangat jauh di parlemen. Mereka menempatkan pion-pionnya, sebagai proxy di gedung wakil rakyat. Mencermati pasal demi pasal dalam Perppu No 1 Tahun 2020, PP dan Kepres Corona, koalisi masyarakat sipil, pegiat pemerintahan yang bersih, atau siapapun yang masih waras, hanya bisa geleng-geleng kepala. Ada kesan kuat pemerintah memanfaatkan situasi krisis untuk memuluskan agenda terselubung. Menuai “berkah” di tengah musibah. Ada pasal-pasal di RUU Omnibus Law yang diselundupkan dalam Perppu. Pasal yang lebih menguntungkan dunia usaha dan banyak ditolak. Alokasi dananya juga tidak fokus pada pemberantasan virus. Tidak fokus pada penyelematan kesehatan. Yang lebih memprihatinkan, ada pasal yang disiapkan secara cerdik, untuk mengamankan para pemegang otoritas dan kebijakan. Mereka tidak bisa dijerat hukum manakala terjadi penyimpangan. Pasal penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), yang semula masuk di RUU Omnibus Law, ditarik ke Perppu. Pemerintah menurunkan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22%. Kemudian turun lagi menjadi 20% pada tahun berikutnya. Tarif ini berlaku mulai tahun ini, lebih cepat dari usulan awal yang dimasukkan dalam RUU Omnibus Law Perpajakan. Dalam rancangan Omnibus Law, penurunan baru akan dimulai pada 2021. Sikap pemerintah sejak awal konsisten. Lebih mementingkan ekonomi, ketimbang keselamatan dan nyawa rakyat, juga terlihat dari alokasi anggaran yang disediakan. Dari total Rp 405, 1 triliun yang dianggarkan, hanya Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan. Meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter. Yang terbesar justru anggaran untuk pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun. Rp 70,1 stimulus perpajakan dan kredit usaha rakyat. Selebihnya sebesar Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial. Akar penyebab persoalan, yakni sektor kesehatan hanya mendapat porsi 18.5%. Selebihnya digunakan untuk mengatasi dampaknya. Sebagai konskuensi dari adanya anggaran baru tersebut pemerintah memperlebar defisit anggaran. Dari semula 3% menjadi 5.07%. Apa artinya? Pemerintah leluasa menambah utang baru. Utang yang sudah menjadi _life style_ pemerintah. Utang yang akan diwariskan pada pemerintahan berikutnya. Utang yang akan diwariskan kepada anak cucu kita. Corona benar-benar menjadi dewa penyelamat bagi pemerintah. Jauh sebelum wabah melanda, Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah berkali-kali menyatakan defisit anggaran anggaran akan semakin melebar. Pada bulan November 2019 Sri Mulyani sudah mengingatkan defisit anggaran akan mencapai 2 sampai 2.2%. Dalam APBN 2019 dipatok 1.87%. Alasannya karena perlambatan ekonomi global dan melesetnya penerimaan pajak. Sekarang Corona yang menjadi alasan. “Berkah” lain yang dituai oligarki, sebagian dari mereka akan segera bebas dari penjara. Menkumham Yasona Laoly mengusulkan narapidana lansia berusia di atas 60 tahun dibebaskan. Usulan itu sudah disetujui Presiden. 300 orang napi koruptor, bersiap-siap menghirup udara bebas. Banyak diantara mereka adalah politisi, petinggi negara, dan kroninya. Kalau sudah begini, kita hanya bisa mengelus dada. Kasihan sekali kau Corona. Di seluruh dunia menjadi musibah. Ditakuti, menjadi momok yang menakutkan. Eh….di Indonesia malah menjadi blessing in disguise. “Berkah” yang tersembunyi bagi sekelompok oligarki. Dihadapan oligarki, Corona mati gaya. Dia tidak bisa menggugat karena namanya dicemarkan. Corona suatu saat akan mati. Oligarki tidak ada matinya. Please….kasihanilah Corona. End. Penulis Wartawan Senior.
Rilis Pernyataan Sikap, Ikatan Alumni BEM PT Muhammadiyah Se-Indonesia Menolak Darurat Sipil
Oleh Ahmad Lohy Jakarta, FNN – Rencana pemerintah menetapkan status darurat sipil sebagai upaya penanggulangan Wabah Covid-19, muncul reaksi dari beberapa kalangan, diantaranya dari Ikatan Alumni BEM Perguruan Tinggi (PT) Muhammadiyah Se-Indonesia. Presiden mengumumkan untuk manjalankan UU/Perppu No. 23 Tahun 1959 Tentang Darurat Sipil melalui bebarapa tahapan itu dinilai kurang tepat. Sehingga perlu dikoreksi untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Demikian bunyi rilis lengkap pernyataan sikap : Pernyataan Sikap Ikatan Alumni BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Indonesia Menyikapi situasi sosial, politik dan ekonomi nasional saat ini, ditengah ancaman Pandemi Covid-19 dengan ini kami dari Ikatan Alumni BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se- Indonesia : Menolak Pemberlakuan Darurat Sipil yang berdasar kepada Perpu No 23 Tahun 1959 dan mendukung Pemberlakuan Karantina Wilayah sebagaimana diatur dalam UU No 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan, guna memastikan pemenuhan hak-hak warganegara ditengah situasi Pandemi. Berdasarkan poin pertama, kami menuntut Pemerintah pusat untuk segera menganulir rencana penetapan Darurat Sipil sebagai solusi menghadapi Pandemi Covid-19. Menuntut Presiden Joko Widodo untuk tampil terdepan memberikan informasi-informasi yang menenangkan situasi sebagai bentuk Public Address ditengah ketidakpastian informasi saat ini. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera moncopot Menteri Kesehatan akibat kelalaiannya dalam menilai situasi Pandemi yang berdampak pada kondisi saat ini. Mendesak Pemerintah untuk segera memastikan ketersediaan APD untuk Pekerja Medis di Seluruh Indonesia. Demikian pernyataan ini kami sampaikan mohon ditindaklanjuti Terima Kasih Ikatan Alumi BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se- Indonesia. Jakarta, 03 April 2020 Ttd. Muhammad Wildan (Mantan Wakil Presiden BEM Universitas Muhammadiyah Jakarta. Rofsanjani Ali. (Mantan Koordinator Presidium Nasional BEM PTM se-Indonesia periode 2011/2012). Izra Jinga Saeni,.SH,MH (Mantan Presiden BEM Universitas Muhammadiyah Kendari) Danang Prasetya (Presiden Mahasiswa Univ. Muh. Surakarta periode 2010/2011) Iskandar La Ngali (Wapres BEM UM.Mataram 2009-2010) Selpi Setiadi ( Mantan Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sukabumi 2010-2012) Andri Susanto Bethan (Mantan Presdium Nasional BEM PTM Se-Indonesia Zona 2 Kalimantan, BEM Universitas Muhammadiyah Kaltim) Riza Aulia (Mantan Presma BEM Univ. Muhammadiyah Banda Aceh) Alfajri A. Rahman (Mantan BEM Univ. Muhammadiyah Maluku Utara). Abdul Jabbar Al Bugizy (Mantan Presidium Nasional BEM PTM Zona 7 Wilayah Indonesia Timur, UMS Rappang). M Fadly Sangadji (Mantan Koordinator Presidium Nasional BEM PTM Se-Indonesia/UMJ periode 2010/2011) Ibnu Misbakhul Hayat (Mantan Presma ITB Ahmad Dahlan Jakarta) Zul Agung Sulaiman (Mantan Menlu BEM UMT Periode 2014-2015) Rubianto (Mantan Presma UMY periode 2009 - 2011) Firdaus Abdullah (Presidium Nasional BEM PTM se-Indonesia zona 5 / Presiden Mahasiswa Unmuh Malang 2012-2013)
Skenario Makro Ekonomi Indonesia Setelah Keluar Perpu
By Andi Rahmat Jakarta FNN – Kamis (02/04). Ada yang unik dan terbilang langka dari paparan lengkap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid 19. Paparan yang disampaikan Kementerian Keuangan dalam konferensi persnya tanggal 1 April 2020. Garis besar kebijakan itu sendiri sebelumnya sudah disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Yang unik dan langka itu adalah keterbukaan pemerintah dalam memaparkan resiko makro ekonomi yang mungkin akan kita alami. Dalam model persandingan skenario, pemerintah memaparkan tiga skenario berbeda. Yaitu, skenario normal yang sama dengan asumsi yang dianut didalam APBN 2020. Skenario Berat. Terakhir, skenario sangat berat. Saya ingin mengapresiasi keterbukaan ini. Setidaknya keterbukaan itu membantu kita membaca alam pikiran pemerintah dalam menghadapi krisis ini. Sekaligus juga membuka jendela prediktif bagi pelaku ekonomi dan para ekonom dalam melihat arah perkembangan ekonomi Indonesia. Skenario “normal” tentu sudah tidak relevan lagi. Sisa skenario “ Berat dan Sangat Berat “. Pada dua skenario ini, kunci yang membedakan secara signifikan itu adalah ekonomi rumah tangga (household economy) dan ekonomi pemerintah. Dalam istilah komponen pembentuk PDB, kedua skenario itu bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Tapi signifikansinya lebih berat ke arah konsumsi pemerintah. Murni keynesian. Yang bermakna, inti dari pergeseran skenario ekonomi itu adalah pada kapasitas dan kapabilitas intervensi pemerintah. Dalam skenario “Normal”, pemerintah fungsinya sebagai pendorong, alias Tut Wuri Handayani. Dalam skenario “Berat dan Sangat Berat” pemerintah adalah lokomotif utama, alias Ing Ngarso Sung Tulodo. Lantas dimana fungsi sektor swasta? . Skenario ini menunjukkan ketidak berdayaan sektor swasta dalam menghadapi situasi krisis ini. Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto ( PMTB ) yang mengindikasikan dinamika sektor swasta dalam dua skenario tersebut mengalami pemerosotan tajam. Proyeksinya, dari 6,0% dalam situasi “ Normal”, merosot jatuh hingga 1,12% dalam situasi “ Berat” dan menjadai -4,22% dalam situasi “Sangat Berat”. Centang perenang. Terpapar signifikan sebagi korban utama dalam krisis ini secara ekonomi. Demikian juga dengan ekonomi rumah tangga. Dalam dua skenario tersebut, kurvanya memang tidak securam PMTB, tetapi penurunannya pun juga sangat drastis. Dari 5,0% kontribusi terhadap PDB menjadi masing-masing 3,22% dan 1,60%. Keadaan ini bukan lagi menggambarkan keadaan kontraksi. Tapi keadaan ekonomi yang mengalami krisis. Di dalam skenario ekonomi makro, “kekacauan” itu tercermin pada proyeksi pertumbuhan PDB yang bergerak pada 2,3 % pada skenario “Berat” dan -0’4% pada skenario “ Sangat Berat”. Perekonomian Nasional akan kehilangan lebih dari separuh kapasitas normalnya, atau malah kehilangan keseluruhan kapasitasnya. Demikian juga pada pergerakan nilai tukar yang cepat dan drastis. Setting kesadaran skenik pemerintah ini, sangat signifikan dalam menakar kapasitas dan kapabilitas pemerintah dalam membuat dan menjalankan kebijakannya. Pada skenario “Berat”. Terdapat keyakinan bahwa sumber kapasitas pemerintah masih bisa diandalkan. Pada skenario “ Normal”, konsumsi pemerintah dipatok diangka 4,3%. Pada skenario “ Berat”, angka itu bergerak ke atas, 6,83%. Ada upaya yang “extraordinary” dari pemerintah dalam bentuk tambahan 2,5% konsumsinya. Atau dengan kata lain, untuk tahun 2020 ini saja, pemerintah harus mengupayakan produktifitas kapasitasnya tidak kurang dari 130% kapasitas normalnya. Mungkinkah itu? Kuncinya ada pada efisiensi dan pembiayaan. Konsistensi dalam menerapkan prinsip efisiensi sepanjang proses ini tak bisa ditawar-tawar. Ekspansi fiskal diarahkan pada program yang betul- betul bisa menahan laju pemerosotan ekonomi. Sekaligus juga memberi ruang bagi pemulihan ekonomi. Demikian pula dengan pembiayaan. Saya sendiri was-was pada isu “keberadaan” sumber. Pasar hutang dunia sungguh akan sesak. Saat ini saja, sudah ada tidak kurang dari U$ 7 Trilliun yang masuk ke dalam pasar dari berbagai upaya “counter measure“ banyak negara dalam menghadapi krisis ini. Yang potensial dan relatif murah itu adalah kapasitas Bank Indonesia. Tanpa mengabaikan potensi lain di dalam negeri. BI adalah “game changer” dalam urusan ini. Senjata kewenangan yang diberikan oleh Perpu yang baru saja dikeluarkan pemerintah memberi ruang “open ended policy” bagi BI. Catatannya, BI mesti kalkulatif sekaligus juga “ ikhlas” dalam menggunakan cadangan devisanya. Asal tidak mengulangi kekeliruan di era BLBI. IMF memang memiliki standar dalam menilai kekuatan ekonomi suatu negara dari segi cadangan devisanya. Cadangan yang ada sekarang. Setahu saya masih 20% diatas batas yang dianggap aman oleh IMF. Tetapi batasan ini tidak relevan dalam soal ini. Kita sesungguhnya sudah ditubir krisis ekonomi. Sampailah kita pada skenario “ Sangat Berat”. Menjadi sangat berat karena pemerintah juga tergerus kapasitasnya. Pemerintah hanya sanggup menyediakan 3,73% konsumsinya. Hanya 87% dari kapasitas normalnya. Demikian juga nilai tukar yang menyentuh Rp 20.000/ USD. Kapan itu terjadi? Jika krisis pandemi covid 19 berlarut-larut tanpa kepastian hingga bulan September tahun ini ( catatan : NHS/ Kementerian Kesehatan Inggris mendeklarasikan kemungkinan seperti ini), dan pemerintah kewalahan dalam menyediakan Sumber Pembiayaan Mengembalikan kehidupan menjadi normal dengan dampak covid 19 yang sudah bisa terkontrol, dan menjaga sisi pembiayaan negara (karena otoritas fiskal, moneter dan jasa keuangan semua ada di dalamnya) adalah tameng yang membatasi perpindahan skenario-skenario itu. Pada tahap awal, kebijakan Rp 405,1 triliun dan Perpu yang melandasi serangkaian langkah yang diambil dan akan diambil pemerintah merupakan “ bantalan” yang melegakan. Paket ini cukup memberikan ruang bernafas bagi perekonomian rakyat dan UMKM. Sektor riil, khususnya UMKM harus menjadi “champion” dalam paket-paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan, maupun yang akan diluncurkan. Paket ini dianggap bisa membuat perekonomian mendarat darurat (crash landing ) tapi selamat. Konsumsi rumah tangga dijaga hingga pada batas minimal. Model transfer payment seperti ini memang jadi tren global. Tujuannya, mempertahankan momentum konsumsi Rumah Tangga. Sebagai suatu langkah kebijakan darurat, efeknya tentu terbatas pada penyediaan “bantalan” perekonomian. Kita masih menanti paket lanjutan pemerintah. Tentunya pada pembahasan RAPBN 2021 pada bulan Agustus nanti. Yang tahapnya akan dimulai pada pembicaraan pendahuluan dibulan Mei atau Juni nanti. Akhirnya, kepada Allah SWT jugalah kita berserah diri dan memohon pertolongan. Semoga Allah SWT membimbing kita semua keluar dari krisis ini. Amin. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI